You are on page 1of 12

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Hubungan Parasosial

1.1.1 Pengertian Hubungan Parasosial

Secara sederhana, hubungan parasosial adalah hubungan yang khalayak

anggap mereka miliki dengan tokoh media (Rubin & McHugh, 1987; Giles, 2001

dalam Devito, 2008: 147). Khalayak dapat mengembangkan hubungan ini dengan

selebriti yang nyata ataupun dengan karakter fiksional (Devito, 2008: 147).

Hubungan parasosial adalah suatu ilusi mengenai hubungan langsung

antara pemirsa televisi dengan performer, sebagai hasil rekaan dari media massa,

sedangkan interaksi parasosial adalah suatu upaya pemunculan percakapan antara

performer dengan pemirsa televisi (Biran, 2003). Secara esensial definisi,

hubungan parasosial dan interaksi parasosial memiliki definisi yang serupa, oleh

karena itu untuk selanjutnya akan disebut dengan perilaku parasosial.

1.1.2 Karakteristik Individu Parasosial

Menurut Hoffner (2002) terdapat tujuh karakteristik individu yang

memiliki kecenderungan melakukan perilaku parasosial, yaitu:

1. Individu yang kurang atau jarang melakukan hubungan sosial.

Berdasarkan hasil penelitian Norlund (dalam Hoffner, 2002), individu

yang kurang atau jarang melakukan hubungan sosial akan lebih sering

berada di dalam rumah sehingga cenderung menggunakan televisi sebagai

teman dan membentuk hubungan parasosial.


2. Perbedaan individu dalam berempati. Empati dapat meningkatkan

kecenderungan pemirsa televisi untuk mengenali dan berbagi pola pikir

serta pengalaman emosional dengan karakter dalam media.

3. Self-esteem yang rendah. Hasil penelitian Turner (dalam Hoffner, 2002)

menunjukkan bahwa individu yang memiliki self-esteem rendah akan

menemukan kesulitan untuk berkomunikasi langsung dengan orang lain,

oleh karena itu mereka lebih memilih untuk menonton televisi dan

menciptakan suatu hubungan dengan television performer yang mereka

saksikan di televisi.

4. Tingkat pendidikan. Menurut Levy (1982), individu yang memiliki tingkat

pendidikan yang lebih baik, akan lebih sedikit membutuhkan hubungan

parasosial karena individu yang lebih berpendidikan biasanya tidak

memiliki masalah dalam melakukan interaksi sosial dengan orang lain.

5. Individu yang tidak bisa keluar rumah (housebound infirm). Mereka yang

tidak bisa keluar rumah – mungkin karena masalah kesehatan – biasanya

kurang memiliki kesempatan untuk melakukan interaksi sosial dengan

orang lain, sehingga memiliki keenderungan untuk membentuk hubungan

parasosial (Levy, 1982).

6. Interpersonal attachment. Menurut Cole dan Leets (1999) jenis

interpersonal attachment yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi

pembentukan perilaku parasosial. Dikatakan bahwa individu yang

memiliki gaya attachment anxious-ambivalent merupakan individu yang

paling memiliki kecenderungan untuk membentuk perilaku parasosial,


sedangkan individu yang memiliki gaya attachment avoidant merupakan

individu yang paling kecil memiliki kecenderungan membentuk perilaku

parasosial.

7. Gender. Beberapa penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa

perilaku parasosial lebih kuat dan lebih sering terjadi pada perempuan

(Hoffner, 2002).

1.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Parasosial

Selain faktor karakteristik personal individu, terdapat beberpa faktor lainnya yang

diyakini turut mempengaruhi terbentuknya perilaku parasosial, antara lain:

1. Motivasi di sini adalah motivasi untuk memperoleh tujuan, kebutuhan dan

keinginannya yang dalam konteks parasosial adalah kebutuhan akan

kepuasan sosial dan emosional. Hal tersebut dapat memotivasi individu

untuk menonton tayangan televisi lebih lanjut dan dapat membantu

individu memuaskan kebutuhuan keanggotaan individu dalam suatu

perkumpulan (Hoffner, 2002).

2. Faktor lainnya adalah faktor kesamaan (similiarity) antara individu dan

television performer-nya, baik dalam hal penampilan fisik, tingkah laku,

reaksi emosional, maupun kepribadian. Biasanya individu akan lebih

tertarik pada karakter dan kepribadian performer yang mirip dengan

dirinya. Misalnya persamaan dalam jenis kelamin, etnis, kelas sosial, usia,

kepribadian, kepercayaan dan pengalaman (Hoffner, 2002).


3. Faktor ketiga menurut Hoffner (2002) adalah adanya keinginan individu

untuk mengidentifikasikan television performer pada dirinya. Biasanya,

ciri-ciri performer yang disukai seseorang adalah individu yang tampan

atau cantik, menarik, berbakat dan sukses, kemudian, performer tersebut

akan menjadi panutan bagi para pemirsa televisi.

Komunikasi antara pemirsa televisi dengan pemirsa telivisi lainnya juga

dapat mempengaruhi terbentuknya perilaku parasosial. Mereka akan saling

berkomunikasi dengan tujuan untuk mengurangi ketidaktentuan akan berita

mengenai performer dan juga meningkatkan pengetahuan akan kehidupan dan

kepribadian performer. Semakin sering mereka berkomunikasi dan menambah

pengetahuan mengenai performer, maka makin kuat perilaku parasosial yang

dibentuknya (Hoffner, 2002). Altman dan Taylor (dalam Camella, 2003)

menambahkan bahwa lamanya individu menonton televisi juga turut

mempengaruhi kuatnya perilaku parasosial yang terbentuk. Semakin lama

individu menonton televisi, maka individu tersebut akan semakin intim dengan

performer dan perilaku parasosialnya semakin kuat.

1.1.4 Efek Parasosial

Beberapa hal yang terbentuk atau dipengaruhi oleh adanya perilaku

parasosial antara lain:


1. Sense of companionship. Dengan adanya hubungan dan interaksi

parasosial, individu dakam merasakan suatu kepuasan dalam kebutuhan

interaksi sosialnya (Hoffner, 2002).

2. Pseudo-friendship. Adanya perilaku parasosial juga dapat menimbulkan

rasa persahabatan semu antara individu dengan selebriti favoritnya

(Hoffner, 2002). Hal ini dapat terjadi karena individu merasa mengetahui

dan berhubungan langsung dengan selebriti favoritnya sebagai mana

mereka berhubungan dengan teman mereka (Cole & Leets, 1999).

3. Pedoman dalam bertingkah laku. Tingkah laku sosial dan nilai-nilai

budaya (misalnya pernikahan atau pola asuh) performer akan menjadi

acuan bagi para penggemarnya untuk bertingkah laku dalam kehidupan

sehari-hari (McCourt & Fitzpatrick, 2001; Hoffner, 2002).

4. Personal identity. Individu menggunakan situasi dan tingkah laku selebriti

favoritnya di dalam film atau pun di dunia nyata untuk mengartikan dan

memahami kehidupan dirinya sendiri (McQuail, dkk., dalam Giles, 2002).

5. Pemirsa patologis. Interaksi yang sangat kuat antara individu dan selebriti

favoritnya dapat menimbulkan gejala patologis, dimana individu akan

melakukan segala hal yang dilakukan oleh selebriti favoritnya, bahkan

tingkah laku yang buruk sekalipun (Giles, 2002).

1.1.5 Indikator Hubungan Parasosial

McCutcheon (dalam Ashe & McCutcheon, 2001) menyatakan bahwa

terdapat tiga indikator untuk mengevaluasi hubungan parasosial.


1. Aspek sosial dan hiburan (social/entertainment), dimana individu

mengagumi selebiriti dan merasakan bahwa hal tersebut menghibur,

2. Aspek intense personal feeling, individu merasakan adanya hubungan

emosional dengan selebiriti favoritnya, dan

3. Aspek patologi ringan (mild pathology), dimana individu menunjukkan

tanda-tanda patologis terhadap selebriti favoritnya dan bahkan rela berbuat

hal-hal berbahaya demi selebriti favoritnya.

1.2 Ekuitas Pelanggan

Ekuitas pelanggan (Customer Equity) pertama kali di cetuskan dalam

sebuah artikel di Harvard Business Review berjudul “Manage Marketing by the

Customer Equity Test” yang ditulis oleh Blattberg & Deighton (1996). Blattberg

& Deighton (1996), mendefinisikan customer Equity adalah “the total of the

discounted lifetime values summed over all of the firm’s customer”. Asumsi dasar

customer equity adalah bahwa pelanggsan merupakan aset finansial yang harus

diukur, dikelola dan dimaksimalkan oleh setiap perusahaan atau organisasi, sama

halnya dengan aset-aset lainnya.

Terdapat dua alasan fundamental bagi perusahaan untuk bergerak ke arah

pendekatan ekiutas pelanggan. Pertama, beberapa teknologi baru yang kritis yang

dikonversikan untuk membuat manajemen berdasarkasn aset pelanggan mudah

dijangkau. Yang kedua, kapabilitas teknologi yang sama, bersamaan dengan

perubahan lain dalam kerja pasar pada turbulensi lingkungan bisnis,

menjadikannya suatu tuntutan bagi bagian pemasaran untuk memaksimalkan nilai

aset pelanggan perusahaan


1.2.1 Indikator Ekuitas Pelanggan

Menurut (Dwivedi & Johnson, 2013) Untuk mengukur ekuitas pelanggan

(customer equity), terdapat 3 variabel yang dapat diukur yaitu:

1. Ekuitas nilai (value equity) Menurut Rust et al. (2000) mendefinisikan

ekuitas nilai sebagai penilaian secara objektif terhadap kegunaan suatu

merek yang didasarkan pada persepsi tentang apa yang diberikan untuk

apa yang diperoleh.

2. Ekuitas merek (brand equity) Menurut Supranto dan Limakrisna

(2011:132), adalah nilai yang ditentukan oleh konsumen pada suatu merek

di atas dan di luar karakteristik/atribut fungsional dari produk.

3. Ekuitas hubungan (relationship equity) adalah mencakup ekuitas yang

dirasakan, kepuasan pelanggan dan loyalitas sikap terhadap merek. Ekuitas

hubungan melibatkan aspek yang relevan dengan hubungan antara ekuitas

konsumen dan merek yang ditentukan untuk mereka dan menyelidiki

efektivitas kegiatan pemasaran untuk menciptakan hubungan antara

ekuitas merek dan target pelanggan (Keller, 2003).

1.3 Sikap Pelanggan

1.3.1 Pengertian Sikap Pelanggan

Engel, Blackwell, dan Miniard (1995) menegemukakan bahwa sikap

menunjukan apa yang konsumen sukai dan yang tidak disukai. Defenisi tersebut

menggambarkan pandangan kognitif dari psikolog social, dimana sikap dianggap

memiliki 3 unsur: 1. kognitif (pengetahuan), 2. afektif (perasaan), 3. Konatif


(tindakan). Dapat disimpulkan bahwa sikap merupakan ungkapan perasaan

konsumen tentang suatu objek apakah disukai atau tidak, dan sikap juga bias

menggambarkan kepercayaan konsumen terhadapa berbagai atribut dan manfaat

dari objek tersebut.

Sikap konsumen adalah faktorn penting yang akan mempengaruhi

keputusan konsumen. Mowen dan Minor(1998) menyebutkan bahwa istilah

pembentukan sikap konsumen(costumer attitude formation) sering kali

menggambarkan hubungan antara kepercayaan, sikap dan prilaku. Kepercayaan,

sikap, dan prilaku juga terkait dengan konsep atribut produk. Atribut produk

adalah karakteristik dari suatu produk. Konsumen biasanya memiliki kepercayaan

terhadap atribut suatu produk.

1.3.2. Karakteristik Sikap Pelanggan

1. Sikap Memiliki Objek

Dalam konteks pemasaran sikap konsumen harus terkait dengan objek,

objek tersebut bias terkait dengan berbagai konsep konsumsi dan pemasaran

seperti produk, merek, iklan, harga, kemasan, penggunaan dan media. Misalnya,

bagaimana sikap konsumen terhadap minuman alcohol, sikapnya terhadap

berbagai merek minuman beralkohol.

2. Sikap adalah kecenderungan yang dipelajari


Sikap yang berkaitan dengan perilaku membeli dibentuk sebagai hasil dari

pengalaman langsung mengenai produk , informasi secara lisan yang diperoleh

dari orang lain , atau terpapar oleh iklan di media massa , internet , dan berbagai

bentuk pemasaran langsung. Walaupun sikap mungkin dihasilkan dari perilaku

tetapi tidak sama dengan perilaku. Sebaliknya , mereka mencerminkan penilaian

yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan terhadap obyek sikap.

Sebagai kecenderungan yang dipelajari , sikap mempunyai kualitas memotivasi

yaitu mereka dapat mendorong konsumen kearah perilaku tertentu atau menarik

konsumen dari perilaku tertentu.

3. Konsistensi Sikap

Sikap memiliki konsistensi dengan prilaku. Prilaku seorang konsumen

merupakan gambaran dari sikapnya. Seorang wanita mengendarai BMW warna

silver, ia menyukai BMW silver. Inilah konsistensi antara sikap dan prilaku.

Namun, factor situasi sering menyebabkan inkonsistensi antara sikap dan prilaku.

Seseorang mneyukai sedan Jaguar, namun ia tidak memiliki sedan tersebut. Factor

daya beli mungkin menyebabkan tidak konsistennya antara sikap dan prilaku.

4. Sikap Positif, Negative dan Netral

Seseorang mungkin menyukai rendang(sikap positif) atau tidak menyukai

minuman alcohol(sikap negative), atau bahkan tidak memiliki sikap(netral). Sikap

yang memiliki dimensi positif, negative, dan netral disebut sebgai karakteristik

valance dari sikap.


5. Intensitas Sikap

Sikap seorang konsumen terhadap suatu merek produk akan bervariasi

tingkatannya, ketika konsumen menyatakan derajat tingkat kesukaan terhadap

suatu produk ,maka ia mengungkapkan intensitas sikapnya. Intensitas sikap

disebut sebgai karakteristik extriminity dari sikap

6. Resistensi Sikap

Resistensi adalah seberapa besar sikap seorang konsumen bias berbuat.

Seorang konsumen yang tidak menyukai tomat kemudian disarankan oleh dokter

untuk banyak mengkonsumsi tomat karena alas an kesehatan, mungkin sikapnya

akan mudah berubah. Pemasar penting memahami bagaimana resistensi

konsumen agar bias menerapkan strategi pemasaran yang tepat. Pemasaran ofensif

bias diterapkan untuk mengubah sikap konsumen yang sngat resistens atau

merekrut konsumen baru.

7. Persistensi Sikap

Adalah karakteristik sikap yang menggambarkan bahwa sikap akan berubah

karena berlalunya waktu. Seorang konsumen menyukai makan di McDonal(sikap

negative), namun dengan berlalunya waktu setelah beberapa bulan ia mungkin

akan berubah dan akan menyukai makanan di McDonal.

8. Keyakinan Sikap

Adalah kepercayaan konsumen mengenai kebenaran sikap yang dimilikinya.

Misalnya, seseorang mungkin tidak suka minum jus jeruk pada pagi hari, tetapi
menyukai minum jus jeruk pada siang hari atau malam hari. Demikian pula,

seseorang mungkin menyukai makan siang direstoran fast food, namun ia merasa

bahwa fast food restoran bukanlah tempat yang cocok untuk makan malam

bersama relasi bsnisnya.

1.3.1 Indikator Sikap Pelanggan

Indikator sikap konsumen menurut (Kothler dan Amstrong, 1995: 246) adalah:

1. Cognitive component: kepercayaan konsumen dan pengetahuan tentang

objek. Yang dimaksud obyek adalah atribut produk.

2. Affective component: emosional yang merefleksikan perasaan seseorang

terhadap suatu obyek, apakah obyek tersebut diinginkan atau disukai.

3. Behavioral component: merefleksikan kecenderungan dan perilaku actual

terhadap suatu obyek, yang mana komponen ini menunjukkan

kecenderungan melakukan tindakan.

1.4 Kerangka Penelitian

Kerangka penelitian adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep

yang ingin diamati dan diukur dengan melalui penelitian yang akan dilakukan.

Kerangka pemikiran merupakan gambaran terhadap penelitian yang dilakukan

serta memberikan landasan yang kuat terhadap topik yang dipilih dan disesuaikan

dengan masalah yang terjadi. Agar konsep-konsep ini mampu diamati dan diukur,

maka dijabarkan ke dalam beberapa variabel di dalam sebuah model penelitian.


Hubungan Sikap Ekuitas
Parasosial Pelanggan Pelanggan

Gambar Model Kerangka Penelitian

1.5 Hipotesis

Hipotesis merupakan dugaan atau kesimpulan awal dan masih bersifat

sementara yang akan dibuktikan kebenarannya setelah data lapangan (empiris)

yang dapat diperoleh. Berdasarkan uraian literatur diatas, maka dapat dirumuskan

formulasi hipotesis sebagai berikut:

H1: Hubungan Parasosial berpengaruh terhadap Ekuitas Pelanggan.

H2: Hubungan Parasosial berpengaruh terhadap Sikap Pelanggan.

H3: Sikap Pelanggan berpengaruh terhadap Ekuitas Pelanggan.

H4: Hubungan Parasosial berpengaruh terhadap Ekuitas Pelanggan

Dimediasikan oleh Sikap Pelanggan.

You might also like