You are on page 1of 14

Penegakan Diagnosis dan Pengelolaan pada Penderita Dengue Syok Syndrome

Elmon Patadungan
102014009/D3
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
E-mail: elmon.patadungan96@gmail.com
Abstract
Dengue hemorrhagic fever (DHF) is an endemic disease that attacks various regions
including Indonesia. Dengue virus serotype is divided into four DEN1-4 transmitted by the
mosquito Aedes aegypti and Aedes albopictus. In patients with Dengue Fever is almost not
found abnormalities. On examination of the pulse, the patient's pulse at first quickly became
normal and slow. At Dengue Shock Syndrome, symptoms of shock is characterized by skin
that feels damp and cold, peripheral cyanosis which mainly looks at the tip of the nose,
fingers and toes, as well as a decrease in blood pressure. Definitive diagnosis is usually
using virus isolation with material blood tests taken during the stage of viremia, the virus
then cultured in a medium that is usually the network and inspection takes about two weeks,
but because it is more complicated, which is more commonly used is the detection of specific
antibodies to dengue, namely dengue IgM and IgG. the difference between DF and DHF is to
found a DBD plasma leakage, caused by dengue virus belonging to the genus Flavivirus,
family Flaviviridae. The first infections occurred and will give the symptoms of dengue fever
and dengue virus when exposed for a second time will cause symptoms of dengue fever. When
we are dealing with Dengue Shock Syndrome (SSD), the first thing to remember is that the
shock must be overcome and therefore the replacement of intravascular fluid. Prevention can
be done very dependent on vector control due to dengue vaccine has not been found.
Keywords: dengue virus, flavivirus, IgM and IgG dengue, dengue shock syndrome
Abstrak
Demam

berdarah

dengue

(DBD)

merupakan

penyakit

endemis

yang

menyerang berbagai wilayah termasuk Indonesia. Virus dengue yang terbagi menjadi empat
serotype yaitu DEN1-4 ditransmisikan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus.
Pada pasien Demam Dengue hampir tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan nadi, nadi
1

pasien mula-mula cepat kemudian menjadi normal dan melambat. Pada Dengue Syok
Sindrome, gejala renjatan ditandai dengan kulit yang terasa lembab dan dingin, sianosis
perifer yang terutama tampak pada ujung hidung, jari-jari tangan dan kaki, serta penurunan
tekanan darah. Diagnosis pasti biasanya menggunakan isolasi virus dengan bahan
pemeriksaan darah yang diambil saat dalam stadium viremia, virus kemudian dibiakkan
dalam suatu media yang biasanya jaringan dan pemeriksaan memerlukan waktu dua minggu,
tetapi karena lebih rumit, yang lebih sering digunakan adalah deteksi adanya antibodi spesifik
untuk dengue, yaitu IgM dan IgG dengue. perbedaan antara DD dan DBD adalah pada DBD
ditemukan adanya kebocoran plasma, disebabkan oleh virus dengue yang termasuk dalam
genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Infeksi pertama kali terjadi dan akan memberikan
gejala demam dengue dan ketika terkena virus dengue untuk kedua kalinya akan
menimbulkan gejala demam berdarah dengue. Bila kita berhadapan dengan Sindrom Syok
Dengue (SSD) maka hal pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera
diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan intravaskular. Pencegahan yang dapat
dilakukan sangat bergantung pada pengendalian vektornya karena vaksin untuk DBD belum
ditemukan.
Kata kunci: virus dengue, flavivirus, IgM dan IgG dengue, sindrom syok dengue
Pendahuluan
Sektor kesehatan Indonesia saat ini berada dalam situasi transisi epidemologi yang harus
menanggung beban berlebih. Meskipun banyak penyakityang bisa ditangani, namun masih
banyak penyakit lain yang belum teratasi, salah satunya demam berdarah dengue. DBD
merupakan penyakit infeksi yang di sebabkan oleh virus dengue dengan manisfestasi klinis
demam, nyeri ototdan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang di tandai
oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.
Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah deman berdarah dengue yang
ditandai oleh renjatan/syok. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit endemis
yang menyerang berbagai wilayah termasuk Indonesia. Virus dengue yang terbagi menjadi
empat serotype yaitu DEN1-4 ditransmisikan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus. Gejala khas dari penyakit ini adalah demam yang naik turun, nyeri otot dan
timbulnya ruam pada kulit. Penyakit DBD dapat menimbulkan berbagai komplikasi bahkan
kematianbagi penderita. Oleh karena itu pasien harus segera mendapat penanganan tepat dan
2

segera sesuai dengan derajat penyakitnya. Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk
mengetahui anamnesa, pemeriksaan, diagnosis, epidemiologi, patofisiologi, gejala,
penatalaksanaan, komplikasi, prognosis, dan pencegahan penyakit DBD.1
Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk mendapatkan fakta tentang keadaan penyakit pasien dan faktorfaktor yang mempengaruhinya. Dalam melakukan anamnesis diperlukan teknik komunikasi
dengan rasa empati yang tinggi yang terdiri dari komunikasi verbal dan komunikasi
nonverbal. Bila anamnesis dilakukan dengan baik maka kurang lebih sekitar 70% diagnosis
penyakit dapat ditegakkan. Bagan anamnesis terdiri atas identitas pasien termasuk nama,
umur, alamat, status keluarga, pekerjaan, pendidikan, keluhan utama yang menjadi sebab ia
datang kedokter, riwayat penyakit sekarang, penyakit dahulu, riwayat sosial ekonomi
budaya.1 adapun data yang diperoleh dari hasil anamnesis adalah sebagai berikut:
Identitas

: seorang laki-laki usia 20 tahun

Keluhan Utama

: PS tidak sadarkan diri sejak 1 jam yang lalu

RPS

: PS demam sejak 5 hari yang lalu, demam naik turun dan disertai

adanya rasa pegal dan mual. BAB kehitaman sehari yang lalu, didapatkan kesadaran apatis
TD= 60 ml/palpasi (tekanan sistol-diastol sudah tidak dapat diketahui), nadi=110 kali/menit
dan teraba lemah, suhu=36oC, dan napas= 24 kali/menit. Pemeriksaan toraks fremitus paru
kiri lemah, perkusi paru redup sebelah kiri, napas lemah pada paru kiri. Lab darah didapatkan
Hb=16 g/dL, Ht = 54 %, leukosit 4000/ul, trombosit = 40.000/ul.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang biasanya dilakukan atau ditemukan pada tersangka demam berdarah
adalah sebagai berikut :

Pada pasien Demam Dengue hampir tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan nadi,
nadi pasien mula-mula cepat kemudian menjadi normal dan melambat.1 Bradikardi
(pelambatan denyut jantung, seperti ditunjukan dengan melambatnya nadi <60) dapat
menetap selama beberapa hari selama masa penyembuhan. Lalu dapat ditemukan lidah
kotor dan kesulitan buang air besar.2 Pada mata dapat ditemukan pembengkakan, injeksi
konjungtiva, lakrimasi dan fotofobia. Eksantem (bercak merah pada kulit yang muncul
saat demam) dapat muncul di awal demam yang terlihat jelas dimuka dan dada,

berlangsung beberapa jam lalu akan mucul kembali pada hari ke 3-6 berupa bercak

ptekie di lengan dan kaki lalu seluruh tubuh.


Pada Demam Berdarah Dengue dapat terjadi gejala perdarahan berupa ptekiae, purpura,
ekimosis, hematemesis (muntah darah), melena (tinja berwarna hitam karena adanya
perdarahan pada lambung sehingga Hb akan bereaksi dengan asam lambung dan
menyebabkan tinja berwarna kehitaman) dan epitaksis.2 Hati umumnya membesar dan
terdapat nyeri tekan yang tak sesuai dengan berat penyakit, nyeri tekan epigatrium juga
menandakan kemungkinan adanya perdarahan pada organ. Pada kasus ini didapatkan

tinja berwarna kehitaman.


Pemeriksaan pada demam dengue juga dapat dilakukan dengan uji tornikuet dengan cara
mempertahankan tekanan pada manset sebesar rata-rata antara tekanan sistolik dengan
diastolik selama 5 menit. Hasil positif dikatakan jika terdapat 10 ptchiae dalam area 2.5
cm2 tetapi hasil dapat negatif atau positif palsu pada keadaan DBD tipe III dan IV.

Pada Dengue Syok Sindrome, gejala renjatan ditandai dengan kulit yang terasa lembab
dan dingin, sianosis perifer yang terutama tampak pada ujung hidung, jari-jari tangan
dan kaki, serta penurunan tekanan darah.2

Pemeriksaan Penunjang3-4
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui demam dengue adalah
dengan melakukan pemeriksaan laboratorium dan radiologis.
Pada pemeriksaan laboratorium, paling utama yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
darah untuk melihat kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan sel darah
tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif dan gambaran limfosit plasma biru. Diagnosis
pasti biasanya menggunakan isolasi virus dengan bahan pemeriksaan darah yang diambil saat
dalam stadium viremia, virus kemudian dibiakkan dalam suatu media yang biasanya jaringan
dan pemeriksaan memerlukan waktu dua minggu, tetapi karena lebih rumit, yang lebih sering
digunakan adalah deteksi adanya antibodi spesifik untuk dengue, yaitu IgM dan IgG.
Parameter laboratories yang dapat diperiksa adalah:

Leukosit: dapat normal atau menurun (leukopenia). Mulai hari ke-3 dapat ditemui
limfositosis relatif (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru lebih
dari 15% dari total leukosit yang dalam keadaan syok dapat lebih meningkat.

Trombosit: umumnya terjadi trombositopenia pada hari ke 3-8 (<100.000/l darah).

Hematokrit: terjadinya peningkatan hematokrit darah >20% dari hematokrit awal yang
dimulai pada hari ke-3 demam. Peningkatan hematokrit ini menandakan adanya
4

kebocoran pada plasma darah, dimana pada kebocoran plasma darah ini bisa juga
menyebabkan timbulnya hipoproteinemia dan ascites.

SGOT dan SGPT: merupakan enzim-enzim yang terdapat dihati. Dalam pemeriksaan,
akan didapatkan kadar kedua enzim tersebut meningkat didalam darah. Hal ini terjadi
karena adanya kerusakan pada membran sel-sel hati sehingga enzim tersebut akan keluar
dari sitoplasma sel yang rusak sehingga kadar didalam darah akan meningkat. Selain itu,
pada keadaan yang disertai dengan adanya kerusakan fungsi ginjal, akan didapati adanya
peningkatan ureum dan kreatinin.

Imunoserologi: dilakuakan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue, dimana akan
didapatkan;
IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, dan akan
menghilang setelah 60-90 hari.
IgG terdeteksi pada hari ke-14, dimana pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi
pada hari kedua, lebih cepat dibandingkan IgM yang tetap terdeteksi pada hari ke-3 atau
5.

Uji HI (Hemaglutination Inhibition): dilakukan dengan mengambil serum pada saat fase
akut dan saat fase konvalesens (penyembuhan), dimana kemudian dilakukan deteksi pada
IgG dan IgM. Jika didapatkan kenaikan titer Igm dan IgG konvalesen sebanyak 4 kali
dari fase akut diagnosis dapat ditegakkan.

Pada pemeriksaan radiologis, foto dada didapatkan adanya efusi pleura terutama pada bagian
hemitoraks kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma yang berat, efusi pleura dapat
terjadi pada kedua hemitoraks. Selain itu, aschites dan efusi pleura dapat ditemukan melalui
pemeriksaan USG.
Manifestasi Klinik dan Diagnosis3-5
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari dengan rentang 3-14 hari, ada gejala
prodromal yang tidak khas seperti nyeri kepala, nyeri tulang belakang dan perasaan lelah.
Demam dengue (DD), Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan 2
atau lebih manifestasi klinik yaitu; nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia/atralgia (nyeri
otot/sendi), ruam kulit, leukopenia, dan tes bendung positif.
Demam Berdarah Dengue (DBD), ditegakkan bila ada demam atau riwayat demam akut
antara 2-7 hari, terdapat minimal salah satu manifestasi perdarahan, yaitu: (uji bendung
5

positif, petekie, ekimosis, purpura, perdarahan mukosa, hematemesis dan melena),


trombositopenia (<100.000/l darah), terdapat minimal satu tanda kebocoran plasma, yaitu:
(peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan dengan standar sesuai umur dan jenis kelamin,
penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai
sebelumnya, efusi pleura, aschites, hipoproteinemia). Dari semua ciri-ciri yang ada,
perbedaan antara DD dan DBD adalah pada DBD ditemukan adanya kebocoran plasma.
Dengan gejala dan pemeriksaan yang telah dilakukan:
Diagnosis Kerja (Working Diagnosis) yang dapat dipastikan adalah DBD derajat 4 atau
dikenal juga dengan Dengue Syok Syndrome. Kriterianya adalah seluruh ciri-ciri pada DBD
disertai dengan adanya kegagalan sirkulasi dan manifestasi nadi yang lemah dan cepat,
tekanan darah turun ( 20 mmHg), hipotensi, kulit dingin dan lembab serta gelisah. Lihat
tabel 1.
DD/DB
D

Derajat

Gejala

Laboratorium

Demam disertai 2 atau lebih


tanda:

DD

sakit kepala, nyeri retro-orbital,


mialgia, artralgia
DBD

Gejala di
bendung
Positif

DBD

II

Gejala
di
perdarahan
Spontan

DBD

III

DBD

IV

atas

ditambah

Leukopenia
Trombositopenia,
ditemukan
bukti kebocoran plasma

Serologi
Dengue
tidak
Positif

uji
Trombositopenia (<100.000/ul),
bukti ada kebocoran plasma

atas

ditambah

Gejala
di
atas
ditambah
kegagalan
sirkulasi (kulit dingin dan lembab
serta gelisah)
Syok berat disertai dengan
tekanan
darah dan nadi tidak terukur

Trombositopenia (<100.000/ul),
bukti ada kebocoran plasma
Trombositopenia (<100.000/ul),
bukti ada kebocoran plasma

Trombositopenia (<100.000/ul),
bukti ada kebocoran plasma

DBD derajat III dan IV juga disebut sindrom syok dengue (SSD)

Differential Diagnosis (Diagnosis Banding)

Demam Tifoid, merupakan penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi kuman
Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi. Tifus abdominalis (demam tifoid, enteric
fever) biasanya mengenai saluran cerna dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan
6

pada saluran cerna, dan gangguan kesadaran. Demam, kesadaran menurun, mulut bau,
bibir kering dan pecah-pecah (rhagaden), lidah kotor (coated tongue) dengan ujung dan
tepi kemerahan dan tremor, perut kembung, pembesaran hati dan limpa yang nyeri pada
perabaan. Tanda komplikasi di dalam saluran cerna perdarahan usus tinja berdarah
(melena). Dapat pula ditemukan adanya leukopenia atau normal, trombositopenia,
peningkatan kadar SGOT dan SGPT.

Malaria Serebral, paling sering disebabkan oleh Plasmodium falciparum, ditandai


dengan adanya penurunan kesadaran berupa apatis, disorientasi, somnolen, stupor, sopor,
dan koma yang dapat terjadi secara perlahan. Terjadinya ikterus karena timbulnya
mekanisme yang menyebabkan obstruksi

mikrovaskuler, adanya kerusakan sel-sel

hepatosit sehingga terjadi peningkatan kadar SGOT dan SGPT, adanya edema paru,
anemia karena adanya peningkatan destruksi sel darah merah dan gangguan eritropoiesis.
Komplikasi dapat menyebabkan timbulnya haemoglobinuria (black water fever) dengan
gejala demam, anemia hemolitik, olguria, dan ikterik. Terjadinya gagal sirkulasi atau
syok sehingga didapatkan tekanan darah < 70 mmHg, dan adanya nyeri disekitar perut.
Etiologi
Demam dengue ataupun deman berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue yang
termasuk dalam genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan
diameter 30 nm yang terdiri dari asam ribonukkeat rantai tunggal dengan berat molekul
4x106. Terdapat empat jenis serotipe virus, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat jenis
serotype ini ditemukan juga terdapat di Indonesia dengan serotype tipe 3 yang paling banyak.
Infeksi oleh satu tipe virus dengue akan memberikan imunitas yang menetap terhadap infeksi
virus yang sama pada masa yang akan datang. Namun, hanya memberikan imunitas
sementara dan parsial terhadap infeksi tipe virus lainnya. Misalnya, seseorang yang telah
terinfeksi oleh virus DEN-2, akan mendapatkan imunitas menetap terhadap infeksi virus
DEN-2 pada masa yang akan datang. Namun, ia tidak memiliki imunitas menetap jika
terinfeksi oleh virus DEN-3 di kemudian hari. Selain itu, ada bukti-bukti yang menunjukkan
bahwa jika seseorang yang pernah terinfeksi oelh salah satu tipe virus dengue, kemudian
terinfeksi lagi oleh virus tipe lainnya, gejala klinis yang timbul akan jauh lebih berat dan
sering kali fatal. Kondisi inilah, yang menyulitkan pembuatan vaksin untuk penyakit DBD.

Meskipun demikian, saat ini para ahli masih terus berupaya memformulasikan vaksin yang
diharapkan akan memberikan kekebalan terhadap seluruh tipe virus dengue.3
Penularan penyakit DBD juga dipengaruhi oleh interaksi tiga faktor, yaitu sebagai berikut :
(1) Faktor pejamu (Target penyakit, inang), dalam hal ini adalah manusia yang rentan tertular
penyakit DBD. (2) Faktor penyebar (Vektor) dan penyebab penyakit (Agen), dalam hal ini
adalah virus DEN tipe 1-4 sebagai agen penyebab penyakit, sedangkan nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus berperan sebagai vektor penyebar penyakit DBD. (3) Faktor
lingkungan, yakni lingkungan yang memudahkan terjadinya kontak penularan penyakit
DBD.6
Epidemiologi
Penyakit yang kini kita kenal sebagai DBD pertama dikenali di Filipna pada 1953. Gejala
klinis yang muncul diketahui akibat infeksi virus DEN-2 dan DEN-4, yang berhasil diisolasi
di Filipina pada 1956. Dua tahun kemudian, keempat tipe virus berhasil diisolasi di Thailand.
Selang tiga dekade berikutnya, penyakit DBD ditemukan di Kamboja, Cina, Indonesia, Laos,
Malaysia, Maldives, Myanmar, Singapura, Sri Lanka, Vietnam dan beberapa wilayah di
kepulauan Pasifik. Di Indonesia, penyakit DBD pertama kalidicurigai di Surabaya pada tahun
1968. Namun, konfirmasi pasti melalui isolasi virus baru didapat pada 1970.6
Di Indonesia, penyakit DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968. Namun,
konfirmasi pasti melalui isolasi virus baru didapat pada 1970. Di Jakarta, kasus pertama
dilaporkan pada 1969. Kemudian, DBD berturut-turut dilaporkan di Bandung dan Yogyakarta
pada 1972. Epidemi pertama di luar Jawa dilaporkan pada 1972 di Sumatera Barat dan
Lampung, disusul oleh daerah Riau, Sulawesi Utara dan Bali pada 1973. Pada 1974, wabah
DBD dilaporkan di Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Pada 1994, DBD telah
menyebar ke seluruh propinsi (pada waktu itu berjumlah 27 propinsi-penyesuaian di
Indonesia. Saat ini DBD menjadi endemi di banyak kota besar, bahkan sejak tahun 1975
penyakit ini telah sampai ke daerah pedesaan. Sejak 1994, seluruh propinsi di Indonesia telah
melaporkan kasus DBD dan daerah tingkat II yang melaporkan terjadinya kasus DBD juga
meningkat. Namun, angka kematian menurun tajam dari 41,3% (1968) menjadi 3% (1984),
dan sejak tahun 1991 angka kematian in istabil di bawah 3%. Sewaktu terjadi wabah,
berbagai tipe virus dengue berhasil diisolasi. Virus dengue tipe 2 dan tipe 3 secara bergantian
merupakan tipe dominan. Di Indonesia virus dengue tipe 3 sangat berkaitan dengan kasus
8

penyakit DBD derajat berat dan fatal. Penyakit DBD mesti mendapatkan perhatian serius dari
semua pihak, mengingat jumlah kasusnya yang cenderung meningkat setiap tahun. Menurut
data Departemen Kesehatan Republik Indonesia, pada awal 2007 ini saja jumlah penderita
DBD telah mencapai 16.803 orang dan 267 orang di antaranya meninggal dunia. Jumlah
orang yang meninggal tersebut jauh lebih banyak dibandingkan kasus kematian manusia
karena flu burung atau Avian Influenza (AI).6
Patofisiologi
Nyamuk Aedes aegepti dan Aedes albopictus membawa virus dengue dan menggigit manusia.
Infeksi pertama kali terjadi dan akan memberikan gejala demam dengue dan ketika terkena
virus dengue untuk kedua kalinya akan menimbulkan gejala demam berdarah dengue. Virus
dengue akan bereplikasi di nodus limfatikus regional dan akan menyebar ke jaringan lain
terutama ke sistem retikuloendotelial dan kulit. Sebagai reaksi terhadap infeksi terjadi (1)
aktivasi sistem komplemen sehingga dikeluarkan zat anafilatoksin yang menyebabkan
peningkatan permeabilitas kapiler dan terjadi perembesan plasma dari ruang intravaskular ke
ruang ekstravaskular ;(2) agregasi trombosit menurun, apabila kelainan ini berlanjut akan
menyebabkan kelainan fungsi trombosit sebagai akibat mobilisasi trombosit muda dari
sumsum tulang; dan (3) kerusakan sel endotel pembuluh darah akan mengaktivasi faktor
pembekuan. Ketiga faktor diatas akan menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan
kelainan homeostasis, yang disebabkan oleh vaskulopati, trombositopenia dan koagulopati.7
Komplikasi8
Ensefalopati dengue, Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang
berkepanjangan dengan pendarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai
syok. Gangguan metabolik seperti hipokalsemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat
menjadi penyebab terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara,
maka kemungkinan dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh darah otak, sementara
sebagai akibat dari koagulasi intravaskular yang menyeluruh. Dilaporkan bahwa virus dengue
dapat menembus sawar darah-otak. Dikatakan pula bahwa keadaan ensefalopati berhubungan
dengan kegagalan hati akut. Pada ensefalopati cenderung terjadi udem otak dan alkalosis,
maka bila syok telah teratasi cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HC03 - dan
jumlah cairan harus segera dikurangi. Larutan laktat ringer dektrosa segera ditukar dengan
larutan NaCl(0,9%) : glukosa (5%) = 1:3. Untuk mengurangi udem otak diberikan
dexametason 0,5mg/kg BB/kali tiap 8 jam, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna
9

sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin
K intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan > 80 mg. Mencegah
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan mengurangi jumlah cairan (bila
perludiberikan

diuretik),

koreksi

asidosis

dan

elektrolit.

Perawatan

jalan

nafas

dengan pemberian oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat diberik
anneomisin dan laktulosa. Usahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan
(misalnya antasid, anti muntah) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.
Kelainan ginjal, gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat
dari syok yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik
walaupun jarang. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati dengan
menggantikan volume intravaskular, penting diperhatikan apakah benar syok telah teratasi
dengan baik. Diuresis merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan untuk
mengetahui apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan > 1 ml / kg berat badan/jam. Oleh
karenabilayok belum teratasi dengan baik, sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat ter
jadi syokberulang. Pada keadaan syok berat sering kali dijumpai acute tubular necrosis, ditan
dai penurunan jumlah urin dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.
Udem paru, adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian cairan yang
berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai panduan yang
diberikan,

biasanya

tidak

akan

menyebabkan

udem

paru

oleh

karena

perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang
ekstravaskuler,

apabila

cairan

diberikan

berlebih

(kesalahan

terjadi

bila

hanya

melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan
mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan
gambaran udem paru pada foto rontgen dada.
Kerusakan Hati, pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit,
bervariasi dari hanya sekedar dapat diraba (just palpable) sampai 2-4 cm di bawah lengkung
iga kanan (arcus costae), derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit.
Untuk menemukan pembesaran hati ,harus dilakukan perabaan setiap hari. Nyeri tekan di
daerah hati sering kali ditemukan dan pada sebagian kecil kasus dapat disertai ikterus. Nyeri
tekan di daerah hati tampak jelas pada anak besar dan ini berhubungan dengan
adanya perdarahan.
10

Penatalaksanaan3
Bila kita berhadapan dengan Sindrom Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang harus
diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan
intravaskular yang hilang harus segera dilakukan dengan baik dan benar sesuai dengan
indikasi. Angka kematian dengue

syok

sindrom

sepuluh kali lipat dibandingkan dengan

penderita DBD tanpa renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita
DBD mendapatkan pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk
kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan
yang tidak adekuat. Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan.
Selain resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pemeriksaanpemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL),
hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium danklorida, serta ureum dan kreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasisetelah 1530 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan darahsistolik 100 mmHg dan
tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit dengan
volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulittidak pucat serta diuresis 0,5-l
ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120
menit keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB jam. Bila 2448 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis
cukup maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena jika reabsorpsi cairan plasma
yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus
terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal jantung dapat terjadi).
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan terutama dalam
waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses patogenesis penyakit masih
berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam pembuluh
darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena untuk mengetahui apakah renjatan telah
teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan
darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah
hipokondrium

kanan

dan

epigastrik,

serta

jumlah

diuresis.

Diuresis

diusahakan

2ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah trombosit dapat


dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit.
11

Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberian
cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB, dan kemudian dievaluasi setelah
20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai hematokrit. Bila nilai
hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung maka pemberian cairan
koloid menjadi pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun, berarti terjadi perdarahan
(internal bleeding) maka penderita diberikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB dan dapat
diulang sesuai kebutuhan. Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus
mengetahui sifat-sifat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan
tetesan cepat 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum
teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral,
dan pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml/kgBB (maksimal 11,5 u/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 cmH20. Bila keadaan tetap belum
teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit,
hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah
sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat
inotropik/vasopresor. Lihat gambar 1.

Gambar 1. Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada Dewasa


12

Sumber: www.academia.edu/dengue-syok-syndrome/
Prognosis dan Pencegahan
Prognosis, tergantung dari beberapa faktor seperti : lama dan beratnya renjatan,waktu,
metode, adekuat tidaknya penanganan, ada tidaknya rekuren syok yangterjadi terutama dalam
6 jam pertama pemberian infus di mulai, panas selama renjatan, dan tanda-tanda serebral.2
Pencegahan yang dapat dilakukan sangat bergantung pada pengendalian vektornya karena
vaksin untuk DBD belum ditemukan. Hal yang dapat dilakukan antara lain: (1)
Menguras tempat-tempat penampungan air secara teratur seminggu sekali atau menaburkan
bubuk

larvasida

(abate).

(2)

Menutup rapat-rapat tempat penampungan air.

(3)

Mengubur/menyingkirkan barang bekas yang dapat menampung air. Pemberantasan nyamuk


dewasa dengan pengasapan/fogging dengan menggunakan malathion , fenthion, piretroid
sintetik dan karbamat. Antisipasi juga dapat dilakukan dengan memelihara ikan pemakan
jentik nyamuk bila di tempat tinggal terdapat kolam.9
Kesimpulan
Penyakit demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue yang
disebarkan nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopictus. Yang disertai gejala klinis seperti
sakit kepala, nyeri otot, sendi dan tulang. Penurunan jumlah sel darah putih, penurunan
leukosit, hematokrit meningkat dan ruam-ruam bahkan syok, tejadi pendarahan. Seperti
ditemukan pada kasus ini. Jika terlambat ditangani dapat menyebabkan kematian. Cara yang
paling efektif menghindari penyakit ini adalah melakukan pencegahan sedini mungkin
dengan memberantas keberadaan nyamuk Aedes aegpty dan Aedes albopictus.
Daftar Pustaka.
1. Sudoyo AW, Setiyohadi BS, Alwi I. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-1. Jakarta:
Pusat Penerbitan FK UI; 2006: h. 20-3.
2. Tumbelaka AR, Darwis D, Gatot D, dkk. Demam berdarah dengue. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2005: h. 245-50.
3. Sudoyo AW, Setiyohadi BS, Alwi I. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-3. Jakarta:
Pusat Penerbitan FK UI; 2006: h. 1710-13, 1752-3, 1732-45, 1840-3.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi ke-5 jilid III. Jakarta: Interna Publishing; 2009:h. 2773-79.

13

5. Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD. Editor, Asdie AH. Prinsip-prinsip ilmu
penyakit dalam. Jakarta: EGC; 2000: h. 948.
6. Ginanjar G. Demam berdarah. Bandung: PT. Mizan Publika; 2006: h. 6-9, 12-8.
7. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6.
Jakarta: EGC; 2005: h. 167-8.
8. Longo DL, Kasper DL, Jameson LJ, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J.
HarrisonsPrinciples of Internal Medicine. 16 ed. New York: Mc-Graw Hill. 2005.
9. Departemen Parasitologi FKUI. Buku ajar parasitologi kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta:

Badan Penerbit FKUI; 2008: h. 265-6.

14

You might also like