Professional Documents
Culture Documents
INTISARI
ABSTRACT
Emptiness and breakage of drugs in health centers often leads to non ISO patient
dissatisfaction, which might be due to non optimal medication management. This study was
conducted to determine the differences of the evaluation result of drug management between ISO
and non ISO health centers in Semarang at 2013.
This type of research is analytic survey, with a sample of three of most visits ISO and
non-ISO health centers and non-ISO. Retrospective data collection techniques along with free
interview directed to drug manager. Materials and research tools were card stock, report morbidity
data (LB1), recipes, and the inventory check. Data were evaluated every month used the indicators
of the Ministry of Health of Indonesia in 2010 and were analyzed used independent sample t test
and Mann Whitney.
The result showed that there was difference of the evaluation result of drug management
between ISO and non ISO health centers in Semarang at 2013 on indicator of available drugs item
complies with DOEN (t <1.66691) and the percentage of generic drugs writing (t <1.66691).
Keywords : Drug Management, ISO Health Centers, Non ISO Health Centers,
Semarang City
18
kualitas pelayanannya secara obat, selain itu penyimpanan obat yang
berkesinambungan (Depkes RI, 2009). dilakukan oleh puskesmas juga belum
Upaya peningkatan kualitas dan mutu memenuhi standar penyimpanan gudang
dalam penyelenggaraan pelayanan obat, sehingga sering terjadi obat rusak
puskesmas salah satunya dapat melalui sebelum digunakan.
penerapan standar ISO yang ditetapkan oleh Berdasarkan latar belakang tersebut,
Badan Standarisasi Nasional. Hingga kini di dilakukan penelitian mengenai perbedaan
Kota Semarang memiliki lima puskesmas hasil evaluasi pengelolaan obat pada
yang telah mendapat sertifikat ISO puskesmas ISO dan non ISO kota semarang
9001:2008 yaitu Puskesmas Bangetayu, tahun 2013, yang diharapkan dapat menjadi
Halmahera, Kedungmundu, Mijen dan bahan evaluasi instansi terkait untuk
Ngesrep (Dinkes Kota Semarang, 2011). meningkatkan kualitas pelayanan sesuai
Puskesmas yang telah menerapkan standar standar yang ditetapkan.
ISO merupakan puskesmas yang memiliki
standar sistem manajemen mutu, dimana METODE PENELITIAN
sistem manajemen mutu tersebut selalu Penelitian ini adalah penelitian
dinilai apakah dibakukan, dijalankan, survei analitik, dengan variabel bebas yaitu
dimonitor, dievaluasi dan diperbaiki terus- puskesmas bersertifikasi ISO dan puskesmas
menerus (Suardi, 2004). Manfaat yang dapat non ISO. Variabel tergantung berupa
dirasakan puskesmas dengan adanya indikator pengelolaan obat dari Kementrian
sertifikasi ISO adalah terciptanya Kesehatan Republik Indonesia (2010)
lingkungan kerja yang lebih teratur sehingga meliputi a) kesesuaian item obat yang
berdampak pada peningkatan kepuasan tersedia dengan DOEN, b) kesesuaian
pasien terhadap pelayanan puskesmas (ISO ketersediaan obat dengan pola penyakit, c)
9001, 2008). Hal tersebut ditunjukkan oleh persentase bobot rata-rata perbedaan dari
hasil penelitian Lasa., dkk (2012) bahwa variasi persediaan, d) persentase rata-rata
tingkat kepuasan pasien terkait dengan waktu kekosongan obat, e) persentase obat
pelayanan yang diberikan puskesmas yang tidak diresepkan, dan f) persentase
mengenai ketersediaan obat, pelayanan penulisan resep obat generik. Penelitian ini
petugas, dan sarana puskesmas bersertifikasi dilaksanakan di tiga puskesmas bersertifikasi
ISO menunjukkan nilai 94,34% lebih tinggi ISO (Puskesmas Bangetayu, Halmahera,
dibandingkan dengan puskesmas non ISO Kedungmundu) dan tiga puskesmas non ISO
sebesar 89,25%. (Puskesmas Bandarharjo, Gayamsari,
Kepuasan pasien yang semakin tinggi Tlogosari Wetan). Pemilihan puskesmas
terhadap pelayanan puskesmas, pada dilakukan dengan melihat kunjungan pasien
akhirnya berimbas pada lebih tertujunya yaitu dipilih puskesmas dengan kunjungan
masyarakat terhadap puskesmas sebagai terbanyak.
tempat pilihan utama pemeriksaan Masing-masing tahap pengelolaan
kesehatan. Salah satu yang mempengaruhi obat diukur dengan indikator pengelolaan
tingkat kepuasan pasien adalah pelayanan obat puskesmas berdasarkan Kementrian
obat. Al Hijrah., dkk (2013) menyebutkan Kesehatan Republik Indonesia (2010)
bahwa pada puskesmas terkadang menggunakan bahan dan alat pengumpul
mengalami kekurangan jumlah obat yang data yang dijabarkan pada tabel sebagai
dibutuhkan karena jumlah tidak sesuai berikut:
permintaan akibatnya terjadi kekosongan
Tabel I. Alat dan Bahan Pengumpul Data pada Indikator Pengelolaan Obat
Indikator Data yang Dikumpulkan Alat dan Bahan
Pengumpul Data
jumlah dan jenis obat yang
Kesesuaian item obat yang Daftar Obat Esensial Nasional
termasuk dalam DOEN
tersedia dengan DOEN
jumlah jenis obat yang tersedia stock opname
jumlah jenis obat yang tersedia stock opname
laporan data kesakitan (LB1),
Kesesuaian ketersediaan jumlah dan jenis obat yang
pedoman pengobatan
obat dengan pola penyakit dibutuhkan untuk semua kasus
dasar puskesmas,
sesuai standar pengobatan
SOP pengobatan puskesmas
Persentase bobot rata-rata jumlah stok keseluruhan jenis buku pengeluaran obat
19
perbedaan dari variasi obat dalam catatan di gudang
persediaan jumlah stok keseluruhan jenis
kartu stok gudang obat
obat
jumlah hari kekosongan semua
kartu stok gudang obat
jenis obat dalam satu tahun
stock opname,
Persentase rata-rata
jumlah dan jenis obat yang laporan data kesakitan (LB1),
waktu kekosongan obat
dibutuhkan untuk semua kasus pedoman pengobatan
sesuai standar pengobatan dasar puskesmas,
SOP pengobatan puskesmas
jumlah dan jenis obat dengan
Persentase obat yang kartu stok gudang obat
stok tetap selama satu tahun
tidak diresepkan
jumlah jenis obat yang tersedia stock opname
Persentase penulisan jumlah resep obat generic resep
resep obat generik jumlah resep seluruhnya resep
20
Data berupa perhitungan hasil persentase penelitian yang tidak bisa diambil
evaluasi pengelolaan obat setiap bulan pada yaitu laporan pemakaian dan lembar
tahun 2013 pada masing-masing puskesmas permintaan obat (LPLPO) yang digunakan
bersertifikasi ISO dan non ISO dianalisis untuk mengetahui jumlah dan jenis obat
secara statistik. Uji pendahuluan dilakukan yang tersedia, serta laporan obat rusak dan
terhadap normalitas dan homogenitas kadaluwarsa yang digunakan untuk
menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. mengetahui jumlah dan jenis obat yang
Hasil analisis pada indikator kesesuaian rusak dan kadaluwarsa. Namun untuk
ketersediaan obat dengan pola penyakit, mengetahui jenis-jenis obat di puskesmas
persentase rata-rata waktu kekosongan obat, diperbolehkan menggunakan stock opname
dan persentase obat yang tidak diresepkan obat.
didapatkan sebaran data normal dan a. Evaluasi Pengelolaan Obat di
homogen, sehingga data hasil persentase Puskesmas ISO dan Non ISO
evaluasi pengelolaan obat tersebut dianalisis Berdasarkan Indikator Kesesuaian
dengan uji parametrik T Sampel Independen. Item Obat yang Tersedia dengan Obat
Data yang tidak memenuhi persyaratan DOEN
sebaran data normal atau homogen yaitu Kesesuaian item obat yang
data indikator kesesuaian item obat yang tersedia dengan obat DOEN merupakan
tersedia dengan DOEN dan persentase kesesuaian antara total item obat yang
penulisan resep obat generik maka dianalisis tersedia yang termasuk dalam DOEN
dengan uji non parametrik Mann Whitney dengan item obat yang tersedia di
dengan taraf kepercayaan 95%. Alat uji puskesmas. Tujuan indikator ini untuk
statistik digunakan Software Statistical mengetahui tingkat penggunaan obat
Product and Service (SPSS) 16.0 for esensial di puskesmas. Alat dan bahan
Windows. pengumpul data yang digunakan berupa
Daftar Obat Esensial Nasional dan stock
HASIL PENELITIAN opname obat. Hasil rata-rata tiap bulan
Terdapat sepuluh indikator pada indikator kesesuaian obat DOEN dengan
evaluasi pengelolaan obat di puskesmas, jenis obat yang tersedia pada puskesmas
karena keterbatasan pengambilan bahan bersertifikasi ISO dan non ISO terlihat
penelitian oleh Dinas Kesehatan Kota pada tabel III sebagai berikut:
Semarang, maka hanya enam indikator yang
digunakan dalam penelitian. Bahan
Tabel III. Rata-Rata Hasil Evaluasi Pengelolaan Obat dengan Indikator Kesesuaian Item
Obat yang Tersedia dengan DOEN pada Puskesmas ISO dan Non ISO
Hasil Evaluasi Rata-Rata
Standar Puskesmas Nama Puskesmas
Pengelolaan Obat (%) (%)
Bangetayu 74,19
Puskesmas Bersertifikasi
Halmahera 74,00 74,04
ISO
Kedungmundu 73,92
Bandarharjo 71,71
Puskesmas Non ISO Gayamsari 71,26 71,27
Tlogosari Wetan 70,84
21
parametrik mann whitney, menyimpulkan dasar di puskesmas dari Departemen
bahwa ada perbedaan antara puskesmas Kesehatan Republik Indonesia (2007)
bersertifikasi ISO dan non ISO (sig < 0,05), dan prosedur pelaksanaan standar
artinya dalam merencanakan pemilihan (SOP) pengobatan puskesmas. Tujuan
kebutuhan jenis obat pada puskesmas indikator ini digunakan untuk
bersertifikasi ISO lebih berpedoman dengan mengetahui persediaan obat di
DOEN daripada puskesmas non ISO. puskesmas sesuai dengan kebutuhan
pola penyakit populasi yang ada di
b. Evaluasi Pengelolaan Obat di wilayah puskesmas. Alat dan bahan
Puskesmas ISO dan Non ISO pengumpul data yang digunakan
Berdasarkan Indikator Kesesuaian berupa stock opname obat, laporan data
Ketersediaan Obat dengan Pola kesakitan (LB1), pedoman pengobatan
Penyakit dasar puskesmas, dan prosedur
Kesesuaian ketersediaan obat pelaksanaan standar (SOP) pengobatan
dengan pola penyakit merupakan puskesmas. Hasil rata-rata tiap bulan
kesesuaian antara jumlah jenis obat indikator kesesuaian ketersediaan obat
yang tersedia dengan jumlah jenis obat dengan pola penyakit pada puskesmas
untuk semua kasus di puskesmas bersertifikasi ISO dan non ISO terlihat
berdasarkan pedoman pengobatan pada tabel IV sebagai berikut.
Tabel IV. Rata-Rata Hasil Evaluasi Pengelolaan Obat dengan Indikator Kesesuaian
Ketersediaan Obat dengan Pola Penyakit pada Puskesmas ISO dan Non ISO
Hasil Evaluasi
Rata-Rata
Standar Puskesmas Nama Puskesmas Pengelolaan Obat
(%)
(%)
Bangetayu 129,41
Puskesmas Bersertifikasi
Halmahera 121,77 126,66
ISO
Kedungmundu 128,80
Bandarharjo 138,70
Puskesmas Non ISO Gayamsari 137,84 137,22
Tlogosari Wetan 135,12
22
Tabel V. Rata-Rata Hasil Evaluasi Pengelolaan Obat dengan Indikator Bobot Perbedaan
dari Variasi Persediaan pada Puskesmas ISO dan Non ISO
Hasil Evaluasi
Nama Rata-Rata
Standar Puskesmas Pengelolaan Obat
Puskesmas (%)
(%)
Bangetayu 0
Puskesmas Bersertifikasi ISO Halmahera 0 0
Kedungmundu 0
Bandarharjo 0
Puskesmas Non ISO Gayamsari 0 0
Tlogosari Wetan 0
Tabel VI. Rata-Rata Hasil Evaluasi Pengelolaan Obat dalam Satu Tahun dengan Indikator
Persentase Waktu Kekosongan Obat pada Puskesmas ISO dan Non ISO
Hasil Evaluasi Rata-Rata
Standar Puskesmas Nama Puskesmas
Pengelolaan Obat (%) (%)
Bangetayu 3,64
Puskesmas Bersertifikasi
Halmahera 2,84 3,25
ISO
Kedungmundu 3,28
Bandarharjo 7,55
Puskesmas Non ISO Gayamsari 6,69 8,23
Tlogosari Wetan 10,45
23
indikator ini untuk mengetahui besarnya dalam satu tahun indikator persentase obat
obat-obatan yang tidak pernah dipakai dalam yang tidak diresepkan puskesmas
waktu satu tahun. Alat dan bahan bersertifikasi ISO dan non ISO terlihat pada
pengumpul data yang digunakan berupa tabel VII sebagai berikut.
resep dan stock opname obat. Hasil rata-rata
Tabel VII. Rata-Rata Hasil Evaluasi Pengelolaan Obat dalam Satu Tahun dengan
Indikator Persentase Obat yang Tidak Diresepkan pada Puskesmas ISO dan
Non ISO
Hasil Evaluasi Rata-Rata
Standar Puskesmas Nama Puskesmas
Pengelolaan Obat (%) (%)
Bangetayu 3,39
Puskesmas Bersertifikasi ISO Halmahera 4,76 4,06
Kedungmundu 4,03
Bandarharjo 5,10
Puskesmas Non ISO Gayamsari 7,33 5,58
Tlogosari Wetan 4,32
Tabel VIII. Rata-Rata Hasil Evaluasi Pengelolaan Obat dengan Indikator Persentase
Peresepan Obat Generik pada Puskesmas ISO dan Non ISO
Hasil Evaluasi Rata-Rata
Standar Puskesmas Nama Puskesmas
Pengelolaan Obat (%) (%)
Bangetayu 94,87
Puskesmas Bersertifikasi
Halmahera 95,16 96,08
ISO
Kedungmundu 98,20
Bandarharjo 97,94
Puskesmas Non ISO Gayamsari 97,88 98,17
Tlogosari Wetan 98,70
Hasil rata-rata tersebut menunjukkan bahwa penggunaan obat generik pada puskesmas
bersertifikasi ISO maupun non ISO mendekati standar yang ditetapkan sebesar 100%, yang artinya
bahwa petugas medis sudah mematuhi peraturan Keputusan Menteri Kesehatan (1989) mengenai
kewajiban untuk menggunakan obat generik di puskesmas. Hasil indikator ini tidak bisa mencapai
standar sebesar 100%, dikarenakan obat-obat yang disediakan di puskesmas tidak hanya obat
generik saja melainkan ada beberapa obat asli Indonesia (fitofarmaka) seperti Hepagard,
24
Hemorogard, Nodiar, Tensigard, dan Ocugard dimana hal ini sudah merupakan ketentuan dari
DKK dan IFK. Indikator ini digunakan untuk mengevaluasi pengelolaan obat pada tahap
penggunaan.
Hasil perhitungan persentase peresepan obat generic, setelah diuji perbedaan secara
statistika menggunakan uji non parametrik mann whitney, menyimpulkan ada perbedaan antara
puskesmas bersertifikasi ISO maupun non ISO (sig < 0,05), artinya penggunaan obat generik di
puskesmas non ISO lebih memenuhi standar daripada puskesmas bersertifikasi ISO. Jika
disimpulkan seluruh hasil perbandingan evaluasi pengelolaan obat puskesmas bersertifikasi ISO
dan non ISO pada masing-masing indikator pengelolaan obat puskesmas dapat dilihat pada gambar
1.
Gambar 1. Nilai Rata-Rata masing-masing Indikator Evaluasi Pengelolaan Obat Puskesmas ISO dan
Non ISO Kota Semarang
25
Suardi, R., 2004, Sistem Manajemen Mutu
ISO 9000:2000 : Penerapannya
untuk Mencapai TQM., Penerbit
PPM, Jakarta, 12-46.
WHO 1999., Indicators for Monitoring
National Drug Polities, Second
Edition, WHO, Geneva.
26