You are on page 1of 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Paraparese adalah terjadinya gangguan antara kedua anggota gerak tubuh


bagian bawah . Hal ini terjadi karena adanya defek antara sendi facet superior dan
inferior (pars interartikularis). paraparese adalah adanya defek pada pars
interartikularis tanpa subluksasi korpus vertebrata. paraparese terjadi pada 5%
dari populasi. Kebanyakan penderita tidak menunjukkan gejala atau gejalanya
hanya minimal, dan sebagian besar kasus dengan tindakan konservatif
memberikan hasil yang baik. paraparese dapat terjadi pada semua level
vertebrata, tapi yang paling sering terjadi pada vertebrata lumbal bagian
bawah(Iskandar, 2002).
Paraparese, keadaan terjadi degenerasi diskus intervertebra yang kemudian
mengarah terjadinya pembengkokan satu tulang vertebra dengan tulang lain yang
berada di bawahnya yang di akibatkan kompresi pada tulang belakang . Kira-kira
10 – 15% pasien dengan paraparese setelah dilakukan operasi menggambarkan
adanya nyeri. Nyeri berat yang bersifat radikuler, tidak memperingan dengan
pemberian terapi konservatif (Cox, 1990).
Dalam kasus cidera pada tulang vertebra sekitar 70% karena trauma dan kurang
lebih setengahnya termasuk cedera pada vertebra , sekitar 50% dari kasus trauma
dikarenakan oleh kecelakaan lalu-lintas. Kecelakaan industri sekitar 26%,
kecelakaan dirumah sekitar 10%. Mayoritas dari kasus trauma ditemukan adanya
fraktur atau dislokasi, kurang dari 25% hanya fraktur saja (Bromley, 1991).
Permasalahan yang sering terjadi akibat cidera tulang belakang terutama
paraparese yaitu impairment seperti penurunan kekuatan otot pada ke dua
ekstremitas bawah sehingga potensial terjadi kontraktur otot, keterbatasan LGS,
decubitus, dan penurunan atau gangguan sensasi. Fungsional limitation seperti
adanya gangguan fungsional dasar seperti gangguan miring, duduk dan berdiri
serta gangguan berjalan, dan disability.

1
yaitu ketidakmampuan melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan
lingkungan.
Melihat kompleknya permasalahan yang timbul akibat cidera yang mengenai
tulang belakang (vertebra) ini, dibutuhkan tim yang terdiri dari multi disiplin yang
memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan. Tim tersebut terdiri dari dokter, perawat, fisioterapis,
okupasiterapis,psikolog, dan orthosis prostesis. Dalam hal ini fisioterapis berperan
dalam pemeliharan dan peningkatan kapasitas fisik dan kemampuan fungsional.
Dimulai sejak penderita berada dalam stadium tirah baring hingga pasien
menjalani program rehabilitasi. Sehingga penderita mampu untuk kembali
beraktifitas secara mandiri dengan mengoptimalkan kemampuan yang ada

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI MEDULA SPINALIS

Columna vertebralis adalah pilar


utama tubuh. Merupakan struktur
fleksibel yang dibentuk oleh tulang-
tulang tak beraturan, disebut vertebrae.
Vertebrae dikelompokkan sebagai
berikut :
 Cervicales (7)
 Thoracicae (12)
 Lumbales (5)
 Sacroles (5, menyatu membentuk
sacrum)
 Coccygeae (4, 3 yang bawah biasanya menyatu) (1)

(2)
Gambar (1). Columna vertebralis. (2). Os vertebrae aspek superior dan lateral
Sumber : http://www.uscspine.com/spine-health-education/spinal-anatomy.cfm diakses
pada 25 Oktober 2016

Tulang vertebrae merupakan struktur kompleks yang secara garis besar terbagi
atas 2 bagian. Bagian anterior tersusun atas korpus vertebra (body), diskus
intervertebralis (sebagai artikulasi), dan ditopang oleh ligamentum longitudinale

3
anterior dan posterior. Sedangkan bagian posterior tersusun atas pedikel, lamina,
kanalis vertebralis, serta prosesus tranversus dan spinosus yang menjadi tempat
otot penyokong dan pelindung kolumna vertebrale. Bagian posterior vertebrae
antara satu dan lain dihubungkan dengan sendi apofisial (fascet joint). Tulang
vertebrae ini dihubungkan satu sama lainnya oleh ligamentum dan tulang rawan.
Bagian anterior columna vertebralis terdiri dari corpus vertebrae yang
dihubungkan satu sama lain oleh diskus fibrokartilago yang disebut discus
invertebralis dan diperkuat oleh ligamentum longitudinalis anterior dan
ligamentum longitudinalis posterior.
Diskus invertebralis menyusun seperempat panjang columna vertebralis.
Diskus ini paling tebal di daerah cervical dan lumbal, tempat dimana banyak
terjadi gerakan columna vertebralis, dan berfungsi sebagai sendi dan shock
absorber agar kolumna vertebralis tidak cedera bila terjadi trauma.
Diskus intervertebralis terdiri dari lempeng rawan hyalin (Hyalin Cartilage
Plate), nukleus pulposus (gel), dan annulus fibrosus. Sifat setengah cair dari
nukleus pulposus, memungkinkannya berubah bentuk dan vertebrae dapat
mengjungkit kedepan dan kebelakang diatas yang lain, seperti pada flexi dan
ekstensi columna vertebralis.
Diskus intervertebralis, baik anulus fibrosus maupun nukleus pulposusnya
adalah bangunan yang tidak peka nyeri. Bagian yang merupakan bagian peka
nyeri adalah:
 Lig. Longitudinale anterior
 Lig. Longitudinale posterior
 Corpus vertebra dan periosteumnya
 Articulatio zygoapophyseal
 Lig. Supraspinosum
 Fasia dan otot
Stabilitas vertebrae tergantung pada integritas korpus vertebra dan diskus
intervertebralis serta dua jenis jaringan penyokong yaitu ligamentum (pasif) dan
otot (aktif). Untuk menahan beban yang besar terhadap kolumna vertebrale ini

4
stabilitas daerah pinggang sangat bergantung pada gerak kontraksi volunter dan
refleks otot-otot sakrospinalis, abdominal, gluteus maksimus, dan hamstring.
Dengan bertambahnya usia, kadar air nukleus pulposus menurun dan diganti
oleh fibrokartilago. Sehingga pada usia lanjut, diskus ini tipis dan kurang lentur,
dan sukar dibedakan dari anulus. Ligamen longitudinalis posterior di bagian L5-
S1 sangat lemah, sehingga HNP sering terjadi di bagian postero lateral.
Medulla Spinalis merupakan bagian dari Susunan Syaraf Pusat. Terbentang
dari foramen magnum sampai dengan L1, di L1 melonjong dan agak melebar
yang disebut conus terminalis atau conus medullaris. Terbentang dibawah conu
terminalis serabut-serabut bukan syaraf yang disebut filum terminale yang
merupakan jaringan ikat.
Tiga puluh satu pasang nervus spinal keluar dari medulla spinalis melalui
foramen intervertebralis. Mereka meninggalkan sistem saraf pusat dan menjadi
awal dari sistem saraf perifer. Tiga puluh satu pasang saraf ini diberi nama sesuai
dengan tingkat kolom vertebra:
 Cervical (C) - 8 pasang saraf
 Thoracic (T) - 12 pasang saraf
 Lumbar (L) - 5 pasang saraf
 Sacral (S) - 5 pasang saraf
 Coccygeal - 1 sepasang saraf
Nervus spinalis ini mengandung serabut eferen (motor) yang membawa
impuls saraf dari medulla spinalis ke perifer seperti otot, dan serabut aferen
(sensorik) yang membawa impuls sensorik dari perifer ke medulla spinalis.

5
Gambar (3). Spinal chord
Sumber : http://www.chiro-online.com/lc/principles/module5/module5_7.html diakses
pada 25 Oktober 2016

Medulla Spinalis adalah bagian dari sistem saraf pusat (SSP), yang
memanjang kearah kaudal dan dilindungi oleh struktur vertebra. Medulla spinalis
dibungkus oleh tiga lapisan sama seperti otak yakni duramater, arachnoidmater
dan yang paling dalam piamater. Pada orang dewasa kebanyakan hanya
menempati bagian atas dua-pertiga dari kanalis vertebralis sebagai pertumbuhan
tulang yang menyusun tulang punggung secara proporsional lebih cepat
dibandingkan dengan sumsum vertebra.
Sepanjang median sagittal, fissure anterior dan posterior membagi medulla
spinalis menjadi dua bagian simetris, yang terhubung oleh commisura anterior dan
posterior. Di kedua sisi lateralnya, dimana terdapat fissura anterolateral dan
posterolateral, disitu terdapat titik dimana radiks spinalis keluar yang akhirnya
membentuk medulla spinalis.
Tidak seperti otak, pada medulla spinalis substantia nigra dikelilingi substantia
alba. Substantia alba secara konvensional dibagi menjadi funikulus dorsal,
dorsolateral, lateral, ventral dan ventrolateral. Separuh dari tiap bagian berbentuk
bulan sabit, walaupun susunan dari substantia nigra dan substantia alba berbeda di
setiap tingkatan rostrocaudal.

6
Substansia nigra dapat dibagi menjadi cornu dorsalis, cornu intermedia, cornu
ventralis, dan bagian ventromedial mengelilingi canalis medulla spinalis.
Substantia alba semakin berkurang sampai di akhiran medulla spinalis, dan
bersatu dengan subtantia nigra membentuk membentuk conus terminalis, dimana
radiks spinalis yang secara paralel membentuk cauda equine.
Setiap pasangan nervus spinalis mempersarafi daerah tertentu dari tubuh
dengan neuron sensorik dan motorik. Serabut saraf sensorik dan stimulus dari
daerah kulit yang dipersarafi disebut dermatom. Serabut saraf motorik dan otot-
otot yang dipersarafi disebut myotomes.
Pusat saraf vertebra terdiri dari substantia nigra, sel body neuron dari akson
tidak bermielin neuron motorik dan juga interneuron, yang menghubungkan saraf
aferen dan eferen. Substantia nigra tampak seperti gambaran kupu-kupu di sekitar
kanal pusat dan dibagi menjadi tiga pasang cornu. Cornu dorsalis neuron sensorik,
cornu ventralis neuron motorik dan cornu lateral menginervasi sistem saraf
simpatik. Substantia nigra medulla spinalis dikelilingi oleh upper dan lower
neuron sensorik dan motorik yang terdiri dari materi putih bermielin. Ramus
komunikans substantia alba bercabang dari saraf vertebra khusus di daerah dada
dan bagian atas vertebra lumbar. Mereka adalah serabut preganglionik yang
memanjang dari saraf vertebra ke ganglion saraf simpatik. Ramus komunikans
substantia nigra adalah serabut postganglionik dari cranial kembali ke vertebra.

Fisiologi Sistem Saraf Spinalis


Sistem motorik berhubungan dengan sistem neuromuskular terdiri atas
Upper Motor Neuron (UMN) dan Lower Motor Neuron (LMN). Upper Motor
Neuron (UMN) merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang menyalurkan
impuls dan area motorik di korteks motorik sampai inti-inti motorik di saraf
kranial di batang otak atau kornu anterior medula spinalis.
Berdasarkan perbedaan anatomik dan fisiologik kelompok UMN dibagi
dalam susunan piramidal dan susunan ekstrapiramidal. Susunan piramidal terdiri
dari traktus kortikospinal dan traktus kortikobulbar. Melalui lower motor neuron
(LMN), yang merupakan kumpulan saraf motorik yang berasal dari batang otak,

7
pesan tersebut dari otak dilanjutkan ke berbagai otot dalam tubuh seseorang.
Kedua saraf motorik tersebut mempunyai peranan penting di dalam sistem
neuromuscular tubuh. Sistem ini yang memungkinkan tubuh kita untuk bergerak
secara terencana dan terukur.

 Upper Motor Neuron


Traktus kortikospinalis berfungsi menyalurkan impuls motorik pada sel-sel
motorik batang otak dan medula spinalis untuk geraakan-gerakan otot kepala dan
leher. Traktus kortikobulber membentuk traktus piramidalis, mempersarafi sel-sel
motorik batang otak secara bilateral, kecuali nervus VII & XII, berfungsi untuk
menyalurkan impuls motorik untuk gerak otot tangkas. Dalam klinik gangguan
traktus piramidalis memberikan kelumpuhan tipe UMN berupa parese/paralisis
spastis disertai dengan tonus meninggi, hiperrefleksi, klonus, refleks patologis
positif, tak ada atrofi. Rangkaian neuron di korteks selanjutnya membentuk jalan
saraf sirkuit meliputi berbagai inti di sub korteks.dan kemudian kembali ke tingkat
kortikal. Terdiri dari :
a. Korteks serebri area 4, 6, 8
b. Ganglia basalis antara lain nukleus kaudatus, putamen, globus
pallidus, nukleus Ruber, formasio retikularis, serebellum.
Susunan ekstrapiramidal dengan formasio retukularis :
a. Pusat eksitasi / fasilitasi : mempermudah pengantar impuls ke korteks
maupun ke motor neuron.
b. Pusat inhibisi : menghambat aliran impuls ke korteks/motor neuron.
c. Pusat kesadaran
Susunan ekstrapiramidal berfungsi untuk gerak otot dasar / gerak otot tonik,
pembagian tonus secara harmonis, mengendalikan aktifitas pyramidal.
 Lower Motor Neuron
Merupakan neuron yang langsung berhubungan dgn otot, dapat dijumpai
pada batang otak dan kornu anterior medulla spinalis. Gangguan pada LMN
memberikan kelumpuhan tipe LMN yaitu parese yang sifatnya flaccid, arefleksi,
tak ada refleks patologis, atrofi cepat terjadi.

8
 Susunan Somestesia
Perasaan yang dirasa oleh bagian tubuh baik dari kulit, jaringan ikat, tulang
maupun otot dikenal sebagai somestesia. Terdiri dari:
a. Perasaan eksteroseptif dalam bentuk rasa nyeri, rasa suhu dan rasa raba.
b. Perasaan proprioseptif : disadari sebagai rasa nyeri dalam, rasa getar, rasa
tekan, rasa gerak dan rasa sikap.
c. Perasaan luhur: diskriminatif & dimensional.

B. PATOLOGI

1. Defenisi

Paresis merupakan kelemahan atau kelumpuhan parsial yang ringan atau tidak
lengkap atau suatu kondisi yang ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan atau
gerakan terganggu, kelemahan disini berupa hilangnya sebagian fungsi otot untuk
satu atau lebih kelompok otot yang dapat menyebabkan gangguan mobilitas
bagian yang terkena. Paresis pada anggota gerak dibagi menjadi 4 macam yaitu :

a. Monoparesis : kelemahan pada satu ekstremitas atas atau ekstremitas


bawah

b. Paraparesis : kelemahan pada kedua ekstremitas bawah

c. Hemiparesis : kelemahan pada satu sisi tubuh yaitu satu ekstremitas atas
dan satu ekstremitas bawah pada sisi yang sama

d. Tetraparesis : kelemahan pada keempat ekstremitas

Sedangkan Paraparesis digunakan untuk mendeskripsikan kelemahan pada


kedua kaki. Terminologinya cukup luas, menyangkut gangguan gait yang
disebabkan lesi pada UMN, walaupun tidak ditemukan kelemahan pada
pemeriksaan otot secara manual. Paraparesis juga dapat berasal dari lesi pada
lokasi lain yang mempengaruhi UMN (terutama lesi parasagital dan
hidrocepalus) dan LMN (lesi pada cornu anterior, kauda equina, dan neuropati
perifer).

9
Paralisis adalah kehilangan atau gangguan fungsi motorik pada suatu
bagian akibat lesi pada mekanisme saraf atau otot.

Paraplegia adalah paralisis bagian bawah tubuh termasuk tungkai.

 KLASIFIKASI

Pembagian Paraparesis berdasarkan kerusakan topisnya :

a. Paraparesis Spastik

Terjadi karena kerusakan yang mengenai Upper motor neuron


(UMN), sehingga menyebabkan peningkatan tonus otot atau hipertoni.
Rekoil kaki yang kuat untuk tarik intens tiba-tiba dan clonus
pergelangan kaki berkelanjutan.

b. Paraparesis Flaksid

Terjadi karena kerusakan yang mengenai Lower motor neuron


(LMN), sehingga menyebabkan penurunan tonus otot atau hipotoni
serta tidak ada peregangan. Recoil kaki lemah untuk tarik intens tiba-
tiba dan tidak ada clonus pergelangan kaki.

2. Etilogi

Kelainan akut pada medulla spinalis dengan defisit UMN biasanya


menunjukkan gejala inkontinensia, hilangnya sensoris dari ekstremitas bawah
yang menjalar kearah rostral tubuh setinggi dermatom medulla spinalis yang
terkena lesi, tonus otot bersifat flaccid dan reflex tendon menghilang, pada
beberapa kasus, penegakan diagnosis didasarkan pada pencitraan radiologis
pada medulla spinalis.
Kelainan-kelainan UMN tersebut dapat berupa:
1. Lesi kompresif (seperti tumor epidural, abscess, ataupun hematoma)
2. Infark medulla spinalis (propriosepsi biasanya terganggu)

10
3. Fistula arteriovenous atau kelainan vaskular lainnya (trombosis arteri
spinalis anterior)5
4. Mielitis transversa
Kelainan pada hemisfer serebral yang dapat menyebabkan paraparesis
akut yakni anterior cerebral artery ischemia (reflex mengangkat bahu dapat
terganggu), superior sagittal sinus atau cortical venous thrombosis, dan acute
hydrocephalus. Jika tanda UMN disertai adanya drowsiness, confusion,
seizures, atau tanda hemisferik lainnya tanpa adanya gangguan sensoris maka
penegakan diagnosis dimulai menggunakan MRI otak. Paraparesis merupakan
bagian dari sindrom kauda equine yang dapat disebabkan oleh trauma pada
punggung bawah, HNP, dan tumor intraspinal.2

Paraparesis flaksid terjadi karena kerusakan yang mengenai Lower Motor


Neuron (LMN). Trauma, infeksi (poliomyelitis), kelainan vascular, penyakit
degenerative dan neoplasma dapat menimbulkan lesi Lower Motor Neuron
dengan merusak badan-badan sel di dalam columna grisea anterior atau
aksonnya di dalam radiks anterior atau saraf spinal. Pada poliomyelitis,
sejumlah sel kornu anterior hilang secara akut dan ireversibel, terutama di
region lumbalis, menyebabkan paresis flaksid pada otot-otot di segmen yang
sesuai. Otot proksimal cenderung lebih terpengaruh daripada otot distal. Otot
menjadi atrofi dan pada kasus berat dapat tergantikan seluruhnya oleh jaringan
ikat dan lemak. Poliomyelitis jarang mengenai seluruh otot ekstremitas, karena
sel-sel kornu anterior tersusun di kolumna vertical yang panjang di dalam
medulla spinalis. Paraparesis flaksid dapat juga terjadi bila lesi mengenai
bagian atas kauda equina.

3. Tanda dan Gejala

Adanya kerusakan sebagian atau keseluruhan dari medulla


spinalis, dapat menyebabkan hilangnya fungsi dari sel-sel yang mengalami
cedera, sehinggaimpuls saraf ke otak mulai dari daerah cedera ke bawah serta
tractus dari sel-selyang menghantarkan impuls dari pusat motorik dan akan

11
berakhir pada daerahyang mengalami cedera. Gejala-gejala yang timbul
tergantung dari penyebabnya,bila terjadi secar tiba-tiba akan mengalami
spinal shock yang ditandai denganflaccid paralysis. Kerusakan diatas L1
memberikan gambaran lesi UMN sedangkan kerusakan di bawah L1
memberikan gambaran LMN.

4. Patofisiologi
Lesi yang mendesak medula spinalis sehingga merusak daerah jaras
kortikospinalis lateral dapat menimbulkan kelumpuhan UMN pada otot–otot
bagian tubuh yang terletak di bawah tingakt lesi. Lesi yang memotong
melintang (transversal) medula spinalis pada tingkat servikal, misalnya C5
dapat mengakibatkan kelumpuhan UMN pada otot yang berada di bawah C5,
yaitu sebagian dari kedua otot – otot kedua lengan yang berasal dari miotoma
C6 sampai miotoma C8, kemudian otot – otot thorax dan abdomen serta
segenap muskular kedua tungkai. Kelumpuhan semacam ini disebut sebagai
paraplegi.
Akibat terputusnya lintasan somatosensorik dan lintasan autonom
neurovegetatif asenden dan desenden, maka tingkat dari lesi kebawah,
penderita tidak merasakan buang air besar dan buang air kecil serta tidak
memperlihatkan reaksi nuerovegetatif.
Lesi transversal yang memotong medula spinalis pada tingkat seluler
atau tingkat lumbal yang mengakibatkan kelumpuhan yang pada dasarnya
yang serupa denga lesi yang terjadi pada daerah servikal, yaitu pada tingkat
lesi dan dibawah tingkat lesi terdapat kelumpuhan UMN. Kelumpuhan LMN
pada tingkat lesi melibatkan kelompok otot yang merupakan sebagian kecil
dari muskular toraks dan abdomen, namun kelumpuhan tidak begitu jelas
dikarenakan peranan dari muskular tersebut tidak begitu jelas.
Tingkat lesi transversal di medula spinalis mudah terungkap oleh
batas defisit sensorik. Dibawah batas tersebut, tanda – tanda UMN dapat
ditemukan pada kedua tungkai secara lengkap.

12
5. Proses Patologi Gangguan Gerak dan Fungsi

Akibat lesi di medula spnalis dapat terjadi manifestasi:

1. Gangguan fungsi motorik

a. Gangguan motorik di tingkat lesi:. Karena lesi total juga merusak


kornu anterior medula spinalis dapat terjadi kelumpuhan LMN
pada otot-otot yang dipersyarafi oleh kelompok motoneuron yang
terkena lesi dan menyebabkan nyeri punggung yang terjadi secara
tiba-tiba

b. Gangguan motorik di bawah lesi: dapat terjadi kelumpuhan UMN


karena jarak kortiko spinal lateral segmen thorakal terputus.
Gerakan refleks tertentu yang tidak dikendalikan oleh otak akan
tetap utuh atau bahkan meningkat. Contohnya, refleks lutut tetap
ada dan bahkan meningkat. Meningkatnya refleks ini menyebabkan
kejang tungkai. Refleks yang tetap dipertahankan menyebabkan
otot yang terkena menjadi memendek, sehingga terjadi kelumpuhan
jenis spastik. Otot yang spastik teraba kencang dan keras dan sering
mengalami kedutan

a. Gangguan fungsi sensorik : karena lesi total juga merusak kornu


posterior medula spinalis maka akan terjadi penurunan atau hilang
fungsi sensibilitas dibawah lesi. Sehingga klien tidak dapat merasakan
adanya rangsang taktil, rangsang nyeri, rangsang thermal, rangsang
discrim dan rangsang lokalis

b. Gangguan fungsi autonom: karena terputusnya jaras ascenden


spinothalamicus maka klien akan terjadi kehilangan perasaan akan
kencing dan alvi.

13
A. Pendekatan Intervensi Fisioterapi
1. Positioning

Bila pasien hanya mampu bergerak dengan bantuan orang lain,


fisioterapis adalah salah satu anggota tim yang berperan dalam membantu
gerakan pasien selain perawat. Fisioterapis memegang peranan penting
dalam mengatur posisi anggota gerak untuk mencegah deformitas dan
untuk mengobservasi area yang terkena tekanan untuk melihat adanya
tanda – tanda timbulnya kelainan, seperti decubitus.

2. Latihan pernapasan (Breathing Exercise)


Latihan pernapasan yang dilakukan dengan teknik deep breathing dan
chest expantion secara aktif. Tujuan dari latihan pernapasan ini antara lain:
(1) menambah atau meningkatkan ekspansi thorak, (2) memelihara
ventilasi, (3) mempertahankan kapasitas vital, (4) mencegah komplikasi
paru, (5) relaksasi. Pada teknik deep breathing, pasien diminta melakukan
inspirasi dan ekspirasi secara maksimal dengan kombinasi gerakan-
gerakan pada lengan secara bilateral sedangkan pada teknik chest
expantion dilakukan seperti latihan pernapasan biasa dengan diberi
tahanan manual. Latihan pernapasan ini dilakukan dengan pengulangan
sebanyak tiga kali atau sesuai toleransi pasien (Hollis dan Fletcher)

3. Passive ROM exercise


Tujuan : untuk mempertahankan sifat fisiologis dan meningkatkan
mobilitas sendi

Teknik :

a. Dalam posisi tidur terlentang.

b. Fisioterapi memberikan gerakan flexi-ekstensi pasif secara bergantian


disetiap persendian pada kedua tungkai. Fisioterapi memberikan
gerakan rotasi hip searah dan berlawanan jarum jam secara bergantian
pada kedua tungkai

14
c. Fisioterapis memberikan gerakan abduksi-adduksi dan eksorotasi-
endorotasi hip serta dorso-plantar flexi ankle secara pasif pada kedua
tungkai.. Pemberian pasif exercise juga diperlukan untuk ext. atas otot
untuk menguatkan otot ext. atas untuk membantu

4. Streaching exercise
Tujuan : Untuk mencegah kontraktur sekaligus sebagai koreksi postur

Tekink : Pasien tidur terlentang kemudain fisioterapi menggerakkan kedua


tungkai bergantia secara passive disetiap persendian disegalah
arah dan ditambah dengan penguluran

5. ADL exercise
Tujuan : untuk meningkatkan ADL tidur dan persiapan bangun ketidur

Teknik : fisioterapi memberikan fasislitasi refleks tidur lalu mengajarkan


pasien dari posisi tidur terlentang miring ke kiri atau ke kanan

15
BAB III

PROSES FISIOTERAPI

A. Laporan status klinik

Tanggal : 04 April 2018

B. Data-data Medis

1. Diagnosa Medis : Paraparese Upper Motor Neuron et causa suspect


fraktur kompresi medulla spinalis L1.

2. Diagnosa Fisioterapi : Gangguan Motor Function Paraparese et Causa


Fraktur Kompresi Medulla spinalis L1.

3. Ruang : Lontara 3 Saraf Kamar 2 Bed 3

C. Keterangan Umum Penderita

 Anamnesis Umum

a. Nama : Tn. R

b. Umur : 29 tahun

c. Jenis Kelamin : Laki-laki

d. Tanggal Lahir : 01 Juli 1988

e. Alamat : Tosi’ Tanah Toraja

f. Pekerjaan : Wiraswasta

 Anamnesis Khusus

a. Keluhan Utama : Kelemahan pada kedua kaki dan nyeri punggung

b. Letak keluhan : Kedua tungkai dan punggung

c. Lama Keluhan : ± 3 minggu yang lalu

d. Sifat Keluhan : Rasa tertusuk dan ngilu

16
e. Penyebab : Trauma (Terjatuh)

f. RPP : Dialami sekitar 3 Minggu yang lalu dan dialami


secara tiba-tiba namun sebelumnya pasien pernah terjatuh pada pohon
Kelapa setinggi 10 meter. Setelah terjatuh dari pohon pasien sudah tidak
bisa berjalan atau menggerakkan kedua kaki, pasien kemudian dilarikan ke
RS Lakipadada dan kemudian di rujuk ke Rs wahidin.

g. Riwayat Penyakit Sekarang : Tidak ada

D. Pemeriksaan Vital Sign

Tekanan Darah : 120/70 mmHg

Denyut Nadi : 90 x/menit

Pernafasan : 20 x/menit

Temperature : 37 oC

E. Inspeksi

a. Statis

- Pasien tidur terlentang di atas bed raut wajah lemas, pucat, dan cemas

- Terpasang infus dan kateter

- Pada saat posisi tidur terlentang terlihat tungkai dengan kecenderungan


eksorotasi hip dan ekstensi knee.

b. Dinamis

- Pasien sulit menggerakkan kedua tungkainya


- Pasien masih memerlukan bantuan untuk miring ke kiri dan ke kanan
- Keseluruhan aktivitas masih mendapat bantuan dari orang lain
- Pasien belum bisa duduk dan untuk makan masih memerlukan bantuan
keluarganya.

17
F. Palpasi

Suhu : Hangat

Nyeri :

Visual Analog Scale (VAS)

Menggunakan
 Skala 0-4 mm : Tidak nyeri (Tidak ada rasa sakit. Merasa normal).
 Skala 5-44 mm : Nyeri ringan (Masih bisa ditahan, aktifitas tak
terganggu).
 Skala 45-74 mm : Nyeri sedang (Mengganggu aktifitas fisik).
 Skala 75-100 mm : Nyeri berat (Tidak dapat melakukan aktifitas
secara mandiri).
Hasil : 7,1 => Skala 45-74 mm : Nyeri sedang (Mengganggu aktifitas fisik).

G. Pemeriksaan Spesifik dan pengukuran fisioterapi


 Pemeriksaan Kognitif
Pasien diajak berbicara dengan memberikan beberapa pertanyaan

Hasil : Komunikasi baik

 Tes Tonus Otot menggunakan skala ASWORTH


Prosedur : Fisioterapi menggerakan persendian pada lengan dan
tungkai pasien disertai melakukan palpasi pada otot

18
Grade Keterangan
0 Tidak ada peningkatan tonus otot

1 Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan terusnya


tahanan minimal pada akhir ROM pada waktu sendi digerakkan
fleksi atau ekstensi

2 (1+) Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan danya


pemberhentian gerakan pada pertengan ROM dan adanya
tahanan minimal sepanjang sisa ROM

3 (2) Peningkatan tonus otot lebih nyata sepanjang sebagian besar


ROM tapi sendi masih mudah digerakkan

4 (3) Peningkatan tonus otot sangat nyata sepanjang ROM, gerak


pasif sulit dilakukan

5(4) Sendi atau ekstremitas kaku/rigid pada gerakan fleksi atau


ekstensi

Hasil : Nilai 1 (Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan


terusnya tahanan minimal pada akhir ROM pada waktu sendi
digerakkan fleksi atau ekstensi)

 Tes Refleks

1. Refleks Fisiologis

- Biceps
Fisioterapi memegang lengan pasien yang di semiflexikan sambil
menempatkan ibu jari di atas tendon m. Biceps, lalu ibu jari diketuk
Hasil : Normal/ Ada Refleks

- Triceps
Fisioterapi memegang lengan bawah pasien yang di
semiflexikan.Setelah itu, ketok pada tendon m. Triceps, yang berada
sedikit di atas olekranon.
Hasil : Normal/ Ada Refleks

19
- Knee Pess Reflex
Tungkai diflexikan dan digantungkan, lalu ketok pada tendon m
Quadriceps Femoris (dibawah patella pada tuberositas tibia)
Hasil : Normal/ Ada Refleks

- Achilles Pess Reflex


Tungkai bawah diflexikan sedikit, kemudian Fisioterapi memegang
kaki pada ujungnya untuk memberikan sikap dorsoflexi ringan pada
kaki setelah itu tendon Achilles di ketuk
Hasil : Normal/ Ada Refleks

2. Refleks Patologis
- Chaddok
Prosedur :Pasien tidur terlentang, kemudian tarik garis kedepan
pada kulit dorsum kaki lateral melingkari malleolus
Hasil : Tidak ada refleks / Hyporefleks

- Babinsky
Prosedur : Pasien dalam posisi tidur terlentang, kemudian tarik garis
dari tumit ke sepanjang arah lateral kaki ke arah jari-jari
kaki dengan cepat.
Hasil : Tidak ada refleks / Hyporefleks

- Gordon
Prosedur : Pasien tidur telentang, kemudian memencet/mencubit
otot gastrocnemius.
Hasil : Tidak ada refleks / Hyporefleks

- Refleks Schaefer
Prosedur : Memencet (mencubit) tendon achilles.
Hasil : Tidak ada refleks / Hyporefleks

20
 Tes Sensorik
- Tes Tajam Tumpul
Prosedur : Fisioterapimenyentuh atau menggoreskan ujuang
hammer pada kedua tungkai pasien
Hasil : Tidak terasa

- Tes Rasa Sakit


Prosedur : Fisioterapi memberikan cubitan pada kedua
tungkai pasien
Hasil : Tidak terasa

- Tes Diskriminasi dua titik


Prosedur : Fisioterapi memberi 2 atau 1 titik pada ekstremitas
superior dan inferior pasien
Hasil : Pada ekstremitas inferior tidak terasa

 Manual Muscle Testing (MMT)


Prosedur : Fisioterapi menginstruksikan kepada pasien untuk
menggerakkan kedua tungkai secara bergantian kemudian fisioterapis
memberikan tahanan dan mengecek nilai otot pasien.

Kriterian penilaian Kekuatan otot ( menurut Nancy, 1999 )

HURUF/ ISTLAH
NO DEFINISI
GRADE KLASIFIKASI

Tidak ada kontraksi yang nyata baik terlihat atau


0 Zero
pemeriksaan palpasi
1 TR Trace Ada kontraksi sedkit, tidak ada gerakan

Gerakannya sebatas sebagian ROM tapi dengan


2- P- Poor minus
posisi tubuh dimana gaya gravitasi di hilangkan
Gerakan sesuai ROM secara penuh tapi dengan
2 P Poor
posisi tubuh dimana gaya gravitasi dihilangkan

21
Gerakan sesuai ROM secara penuh tapi dengan
posisi tubuh dimana gaya gravitasi di hilangkan
2+ P+ Poor plus
dan ditingkatkan hingga ½ ROM melawan gaya
gravitasi
Gerakan sesuai ROM secara penuh dengan
posisi tubuh dimana gaya gravitasi dihilangkan
3- F- Fair minus
dan ditingkatkan hingga ROM lebih dari ½
dengan melawan gaya gravitasi
Gerakan sesuai ROM secara penuh melawan
3 F Fair
gravitasi
Gerakan sesuai ROM secara penuh melawan
3+ F+ Fair plus gravitasi bumi dan dapat melawan resisten
minimal
Gerakan sesuai ROM secara penuh melawan
4 G Good
gravitasi dan dapat melawan tahanan sedang
Gerakan sesuai ROM secara penuh melawan
5 N Normal gravitasi dan dapat menahan beban secara
maximal

Hasil : Nilai 1 (Ada kontraksi sedkit, tidak ada gerakan)

 Tes Keseimbangan
Tujuan : Melatih keseimbangan
Tekhnik : Pasien dalam posisi duduk, kemudian fisioterapi memberikan
aproksimasi atau dorongan ke kanan, kiri, depan dan belakang, apabila
pasien terdorong atau jatuh dan tidak dapat mempertahnkan
keseimbangannya maka hasil tes positif.

Hasil : Pasien tidak dapat menahan dorongan atau senggolan

 Tes Area Dermatom


Menggunakan test raba, tekan, tusuk di area bergambar L1-L5 jika
hasilnya tidak ada respon perasa dikulit atau rasa baal dan mati rasa ke
arah lesi postif.

Hasil :

22
 Tes kemampuan fungsional
Kuesioner ADL Index Barthel (BAI)

No Fungsi Skor Keterangan


1 Mengendalikan 0 Tak terkendali/tak teratur (perlu
rangsang pembuangan pencahar)
tinja 1 Kadang-kadang tak terkendali (1x
seminggu)
2 Terkendali teratur

2 Mengendalikan 0 Tak terkendali atau pakai kateter


rangsang berkemih 1 Kadang-kadang tak terkendali (hanya
1x/ 24 jam)
2 Mandiri
3 Membersihkan diri 0 Butuh pertolongan orang lain
(seka muka, sisir 1 Mandiri
rambut, sikat gigi)
4 Penggunaan jamban, 0 Tergantung pertolongan orang lain
masuk dan keluar 1 Perlu pertolongan pada beberapa
(melepaskan, memakai kegiatan tetapi dapat mengerjakan
celana, membersihkan, sendiri beberapa kegiatan yang lain
menyiram) 2 Mandiri

5 Makan 0 Tidak mampu

23
1 Perlu ditolong memotong makanan
2 Mandiri

6 Berubah sikap dari 0 Tidak mampu


berbaring ke duduk 1 Perlu banyak bantuan untuk bisa duduk
(2 orang)
2 Bantuan minimal 1 orang
3 Mandiri

7 Berpindah / berjalan 0 Tidak mampu


1 Bisa (pindah) dengan kursi roda
2 Berjalan dengan bantuan 1 orang
3 Mandiri

8 Memakai baju 0 Tergantung orang lain


1 Sebagian di bantu (misalnya
mengancing baju)
2 Mandiri

9 Naik turun tangga 0 Tidak mampu


1 Butuh pertolongan
2 Mandiri

10 Mandi 0 Tergantung orang lain


1 Mandiri

TOTAL SKOR

Keterangan : Skor BAI


20 : Mandiri
12 – 19 : Ketergantungan ringan
9 – 11 : Ketergantungan sedang
5–8 : Ketergantungan berat
0–4 : Ketergantungan total
Hasil : 6 Ketergantungan berat

24
H. Pemeriksaan Tambahan
 Hasil X-Ray (Foto Polos) Foto Thoracal 2 posisi
Foto Thoracolumbal AP/Lat :

CT SCAN-LUMBAL

 Hasil laboratorium

25
I. Diagnosa dan problematik Fisioterapi ( sesuai konsep ICF)
Nama pasien : Tn.R
Umur : 29 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki

Kondisi/Penyakit :
Gangguan Motor Function Paraparese UMN Et Causa Fraktur Kompresi Medulla
Spinalis L1

Impairment Acivity Limitation Participation Restriction


(Body structure and function)
 Tidak mampu balik kanan  Sulit melakukan aktivitas
 Adanya kelemahan pada dan kiri secara mandiri sehari-hari
kedua tungkai  Belum mampu memposisikan  Tidak mampu bekerja
 Mati rasa / numbness dari tidur ke duduk dengan baik
 Adanya gangguan ADL  Tidak mampu berdiri dan  Adanya hambatan dalam
(berdiri, berjalan) berjalan dengan kedua melakukan aktivitas sosial
tungaki antara pasien dengan
 Sulit untuk mengambil benda keluarga dan masyarakat
disekitarnya

J. Tujuan Intervensi fisioterapi


 Tujuan jangka pendek
- Memelihara sifat fisiologis otot pada pinggang, perut dan kedua
tungkai
- Memperbaiki ADL tidur
- Melatih keseimbagan
- Mencegah dikubitus
- Mencegah kontraktur
 Tujuan jangka panjang
Meningkatkan kapasitas fisik dan kemampuan fungsional pasien

26
K. Rencana intervensi Fisioterapi
1. Passive ROM Exercise
2. Streatching Exercise
3. Strenghtening
4. Positioning
5. ADL Exercise
6. Breathing Exercise
7. Proprioceptive Neuromuscular Facilitation (PNF)
8. Latihan keseimbangan

L. Program intervensi fisioterapi


1. Komunikasi terapeutik
Tujuan : Untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran
pada pasien
2. Passive ROM exercise
Tujuan : Untuk mempertahankan sifat fisiologis dan meningkatkan
mobilitas sendi

Teknik :

- Pasien dalam posisi tidur terlentang.

- Fisioterapi memberikan gerakan flexi-ekstensi pasif secara bergantian


disetiap persendian pada kedua tungkai. Fisioterapi memberikan gerakan
rotasi hip searah dan berlawanan jarum jam secara bergantian pada kedua
tungkai, Fisioterapis memberikan gerakan abduksi-adduksi dan eksorotasi-
endorotasi hip serta dorso-plantar flexi ankle secara pasif pada kedua
tungkai. Pemberian pasif exercise juga diperlukan pada extremitas superior
untuk menguatkan otot ext. superior

Dosis : Dilakukan 8 kali hitungan selama 8 kali repitisi atau 3 menit

3. Streaching exercise

27
Tujuan : Untuk mencegah kontraktur sekaligus sebagai koreksi postur
pasien yang tidak sesuai

Tekink : Pasien tidur terlentang kemudain fisioterapi menggerakkan kedua


tungkai bergantian secara passive disetiap persendian disegala arah dan
ditambah dengan penguluran otot

Dosis : Dilakukan 8 kali hitungan selama 8 kali repitisi

4. Strenghtening

Tujuan : Meningkatkan kekuatan otot-otot lengan dan tungkai


Teknik :Pasien dalam keadaan tidur telentang di atas bed, fisioterapis
menggerakkan lengan dan tungkai pasien secara bergantian kemudian
minta pasien untuk menahan gerakan tersebut

Dosis : Setiap hari 6 x repetisi

5. Positioning
Tujuan : Untuk mencegah terjadi dekubitus

Teknik : Fisioterapis memposisikan sekaligus mengajarkan perubahan


posisi tidur dari posisi terlentang ke posisi miring kiri atau ke kanan.

Dosis : Kurang lebih 2 jam melakukan miring kanan dan miring kiri

6. ADL exercise

Tujuan : Untuk meningkatkan ADL tidur dan persiapan bangun dari tidur

Teknik : Fisioterapi memberikan fasislitasi refleks tidur lalu mengajarkan


pasien dari posisi tidur terlentang miring ke kiri atau ke kanan

7. Breathing exercise

Tujuan : untuk memperbaiki pola napas pasien

Teknik : Pulsed lip breathing pasien di perintahkan untuk menarik nafas


dalam dalam lalu mengeluarkannya lewat mulut terbuka secara perlahan-
lahan.
28
8. Proprioceptive Neuromuscular Facilitation (PNF)

Tujuan : Memperbaiki stabilitas postur dan merangsang otot-otot tungkai


berkontraksi dengan teknik PNF stabilizing reversal

Teknik 1 :

- Pasien dalam keadaan tidur telentang diatas bed dengan posisi fleksi
knee
- Berikan fiksasi pada angkle pasien agar tungkai tidak terangkat
- Berikan stimulasi agar pasien mengangkat pantatnya
Teknik 2 :

- Pasien dalam keadaan tidur telentang diatas bed dengan posisi fleksi
knee
- Minta pasien untuk meluruskan tangannya kedepan dan saling
mengenggam/bertautatan
- Kemudian posisikan pasien untuk duduk dan sedikit serong ke kiri dan
kanan jika tidak mampu secara mandiri berikan bantuan
- Minta pasien untuk mempertahankan posisi tersebut
Dosis : Setiap hari 6x repetisi

9. Latihan Keseimbangan (Bridging exercise)

Tujuan : Melatih keseimbangan pasien


Tekhnik : Fisioterapi memberikan fasilitasi refleks mengangkat pantat dan
membantu mempertahankannya

M. Evaluasi Fisioterapi
Setelah dilakukan intervensi Fisioterapi pada pasien tersebut, tampak
tidak ada peningkatan kekuatan otot dan secara keseluruhan belum
menunjukkan peningkatan yang progressive

29
N. Edukasi
- Menganjarkan dan memberikan contoh kepada pasien dan keluarga pasien
latihan positioning yaitu berupa balik ke kanan dan ke kiri untuk
mencegah tirah baring/decubitus
- Menganjarkan dan memberikan contoh kepada keluarga pasien latihan
passive ROM berupa gerakan menekuk atau gerakan fleksi ekstensi,
adduksi abduksi, internal rotasi dan eksternal rotasi pada ke dua tungkai
secara bergantian untuk mencegah atropi dan kontraktur pada otot
- Pasien harus menyemangati dirinya sendiri untuk berfikir positif untuk
kesembuhannya.

30
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Paraparese adalah terjadinya gangguan antara kedua anggota gerak tubuh
bagian bawah . Hal ini terjadi karena adanya defek antara sendi facet superior
dan inferior (pars interartikularis). paraparese adalah adanya defek pada pars
interartikularis tanpa subluksasi korpus vertebrata. paraparese terjadi pada 5%
dari populasi. Kebanyakan penderita tidak menunjukkan gejala atau gejalanya
hanya minimal, dan sebagian besar kasus dengan tindakan konservatif
memberikan hasil yang baik. paraparese dapat terjadi pada semua level
vertebrata, tapi yang paling sering terjadi pada vertebrata lumbal bagian
bawah(Iskandar, 2002).
Ada pun Pendekatan Intervensi Fisioterapi yang akan digunakan adalah :
1. Passive ROM exercise 6. Breathing Execrcise
2. Streaching exercise 7. Latihan keseimbangan
3. Strenghtening
4. Positioning
5. ADL exercise

Dalam hal ini Peran fisioterapi dalam mengembalikan aktifitas fungsional


seperti semula dengan menerapkan intervensi yang efektif dan Terapi
Latihan yang diberikan agar fungsi dan gerak menjadi tidak terganggu dan
mencegah timbulnya komplikasi.

B. Saran
1. Penanganan fisioterapi dapa memberikan perubahan yang baik sesuai dengan
yang di inginkan terhadap pasien yang tangani sehingga pasien dapat
beraktivitas kembali dalam kehidupan sehari-hari.
2. Fisioterspi memberikan latihan home program kepada pasien

31

You might also like