Professional Documents
Culture Documents
Judul Penelitian
B.
Ketua Peneliti
a. Nama lengkap & Gelar
b.Jenis Kelamin
c.Pangkat/ Golongan/NIP
d. Bidang Keahlian
e Fakultas/Jurusan
f.Bidang ilmu yang diteliti
C.
D.
Tim Peneliti
Nama
Dr.H.W.Daradjat
Natawigena,Ir.MSi
Ichsan Nurulbari,SP
Bidang Keahlian
Ahli Pengendalian
Vertebrata Hama
Ahli Tikus
Fakultas/Jur
Pertanian/JHPT
Perguruan Tinggi
UNPAD
Pertanian/JHPT
UNPAD
:
:
:
:
Mengetahui :
Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Padjadjaran
Ketua Peneliti
Menyetujui
Ketua Lembaga Penelitian
Universitas Padjadjaran
Prof.Dr.Johan S.Masjhur,dr,SpPD-KE.,SpKN.
NIP. 130 256 894
SUMMARY
To overcome rat pest problem in rat pest endemic areas, There have been
some research activities to find new concept in controlling rat pest. This new
concept is called continually and economically rat pest controlling. This system
is environmentally friendly by integrating several compatible activities and these
activities are harmony each other. The system refers to the development of a
plaited rattan rat trap type which is combined with rat attractive substance and the
use of rat body as economical things which could encourage people to catch rat on
and on.
The research is begun by choosing rat endemic area, identification of rat
species both morphology and non-morphology, and rat behavior. In addition, it is
designed new model of rat trap which could catch rat at once time. There are
some steps in choosing and implementing new design of rat trap, namely:
information, creative, analytical, development, and recommendation. This new
development of rat trap is also supported by the introduction of new rat attractive
substance.
This research also goes further to the use of rat body as economical things,
for instance through skin tanning process and arts touch, rat skin could be made
for handy crafts such as key ring, mobile phone bag, and other crafts made from
skin. The rat body could provide benefit as protein sources in fish food process.
The fish food is made in long life pellet type. Rat bones, oxtail, and intestines
could be processed to be fertilizer by natural degradation process and packed for
sale.
The final activity of the research is the implementation in the field which
covers: building of work planning system and organization, training on the use of
rat body and rat trap design as well as rat trap installing in the field.
The result of the research showed that the implementation of the new
development of rat trap and the introduction of new rat attractive substance could
decrease the population of rat endemic (save rice plant from rat), give
opportunities for entrepreneurship, develop science and technology in the efforts
to maximize the use of natural sources, increase community income, decrease
rodentisida import, and nationally save food sources.
RINGKASAN
Untuk menanggulangi masalah hama tikus di daerah endemik hama tikus,
telah dilakukan serangkaian kegiatan penelitian untuk menemukan konsep baru
cara mengendalikan hama tikus. Cara baru pengendalian hama tikus tersebut
adalah: Sistem Pengendalian Hama Tikus Secara Kontinu dan Ekonomis Sistem
ini adalah sistem pengendalian hama tikus yang ramah lingkungan dengan
memadukan beberapa kegiatan yang kompetibel dan serasi satu dengan lainnya
yaitu : pengembangan suatu tipe perangkap bubu tikus yang dipadukan dengan
zat atraktan tikus serta pemanfaatan tubuh tikus sebagai bahan yang memiliki arti
ekonomis, sehingga dapat merangsang orang untuk menangkapi tikus secara terus
menerus/kontinu (catch a rat a day).
Penelitian dimulai dengan pemilihan kawasan daerah endemik tikus.
kemudian mengidentifikasi jenis-jenis tikus yang ada meliputi pendekatan
karakter morfologis dan non morfologis, juga meneliti kajian perilaku tikus yang
ada di kawasan tersebut. Untuk selanjutnya dibuat rancang bangun perangkap
tikus model baru yang dapat menangkap beberapa tikus sekaligus (pengembangan
dari perangkap sistem bubu yang ada sekarang). Dalam pembuatan perangkap ini
dilengkapi dengan kegiatan studi pembuatan zat atraktan untuk menarik
datangnya tikus ke perangkap bubu. Beberapa tahapan kegiatan yang telah
dilakukan dalam memilih dan mengembangkan desain alat perangkap bubu tikus
tersebut adalah melalui : Tahap Informasi, tahap kreatif, tahap analisis, tahap
pengembangan dan tahap rekomendasi.
Penelitian dilanjutkan terhadap pemanfaatan tubuh tikus sebagai bahan
yang memiliki arti ekonomi tertentu. Kulitnya dimanfaatkan sebagai bahan yang
mempunyai nilai ekonomis, seperti : sarung HP, hiasan kulit, gantungan kunci dll.
melalui proses penyamakan kulit dengan sentuhan seni sehingga dapat dijual.
Tubuhnya dimanfaatkan sebagai sumber protein dalam pembuatan pakan ikan hias
Pakan ikan dibuat dalam bentuk pellet sehingga dapat tahan lama Tulang, ekor
dan sisa-sisa usus lainnya dimanfaatkan sebagai pupuk yang bermanfaat melalui
proses degradasi alamiah serta dikemas dalam wadah tertentu sehingga dapat
dijual.
PRAKATA
DAFTAR ISI
Bab
Halaman
i
...................................................................................
ii
RINGKASAN ...................................................................................
iv
PRAKATA .........................................................................................
vi
vii
ix
I.
PENDAHULUAN ...........................................................................
II.
III.
IV.
11
11
11
12
13
13
14
14
15
15
.........................................................
15
18
V.
19
19
23
23
25
27
27
28
29
30
31
33
35
24
39
40
41
41
41
43
LAMPIRAN .....................................................................................
48
DAFTAR TABEL
No.
1
Judul
Halaman
18
20
22
23
24
25
31
DAFTAR GAMBAR
No.
Judul
Halaman
25
26
27
28
29
29
30
30
31
10
32
11
34
12
34
13
35
14
37
15
38
16
38
14
39
DAFTAR LAMPIRAN
No
Judul
Halaman
.............................48
.............................49
.............................50
............................54
............................55
............................55
...........................56
Pelaksana :
Dr.H.Wahyu Daradjat Natawigena, Ir.MSi
Ichsan Nurul Bari, SP
Pelaksana :
Dr.H.Wahyu Daradjat Natawigena, Ir.MSi
Ichsan Nurul Bari, SP
BAB I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Untuk menanggulangi masalah hama tikus di daerah endemik tikus,
berbagai usaha pengendalian telah dilakukan, tetapi sampai sekarang upaya
tersebut belum mampu mengendalikan tikus secara tuntas dan permanen. Hasil
permanen, dalam arti penurunan tingkat populasi yang lama, hanya mungkin
dapat dicapai dengan menerapkan suatu konsep cara pengendalian tikus yang
terus menerus (kontinu).
Konsep tersebut dapat terwujud dengan jalan : pengembangan suatu tipe
perangkap bubu tikus yang dipadukan dengan zat atraktan tikus serta pemanfaatan
tubuh tikus sebagai bahan yang memiliki arti ekonomis, sehingga akan
merangsang orang untuk menangkapi tikus secara terus menerus (catch a rat a
day).
Penelitian dimulai dengan pemilihan kawasan daerah endemik tikus,
kemudian mengidentifikasi jenis-jenis tikus yang ada meliputi pendekatan
karakter morfologis dan non morfologis, juga meneliti kajian perilaku tikus yang
ada di kawasan tersebut. Untuk selanjutnya dibuat rancang bangun perangkap
tikus model baru yang dapat menangkap beberapa tikus sekaligus (pengembangan
dari perangkap sistem bubu yang ada sekarang). Dalam pembuatan perangkap ini
juga dilengkapi dengan kegiatan studi pembuatan zat atraktan untuk menarik
datangnya tikus ke perangkap bubu. Beberapa tahapan kegiatan yang dilakukan
dalam memilih dan mengembangkan desain alat perangkap tikus tersebut adalah
melalui : Tahap Informasi, tahap kreatif, tahap analisis, tahap pengembangan dan
tahap rekomendasi.
Penelitian lanjutan diarahkan terhadap pemanfaatan tubuh tikus sebagai
bahan yang memiliki arti ekonomi tertentu. Kulitnya dimanfaatkan sebagai bahan
pembuatan barang dari kulit dan tubuhnya dimanfaatkan sebagai sumber protein
dalam pembuatan pakan binatang peliharaan atau pakan binatang ternak Tulang
dan sisa-sisa usus lainnya dimanfaatkan sebagai pupuk yang bermanfaat melalui
BAB II
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Tikus merupakan hewan liar yang sering kali berasosiasi dengan
kehidupan manusia. Asosiasi tikus dengan manusia sering kali bersifat
parasitisme, dimana tikus mendapatkan keuntungan sedangkan manusia dirugikan.
Tikus telah lama dikenal sebagai hama penting di Indonesia, karena tingkat
kerusakan yang diakibatkannya cukup tinggi dan hampir terjadi pada setiap
musim.
Berdasarkan informasi dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Hortikultura Propinsi Jawa Barat, luas serangan tikus di lahan persawahan pada
musim tanam tahun 2001 mencapai 44.729 ha dengan intensitas serangan 22,8%.
Pada musim tanam 2004 kerusakan pertanaman di lahan petani rata-rata 15-30%
per tahun, bahkan kadang-kadang terjadi kerusakan yang parah antara 50-100%
(Anonim, 2004), sedangkan menurut Departemen Pertanian, kerugian akibat
serangan Organisme Penggangu Tumbuhan (OPT) dalam 10 tahun terakhir,
selama periode Januari - Juli mencapai 130.349 ton Gabah Kering Giling (GKG)
atau setara 225,2 miliar rupiah, yang sebagian besar diakibatkan oleh serangan
tikus. Luas serangan tikus secara nasional selama periode Januari - Juli 2005
mencapai 60.196 ha, diantaranya 1.371 ha terjadi dibeberapa wilayah seperti Jawa
Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Lampung
(Anonim, 2005)
Tikus saat ini masih merupakan hama utama tanaman pangan di Indonesia
khususnya padi. Luas serangan tikus pada tanaman padi rata-rata setiap tahunnya
mencapai 141.743 ha dengan intensitas serangan rata-rata 16,7 % (Direktorat
Perlintan 1999). Bahkan di beberapa daerah terjadi kekurangan pangan karena
sawahnya gagal total akibat serangan tikus (Lei, TJ.L. at al., 1998).
Tikus merupakan salah satu binatang hama yang sulit dikendalikan
dibandingkan dengan hama lainnya. Daya adaptasi hama ini terhadap
lingkungannya sangat baik, yaitu dapat memanfaatkan sumber makanan dari
berbagai jenis (omnivora). Hewan inipun berperilaku cerdik. Segala aktivitas
dilakukan malam hari dengan dukungan indera terlatih sehingga mobilitasnya
tinggi dan dalam habitat yang memadai cepat berkembang biak dengan daya
reproduksi tinggi dan berumur panjang dibandingkan hama lainnya. Tikus betina
sudah memasuki umur dewasa seksual pada usia 3 bulan dan dapat beranak 4 kali
dalam satu tahun. Masa kehamilannya hanya sekitar 21 hari, denganrata-rata
kelahiran anak sebanyak 6 ekor ( 2 s/d 18 ekor). Sehingga secara teoretis,
sepasang tikus dewasa seksual apabila dapat melahirkan anak rata-rata 6
ekor/kelahiran (3 jantan dan 3 betina) maka pada bulan ke 13 akan menghasilkan
sejumlah 2046 tikus (Natawigena H., 1993). Oleh sebab itu dalam cara
pengendaliannya harus mengacu pada konsep meminimalkan populasi awal tikus.
Beberapa cara pengendalian yang dapat diterapkan dalam mengendalikan
hama tikus adalah : (a). Penanaman/mengusahakan agar panen serentak dalam
areal yang seluas-luasnya yang dimaksudkan untuk menciptakan periode bera/fase
vegetatif yang seragam sehingga tikus tidak mendapatkan kesempatan
berkembang biak secara sempurna, karena terbatasnya sumber makanan dan
kualitas makanan. Disamping itu, karena pertumbuhan tanaman yang seragam,
maka pola pertumbuhan populasi tikus juga relatif seragam dan mudah dideteksi.
(b). Gropyokan atau perburuan tikus dilakukan dengan cara pemukulan terhadap
individu-individu tikus secara langsung, membongkar lubang aktif dengan
bantuan anjing maupun dipukul langsung, berburu dengan alat jala kremat dan
cara-cara setempat lainnya. Kadang-kadang gropyokan dilaksanakan juga pada
saat fase persemaian dengan cara pemukulan tikus pada malam hari dengan alat
penerang patromaks. (c). Sanitasi lingkungan dengan membuang semak-semak
atau rerumputan, akan mengurangi kesempatan hidup dan berkembang biak tikus.
(d). Pemanfaatan musuh alami tikus yang ada di alam, seperti kucing, anjing,
burung hantu, ular dan lain-lain. Pemanfaatan musuh alami burung hantu cukup
berhasil dalam menekan populasi hama tikus pada perkebunan kelapa sawit di
Sumatera Utara. Namun penggunaan predator tersebut pada tanaman pangan
masih perlu dikaji operasionalnya. (e). Pemasangan umpan yang hanya efektif
dilakukan pada saat pratanam dan pada saat fase vegetatif. (f). Pengemposan
(penggunaan emposan tikus dengan belerang, Kalusa) dilakukan pada liang liang
tikus pada saat tanaman memasuki fase generatif . (g) Pengendalian hama tikus
dengan tanaman perangkap, pagar plastik, dan bubu perangkap (Liem, 1991).
persemaian perangkap (tikus sangat tertarik pada persemaian yang baru disebar)
juga
persemaian (sumber makanan masih terbatas). Maka tikus akan terpancing untuk
mendatangi areal persemaian dan tikus terperangkap dalam bubu.
Perangkap bubu tikus merupakan alat bantu untuk memudahkan dalam
usaha pemerangkapan tikus pada areal persawahan yang sangat luas, juga sebagai
penentu keberhasilan dalam meminimumkan populasi awal tikus. Teknologi
perangkap bubu yang beredar dan dikenal saat ini masih sangat sederhana yaitu
menggunakan sistem seperti bubu untuk ikan. Penggunaan perangkap bubu
khususnya pada persemaian dapat menekan atau menghindari peningkatanm
populasi/kerusakan oleh tikus pada fase pertanaman. Dalam uji pendahuluan yang
pernah dilakukan, penggunaan perangkap bubu tikus dan tanaman perangkap
dinilai cukup efektif dan tampaknya berpotensi besar dalam penekanan populasi
tikus namun perlu dikaji kembali aplikasinya dalam skala luas,
efektifitas
maupun efisiensinya.
Berbagai cara pengendalian tikus telah dilakukan oleh petani baik secara
swadaya dan / atau dengan bantuan pemerintah, namun hasilnya masih belum
memuaskan, karena pengendalian tikus umumnya dilakukan setelah terjadi
kerusakan pada pertanaman yang cukup serius, sehingga sudah dapat dipastikan
bahwa hasilnya tidak memuaskan karena sudah terlambat. Pengendalian hama
tikus yang benar seyogyanya dilakukan secara terus menerus, dan tidak hanya
pada saat-saat terjadi eksplosi saja (Liem J.S., 1991).
Agar pengendalian dapat dilakukan secara terus menerus maka perlu dicari
suatu terobosan dalam cara mengendalikan tikus. Salah satu konsep cara
pengendalian tikus yang mempunyai prospek baik
mengkombinasikan alat perangkap bubu tikus dan menaikkan nilai ekonomi tikus.
Apabila tikus bernilai ekomomi maka diharapkan banyak orang akan berebut
mencari dan menangkap tikus. KUD Tani Mukti di daerah Cirebon telah merintis
pemanfaatan kulit tikus (pengembangan secara kecil-kecilan) : Kulit tikus telah
dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan jaket kulit dan tas (Kantor Departemen
Perdagangan Cirebon, 1989). Meskipun kecil, manfat/sumbangsih dari usaha ini
sangatlah berarti bagi semua pihak khususnya para petani. Karena nilai guna
(utility) dari pemanfaatan tikus yang semula merupakan musuh petani pada
umumnya, sekarang dijadikan ajang penghasilan bagi petani itu sendiri, yang pada
akhirnya berkaitan dengan pengupayaan swasembada pangan yang sedang
digalakkan oleh pemerintah.
sebagai usaha terobosan baru untuk komoditas ekspor dari kulit hewan, dalam
rangka penganeka ragaman penyediaan komoditas kulit. Mengingat penyediaan
kulit untuk kebutuhan dalam dan luar negeri masih kurang karena penyediaannya
masih terbatas pada kulit sapi, kambing, domba dan kerbau yang untuk
mendapatkannya memerlukn waktu yang cukup lama karena tergantung jumlah
ternak yang dipotong.
Beberapa tipe perangkap yang banyak beredar di pasaran yaitu berupa
perangkap hidup (live trap), perangkap mati (snap trap) dan perangkap berperekat
(sticky-board trap) (Priyambodo, 2003). Perangkap yang banyak digunakan oleh
petani yaitu tipe perangkap hidup yang sering disebut dengan perangkap bubu.
Perangkap bubu biasanya terbuat dari bahan ram kawat dengan pintu berbentuk
kerucut. Kelebihan perangkap bubu yaitu dapat menangkap tikus dalam jumlah
yang banyak dalam satu kali pemerangkapan serta dapat digunakan berkali-kali
dalam waktu yang cukup lama dengan pemeliharaan yang relatif sederhana.
Tetapi berdasarkan pengalaman para petani, perangkap bubu memiliki kelemahan
dimana tikus lebih banyak tertangkap pada awal pemerangkapan sedangkan pada
pemerangkapan berikutnya tikus yang tertangkap lebih sedikit dan bahkan tidak
ada yang tertangkap.
Dalam usaha mengembangkan potensi perangkap tikus, kendala yang
dihadapi yaitu masih sedikitnya sumber daya manusia yang mengeksplorasi
potensi perangkap tikus, sehingga perangkap yang saat ini digunakan masih
bersifat tradisional dengan daya tangkap yang kurang baik dan dapat
menimbulkan jera terhadap tikus. Di samping itu nilai estetika perangkap yang
masih rendah membuat lingkungan terlihat kumuh dan kotor apabila digunakan di
rumah ataupun di gudang penyimpanan. Untuk menyelesaikan masalah tersebut,
maka perlu dilakukan uji coba berbagai modifikasi tipe perangkap agar dihasilkan
tipe perangkap yang memiliki daya tangkap tinggi, tidak menimbulkan jera
terhadap tikus serta tidak menguranagi nilai estetika perangkap.
Dalam usaha mengendaliakan hama tikus, konsep yang menjadi acuan
adalah konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT). PHT adalah pendekatan
ekologi yang bersifat multidisiplin untuk pengelolaan populasi hama dengan
memanfaatkan beraneka ragam teknik pengendalian secara kompatibel dalam
suatu kesatuan kordinasi pengelolaan. Teknik pengendalian yang merupakan
bagian dari PHT yaitu teknik pengendalian secara mekanik. Pengendalian secara
mekanik bertujuan untuk mematikan atau memindahkan hama secara langsung
baik dengan tangan atau dengan bantuan alat dan bahan lain. Untuk meningkatkan
efektivitas pengendalian secara mekanik perlu dipelajari mengenai fenologi hama,
perilaku dan penyebaran hama. Dengan demikian dapat ditetapkan waktu
pengendalian secara mekanik yang tepat dan fase hidup yang menjadi sasaran
(Untung, 1993).
Teknik pengendalian secara mekanik untuk tikus gudang dapat dilakukan
dengan pemerangkapan yaitu dengan menggunakan perangkap hidup. Menurut
Priyambodo (2003), di dalam melakukan pemerangkapan tikus, yang perlu
diperhatikan yaitu sifat trap-shynessnya yaitu kejadian dimana tikus tidak mau
masuk ke dalam perangkap yang disediakan. Salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap keberhasilan pemerangkapan yaitu tipe pintu perangakap yang
digunakan, baik dari segi ukuran maupun cara kerja dari pintu tersebut. Untuk
dapat menangkap beberapa jenis tikus maka ukuran pintu perangkap dibuat
dengan menyesuaikan ukuran tubuh tikus yang paling besar. Dari beberapa jenis
tikus yang ditemui tersebut, tikus yang memiliki ukuran tubuh paling besar yaitu
tikus dari jenis B. indica dengan panjang tubuh rata-rata 360 - 510 mm dan bobot
tubuh 200 - 800 mm. Sedangkan untuk menentukan cara kerja pintu perangkap
yang akan digunakan, dapat dilihat dari perilaku tikus yang memiliki sifat neo
fobia (takut pada hal-hal yang baru). Dengan sifat neo fobia yang dimilikinya,
membuat tikus lebih berhati-hati dalam melakukan segala aktivitasnya sehingga
tidak menyukai situasi mencurigakan yang dapat mengancam dirinya. Untuk
mensiasati agar sifat neo fobia dan situasi yang mencurigakan tidak terjadi pada
saat pemerangkapan, maka tipe pintu yang digunakan yaitu pintu dengan sistem
gravitasi dan sistem jungkat-jungkit.
Pintu dengan sistem gravitasi merupakan pintu masuk pada perangkap
yang dipasang secara horizontal atau vertikal sehingga berada pada titik
keseimbangan. Cara kerja pintu ini yaitu pintu akan membuka ketika tikus
mendorongnya dan akan menutup setelah tikus melewatinya, sehingga pintu
kembali pada titik keseimbangannya. Sedangkan pintu dengan sistem jungkatjungkit merupakan pintu masuk perangkap yang dipasang secara horizontal
dibagian atas perangkap dan berada pada keadaan seimbang. Cara kerja pintu ini
yaitu dengan memanfaatkan berat badan tikus pada saat berada pada pintu masuk,
sehingga pintu akan mendapat tekanan dan akan terbuka. Selanjutnya pintu akan
menutup kembali ketika tikus tidak membebani pintu tersebut.
Selain tipe pintu, faktor lain yang berpengaruh terhadap keberhasilan
pemerangkapan adalah jumlah pintu perangkap dan penempatan perangkap.
Semakin banyak jumlah pintu yang terdapat pada perangkap, maka akan semakin
besar kesempatan perangkap untuk dapat dimasuki oleh tikus. Sedangkan untuk
penempatan perangkap, sedapat mungkin diletakan di jalur-jalur yang sering
dilalui oleh tikus, karena pada umumnya pergerakan tikus selalu mengikuti jejak
yang pernah dilaluinya dengan menggunakan alat penciumannya yang
berkembang baik. Menurut Priyambodo, (2003), penciuman tikus yang baik
digunakan untuk mencium urine dan sekresi genitalia sehingga dapat mengenali
wilayah pergerakan tikus lainnya, mengenali jejak tikus yang masih tergolong
10
sekelompoknya serta mendeteksi tikus betina yang sedang estrus. Selain itu
penciuman tikus dapat digunakan untuk mencari menemukan makanannya.
Untuk meningkatkan keberhasilan pada saat melakukan pemerangkapan,
penggunaan atraktan dalam bentuk umpan yang disimpan dalam perangkap
merupakan langkah sederhana agar tikus mau masuk ke dalam perangkap. Secara
umum tikus merupakan binatang yang tidak tahan terhadap lapar, sehingga akan
mencari makanan ke berbagai tempat yang terdapat makanannya baik dengan cara
sendiri-sendiri maupun berkelompok (Anonim, 1995). Menurut Rochman dkk
(1999), semua jenis tikus pada umumnya dapat memakan berbagai jenis pakan,
dari yang bergizi tinggi sampai yang bergizi rendah untuk bertahan hidup. Tetapi
jika ketersediaan makanan disekitarnya berlimpah, maka tikus akan memilih jenis
makanan yang paling baik dari yang lainnya. Dengan demikian atraktan yang
disimpan dalam perangkap harus memiliki daya tarik yang tinggi dibandingkan
dengan jenis bahan makanan disekitarnya.
11
BAB IV.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan pada skala laboratorium dan skala lapangan.
Beberapa Laboratorium yang terlibat dalam penelitian ini adalah :
Lab.
Vertebrata Hama Jurusam Ilmu Hama & Penyakit Tumbuhan, Fak. Pertanian
UNPAD; Lab. Alat mesin dan Tenaga Pertanian, Fakultas Teknik Industri dan
Alat Mesin Pertanian UNPAD. Lab. Produksi Ternak Jurusan Produksi Ternak,
Fakultas Peternakan UNPAD. Lab. Nutrisi Ikan, Fakultas Perikanan UNPAD.
Serta pada lahan persawahan milik petani di Sumedang., Tasik dan Banjaran.
Kegiatan penelitian meliputi limat kajian pokok yaitu : Identifikasi jenis tikus dan
studi perilakunya, Pembuatan atractan bagi tikus, Pembuatan rancang bangun
perangkap bubu tikus, Pemanfaatan tubuh tikus sebagai bahan yang memiliki arti
ekonomi dan penerapannya di lapangan.
4.1. Identifikasi jenis tikus dan studi perilaku tikus pada areal persawahan
Penelitian diawali dengan penentuan daerah endemik tikus pada areal
persawahan di beberapa lokasi di wilayah Sumedang, Tasik dan Banjaran.. Pada
lokasi terpilih diadakan penangkapan tikus dengan menggunakan perangkap (life
trap) untuk mengetahui jenis tikus yang dominan pada areal persawahan tersebut.
Identifikasi jenis tikus dilakukan secara sederhana dengan menggunakan metode
karakter morfologi dan non morfologi. Baik spesies tikus yang dominan maupun
yang tidak, dilakukan studi perilaku tikus terutama : daya loncat horizontal dan
vertikal, kelincahan, daya cengkram, daya ingat, kemampuan memanjat pada
bidang datar dengan kemiringan tertentu, dll. Identifikasi jenis tikus dan kajian
perilaku tikus dilakukan sebagai penelitian penunjang untuk keberhasilan alat
perangkap bubu model baru yang telah dibuat.
4.2. Pembuatan Zat Atractan Tikus
Zat atractan tikus adalah suatu zat yang mempunyai aroma tertentu yang
sangat disukai oleh tikus, sehingga mengundang datangnya tikus ke tempat
tertentu. Untuk memperoleh zat atractan tersebut, pertama-tama dilakukan analisa
11
12
lambung tikus dari sejumlah tikus secara random untuk menentukan jenis
makanan yang disukai oleh tikus. Jenis makanan yang teridentifikasi dikelompokkelompokkan antara jenis makanan yang dapat menimbulkan aroma dan tidak.
Jenis makanan yang menimbulkan aroma tertentu diuji preferensinya terhadap
tikus di laporatorium dengan menggunakan rancangan acak kelompok dan diuji
secara statistik. Jenis makanan yang menimbulkan aroma tertentu sebagai zat
atractan tikus dapat digunakan sebagai umpan untuk menarik tikus datang ke
perangkap bubu tikus.
4.3. Rancang bangun alat perangkap bubu tikus
Pada penelitian ini telah dirancang suatu model alat perangkap bubu tikus
yang lebih canggih dari yang pernah ada. Perangkap bubu ini memanfaatkan
sistem grafitasi bumi dengan per harus automatis tanpa penggunaan listrik.
Penelitian pendahuluan menggunakan metode analisis survey deskriptif dengan
tujuan untuk mengumpulkan data dan informasi yang berkaitan dengan alat
perangkap tikus dan kemungkinan model alat yang dapat dikembangkan. Dalam
kegiatan ini juga mencangkup pengumpulan informasi yang berkaitan dengan alat
perangkap hewan vertebrata yang sudah pernah dikembangkan. Pada gilirannya
desain yang ada tersebut turut pula dianalisis tingkat keberhasilannya dan tingkat
efisiensi biaya penggunaannya. Analisis didasarkan atas : (a). Faktor penentu
pemilihan alternatif alat yang diperlukan pemakai secara umum. (b). Peningkatan
fungsi kegunaan alat dan struktur desain perangkap tikus yang dapat
dikembangkan dan memiliki nilai fungsi yang tinggi dengan biaya pembuatan
yang serendah mungkin.
Tahap selanjutnya adalah membuat dan menganalisis alat perangkap tikus
dengan skala pilot plan yang efektif, praktis dan ergonomis dengan biaya
pembuatan yang seefisien mungkin. Beberapa tahapan kegiatan yang dilakukan
dalam memilih dan mengembangkan desain model alat perangkap bubu tikus
adalah sebagai berikut :
Tahap informasi, yaitu mengumpulkan informasi sebanyak mungkin
berkaitan dengan produk yang dipilih dan dikembangkan atau yang dibuat.
13
Tahap kreatif, yaitu tahap pengembangan alternatif desain yang dapat dibuat dan
dikembangkan.
Tahap Analisis, yaitu mengembangkan ide-ide kreatif untuk melihat
kelebihan dan kekurangan disain yang ada yang dibuat. Dengan demikian pada
tahapan ini dapat dibangkitkan serangkaian alternatif disain yang mungkin
diwujudkan.
Tahap Pengembangan, yaitu memilih dan mengembangkan alternatif
disain yang paling baik ditinjau dari beberapa faktor, seperti : teknis, ergonomi,
lingkungan, sosial dan ekonomi serta berbagai faktor lainnya.
Tahap Presentasi dan Rekomendasi, yaitu mengimplementasikan disain
yang dihasilkan serta merekomendasikan penggunaannya dengan mengacu pada
standarisasi pemakaian yang ada.
4.4. Pemanfaatan kulit tikus sebagai bahan yang mempunyai arti ekomomi
Kulit tikus dimanfaatkan menjadi bahan yang bernilai ekonomi. Bagianbagian yang diambil hanya kulit bagian badannya saja (kepala ekor, dan bagian
kaki dipisahkan untuk dimanfaatkan sebagai pakan ikan, pakan hewan dan
pupuk). Setelah dipotong lalu dikuliti, dengan membelah dari tengah di bagian
dadanya (perut).
direntangkan supaya lurus ditempat yang teduh Selanjutnya dapat diberi warna
sesuai dengan rencana produksi. Potongan-potongan kulit tikus tadi kemudian
dijahit satu dengan yang lainnya Untuk selanjutnya dapat dibuat barang produk
yang dikehendaki.
4.5. Pemanfaatan tubuh tikus sebagai pakan ikan buatan dalam bentuk pellet
Dalam proses pembuatan pellet ikan, secara garis besar dapat diuraikan
sebagai berikut : Tubuh tikus sebagai sumber protein dihancurkan dengan alat
penggiling daging dan diproses melalui proses dehidrasi sehingga berbentuk
tepung. Tepung tikus dicampur dengan dedak halus, tapioka/cmc serta beberapa
mineral dan vitamin. Pellet dibuat dalam beberapa jenis formulasi dengan
perbandingan persentase yang berbeda, dengan batasan : Protein 30%, Serat
kasar 5%, lemak 5% dan energi 3000 kkal. Penelitian di lakukan di
14
yang
terbaik
kemudian
disempurnakan
pembuatannya
dengan
di lapangan melalui rancang bangun perangkap bubu tikus (plus atractan) dan
pemanfaatan tubuh tikus sebagai bahan yang mempunyai arti ekonomi tertentu,
perlu diuji keberhasilannya di lapangan. Penerapan sistem pengendalian hama
tikus ini dilakukan di tiga lokasi daerah endemik tikus (Sumedang, Tasik dan
Banjaran).
15
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.
ekor
dan
kepala
;Lebar gigi pengerat ;Rumus puting susu dan Tekstur rambutnya sedang karakter
nonmorfologi dengan mengetahui habitat tempat tikus tersebut ditemukan.
Identifikasi tikus dominan berdasarkan urutannya adalah sebagai berikut :
A. Hasil identifikasi pada tikus dominan yang mewakili didapat data sebagai
berikut :
1.
: persawahan
2.
: 389
3.
: 13
4.
5.
: 155
6.
:1
7.
:-
8.
Perbandingan ekor/tubuh
: 168 : 121
9.
Tekstur rambut
: Agak halu
10.
Warna rambut
: Coklat kelabu
15
16
: 522
: 26
: 48
:-
:3
:-
8. Perbandingan ekor/tubuh
: 239 : 283
9. Tekstur rambut
: coklat keabu-abuan
Setelah di identifikasi, diduga jenis tikus ini adalah Bandicota indica (Tikus
wirok)
Tekstur rambut
: Lembut
2.
Warna rambut
: Coklat kelabu
3.
Habitat
: persawahan
4.
: 55-85
5.
: 9-12
6.
7.
: 20
8.
: < 1,5
9.
:3+2
10.
Perbandingan ekor/tubuh
:<
Tikus yang teridentifikasi tersebut diduga adalah Mus caroli Kloss (Mencit
Sawah)
: 205 mm
3. Panjang telinga
: 20 mm
17
: 40 mm
: 219 gr
: 3 mm
: 2+3
9. Tekstur rambutnya
: Kasar
:Hitam
Tekstur rambut
: Halus
2.
Warna rambut
: Coklat
3.
Habitat
4.
: 195
5.
:1
6.
7.
:-
8.
:1
9.
:-
10.
Perbandingan ekor/tubuh
: 86 : 109
2. Warna rambut
: Coklat
3. Habitat
: Sawah
: 224
: 14
: 21
18
: 47
: 1.6
:2+2
: 96 :128
Setelah di identifikasi, diduga jenis tikus ini adalah Rattus exulans Peale
(Tikus Ladang)
Tekstur rambut
2.
Warna rambut
: Coklat kelabu
3.
Habitat
4.
: 294
5.
: 21
6.
7.
: 162
8.
: 2.8
9.
:-
10.
Perbandingan ekor/tubuh
: 186 :206
Setelah di identifikasi, diduga jenis tikus ini adalah Rattus tiomanicus Miller
(Tikus Belukar)
Berdasarkan hasil identifikasi tikus tersebut urutan tikus dari yang paling
dominan sampai yang paling jarang ditemukan di sekitar persawahan dan
pemukiman adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Urutan Tikus yang Paling Sering Dijumpai Sampai yang Paling Jarana
Ditemukan Disekitar Persawahan dan Pemukiman Penduduk
Urutan
1
2
3
4
5
6
7
Jenis Tikus
Rattus argentiventer Rob. & Kloss. (Tikus Sawah)
Bandicota indica (Tikus wirok)
Mus caroli Kloss (Mencit Sawah)
Rattus-rattus diardii Linn (Tikus Rumah)
Mus musculus Waterhouse (Mencit Rumah)
Rattus exulans Peale (Tikus Ladang)
Rattus tiomanicus Miller (Tikus Belukar)
19
tikus
sangat
terampil
mendaki
atau
memanjati
dinding
berpermukaan kasar yang berdiri tegak. berjalan pada seutas kawat. Tikus
juga dapat meloncat vertikal setinggi 60-100 cm dan untuk mencit 25 cm.
Tikus dapat meloncat sejauh 120-240 cm. Tikus merupakan binatang yang
dapat berenang dengan baik dan dapat menembus pipa paralon yang berair.
Tikus mempunyai kekerasan enamel pada ujung gigi seri sebelah luar pada
5,5 (kekerasan geologi). Bahan-bahan yang mempunyai skala kekerasan
geologi lebih dari 5,5 tidak dapat dirusak oleh tikus. Disamping kemampuan
fisik yang baik panca indera tikus juga memiliki kemampuan yang baik pula,
Indera sentuhnya sangat baik. Tikus memiliki rambut syaraf (Vibrissae)
berupa rambut peraba yang panjang dan tumbuh di depan matanya, kumis,
alis dan rambut panjang di antara bulu-bulunya.
Indera penglihatannya kurang baik. Tikus buta warna terhadap warna
merah. Indera penciumannya tajam. Hingga tikus dapat membedakan
antara lawan dengan kawan.. bagi tikus yang birahi dapat dengan mudah
mencari
tikus
pasangannya.
Indera
pendengarannya
tajam.
Dapat
20
21
hewan yang aktif pada malam hari (nocturnal), sehingga mencari makanpun
dilakukan menjelang malam hari sampai menjelang subuh (Rochman, 1992).
Daya pikat salah satu jenis formulasi umpan sudah dapat diketahui pada
hari ke dua sampai hari ke delapan setelah umpan diberikan, umpan dengan
formulasi telur burung puyuh merupakan umpan yang paling disukai tikus sawah
dengan rata-rata umpan yang dimakan mencapai 2,4486 g per hari.
Pengujian daya pikat beberapa formulasi umpan terhadap tikus sawah
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-rata Jumlah Umpan yang Dimakan Tikus Sawah (g/hari)
Perlakuan
Formulasi keju
Formulasi cokelat
Formulasi ikan asin
Formulasi tepung kulit udang
Formulasi kelapa bakar
Formulasi telur burung puyuh
Umpan pembanding
Umpan kontrol
Keterangan :
Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut Uji
Jarak Berganda Duncan taraf 5%.
22
23
Tabel 3.
Persentase Umpan yang Dimakan Tikus dan Daya Pikat Umpan dari
Masing-masing Perlakuan
No.
Urut
Perlakuan
Persentase
Umpan yang
Dimakan (%)
30
Daya Pikat
Formulasi keju
21
3,3
Formulasi cokelat
15,3
2,4
10
1,6
8,1
1,3
Umpan kontrol
6,4
4,7
0,7
Umpan pembanding
4,5
0,7
Dari data hasil pengamatan diketahui bahwa semua perlakuan umpan yang
diberikan setiap harinya dimakan oleh tikus dengan jumlah yang berbeda-beda
Hal ini terjadi karena tikus adalah binatang yang selalu curiga terhadap segala
sesuatu yang baru, tetapi juga memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar,
karenanya tikus akan mencoba atau mencicipi umpan yang diganti setiap hari
walaupun umpan itu sudah dikenalnya. Tikus memiliki indera pengecap yang
sangat sensitif dan dapat mengetahui zat-zat yang terkandung dalam suatu bahan
makanan melalui indera pengecapnya itu. Oleh karena itu untuk menentukan zatzat yang dibutuhkannya, tikus mencicipi makanan yang tersedia terlebih dahulu.
Tikus dapat menentukan jumlah zat-zat yang diperlukan untuk kelangsungan
hidupnya. Zat-zat pada setiap jenis umpan yang tersedia berbeda-beda sehingga
untuk memenuhi kebutuhannya, tikus setiap hari mengonsumsi semua jenis
umpan yang tersedia dalam jumlah yang sesuai dengan yang dibutuhkan.
24
selama
percobaan
berlangsung,
diketahui
bahwa
suhu
maksimum adalah 30,5C, suhu minimum adalah 27C dan suhu rata-rata 28C.
Kelembaban maksimum adalah 76%, kelembaban minimum adalah 60% dan
kelembaban rata-rata 73%. Kisaran suhu dan kelembaban tersebut termasuk dalam
kisaran suhu dan kelembaban yang normal bagi kehidupan tikus (Satriadi, 1994).
5.2.3. Analisis Ekonomi
Analisis ekonomi pembuatan umpan dihitung untuk mengetahui berapa
biaya yang dikeluarkan dalam pembuatan umpan dari masing-masing formulasi
umpan. Berdasarkan penghitungan diketahui bahwa biaya yang paling banyak
dikeluarkan adalah untuk pembuatan umpan dengan bahan penyedap keju, dan
biaya yang paling sedikit dikeluarkan adalah untuk pembuatan umpan kontrol.
Biaya yang dikeluarkan untuk pembuatan umpan dari mulai yang paling tinggi
hingga yang paling rendah secara berturut-turut adalah umpan dengan formulasi
keju, cokelat, telur burung puyuh, ikan asin, tepung kulit udang, kelapa bakar, dan
umpan kontrol (Tabel 4).
Tabel 4 Biaya Pembuatan Umpan
Perlakuan
Formulasi keju
29.986
Formulasi cokelat
29.062
14.856
14.031
13.205
15.021
Umpan kontrol
13.041
25
5.2.4. Daya Tahan Umpan terhadap Jamur dan Bakteri dan Daya Tahan
Aroma Umpan
Daya tahan umpan terhadap jamur di udara terbuka dan tertutup plastik di
dalam kemasan disajikan dalam Tabel 5.
Tabel 5. Daya Tahan Umpan Terhadap Jamur
Perlakuan
Udara Terbuka
Tetutup
(Hari)
(Hari)
Formulasi keju
34
93
Formulasi cokelat
34
93
34
93
34
93
34
93
12
65
Umpan pembanding
34
93
Umpan kontrol
34
93
Pada hari ke-12 setelah umpan dikeluarkan dari kemasan, umpan dengan
bahan penyedap telur burung puyuh mulai ditumbuhi jamur, setelah diidentifikasi
ternyata jamur tersebut adalah jamur Aspergillus sp. (Gambar 1). Jamur ini berasal
pada beras yang tersimpan (Joedo, 2005). Telur burung puyuh yang mengandung
banyak air tercampur dengan beras yang terkontaminasi jamur Aspergillus sp.
Menyebabkan perkembangan jamur menjadi lebih cepat. Sedangkan pada umpan
berbahan penyedap ikan asin, tepung kulit udang, keju, cokelat, kelapa bakar,
umpan pembanding dan umpan kontrol di udara terbuka mulai muncul jamur
Aspergillus sp. Pada hari ke 34 setelah umpan dikeluarkan dari kemasan. Hal ini
diduga karena udara lembab yang membawa butiran-butiran air terserap oleh
umpan, sehingga lama kelamaan umpan tersebut mengandung lebih banyak air
yang menyebabkan jamur yang terdapat pada beras menjadi berkembang.
26
Pengujian daya tahan umpan terhadap jamur pada udara tertutup, pada
umpan dengan bahan penyedap telur burung puyuh terdapat jamur yang mulai
muncul pada hari ke 65 setelah umpan dibuat. Daya tahan umpan berbahan
penyedap ikan asin, tepung kulit udang, keju, cokelat, kelapa bakar, umpan
pembanding dan umpan kontrol terhadap jamur di udara tertutup adalah 93 hari
setelah umpan dibuat.
Penggunaan asam benzoate pada pembuatan umpan ini dapat mencegah
munculnya bakteri, selama pengamatan umpan pada udara tertutup dan udara
terbuka tidak terdapat bakteri yang menyerang umpan, karena asam benzoate
berfungsi sebagai bahan pengawet yang mencegah munculnya bakteri
(Departemen Kesehatan, 2005).
Daya tahan aroma umpan berbahan penyedap keju, cokelat, ikan asin,
tepung kulit udang, dan kelapa bakar adalah 93 hari setelah umpan di buat..
Cuaca Panas
(Hari)
83
83
83
83
83
Kondisi Hujan
(Hari)
19
19
19
19
19
27
83
83
83
19
4
19
28
28
29
30
31
dalam ruangan pintu masuk perangkap yang dibatasi oleh ram kawat, sehingga
terdapat dua ruangan dalam pintu masuk perangkap.
32
Total
Rata-
Perangkap
II
III
IV
VI
tangkapan
rata
12
2,00
17
2,83
1,33
Kontrol
0,67
33
bubu ini tergolong sedikit, hal ini berkaitan dengan kemarau yang sangat panjang
yang menyebabkan populasi tikus di beberapa wilayah tertentu turun cukup tajam.
Dari hasil penelitian ini dapat diketahui jenis perangkap tipe B memiliki
jumlah tangkapan yang paling banyak dibandingkan dengan tipe perangkap yang
lainnya. Tipe perangkap B lebih baik dibandingkan dengan perangkap lainnya hal
ini diduga kuat karena pada tipe perangkap B memiliki desain yang baik sebagai
perangkap bubu, pada desain perangkap B, apabila ada tikus yang masuk maka
tikus tersebut akan terpaksa tergiring pada tempat tertentu yang lebih tersembunyi,
tempat tersebut cukup menjorok ke belakang dan terhalang oleh sekat dari plat
baja sehingga tidak dimungkinkan ada komunikasi antar tikus. Sehingga tikus
yang belakangan akan masuk peramngkap tidak melihat adanya tanda bahaya.
Berbeda dengan perangkap tipe lainnya yang tetap memungkinkan adanya
komunikasi
antar
tikus,
sehingga
tikus
yang
sudah
tertangkap
akan
memperlihatkan kegelisahan dan menjadikan tikus yang baru datang akan takut
dan mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam perangkap bubu tersebut.
Sehingga untuk selanjutnya perangkap bubu tipe B dapat direkomendasikan
sebagai tipe perangkap bubu masa depan.
34
35
36
37
dibentuk tadi akan menjadi matang dan keras yang selanjutnya dapat diberikan
sebagai pakan ikan hias.
B. Pembuatan Pelet Ikan hias (Formula II)
Dalam proses pembuatan pelet, secara garis besar dapat diuraikan sebagai
berikut: Daging tikus sebagai sumber protein dihancurkan dengan alat penggiling
daging, dan diproses dengan melalui proses dehidrasi ( dimasukan kedalam oven
70C selama 2 hari), kemudian dihancurkan, sehingga berbentuk tepung. 5 gram
tepung tikus dicampur dengan 15 gram tepung terigu aduk sampai rata,
tambahkan tiga butir telur (diambil kuningnya saja) dan air secukupnya hingga
adonan menjadi kalis. Cetak menjadi bentuk pelet yang di inginkan kemudian
dipanaskan dalam oven dengan suhu 100 C selama 20 menit.Dalam pembuatan
pelet ikan perlu diperhatikan beberapa aspek tertentu seperti: kehalusan bahan
bakunya, kekerasannya, daya tahan dalam air, daya mengapungnya, kandungan
zat gizi, dan preferensinya terhadap hewan pengkonsumsi, cara pengemasan, cara
pemasaran, sehingga mempunyai prospek untuk dijual.
C. Pembuatan Pelet Ikan hias (Formula III)
Daging tikus dioven salama 24 jam pada suhu 70C, Daging yang telah
matang tadi selanjutnya ditumbuk dengan menggunakan mortal sampai menjadi
tepung.. Tepung tikus yang sudah jadi selanjutnya dicampur dengan tepung cacing
merah (sebagai atractan), terigu, tapioka,dan kuning telur sehingga merata.
Tambahkan sedikit air hingga menjadi adonan yang mudah dibentuk Adonan
selanjutnya dibentuk menjadi bulat-bulat kecil dan dioven selama 20 menit pada
suhu 100 C. Hasil akahirnya adonan yang sudah debentuk tadi akan menjadi
matang dan keras yang selanjutnya siap digunakan sebagai pakan ikan hias.
Produk yang dibuat merupakan hasil olahan yang bahan baku utama
adalah daging tikus dari berat produk yang diperkirakan saat sebelum dioven
menyusut hingga 50%. Produk ini dikemas dalam kemasan tertentu agar tahan
lama.
Pengujian preferensi terhadap ikan dilakukan dalam beberapa Aquarium,
dan hasil produk ini telah mengapung selama 2 jam. Namun bagi ikan akan cepat
38
peka tercium karena aroma amis yang sangat pekat jika dimasukan pada air. Hasil
terbaik dalam hal preferensi ikan terhadap umpan diperlihatkan oleh formulasi III.
Produk yang dibuat memiliki kualitas yang cukup baik terbukti dengan
keberhasilan dari beberapa faktor yang merupakan stndarisasi pakan ikan Dengan
komposisi seperti yang tertera pada Tabel 5.
Tepung terigu
30
Kuning Telur
30
Daging tikus
25
Tapioka
10
Gambar 5. Beberapa formula pakan ikan hias dari tepung daging tikus
39
5.6.
menjadi cepat terurai oleh bakteri, karena kandungan zat dalam tubuh tikus.
Dengan inovasi lain tubuh tikus dijadikan sebagai nutrisi tambahan untuk
mempercepat penguraian sekaligus sebagai pemicu perkembangan bakteri dalam
tanah yang diakibatkan oleh beberapa kandungan enzim, protein dan bakteri
dalam tubuh tikus. Hal ini akan meningkatkan kualitas pupuk bokashi dengan
bertambahnya sumber carbon dan kalsium yang berasal dari ekor, jeroan usus dan
tulang tikus. Tulang, usus, dan sisa-sisa yang lainnya dari tikus dihancurkan
dengan alat penggiling, kemudian dicampur dengan limbah organik dan serbuk
gergaji untuk selanjutnya diberi beberapa perlakuan bakteri dan mikroba yang
efektif( EM4) yaitu actinomyces, lactobacillus strain bakteri fermentasi, strain
jamur fermentasi untuk mempercepat proses degradasi alamiah. Setelah melalui
proses degradasi secara sempurna , bahan tersebut dikeringkan untuk selanjutnya
dapat dimanfaatkan sebagi pupuk. Tepung kering berupa pupuk alamiah akan
bermanfaat sebagi penyubur tanaman . Formulasi bokashi plus ini dikemas dalam
wadah tertentu sehingga layak untuk dijual.
Gambar 4. Pupuk Bokashi plus yang memanfaatkan ekor, jeroan dan usus tikus
40
Prosedur cara pembuatan Bokashi Pluss adalah sebagai berikut : dua liter
air bersih ditambah satu sendok makan gula pasir dua sendok makan Larutan EM4
(aduk sampai gula larut, dan eramkan 24 jam), Siapkan lubang di tanah sedalam
50 cm lahan dipilih ditempat yang teduh. Campurkan sampah organik, dedak,
sekam, tambah dengan :
kemudian aduk sampai merata. Siramkan larutan EM4 ke dalam campuran tadi
sambil diaduk-aduk sampai bila dikepal dengan tangan tidak megar. ketebalan
adonan tidak sampai lebih dari 25 cm, selanjutnya ditutup dengan karung goni.
Aduklah setiap 6 jam sekali atau 3 kali sehari selama 4 hari, kemudian biarkan
sampai hari ke-28. pupuk siap digunakan untuk kesuburan tanaman
5.7. Penerapan Sistem Pengendalian Hama Tikus Secara Kontinu dan
Ekonomis di Lapangan
Sosialisasi Penerapan sistem pengendalian hama tikus ini dilakukan di tiga
lokasi daerah endemik tikus (Sumedang, Tasik, Banjaran). Sosialisasi dihadiri
oleh : kelompok petani dan pemuka masyarakat, Kelompok tani dan pemuka
masyarakat cukup antusias dalam kegiatan ini. Sosialisasi meliputi : Pengenalan
perangkat bubu tikus sistem gravitasi, cara kerja alat bubu tikus dan cara
pemasangan perangkap bubu tikusdi lapangan.; Pembuatan atractan tikus yang
dapat menarik tikus datang ke perangkap; Sosialisasi dan pelatihan pemanfaatan
tubuh tikus menjadi bahan yang mempunyai nilai ekonomi tertentu.
Selanjutnya telah ditemukan cara pemasangan perangkap bubu ini
dilapangan, cara yang dinilai berhasil adalah dengan cara pemasangan perangkap
bubu tikus ini di petak benih padi yang dipagari dengan tirai plastik. Aroma benih
padi yang sedang tumbuh di tengah persawahan akan menjadi atractan untuk
datangnya
perangkap untuk setiap petak pembenihan padi yang di letakkan disetiap sudut
petak pembenihan padi.
Team dari Perguruan tinggi UNPAD akan terus mendampingi kelompok
organisasi pengendalian hama tikus yang baru dibentuk ini sampai dapat mandiri
dan menjadi contoh nyata bagi kelompok-kelompok petani lainnya.
41
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.
Kesimpulan
1. Ditemukan perangkap bubu tikus (temuan baru) dengan ukuran dan desain
baru yang efektif untuk menangkap tikus dalam jumlah yang banyak.
Perangkap tikus jenis bubu tersebut adalah Perangkap Bubu Sistem Gravitasi
B yang merupakan perangkap bubu tikus yang paling baik.
2. Telah ditemukan suatu atraktan tikus, yaitu suatu zat penarik tikus, dengan
formulasi Keju sebagai berikut : 51% beras + 0,5% vetsin + 3% minyak sawit
+ 0,5% asam benzoat + 30% parafin padat yang ditambahkan dengan 15%
keju; dan Formulasi Telur burung puyuh sebagai berikut : 51% beras + 0,5%
vetsin + 3% minyak sawit + 0,5% asam benzoat + 30% parafin padat yang
ditambahkan dengan 15% telur burung puyuh.
3. Pemanfaatan kulit tikus sebagai sarung HP dan Hiasan Kulit dan asesoris
lainnya telah berhasil dibuat dan dikembangkan, juga pemanfaatan tubuh
tikus sebagai pakan hewan peliharaan dan pupuk bokashi plus sudah berhasil
dibuat. Kegiatan penelitian ini telah terbukti dapat meningkatkan nilai
ekonomi tikus dan dapat merangsang orang untuk menangkap tikus dalam
jumlah banyak dan terus menerus.
4. Perpaduan kegiatan antara : Rancang bangun perangkap tikus; pemilihan zat
atraktan tikus dan pemanfaatan tubuh tikus sebagai bahan yang memiliki arti
ekonomi tertentu, adalah metode pengendalian hama tikus yang sangat efektif,
ekonomis, kontinu, permanent dan sangat ramah lingkungan dan merupakan
:Sistem Pengendalian Hama Tikus Secara Kontinu dan Ekonomis
6.2.
Saran
Agar supaya sistem pengendalian hama tikus ini
dapat berhasil
42
pemanfaatan tubuh tikus dan cara pembuatan perangkap tikus sistem bubu beserta
atraktan yang digunakan. Penelitian selanjutnya adalah mencari strategi cara
pemasangan perangkap bubu tikus di lapangan dan kapan serta pada saat
bagaimana perangkap bubu tikus itu tepat dilaksanakan dan dipasang di lapangan.
Kemudian tikus-tikus yang tertangkap dimanfaatkan sehingga menjadi barang
yang mempunyai nilai ekonomi. Pada kegiatan ini diupayakan strategi pemasaran
produk hasil olahan bahan dasar dari tubuh tikus dengan dibantu oleh dinas
perindustrian dan perdagangan. Serangkaian kegiatan ini diharapkan dapat
merealisasikan sistem pengendalian hama tikus secara kontinu, ekonomis dan
permanen di lapangan. Pihak yayasan BIMMA (Bina Masyarakat Madani yaitu
Yayasan yang telah menjalin kerjasama dengan laboratorium Vertebrata Hama
UNPAD) dan perguruan tinggi UNPAD terus mendampingi kelompok organisasi
pengendalian hama tikus ini sampai dapat mandiri dan menjadi contoh nyata bagi
kelompok-kelompok tani lainnya dalam cara mengendalikan hama tikus di
wilayahnya.
42
43
DAFTAR PUSTAKA
.Anonim. 1994. Pedoman Pelaksanaan Gerakan Pengendalian Tikus Terpadu.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan. Pemerintah Provinsi Daerah
Tingkat I. Jawa Barat.
_______. 1995. PHT 3 (Pelatihan Untuk Pelatih Pengendalian Hama Terpadu
Dengan Tekanan Pada Tikus). Departemen Pertanian 1995
_______. 2000a. Keju, Meski Bau Disukai Seluruh Dunia. http://www.sedapsekejap.com/artikel/2000/edisi5/files/ulas.htm. Diakses tanggal 20
Januari 2006.
_______. 2000b. http://www.rembang.go.id/artikelttg/artikelttg.html. Diakses
tanggal 20 Januari 2006.
_______. 2002. Keju a-z. http://jalankenangan.net/karya/keju.html. Diakses
tanggal 15 Desember 2005.
_______. 2004. Pengendalian Tikus dengan Sistem Bubu Perangkap (TBS) Di
Lahan Sawah Irigasi. Balai Penelitian Tanaman Padi. Subang
_______.
_______. . 2005. Sekitar 130.349 Ton GKG Hilang Akibat OPT Dalam 10 Tahun.
Available online at : www.kapanlagi.com. 2005. Diakses tanggal 10 Juni
2005.
_______.
2006a.
Khasiat
Semula
Jadi
Koko.
http://www.sabah.edu.my/itsr005/3L%20web%202020/khasiat.htm.
Diakses tanggal 20 Januari 2006.
43
44
_______.
W.
A.
1995.
Bahaya
Termakan
Racun
Tikus.
http://www.prn2.usm.my/mainsite/bulletin/racun/1995/tikus.html.
Diakses tanggal 10 April 2006.
Edison.
44
45
45
46
N.
2003.
Tikus.
http://www.isnet.org/archivemilis/archive95/sep95/0018.html. Diakses tanggal 13 Juli 2005.
U.K Trap Maker. 2005. The Trap Man, Monarch Rat Trap Multi Catch
Repeating Live Catch Humane Rat Trap, Our Snappy Rat Trap, Family
Multi Catch Humane Rat Trap and the Self Set Rat Trap.
http://www.trapman.co.uk/rat-traps.htm. Diakses tanggal 10 Juli
2005.
46
47
Widjaja,
S.
1993. Limbah
Udang
Pengganti
Tepung
Udang.
http://www.poultryindonesia.com/modules.php?name=News&file=a
rticle&sid=721. Diakses tanggal 10 Juli 2005.
Cahyani F.N. 2002. Uji Beberapa Bahan Repelen Nabati Terhadap Intensitas
Kerusakan Tanaman Padi Oleh Tikus (Rattus argentiventer Robb &
Kloss) Di Desa Mekar Pawitran, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung.
Skripsi Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian,
Universitas Padjadjaran.
Dinas Perlindungan Tanaman Pangan Dan Hortikultura. 2002. Laporan Tahunan
2001. Pemerintah Propinsi Jawa Barat Dinas Pertanian Tanaman Pangan
Dan Hortikultura. 171 hlm.
Identifikasi Penyebaran Hama Tanaman di Daerah Transmigrasi (enam propinsi)
(Kerjasama Dengan Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah
Hutan, DIRJEN Bina Masyarakat Transmigrasi Direktorat Bina Usaha
Ekonomi Tahun Anggaran 1996/1997)
IPTEKnet. 2005. Perangkap Tikus Inovasi Baru Beraroma Cokelat. Available
online at : http://www.iptek.net.id. Diakses tanggal 13 Juli 2006.
Liem Tjwan Lok, W.Daradjat Natawigena, Sumeno,(1993) Preferensi Tikus
Sawah (Rattus argentiventer Rob & Kloss) Terhadap Umpan yang Diberi
Bahan Penyedap Pada Tanaman Padi (Oryza sativa L.) Fakultas Pertaian
UNPAD
Maman Suparman, J.S.Liem, W.Daradjat Natawigena, (1993) Pengujian Daya
Pikat Beberapa Zat Tambahan Pada Umpan Bagi Tikus Sawah (Rattus
argentiventer Rob & Kloss) Pada Empat Fase Stadia Generatif Tanaman
Padi. Fakultas Pertanian UNPAD
Natawigena, H. 1993. Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Pangan. Trigenda
Karya. Bandung. 237 hal.
Priyambodo, S. 2003. Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Penebar Swadaya.
Jakarta. 135 hlm.
Rochman, D. Sukarna, dan Suwalan. 1999. Pola Perkembangbiakan Tikus Sawah
Rattus Argentiventer Pada Berbagai Daerah Berpola Tanam Padi-Padi Di
42
Subang. Penelitian Pertanian 2 (2): 77-80.
Sukasmono. 1985. Sifat-Sifat Penting Tikus Rumah Yang Dapat Dipakai Sebagai
Pertimbangan Dalam Usaha Pengendaliannya. Fakultas Pascasarjana
Universitas Padjadjaran. Bandung.
47
48
48
49
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tata Letak Percobaan
ULANGAN I
ULANGAN II
G
F
E
F
ULANGAN III
E
ULANGAN IV
F
A
Keterangan :
A = Formulasi keju, B = Formulasi cokelat, C = Formulasi ikan asin, D = Formulasi tepung
kulit udang, E = Formulasi kelapa bakar, F = Formulasi telur burung puyuh, G =
Pembanding, H = Kontrol.
49
50
Keterangan :
51
Parafin padat 1 kg
= Rp 12.500
Beras 1 kg
= Rp 4.000
Asam benzoat 50 g
= Rp 2.500
= Rp 2.500
Vetsin 50 g
= Rp 1.150
= Rp 40.000
Cokelat bubuk 45 g
= Rp 4.550
Kelapa 500 g
= Rp 2.500
= Rp 16.000
= Rp 5.000
Ikan asin 1 kg
= Rp 15.000
Beras 460 g
= Rp 1.840
Keju 150 g
= Rp 16.005
Vetsin 5 g
= Rp 115
Minyak sawit 30 cc
= Rp 300
Asam benzoat 5 g
= Rp 250
= Rp 3.750
Jumlah
= Rp 27.260
51
52
= Rp 24.986
Beras 460 g
= Rp 1.840
= Rp 15.165
Vetsin 5 g
= Rp 115
Minyak sawit 30 cc
= Rp 300
Asam benzoat 5 g
= Rp 250
= Rp 3.750
Jumlah
= Rp 26.420
= Rp 24.062
Beras 460 g
= Rp 1.840
= Rp 2.250
Vetsin 5 g
= Rp 115
Minyak sawit 30 cc
= Rp 300
Asam benzoat 5 g
= Rp 250
= Rp 3.750
Jumlah
= Rp 13.505
= Rp 9.856
52
53
Beras 460 g
Vetsin 5 g
= Rp 115
Minyak sawit 30 cc
= Rp 300
Asam benzoat 5 g
= Rp 250
= Rp 3.750
Jumlah
= Rp 1.840
= Rp 13.655
= Rp 10.021
Beras 460 g
= Rp 1.840
= Rp 1.500
Vetsin 5 g
= Rp 115
Minyak sawit 30 cc
= Rp 300
Asam benzoat 5 g
= Rp 250
= Rp 3.750
Jumlah
= Rp 12.755
= Rp 9.031
53
54
Beras 460 g
= Rp 1.840
Kelapa 150 g
= Rp 750
Vetsin 5 g
= Rp 115
Minyak sawit 30 cc
= Rp 300
Asam benzoat 5 g
= Rp 250
= Rp 3.750
Jumlah
= Rp 12.005
= Rp 8.205
Beras 460 g
= Rp 1.840
Vetsin 5 g
= Rp 115
Minyak sawit 30 cc
= Rp 300
Asam benzoat 5 g
= Rp 250
= Rp 3.750
Jumlah
= Rp 11.855
= Rp 8.041
54
= Rp 1.186
55
Ulangan (g)
Total
Rata-rata
UI
U II
U III
U IV
4,2283
2,9845
0.9633
0,9022
9,0783
2,2696
0,0715
1,3879
1,0562
0,7355
3,2511
0,8128
0,4537
0,4155
0.9853
0,4222
2,2767
0,5692
0,1759
0,1591
0,0688
0,1973
0,6011
0,1503
0,0247
0,3965
1,4994
0,5325
2,4531
0,6133
0,4918
1,7100
4,2804
1,9251
8,4073
2,1018
3,1380
0,0122
0,1577
0,1893
3,4972
0,8743
0,0492
0,9993
2,2086
0,0938
3,3509
0,8377
Total
8,6331
8,0650
11,2197
4,9979
32,9157
8,2290
Keterangan :
A = Formulasi keju, B = Formulasi cokelat, C = Formulasi ikan asin, D = Formulasi tepung
kulit udang, E = Formulasi kelapa bakar, F = Formulasi telur burung puyuh, G =
Pembanding, H = Kontrol.
Hari II
Perlakuan
Ulangan (g)
Total
Rata-rata
UI
U II
U III
U IV
0,1818
0,0960
3,7525
1,2873
5,3176
1,3294
1,2883
1,1199
1,6898
0,9866
5,0846
1,2711
0,0533
2,0129
0,0739
1,5255
3,6656
0,9164
0,0632
1,0759
0,1424
0,0779
1,3594
0,3398
0,1348
3,7099
0,0582
1,0813
4,9842
1,2460
1,7014
1,2592
7,4175
2,1029
12,4810
3,1202
0,0164
0,0476
0,0029
0,0179
0,0848
0,0212
0,1187
1,9106
0,1586
1,1781
2,3660
0,5915
Total
3,5579
11,2320
13,2958
7,2575
35,3432
8,8356
Keterangan :
A = Formulasi keju, B = Formulasi cokelat, C = Formulasi ikan asin, D = Formulasi tepung
kulit udang, E = Formulasi kelapa bakar, F = Formulasi telur burung puyuh, G =
Pembanding, H = Kontrol.
55
56
Lampiran 5. Data Rata-rata Jumlah Umpan yang Dimakan Tikus Rumah dari
Semua Perlakuan (g)
Hari
8,2290
II
8,8356
III
7,5096
IV
7,6698
2,8408
VI
2,8556
VII
1,5411
VIII
1,4601
56
57
Perangkap
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
1.00
2.00
3.00
4.00
4
4
4
4
4
4
6
6
6
6
Tests of Between-Subjects Effects
df
Mean Square
3.438
73.500
2.800
4.500
.600
8
1
5
3
15
24
23
Duncan
Perangkap
4.00
3.00
1.00
2.00
Sig.
N
6
6
6
6
1
.8333
1.3333
.281
Subset
2
1.3333
2.0000
.157
2.0000
2.8333
.082
57
F
5.729
122.500
4.667
7.500
Sig.
.002
.000
.009
.003
58
58