You are on page 1of 13

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.

R USIA 23 TAHUN DENGAN


FRAKTUR DEKOMPRESI THORAKAL
Untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Emergency
RSUD Ngudi Waluyo Blitar

Oleh:
Ratna Juwita
NIM. 170070301111104

PROGRAM PROFESI NERS JURUSAN KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
1. Anatomi Tulang Vertebra
Tulang vertebrae terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah
tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sacral. Tulang servikal,
torakal dan lumbal masih tetap dibedakan sampai usia berapapun, tetapi tulang
sacral dan koksigeus satu sama lain menyatu membentuk dua tulang yaitu tulang
sakum dan koksigeus. Diskus intervertebrale merupkan penghubung antara dua
korpus vertebrae. Sistem otot ligamentum membentuk jajaran barisan (aligment)
tulang belakang dan memungkinkan mobilitas vertebrae.

2. Definisi
Fraktur artinya keadaan patah atau diskontinuitas dari jaringan tulang,
sedangkan kompresi artinya tekanan atau tindihan, jadi fraktur kompresi adalah
diskontinuitas dari jaringan tulang akibat dari suatu tekanan atau tindihan yang
melebihi kemampuan dari tulang tersebut. Fraktur kompresi adalah suatu
keretakan pada tulang yang disebabkan oleh tekanan, tindakan menekan yang
terjadi bersamaan. Fraktur kompresi pada vertebral umumnya terjadi akibat
osteoporosis. Fraktur kompresi vertebra adalah suatu fraktur yang merobohkan
ruas tulang belakang akibat tekanan dari tulang, mendorong ke arah robohan
ruas-ruas tulang belakang yang kebanyakan seperti sebuah spons/bunga karang yang
roboh di bawah tekanan tangan seseorang.
3. Etiologi
Fraktur vertebra, khususnya vertebra servikalis dapat disebabkan oleh
trauma hiperekstensi, hiperfleksi,ekstensi rotasi, fleksi rotasi, atau kompresi
servikalis. Fraktur vertebra thorakal bagian atas dan tengah jarang terjadi, kecuali
bila trauma berat atau ada osteoporosis. Karena kanalis spinal di daerah ini
sempit, maka sering disertai gejala neurologis. Mekanisme trauma biasanya
bersifat kompresi atau trauma langsung. Pada kompresi terjadi fraktur kompresi
vertebra, tampak korpus vertebra berbentuk baji pada foto lateral. Pada trauma
langsung dapat timbul fraktur pada elemen posterior vertebra, korpus vertebra
dan iga di dekatnya.
Fraktur dapat disebabkan oleh berbagai hal, yaitu:
1. Kecelakaan
Kebanyakan fraktur terjadi karena kecelakaan lalu lintas
2. Cidera olah raga
Saat melakukan olah raga yang berat tanpa pemanasan sehingga terjadi
cedera olah raga yang menyebabkan fraktur
3. Osteoporosis
Lebih sering terjadi pada wanita usia di atas 45 tahun karena terjadi
perubahan hormone menopause
4. Malnutrisi
Pada orang yang malnutrisi terjadi deficit kalsium pada tulang sehingga
tulang rapuh dan sangat beresiko sekali terjadi fraktur
5. Kecelakaan
Kecerobohan di tempat kerja biasa terjadi, yang dapat menyebabkan
fraktur. (Reeves, 2000)
4. Patofisiologi Fraktur Vertebra
Mekanisme trauma yang terjadi pada trauma tulang belakang adalah:
a. Fleksi. Trauma terjadi akibat fleksi dan diserta dengan sedikit kompresi
pada vertebra. Vertebra mengalami tekanan berbentuk remuk yang dapat
menyebabkan kerusakan atau tanpa kerusakan ligamen posterior. Apabila
terdapat kerusakan ligamen posterior, fraktus bersifat tidak stabil dan dapat
terjadi subluksasi.
b. Fleksi dan rotasi. Trauma jenis ini merupakan trauma fleksi yang bersama
– sama dengan rotasi. Pada trauma ini terdapat strain dan ligamen dan
kapsul serta ditemukan fraktur faset. Pada kejadian ini terjadi pergerakan
ke depan atau dislokasi vertebra diatasnya. Semua fraktur dislokasi bersifat
tidak stabil.
c. Kompresi vertikal (aksial). Trauma vertikal yang secara langsung mengenai
vertebra akan menyebabkan kompresi aksial. Nukleus polposus akan
memecahkan permukaan serta badan vertebra secara vertikal. Material
diskus akan masuk dalam badan vertebra dan menyebabkan vertebra bisa
menjadi rekah (pecah). Pada trauma jenis ini elemen posterior masih utuh
sehingga fraktur yang terjadi bersifat stabil.
d. Hiperekstensi atau retroekstensi. Biasanya terjadi hiperekstensi sehingga
terjadi kombinasi distraksi dan ekstensi. Keadaan ini sering ditemukan
pada vertebra servikalis dan jarang pada vertebra torakolumbalis.
Ligammen anterior dan diskus dapat mengalami kerusakan atau terjadi
fraktur pada arkus neuralis. Fraktur ini biasanya bersifat stabil.
e. Fleksi lateral. Kompresi atau trauma distraksi yang menimbulkan fleksi
lateral akan menyebabkan fraktur pada komponen lateral, yaitu pedikel,
foramen vertebra dan sendi laser.
f. Fraktur dislokasi. Trauma yang menyebabkan terjadinya fraktur tulang
belakang dan dislokasi pada tulang belakang.
Pada pasien dengan fraktur vertebra datang dengan nyeri tekan akut,
pembengkakan, spasme otot paravertebralis dan perubahan lengkungan normal
atau adanya gap antara prosesus spinosus. Nyeri akan memberat saat bergerak,
batuk atau pembebanan berat badan (Brunner dan Suddarth, 2001; 2387).
Trauma pada sumsum tulang belakang dapat terjadi perdarahan pada sumsum
tulang belakang yang disebut hematomiela. Gejala yang penting adalah tetap
adanya sensibilitas di bawah trauma (pinprick perianal). Gejala yang paling
sering terjadi adalah sindrom sentral berupa paralisis layu yang diikuti paralisis
lower motor neuron anggota gerak atas dan paralisis upper motor neuron
(spastik) dari anggota gerak bawah disertai kontrol kandung kemih dan
sensibilitas perianal yang tetap baik. Trauma tulang belakang jika mengenai:
a. Vertebra servikalis. Jika terjadi trauma pada vertebra servikalis, maka
dapat terjadi kelumpuhan otot pernapasan karena blok saraf simpatis
sehingga klien dapat mengalami gagal napas. Trauma vertebra servikalis
juga dapat menyebabkan quadiplegik dengan disfungsi kedua lengan,
kedua kaki, defekasi dan berkemih.
b. Vertebra torakolumbalis. Dapat terjadi paraplegi dan gangguna dalam
menelan.
c. Vertebra sakralis. Jika trauma terjadi pada vertebra ini akan terjadi
disfungsi bladder dan bowel. Trauma pada sakralis juga dapat
menyebabkan penis erection.
5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik fraktur antara lain :
a. Edema/pembengkakan
b. Nyeri: spasme otot akibat reflek involunter pada otot, trauma langsung
pada jaringan, peningkatan tekanan pada saraf sensori, pergerakan pada
daerah fraktur.
c. Spasme otot: respon perlindungan terhadap injuri dan fraktur
d. Deformitas
e. Echimosis: ekstravasasi darah didalam jaringan subkutan
f. Kehilangan fungsi
g. Crepitasi: pada palpasi adanya udara pada jaringan akibat trauma terbuka
1) Manifestasi klinis fraktur vertebra pada cervical
a. C1-C3 : gangguan fungsi diafragma (untuk pernapasan)
b. C4 : gangguan fungsi biceps dan lengan atas
c. C5 : gangguan fungsi tangan dan pergelangan tangan
d. C6 : gangguan fungsi tangan secara komplit
e. C7 : gangguan fungsi jari serta otot trisep
f. C8 : gangguan fungsi jari
Gangguan motoriknya yaitu kerusakan setinggi servical menyebabkan
kelumpuhan tetraparese
2) Manifestasi klinis fraktur vertebra pada torakal, antara lain:
a. T1 : gangguang fungsi tangan T1-T8 : gangguan fungsi pengendalian otot
abdominal, gangguan stabilitas tubuh
b. T9-T12 : kehilangan parsial fungsi otot abdominal dan batang tubuh
3) Manifestasi klinis fraktur vertebra pada lumbal, antara lain:
Gangguan motorik yaitu kerusakan pada thorakal sampai dengan lumbal
memberikan gejala paraparese.
a. L1 : Abdominalis
b. L2 : Gangguan fungsi ejakulasi
c. L3 : Quadriceps
d. L4-L5 : Ganguan Hamstring dan knee, gangguan fleksi kaki dan lutut
4) Manifestasi klinis fraktur vertebra pada sakral
Gangguang motorik kerusakan pada daerah sacral menyebabkan gangguan
miksi & defekasi tanpa para parese. Cedera pada segmen lumbar dan sakral
dapat mengganggu pengendalian tungkai, sistem saluran kemih dan anus.
Selain itu gangguan fungsi sensoris dan motoris, cedera vertebra dapat berakibat
lain seperti spastisitas atau atrofi otot.
a. S1 : Gangguan pengendalian tungkai
b. S2-S4 : Penile Erection
c. S2-S3 : Gangguan system saluran kemih dan anus
6. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan radiologi.
Sebagai penunjang,pemeriksaan yang penting adalah pencitraan
menggunakan sinar Rongent (Sinar-X). Untuk mendapatkan gambaran tiga
dimensi dari keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, kita memerlukan
dua proyeksi, yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu
diperlukan proyeksi tambahan (khusus) jika ada indikasi untuk
memperlihatkan patologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu
disadari bahwa permintaan sinar-X harus atas dasar indikasi kegunaan.
Selain foto polos sinar- X (plane X-ray) mungkin diperlukan teknik khusus,
seperti hal – hal berikut:
a. Tomografi, menggambarkan tidak hanya satu struktur saja, tetapi juga
struktur tertutup yang sulit divisualisasikan. Pada kasus ini ditemukan
kerusakan struktur yang kompleks, tidak hanya pada satu struktur saja,
tetapi pada struktur lain yang juga mengalami kerusakan.
b. Mielografi, menggambarkan cabang – cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebra yang mengalami kerusakan
akibnat trauma.
c. Artrografi, menggambarkan jaringan ikat yang rusak karena rudapaksa.
d. Computed Tomography – Scanning, menggambarkan potongan secara
tranversal dari tulang tempat terdapatnya struktur tulang yang rusak.
pemeriksaan ini sifatnya membuat gambar vertebra menjadi 2 dimensi .
Pemeriksaan vertebra dilakukan dengan melihat irisan-irisan yang
dihasilkan CT scan.
2. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang lazim digunakan untuk mengetahui lebih
jauh kelainan yang terjadi meliputi hal – hal sebagai berikut:
a. Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
b. Fosfatase alkali meningkat pada saat kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c. Enzim otot seperti kreatinin kinase, laktat dehidrogenase (LDH – 5),
aspartat amino transferase (AST), dan .. meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
3. Pemeriksaan Lain – lain
Pada pemeriksaan kultur mikroorganisme dan tes sensitivitas didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi
a. Biopsi tulang dan otot: pada intinya, pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan di atas, tetapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi.
b. Elektromiografi: terdapat kerusakan konduksi saraf akibat fraktur.
c. Artroskopi: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
d. Indium imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
e. MRI: menggambarakan semua kerusakan akibat fraktur. Pemeriksaan
ini menggunakan gelombang frekuensiradio untuk memberikan
informasi detail mengenai jaringan lunak di aerah vertebra. Gambaran
yang akan dihasilkan adalah gambaran 3 dimensi . MRIsering
digunakan untuk mengetahui kerusakan jaringan lunak pada ligament
dan diskus intervertebralis dan menilai cedera medulla spinalis.
Pengkajian Primer
1. Respon
Cek respon, dengan memanggil nama klien, menggoyangkan badan, dan
member rangsang nyeri.
2. Airways
a. Bagaimana jalan nafas, bisa berbicara secara bebas
b. Adakah sumbatan jalan nafas (darah, lendir, makanan, sputum)
3. Breathing
a. Bagaimana frekuensi pernafasan, teratur atau tidak, kedalamannya
b. Adakah sesak nafas, bagaimana bunyi nafas
c. Apakah menggunakan otot tambahan
d. Apakah ada reflek batuk
4. Circulation
a. Bagaimana nadi, frekuensi, teratur atau tidak, lemah atau kuat Berapa
tekanan darah
b. Akral dingin atau hangat, capillary refill < 3 detik atau > 3 detik,
warna kulit, produksi urin
Pengkajian Sekunder
Pemeriksaan fisik:
1. Keadaan umum
2. Kepala : bagaimana bentuk kepala, rambut mudah dicabut/tidak, kulit
kepala bersih/tidak
3. Mata : konjungtiva anemis +/-, sclera icterik +/-, besar pupil, refleks
cahaya +/-
4. Hidung :bentuk simetris atau tidak, discharge +/-, pembauan baik atau
tidak.
5. Telinga : simetris atau tidak, discharge +/-
6. Mulut : sianotik +/-, lembab/kering, gigi caries +/-
7. Leher : pembengkakan +/-, pergeseran trakea +/-
8. Dada
a. Paru
Inspeksi : simetris atau tidak, jejas +/-, retraksi intercostal
Palpasi : fremitus kanan dan kiri sama atau tidak
Perkusi : sonor +/-, hipersonor +/-, pekak +/-
Auskultasi : vesikuler +/-, ronchi +/-, wheezing +/-, crekles +/
b. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tampak atau tidak
Palpasi : dimana ictus cordis teraba
Perkusi : pekak +/-
Auskultasi : bagaimana BJ I dan II, gallops +/-, mur-mur +/-
9. Abdomen
Inspeksi : datar +/-, distensi abdomen +/-, ada jejas +/-
Auskultasi : bising usus +/-, berapa kali permenit
Palpasi : pembesaran hepar / lien
Perkusi : timpani +/-, pekak +/-
9. Genetalia : bersih atau ada tanda – tanda infeksi
10. Ekstremitas :
a. Adakah perubahan bentuk: pembengkakan, deformitas, nyeri,
pemendekan tulang, krepitasi
b. Adakah nadi pada bagian distal fraktur, lemah/kuat
c. Adakah keterbatasan/kehilangan pergerakan
d. Adakah spasme otot, ksemutan
e. Adakah sensasi terhadap nyeri pada bagian distal fraktur
f. Adakah luka, berapa luasnya, adakah jaringan/tulang yang keluar
11. Psikologis :
a. Cemas
b. Denial
c. Depresi
7. Penanganan Kegawat Daruratan
Prinsip-prinsip penanganan fraktur vertebra antara lain:
1. Immobilisasi
Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat
kejadian/kecelakaan sampai ke unit gawat darurat.. Yang pertama ialah
immobilisasi dan stabilkan leher dalam posisi normal dengan
menggunakan cervical collar. Cegah agar leher tidak terputar (rotation).
Baringkan penderita dalam posisi terlentang (supine) pada empat/alas
yang keras. Pasien diangkat/dibawa dengan cara 4 men lift atau
menggunakan Robinson’s orthopaedic stretcher.
a. Stabilisasi Medis
b. Periksa vital signs
c. Pasang nasogastric tube
d. Pasang kateter urin
e. Segera normalkan vital signs. Pertahankan tekanan darah yang
normal dan perfusi jaringan yang baik. Berikan oksigen, monitor
produksi urin, bila perlu monitor AGD (analisa gas darah), dan
periksa apa ada neurogenic shock.
2. Mempertahankan posisi normal Vertebra (Spinal Alignment)
Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau
Gardner-Wells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi
traksi diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15
menit sampai terjadi reduksi.
3. Rehabilitasi.
Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk dalam
program ini adalah bladder trainin, bowel training, latihan otot pernafasan,
pencapaian optimal fungsi – fungsi neurologik dan program kursi roda bagi
penderita paraparesis/paraplegia.
8. Komplikasi
Adapun komplikasi dari fraktur vertebra, antara lain:
1. Syok
Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke
jaringan yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar
akibat trauma.
2. Mal union
Pada keadaan ini terjadi penyambungan fraktur yang tidak normal
sehingga menimbulkan deformitas. Gerakan ujung patahan akibat
imobilisasi yang jelek menyebabkan mal union, selain itu infeksi dari
jaringan lunak yang terjepit diantara fragmen tulang, akhirnya ujung
patahan dapat saling beradaptasi dan membentuk sendi palsu dengan
sedikit gerakan (non union) jugadapat menyebabkan mal union.
3. Non union
Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan tulang.
Non union dapat di bagi menjadi beberapa tipe, yaitu:
a. Tipe I (Hypertrophic non union), tidak akan terjadi proses
penyembuhan fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan
fibros yang masih mempunyai potensi untuk union dengan
melakukan koreksi fiksasi dan bone grafting.
b. Tipe II (atropic non union), disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis)
terdapat jaringan synovial sebagai kapsul sendi beserta ronga cairan
yang berisi cairan, proses union tidak akan tercapai walaupun
dilakukan imobilisasi lama.
Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi periosteum
yang luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur, waktu
imobilisasi yang tidak memadai, distraksi interposisi, infeksi dan penyakit
tulang (fraktur patologis).Non union adalah jika tulang tidak menyambung
dalam waktu 20 minggu. Hal ini diakibatkan oleh reduksi yang kurang
memadai.
4. Delayed union
Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam
waktu lama atau lambat dari waktu proses penyembuhan fraktur secara
normal. Pada pemeriksaan radiografi tidak terlihat bayangan sklerosis pada
ujung-ujung fraktur.
5. Tromboemboli, infeksi, koagulopati intravaskuler diseminata (KID)
Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau
pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan
alat seperti plate, paku pada fraktur.
6. Emboli lemak
Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan
sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan
bergabung dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian
menyumbat pembuluh darah kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal,
dan organ lain.
7. Sindrom Kompartemen
Terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot pada tungkai atas maupun
tungkai bawah sehingga terjadi penekanan neurovaskuler sekitarnya.
Fenomena ini disebut ischemi volkmann. Ini dapat terjadi pula pada
pemasangan gips yang terlalu ketat sehingga dapat mengganggu aliran
darah dan terjadi edema didalam otot.
Apabila iskhemi dalam 6 jam pertama tidak mendapatkan tindakan dapat
mengakibatkan kematian/nekrosis otot yang nantinya akan diganti dengan
jaringan fibros yang secara perlahan-lahan menjadi pendek dan disebut
dengan kontraktur volkmann.
Gejala klinisnya adalah 5 P yaitu Pain (nyeri), Parestesia, Pallor (pucat),
Pulseness (denyut nadi hilang) dan Paralisis.
8. Cedera vascular dan kerusakan syaraf yang dapat menimbulkan iskemia,
dan gangguan syaraf. Keadaan ini diakibatkan oleh adanya injuri atau
keadaan penekanan syaraf karena pemasangan gips, balutan atau
pemasangan traksi.
9. Dekubitus
Terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips, oleh karena itu
perlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah-daerah yang menonjol.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume 3. Jakarta :
EGC
Mansjoer,Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 2. Jakarta:Media
Aesculapius.
McCloskey&Bulechek. 2004. Nursing Intervention Classification : Fourth Edition.
Mosby : USA
Moorhead, Johnson, L.Maas, & Swanson. 2008. Nursing Outcomes Classification:
Fourth Edition. Mosby : USA
Mursada. 2011. Laporan Pendahuluan Fraktur Vertebra.
www.scribd.com./doc/60966817/Laporan-Pendahuluan-Fraktur-Vertebra
(Akses:10 Juni 2013)
Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika.
NANDA. 2009-2011. Nursing Diagnosis : definitions and Classification. Philadephia :
USA
Potter, & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Vol. 1. Jakarta : EGC
Price, Sylvia. 2003. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6.
Jakarta: EGC
Priharjo, Robert. 2006. Pengkajian Fisik Keperawatan Edisi 2. Jakarta : EGC

You might also like