You are on page 1of 26

Laporan Kasus IPE Klinik

Inter-professional Case Presentation

1. IGNA Trisnu Kamajaya 1302005146/PSPD


2. Putu Prithinia Aryani Yasa 1302005147/PSPD
3. Torika Anggi Pradana 1302005148/PSPD
4. Dito Setiadarma 1302005149/PSPD
5. I Putu Sakamekya W Sujaya 1302005150/PSPD
6. IGA Inten Heny Pratiwi 1302005152/PSPD
7. Sintia Sugiarta Rahmasari 1302005153/PSPD
8. I A Mita Saraswati 1302005154/PSPD
9. Putu Winda Mahayani 1302105051/PSIK
10. Ni Komang Atika Adi Wulandari 1302105005/PSIK
11. Ni Made Eny Tisna Wati 1302105086/PSIK
12. Tiara Maharani 1708611045/FARMASI
13. Ni Km Ayu Sri Ariastuti 1708611016/FARMASI

Pembimbing:
dr. Ni Md Ayu Surasmiati, M.Biomed, Sp.M

Inter-professional Education Unit


Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Denpasar, Bali, Indonesia
2017

0
I. I. Identitas Kasus
Nama : IWL
Umur : 61 tahun 9 Bulan
Jenis kelamin : Laki - Laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Br. Kawan Mas, Ubud, Gianyar
Agama : Hindu
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Status pernikahan : Menikah
Jenis kasus sesuai SKDI : 3B
Lokasi kasus diambil : RSUP Sanglah

II. Keluhan Utama


Keluar kotoran dari mata

III. Anamnesis
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan keluar kotoran dari kedua mata sejak 5
hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Kotoran dikatakan muncul
dikatakan memburuk saat bangun tidur. Pasien mengatakan kotoran yang
keluar berwarna bening dan terkadang agak cair. Pasien juga mengeluh
mata merah dan silau sejak mengalami keluhan diatas. Biasanya pasien
mengatasi keluhan diatas dengan cara mengucek kedua matanya.
Pasien juga mengeluh pandangan kabur sejak 1 tahun yang lalu,
pandangan kabur tersebut dikatakan pasien seperti melihat asap, keluhan
ini tidak membaik dengan berisitirahat dan pemberian obat tetes mata
( rohto) keluhan lain seperti demam dan mengeluarkan kotoran kental
berwarna kekuningan disangkal oleh pasien.

1
b. Riwayat Penyakit Sebelumnya
Sebelumnya, Pasien memiliki riwayat penyakit Hipertensi yang sudah
diderita sejak 6 tahun yang lalu, terkontrol dengan pemberian obat
captopril 50mg dan ibesartan 150mg serta amlodipin 150mg. Pasien juga
di diagnosis dengan BPH oleh dokter ketika di periksa di Rumah Sakit
Umum Pusat Sanglah.Riwayat penyakit Diabetes Mellitus (-), Riwayat
alergi makanan dan obat-obatan (-), Riwayat penggunaan kacamata (-)

c. Riwayat Keluarga
Riwayat penyakit di keluarga seperti hipertensi, kencing manis, jantung,
stroke, asma, dan gangguan ginjal dikatakan tidak ada oleh pasien.

d. Riwayat Pribadi dan Sosial


Pasien bekerja sebagai petani di rumahnya dan tetap bekerja sampai
sekarang. Riwayat konsumsi rokok dan minuman beralkohol disangkal
pasien

IV. PEMERIKSAAN FISIK


Status Present (06 Oktober 2017):
Kesadaran : GCS E4V5M6
Tekanan darah : 190/100 mmHg
Nadi : 88 kali/menit, reguler, isi cukup
Respirasi : 20 kali/menit,
Suhu aksila : 36,7ºC
VAS : 0/10

Pemeriksaan Umum (06 Oktober 2017):


Mata : Dijelaskan pada status oftalmologi
THT :
Telinga : sekret (-/-), bentuk normal
Hidung : sekret (-), mukosa nasalis intak/intak, bentuk normal,
Bibir : Ulkus (-)
Lidah : Sianosis (-),
Tenggorokan : Tonsil T1/T1, faring hiperemis (-)
Leher : Pembesaran kelenjar (-), kaku kuduk (-)
Thorax : Simetris (+), retraksi (-) , deformitas (-)
Cor : S1 S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo : Vesikuler +/+, Ronki -/-, Wheezing -/-

2
Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-), bising usus (+) Normal, hepar dan lien tidak
teraba
Ekstremitas : Hangat +/+, edema - / - , CRT < 2 dtk

Status Oftalmologi (06 Oktober 2017):

OD OS
LP Visus 1/60
Spasme (+) minimal, sekret Palpebra Spasme (+) minimal,
(+) mucoid sekret (+) mucoid
CVI (+) Folikel (+) Konjungtiva CVI (+) Folikel (+)
FL (+) erosi di jam 12 Kornea Jernih
Dalam Bilik Mata Depan Dalam
Bulat Reguler Iris Bulat Reguler
Reflek Pupil (+) Pupil Reflek Pupil (+)
Keruh (NO5NC5P5) Lensa Keruh (NO5NC5)
SDE Vitreous Jernih
RF (-) Funduskopi RF (+) detail sde
Tekanan Intra Okular

17 Tonopen 16
Kedudukan bola mata
Orthophoria
Tde Lapang pandang Normal

Ocular Dextra Ocular Sinistra

V. DIAGNOSIS

- ODS Konjungtivitis Akut ec Virus dd Bakteri


- OD Erosi Kornea + KSM

3
- OS KSI
VI. PENATALAKSANAAN KONJUNGTIVITIS
 Penatalaksanaan Konjungtivitis
1. Non Farmakologi
Bila konjungtivitis disebabkan oleh mikroorganisme, pasien harus diajari
bagaimana cara menghindari kontaminasi mata yang sehat atau mata orang
lain. Perawat dapat memberikan intruksi pada pasien untuk tidak
menggosok mata yang sakit dan kemudian menyentuh mata yang sehat,
mencuci tangan setelah setiap kali memegang mata yang sakit, dan
menggunakan kain lap, handuk, dan sapu tangan baru yang terpisah untuk
membersihkan mata yang sakit. Asuhan khusus harus dilakukan oleh
personal asuhan kesehatan guna mengindari penyebaran konjungtivitis
antar pasien.
2. Farmakologi
Terapi spesifik terhadap konjungtivitis bacterial tergantung temuan agen
mikrobiologinya. Untuk menghilangkan sekret dapat dibilas dengan garam
fisiologis.

 Penatalaksanaan Konjungtivitis Bakteri


Pengobatan kadang-kadang diberikan sebelum pemeriksaan mikrobiologik
dengan antibiotic tunggal seperti
ü Kloramfenikol
ü Gentamisin
ü Tobramisin
ü Eritromisin
ü Sulfa
Bila pengobatan tidak memberikan hasil setelah 3 – 5 hari maka
pengobatan dihentikan dan ditunggu hasil pemeriksaan mikrobiologik. Pada
konjungtivitis bakteri sebaiknya dimintakan pemeriksaan sediaan langsung
(pewarnaan Gram atau Giemsa) untuk mengetahui penyebabnya. Bila
ditemukan kumannya maka pengobatan disesuaikan. Apabila tidak ditemukan
kuman dalam sediaan langsung, maka diberikan antibiotic spectrum luas
dalam bentuk tetes mata tiap jam atau salep mata 4-5x/hari. Apabila memakai

4
tetes mata, sebaiknya sebelum tidur diberi salep mata (sulfasetamid 10-15 %).
Apabila tidak sembuh dalam 1 minggu, bila mungkin dilakukan pemeriksaan
resistensi, kemungkinan difisiensi air mata atau kemungkinan obstruksi
duktus nasolakrimal.
 Penatalaksanaan Konjungtivitis Virus
Pengobatan umumnya hanya bersifat simtomatik dan antibiotik diberikan
untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Dalam dua minggu akan sembuh
dengan sendirinya. Hindari pemakaian steroid topikal kecuali bila radang
sangat hebat dan kemungkinan infeksi virus Herpes simpleks telah
dieliminasi.
Konjungtivitis viral akut biasanya disebabkan Adenovirus dan dapat
sedmbuh sendiri sehingga pengobatan hanya bersifat suportif, berupa
kompres, astrigen, dan lubrikasi. Pada kasus yang berat diberikan antibodi
untuk mencegah infeksi sekunder serta steroid topikal. Konjungtivitis
herpetik diobati dengan obat antivirus, asiklovir 400 mg/hari selama 5 hari.
Steroid tetes deksametason 0,1 % diberikan bila terdapat episkleritis, skleritis,
dan iritis, tetapi steroid berbahaya karena dapat mengakibatkan penyebaran
sistemik. Dapat diberikan analgesik untuk menghilangkan rasa sakit. Pada
permukaan dapat diberikan salep tetrasiklin. Jika terjadi ulkus kornea perlu
dilakukan debridemen dengan cara mengoles salep pada ulkus dengan swab
kapas kering, tetesi obat antivirus, dan ditutup selama 24jam.
 Penatalaksanaan Konjungtivitis Alergi
Umumnya kebanyakan konjungtivitis alergi awalnya diperlakukan seperti
ringan sampai ada kegagalan terapi dan menyebabkan kenaikan menjadi
tingkat sedang. Penyakit ringan sampai sedang biasanya mempunyai
konjungtiva yang bengkak dengan reaksi konjungtiva papiler yang ringan
dengan sedikit sekret mukoid. Kasus yang lebih berat mempunyai giant papila
pada konjungtiva palpebranya, folikel limbal, dan perisai (steril) ulkus
kornea.
 Alergi ringan
Konjungtivitis alergi ringan identik dengan rasa gatal, berair, mata merah
yang timbul musiman dan berespon terhadap tindakan suportif, termasuk air

5
mata artifisial dan kompres dingin. Air mata artifisial membantu melarutkan
beragam alergen dan mediator peradangan yang mungkin ada pada
permukaan okuler.
 Alergi sedang
Konjungtivitis alergi sedang identik dengan rasa gatal, berair dan mata
merah yang timbul musiman dan berespon terhadap antihistamin topikal
dan/atau mast cell stabilizer. Penggunaan antihistamin oral jangka pendek
mungkin juga dibutuhkan.
Mast cell stabilizer mencegah degranulasi sel mast; contoh yang paling
sering dipakai termasuk sodium kromolin dan Iodoxamide. Antihistamin
topikal mempunyai masa kerja cepat yang meredakan rasa gatal dan
kemerahan dan mempunyai sedikit efek samping; tersedia dalam bentuk
kombinasi dengan mast cell stabilizer. Antihistamin oral, yang mempunyai
masa kerja lebih lama, dapat digunakan bersama, atau lebih baik dari,
antihistamin topikal. Vasokonstriktor tersedia dalam kombinasi dengan
topikal antihistamin, yang menyediakan tambahan pelega jangka pendek
terhadap injeksi pembuluh darah, tapi dapat menyebabkan rebound injeksi
dan inflamasi konjungtiva. Topikal NSAID juga digunakan pada
konjungtivitis sedang-berat jika diperlukan tambahan efek anti-peradangan.
 Alergi berat
Penyakit alergi berat berkenaan dengan kemunculan gejala menahun dan
dihubungkan dengan peradangan yang lebih hebat dari penyakit sedang.
Konjungtivitis vernal adalah bentuk konjungtivitis alergi yang agresif yang
tampak sebagai shield coneal ulcer. Rujukan spesialis harus dipertimbangkan
pada kasus berat atau penyakit alergi yang resisten, dimana memerlukan
tambahan terapi dengan kortikosteroid topikal, yang dapat digunakan bersama
dengan antihistamin topikal atau oral dan mast cell stabilizer. Topikal NSAID
dapat ditambahkan jika memerlukan efek anti-inflamasi yang lebih lanjut.
Kortikosteroid punya beberapa resiko jangka panjang terhadap mata termasuk
penyembuhan luka yang terlambat, infeksi sekunder, peningkatan tekanan
intraokuler, dan pembentukan katarak. Kortikosteroid yang lebih baru seperti
loteprednol mempunyai efek samping lebih sedikit dari prednisolon.

6
Siklosporin topikal dapat melegakan dengan efek tambahan steroid dan dapat
dipertimbangkan sebagai lini kedua dari kortikosteroid. Dapat terutama sekali
berguna sebagai terapi lini kedua pada kasus atopi berat atau konjungtivitis
vernal.
 Terapi Medikamentosa : - Tetes mata antibiotika : seperti
neomisin,polimiksin, ciprofloksasin, ofloksasin atau levoflaksasin selama
kurang lebih 4/5 hari.
- vitamin C 500 mg 1x sehari
- anti inflamasi 2x1 sehari bila disertai edema palpebra
- Tidak perlu antibiotika sistemik maupun analgetika.
 KIE :Jaga kebersihan, jangan kena air, pakai kacamata gelap, istirahat yang
cukup.

VII. PROGNOSIS

Mata dapat terkena berbagai kondisi. beberapa diantaranya bersifat


primer sedang yang lain bersifat sekunder akibat kelainan pada sistem organ
tubuh lain, kebanyakan kondisi tersebut dapat dicegah bila terdeteksi awal
dan dapat dikontrol sehingga penglihatan dapat dipertahankan.
Bila segera diatasi, konjungtivitis ini tidak akan membahayakan.
Namun jika bila penyakit radang mata tidak segera ditangani/diobati bisa
menyebabkan kerusakan pada mata/gangguan dan menimbulkan komplikasi
seperti Glaukoma, katarak maupun ablasi retina.
Konjungtivitis Akut et Causa
Biasanya dimulai pada satu mata yang menyebar ke mata yang sebelahnya,
terjadi kurang dari 4 minggu.
Konjungtivitis Virus dd Bakteri
Prognosis Konjungtivitis bakteri yang disebabkan oleh mikroorganisme
tertentu, seperti Haemophilus influenzae, adalah penyakit swasirna. Bila tidak
diobati akan sembuh sendiri dalam waktu 2 minggu. Dengan pengobatan akan

7
sembuh sendiri dalam 1-3 hari. Konjungtivitis virus biasanya tidak diobati,
karena akan sembuh sendiri dalam beberapa hari.

VIII. Permasalahan kesehatan yang dijumpai pada kasus (perspektif masing-


masing prodi yang terlibat, bisa masalah diagnosis, pemeriksaan, terapi,
konseling dan sebaginya)
1. Program Studi Pendidikan Dokter :

TARGET (kondisi
DAFTAR RENCANA INTERVENSI yang diharapkan dan
No waktu pencapaian)
MASALAH

- Pemeriksaan Visus dan Refraksi - Eradikasi bakteri


- Slitlamp Biomikroskopi + penyebab
Konjungtivitis flourescent komplikasi erosi
ec virus dd - Penunjang laboratorium dengan
kornea
scraping untuk pemeriksaan Gram
bakteri atau Giemsa + sensitivitas - Membuat suasana
1.
antibiotika suportif perbaikan
komplikasi
- Kortikosteroid local + antibiotik epitel mata
Erosi Kornea untuk fase akut Cendo Xitrol 15 ml - Gejala klinis
4x1 selama 4 hari (mata gatal) hilang
- Cendo lyteers 15 ml 6x1

- Pemeriksaan Visus dan Refraksi - Perbaikan Visus


- Tonometri dengan tonopen dan Refrasi post
- Slitlamp biomikroskopi op
- Funduskopi
2 Katarak Senilis - KIE pembedahan berupa ekstraksi - Mengatasi
katarak: ICCE, ECCE, SICS penyulit post op
(e.c. glaucoma,
uveitis,
hematoma)

4 Krisis - Pemeriksaan Tekanan Darah dan - Target penurunan


MAP tensi hingga TD
Hipertensi
- Pemeriksaan laboratorium darah SBP <150 mmHg
(DL, BUN, creatinine, elektrolit,
dan DBP
KGD) urin (UL dan kultur urin)
mencari penyulit/underlying <90mmHg atau
disease dari peningkatan TD MAP tidak
- Pemberian Nifedipin 10 mg kurang dari 120
sublingual penanganan akut mmHg

8
- Pemberian Captopril 25 mg 2x1 - Mengetahui dan
selama 2 minggu mengatasi
penyulit/underlyi
ng disease

- Pemeriksaan Rectal touche dan - Perbaikan gejala


pemeriksaan KGB sekitar melihat klinis terkait
metastase apabila ada LUTS (lower
- Pemeriksaan laboratorium (DL,
urinary tract
elektrolit, fungsi ginjal, penanda
tumor PSA dan UL) syndrome)
5 BPH grade II - Pemeriksaan imaging (Thorax AP
- Pengecilan
untuk melihat metastase jauh dan
USG urologi terkait pembesaran ukuran prostat
prostat) <20 cc
- Menentukan scoring terkait
penanganan watchful waiting,
medikamentosa dan pembedahan

2. Program Studi Ilmu Keperawatan :


No Analisa Data Masalah Keperawatan
1. DS: Gangguan rasa nyaman
- Pasien mengatakan kedua mata
terasa gatal
- Pasien mengatakan kedua mata
merah sejak lima hari yang lalu
- Pasien mengatakan terdapat
pengeluaran kotoran dari kedua
mata berwarna putih ketika
bangun tidur

DO:
- Pasien tampak mengucek mata
- Terdapat kemerahan kedua pada
mata pasien
- Tampak pengeluaran sekret pada
kedua mata
- Mata pasien tampak berair

2. DS: Risiko Cedera

9
- Pasien mengatakan kedua mata
kabur sejak satu tahun yang lalu
- Pasien mengatakan pandangan
kabur dirasakan perlahan dan
seperti melihat asap

DO:
- Hasil pemeriksaan mata:
Mata kanan:
Lensa keruh (NO5NC5P5)
OD erosi kornea + KSM

Mata Kiri:
Lensa keruh (NO5NC5)
OS KSI
3. DS: PK Hipertensi
- Pasien mengatakan memiliki
penyakit tensi tinggi sejak lama
- Pasien mengatakan rutin kontrol

DO:
- TD: 190/100 mmHg

3. Program Studi/ Jurusan Farmasi :


Permasalahan terkait obat (DRP)
Data Obat yang
Problem Medik Permasalahan Terkait Obat
Diberikan kepada Pasien
1. Konjungtivitis - Levofloxacin ed 6x1 a. Dalam kasus ini pasien
ODS mendapatkan terapi obat
- Lyteers ed 6x1 ODS levofloxacin. Levofloxacin
ODS merupakan antibiotik
- Vitamin C tab 2x1 golongan fluorouinolone,
untuk pengobatan
konjungtivitas yang

10
disebabkan oleh bakteri,
sehingga perlu perhatian
khusus untuk aturan pakai
obat. Aturan pakai
levofloxacin sebagai terapi
konjungtivitis diberikan pada
hari ke-1 dan ke-2 sebanyak
1-2 tetes mata 0,5% setiap 2
jam sampai 8 kali/hari,
sedangkan pada hari ke-3 s/d
ke-7 diberikan 1-2 tetes mata
0,5% setiap 4 jam sampai 4
kali/hari (Lacy et al., 2007).
Namun terapi levofloxacin
pada kasus ini diberikan 6 x
1 tetes sehari.
b. Dalam kasus ini pasien
adalah pasien usia lanjut (61
tahun) dan memperoleh 2
obat tetes mata sehingga
memerlukan perhatian
khusus dalam
penggunaannya.
c. Dalam kasus ini pasien
mengeluh gatal pada mata
dan terdapat riwayat
mengucek mata sehingga
diperlukan terapi
simptomatik untuk
menghilangkan keluhan
gatal yang dirasakan pasien.
2. Krisis - Dalam kasus ini pasien
Hipertensi mengalami krisis hipertensi

11
yaitu peningkatan tekanan
darah mencapai 190/100
mmHg dengan disertai
adanya keterlibatan
kerusakan organ dalam hal
ini adalah mata. Oleh karena
itu perlu pemberian terapi
terhadap krisis hipertensi.

IX. Pemecahan masalah masing-masing Prodi


1. Program Studi Pendidikan Dokter
Pemecahan masalah yang dilakukan oleh program studi pendidikan dokter
dilakukan secara komprehensif untuk kedua masalah yang ditemukan pada
pasien ini. Adapun pemecahan masalah yang dapat diberikan antara lain :
1. Konjungtivitis ec virus dd bakteri komplikasi Erosi Kornea
a) Non Farmakologi
- Eye toilet
- Vitamin C tab 250 mg 2x1 sehari
b) Farmakologi
- Levofloxacin ed 6x1 ODS
- Lyteers ed 6x1 ODS
c) KIE
- Mengedukasikan agar pasien menghindari mengucek dan menjaga
kebersihan mata
- Menggunakan kacamata pelindung bila ada untuk sementara
- Istirahat untuk meningkatkan imunitas tubuh
- Menggunakan obat sesuai anjuran
- Kontrol kembali ke poliklinik bila keadaan umum sudah membaik
2. Katarak Senilis
a. KIE
- Mengedukasikan pasien agar tidak merokok dan tidak mengonsumsi
alkohol
- Dianjurkan untuk hati-hati dan menghindari mengangkat barang
berat

12
- Menjelaskan ke pasien bahwa penatalaksanaan definitif untuk
katarak senilis adalah ekstraksi lensa.
3. Krisis Hipertensi
a. Farmakologi
- Captopril tab 25 mg dapat diulang setiap 30 menit sesuai kebutuhan
(maksimal 100 mg/hari.)
- Nifedipine tab oral 10 mg 1x1.
b. KIE
- Menjelaskan pada pasien untuk diet rendah garam (Natrium klorida).
Asupan Natrium Klorida yang dianjurkan tidak boleh lebih dari 4
gram/hari (idealnya berkisar antara 1,5-3,8 gram/hari).
- Mengedukasikan pasien untuk diet rendah garam, pasien hipertensi
emergensi juga dianjurkan banyak mengkonsumsi diet tinggi serat 8-
10 kali penyajian/hari. Diet sehari-hari pasien diharuskan untuk
rendah lemak dan kolesterol.
4. BPH Grade II
a. KIE
- Menjelaskan kepada pasien mengenai tujuan dan prosedur
pemeriksaan penunjang yang akan dilakukan.
- Menjelaskan kepada pasien mengenai terapi konservatif pada BPH
dapat berupa watchful waiting yaitu pasien tidak mendapatkan
terapi apapun tetapi perkembangan penyakitnya tetap diawasi oleh
dokter. Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan
skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu
aktivitas sehari-hari.
- Mengedukasikan pasien untuk mengurangi konsumsi makanan dan
minuman yang menyebabkan iritasi pada kandung kemih seperti
kopi, alkohol dan cokelat.
- Mengedukasikan pasien untuk tidak menahan buang air kecil dan
buang air besar.
- Kontrol kembali secara berkala (3-6 bulan) untuk menilai perubahan
keluhan yang dirasakan , IPSS, uroflowmetry, dan residu volume
urine.

2. Program Studi Ilmu Keperawatan


a. Gangguan rasa nyaman

13
Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gejala terkait penyakit
Konjungtivitis ditandai dengan melaporkan rasa gatal dan melaporkan
perasaan tidak nyaman (mata merah dan pengeluaran sekret pada kedua
mata). Tujuan dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam yaitu
diharapkan rasa ketidaknyamanan pasien berkurang dengan kriteria hasil
rasa gatal berkurang tidak terdapat kemerahan, pengeluaran sekret dan
tidak terdapat tanda-tanda infeksi. Intervensi yang dapat dilakukan untuk
mengurangi ketidaknyamanan pasien adalah dengan :
- Memantau rasa gatal dan tidak nyaman pasien
- Menentukan penyebab dari rasa gatal yang ditimbulkan
- Menganjurkan pasien untuk menghindari memasukkan benda asing
pada bagian mata termasuk mengucek bagian mata dengan jari/tangan
- Menginstruksikan pasien untuk menghindari keringat dengan
menghindari cuaca panas dan aktivitas yang berlebihan
- Kolaborasi pemberian obat tetes mata yang sesuai untuk mengurangi
ketidaknyamanan pasien.
Selain mengurangi rasa ketidaknyamanan, intervensi dilakukan untuk
mengontrol infeksi dengan:
- Memantau tanda-tanda infeksi (termasuk kemerahan dan pengeluaran
sekret), menjaga lingkungan pasien tetap bersih
- Kolaborasi dalam pemberian antibiotik sesuai indikasi
- Memberikan informasi kepada pasien untuk menghindari menyentuh
bagian yang berisiko mengalami infeksi (hindari
menyentuh/mengucek bagian mata).
- Menganjurkan pasien dan keluarga untuk cuci tangan dengan sabun
setelah kontak dengan bagian yang berisiko infeksi, serta ajarkan
pasien dan keluarga mengenai tanda-tanda infeksi.
b. Resiko cedera
Resiko cedera berhubungan dengan disfungsi sensorik penglihatan. Tujuan
dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam yaitu diharapkan resiko
cedera pasien dapat berkurang dengan kriteria hasil, keluarga pasien
mampu memahami dan mengerti lingkungan yang mencegah terjadinya
cedera, pasien terbebas dari cedera, pasien mampu memodifikasi gaya
hidup untuk mencegah cedera. Intervensi yang dapat dilakukan untuk
mengurangi resiko cedera pada pasien adalah dengan :
- Menciptakan lingkungan yang aman bagi pasien

14
- Identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai dengan kondisi fisik
dan fungsi kognitif pasien dan riwayat penyakit terdahulu pasien
- Menghindarkan lingkungan yang berbahaya
- Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
- Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien
- Mendidik pasien dan pengunjung tentang perubahan /tindakan
pencegahan
- Memberikan penjelasan pada pasien dan keluarga atau pengunjung
adanya perubahan status kesehatan dan penyebab penyakit
- Mengidentifikasi karakteristik lingkungan yang dapat meningkatkan
potensi untuk jatuh
- Memberikan pegangan tangan pada pasien
- Mengajarkan pasien bagaimana cara jatuh yang dapat meminimalkan
cedera
- Membantu keluarga untuk mengidentifikasi bahaya/resiko di rumah
- Memberi tahu cara meningkatkan keamanan di rumah
- Memberikan edukasi kepada keluarga tentang faktor resiko dan
penyebab jatuh serta bagaimana cara mereka menurunkan resiko
cedera
- Sediakan pencahayaan yang adekuat untuk meningkatkan jarak
penglihatan.
c. PK: Hipertensi
Tujuan dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan dapat
meminimalkan komplikasi dari hipertensi dengan kriteria hasil ttv dalam
batas normal (TD= 120/80 mmHg, suhu 36-37,5oC, nadi = 60-100
kali/menit, RR= 12-20 x/menit) dan tidak ada tanda-tanda komplikasi dari
hipertensi seperti mual, sakit kepala, pandangan kabur, muntah, hingga
tanda-tanda stroke. Intervensi yang dapat dilakukan untuk mengontrol
hipertensi adalah dengan :
- Monitor tanda-tanda vital pasien meliputi: TD, nadi, RR dan suhu.
- Menganjurkan pasien diet rendah natrium
- Menganjurkan pasien mengonsumsi makanan yang dapat menurunkan
tekanan darah, seperti melon, mentimun, daun seledri, kangkung.
- Kolaborasi obat-obat antihipertensi sesuai indikasi

3. Program Studi/ Jurusan Farmasi


A. Konjungtivitis

15
a. Levofloxacin merupakan antibiotik sehingga perlu perhatian khusus terhadap
aturan pakai obat untuk mencegah terjadinya resistensi antibiotik. Aturan
pakai levofloxacin perlu dikonsultasikan kepada dokter penulis resep agar
diberikan 1-2 tetes setiap 2 jam sampai 8 kali/hari pada hari ke-1 dan ke-2,
sedangkan pada hari ke-3 s/d ke-7 diberikan 1-2 tetes setiap 4 jam sampai 4
kali/hari (Lacy et al., 2007).
b. Pasien merupakan pasien lanjut usia sehingga dalam pemberian obat tetes
mata perlu dilakukan KIE kepada pasien dan keluarga pasien terkait dengan
penggunaan obat tetes mata yang diberikan.
- Cara penggunaan obat tetes mata diawali dengan mencuci tangan dengan
sabun, kemudian saat akan menggunakan tetes mata kepala ditengadahkan,
menarik kelopak mata bagian bawah, lalu diteteskan obat sesuai dengan
aturan pakai (jangan sampai mata mngenai ujung aplikator) dan ditutup
mata (biarkan 1-2 menit sambil putar mata ke segala arah). Kemudian cuci
tangan kembali.
- Obat tetes mata termasuk obat steril sehingga perlu diinfomasikan kepada
pasien/keluarga pasien agar ujung aplikator tetes mata tidak terkena
permukaan lain yang dapat mengkontaminasi dan harus segera ditutup
kembali setelah digunakan.
- Obat tetes mata yang telah dibuka dan digunakan tidak boleh disimpan >
30 hari dan tidak boleh digunakan bersamaan dengan orang lain.
- Laporkan jika terjadi rasa sakit terus-menerus, adanya rasa terbakar,
perubahan penglihatan, pembengkakan, gatal, atau kondisi yang
memburuk. Hentikan pengobatan dan segera hubungi dokter penulis resep
jika mengalami reaksi alergi.
- Perlu diinformasikan juga kepada pasien/keluarga pasien agar mencuci
tangan setelah setiap kali memegang mata yang sakit, bersihkan kotoran
yang keluar dari mata dengan menggunakan tissue, dan tidak menggosok
mata yang sakit/gatal.
c. Keluhan gatal pada mata pasien dapat diatasi dengan pemberian terapi
simptomatik berupa antihistamin oral, sehingga perlu dikonsultasikan
pemeberian antihistamin oral kepada dokter penulis resep. Antihistamin oral

16
yang disarankan adalah Chlorpheniramine yang merupakan obat lini pertama
untuk terapi antihistamin dengan dosis 4 mg setiap 4-6 jam dengan maksimal
dosis pemakaian 24 mg sehari.
B. Krisis Hipertensi
Pada kasus ini perlu dikonsultasikan pemberian terapi antihipertensi untuk
krisis hipertensi (hipertensi emergensi) yang dialami pasien kepada dokter penulis
resep. Menurut beberapa penelitian, pada terapi hipertensi emergensi dapat
diberikan kombinasi obat Nifedipin dan Captopril yang memberikan hasil cukup
efektif (Majid, 2004), sehingga dalam hal ini direkomendasikan penggunan
Nifedipin 10 mg sublingual untuk penganganan hipertensi akut pasien yang
dikombinasikan dengan penggunaan captopril 25 mg 2x1 .

X. Diskusi
ST segment elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan salah
satu bagian Sindrom Koroner Akut (SKA) yang merupakan indikator kejadian
oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Diagnosis STEMI ditegakkan jika
terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di
dua sadapan yang bersebelahan. Faktor risiko terjadinya SKA terdiri dari umur
(>45 tahun pada laki-laki dan >55 tahun pada wanita), hipertensi, kebiasaan
merokok, dislipidemia, diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga, yang
diklasifikasi atas risiko tinggi, risiko sedang, risiko rendah menurut NCEP
(National Cholesterol Education Program) (PERKI, 2015).

Diagnosis kerja infark miokard harus telah dibuat berdasarkan riwayat


nyeri dada yang berlangsung selama 20 menit atau lebih yang tidak membaik
dengan pemberian nitrogliserin. Adanya riwayat PJK dan penjalaran nyeri ke
leher, rahang bawah atau lengan kanan memperkuat dugaan ini. Pengawasan EKG
perlu dilakukan pada setiap pasien dengan dugaan STEMI. Diagnosis STEMI
perlu dibuat sesegera mungkin melalui perekaman dan interpretasi EKG 12
sadapan, selambat-lambatnya 10 menit dari saat pasien tiba untuk mendukung
penatalaksanaan yang berhasil. Gambaran EKG yang atipikal pada pasien dengan

17
tanda dan gejala iskemia miokard yang sedang berlangsung menunjukkan
perlunya tindakan segera.

Berdasarkan anamnesis pada pasien, diketahui bahwa pasien mengalami


nyeri dada sejak 6 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dada dikatakan seperti
rasa tidak nyaman, mencekik, dan tertekan benda berat yang menjalar hingga ke
punggung. Nyeri dada yang dirasakan awalnya dikatakan masih dapat ditahan,
bersifat hilang timbul, dan dirasakan terus menerus (>20 menit), namun tidak
membaik dengan menarik napas, perubahan posisi ataupun dengan istirahat. Pada
pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya rhonki maupun suara tambahan jantung
S3. Dari hasil EKG yang dilakukan saat pasien tiba di UGD PJT RSUP Sanglah
didapatkan ST elevasi di lead V1-V6 sehingga pasien didiagnosis dengan ST
Elevasi Myocard Infark Anteroseptal Killip I. Diagnosis ini diperkuat dengan
ditemukannya peningkatan kadar Troponin T yang mencapai >2.000 ng/ml (nilai
kritis). Hasil pemeriksaan laboratorium juga menunjukkan Hb-A1c 9,9% (tinggi)
sehingga pasien juga didiagnosis dengan Diabetes Melitus Tipe II.

Penatalaksanaan STEMI dimulai sejak kontak medis pertama, baik untuk


diagnosis dan pengobatan. Yang dimaksud dengan kontak medis pertama adalah
saat pasien pertama diperiksa oleh paramedis, dokter atau pekerja kesehatan lain
sebelum tiba di rumah sakit. Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut
(STEMI) merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri
koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan
aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa
menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan
primer.

Terapi reperfusi diindikasikan untuk semua pasien dengan durasi gejala


<12 jam dengan elevasi segmen ST persisten atau LBBB baru/tersangka baru. IKP
primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan dibandingkan dengan
fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit dari
waktu kontak medis pertama. Target kualitas yang harus dipenuhi untuk waktu
dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi IKP primer adalah ≤90 menit
(≤60 menit apabila pasien datang dengan awitan kurang dari 120 menit atau

18
langsung dibawa ke rumah sakit yang mampu melakukan IKP). Pada pasien ini
gejala dirasakan sejak 6 jam yang lalu (<12 jam) sehingga pasien diberikan terapi
reperfusi yaitu IKP primer segera setelah tiba (<60 menit) di UGD PJT RSUP
Sanglah.

Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi


antiplatelet ganda (DAPT) berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP sesegera
mungkin sebelum angiografi, disertai dengan antikoagulan intravena. Sebelum
IKP primer dimulai, pasien ini diberikan aspirin dengan dosis 160 mg dan
penghambat reseptor ADP yang dipilih yaitu clopidogrel dengan dosis 300 mg.
Antikoagulan intravena harus digunakan dalam IKP primer. Antikoagulan yang
diberikan selama prosedur IKP primer pada pasien ini adalah heparin.

Selanjutnya pasien dirawat di ruang ICCU dengan pemberian terapi


medikamentosa yang terdiri dari Captopril 6,25 mg tiap 8 jam, Bisoprolol 1,25 mg
tiap 24 jam, ISDN 5 mg k/p, Asetosal 80 mg tiap 24 jam, Clopidogrel 75 mg tiap
24 jam, Simvastatin 40 mg tiap 24 jam, Lansoprazole 30 mg tiap 24 jam IV,
Diazepam 5 mg tiap 8 jam, Laxadyn syrup 15 ml tiap 8 jam, Enoxaparin 0,6 cc
tiap 12 jam SC. Untuk Diabetes Melitus Tipe II pasien diberikan injeksi insulin 6
unit tiap 8 jam SC yang dilanjutkan dengan insulin 8 unit tiap 24 jam subkutan.

Penatalaksanaan lain yang juga penting pada pasien ini adalah edukasi.
Melalui KIE pasien dijelaskan mengenai penyakitnya, penyebab penyakit, faktor
risiko terjadinya penyakit, bahaya yang dapat ditimbulkan apabila pasien tidak
berobat dengan baik, penanganan, hasil yang diharapkan dari penanganan yang
diberikan, serta kemungkinan komplikasi yang ditimbulkan. Hal yang paling
penting yang perlu ditekankan kepada pasien dan keluarga adalah bahwa penyakit
yang diderita pasien merupakan penyakit kronis sehingga diperlukan pengobatan
jangka panjang yang memerlukan kepatuhan pasien untuk berobat dan
mempertahankan gaya hidup yang sehat. Maka dari itu, keluarga diharapkan dapat
memberikan dukungan terutama dukungan psikis kepada pasien agar pasien
berobat secara teratur dan mampu menjaga pola hidup yang sehat sehingga
diharapkan kondisi pasien cepat membaik dan mencegah kekambuhan penyakit
yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.

19
Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada pasien adalah nyeri akut
dan risiko penurunan curah jantung. Nyeri akut terjadi akibat peningkatan beban
kerja jantung dan penurunan aliran darah yang menyebabkan iskemia jaringan
miokard. Iskemia miokard akan memicu berlangsungnya metabolisme anaerob
yang akan menghasilkan asam laktat, kemudian asam laktat ini akan mengiritasi
saraf miokard dan dipersepsikan pasien dengan nyeri dada (Lilly, 2007).
Intervensi awal yang diberikan untuk adalah dengan tirah baring. Tirah baring
akan menurunkan aktivitas fisik dan menurunkan metabolisme tubuh sehingga
menurunkan kebutuhan oksigen miokard (Ackley & Ladwig, 2011). Pasien diberi
oksigen 3 – 4 L/menit untuk meningkatkan ketersediaan oksigen untuk memenuhi
kebutuhan oksigen miokard. Nyeri dada yang dirasakan pasien intensitasnya berat,
sehingga memerlukan pemberian antiangina. Pasien dengan angina pektoris
biasanya dapat beradaptasi dengan nyeri cukup dengan beristirahat tirah baring
dan pemberian nitrat, tetapi pada pasien dengan NSTEMI dan STEMI
memerlukan pemberian morfin dan terapi reperfusi baik farmakologis maupun
mekanik.

Keluhan yang paling sering muncul dan membuat pasien datang ke


rumah sakit pada pasien dengan gagal jantung adalah sesak napas. Pencetus sesak
napas bervariasi, mulai dari yang munculnya saat beraktivitas berat hingga saat
beraktivitas ringan. Diagnosa keperawatan yang paling sering ditemukan pada
kasus ini adalah penurunan curah jantung dan kelebihan volume cairan.
Penurunan curah jantung terjadi akibat penurunan kontraktilitas dan perubahan
inotropik, perubahan frekuensi, irama dan konduksi listrik jantung. Perilaku yang
sering ditemukan adalah ortopnea, ronchi, distensi vena jugularis dan edema.
Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi penurunan curah jantung adalah
dengan hemodynamic regulation. Hemodynamic regulation ini meliputi auskultasi
nadi apikal untuk mengkaji frekuensi dan iram jantung. Biasanya terjadi takikardi
(meskipun pada saat istirahat) untuk mengkompensasi penurunan kontraktilitas
ventrikel.

Aktivitas lainnya adalah mempalpasi nadi perifer karena penurunan


curah jantung dapat ditunjukkan dari menurunnya nadi radial, popliteal, dorsalis,

20
pedis dan posttibial. Mengkaji kulit terhadap adanya pucat dan sianosis juga
penting dilakukan karena pucat menunjukkan menurunnya perfusi perifer akibat
tidak adekuatnya curah jantung, vasokontriksi dan anemia. Sianosis dapat terjadi
sebagai refraktori gagal jantung. Kemudian pasien membutuhkan tambahan
oksigen dengan kanula nasal/masker dan untuk meningkatkan fungsi kontraktilitas
jantung. Pemberian oksigen akan meningkatkn sediaan oksigen untuk kebutuhan
miokard untuk melawan efek hipoksia/iskemia. Banyak obat dapat digunakan
untuk meningkatkan volume sekuncup, memperbaiki kontraktilitas dan
menurunkan kongesti, seperti Inhibitor ACE dapat digunakan untuk mengontrol
gagal jantung dengan menghambat konversi angiotensin dalam paru dan
menurunkan vasokontriksi, SVR dan TD. Pasien gagal jantung akan
dipertimbangkan untuk mendapatkan terapi antikoagulan sebagai profilaksis
untuk mencegah pembentukan thrombus emboli pada adanya factor resiko seperti
statis vena, tirah baring, disrimia jantung dan riwayat episode trombolitik
sebelumnya (Doenges et al, 2011).

XI. Pemecahan Masalah Secara Interprofessional (Kesimpulan)

Penanganan pasien tentunya memerlukan tatalaksana yang bersifat


komprehensif, terlebih lagi pasien dengan diagnosis yang bersifat kompleks,
dimana pasien dalam kasus ini menderita ST Elevasi Myocard Infark Anteroseptal
Killip I serta diabetes Melitus tipe 2 maka diperlukan kerjasama dari berbagai
macam disiplin ilmu untuk memberikan penanganan terbaik guna mencapai luaran
yang diharapkan. Peran tenaga kesehatan, tidak hanya mencakup pelayanan
seorang dokter, namun diperlukan keterlibatan seluruh tenaga kesehatan terkait.
Dokter sebagai penanggung jawab pasien perlu memberikan penatalaksanaan baik
dari segi farmakologi maupun nonfarmakologi. Pada pasien ini direncanakan
diberikan obat untuk ST Elevasi Myocard Infark Anteroseptal Killip I, serta
melanjutkan insulin untuk penyakit diabetes mellitus yang dideritanya. Selain itu,
dokter juga perlu memberikan edukasi yang tepat mengenai pola makan serta gaya
hidup pasien, dan yang paling penting bahwa dokter harus mampu meyakinkan
pasien bahwa diperlukan kepatuhan berobat yang tinggi mengingat pasien harus
menjalani pengobatan seumur hidupnya. Sementara itu dari segi perawatan pasien

21
tentunya diperlukan peran dan kolaborasi dengan perawat. Dalam bidang
keperawatan perawat berperan penting dalam memberikan perawatan secara
komprehensif mulai dari memenuhi kebutuhan dasar pasien, memberikan
pendidikan kesehatan kepada pasien dan keluarga mengenai pentingnya
menerapkan gaya hidup sehat seperti rajin berolahraga, mengkonsumsi makanan
yang bergizi, membatasi aktivitas fisik yang berat serta selalu melakukan kontrol
rutin ke pelayanan kesehatan.

Diharapkan perkembangan pasien dapat diamati dengan cermat dari hari


ke hari untuk melihat apakah ada suatu perbaikan klinis atau sebaliknya. Pasien
dengan multipel diagnosis seperti pada kasus tentunya memerlukan obat yang
tidak sedikit, untuk itulah diperlukan peran serta dari pihak farmasi, terlebih lagi
sebagian besar pengobatan yang dijalani merupakan pengobatan jangka panjang.
Dalam penggunaan obat, pasien membutuhkan terapi yang tepat, efektif, dan
aman, sehingga dapat mencapai outcome pengobatan yang diinginkan. Terkait
dengan hal tersebut, bentuk kepedulian apoteker dalam pengobatan dilakukan
melalui farmasi klinik dengan praktek pharmaceutical care. Praktek
pharmaceutical care salah satunya melalui mengidentifikasi, mencegah, dan
menyelesaikan masalah terkait obat (DRP).

Pharmaceutical care atau pelayanan kefarmasian merupakan suatu


praktik di mana apoteker bertanggungjawab terhadap kebutuhan obat (drug
related needs) pasien. Pelayanan kefarmasian ini dilakukan untuk mencapai hasil
terapi yang positif untuk pasien. Dalam pharmaceutical care yang dilakukan
apoteker dengan melibatkan pasien dan tenaga profesional kesehatan lainnya
dokter dan perawat dalam merancang, melaksanakan dan memantau hasil terapi
dari pasien.

Untuk itulah, dapat ditarik simpulan bahwa setiap tatalaksana yang


dibutuhkan pasien ini membutuhkan keterlibatan antar dokter, perawat, serta
farmasi , dan akan lebih baik lagi bila mampu melibatkan berbagai disiplin ilmu
lain yang terkait.

XII. Tindak Lanjut/Saran

22
1. Saran dari prodi PSPD
Pasien dan keluarga pasien memerlukan edukasi mengenai konjungivitis
dan pentingnya melakukan tindakan pencegahan agar anggota keluarga lain tidak
mudah tertular. Pada pasien dengan konjungtivitis sebaiknya menghindari untuk
mengucek mata dan menjaga kebersihan, menggunakan kaca mata sebagai
pelindung agar terhindar dari debu, Istirahat yang cukup untuk memperbaiki daya
tahan tubuh, menggunkan obat yang diberikan secara teratur dan sesuai ajuran
yang telah diberikan.

2. Saran dari prodi PSIK


Diperlukan edukasi mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
konjungtivitis seperti gejala yang dirasakan oleh pasien, penatalaksanaan, serta
cara pencegahan untuk menghindari penularan kepada anggota keluarga lain,
maka pemberian edukasi tidak hanya diperlukan untuk pasien tetapi juga untuk
keluarga pasien. Pencegahan penularan menjadi bagian penting selama
penanganan pasien. Salah satu edukasi yang diberikan kepada pasien adalah
menghindari mengucek bagian mata pasien. Pencegahan lain yang sederhana dan
umum yang dapat dilakukan adalah dengan menganjurkan pasien dan keluarga
untuk menjaga kebersihan lingkungan sekitar pasien dan cuci tangan dengan
sabun setelah kontak dengan bagian yang berisiko infeksi. Keluarga juga memiliki
peran untuk ikut memantau pengobatan pasien seperti mengingatkan dan
membantu pasien untuk menggunakan obat tetes mata yang diberikan sehingga
kepatuhan terhadap pengobatan dapat ditingkatkan.
Salah satu keluhan yang dialami pasien adalah pandangan kabur, sehingga
pasien berisiko untuk mengalami cedera atau pun berisiko mengalami jatuh.
Pemberian informasi kepada pasien dan keluarga mengenai risiko cedera dan
risiko jatuh pasien diharapkan dapat mencegah terjadinya kejadian cedera dan
jatuh akibat gangguan pada penglihatan pasien. Keluarga dalam hal ini dapat
memantau aktivitas pasien yang berisiko dan membantu pasien dalam pemenuhan
kebutuhan selama keluhan pada mata masih dirasakan serta mengontrol
lingkungan sekitar pasien dari benda-benda yang dapat menyebabkan cedera dan
jatuh pada pasien. Pasien memiliki riwayat hipertensi sehingga pemberian

23
motivasi untuk secara rutin melakukan cek tekanan darah perlu dilakukan agar
tekanan darah tetap terkontrol.

3. Saran dari prodi Farmasi


Pasien perlu diberikan KIE dan perhatian khusus terkait dengan
penggunaan obat tetes mata yang diperoleh baik mengenai aturan pakai, cara
penggunaan maupun cara penyimpanan obat tetes mata yang diberikan. KIE tidak
hanya diberikan kepada pasien tetapi juga keluarga pasien mengingat pasien
adalah pasien usia lanjut sehingga kepatuhan pasien terhadap penggunaan obat
dapat diterapkan. Selain itu perlu diinformasikan juga untuk upaya preventif yang
dapat dilakukan oleh pasien seperti menjaga kebersihan diri dan mencuci tangan
menggunakan sabun, serta kontrol kembali ke dokter apabila gejala masih
dirasakan.
Disamping pemberian informasi terhadap aturan pakai, cara penggunaan
maupun cara penyimpanan obat tetes mata yang diberikan, juga perlu
diinformasikan agar pasien runtin untuk melakukan kontrol/cek tekanan darah
karena riwayat hipertensi pasien. Selanjutnya perlu dilakukan monitoring terhadap
efektivitas terapi dan efek samping obat yang diberikan. Dalam hal ini monitoring
yang dapat dilakukan adalah:
- Monitoring keberhasilan terapi dengan menilai kondisi gejala klinis yang
dialami pasien seperti warna kotoran mata, rasa gatal dan rasa nyeri yang
berkurang.
- Monitoring terhadap efek samping terapi, pasien/care giver diberikan
penjelasan mengenai efek samping obat yang diterima seperti penggunaan
Levofloxacin eye drops yang memiliki efek samping terjadinya penurunan
penglihatan (sementara), sensasi adanya benda asing pada mata, rasa nyeri
pada mata atau rasa ketidaknyamanan dan fotofobia (rasa takut atau kepekaan
terhadap cahaya).

24
Daftar Pustaka

Lacy, C. F., L. L. Armstrong, M. P. Goldman, and L. L. Lance. 2007. Drug


Information Handbook, 17th Edition. USA: Lexi-comp Inc.
Majid, A. 2004. Krisis Hipertensi Aspek Klinis dan Pengobatan. Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara: USU Digital Library.

25

You might also like