You are on page 1of 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keberhasilan usaha budidaya perikanan sangat dipengaruhi oleh berbagai
aspek diantaranya kualitas benih ikan yang digunakan, sistem budidaya,lalu
lintas/peredaran/perdagangan ikan, teknik pengendalian penyakit ikan, serta
kualitas lingkungan sekitar kawasan budidaya, peran serta atau aksesbilitas
pembudidayaan ikan/udang ke institusi.
Penyakit merupakan salah satu kendala utama dalam keberhasilan suatu
usaha budidaya perairan. Timbulnya penyakit adalah suatu proses yang dinamis
dan merupakan interaksi antara inang (host), jasad penyakit (patogen) dan
lingkungan. Dalam kegiatan budidaya ikan, apabila hubungan ketiga faktor adalah
seimbang sehingga tidak timbul adanya penyakit. Penyakit akan muncul jika
lingkungan kurang optimal dan keseimbangan terganggu. Penyakit parasit
maupun non parasite merupakan penyakit yang umum dijumpai di dalam usaha
budidaya perikanan yang dapat menyebabkan kerugian didalam area
pembudidayaan dan mampu berpindah apabila terjadi salah penanganan. Sebagai
negara tropis, Indonesia yang memiliki iklim sangat mendukung perkembang
parasit dan jamur. Ditambah lagi dengan tingginya mobilitas ikan dari cenral
produksi yang satu ke central produksi lainnya mempercepat arus penyebaran
penyakit dan parasit pada ikan. Hal ini menjadi suatu tantangan dan tugas besar
dibidang kesehatan ikan untuk mencegah, mendeteksi dan menangkal keluar
masuknya penyakit parasiter di lingkungan budidaya.
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui lebih jelas
klasifikasi, morfologi, siklus hidup, dan gejala klinis yang disebabkan oleh parasit
jenis Chironomus Tentans, Simullium Sp, dan Culex Sp.

1
1.3 Manfaat
memberikan informasi tentang klasifikasi, morfologi, siklus hidup, dan
gejala klinis yang disebabkan oleh parasit jenis Chironomus Tentans, Simullium
Sp, dan Culex Sp.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Chironmus tentans
Jenis parasit ikan ini merupakan parasit insang, kulit, sirip, sisik yang
merupakan ektoparasit dan juga berupa endoparasit yang menyerang alat
pencernaan makanan, misalnya usus, alat peredaran darah, yaitu pembuluh darah
insang, darah dan juga organ lain seperti otot daging, gelembung udara, mata, otak
dan ginjal.

Gambar 1. Bloodworm
Sumber: www.ksa.undip.ac.id /2013/04/cacing-darah-larva-chironomus-sp.html

2.1.2 Klasifikasi Chironomus tentans


Adapun klasifikasi genus Chironomus sp. menurut Eppler (2001) adalah
sebagai berikut:
Filum : Arthtropoda
Kelas : Crustacea
Subkelas : Insecta
Ordo : Diptera
Famili : Chironomidae
Genus : Chironomus
Spesies : Chironomus tentans

2.1.3 Morfologi Chironomus tentans


Larva Chironomus berwarna merah, tubuh bersegmen-semen 10-12 segmen.
Chironomus dapat mencapai panjang 10-20mm. Bagian posterior bercabang 3.
Pada bagian anteriornya (kepala) terdapat mulut tipenya tipe penghisap karena
biasa menghisap darah oleh karena itu sering dijuluki cacing darah. Larva
Chironomus ini memiliki bentuk kelenjar ludah yang besar sehingga mudah untuk

3
mengamati bentuk kromosom yang terdapat kelenjar ludah tersebut. Pada periode
larva bloodworm akan berganti kulit sebanyak 6 kali.
Warna merah pada bloodworm disebabkan oleh haemoglobin, yang sangat
diperlukan oleh mahluk tersebut agar dapat hidup pada kondisi dengan kadar
oksigen rendah.

2.1.4 Siklus hidup Chironomus tentans


Siklus hidup chironimus adalah siklus hidup sempurna karena melewati 4
tahap (fase). Tahap tersebut adalah tahap telur, tahap larva, tahap kepompong, dan
tahap dewasa. Setelah proses pemijahan, induk betina akan meletakkan massa
telurnya di permukaan air yang akan tenggelam ke dasar perairan dan kemudian
menetas menjadi larva. Siklus hidup dari telur hingga mencapai dewasa biasanya
memakan waktu kurang dari satu minggu atau bahkan lebih dari setahun
tergantung jenis spesies dan musim. Pada saat baru menetas larva chironomus
berukuran tidak lebih dari 1 mm.

Gambar 2. Siklus Hidup Bloodworm


Sumber : https://thecatchandthehatch.com/basic-entomology-for-fly-fishing/
Setelah telur menetas akan keluar larva yang berbentuk memanjang seperti
belatung. Berukuran 1 – 100 mm. Larva chironomus mempunyai habitat akuatik
dan bersifat saprofog atau dentrivor, chironomus yang hidup dalam bentuk larva
akan membuat suatu tempat berbentuk tabung yang biasa ditemukan di dasar
kolam atau bak air. Setelah larva cukup umur, Chironomus tentans akan menutup
tabungnya kemudian mengubah diri menjadi kepompong atau pupa.

4
2.1.5 Gejala klinis dan penanggulanganya
Sebenarnya chironomus tidak secara langsung menyebabkan penyakit pada
ikan, cacing darah (Chironomus sp), merupakan tuan rumah perantara dari cacing
dan protozoa yang menyebabkan penyakit pada ikan. Gejalanya mulai Ikan tidak
mau makan, menyebabkan badan menjadi lemah dan tingkat immunitas menurun.
Cacing darah (Chironomus sp), sering dibudidayakan sebagai pakan alami
bagi ikan dan cara Penanggulangan agar tidak terjadi parasit bagi ikan budidaya
adalah dengan cara memperhatikan kualitas air saat, sedang dan sesudah budidaya
Chironomus sp.

5
2.2 Simulium sp.
Simulium adalah sejenis lalat kecil (3mm-8mm), penghisap darah seperti
nyamuk atau agas yang termasuk ke dalam Ordo Diptera, Subordo Nematocera,
Famili Simuliidae. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah lalat punuk
karena mempunyai daerah toraks yang menonjol. Umumnya lalat ini berwarna
hitam sehingga dikenal dengan istilah blackfly.

2.2.1 Klasifikasi Simulium sp.


Klasifkasi Simulium sp. adalah sebagai berikut :

Gambar 3. Simulium sp.


Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Diptera
Subordo : Nematocera
Family : Simuliidae
Subfamily : Simuliinae
Tribe : Simuliini
Genus : Simulium
Spesies : Simulium sp.
Famili Simuliidae terdiri atas 1809 species (termasuk 11 spesies punah)
tersusun dalam 28 genera dengan empat di antaranya Simulium, Prosimulium,
Cnephia dan Austrosimulium. Keempat genus tersebut mempunyai arti ekonomi
karena merugikan manusia atau hewan,dan semuanya tergolong dalam Subfamili
Simuliinae. Subfamili Parasimuliinae terdiri atas empat spesies hanya tercatat dari
Amerika Utara bagian barat. Genus terbesar dari famili ini adalah Simulium
dengan 1200 spesies tersusun dalam 42 subgenera. Di Indonesia saat ini telah
dilaporkan hanya ada satu genus yaitu Simulium dengan sekitar 100 spesies
tersebar di seluruh tanah air. Di pulau Jawa sendiri monograf terkhir menunjukkan

6
bahwa ada 22 spesies, antara lain Simulium sigiti, S. javaense, S. parahiyangum
dan S. upikae (Takaoka & Davies 1996).

2.2.2 Morfologi Simulium sp.


a. Kepala
Penglihatan (mata) memainkan peran penting dalam perilaku Simulium.
Lalat ini mempunyai hamper seratus mata (ommatidia). Sebagi mata majemuk,
mata-mata ini terletak pada bagian atas kepalanya. Pada yang betina setiap
ommatidia berukuran kecil (10-15 mikron) dan mata majemuk ini terpisah
dengan baik di atas antena (dikhoptik). Pada yang jantan mata majemuk lebih
besar dan bersentuhan satu sama lain (holoptik), dan ommatidia bagian bawah
menyerupai betina tetapi yang bagian atas sangat besarbesar (25-40 mikron).
Antenanya kokoh seperti tanduk, beruas-ruas, umumnya 11 ruas, baik pada jantan
maupun betina. Meskipun demikian ada juga yang memiliki 10 ruas seperti pada
jenis Austrosimulium, dan 9 ruas pada jenis Prosimulium dari Amerika Utara.
Palpinya terdiri atas 5 ruas agak lebih panjang dari pada probosisnya yang
pendek. Ruas ketiga palpi memiliki alat sensoris yang besar. Maksila dan
mandibula pada yang jantan dan beberapa jenis betina yang tidak menghisap
darah tidak bergerigi. Jantan berbeda dari yang betina oleh besarnya punuk pada
toraks, merah dan besarnya mata, langsingnya abdomen dan adanya sepasang
klasper yang terlihat pada ujung abdomen.
b. Toraks
Sayapnya pendek (1.5-6.0 mm), lebar, tidak berwarna dan transparan,
dengan lobus anal yang besar. Venasi sangat khas dengan vena radial yang
berkembang baik sepanjang sisi anterior sayap dan vena-vena median dan kubital
lemah di posterior. Karena penampilan sayap yang lemah ini lalat Simulium
mampu terbang di udara tenang berkilo-kilometer. Sektor radial bisa tidak
bercabang atau mempunyai dua cabang. Di antara vena median (M2) dan kubital
(Cu1) terdapat cabang lipatan submedian. Pada Simulium dan Austrosimulium
sektor radial pada sayap tidak bercabang; kosta mempunyai rambut seta sepeti
duri dan rambut-rambut halus, dan tungkai belakang mempunyai lobus bulat

7
(kalsipala) pada ujung bagian dalam ruas tarsus pertama, dan sebuah celah dorsal
(pedisulkus) dekat dasar ruas tarsus kedua. Pada Prosimulium sektor radial
bercabang (kadang-kadang hanya sedikit), kosta hanya memiliki rambut-rambut
halus, dan tungkai belakang tidak memiliki kalsipala dan pedisulkus. Pada lalat
dewasa, identifikasi spesies seringkali sulit karena membutuhkan karakter
mikroskopis seperti struktur terminalia jantan dan betina. Namun demikian,
banyak spesies dapat diidentifikasi dengan relatif mudah menggunakan karakter
organ pernafasan pada stadium pupa, dan atau karakter kepala stadium larva.
c. Abdomen
Perutnya terdiri atas 8 ruas, tiga ruas terakhir terdapat alat kelamin
(genitalia) dan tidak terlihat. Ujung abdomen jantan lebih kompak dan relatif
tidak tampak. Betina mempunyai satu spermateka yang bentuknya subsperikal
( agak membulat).

2.2.3 Siklus Hidup Simulium sp.


Periode siklus hidup bervariasi pada setiap spesies dan kondisi lingkungan.
Pada spesies yang hidup di daerah beriklim sedang dalam setahun bisa terjadi
hanya satu generasi, sementara di daerah tropis sepanjang tahun bisa terjadi
beberapa generasi. Stadium larva S. damnosum dapat diselesaikan dalam waktu
enam hari, dan siklus hidup dari telur hingga dewasa dapat diselesaikan dalam
waktu kurang dari 2 minggu.
Telur, larva dan pupa hanya ditemukan di aliran air. Setiap spesies berbeda-
beda mulai dari gelombang air dekat danau sampai aliran kecil di tengah hutan,
sungai besar atau aliran air terjun. Distribusi lalat ini di seluruh dunia, kecuali di
daerah gurun atau pulau yang terisolasi tanpa aliran air.
a. Telur
Telur umumnya diletakkan dalam kelompok-kelompok berjumlah 200-300
butir, dengan kisara 30-800 butir, pada benda-benda di dalam atau dekat aliran air
atau langsung ke dalam air atau pada permukaan air. Telur dijatuhkan langsung
ke dalam air dan tenggelam ke dasar atau diletakkan pada benda-benda yang
muncul dekat dengan garis air, tempat mereka langsung basah oleh air atau

8
daerah cipratan air. Kumpulan telur bisa dibuat oleh beberapa betina yang
bertelur di sekitar tempat yang berdekatan, dan terdapat bukti bahwa betina
bunting tertarik meletakkannya pada tumpukan telur dari spesies yang sama. Hal
ini mungkin ditimbulkan oleh kehadiran feromon. Lalat betina dari beberapa
spesies berkerumun pada ketinggian 15 cm dari permukaan air untuk meletakkan
telurnya pada benda-benda yang terendam air.
Telur berukuran pannjang 100 - 400 µm dan bentuknya segitiga ovoid.
Permukaannya halus dan tertutup oleh lapisan gelatin. Telur diletakkan dalam
gelendong seperti rangkaian manik-manik, atau dalam kelompok tidak teratur.
Telur yang baru diletakkan berwarna krem keputihan, berubah menjadi coklat
gelap atau hitam dalam waktu 24 jam. Telur lalat ini sangat sesitif terhadap
kekeringan.
b. Larva
Telur menetas menjadi larva yang mempunyai kepala yang keras dan jelas,
sepasang mata sederhana, bentuk tubuh yang silinder dengan toraks dan bagian
posterior abdomen lebih lebar dari pada ruas abdomen anterior. Kepala memiliki
sepasang kipas sefalik (labral), struktur homolog sikat palatal lateral nyamuk.
Larva tidak menciptakan aliran tetapi menyaring air yang melewati tubuhnya.
Larva memiliki satu proleg anterior (tangan palsu) yang dikelilingi kait-kait
sirklet, dan ujung abdomen dikelilingi sirklet posterior. Anus terbuka dan terdapat
di dorsal sirklet posterior, dari situ muncul organ rektal, yang mungkin fungsinya
sama dengan anal papila pada larva nyamuk yaitu menyangkut penarikan klorida
dari air. Larvanya memintal benang sutra pada substrat, yang diteruskan menjadi
benang sutra, sebagai alat yang digunakan ketika mempertahankan diri dari aliran
air deras atau saat ada gangguan. Ketika sudah stabil dengan tempat yang
dipilihnya, ia akan mencapkan sirklet posteriornya. Larva umumnya bertahan di
dekat permukaan air, dan biasanya ditemukan pada kedalaman kurang dari
300mm (kecuali pada spesies besar yang bisa ditemukan pada kedalaman
beberapa meter dalam air jeram (turbulent water). Larva dapat berpindah tempat
dengan menghanyutkan tubuhnya ke dalam aliran air dengan bantuan benang
sutra, atau dengan melangkahkan tubuhnya dari permukaan substrat dengan

9
sirklet posterior dan kait anterior proleg untuk mempertahankan cairan sutra.
Beberapa spesies menyebar lebih jauh dari tempat meletakkan telurnya.

Gambar 4. Larva Simulium sp.


Posisi larva ketika makan adalah berdiri dengan sirklet posterior menempel
pada substrat dan mengarah ke aliran air dengan kepala menghadap ke bawah.
Tubuhnya bisa berputar 90-180 derajat sehingga rambut kipasnya menghadap
permukaan air. Aliran air terbagi oleh proleg dan mengarah ke rambut kipas.
Cairan lengket yang dikeluarkannya berasal dari kelenjar sibarial sehingga kipas
mampu menangkap partikel-partikel halus. Partikel makanan ini dibawa masuk
ke sibarium oleh sikat mandibula. Larva pada beberapa spesies mempertahankan
daerah teritorialnya, dan mampu bergerak ke daerah aliran air bagian atas milik
tetangganya, sehingga terjadi kompetisi makanan. Pertahanan daerah teritorial
menurun secara dramatis ketika makanan berlimpah. Larva famili Simuliidae
menelan makanan seperti bakteri, diatom, algae dan endapan lumpur berukuran
sampai 350 µm, tetapi umunya menelan partikel berukuran 10-100 µm.
Larva Simuliidae banyak terdapat di aliran air deras, tempat larva dapat
menyaring sebanyak mungkin volume air dalam waktu tertentu. Konsentrasi
larva dalam jumlah besar sering ditemukan pada aliran keluar danau, tempat air
yang kaya akan fitoplankton sebagai makan larva mengalir. Gerakan air yang
melewati permukaan tubuh larva menyediakan sumber oksigen terlarut dalam
jumlah yang cukup untuk pernafasan larva. Panjang larva Simuliidae mencapai 4
to 12 mm, dan mudah terlihat pada benda yang terendam. Pada beberapa spesies
larva menenpel pada tubuh kepiting di sungai dan nimfa lalat sehari (mayfly).
Larva instar terakhir (mature) dapat dikenali dengan adanya bercak insang gelap

10
(gill spot) pada kedua sisi toraks, dan dapat bergerak ke tempat lain sebelum
proses pupasi.
c. Pupa
Umumnya pupa Simuliidae memintal kokon. Bentuk kokon bervariasi ada
yang sandal (slipper-shaped) dan sepatu (shoe-shaped). Kokon ujungnya yang
tertutup mengarah ke hulu (upstream) dan yang terbuka mengarah ke hilir (down
stream). Hal ini mencegah kokon terkoyak oleh aliran air. Pembentukan kokon
memerlukan waktu sekitar satu jam dan kemudian kulit larva dilepas.
Pada pupa, kepala dan torak punya bergabung menjadi sefalotoraks, dan
terdapat ruas-ruas abdomen. Ujungnya memiliki spina dan kait-kait yang
mengikat benang-benang kokon dan menenpelkan pupa pada substrat.
Sefalotoraks memiliki sepasang insang pupa (pupal gills) yang jumlahnya,
panjangnya, dan percabangannya berbeda-beda pada setiap spesies. Pupal gill ini
serupa dengan corong pernafasan pada Culicidae dan Ceratopogonidae, tetapi
tidak mempunyai spirakel terbuka.
Pupa ini tidak makan, dan berubah warna menjadi gelap saat lalat dewasa
sedang berkembang. Ketika lalat dewasa muncul, kulit pupa membelah, lalat
dewasa muncul ke permukaan dalam gelembung udara, dan segera terbang, atau
yang baru saja muncul tersebut bertengger pada benda dekat permukaan air.
d. Dewasa
Lalat dewasa biasanya muncul pada siang hari tergantung cahaya dan suhu.
S.damnosum 60-90% muncul menjadi lalat dewasa di siang tengah hari dan tidak
ada yang muncul pada malam hari.

2.2.4 Tempat Perindukan Simulium sp.


Simuliidae berkembang pada air mengalir, mulai aliran kecil di pegunungan
sampai aliran sungai yang lambat di pedalaman, dan beberapa spesies hanya
dijumpai pada liran deas yang kecil Newfoundland telah ditemukan bahwa faktor-
faktor yang sangat berpengaruh terhadap sebaran larva Simuliidae adalah
kecepatan aliran, tipe substrat dan kedalaman air. Sejumlah kecil spesies
berasosiasi secara foretik dengan Dekapoda Crustacea (kepiting dan udang) atau

11
Ephemeroptera (lalat sehari) di daerah Afrika dan Himalaya. Larva dan pupa S.
nyasalandicum dan S. woodi terdapat menempel pada kheliped, dan ruas basal
tungkai dari kepiting sungai Potamonautes pseudoperlatus dan jenis kepiting lain.
Telur tidak diletakkan pada kepiting dan larva muda dapat menemukan sendiri
patner foretiknya di sungai. Jenis Simuliidae foretik yang terpenting adalah S.
neavei, yang merupakan vektor onkosersiasis. Di Afrika, jenis foretik pada nimfa
lalat sehari (mayfly phoretics) ditemukan terutama di aliran sungai gelap di hutan,
dan yang crab phoretics ditemukan di aliran kecil di hutan dan sungai besar dan
terbuka.

2.2.5 Gejala Klinis dan Penanggulangan Simulium sp.


Leucocytozoonosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Leucocytozoon sp. Penyakit ini juga disebut malaria like disease (Levine, 1994).
Leucocytozoonosis ditularkan oleh vektor lalat hitam (Simulium sp.) dan
Culicoides arakawae (Permin dan Hensen, 1998; Yu et al., 2000). Infeksi
Leucocytozoon sp. akan menyebabkan terjadinya kelesuan, anemia, kepucatan,
demam, kelumpuhan dan penurunan produksi telur (Permin dan Hensen, 1998).
Infeksi Leucocytozoon sp. dipengaruhi oleh pola pemeliharaan dan kondisi
lingkungan. Faktor musim juga mempengaruhi infeksi Leucocytozoon sp., dimana
kejadian penyakit umumnya meningkat secara signifikan pada musim hujan
(Apsari et al., 1999).

12
2.3 Culex sp
Culex Quinquefasciatus adalah nyamuk yang dapat menularkan penyakit
kaki gajah (filariasis). Hal ini terjadi saat nyamuk Culex menghisap darah
pengidap filariasis sehingga larva cacing filariasis masuk dan berkembang biak
ditubuhnya lalu nyamuk Culex menularkan larva tersebut kepada manusia dengan
cara menggigitnya. Kasus penyakit kaki gajah banyak ditemukan dibeberapa
daerah di Indonesia seperi Malang Selatan dan Kediri.
Nyamuk Culex memiliki kebiasaan yang berbeda dengan Aedes Aegepty,
bila Aedes aegepty suka hidup pada air bersih maka Culex menyukai air yang
kotor seperi genangan air, limbah pembuangan mandi, got ( selokan ) dan sungai
yang penuh sampah. Culex, nyamuk yang memiliki ciri fisik coklat keabu-abuan
ini mampu berkembang biak disegala musim. Hanya saja jumlahnya menurun saat
musim hijan karena jentik-jentiknya terbawa arus. Culex melakukan kegiatannya
dimalam hari.

2.3.1 Klasifikasi Culex sp


Klasifikasi nyamuk Culex menurut Romoser & Stoffolano (1998), adalah
sebagai berikut :
Phylum : Arthropoda
Classis : Insecta
Subclassis : Pterygota
Ordo : Diptera
Subordo : Nematocera
Familia : Culicidae
Subfamilia : Culicianae
Genus : Culex
Spesies : Culex sp

2.3.2 Morfologi Nyamuk Culex sp


Culex sp adalah genus dari nyamuk yang berperan sebagai vector penyakit
yang penting seperti West Nile Virus, Filariasis, Japanese enchepalitis, St Louis
encephalitis. Nyamuk dewasa dapat berukuran 4 – 10 mm (0,16 – 0,4 inci), dalam
morfologinya nyamuk memiliki tiga bagian tubuh umum yaitu kepala, dada, dan

13
perut. Nyamuk Culex yang banyak di temukan di Indonesia yaitu jenis
Culexquinque fasciatus.
Kepala Culex umumnya bulat atau sferik dan memiliki sepasang mata,
sepasang antena, sepasang palpi yang terdiri atas 5 segmen dan 1 probosis antena
yang terdiri atas 15 segmen. Berbeda dengan 6 Aedes, pada genus Culex tidak
terdapat rambut pada spiracular maupun pada post spiracular. Panjang palpus
maxillaries nyamuk jantan sama dengan proboscis. Bagian toraks nyamuk terdiri
atas 3 bagian yaitu protoraks, mesotoraks dan metatoraks. Bagian metatoraks
mengecil dan terdapat sepasang sayap yang mengalami modifikasi menjadi halter.
Abdomen terdiri atas 8 segmen tanpa bintik putih di tiap segmen. Ciri lain dari
nyamuk Culex adalah posisi yang sejajar dengan bidang permukaan yang
dihinggapi saat istirahat atau saat menusuk dengan kaki belakang yang sedikit
terangkat (Setiawati 2000).
Genus Culex dikenali dengan struktur sketelumnya yang trilobus, ujung
abdomen yang tumpul dan badannya yang penuh dengan sisik-sisik. Selain itu,
struktur yang membedakan genus ini dengan genus yang lain adalah struktur yang
disebut pulvilus yang berdekatan dengan kuku diujung kaki nyamuk (Setiawati
2000). Nyamuk Culex quinquefasciatus berwarna coklat, berukuran sedang,
dengan bintik-bintik putih di bagian dorsal abdomen. Sedangkan kaki dan
proboscis berwarna hitam polos tanpa bintik-bintik putih. Spesies ini sulit
dibedakan dengan nyamuk genus Culex lainnya.
Ciri secara umum dari nyamuk Culex adalah sebagai berikut :
 Telur : lonjong seperti peluru
 Larva : sifon panjang dan bulunya lebih dari satu pasang
 Fase dewasa : abdomen bagian ujung tumpul, warna cokelat muda
 Sayap : sisik sempit panjang dengan ujung runcing
 Peran medis : vektor filariasis & penyakit Japanese B. encephalitis
 Perilaku : mengisap darah pada malam hari
 Habitat : air jernih dan air keruh

2.3.3 Siklus Hidup

14
Seluruh siklus hidup Culex quinquefasciatus mulai dari telur hingga dewasa
membutuhkan waktu sekitar 14 hari. Untuk bertelur, nyamuk betina akan mencari
tempat yang sesuai seperti genangan air yang lembab.

Gambar 5. Siklus Hidup Culex sp (Sumber Metcalff 1985)

a. Telur
Nyamuk Culex sp meletakan telurnya diatas permukaan air secara
bergelombolan dan bersatu membentuk rakit sehingga mampu untuk mengapung.
Sekali bertelur menghasilkan 100 telur dan biasanya dapat bertahan selama 6
bulan. Telur akan menjadi jentik setelah sekitar 2 hari.

Gambar 6. Telur Nyamuk Culex


b. Larva
Setelah kontak dengan air, telur akan menetas dalam waktu 2-3 hari.
Pertumbuhan dan perkembangan larva dipengaruhi oleh faktor temperature,
tempat perindukan dan ada tidaknya hewan predator. Pada kondisi optimum
waktu yang dibutuhkan mulai dari penetasan sampai dewasa kurang lebih 5 hari.

15
Salah satu ciri dari larva nyamuk Culex adalah memiliki siphon. Siphon dengan
beberapa kumpulan rambut membentuk sudut dengan permukaan air.

Gambar 7. Larva Nyamuk Culex sp

c. Pupa
Pupa merupakan stadium terakhir dari nyamuk yang berada di dalam air,
pada stadium ini tidak memerlukan makanan dan terjadi pembentukan sayap
hingga dapat terbang, stadium kepompong memakan waktu lebih kurang satu
sampai dua hari. Pada fase ini nyamuk membutuhkan 2-5 hari untuk menjadi
nyamuk, dan selama fase ini pupa tidak akan makan apapun dan akan keluar dari
larva menjadi nyamuk yang dapat terbang dan keluar dari air.
Tubuh pupa berbentuk bengkok dan kepalanya besar. Pupa tidak makan
apapun. Sebagian kecil tubuh pupa kontak dengan permukaan air, berbentuk
terompet panjang dan ramping, setelah 1 – 2 hari akan menjadi nyamuk Culex
(Kardinan 2003).

Gambar 8. Pupa Nyamuk Culex sp


d. Dewasa
Setelah muncul dari pupa nyamuk jantan dan betina akan kawin dan
nyamuk betina yang sudah dibuahi akan menghisap darah waktu 24-36 jam.
Darah merupakan sumber protein yang esensial untuk mematangkan telur.[8]
Perkembangan telur hingga dewasa memerlukan waktu sekitar 10 sampai 12 hari.

16
2.3.4 Bionomik Nyamuk Culex sp
Nyamuk betina menghisap darah untuk proses pematangan telur, berbeda
dengan nyamuk jantan. Nyamuk jantan tidak memerlukan darah tetapi hanya
menghisap sari bunga. Setiap nyamuk mempunyai waktu menggigit, kesukaan
menggigit, tempat beristirahat dan berkembang biak yang berbeda-beda satu
dengan yang lain.
1. Tempat berkembang biak
Nyamuk Culex sp suka berkembang biak di sembarang tempat misalnya di
air bersih dan air yang kotor yaitu genangan air, got terbuka dan empang ikan.
2. Perilaku makan
Nyamuk Culex sp suka menggigit manusia dan hewan terutama pada malam
hari. Nyamuk Culex sp suka menggigit binatang peliharaan, unggas, kambing,
kerbau dan sapi. Menurut penelitian yang lalu kepadatan menggigit manusia di
dalam dan di luar rumah nyamuk Culex sp hampir sama yaitu di luar rumah
(52,8%) dan kepadatan menggigit di dalam rumah (47,14%), namun ternyata
angka dominasi menggigit umpan nyamuk manusia di dalam rumah lebih tinggi
(0,64643) dari nyamuk menggigit umpan orang di luar rumah (0,60135).
3. Kesukaan beristirahat
Setelah nyamuk menggigit orang atau hewan nyamuk tersebut akan
beristirahat selama 2 sampai 3 hari. Setiap spesies nyamuk mempunyai kesukaan
beristirahat yang berbeda-beda. Nyamuk Culex sp suka beristirahat dalam rumah.
Nyamuk ini sering berada dalam rumah sehingga di kenal dengan nyamuk
rumahan.

4. Aktifitas menghisap darah


Nyamuk Culex sp suka menggigit manusia dan hewan terutama pada malam
hari (nocturnal). Nyamuk Culex sp menggigit beberapa jam setelah matahari
terbenam sampai sebelum matahari terbit. Dan puncak menggigit nyamuk ini
adalah pada pukul 01.00-02.00.

17
2.3.5 Habitat
Nyamuk dewasa merupakan ukuran paling tepat untuk memprediksi potensi
penularan arbovirus.Larva dapat di temukan dalam air yang mengandung tinggi
pencemaran organik dan dekat dengan tempat tinggal manusia. Betina siap
memasuki rumah-rumah di malam hari dan menggigit manusia dalam preferensi
untuk mamalia lain.

2.3.6 Faktor Lingkungan Fisik


1. Suhu
Faktor suhu sangat mempengaruhi nyamuk Culex sp dimana suhu yang
tinggi akan meningkatkan aktivitas nyamuk dan perkembangannya bisa menjadi
lebih cepat tetapi apabila suhu di atas 350C akan membatasi populasi nyamuk.
Suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk berkisar antara 200C – 300C. Suhu
udara mempengaruhi perkembangan virus dalam tubuh nyamuk.
2. Kelembaban Udara
Kelembaban udara adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam udara
yang dinyatakan dalam (%). Jika udara kekurangan uap airyang besar maka daya
penguapannya juga besar. Sistem pernafasan nyamuk menggunakan pipa udara
(trachea) dengan lubang-lubang pada dinding tubuh nyamuk (spiracle). Adanya
spiracle yang terbuka lebar tanpa ada mekanisme pengaturannya. Pada saat
kelembaban rendah menyebabkan penguapan air dalam tubuh sehingga
menyebabkan keringnya cairan tubuh. Salah satu musuh nyamuk adalah
penguapan, kelembaban mempengaruhi umur nyamuk, jarak terbang, kecepatan
berkembang biak, kebiasaan menggigit, istirahat dan lain-lain.

2.3.7 Patologi dan Gejala Klinis


Culex sp adalah genus dari nyamuk yang berperan sebagai vektor penyakit
yang penting seperti West Nile Virus, Filariasis, Japanese enchepalitis, St Louis
encephalitis. Gejala klisnis filariasis limfatik disebabkan oleh microfilaria dan
cacing dewasa baik yang hidup maupun yang mati. Microfilaria biasanya tidak

18
menimbulkan kelainan tetapi dalam keadaan tertentu dapat menyebabkan occult
filariasis. Gejala yang disebabkan oleh cacing dewasa menyebabkan limfadenitis
dan limfagitis retrograd dalam stadium akut, disusul dengan okstruktif menahun
10 sampai 15 tahun kemudiam. Perjalanan filariasis dapat dibagi beberapa
stadium: stadium mikrofilaremia tanpa gejala klinis, stadium akut dan stadium
menahun. Ketiga stadium tumpang tindih, tanpa ada batasan yang nyata. Gejala
klinis filariasis bankrofti yang terdapat di suatu daerah mungkin berbeda dengan
dengan yang terdapat di daerah lain (Parasitologi Kedokteran 2008).
Pada penderita mikrofilaremia tanpa gejala klinis, pemeriksaan dengan
limfosintigrafi menunjukkan adanya kerusakan limfe. Cacing dewasa hidup dapat
menyumbat saluran limfe dan terjadi dilatasi pada saluran limfe,
disebut lymphangiektasia. Jika jumlah cacing dewasa banyak dan
lymphangietaksia terjadi secara intensif menyebabkan disfungsi system limfatik.
Cacing yang mati menimbulkan reaksi imflamasi. Setelah infiltrasi limfositik
yang intensif, lumen tertutup dan cacing mengalami kalsifikasi. Sumbatan
sirkulasi limfatik terus berlanjut pada individu yang terinfeksi berat sampai semua
saluran limfatik tertutup menyebabkan limfedema di daerah yang terkena. Selain
itu, juga terjadi hipertrofi otot polos di sekitar daerah yang terkena (Pathology
Basic of Disease 2005).
Stadium akut ditandai dengan peradangan pada saluran dan kelenjar limfe,
berupa limfaadenitis dan limfagitis retrograd yang disertai demam dan malaise.
Gejala peradangan tersebut hilang timbul beberapa kali setahun dan berlangsung
beberapa hari sampai satu atau dua minggu lamanya. Peradangan pada system
limfatik alat kelamin laki-laki seperti funikulitis, epididimitis dan orkitis sering
dijumpai. Saluran sperma meradang, membengkak menyerupai tali dan sangat
nyeri pada perabaan. Kadang-kadang saluran sperma yang meradang tersebut
menyerupai hernia inkarserata. Pada stadium menahun gejala klinis yang paling
sering dijumpai adalah hidrokel. Dapat pula dijumpai gejala limfedema dan
elephantiasis yang mengenai seluruh tungkai, seluruh lengan, testis, payudara dan
vulva. Kadang-kadanag terjadi kiluria, yaitu urin yang berwarna putih susu yang
terjadi karena dilatasi pembuluh limfe pada system ekskretori dan urinary.

19
Umumnya penduduk yang tinggal di daerah endemis tidak menunjukan
peradangan yang berat walaupun mereka mengandung mikrofilaria (Parasitologi
Kedokteran 2008).

2.3.8 Pencegahan dan Pengobatan


Biasanya kalau banyak ditemukan penderita yang didalam darahnya
ditemukan microfilaria akan dilakukan pengobatan missal dengan DEC ( Di Ethyl
Carbamazine ). Pengobatan massal sering menimbulkan masalah, bila beberapa
orang tidak tahan dengan pengobatan Single Dose yang diberikan hingga terjadi
efek samping yang tidak kita inginkan.
Pencegahan nyamuk dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
1. Pencegahan secara mekanik
Cara ini dapat di lakukan dengan mengubur kaleng-kaleng atau tempat-
tempat sejenis yang dapat menampung air hujan danmembersihkan lingkungan
yang berpotensial di jadikan sebagai sarang nyamuk Culex sp misalnya got dan
potongan bambu. Pengendalian mekanis lain yang dapat dilakukan adalah
pemasangan kelambu dan pemasangan perangkap nyamuk baik menggunakan
cahaya lampu dan
raket pemukul.
2. Pencegahan secara biologi
Intervensi yang di dasarkan pada pengenalan organisme pemangsa, parasit,
pesaing untuk menurunkan jumlah Culex sp. Ikan pemangsa larva misalnya ikan
kepala timah, gambusia ikan mujaer dan nila di bak dan tempat yang tidak bisa
ditembus sinar matahari misalnya tumbuhan bakau sehingga larva itu dapat di
makan oleh ikan tersebut dan merupakan dua organisme yang paling sering di
gunakan. Keuntungan dari tindakan pengendalian secara biologis mencakup tidak
adanya kontaminasi kimiawi terhadap lingkungan.Selain dengan penggunaan
organisme pemangsa dan pemakan larva nyamuk pengendalian dapat di lakukan
dengan pembersihan tanaman air dan rawa-rawa yang merupakan tempat
perindukan nyamuk, menimbun, mengeringkan atau mengalirkan genangan air
sebagai tempat perindukan nyamuk dan membersihkan semak-semak di sekitar

20
rumah dan dengan adanya ternak seperti sapi, kerbau dan babi dapat mengurangi
jumlah gigitan nyamuk pada manusia apabila kandang ternak di letakkan jauh dari
rumah.
3. Pencegahan secara kimia.
Penggunaan insektisida secara tidak tepat untuk pencegahan dan
pengendalian infeksi dengue harus dihindarkan. Selama periode sedikit atau tidak
ada aktifitas virus dengue, tindakan reduksi sumber larva secara rutin, pada
lingkungan dapat dipadukan dengan penggunaan larvasida dalam wadah yang
tidak dapat dibuang, ditutup, diisi atau ditangani dengan cara lain.

21
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa parasit jenis
Chironmus tentans merupakan parasit insang, kulit, sirip, sisik yang merupakan
ektoparasit dan juga berupa endoparasit yang menyerang alat pencernaan
makanan, misalnya usus, alat peredaran darah, yaitu pembuluh darah insang,
darah dan juga organ lain seperti otot daging, gelembung udara, mata, otak dan
ginjal.
Lalu, Simulium adalah sejenis lalat kecil (3mm-8mm), penghisap darah
seperti nyamuk atau agas yang termasuk ke dalam Ordo Diptera, Subordo
Nematocera, Famili Simuliidae. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah
lalat punuk karena mempunyai daerah toraks yang menonjol. Umumnya lalat ini
berwarna hitam sehingga dikenal dengan istilah blackfly.
Sedangkan Culex Quinquefasciatus adalah nyamuk yang dapat menularkan
penyakit kaki gajah (filariasis). Hal ini terjadi saat nyamuk Culex menghisap
darah pengidap filariasis sehingga larva cacing filariasis masuk dan berkembang
biak ditubuhnya lalu nyamuk Culex menularkan larva tersebut kepada manusia
dengan cara menggigitnya. Kasus penyakit kaki gajah banyak ditemukan
dibeberapa daerah di Indonesia seperi Malang Selatan dan Kediri.

3.2 Saran
Saran dalam pembuatan makalah ini adalah akan lebih baik jika mencari
literasi terkait materi lebih diperbanyak lagi, guna mendapatkan bahasan yang
lebih luas.

22
DAFTAR PUSTAKA
Hadi, Upik K. 2010. Apakah Simulium itu ?. Fakultas Kedokteran Hewan: IPB.
Diakses 9 Maret 2018 (http://upikke.staff.ipb.ac.id/files/2010/05/Apakah-
Simulium-itu.pdf).

http://e-journal.uajy.ac.id/626/3/2BL00973.pdf

Kardinan, A. 2003. Tanaman Pengusir dan Pembasmi Nyamuk. Jakarta: Agro


Media Pustaka.

Kunkel Dennis, 1999. Bloodworm (Chironomus tentans). Dennis Kunkel


Microscopy, Inc. USA

Metcalff, R. L. 1985. Destructive And Useful Insect Their Habits And Control.
Edisi ke-4. Hill Book Company. New York.

Romoser, S. William and Stoffolano, Jr. JohnG. 1998,.The Science of


Entomology.4th Edition.Chapman and Hall. New York

Sachlan, M. 1952. Notes on parasites of freshwater fishes in Indonesia.Contr. Inl.


Bogor.

Setiawati, D. L. 2000. Mortalitas Larva Culex dengan Ekstrak Umbi Gadung


(Dioscorea hispida Dennst.) di Laboratorium. Fakultas Biologi UGM.
Yogyakarta.

Suryanti S.R. 1980. Parasit Ikan dan Cara Pemberantasannya. Penerbit Yayasan
Sosial Tani Membangun.

Takaoka, H. & D.M. Davies. 1996. The blck flies (Diptera: Simuliidae) of Java,
Indonesia. Bishop Museum Bulletin in Entomology 6. Bishop Museum
Press. Honolulu. Hawaii, USA

Widanarni, D.D. Mailanadan O. Carman. 2006. Pengaruh Media yang Berbeda


Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Larva Chironomus sp.
Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor, Kampus Darmaga, Bogor

23

You might also like