You are on page 1of 27

LAPORAN KASUS

BELLS PALSY SINISTRA

Disusun Oleh :
Hilmi Zakiyah Nurlatifah
20120310120

Dokter Pembimbing :
dr. Gama Sita, SpS

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

RSUD KOTA SALATIGA

2017
BAB I

IDENTITAS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. M

Umur : 49 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Jl. Kendalisodo, Sidomukti, Salatiga

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Islam

No. CM : 1718365041

Datang : 2 Juli 2017

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Os merasa wajah sebelah kiri terasa kaku

Riwayat Penyakit Sekarang


Sejak ± 3 hari sebelum datang ke poli saraf RSUD Salatiga, pasien merasakan wajah
sebelah kiri terasa kaku. Pasien merasa mulutnya merot tertarik ke sebelah kanan.
Penderita baru menyadari saat bercermin ternyata bukan hanya mulutnya yang merot,
dahinya sebelah kiri juga tidak ada kerutannya, dan mata kiri tidak dapat menutup dengan
rapat, sehingga mata kering sehingga terasa agak pedih. Saat makan, dirasakan lidah
sebelah kiri tidak dapat merasakan asin dan manis makanan. Ketika berkumur terasa
bocor, keluar air dari sisi kiri mulut. Kelemahan anggota gerak (-), nyeri kepala (-), pelo
(-), tersedak saat makan atau minum (-), pendengaran telinga kanan dan kiri sama. Saat
tidur di malam hari, penderita tidak tidur dekat dengan jendela dan tidak memakai kipas
angin.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Baru pertama kali sakit seperti ini
- Riwayat hipertensi (-), riwayat DM (-), riwayat trauma (-), riwayat sakit gigi (-)
- Riwayat infeksi saluran pernapasan (+).

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita hal yang serupa seperti pasien.
Riwayat hipertensi (-), riwayat DM (-).

Riwayat Pengobatan
Panadol jika saat sakit kepala

Riwayat Kebiasaan
Makan bergizi. Tidak merokok dan tidak minum Alkohol. Os tidur di rumah tidak
memakai kipas angin

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : pasien tampak kaku pada wajahnya
Kesadaran : compos mentis
GCS : 15  Eye: 4, Verbal: 5, Motorik: 6
Tanda Vital
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 76 x/menit
Pernapasan : 18 x/menit
Suhu : 36,3oC

D. STATUS GENERALIS
Kepala : normochepal
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : deviasi septum (-), sekret (-)
Telinga : normotia, sekret (-)
Mulut : bibir tampak kering
Leher : tidak ada pembesaran KGB, tidak ada pembesaran tiroid
Thoraks
Inspeksi : pergerakan dada simetris, tidak ada lesi
Palpasi : Vocal fremitus normal
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi
Paru : suara napas vesikular, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung : bunyi jantung I dan II normal, regular, tidak ada gallop dan murmur

Abdomen
Inspeksi : abdomen datar
Auskultasi : bising usus normal
Perkusi : timpani di seluruh region abdomen
Palpasi :nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegaly (-)

Ekstremitas
Superior : akral hangat, RCT < 2detik, edema (-), sianosis (-)
Inferior : akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-), sianosis (-)

E. STATUS NEUROLOGIS
Kesadaran : compos mentis
GCS : 15  Eye: 4, Verbal: 5, Motorik: 6
Rangsang Meningeal
Kaku kuduk : negatif
Kernig : negatif
Lasegue : negatif
Brudzinski I, II: negative

F. PEMERIKSAAN NERVUS CRANIAL


1. Nervus Olfaktorius

Dextra Sinistra

Daya pembau Normosmia Normosmia


2. Nervus Optikus
Dextra Sinistra
Tajam Penglihatan Normal Normal
Lapang Pandang Normal Normal
Pengenalan Warna Normal Normal
Funduskopi
Papil edema Tidak dilakukan
Arteri:Vena

3. Nervus Okulomotorius
Dextra Sinistra
Ptosis - +
Gerakan Bola Mata
Baik Baik
 Medial
Baik Baik
 Atas
Baik Baik
 Bawah

Ukuran Pupil Pupil bulat isokor Ø ODS 3 mm

Refleks Cahaya
+ +
Langsung
Refleks Cahaya
+ +
Konsensual
Akomodasi Baik Baik

4. Nervus Trokhlearis
Dextra Sinistra
Gerakan Mata
Baik Baik
Medial Bawah

5. Nervus Trigeminus
Menggigit Normal
Membuka mulut Normal
Sensibilitas
 Oftalmikus + +
 Maksilaris + +
 Mandibularis + +
Refleks kornea Tidak dilakukan
Refleks bersin Tidak dilakukan

6. Nervus Abdusens
Dextra Sinistra
Gerakan mata ke lateral + +

7. Nervus Facialis
Dextra Sinistra
Mengangkat alis + -
Kerutan dahi + -
Menutup mata + -
Menyeringai + -
Daya pengecap 2/3
Tidak dapat merasakan manis dan asin.
depan

8. Nervus Vestibulochoclearis
Dextra Sinistra
Tes Romberg Tidak dilakukan
Tes bisik Normal Normal
Tes Rinne
Tes Weber Tidak dilakukan
Tes Schwabach

9. Nervus Glosofaringeus & Nervus Vagus


Arkus faring Gerakan simetris
Daya Kecap Lidah 1/3 belakang Tidak dilakukan
Uvula Letak di tengah
Menelan Normal
Refleks muntah Tidak dilakukan
10. Nervus Assesorius
Dextra Sinistra
Memalingkan kepala Baik Baik
Mengangkat bahu Baik Baik

11. Nervus Hipoglosus

Sikap lidah Tidak ada deviasi

Fasikulasi -

Tremor lidah -

Atrofi otot lidah -

G. PEMERIKSAAN MOTORIK
Anggota Gerak Atas
Dextra Sinistra
Bentuk Tidak ada deformitas
Kontur Otot Eutrofi Eutrofi
Kekuatan 5 5 5 5 5 5 5 5
Reflex Bisep + +
Reflex Trisep + +

Anggota Gerak Bawah


Dextra Sinistra
Bentuk Tidak ada deformitas
Kontur Otot Eutrofi Eutrofi
Kekuatan 5 5 5 5 5 5 5 5
Reflex Patella + +
Reflex Achilles + +
Refleks Patologis
Dextra Sinistra
Babinski - -
Chaddocck - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -
Gonda - -
Hoffman Trommer - -

H. PEMERIKSAAN SENSORIK
Dextra Sinistra
Rasa Raba
- Ekstremitas Atas + +
- Ekstremitas Bawah + +
Rasa Nyeri
- Ekstremitas Atas + +
- Ekstremitas Bawah + +
Rasa Suhu
- Ekstremitas Atas Tidak dilakukan
- Ekstremitas Bawah

I. FUNGSI VEGETATIF
Miksi Defekasi
Inkontinensia urin - Inkontinensia alvi -
Retensio urine - Retensio alvi -
Poliuria -
Anuria -
Ugo Fisch Score
Waktu istirahat 20 x 30 % = 6
Mengerutkan dahi 10 x 30 % = 3
Menutup mata 30 x 30 % = 9
Tersenyum 30 x 0 % = 0
Bersiul 10 x 30 % = 3

Jumlah total 21
DIAGNOSA
• Diagnosa Klinis : Ipsiparese nervus VII sinistra
• Diagnosa Etiologi : susp. Bells palsy
• Diagnosa Topis : nervus VII
ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
• CT-Scan

TERAPI
Non-farmakologis:
1. Istirahat terutama pada keadaan akut .
2. Tiap malam mata diplester .
Gunanya melatih mata yang tidak dapat menutupsupaya dapat menutup bersamaan.
Farmakologis:
1. Methylprednisolon 2x125 mg
2. Gabapentin 2x150 mg
3. Neurodex 1x1
PROGNOSIS
• Quo ad vitam : dubia ad bonam
• Quo ad functionam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN
Bell’s palsy merupakan paresis nervus fasialis perifer yang penyebabnya tidak
diketahui (idiopatik) 1,2,3
dan bersifat akut.4 Banyak yang mencampuradukkan antara Bell’s
palsy dengan paresis nervus fasialis perifer lainnya yang penyebabnya diketahui.1
Biasanya penderita mengetahui kelumpuhan fasialis dari teman atau keluarga atau
pada saat bercermin atau sikat gigi/berkumur. Pada saat penderita menyadari bahwa ia
mengalami kelumpuhan pada wajahnya, maka ia mulai merasa takut, malu, rendah diri,
mengganggu kosmetik dan kadangkala jiwanya tertekan terutama pada wanita dan pada
penderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia untuk tampil di muka umum.
Seringkali timbul pertanyaan didalam hatinya, apakah wajahnya bisa kembali secara normal
atau tidak.1,2,5
Rehabilitasi medik pada penderita Bell’s palsy diperlukan dengan tujuan membantu
memperlancar vaskularisasi, pemulihan kekuatan otot-otot fasialis dan mengembalikan fungsi
yang terganggu akibat kelemahan otot-otot fasialis sehingga penderita dapat kembali
melakukan aktivitas kerja sehari-hari dan bersosialisasi dengan masyarakat.

I. DEFINISI
Bell’s palsy adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif, non-
neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian
nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang
mulanya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.6,7
Paralisis fasial idiopatik atau Bell’s palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell, dokter dari
Skotlandia. Bell’s palsy sering terjadi setelah infeksi virus atau setelah imunisasi, lebih sering
terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes serta penderita hipertensi. Bukti-bukti
dewasa ini menunjukkan bahwa Herpes simplex tipe 1 berperan pada kebanyakan kasus.
Berdasarkan temuan ini, paralisis fasial idiopatik sebagai nama lain dari Bell’s palsy tidak
tepat lagi dan mungkin lebih baik menggantinya dengan istilah paralisis fasial herpes
simpleks atau paralisis fasial herpetik.
Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus
VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Salah satu gejala Bell’s palsy
adalah kelopak mata sulit menutup dan saat penderita berusaha menutup kelopak matanya,
matanya terputar ke atas dan matanya tetap kelihatan. Gejala ini disebut juga fenomena Bell.
Pada observasi dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat
jika dibandingkan dengan gerakan bola mata yang sehat (lagoftalmos).

Contoh gambar penderita Bell’s Palcy


II. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang
dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s palsy sebesar
19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 – 30 tahun. Lebih sering
terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas
maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara
dingin atau angin berlebihan.1

III. ETIOLOGI
Banyak kontroversi mengenai etiologi dari Bell’s palsy, tetapi ada 4 teori yang
dihubungkan dengan etiologi Bell’s palsy yaitu : 1,5
1. Teori Iskemik vaskuler
Nervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan regulasi
sirkulasi darah di kanalis fasialis.
2. Teori infeksi virus
Virus yang dianggap paling banyak bertanggungjawab adalah Herpes Simplex Virus
(HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV (khususnya tipe 1).
3. Teori herediter
Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan atau
keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis
fasialis.
4. Teori imunologi
Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus
yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.

IV. ANATOMI
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
 Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator
palpebrae (n.II), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius
di telinga tengah.
 Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga
hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
 Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga
bagian depan lidah.
 Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba dari
sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.
Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot mimik
wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang
mengantarkan rasa kecap dari dua pertiga bagian lidah dan sensasi kulit dari dinding
anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut kecap pertama-tama melintasi nervus
lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke korda timpani dimana ia
membawa sensasi kecap melalui nervus fasialis ke nukleus traktus solitarius. Serabut-
serabut sekretomotor menginnervasi kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial
major dan kelenjar sublingual serta kelenjar submaksilar melalui korda tympani.
Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens, dan
serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian ventrolateral
nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus kortikospinal. Karena
posisinya yang berdekatan (jukstaposisi) pada lantai ventrikel IV, maka nervus VI dan VII
dapat terkena bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk ke
meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok tajam ke depan
dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada sudut ini (genu)
terletak ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena sangat dekat dengan genu.
Nervus fasialis terus berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion genikulatum
untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu nervus petrosus
superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal memberi persarafan ke m. stapedius yang
dihubungkan oleh korda timpani. Lalu n. fasialis keluar dari kranium melalui foramen
stylomastoideus kemudian melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang
melayani otot-otot wajah, m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus venter posterior.
Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus VII.
Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Jika lesinya berlokasi di bagian
proksimal ganglion genikulatum, maka paralisis motorik akan disertai gangguan fungsi

pengecapan dan gangguan fungsi otonom. Lesi yang terletak antara ganglion genikulatum
dan pangkal korda timpani akanmengakibatkan hal serupa tetapi tidak mengakibatkan
gangguan lakrimasi. Jika lesinya berlokasi di foramen stilomastoideus maka yang terjadi
hanya paralisis fasial (wajah).
V. PATOFISIOLOGI
Apapun sebagai etiologi Bell’s palsy, proses akhir yang dianggap bertanggungjawab
atas gejala klinik Bell’s palsy adalah proses edema yang selanjutnya menyebabkan kompresi
nervus fasialis. Gangguan atau kerusakan pertama adalah endotelium dari kapiler menjadi
edema dan permeabilitas kapiler meningkat, sehingga dapat terjadi kebocoran kapiler
kemudian terjadi edema pada jaringan sekitarnya dan akan terjadi gangguan aliran darah
sehingga terjadi hipoksia dan asidosis yang mengakibatkan kematian sel. Kerusakan sel ini
mengakibatkan hadirnya enzim proteolitik, terbentuknya peptida-peptida toksik dan
pengaktifan kinin dan kallikrein sebagai hancurnya nukleus dan lisosom. Jika dibiarkan dapat
terjadi kerusakan jaringan yang permanen.
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada
nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy
hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu atau
lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh.
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi
pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi
kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal.
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang
mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen
mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau
iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh
nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear.
Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras
kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik
wajah di korteks motorik primer. Karena adanya suatu proses yang dikenal awam sebagai
“masuk angin” atau dalam bahasa inggris “cold”.
Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela
yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena itu nervus
fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bias terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di
os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi
nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus
longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan
muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis
LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa
mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab
utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang
menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf
melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa
ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.
Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah
seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada
usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak
bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena
lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun disitu.

VI. GAMBARAN KLINIS


Biasanya timbul secara mendadak, penderita menyadari adanya kelumpuhan pada
salah satu sisi wajahnya pada waktu bangun pagi, bercermin atau saat sikat gig/berkumur atau
diberitahukan oleh orang lain/keluarga bahwa salah satu sudutnya lebih rendah. Bell’s palsy
hampir selalu unilateral. Gambaran klinis dapat berupa hilangnya semua gerakan volunter
pada kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena, ekspresi akan menghilang sehingga
lipatan nasolabialis akan menghilang, sudut mulut menurun, bila minum atau berkumur air
menetes dari sudut ini, kelopak mata tidak dapat dipejamkan sehingga fisura papebra melebar
serta kerut dahi menghilang. Bila penderita disuruh untuk memejamkan matanya maka
kelopak mata pada sisi yang lumpuh akan tetap terbuka (disebut lagoftalmus) dan bola mata
berputar ke atas. Keadaan ini dikenal dengan tanda dari Bell (lagoftalmus disertai dorsorotasi
bola mata). Karena kedipan mata yang berkurang maka akan terjadi iritasi oleh debu dan
angin, sehingga menimbulkan epifora.1,6 Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada
sisi yang lumpuh tidak mengembung.6 Disamping itu makanan cenderung terkumpul diantara
pipi dan gusi sisi yang lumpuh.1 Selain kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, tidak didapati
gangguan lain yang mengiringnya, bila paresisnya benar-benar bersifat “Bell’s palsy”.6
Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi.
 Lesi di luar foramen stilomastoideus
Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan berkumpul di antar pipi dan
gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang. Lipatan kulit dahi
menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka aur
mata akan keluar terus menerus.
 Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), ditambah dengan hilangnya ketajaman
pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang.
menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah
antara pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di
kanalis fasialis.
 Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius) Gejala dan
tanda klinik seperti pada (1), (2), ditambah dengan adanya hiperakusis.
 Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
Gejala dan tanda klinik seperti (1), (2), (3) disertai dengan nyeri di belakang dan di
dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani
dan konka. Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan
herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlibat di membran timpani,
kanalis auditorius eksterna dan pina.
 Lesi di daerah meatus akustikus interna
Gejala dan tanda klinik seperti (1), (2), (3), ditambah dengan tuli sebagi akibat dari
terlibatnya nervus akustikus.
 Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons.
Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda terlibatnya
nervus trigeminus, nervus akustikus, dan kadang-kadang juga nervus abdusens,
nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus.
Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa Bell’s
palsy, beberapa bulan pasca awitan, dengan manifestasi klinik: air mata bercucuran dari mata
yang terkena pada saat penderita makan. Nervus fasilais menginervasi glandula lakrimalis
dan glandula salivatorius submandibularis. Diperkirakan terjadi regenerasi saraf salivatorius
tetapi dalam perkembangannya terjadi ‘salah jurusan’ menuju ke glandula lakrimalis.
VII. DIAGNOSA
Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa serta beberapa pemeriksaan fisik, dalam
hal ini yaitu pemeriksaan neurologis.

A. Anamnesa :
1. Rasa nyeri.
2. Gangguan atau kehilangan pengecapan.
3. Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di
ruangan terbuka atau di luar ruangan.
4. Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran
pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain.
B. Pemeriksaan :
1. Pemeriksaan neurologis ditemukan paresis N.VII tipe perifer.
2. Gerakan volunter yang diperiksa, dianjurkan minimal : 6,8
a) Mengerutkan dahi
b) Memejamkan mata
c) Mengembangkan cuping hidung
d) Tersenyum
e) Bersiul
f) Mengencangkan kedua bibir
3. Di instalasi Rehabilitasi Medik RSU Prof. dr. R. D. Kandou memakai SKALA
UGO FISCH untuk mengevaluasi kemajuan motorik penderita Bell’s palsy.

SKALA UGO FISCH

Dinilai kondisi simetris atau asimetris antara sisi sehat dan sisi sakit pada 5 posisi :

Posisi Nilai Persentase (%) Skor

0, 30, 70, 100


Istirahat 20
Mengerutkan dahi 10
Menutup mata 30
Tersenyum 30
Bersiul 10
Total
Penilaian persentase :
0% : asimetris komplit, tidak ada gerakan volunter
30 % : simetris, poor/jelek, kesembuhan yang ada lebih dekat ke asimetris komplit daripada
simetris normal.
70 % : simetris, fair/cukup, kesembuhan parsial yang cenderung ke arah normal
100% : simetris, normal/komplit

C. Diagnosa Klinis : Ditegakkan dengan adanya paresis N.VII perifer dan bukan sentral.
Umumnya unilateral

Diagnosa Topik :
Letak Lesi Kelainan Gangguan Gangguan Hiposekresi Hiposekresi
motorik pengecapan pendengaran saliva lakrimalis
Pons-meatus + + + + +
akustikus internus tuli/hiperakusis

Meatus akustikus + + + + +
internus-ganglion
Hiperakusis
genikulatum
Ganglion + + + + -
genikulatum-N.
Hiperakusis
Stapedius
N.stapedius- + + + + -
chorda tympani
Chorda tympani + + - + -
Infra chorda + - - - -
tympani-sekitar
foramen
stilomastoideus

D. Diagnosa etiologi : Sampai saat ini etiologi Bell’s palsy yang jelas tidak diketahui.
VIII. DIAGNOSA BANDING 1,6
1. Otitis Media Supurativa dan Mastoiditis
2. Herpes Zoster Oticus
3. Trauma kapitis
4. Sindroma Guillain – Barre
5. Miastenia Gravis
6. Tumor Intrakranialis
7. Leukimia
Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu polineuropati akibat rusaknya selubung
myelin di perifer akibat proses autoimun sehingga terjadi kelemahan ascending, disertai
diskinesia, hiporefleks dan parastesia. Terjadi setelah 1sampai 3 minggu setelah infeksi
Etiologi : Virus (CMV, EBV) & Bakteri (Campylobacter Jejeni)
Gejala
Kelumpuhan motorik (LMN) pada kedua tungkai/ke4 anggota gerak
Gangguan eksteroseptif sangat minimal
Hiporefleks
Hipotoni
Disertai gangguan N.VII sering bilateral
Didahului demam
Fungsi otonom bisa terganggu
Myasthenia gravis merupakan penyakita autoimun dengan akibat gangguan
penghantaran impuls pada neuromuscular juntion yang ditandai oleh
kelemahan/kelumpuhan otot-otot lurik setelah melakukan aktivitas dan membaik setelah
istirahat.
Penurunan Ach  penurunan potensial endpate  transmisi infektif  penurunan
jumlah serabut saraf  kelemahan otor
Gejala :
Ptosis bilateral
Diplopia
Disartria & disfagia
Wajah tanpa ekspresi/sulit senyum
Dropped head syndrom
Kelemahan ekstermitas terutama proksimal
Kelemahan otot pernapasan
Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster
di ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlibat di membran timpani, kanalis auditorius
eksterna dan pina
Gejala :
Timbul gejala prodormal seperti nyeri kepala, nyeri telinga, lesu, demam dll
Vesikel berkelompok di area telinga luar disertai eritema,edem, dan rasa terbakar
Kelemahan pada sisi yang sama dengan telinga yang terinfeksi
Sensasi pusing berputar/vertigo
IX. PROGNOSIS 9
Sembuh spontan pada 75-90 % dalam beberapa minggu atau dalam 1-2 bulan. Kira-
kira 10-15 % sisanya akan memberikan gambaran kerusakan yang permanen.

X. KOMPLIKASI
1. Crocodile tear phenomenon
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul beberapa
bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang salah dari
serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar
lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum.1
2. Synkinesis
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri; selalu
timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan
timbul gerakan (involunter) elevasi sudut mulut, kontraksi platisma, atau berkerutnya
dahi.1,4 Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami
regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah.1
3. Hemifacial spasm
Timbul “kedutan” pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak
terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan.1,4 Pada stadium awal hanya
mengenai satu sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya.
Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini. Komplikasi ini terjadi
bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun
kemudian.1
4. Kontraktur
Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga lipatan nasolabialis lebih jelas
terlihat pada sisi yang lumpuh dibanding pada sisi yang sehat. Terjadi bila kembalinya
fungsi sangat lambat. Kontraktur tidak tampak pada waktu otot wajah istirahat, tetapi
menjadi jelas saat otot wajah bergerak.4
XI. TERAPI
Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkindalam
patogenesis Bell’ s palsy.
Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset, harus
dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan. Penggunaan steroid dapat
mengurangi kemungkinan paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis
fasialis yang sempit. Dosis pemberian prednison (maksimal 40-60 mg/hari) dan
prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg/kg/hari peroral selama enam hari diikuti
empat hari tappering off. Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan
steroid jangka panjang (lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes,
ulkus peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan
Cushing syndrome
Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg/kg/hari melalui oral
dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara untuk dewasa diberikan
dengan dosis oral 2 000-4 000 mg/hari yang dibagi dalam lima kali pemberian selama
7-10 hari. Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih
tinggi) untuk dewasa adalah 1 000-3 000 mg/hari secara oral dibagi 2-3 kali selama
lima hari. Efek samping jarang ditemukan pada penggunaan preparat antivirus, namun
kadang dapat ditemukan keluhan berupa adalah mual, diare, dan sakit kepala.

XII. REHABILITASI MEDIK PADA PENDERITA BELL’S PALSY


Sebelum kita membahas mengenai rehabilitasi medik pada Bell’s palsy maka
akan dibicarakan mengenai rehabilitasi secara umum. Rehabilitasi medik menurut
WHO adalah semua tindakan yang ditujukan guna mengurangi dampak cacat dan
handicap serta meningkatkan kemampuan penyandang cacat mencapai integritas sosial.
Tujuan rehabilitasi medik adalah : 10
1. Meniadakan keadaan cacat bila mungkin
2. Mengurangi keadaan cacat sebanyak mungkin
3. Melatih orang dengan sisa keadaan cacat badan untuk dapat hidup dan bekerja
dengan apa yang tertinggal.
Untuk mencapai keberhasilan dalam tujuan rehabilitasi yang efektif dan efisien
maka diperlukan tim rehabilitasi medik yang terdiri dari dokter, fisioterapis, okupasi
terapis, ortotis prostetis, ahli wicara, psikolog, petugas sosial medik dan perawat
rehabilitasi medik.
Sesuai dengan konsep rehabilitasi medik yaitu usaha gabungan terpadu dari segi
medik, sosial dan kekaryaan, maka tujuan rehabilitasi medik pada Bell’s palsy adalah
untuk mengurangi/mencegah paresis menjadi bertambah dan membantu mengatasi
problem sosial serta psikologinya agar penderita tetap dapat melaksanakan aktivitas
kegiatan sehari-hari. Program-program yang diberikan adalah program fisioterapi,
okupasi terapi, sosial medik, psikologi dan ortotik prostetik, sedang program perawat
rehabilitasi dan terapi wicara tidak banyak berperan.
A. Program Fisioterapi
1. Pemanasan 1, 10
a) Pemanasan superfisial dengan infra red.
b) Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave Diathermy
2. Stimulasi listrik 1,8
Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk
mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan
memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya dengan faradisasi yang tujuannya
adalah untuk menstimulasi otot, reedukasi dari aksi otot, melatih fungsi otot baru,
meningkatkan sirkulasi serta mencegah/meregangkan perlengketan. Diberikan 2
minggu setelah onset.
3. Latihan otot-otot wajah dan massage wajah
Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase akut. Latihan berupa
mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata dan mengangkat
sudut mulut, tersenyum, bersiul/meniup (dilakukan didepan kaca dengan
konsentrasi penuh).
Massage adalah manipulasi sitemik dan ilmiah dari jaringan tubuh dengan
maksud untuk perbaikan/pemulihan. Pada fase akut, Bell’s palsy diberi gentle
massage secara perlahan dan berirama. Gentle massage memberikan efek
mengurangi edema, memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus otot.1,3
Setelah lewat fase akut diberi Deep Kneading Massage sebelum latihan gerak
volunter otot wajah. Deep Kneading Massage memberikan efek mekanik terhadap
pembuluh darah vena dan limfe, melancarkan pembuangan sisa metabolik, asam
laktat, mengurangi edema, meningkatkan nutrisi serabut-serabut otot dan
meningkatkan gerakan intramuskuler sehingga melepaskan perlengketan.11
Massage daerah wajah dibagi 4 area yaitu dagu, mulut, hidung dan dahi. Semua
gerakan diarahkan keatas, lamanya 5-10 menit.
B. Program Terapi Okupasi
Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada otot wajah. Latihan
diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk permainan. Perlu
diingat bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi penderita, jangan sampai
melelahkan penderita. Latihan dapat berupa latihan berkumur, latihan minum dengan
menggunakan sedotan, latihan meniup lilin, latihan menutup mata dan mengerutkan
dahi di depan cermin.5
C. Program Sosial Medik
Penderita Bell’s palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan sosial.
Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya. Petugas sosial
medik dapat membantu mengatasi dengan menghubungi tempat kerja, mungkin untuk
sementara waktu dapat bekerja pada bagian yang tidak banyak berhubungan dengan
umum. Untuk masalah biaya, dibantu dengan mencarikan fasilitas kesehatan di tempat
kerja atau melalui keluarga. Selain itu memberikan penyuluhan bahwa kerja sama
penderita dengan petugas yang merawat sangat penting untuk kesembuhan penderita.5
D. Program Psikologik
Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol, rasa cemas
sering menyertai penderita terutama pada penderita muda, wanita atau penderita yang
mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil di depan umum, maka
bantuan seorang psikolog sangat diperlukan.5
E. Program Ortotik – Prostetik
Dapat dilakukan pemasangan “Y” plester dengan tujuan agar sudut mulut yang sakit
tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu diperhatikan reaksi
intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan “Y” plester dilakukan jika dalam
waktu 3 bulan belum ada perubahan pada penderita setelah menjalani fisioterapi. Hal
ini dilakukan untuk mencegah teregangnya otot Zygomaticus selama parese dan
mencegah terjadinya kontraktur.
HOME PROGRAME

1. Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit


2. Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan tangan dari sisi wajah
yang sehat
3. Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang sakit, minum
dengan sedotan, mengunyah permen karet
4. Perawatan mata :
1. Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3x sehari
2. Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang hari
3. Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur
DAFTAR PUSTAKA

1. Sabirin J. Bell’s Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I.


Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990 : 171-81
2. Maisel RH, Levine SC. Gangguan Saraf Fasialis. Dalam : Adams dkk. Boies Buku
Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : Penerbit EGC, 1997 : 139-52
3. Rusk HA. Disease of the Cranial Nerves. In : Rehabilitation Medicine. 2nd ed. New
York : Mc Graw Hill, 1971 : 429-31
4. Lumbantobing SM. Saraf Otak : Nervus Fasial. Dalam : Neurologi Klinik
Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : FK Universitas Indonesia, 2004 : 55-60
5. Thamrinsyam. Beberapa Kontroversi Bell’s Palsy. Dalam : Thamrinsyam dkk. Bell’s
Palsy. Surabaya : Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Soetomo/FK UNAIR, 1991: 1-7
6. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta : Dian
Rakyat, 1985 : 311-17
7. Walton SJ. Disease of Nervous System, 9th ed. English : ELBS, 1985 :113-6
8. Thamrinsyam. Penilaian Derajat Kekuatan Otot Fasialis. Dalam : Thamrinsyam dkk.
Bell’s Palsy. Surabaya : Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Soetomo/FK UNAIR,
1991 : 31-49
9. Raymond D, Adam S, Maurice V. Disease of the Cranial Nerves. In : Principles of
Neurology. 5th ed. New York : Mc Graw Hill, 1994 : 1174-5
10. Kendall FP, Mc Creary EK. Muscle Testing and Function; 3th ed. Baltimore : William
& Wilkins, 1983 : 235-48
11. Reyes TM, Reyes OBL. Hydrotherapy, Massage, Manipulation and Traction. Volume
2 Philippines : U. S. T Printing Office, 1977 : 78-84, 210

You might also like