You are on page 1of 61

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilustrasi kasus:

Yt, remaja perempuan berusia 19 tahun dibawa ke UGD karena mengiris

pergelangan tangannya sendiri. Saat diperiksa, ditemukan banyak bekas silet di

lengannya. Ketika ditanya, pasien tidak ingin bunuh diri. Dirinya hanya kesal

karena tiba-tiba mengingat ayah dan ibunya yang sudah bercerai dan sudah tidak

mempedulikannya lagi. Pasien sama sekali tidak merasakan sakit ketika

melakukan hal tersebut. Pasien menyangkal dirinya merasa sedih. Pasien hanya

mengatakan dirinya kecewa belum bisa menjadi figur anak yang baik. Pasien

mendapatkan kepuasan ketika menyilet tangannya dan hal itu dapat mengobati

rasa kesepiannnya. Pasien merasa tubuhnya seperti sudah mati rasa sehingga

terdorong untuk melukai lebih dalam lagi bila dirinya sedang mengalami suatu

masalah. Pasien tahu hal itu merugikan dirinya, tetapi setiap ada masalah

dorongan itu selalu muncul sehingga akhirnya pasien kembali menyilet

tangannya.

Kasus di atas merupakan contoh fenomena non suicidal self injury ( NSSI)

atau perilaku menyakiti diri yang saat ini sedang cukup populer dilakukan oleh

remaja. Perilaku ini cukup berbahaya bila tidak mendapatkan penanganan yang

1
baik. Secara epidemiologi, remaja diketahui merupakan usia terbanyak untuk

melakukan perilaku menyakiti diri dengan prevalensi sekitar 3-4%

(Muehlenkamp et al. 2012; Claes et al. 2014; Ką et al. 2015). Padahal, remaja

merupakan aset penting bagi masa depan suatu bangsa. Sebanyak 29 % penduduk

dunia terdiri dari remaja, dan 80% diantaranya tinggal di negara berkembang. Di

Indonesia sendiri pada tahun 2005, jumlah remaja yang berusia 10 - 19 tahun

adalah sekitar 41 juta orang atau sekitar 20% dari jumlah total penduduk

Indonesia (www.idai.or.id).

Masa remaja merupakan masa yang kritis dalam siklus perkembangan

manusia. Di masa ini banyak terjadi perubahan dalam diri seseorang sebagai

persiapan memasuki masa dewasa. Remaja bukan lagi sebagai anak kecil, tetapi

belum dapat dikatakan sebagai orang dewasa. Di masa ini juga penuh dengan

gejolak perubahan baik perubahan biologik, psikologik, mapun perubahan sosial.

Hal ini seringkali memicu terjadinya konflik antara remaja dengan dirinya sendiri

(konflik internal). Apabila konflik ini tidak diselesaikan dengan baik tidak jarang

remaja melakukan perilaku menyakiti diri (Arsani et al. 2013)

Perilaku NSSI menimbulkan permasalahan kesehatan dengan beban dan

biaya yang tidak sedikit. Di dalam penelitian Whitlock et al dikatakan NSSI

merupakan pintu gerbang untuk bunuh diri (Whitlock et al. 2012). Padahal

pencegahan bunuh diri / kematian prematur akibat penyakit tidak menular seperti

depresi termasuk dalam prioritas program SDGs (Sustainable Development Goals)

yang dicanangkan oleh WHO dan harus dicapai pada tahun 2020 (WHO

Development Goals Report, 2016). Pemerintah bahkan membuatkan program

2
khusus sebagai bentuk perhatian terhadap remaja yang disebut Program

Pelayananan Kesehatan Peduli Remaja yang disingkat PKPR sebagai upaya

meningkatkan kesehatan fisik dan mental remaja serta sebagai bentuk pencegahan

terhadap berbagai penyakit dan risiko seksual dan reproduksi, termasuk di

dalamnya HIV&AIDS (Arsani et al. 2013).

Perkembangan akses informasi internet dan sosial media, justru

memberikan inspirasi remaja untuk melampiaskan emosinya dengan cara yang

salah yaitu perilaku menyakiti diri (self harm). Perilaku ini juga sering tidak

terdiagnosis karena pelaku jarang mendatangi fasilitas kesehatan. Pelaku dengan

self harm biasanya cenderung untuk menutupi luka yang ditimbulkannya. Bila

sampai dibawa ke rumah sakit, biasanya klinisi cenderung menilai perilaku

tersebut sebagai upaya bunuh diri sehingga terapi yang diberikan tidak adekuat.

Ditambah lagi banyak mitos mengenai perilaku menyakiti diri sebagai sesuatu

yang hanya digunakan untuk mencari perhatian semakin membuat kasus ini sulit

untuk ditangani (Carter et al. 2005).

Perilaku menyakiti diri ditujukan untuk mengurangi penderitaan secara

psikologis dan mengalihkannya ke luka fisik. Seperti kasus di atas, self harm

menjadi jalan penyelesaian untuk mengatasi rasa sakit secara emosional maupun

rasa kekosongan dan kesepian (Muthia et al. 2011). Berbeda dengan tindakan

bunuh diri, pelaku self harm ini tidak karena ingin mati melainkan untuk

mengurangi ketegangan, mendapatkan perasaan euforia, melampiaskan

kemarahan atau rasa kesepian serta memuaskan keinginan untuk menghukum diri

3
sendiri. Tidak jarang pelaku justru menjadi kecanduan dan melakukan self injury

secara berulang (Saraff & Pepper 2014; Sadeh et al. 2014; Swahn et al. 2012).

Perilaku self injury ini ibarat fenomena gunung es dimana jumlah kasus

sesungguhnya jauh lebih besar daripada kasus kasus yang sudah dilaporkan. Hal

ini dikarenakan ada anggapan bahwa tidak pantas seseorang membagi masalahnya

dengan orang lain dan akan dianggap sebagai sesuatu yang memalukan. Sebagian

klinisi juga belum banyak mengetahui tentang self injury sehingga setiap

menemukan kasus sering dianggap sebagai kasus percobaan bunuh diri/ depresi.

Padahal terdapat banyak diagnosis lain yang juga dapat bermanifestasi menjadi

perilaku menyakiti diri. Akibatnya gangguan ini sering tidak mendapatkan

penanganan yang adekuat dan pelaku akan mengulangi kembali di masa

mendatang (Baetens et al. 2014).

Di Indonesia sendiri belum banyak tulisan mengenai asesmen NSSI (Non

Suicidal Self Injury). Literatur mengenai langkah-langkah asesmen yang

terstruktur juga belum banyak. Asesmen yang tepat sangat penting untuk

menentukan diagnosis, rencana penatalaksanaan dan menentukan rujukan.selain

itu, pemilihan instrument asesmen yang tepat, akan membantu dalam penelitian

untuk mendapatkan hasil data yang akurat dan memiliki makna. Oleh karena itu,

referat ini disusun untuk membantu praktisi klinis dalam melakukan asesmen

terhadap self harm agar rencana penatalaksanaan menjadi lebih terstruktur dan

hasilnya akan menjadi lebih baik. Dengan demikian, remaja akan dapat

diselamatkan dari perilaku membahayakan dan gangguan fisik maupun mental di

masa mendatang.

4
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana melakukan asesmen terhadap pasien dengan NSSI?

C. Tujuan

1. Mengetahui dasar-dasar teoritis dari perilaku NSSI

2. Mengetahui bagaimana melakukan asesmen terhadap pasien dengan

NSSI

3. Mengetahui cara membedakan NSSI dengan perilaku bunuh diri

4. Mengetahui instrumen apa saja yang dapat digunakan untuk asesmen

pasien dengan NSSI berikut cara pemilihannya

5. Mengetahui contoh kasus NSSI dan pembahasan asesmennnya

D. Manfaat

1. Menambah wawasan para klinisi mengenai asesmen yang dilakukan

terhadap pasien dengan NSSI

2. Bagi pelayanan, akan bermanfaat dalam menentukan rencana

penatalaksanaan lebih lanjut yang sesuai dengan kondisi dan

permasalahan yang dialami oleh pasien.

5
3. Bagi pendidikan dan penelitian, akan bermanfaat untuk

mengidentifikasi instrumen mana yang paling tepat digunakan sesuai

kondisi dan tujuan pemakaiannya sehingga bisa didapatkan data

penelitian yang lebih akurat dan bermakna.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Non Suicidal Self Injury (NSSI)

Non Suicidal Self Injury (NSSI) adalah suatu perilaku melukai diri sendiri

yang dilakukan dengan sengaja yang mengakibatkan kerusakan langsung pada

tubuh bukan bertujuan untuk bunuh diri (Muehlenkamp et al. 2012). Sedangkan

definisi menurut WHO ( World Health Organization ) NSSI adalah suatu tindakan

dengan hasil non-fatal, di mana seorang individu sengaja memulai perilaku yang

bukan merupakan kebiasaan itu, tanpa campur tangan dari orang lain, akan

menyebabkan menyakiti diri, atau dengan sengaja mencerna zat melebihi dari

dosis terapi yang ditentukan yang bertujuan untuk mendapatkan perubahan yang

diinginkan oleh subjek pelaku melalui konsekuensi fisik yang dihasilkan (Platt et

al., 1992). Nama lain dari NSSI adalah self injury, self harm, deliberate self-

harm, dan self-mutilation.

B. Bentuk-Bentuk Perilaku Non Suicidal Self Injury (NSSI)

Bentuk yang paling umum dari menyakiti diri adalah menggunakan benda

tajam untuk menyayat kulit (cutting), juga membakar (burning), menggaruk

(scratching), memukul-mukul bagian tubuh, mengganggu penyembuhan luka

7
(dermatillomania), mencabuti rambut (trikotilomania) dan konsumsi zat-zat

beracun atau benda-benda. Adapun perilaku yang terkait dengan penyalahgunaan

zat dan gangguan makan biasanya tidak dianggap sebagai NSSI karena kerusakan

jaringan yang dihasilkan biasanya merupakan efek samping yang tidak disengaja.

Namun, batas-batasnya memang tidak selalu jelas. Juga hubungan NSSI dengan

bunuh diri karena sebagian perilaku mungkin berpotensi mengancam nyawa (life

threatening). Peningkatan risiko bunuh diri pada individu yang menyakiti diri

adalah 40-60%. Akan tetapi, NSSI juga tidak bisa digeneralisir sebagai upaya

bunuh diri.

Berdasarkan tingkat kerusakan yang ditimbulkan, self injury dapat

digolongkan menjadi beberapa jenis yaitu :

1. Major self mutilation yaitu melakukan kerusakan permanen pada organ

utama, seperti memotong kaki atau mencukil mata. Umumnya terjadi

pada penderita dengan gangguan psikosis.

2. Stereotipic self-injury yang tidak begitu parah tapi jauh lebih berulang

seperti membenturkan kepala ke lantai secara berulang kali. Individu

yang terlibat dalam jenis self injury ini sering menderita gangguan

saraf seperti Autisme atau Sindrom Tourette.

3. Superficial self mutilation. Merupakan jenis NSSI yang paling umum

berupa menarik rambut sendiri dengan sangat kuat, menyayat kulit

dengan benda tajam, membakar bagian tubuh, membanting tubuhnya

sendiri, dan membenturkan kepala (Saraff & Pepper 2014).

8
NSSI juga dibedakan menjadi tipe impulsif dan tipe kompulsif. NSSI tipe

impulsif sering dipicu oleh kejadian eksternal, tidak banyak perlawanan dari

individu, bersifat episodik, menghasilkan kepuasan dan bersifat egosintonik.

Contoh luka yang ditimbulkan antara lain menyayat kulit, luka bakar, memukul

diri sendiri atau orang lain, bersifat mencari hal-hal yang baru (novelty seeking).

Penderita biasanya memiliki kepribadian/ personality trait impulsif dan agresif.

NSSI tipe kompulsif lebih bersifat berulang/ repetitif/ habitual/ kebiasaan dan

biasanya terdapat perlawanan dari individu. NSSI tipe ini lebih bersifat

egodistonik dan ada perlawanan dari individu penderita. Bentuknya biasanya

mencabuti rambut, mencakar, menggigit kuku dan mencabuti rambut. Penderita

yang melakukan NSSI jenis ini biasanya memiliki tipe kepribadian cemas

menghindar atau obsessif kompulsif.

C. Sejarah Non Suicidal Self Injury (NSSI)

Perilaku Non Suicidal Self Injury (NSSI) diketahui telah menjadi praktik

ritual rutin oleh budaya seperti peradaban Maya kuno yang melakukan

pengorbanan dengan memotong dan menusuk tubuh mereka untuk menarik darah.

Cerita para imam yang memotong tangannya sendiri dengan pisau sampai

darahnya mengalir dapat ditemukan dalam Alkitab Ibrani. Dalam Yudaisme,

perilaku menyakiti diri dilarang di dalam hukum Musa. Menyakiti diri juga

dipraktekkan oleh Sadhu atau Hindu pertapa, juga dalam ritual Kanaan berkabung

kuno seperti yang dijelaskan dalam Ras Shamra dan dalam ritual tahunan Syiah

9
menyakiti diri dan menggunakan rantai dan pedang yang berlangsung selama

Asyura di mana sekte Syiah berkabung kesyahidan Imam Hussein (International

& London 2014).

Istilah "melukai diri sendiri" muncul dalam sebuah artikel pada tahun

1935 dan buku pada tahun 1938 ketika Karl Menninger menyempurnakan definisi

konseptual tentang melukai diri sendiri. Studinya NSSI membedakan antara

perilaku bunuh diri dan melukai diri sendiri. Menurut Menninger, perilaku

melukai diri sendiri merupakan ekspresi tindakan non-fatal dari keinginan

kematian dilemahkan dan dengan demikian menciptakan istilah parasuicide.

Dalam pandangan agama juga dibahas mengenai perilaku menyakiti diri

sendiri. Dalam agama Islam dijelaskan “Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim

kepada manusia barang sedikitpun. Akan tetapi, manusia sendirilah yang berbuat

zalim kepada diri mereka sendiri” (QS Yunus:44). Di ayat lain juga disebutkan

bahwa perilaku menyakiti diri termasuk perbuatan yang dilarang seperti dalam

QS Al Ahzab : 58 “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin

dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka

telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata”. Namun apabila menusia

tersebut bertaubat, maka dosanya akan diampuni seperti disebutkan dalam surat

An Nisa : 110 "Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya

dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah

Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Didalam Alkitab disebutkan sengaja

mencederai tubuh sendiri dengan cara apa pun tidak diperkenan Allah. didalam

Mazmur 90; 1-2 disebutkan Tidak seorang pun pernah membenci tubuhnya

10
sendiri; tetapi ia memberi makan dan menyayanginya, sebagaimana yang juga

Kristus lakukan kepada sidang jemaat.” Efesus 5:28-29. Dalam agama Budha,

melakukan upaya bunuh diri, bahkan "berpikir" untuk melukai diri sendiri sudah

merupakan pelanggaran Dhamma. (Gualberto, A. 1991).

D. Epidemiologi Non Suicidal Self Injury (NSSI)

Prevalensi NSSI pada populasi umum adalah sebesar 13,0% sampai

dengan 23,2% (Jacobson, 2007). Pada penelitian lain dikatakan juga bahwa

prevalensi NSSI pada remaja sebesar 5,9% dimana sebanyak 2,7% nya pernah

melakukan self injury lebih dari 5 kali (Sadeh et al. 2014). Pada tahun 2001, WHO

melaporkan bahwa perilaku melukai diri sendiri yang kemudian menjurus ke

bunuh diri menyebabkan paling tidak 814.000 kematian di tahun 2000 (BBC,

2010). Pada tahun 2010, sebanyak 20% dari populasi di Australia berusia 18-24

tahun mengaku pernah melukai dirinya sendiri paling tidak sekali dalam

kehidupan mereka (Esposito-Smythers et al. 2010).

Jumlah remaja pelaku self injury sendiri dari tahun ke tahun semakin

meningkat. Berdasarkan data yang dilansir oleh BBC Inggris (2010)

diinformasikan bahwa dalam 5 tahun terakhir jumlah remaja di Inggris yang

masuk ke rumah sakit akibat mencederai diri mereka sendiri telah naik lebih dari

50% (Estefan, 2014). Pada tingkat yang lebih berat bahkan individu bisa

mematahkan tulang mereka sendiri atau menyuntikkan racun ke dalam tubuh atau

bahkan berakhir dengan bunuh diri (De Moore & Robertson, 1996).

11
Perkiraan orang pada umumnya adalah lebih banyak wanita ketimbang pria

melukai diri sendiri. Namun berbagai studi skala besar paling kini memperlihatkan

tidak ada perbedaan signifikan di antara kedua jenis kelamin. Perbedaan yang

penting barangkali lebih terletak pada bentuk atau metode pelukaan diri. Wanita

lebih cenderung membuat sayatan dan garukan/ cakaran, sedangkan pria membuat

luka bakar atau memukuli diri (Pierro, et al., 2012).

Prevalensi metode yang digunakan untuk self injury adalah: mengiris

(72%), membakar (35%), memukul (30%), menjambak rambut (10%),

mengganggu penyembuhan luka (22%), mematahkan tulang (8%). Beberapa

metode, termasuk dua atau lebih di atas (78%). Onset perilaku ini biasanya

dimulai pada remaja berusia 13 sampai 14 tahun (Klonsky et al. 2015).

E. Etiologi Non Suicidal Self Injury (NSSI)

1. Teori Neurobiologi

Teori neurobiologi mengenai NSSI masih belum jelas. Disebutkan dalam

penelitian Groschwitz et al tahun 2012 disebutkan bahwa gen yang terlibat dalam

neurotransminsi serotonergik seperti 5-HTTLPR atau TPH ada kaitannya dengan

perilaku menyakiti diri. Dalam penelitian Joyce et al tahun 2006 juga didapatkan

keterlibatan alel T dari GN β3 (Arce & Santisteban 2006; Groschwitz & Plener

2012; Hankin et al. 2015; Moreno & Medicine 2014).

12
Beberapa penelitian juga menyebutkan terdapat defisiensi serotonin pada

orang dengan perilaku menyakiti diri. Dikatakan pada penderita NSSI, terdapat

gangguan pada sistem serotogenik otak yang menyebabkan meningkatnya

impulsivitas dan agresivitas (Esposito-smythers et al. 2010; Groschwitz & Plener

2012; Hankin et al. 2015).

Pada pasien NSSI ternyata tidak didapatkan perbedaan yang bermakna

pada kadar dopamin antara pasien NSSI dengan gangguan kepribadian kluster B

dan pasien yang memiliki niat untuk bunuh diri. Studi lebih lanjut mengatakan

individu dengan NSSI menunjukkan penurunan kadar kortisol dan kadar opioid

endogen. Hipotesis analgetik juga menyebutkan kadar opioid endogen yang

rendah berkaitan dengan perilaku NSSI (Groschwitz & Plener 2012).

Selain itu juga dilaporkan terdapat perubahan reaktivitas fisiologis pda

individu dengan NSSI yaitu berkurangnya tegangan psikologis pada individu

setelah melakukan NSSI. Pada penelitian yang melihat gambaran MRI juga

terdapat penurunan aktivitas di daerah OFC (Orbito Frontal Cortex) pada individu

BPD saat mengalami peristiwa stressful dan melakukan NSSI. Perilaku ini juga

berhubungan dengan konsentrasi kolesterol dan asam lemak esensial yang rendah

(Groschwitz & Plener 2012). NSSI juga berhubungan dengan anterior cingulate

korteks berfungsi untuk mengendalikan emosi dan mengatasi sakit psikis dimana

pada laki-laki lebih tipis apabila sedang marah lebih sulit dinegosiasi dan lebih

berhasil melakukan bunuh diri. Regio lain yang terlibat adalah ventro medial

prefrontal korteks dan amigdala. Regio Dorsolateral Pre Frontal Cortex (DLPFC)

yang seharusnya bisa mengendalikan tetapi kalah dengan sirkuit emosionalnya

13
(dengan sirkuit amigdala, ACC dan ventro medial) sehingga perilaku tidak bisa

dikendalikan dan terjadi NSSI (Groschwitz & Plener 2012; Arce & Santisteban

2006).

2. Teori psikodinamika

Teori psikodinamika yang paling awal yang menjelaskan terjadinya

perilaku self injury adalah konflik antara kehidupan dengan dorongan untuk

kematian, agresi dan impuls seksual. Perbedaan antara NSSI dengan ide untuk

bunuh diri pertama kali dipublikasikan oleh Meninger tahun 1938. Meninger

mengatakan bahwa motivasi pasien NSSI bukanlah menginginkan kematian.

Namun demikian, penelitian penelitian yang mendukung teori ini hingga saat ini

masih sangat sedikit (Burešová et al. 2015). Perilaku NSSI dilakukan oleh orang

yang memiliki kecenderungan memanipulasi, impulsif, harga diri rendah dan

depresi melankolia.

Secara teori psikodinamika, terdapat 4 macam teori yang menjelaskan

perilaku NSSI:

1. Self directed agression

Agresi yang diarahkan ke diri sendiri

2. Unresolved grief (duka yang tidak terselesaikan)

3. Gangguan fungsi ego

Merupakan bentuk defens mechanism maladaptif, mengorbankan diri

sendiri (self sacrifying). Kadang disertai gangguan penilaian realita.

14
4. Pathological internal obyek relation

Berdasarkan teori relasi obyek Melanie Klein bahwa terjadi fantasi

internal untuk menghancurkan obyek yang tidak disukai justru

dimasukkan ke diri sendiri (hostile introjection).

Pada perilaku NSSI yang mengarah pada percobaan bunuh diri didasari

defens mechanism beberapa hal di bawah ini:

1. Agresi yang diarahkan pada diri sendiri

2. Denial primitif

3. Idealisasi primitif (memandang hal sebagai hitam dan putih,

ekstrim baik dan buruk , all or nothing)

4. Introyeksi

5. Regresi

6. Identifikasi agresor

7. Represi

8. Marah dan disforik (gangguan penilaian realita)

9. Perasaan diabaikan/ kehilangan harga diri

Di dalam model psikodinamika, terdapat beberapa teori mengenai NSSI.

Teori yang pertama menyebutkan bahwa perilaku menyakiti diri merupakan

konflik antara dorongan hidup dan dorongan mati, agresi dan impuls seksual. Hal

ini dipublikasikan oleh Meninger pada tahun 1938. Jadi perilaku Non Suicidal Self

Injury merupakan perjanjian antara kompetisi dorongan hidup dan mati. Hanya

saja tidak ada penelitian empiris yang mendukung teori ini. Yang kedua yaitu teori

15
impuls seksual dimana self-injury digunakan untuk menghancurkan tubuh

seseorang dikarenakan adanya impuls seksual yang tidak diinginkan atau kotor.

Akan tetapi juga hanya sedikit penelitian yang mendukung hal tersebut dan

hubungannya sangat lemah. Teori yang ketiga yaitu self injury merupakan

perilaku seseorang yang mengarahkan impuls agresivitasnya ke dirinya sendiri.

Hal itu digunakan untuk menghilangkan perasaan negatif, dorongan, pikiran dan

perilaku yang tidak dapat diterima. Hanya sedikit penderita yang melaporkan

bahwa self-injury digunakan untuk menghukum dirinya sendiri dan hampir 50%

dari sampel penelitian menyebutkan bahwa remaja itu melakukan self injury

memang untuk menghilangkan perasaan negatif tersebut.

Pola asuh orang tua yang otoriter atau terlalu permisif juga menimbulkan

perasaan yang tidak nyaman pada anak. Perasaan tersebut menimbulkan kesepian

dan kebencian terhadap diri sendiri. Hal ini diungkapkan oleh salah satu

responden pada penelitian kualitatif Maidah tahun 2013. Pola asuh permisif

menyebabkan anak kurang memiliki kontrol diri sehingga saat mengalami

pengalaman yang tidak menyenangkan terutama dengan lawan jenis, subyek akan

menyakiti dirinya sendiri. Banyak diantara penderita self injury yang memiliki

masa kecil yang tidak menyenangkan seperti korban broken home, kurang

perhatian, dibanding-bandingkan, atau mengalami bullying di sekolahnya. Banyak

juga yang dikecewakan dalam percintaan dengan lawan jenis sehingga

berhubungan terlalu jauh dan ketika berpisah akhirnya melakukan NSSI untuk

melampiaskan sakit hatinya (Maidah, 2013).

16
3. Teori psikososial

Linehan (2006) mengatakan bahwa faktor penyebab self injury adalah

faktor keluarga dan lingkungan pergaulan yang tidak sehat dimana pelaku tinggal

(Linehan et al. 2006), diantaranya:

a. Tumbuh didalam keluarga yang kacau

b. Kurang kasih sayang ataupun kurang perhatian

c. Pernah mengalami kekerasan dalam keluarga

d. Adanya komunikasi yang kurang baik di dalam keluarga

e. Mengekspresikan pengalaman pribadi tidak ditanggapi dengan baik

dan sering dihukum atau diremehkan

f. Mengekspresikan perasaan yang menyakitkan ditanggapi dengan acuh

tak acuh

(Arbuthnott & Lewis 2015; Auerbach et al. 2014; Di Pierro et al. 2012;

Glassman et al. 2007; Wan et al. 2015; Burešová et al. 2015).

Hal lain yang berisiko menimbulkan perilaku NSSI adalah kurangnya

peran model pada masa kecil dalam mengekspresikan emosi serta kurangnya

komunikasi antar anggota keluarga. Juga adanya kehilangan yang mengakibatkan

pengalaman traumatis, sakit keras, ketidakstabilan dalam hidup berkeluarga

(keluarga nomaden, orang tua bercerai), adanya pengabaian dan penganiayaan,

baik secara fisik, seksual maupun emosional (Arbuthnott & Lewis 2015; Esposito-

smythers et al. 2010; Glassman et al. 2007; Wan et al. 2015) kehidupan keluarga

dipenuhi keyakinan agama yang kaku nilai-nilai yang dogmatis, yang diterapkan

17
dengan cara yang munafik dan tidak konsisten juga peran yang terbalik dalam

keluarga: misalnya si anak mengambil alih tanggung jawab orang dewasa di usia

dini (Glassman et al. 2007).

4. Faktor psikologis

Pelaku self injury merasakan adanya kekuatan emosi yang tidak nyaman

dan tidak mampu untuk mengatasinya (Hintikka et al. 2009). Tipe kepribadian

introvert memiliki kecenderungan self injury lebih besar dibandingkan tipe

kepribadian ekstrovert saat sedang menghadapi masalah. Pola perilaku self injury

sangat bergantung pada mood seseorang. NSSI juga sering digunakan sebagai

bentuk penghukuman diri ke dalam (intrapunitif). Selain itu adanya harga diri

yang rendah, pola pemikiran yang kaku dan sulitnya mengkomunikasikan

perasaan menjadi faktor penunjang bagi seseorang untuk melakukan self injury

(Burešová et al. 2015).

Sutton (2005) menambahkan faktor penyebab self injury adalah karena

faktor-faktor psikologis yaitu merasa tidak kuat menahan emosi dan merasa

terjebak, stress, self esteem yang rendah, tidak sanggup mengekspresikan ataupun

mengungkapkan perasaan, merasa hampa atau kosong, adanya perasaan tertekan

didalam batin yang tidak dapat ditolerir setelah kehilangan orang yang disayangi,

ingin mendapat perhatian lagi dari orang yang disayangi, merasa putus asa, tidak

sanggup menghadapi realita, tidak berguna, hidup terasa sulit, frustrasi dan depresi

18
(Claes et al. 2010; Claes et al. 2014; Crowell et al. 2009; Burešová et al. 2015; Di

Pierro et al. 2012).

F. Faktor Risiko NSSI (Non Suicidal Self Injury)

Faktor risiko perilaku NSSI:

1. Jenis kelamin perempuan memiliki kecenderungan NSSI lebih besar 64%

daripada laki-laki karena adannya perbedaan mekanisme koping. Untuk

perempuan bila marah-marah cenderung diekspresikan ke diri sendiri

sedangkan pada laki laki cenderung diekspresikan ke luar. Pada perempuan

lebih berisiko berulang. Didasari putus asa (despair) serta tindakan menyayat.

Sedangkan pada laki-laki biasanya ingin mengkomunikasikan pada seseoarng

dan cenderung menggigit, memukul dan mencubit.

2. Riwayat kecemasan

3. Depresi

4. Penyalahgunaan zat dan alkohol

5. Kepribadian antisosial

6. Kemampuan komunikasi yang buruk

7. Kemampuan memecahkan masalah yang buruk dan intoleransi

8. Predisposisi genetik

9. Emosional dan reaktivitas tinggi

10. Bullying saat remaja (Yusuf & Fahrudin, 2017).

11. Usia muda

19
12. Tidak menikah

13. Riwayat pengobatan mental

NSSI dikatakan tidak berhubungan dengan ras etnis, tingkat pendidikan

maupun besar penghasilan yang didapatkan (Sadeh et al. 2014).

G. Fungsi/ Tujuan Non Suicidal Self Injury (NSSI)

Menurut Mazelis (2008) self injury merupakan bentuk coping mechanism

untuk mengatasi stres. Para pelaku melukai diri bertujuan untuk menenangkan

rasa sakit emosional yang mendalam yang dialihkan ke dalam bentuk sakit fisik

(Muehlenkamp et al. 2009; Baetens et al. 2011).

Perilaku menyakiti diri/ NSSI memiliki fungsi/ tujuan sebagai berikut:

1. Untuk merasakan sesuatu bahkan rasa sakit

2. Untuk menghukum diri sendiri

3. Untuk merasa relaks

4. Untuk mengurangi perasaan hampa/ kosong/ numbness

5. Untuk menghentikan perasaan negatif

6. Untuk melampiaskan kemarahan (Nock, 2007)

H. Karakteristik pelaku Non Suicidal Self Injury (NSSI)

Beberapa karakteristik pelaku self injury antara lain:

20
1. Kesulitan mengendalikan impuls di berbagai bidang seperti mengalami

gangguan makan penyalahgunaan zat.

2. Pernah menderita penyakit kronis atau cacat sewaktu kecil

3. Sangat tidak menyukai dirinya sendiri

4. Sangat sensitif terhadap penolakan

5. Memiliki kemarahan yang kronis terhadap diri sendiri

6. Memiliki perasaan agresif yang tinggi

7. Umumnya mengalami depresi atau stress berat

8. Mengidap kecemasan kronis

9. Tidak bisa mengontrol diri sendiri untuk bertahan hidup

10. Kurangnya kemampuan untuk menjaga atau membentuk hubungan yang

stabil

11. Memiliki kemauan yang rendah untuk mengurus diri sendiri

12. Harga diri yang rendah

13. Masa kecil penuh trauma

14. Pola pemikiran yang kaku (Rodav et al. 2014)

I. Kriteria Diagnosis Non Suicidal Self Injury (NSSI)

Didalam ICD 10, self injury dimasukkan pada golongan Bab XX yaitu

mengenai penyebab eksternal morbiditas dan mortalitas. Berikut adalah

klasifikasinya:

(V01-Y98) Disengaja merugikan diri sendiri

21
(X60-X84) Termasuk: sengaja keracunan yang merugikan diri sendiri atau

cedera bunuh diri (berusaha)

X60 Disengaja keracunan diri oleh dan paparan analgesik nonopioid,

antipiretik dan antirheumatics, Termasuk: derivatif 4-aminofenol, obat

anti-inflamasi nonsteroid (NSAID), derivatif pyrazolone, salisilat.

X61 Disengaja keracunan oleh obat antiepilepsi, obat penenang-hipnotis,

antiparkinsonism dan obat-obatan psikotropika, termasuk: antidepresan,

barbiturat, derivatif hydantoin, iminostilbenes, senyawa methaqualone,

neuroleptik, psychostimulants, oxazolidinediones suksinimida, penenang.

X62 Disengaja keracunan diri oleh dan paparan narkotika dan

psychodysleptics (halusinogen), Termasuk: ganja (derivatif), kokain,

kodein, heroin, lysergide [LSD], mescaline, metadon, morfin, opium

(alkaloid).

X63 Disengaja keracunan diri oleh dan paparan obat yang bekerja pada

sistem saraf otonom. Termasuk: parasimpatolitik (antikolinergik dan

antimuskarinik) dan spasmolitik, parasimpatomimetik dan simpatomimetik

(adrenergik).

X64 Disengaja keracunan diri oleh paparan obat yang tidak ditentukan,

obat-obatan dan bahan biologi. Termasuk: agen terutama yang bekerja

pada otot halus dan rangka dan sistem pernafasan, anestesi (umum/ lokal).

Obat yang mempengaruhi: sistem kardiovaskular, sistem pencernaan,

hormon dan pengganti sintetis, agen sistemik dan hematologis, antibiotik

sistemik dan anti-infeksi lainnya, terapi gas, persiapan topikal, vaksin,

22
agen udara keseimbangan dan obat-obatan yang mempengaruhi mineral

dan metabolisme asam urat.

X65 Disengaja keracunan diri oleh dan paparan alkohol

X66 Disengaja keracunan diri oleh dan paparan pelarut organik dan

hidrokarbon terhalogenasi dan uapnya. Termasuk: benzena dan homolog,

karbon tetraklorida (tetraklorometana), chlorofluorocarbons, minyak bumi

(derivatif).

X67 Disengaja keracunan diri oleh dan paparan gas dan uap lainnya,

Termasuk: karbon monoksida, gas lakrimogenik (gas air mata), gas buang,

nitrogen oksida, sulfur dioksida, gas utilitas, Tidak termasuk: asap logam

dan uap.

X68 Disengaja keracunan diri oleh dan paparan pestisida. Termasuk:

fumigants, fungisida, herbisida, insektisida, rodentisida, pengawet kayu,

Tidak termasuk: makanan nabati dan pupuk.

X69 Disengaja keracunan diri oleh dan paparan lainnya dan tidak

ditentukan bahan kimia dan zat berbahaya. Termasuk: aromatik korosif,

asam dan alkali kaustik, lem dan perekat, logam termasuk asap dan uap,

cat dan pewarna, makanan nabati dan pupuk, bahan makanan beracun dan

tanaman beracun, sabun dan deterjen

X71 Disengaja menyakiti diri oleh tenggelam

X72 Disengaja menyakiti diri dengan pistol

X73 Disengaja menyakiti diri sendiri dengan senapan, senapan dan senjata

api yang lebih besar

23
X74 Disengaja menyakiti diri dengan dan senjata api yang tidak ditentukan

X75 Disengaja menyakiti diri oleh bahan peledak

X76 Disengaja menyakiti diri oleh asap, kebakaran dan api

X77 Disengaja menyakiti diri oleh uap, uap panas dan benda panas

X78 Disengaja menyakiti diri dengan benda tajam

X79 Disengaja menyakiti diri dengan benda tumpul

X80 Disengaja menyakiti diri dengan melompat dari tempat yang tinggi

X81 Disengaja menyakiti diri dengan melompat atau berbaring di depan

obyek yang bergerak

X82 Disengaja menyakiti diri sendiri dengan menabrak kendaraan

bermotor

X83 Disengaja menyakiti diri dengan cara tertentu lainnya

(http://www.icd10.data.com/)

Di dalam DSM V akhirnya self injury diakui sebagai gangguan yang

terpisah dari gangguan mental lainnya dan disebut non-suicidal self injury (NSSI).

Akan tetapi, gangguan ini dimasukkan ke dalam kelompok diagnosis yang

membutuhkan penelitian lebih lanjut. Beberapa karakteristik diagnosis ini

diterapkan pada:

1) Seseorang telah terlibat self injury, selama dua belas bulan terakhir,

setidaknya dilakukan pada lima hari yang berbeda.

24
2) Self injury bukan merupakan hal yang sepele (misalnya menggigit

kuku), dan tidak merupakan bagian dari sebuah praktek yang diterima secara

sosial (misalnya menusuk atau tato).

Self injury ditunjukkan oleh pelakunya bahwa mereka dapat sadar bahwa

hal tersebut tidak mematikan. Lebih lanjut, melukai diri harus disertai dengan

setidaknya dua dari berikut: Perasaan atau pikiran negatif, seperti depresi,

kecemasan, ketegangan, kemarahan, kesedihan umum, atau kritik-diri, terjadi pada

periode segera sebelum tindakan self injury.

Kriteria yang lebih terperinci yang diusulkan untuk Non-Suicidal Self-

Injury dalam DSM-5 adalah sebagai berikut:

A. Dalam satu tahun terakhir, lebih dari 5 kali telah terlibat dalam kerusakan yang

ditimbulkan oleh dirinya sendiri dan intensif ke permukaan tubuhnya dari

semacam kemungkinan untuk menginduksi perdarahan, memar atau nyeri

(misalnya, memotong, terbakar, menusuk, memukul, menggosok berlebihan),

dengan harapan bahwa cedera akan menyebabkan kerusakan fisik hanya kecil atau

sedang (tetapi tidak ada niat bunuh diri).

B. Individu yang terlibat dalam perilaku yang merugikan diri sendiri memiliki satu

atau lebih dari harapan sebagai berikut:

1. Untuk mendapatkan bantuan dari perasaan negatif atau secara kognitif.

2. Untuk mengatasi kesulitan interpersonal.

3. Untuk menginduksi keadaan perasaan positif (lebih nyaman).

C. Perilaku sengaja mencederai diri dikaitkan dengan setidaknya salah satu dari

hal-hal berikut:

25
1. Kesulitan interpersonal atau perasaan negatif atau pikiran yang terjadi

segera sebelum tindakan yang merugikan diri sendiri.

2. Sebelum melakukan tindakan, terdapat periode kecanduan dengan

perilaku dan dimaksudkan bahwa sulit untuk mengontrol.

3. Berpikir sering cedera diri, bahkan ketika itu tidak ditindaklanjuti

D. Perilaku tersebut tidak berakitan dengan sanksi sosial dan tidak terbatas pada

memilih memanipulasi luka atau menggigit kuku.

E. Perilaku atau konsekuensinya menyebabkan distres klinis yang signifikan atau

mengganggu hubungan interpersonal, akademis atau lainnya yang penting dari

fungsi seorang manusia.

F. Perilaku tidak terjadi secara khusus selama episode psikotik, delirium,

intoksikasi zat, atau penyalahgunaan zat. Pada mereka dengan gangguan

perkembangan neurologis, perilaku bukan bagian dari pola stereotipi berulang dan

perilaku yang disebabkan oleh gangguan medik umum lainnya.

Para ahli masih berbeda pendapat mengenai NSSI dikarenakan ada yang

berpendapat bahwa NSSI tidak bisa dijadikan sebagai diagnosis tersendiri. Sebuah

studi 2011 oleh David Klonsky menemukan bahwa hampir 6% dari orang dewasa

di Amerika Serikat melaporkan riwayat hidup NSSI. Untuk orang dewasa AS di

bawah usia 30 yaitu 19%. Sementara pemotongan, pembakaran, atau bentuk lain

dari cedera diri adalah lebih umum di antara orang dengan diagnosis psikiatri

(Klonsky & Muehlenkamp, 2007). NSSI tidak lagi menyiratkan diagnosis Axis II

sama sekali. Menariknya, sebuah studi 2012 oleh Jennifer Muehlenkamp dan

rekan-rekannya, menemukan bahwa prevalensi internasional NSSI di kalangan

26
remaja adalah 18% hampir sama seperti pada remaja AS. Untuk alasan yang tidak

jelas, NSSI telah pindah dari menjadi gejala dari gangguan kepribadian serius

untuk mekanisme koping yang digunakan oleh hampir 1 dari 5 remaja. Jadi, NSSI

telah menjadi topik hangat dalam beberapa tahun terakhir sebagian karena itu

muncul dalam populasi umum, bukan hanya sub-kelompok kecil pasien kejiwaan.

Menurut pendapat penulis mengingat kepentingannya sebaiknya dijadikan

diagnosis tersendiri karena untuk pencegahan ke arah bunuh diri.

27
BAB III

PEMBAHASAN

A. Asesmen pada Pasien dengan Non Suicidal Self Injury (NSSI)

Asesmen menurut definisi Robert M Smith (2002) adalah suatu penilaian

yang komprehensif dan melibatkan anggota tim untuk mengetahui kelemahan dan

kekuatan yang mana hasil keputusannya dapat digunakan untuk layanan kesehatan

sebagai dasar untuk menyusun rencana penatalaksanaan. Asesmen pada NSSI

dilakukan baik terhadap kasus-kasus NSSI yang ditemui di klinik maupun kasus

kecenderungan NSSI pada remaja yang terdapat di komunitas umum. Asesmen ini

bertujuan untuk mendapatkan data yang lengkap dan akurat sehingga klinisi dapat

menyusun rencana penatalaksanaannya dengan tepat. Menurut Morris et al

(1999), petugas perlu mendapat pelatihan keterampilan dalam penilaian dan

manajemen pasien dengan perilaku Non Suicidal Self Injury termasuk tenaga

profesional dokter dan staf departemen instalasi gawat darurat.

Kompetensi klinis dokter umum pada tingkat standar untuk perilaku non

suicidal self injury (NSSI) termasuk diantaranya:

1. Penilaian yang cepat dari kondisi fisik pasien, termasuk tingkat kesadaran

2. Pengobatan yang efektif dari kondisi fisik pasien untuk meminimalkan

risiko kematian dan kecacatan

28
3. Asesmen psikososial dan status mental sederhana untuk mendeteksi

adanya gangguan jiwa, penyalahgunaan alkohol dan narkoba atau adanya

suatu krisis/ masalah sosial

4. Deteksi risiko bunuh diri segera

5. Pengambilan keputusan apakah pasien membutuhkan asesmen yang lebih

tinggi yaitu spesialis yang relevan

6. Membuat penilaian yang relevan secara budaya dan menggunakan

interpreter jika perlu

7. Pemahaman dasar tentang masalah medis-hukum dalam situasi darurat,

terutama menyangkut inform consent untuk pengobatan maupun ketika

pasien menolak untuk diobati

8. Meningkatkan kemampuan dan kapasitas yang cukup untuk mengelola

keadaan darurat.

Adapun kompetensi tambahan pada tingkat spesialis meliputi:

1. Memberikan formulasi diagnostik

2. Penilaian risiko menyakiti diri lebih lanjut pada pasien dan siapa yang

harus mendapat perhatian lebih besar

3. Menyusun rencana pengelolaan yang disepakati

4. Penghubung dengan layanan yang tepat dalam melaksanakan rencana yang

telah disepakati

5. Menilai pasien yang bersikap bermusuhan atau perlu diisolasi

6. Pelaksanaan rencana perawatan, termasuk psikologis dan intervensi sosial.

29
Pertama kali, klinisi harus menganggap perilaku self harm merupakan

sesuatu yang serius, tanpa melihat seberapa berat dan tingkat keparahan luka yang

dihasilkan atau seberapa jauh niat untuk melakukan self harm (C M Kelly et al.

2008; Claire M Kelly et al. 2008).

Kapan penderita perlu dibawa ke unit gawat darurat?

a. Ketika penderita minta untuk dibawa ke rumah sakit

b. Perilaku self injury sampai mengganggu kehidupan sehari-hari

c. Luka iris yang cukup lebar dan membutuhkan penjahitan luka

d. Luka bakar dengan diameter lebih dari 2 cm atau luka bakar di tangan,

kaki atau wajah yang memerlukan perhatian klinis

e. Minum obat dengan dosis berlebihan

f. Minum racun

g. Melukai alat genital

h. Melukai mata

i. Luka yang dihasilkan semakin parah (misal, pengirisan luka semakin

dalam atau sampai mematahkan tulang)

j. Menyatakan keinginan untuk mati

Didalam proses pemeriksaan NSSI yang pertama kali dilakukan adalah

menilai kegawatdaruratan dari ABC (airway, breathing and circulation) seperti

kehilangan banyak darah yang dapat menyebabkan syok hingga gangguan

kesadaran, maka hal ini harus diatasi terlebih dahulu. Juga perilaku membakar

diri, jalan nafasnya harus dibebaskan terlebih dahulu. Pada intinya setiap

kegawatdaruratan yang mengancam nyawa harus ditangani dengan segera.

30
Terdapat 4 pertanyaan yang harus diperhatikan oleh klinisi yaitu:

1. Apakah pasien secara fisik memungkinkan untuk menunggu?

2. Apakah pasien terlihat mengalami penderitaan yang berat?

3. Apakah pasien secara aktif berusaha untuk bunuh diri?

4. Apakah pasien mau menunggu untuk ditangani oleh dokter UGD?

Untuk melanjutkan wawancara pasien harus ditempatkan di ruang khusus

di UGD yang memiliki 2 pintu dan tidak dikunci. Ruangan harus didesain agar

mampu menjaga privasi dan kerahasiaan pasien. Ruangan harus tenang dan ada

petugas keamanan yang bisa mengawasi (Klonsky & Glenn 2009).

Kemudian proses asesmen dilanjutkan dengan wawancara terhadap

keluarga/ orang yang mengantar mengenai terjadinya peristiwa NSSI tersebut.

Perlu ditanyakan bagaimana kronologinya, serta metode apa yang dipakai. Juga

perlu ditanyakan riwayat permasalahan apa yang dialami saat ini, tanda dan gejala

apa yang diperlihatkan sebelumnya, juga pesan pesan terhadap orang-orang

terdekat. Kemudian ditanyakan juga mengenai riwayat penyakit terdahulu baik

riwayat gangguan fisik maupun mental serta riwayat pengobatan sebelumnya dan

efek sampingnya (Jacobs et al. 2003; C M Kelly et al. 2008).

Berikutnya adalah panduan mengenai asesmen yang dilakukan untuk

triase. Triase berasal dari bahasa Perancis yang artinya “ to sort” memilih,

menyortir untuk menentukan pasien mana yang harus ditangani terlebih dahulu

dengan cakupan pasien sebanyak-banyaknya dengan outcome yang sebaik-

31
baiknya. Asesmen yang dilakukan oleh dokter triase meliputi asesmen fungsi

kognitif dan kapasitas mental, tingkat kesadaran umum, orientasi dan perhatian,

juga asesmen psikososial singkat untuk menawarkan kepada pasien kemauan

untuk melanjutkan ke asesmen yang lebih lengkap dan penanganannya. Peran

lainnya adalah menentukan level distres yang dialami oleh pasien serta menilai

apakah ada kemungkinan gangguan mental yang diderita pasien yang

membutuhkan asesmen lebih lanjut oleh dokter spesialis.

Berikut adalah panduan triase untuk kasus NSSI berdasarkan panduan

NICE (National Institute for Health and Care Excellence):

Tabel 1
Triase kesehatan mental untuk Non Suicidal Self Injury berdasarkan
panduan NICE (National Institute for Health and Care Excellence)

Triase Kriteria Yang teramati Yang dilaporkan


Merah Secara mutlak Perilaku kekerasan Tidak sesuai/ tidak
membahayakan diri Memiliki akses senjata dapat diterapkan
sendiri atau orang Melakukan NSSI di
lain IGD
Oranye Mungkin berisiko Agitasi ekstrem dan Percobaan menyakiti
membahayakan diri tidak bisa tenang diri atau mengancam
atau orang lain Agresif secara fisik akan menyakiti diri
Menderita gangguan maupun verbal
perilaku yang berat Bingung, tidak
Secara fisik kooperatif
memerlukan restrain Meminta untuk
di IGD direstrain
Kuning Ada kemungkinan Agitasi/ gelisah Ada ide bunuh diri
risiko Perilaku Adanya gejala
membahayakan diri membosankan/ aneh/ psikotik:
sendiri atau orang tidak terarah Halusinasi, waham,
lain Bingung, menarik diri, ide paranoid,
Gangguan perilaku tidak komunikatif gangguan isi pikir,
sedang Ambivalensi tentang perilaku bizarre atau

32
Mengalami pengobatan agitasi
penderitaan berat
Hijau Level penderitaan Tidak ada agitasi/ Gejala cemas atau
sedang gelisah depresi tanpa ide
Iritabel, tetapi tidak bunuh diri
ada agresi
Kooperatif
Memberikan cerita
yang koheren/ sesuai
Biru Tidak Komunikatif, Diketahui pasien
membahayakan diri kooperatif, patuh menderita gejala
maupun orang lain terhadap perintah psikotik yang kronis
Tidak ada distress Diketahui pasien
yang akut dengan gejala somatik
Tidak ada gangguan tak terjelaskan yang
perilaku kronik
Meminta pengobatan
Memiliki masalah
finansial, sosial atau
hubungan
interpersonal

Diadaptasikan dari skala yang dibuat oleh Broadbent, M., Jarman, H. & Berk, M. (2002).
Improving competence in emergency mental health triage. Accident and Emergency Nursing, 10,
155-162 and Smart, D., Pollard, C. & Walpole, B. (1999). Mental health triage in emergency
medicine. Australian and New Zealand Journal of Psychiatry, 33 (1), 57-66. Disusun oleh Simon
Baston dan the NICE self-harm guideline development group

Apabila kegawatdaruratan telah tertangani, pasien direncanakan untuk

menjalani asesmen lebih lanjut yaitu asesmen psikososial. Dalam hal ini dokter

dan psikiater dibantu oleh pekerja sosial atau petugas terlatih. Asesmen

psikososial yang adekuat dikatakan mampu mengurangi risiko perilaku

mengulangi NSSI dan mengurangi risiko bunuh diri. Penilaian psikososial yang

dilakukan harus dilakukan secara sistematis dan sebaiknya menggunakan bentuk

yang standar dan didokumentasikan dengan baik. Komponen inti yang harus

dinilai antara lain:

33
1. Situasi sosial (termasuk tempat tinggal, pekerjaan dan hutang)

2. Hubungan interpersonal (termasuk perceraian, putus hubungan dengan

orang yang dicintai)

3. Peristiwa hidup terkini dan kesulitan yang dihadapi

4. Riwayat psikiatri, NSSI dan status mental

5. Karakteristik psikologis yang berkaitan dengan NSSI

6. Motif dari perilaku

Berikut adalah contoh formulir asesmen psikososial yang digunakan untuk

asesmen NSSI/ self harm.

Tabel 2. Formulir Asesmen Psikososial

Identitas pasien Nama Tanggal periksa


Tanggal lahir Nama dokter
Alamat Nama rumah sakit
Nomor telepon Nomor telepon
Jenis kelamin Nomor rekam medis
Faktor risiko Status pernikahan:
demografik - Tidak menikah
- Menikah
- Cerai
- Janda/ duda
Suku/ etnis
Biasa tinggal dengan:
- Tinggal di jalanan
- Tinggal sendiri
- Tinggal dengan pasangan
- Tinggal dengan orang tua atua saudara
- Tinggal dengan teman
- Hanya dengan anak anak
- Tinggal di asrama

Pekerjaan
- Bekerja full time/ partime

34
- Tidak bekerja
- Pelajar
- Lain-lain

Lama tidak bekerja:


- Kurang dari 26 minggu
- Lebih dari 26 minggu
Detail perilaku Metode NSSI yang digunakan
menyakiti diri/ - Meracuni diri sendiri dengan obat
NSSI - Self injury (menyayat luka, menggunakan anting-anting)
- Lain-lain

Jenis obat yang digunakan untuk meracuni diri sendiri


- Opiate
- Analgesik yang lain
- Benzodiazepine
- Antipsikotik
- Antidepresan
- Lain-lain

Apakah minum alkohol? Berapa banyak dan berapa sering?

Disadur dari Artikel Assesment Following Self Harm yang dibuat oleh The General
Hospital Management of Adult Deliberate Self Harm (Royal College of Psychiatrist) 1994.

. Inti dari assesmen psikososial adalah assesment of needs dan assesmentof

risk (asesmen kebutuhan dan risiko).

Asesmen kebutuhan dilakukan oleh psikiater. Asesmen ini meliputi:

Evaluasi sosial, psikologis, fungsi dan motif NSSI, intent saat ini, hopelessness

dan kesehatan mental dan kebutuhan sosial. Asesmen risiko juga dilakukan oleh

psikiater meliputi identifikasi gambaran klinis dan demografis, risiko repetisi dan

suicide, identifikasi karakter psikologis berisiko (depresi, hopeles, pikiran bunuh

diri yang terus menerus). Nantinya faktor risiko ini akan dibagi menjadi : long

term vurnerability factor seperti kehilangan di masa kanak-kanak, short term

vurnerability factor, serta precipitating factor.

35
Tabel berikut ini berisi daftr faktor-faktor yang memprediksi risiko tinggi

untuk melakukan tindakan fatal dan atau bunuh diri.

Tabel 3. Daftar faktor risiko yang dikategorikan berisiko tinggi untuk


melakukan tindakan fatal dan atau bunuh diri.

No Faktor Risiko Keterangan


1 Dorongan untuk Butuh perhatian khusus, mungkin membutuhkan rawat
melakukan tinggi inap, membutuhkan penilaian dokter spesialis
(high intent)
2 Laki-laki dewasa Mungkin tidak punya rumah, tidak bekerja, terlibat
muda NAPZA, terlilit hutang, pecandu alkohol
3 Laki-laki usiaMungkin mengalami isolasi sosial, peristiwa
lanjut kehilangan, kemiskinan, terlilit hutang, penyakit fisik
kronis atau mengalami disabilitas, penggunaan alkohol
dan gangguan depresi.
4 Riwayat NSSI Kemungkinan memiliki rencana lebih lanjut yang
sebelumnya lebih sistematis dan menunggu respon dari sekitar
5 Riwayat Riwayat kekambuhan dan rencana NSSI lebih lanjut
menjalani dan membutuhkan asesmen psikiatri dan judgement
pengobatan jiwa dan follow up lebih lanjut dan perawatan segera.
sebelumnya
6 Riwayat Risiko tidak konsisten dalam strategi pengobatan atau
penyalahgunaan tidak mau melanjutkan pengobatan
napza
7 Pengangguran Membutuhkan strategi jangka opanjang untuk
meningkatkan pendapatan. Berkaitan dengan kesulitan
sosial dan finansial.
8 Ganguan Membutuhkan strategi jangka panjang untuk
kepribadian penatalaksanaan pada layanan spesialis
9 Catatan kriminal, Membutuhkan strategi jangka panjang untuk
tindakan penatalaksanaan pada layanan spesialis
kekerasan
10 Putus asa dan Membutuhkan asesmen untuk terapi lebih lanjut
kurangnya (terapi berorientasi kognitif)
kemampuan
problem solving

Faktor risiko juga dibedakan menjadi fatal dan non fatal. Faktor risiko

yang fatal yaitu yang umumnya bisa berlanjut menjadi complete suicide antara

36
lain: jenis kelamin laki-laki, lansia, usaha bunuh diri sebelumnya, riwayat ganguan

jiwa, tidak bekerja, tinggal sendiri, kesehatan fisik yagn buruk, derajat keseriusan

luka yang ditimbulkan, adanya rasa tidak berdaya serta adanya dorongan bunuh

diri terus menerus. Adapun faktor risiko yang nonfatal antara lain : riwayat NSSI

sebelumnya, sosioekonomi kurang, gangguan penyalahgunaan alkohol dan

NAPZA, kepribadian antisosial, catatan kriminal, serta tidak kooperatif dengan

petugas kesehatan.

Klinisi juga dapat melakukan asesmen risiko dengan memandang

permasalahan dari sudut pandang perilakunya, orangnya dan juga situasi disekitar

individu.

1. Karakteristik perilakunya meliputi tingkat keseriusan tindakan,

metode yang digunakan, agresi, perencanaan, sikap mencari

pertolongan serta intensitas dorongan untuk melakukan NSSI.

2. Karakteristik orangnya meliputi faktor gangguan jiwa serta

permasalahan psikis seperti kemarahan, ketidakberdayaan dan catatan

kriminal.

3. Situasi di sekitar individu meliputi kelas sosial, penyakit fisik dan

dukacita/ kehilangan.

Setelah menggali faktor-faktor risiko di atas, penderita akan

dikelompokkan menjadi 2 macam yaitu kelompok low risk dan high risk. Berikut

skala yang dapat digunakan untuk menilai risiko:

• Risk of Repetition Scale (6 items; Buglass & Horton, 1974)

• Edinburgh Risk of Repetition Scale (11 items; Kreitman & Foster, 1991)

37
• Suicide Assessment Checklist (21 items; Rogers et al., 1994)

• Suicide Assessment Scale (20 items; Stanley et al., 1986)

• SAD PERSONS (10 items; Patterson et al., 1983)

• Suicide Intent Score (21 items; Beck et al., 1974)

• Modified Intent Score (12 items; Pierce et al., 1977)

• Hopelessness Scale (21 items; Beck et al., 1974)

Setelah dilakukan asesmen psikososial, dokter dan perawat membuat

rangkuman yang meliputi hasil asesmen kesehatan fisik dan mental pasien, faktor-

faktor risiko serta risiko untuk mengulangi perilaku tersebut. Intervensi singkat

yang dapat dilakukan meliputi intervensi fisik, psikologis, farmakologis,

keperawatan dan intervensi hukum. Setelah itu, tim medis membuat keputusan

apakah pasien hendak dirujuk atau tidak serta membutuhkan follow up aatu tidak

berdasarkan asesmen needs and risks yang telah dilakukan. Apabila hasil yang

didapatkan lebih dominan permasalahan sosial, maka pasien perlu diarahkan

untuk mendapat intervensi psikososial.

Apabila pasien mengalami distres berat, sulit dinilai (misal intoksikasi atau

penurunan kesadaran) atau ada penyalahgunaan NAPZA dan alkohol atau kembali

ke tempat berisiko/ berbahaya maka dipertimbangkan untuk mondok minimal 1

hari. Apabila pasien anak maka harus ada persetujuan dari wali serta dalam

penanganannya melibatkan dokter spesialis anak dan terapi keluarga.

Untuk geriatri harus diasesmen oleh dokter spesialis yang berpengalaman

menangani kasus-kasus geriatri. Juga harus lebih diperhatikan potensi adanya

38
gangguan depresi, gangguan kognitif, gangguan fisik juga asesmen menyeluruh

mengenai kondisi di rumah dan keadaan sosialnya. Semua NSSI yang dilakukan

oleh lansia > 65 tahun harus dianggap sebagai upaya bunuh diri sampai terbukti

tidak. Pasien lansia juga membutuhkan follow up dan monitoring lebih lanjut.

Apabila anggota tim medis membuat keputusan untuk memulangkan pasien

tanpa penilaian spesialis, mereka harus mencatat alasan mereka di dalam catatan

medis. Berikut terdapat beberapa informasi yang harus dilengkapi sebelum pasien

pulang antara lain:

1. Data demografis termasuk etnis

2. Tingkat Kesadaran

3. Riwayat Psikiatri

4. Suasana hati (mood)

5. Ada atau tidak adanya pikiran dan rencana bunuh diri

6. Alkohol dan penyalahgunaan obat

7. Riwayat perilaku menyakiti diri sebelumnya

8. Situasi sosial saat ini

9. Penilaian risiko menyakiti diri lebih lanjut atau bunuh diri

10. Penilaian kapasitas untuk memberikan informed consent

11. Keputusan yang diambil

12. Rencana tindak lanjut

Anggota dari tim medis harus menghubungi dokter keluarga pasien dalam

waktu 24 dan surat keterangan dan semua informasi ini dikirimkan paling lambat

39
dalam waktu 3 hari kerja. Apabila pasien berusia lebih dari 65 tahun dan di bawah

16 tahun maka harus di rujuk ke konsultan geriatri dan pelayanan spesialis

psikiatri anak dan remaja.

Apabila pasien menolak penanganan lebih lanjut, dokter harus menilai

tingkat kesadaran dan kapasitas mental pasien saat itu. Untuk menunjukkan

kapasitas untuk menyetujui atau menolak perawatan medis individu harus dapat

memenuhi kriteria di bawah ini:

1. Mampu memahami dalam bahasa sederhana apa, mengapa dan tujuan

pengobatan medis dilakukan

2. Mampu memahami manfaat, risiko dan alternatif tindakan medis

3. Mampu memahami dalam arti luas apa yang akan menjadi konsekuensi

apabila tidak menerima pengobatan yang diusulkan.

4. Percaya pada petugas medis

5. Mampu menyimpan informasi cukup lama untuk membuat keputusan yang

efektif dan membuat pilihan bebas (yaitu bebas dari tekanan).

40
Tabel 4. Algoritma Asesmen NSSI

Penilaian kegawatdaruratan (airway, breathing, circulationi)

Penilaian tingkat kesadaran (Bila penurunan kesadaran harus dirujuk ke dokter spesialsis saraf,
untuk pasien anak perlu konsultasi dokter anak, untuk geriatri perlu konsul dengan dokter
speialis yang berpengalaman untuk kasus geriatri

Penilaian kapasitas mental

Penilaian risiko pengulangan dan risiko bunuh diri

Identifikasi adanya gangguan psikiatri khususnya depresi

Identifikasi ketidakberdayaan/ hopelessness dan keinginan bunuh diri yang terus-menerus

Penilaian kondisi/ situasi hidup penderita saat ini dan riwayat NSSI sebelumnya

Penilaian segera kebutuhan fisik dan psikis secara konteks sosial terutama bila pasien menolak
intervensi lebih lanjut

Asesmen psikologi lengkap


(kecuali bila membutuhkan tindakan life saving atau penurunan kesadaran)

Tes laboratoriuam ( misal: Tes kadar paracetamol plasma, obat-obatan, bila perlu bilas lambung)

Disarikan dari Guideline of Self Harm: For Second Consultation. Short-term physical and
psychological management and secondary prevention of self-harm in primary and secondary care.
The Royal College of Psychiatrists. National Clinical Practice Guideline Number, 2003

41
B. Membedakan Non Suicidal Self Injury dengan Upaya Bunuh Diri

Salah satu hal yang cukup penting dilakukan oleh klinisi adalah

membedakan NSSI dengan bunuh diri (suicide). Beberapa faktor risiko NSSI

dengan suicide yang hampir sama antara lain: status sosioekonomi rendah,

perceraian orang tua, riwayat keluarga pernah melakukan perilaku menyakiti diri

atau bunuh diri, bullying, dan problem interpersonal (Slaninová, Haviger, Novotná

et al. 2005).

Terdapat pula beberapa perbedaan karakteristik maupun temuan

epidemiologis pada self harm dengan usaha bunuh diri. Pelaku self harm lebih

banyak pada jenis kelamin perempuan dan banyak terjadi pada usia 12-15 tahun,

(Bertolote & Fleischmann, 2002). Tujuan perilaku self harm ini adalah untuk

mengurangi sakit emosi, melampiaskan kemarahan, ingin menyakiti tubuh tetapi

tidak ingin mengakhiri hidup, reaksi impulsif terhadap distres psikologis, dan

merupakan mekanisme koping terhadap emosi-emosi negatif seperti cemas,

depresi, agresivitas dan kemarahan. Perilaku menyakiti diri ini juga erat kaitannya

dengan gangguan kepribadian BPD (Borderline Personality Disorders), impulsif,

gangguan citra tubuh, serta kondisi sosial dan lingkungan pada periode

perkembangan yang terganggu seperti disfungsi keluarga, gangguan hubungan

dengan teman sebaya, dan pencapaian akademik yang rendah (Buresova, 2015).

Pelaku self harm biasanya tidak takut terhadap rasa sakit (mati rasa).

Penderita secara emosional mengalami kekosongan sehingga seperti mendapatkan

sesuatu perasaan yang baru setelah melakukan self harm. Kekosongan ini juga

42
ditemukan pada gangguan alexitemia dimana pasien tidak bisa mengekspresikan

emosinya serta tidak punya cara yang lain untuk melampiaskan emosinya

(Zlotnick et al., 1996; Paivio & McCulloch, 2004).

Usaha bunuh diri lebih banyak dilakukan oleh laki-laki dan sangat jarang

pada anak di bawah 12 tahun atau remaja di bawah 15 tahun. Penelitian Young et

al tahun 2014 menyebutkan remaja dengan perilaku menyakiti diri berulang

memiliki risiko 4-8 lipat untuk melakukan bunuh diri dibanding yang tidak.

Menyakiti diri merupakan faktor risiko tinggi untuk bunuh diri di masa

mendatang. Individu yang dengan sengaja melukai diri sendiri memiliki risiko 100

kali lipat lebih besar untuk bunuh diri daripada populasi umum (Hawton & Fagg,

1992). Juga terdapat penelitian bahwa 1% dari pelaku self harm akan meninggal

dalam waktu 1 tahun dari upaya self harm dan 3-5% nya melakukan bunuh diri

dalam 5-10 tahun ke depan. Telah dihitung dalam penelitian bahwa upaya

mengurangi tingkat bunuh diri pada kelompok pelaku self harm akan mengurangi

tingkat bunuh diri sebesar 5,8% (Lewis et al, 1997). Tabel berikut ini menjelaskan

mengenai fokus asesmen untuk perilaku usaha bunuh diri dan perbedaannya

dengan self injury:

43
Tabel 5. Perbedaan Asesmen Self Injury dan Usaha Bunuh Diri

Fokus asesmen Self injury Usaha bunuh diri


Apa niat yang Untuk meredakan emosi yang Untuk melepaskan diri atau
melatarbelakangi tidak menyenangkan mengakhiri dari
tindakan tersebut (baik (ketegangan, kemarahan, penderitaan. Dilakukan
yang diekspresikan kekosongan, kematian rasa) dengan sadar.
maupun tidak
diekspresikan)
Derajat dari luka yang Tingkat kerusakan fisik lebih Kerusakan fisik serius dan
dihasilkan dan tingkat ringan, biasanya tidak letal bersifat letal
mematikan atau tidak
Pola perilaku kronik dan Sering kronis, dilakukan Jarang. Kadang-kadang
berulang berulang-ulang dan frekuensi berupa overdosis berulang
sering, pola pengulangan
tinggi
Punya banyak metode Biasanya lebih dari satu Biasanya hanya 1 metode
self injury yang dilakukan metode seiring berjalannya
dalam kurun waktu yang waktu
lama
Level/ tingkat nyeri Berupa rasa ketidak Tak tertahankan, bersifat
psikologis nyamanan, terjadi kadang persisten
kadang
Ada/ tidaknya konstriksi Sedikit atau bahkan tidak Sangat terhambat. Bunuh
dari kognisi terhambat, tersedia banyak diri menjadi satu satunya
pilihan, mencari penyelesaian jalan. Berpandangan sempit
yang bersifat sementara. dan mencari penyelesaian
yang final.
Perasaan tidak punya Kadang kadang terdapat Perasaan tidak punya
harapan dan tidak periode optimistik dan harapan dan tidak tertolong
tertolong memegang kendali menjadi inti gejala
Perasaan yang timbul Cepat membaik, cepat Tidak membaik,
sesudah perilaku kembali pada kognisi membutuhkan pengobatan
sebelumnya, kembali sadar untuk penyembuhan
Pentingnya restriksi/ Kurang praktis, sering justru Sangat penting, live saving
isolasi provokatif
Inti dari masalah Merasa tubuhnya asing, Depresi, merasa tidak bisa
merasa tubuh lebih jelek dari melarikan diri dari masalah,
populasi umum merasa sakit hingga jangka
waktu yang tidak terbatas
Motif Mengubah rasa sakit, Menghentikan seluruh sakit
mengurangi penderitaan dan psikis atau membuat rasa
ingin tetap hidup di hari yang sakit itu hilang selama-
akan dating lamanya

Perilaku NSSI yang sudah menjurus ke arah ide bunuh diri memiliki

beberapa gejala yang harus diwaspadai/ warning sign antara lain: bila perilaku self

44
harm sudah tidak memberikan efek mengurangi sakit psikis, ada ide bunuh diri,

penyahagunaan zat, tidak punya tujuan, kecemasan, terjebak, tidak berdaya,

marah, ceroboh dan mood labil (C M Kelly et al. 2008; Jacobs et al. 2003).

C. Gangguan Psikiatri yang Komorbid dengan NSSI (Non Suicidal Self

Injury)

Beberapa gangguan psikiatri yang diketahui dapat komorbid atau memiliki

gejala NSSI antara lain gangguan depresi, gangguan cemas, gangguan kepribadian

ambang/ borderline personality disorders, gangguan kepribadian antisosial,

bulimia dan anoreksia nervosa serta alexitemia. Hanya saja untuk diagnosis

gangguan kepribadian belum bisa diterapkan pada remaja dikarenakan

kepribadiannya masih berkembang (Cerutti et al. 2014; Williams et al. 2013;

Sadeh et al. 2014).

Berdasarkan penelitian Hintikka et al (2009) didapatkan komorbiditas

dengan gangguan depresi mayor (63%), gangguan cemas (37%), dan gangguan

makan (15%). Juga didapatkan lebih banyak pada responden perempuan yang

melakukan NSSI daripada laki-laki. Penelitian Smythers, et al (2010) terhadap

432 remaja mendapatkan bahwa sebanyak 22 % anak dan 22% remaja yang

mengalami gangguan mood pernah melakukan NSSI.

45
D. Instrument yang digunakan untuk Asesmen Non Suicidal Self injury

(NSSI) dan Cara Pemilihannya

Instrumen untuk menilai NSSI dapat dibedakan menjadi beberapa jenis

sesuai tujuannya. Instrumen untuk asesmen fungsional berfungsi membantu untuk

memahami mengapa orang melukai diri sendiri. Tes ini juga menilai motif, atau

fungsi NSSI. Asesmen perilaku berfungsi menilai riwayat perilaku NSSI

seseorang, metode yang digunakan dan frekuensi NSSI. Asesmen singkat

memiliki satu item atau beberapa item untuk menilai NSSI, berguna bila

membutuhkan penilaian yang singkat dalam waktu yang terbatas.

Untuk menilai pasien dengan NSSI atau melakukan skrining di populasi

umum dapat menggunakan beberapa instrument antara lain: NSSIAT (Non

Suicidal Self Injury Assessment Tools); SHI (Self Harm Inventory); DSHI

(Deliberate Self Harm Inventory); SHBQ (Self Harm Behaviour Qestionnaire);

SIQ (Self Injury Questionnaire); SITBI (Self Injurious Thoughts and Behaviour

Interview); SASSI (Suicide Attempt Self Injury Interview); dan FASM (Functional

Assesment of Self Mutilation), dan SITS (Self Injury Trauma Scale) (Klonsky &

Glenn 2009). Masing-masing instrument memiliki karakteristik berbeda dan

penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhannya. Berikut adalah penjelasan dari

masing-masing instrumen tersebut:

1. NSSI AT (Non Suicidal Self Injury Assessment Tools)

Instrument ini dikembangkan oleh Whitlock dkk pada tahun 2003.

Instrumen ini dibuat melalui telaah dari berbagai macam literatur

46
akademik, wawancara mendalam terhadap 27 orang dewasa muda dengan

NSSI dan 9 wawancara terhadap praktisi kesehatan mental (dokter anak,

guru BK/ bimbingan dan konseling, psikiater dan psikolog). Instrument ini

dapat dikerjakan secara paper based maupun web based (Whitlock &

Purington 2007; Baetens et al. 2014).

Secara garis besar, pertanyaan-pertanyaan dalam NSSI AT dibagi

menjadi 2 golongan. Yang pertama yaitu modul skrining, dilanjutkan bila

klien menjawab positif melakukan NSSI baru dapat dilanjutkan ke modul

berikutnya. Modul skrining ini disebut Behavior Based Screening

Questions (Self Injury Form). Yang kedua yaitu pertanyaan tambahan

untuk mempertajam NSSI yaitu tentang habituasi, kapan dilakukan, hal-hal

yang mempengaruhi, pengobatan yang sudah dijalani dan bagaimana

dampaknya.

Instrument NSSIAT terdiri dari 12 modul yaitu:

1. Pertanyaan untuk skrining mengenai perilaku NSSI

2. Fungsi NSSI

3. Umur memulai dan umur berhenti

4. Onset melakukan NSSI

5. Letak luka

6. Motivasi awal

7. Tingkat keparahan

8. Pola praktek

9. Kebiasaan dan peristiwa kehidupan yang mempengaruhi

47
10. Keterbukaan NSSI

11. Pengalaman pengobatan

12. Refleksi diri dan saran

2. SHI (Self Harm Inventory)

Instrument ini dikembangkan oleh Sansone pada tahun 2010.

Instrument ini memiliki panjang 1 halaman dan dapat dikerjakan dalam

waktu kurang dari 5 menit. Terdiri atas 41 item yang dibuat berdasarkan

pengalaman klinisi baik pada populasi umum maupun populasi psikiatri.

Setelah analisis mendalam, pertanyaannya diringkas menjadi hanya 22

item saja. Instrument ini berisi pertanyaan skrining mengenai prevalensi

NSSI sepanjang hidup, mendeteksi adanya gejala-gejala gangguan bipolar,

dan memperkirakan penggunaan layanan kesehatan sebelumnya.

Kelebihan dari instrument ini adalah memiliki tingkat akurasi yang cukup

tinggi dalam mendeteksi adanya gangguan Borderline Personality

Disorders (BPD) dibandingkan dengan Diagnostic Interview for BPD

yang untuk administrasinya membutuhkan waktu lebih dari 1 jam. Tingkat

akurasinya sebesar 84% dengan cut off point > 5. Instrument ini memiliki

validitas yang cukup baik yaitu validitas konveren r 0,76. P<0,01 dan n

221. Nilai Alfa Cronbachs 0,89 dari 52 sampel wanita yang berumur 40-70

tahun (Klonsky & Glenn 2009; Di Pierro et al. 2012).

3. DSHI (Deliberate Self Harm Inventory)

48
Terdiri atas 17 item pertanyaan dengan jawaban ya dan tidak.

Merupakan kuesioner yang diisi sendiri oleh responden. Instrument ini

mengeksplorasi mengenai perusakan tubuh secara langsung, frekuensi,

tingkat keparahan dan durasi. Kelebihannya adalah dalam instrumen ini

terdapat item pertanyaan mengenai usaha bunuh diri (Ferrara et al. 2012;

Klonsky & Glenn 2009).

4. SHBQ (Self Harm Behaviour Qestionnaire)

Dikembangkan oleh Gutierrez tahun 1998. Dirancang untuk

mendapatkan informasi yang lebih luas dan mendalam sepanjang

wawancara terbuka yang dilakukan oleh klinisi. Merupakan kuesioner

yang diisi sendiri oleh klien. Secara garis besar, pertanyaan pada

instrument ini dibagi ke dalam 4 bagian. Bagian A memastikan maksud

perilaku self harm adalah bukan untuk bunuh diri. Bagian B menanyakan

tentang usaha bunuh diri. Bagian C menanyakan tentang ancaman bunuh

diri. Bagian D menanyakan tentang ide bunuh diri. Instrumen ini memang

didesain untuk membuka 4 aspek terkait perilaku bunuh diri. Instrumen ini

juga terbukti valid dan reliabel (Peter M Gutierrez et al. 2001; P M

Gutierrez et al. 2001b; P M Gutierrez et al. 2001; Gutierrez et al. 2010; P

M Gutierrez et al. 2001; Muehlenkamp et al. 2010).

5. SIQ (Self Injury Questionnaire) tahun 1990. Terdiri atas 54 item

pertanyaan self report questionnaire. Contoh pertanyaan mengenai luka

terbuka, menggaruk luka, memar, memotong, membakar. Namun tidak ada

49
item pertanyaan mengenai usaha bunuh diri (Boege et al. 2014; Claes &

Vandereycken 2007; Zhang et al. 2014; Pinto et al. 1997).

6. SITBI (Self Injurious Thoughts and Behaviour Interview) Nock, 2007

Merupakan wawancara terstruktur untuk menilai adanya frekuensi

dan karakteristik NSSI serta pikiran dan perilaku NSSI dalam rentang yang

cukup luas seperti ide bunuh diri, rencana bunuh diri, gerak-gerik bunuh

diri, dan usaha bunuh diri dan NSSI. Instrumen ini dicobakan terhadap 94

orang remaja dan dewasa muda dan memiliki reliabilitas yang cukup tinggi

K=0,99, r 1,0. Test dan re-test reliabilitasnya k=0,70 dengan koefisien

korelasi 0,44 selama 6 bulan. Ciri khas SITBI adalah menilai onset,

metode, derajat keparahan, fungsi, faktor pencetus, pengalaman yang

menyakitkan, penggunaan alkohol dan obat-obatan, impulsivitas, pengaruh

teman sebaya, dan rencana masa depan. Adapun keterbatasannya SITBI

tidak menanyakan adanya NSSI yang tidak ditampakkan secara langsung

seperti perilaku penyalahgunaan NAPZA, juga tidak menyinggung adanya

gangguan mood yang terkait. Jadi hanya fokus pada NSSI itu sendiri tidak

menanyakan keterkaitannya dengan gangguan-gangguan yang lain (Nock

et al. 2007). SITBI merupakan instrument wawancara klinis terbaik untuk

remaja.

7. SASII (Suicide Attempt Self Injury Interview)

Instrumen ini dikembangkan oleh Linehann pada tahun 2006.

Kelebihan dari instrument ini adalah mampu menyatukan segala jenis

50
definisi dari perilaku NSSI. Tujuan dari administrasi SASSI adalah menilai

topografi, konteks, dan niat atau tujuan perilaku NSSI. Wawancara yang

dilakukan juga mampu menilai riwayat perilaku NSSI sebelumnya.

Instrument ini juga mampu membedakan dengan jelas antara NSSI dengan

perilaku bunuh diri. Keterbatasannya adalah instrument ini tidak mampu

memprediksi perilaku NSSI di masa yang akan datang. Di awal bagian,

terdapat 4 pertanyaan skrining untuk mengidentifikasi berapa kali episode

NSSI dilakukan. Jika lebih dari satu kali, maka perlu dievaluasi lebih

lanjut. Satu instrument SASSI yang sudah terstandar terdiri atas 6 item

pertanyaan skrining, 9 pertanyaan terbuka untuk memberikan informasi

koding, 22 item dan subitem untuk mengukur waktu dan frekuensi NSSI

yang serius, metode dan digunakan berikut tingkat mematikannya, niat

NSSI maupun niat bunuh diri, hubungan atau komunikasi antar episode,

juga komunikasi sebelum episode, impulsivitas, metode penyelamatan,

kondisi fisik dan tingkat intervensi medis yang sudah didapatkan (Bryan et

al. 2015; Linehan et al. 2006). SASSI baik untuk menilai NSSI pada

remaja.

8. FASM (Functional Assesment of Self Mutilation)

Merupakan instrument self report yang mengukur metode,

frekuensi, dan fungsi dari NSSI. Dikembangkan melalui studi review

terhadap berbagai literature baik populasi normal maupun populasi dengan

gangguan psikiatri. Seluruh item pada instrument ini merefleksikan

perilaku yang dilakukan oleh remaja atau pasien dengan riwayat NSSI

51
(Young et al. 2014; Calvete et al. 2015; Whitlock & Purington 2007b;

Huang et al. 2011).

9. SITS (Self Injury Trauma Scale)

Dikembangkan oleh Iwata pada tahun 1990 di Florida Centre Of

Self Injury. Memberikan data yang obyektif mengenai letak, tipe, jumlah

dan tingkat keparahan yang dapat dilihat di permukaan jaringan yang

terluka akibat NSSI. Kelebihannya instrument ini memberikan data yang

objektif mengenai letak, tipe, jumlah dan tingkat keparahan luka yang

terdapat dipermukaan jaringan yang terluka akibat perilaku NSSI.

Instrument ini juga cukup reliable dan dibuat dari 4 sumber yaitu berbagai

hasil publikasi mengenai luka NSSI, pengobatan terhadap lebih dari 200

pasien pelaku NSSI, dan study pendahuluan dan didapatkan tingkat

reliabilitasnya sebesar 90% (Symons & Danov 2005).

E. Contoh Kasus dan Pembahasannya

1. Seorang wanita, 55 tahun, menikah selama 30 tahun dan ibu dari tiga

orang anak. Pasien belum pernah mengalami kejadian besar atau traumatis

sepanjang hidupnya. Pada umur 30 ia menderita penyakit depresi berat hingga

menjalani ECT. Pasien membaik dan selama 23 tahun tidak pernah mondok.Saat

ini tiba-tiba pasien kembali merasa sedih dan tertekan sepanjang hari. Pasien

menjadi sangat gelisah dan mengembangkan fantasi depresi bahwa dirinya orang

yang jahat dan akan bertanggung jawab atas kematian anak-anaknya. Untuk

52
mencegah hal tersebut, ia pergi ke tempat yang terpencil dan mengambil 100

butir tablet obat antidepresannya.

Pembahasan :

Permasalahan yang teridentifikasi pada pasien ini adalah adanya ide bunuh

diri yang terencana yaitu dengan membawa pil antidepresan sekaligus 100 butir

dan menjauhkan diri ke tempat terpencil agar tidak diketahui orang lain.

Kategori faktor risiko: High risk

Faktor risiko : Riwayat depresi dan waham bersalah, wanita

Faktor protektif : belum pernah mengalami trauma, pernah membaik

dengan pengobatan, memiliki support dari keluarga.

Kebutuhan : kemungkinan mengalami depresi endogen. Membutuhkan

asesmen status mental terapi oleh psikiater dan pengawasan karena ide bunuh diri

yang terencana.

2. Seorang mahasiswa laki-laki berusia 19 tahun tidak memiliki riwayat

kesehatan mental sebelumnya. pemuda ini mengikuti pesta ulang tahun temannya.

Menjelang akhir pesta, pemuda ini meminum 8 kaleng bir, berdebat dengan

pasangannya, kemudian pergi ke kamar mandi dan menelan beberapa tablet

aspirin. Dia segera menyesali tindakannya dan mengatakan seorang teman yang

kemudian menelepon ambulans dan membawanya IGD.

Pembahasan :

Permasalahan yang teridentifikasi pada pasien ini adalah minum tablet

aspirin dan mabuk.

53
Kategori faktor risiko: low/ moderate risk

Faktor risiko : laki-laki, usia muda, minum alkohol

Faktor protektif : tidak punya riwayat gangguan mental sebelumnya,

menyadari dan menyesali tindakannya, mau mencari pertolongan

Kebutuhan : bilas lambung dan detoksifikasi aspirin sesuai kebutuhan,

asesmen psikososial singkat.

3. Seorang pria pengangguran berusia 22 tahun yang dibesarkan dalam

lingkungan keluarga yang buruk. Ia menjadi korban pelecehan seksual beberapa

kali ketika masih anak-anak dan memiliki riwayat penyalahgunaan zat. Dia telah

menyayat lengannya sejak usia 14 dengan frekuensi rata-rata sekali setiap tiga

minggu. Hal ini membuat dia terbebas dari perasaan kekosongan dan putus asa.

semakin lama, tindakan menyayat ini semakin meluas yaitu ke lengan bawah.

Pembahasan :

Permasalahan yang teridentifikasi pada pasien ini adalah perilaku

menyakiti diri berulang dengan metode menyayat lengan yang semakin meluas.

Kategori faktor risiko: moderate/ high risk

Faktor risiko : pria, pengangguran, riwayat lingkungan keluarga yang

buruk, korban pelecehan seksual masa kanak, riwayat penyalahgunaan zat

Faktor protektif : tidak punya keinginan bunuh diri

Kebutuhan : asesmen lengkap termasuk asesmen psikososial, juga asesmen

status mental, intervensi psikososial dan psikoterapi

54
4. Seorang anak laki-laki berusia 8 tahun lahir karena ibunya diperkosa

orang tidak dikenal. anak ini dibesarkan oleh ibunya yang buru-buru menikah

dengan orang lain untuk menutupi rasa malu. anak tersebut selalu dikatakan anak

jadah, anak haram, bajingan dan mendapat pelecehan seksual sejak umur 4 tahun

oleh ayah tirinya yang juga pemabuk. ayahnya juga sering melakukan kekerasan

terhadap ibunya karena merasa cemburu sehingga ibunya sangat tertekan dan

mabuk-mabukan. Dalam kondisi mabuk, ibu mengatakan kepada anaknya bahwa

semua sumber kesengsaraan dirinya adalah dari anaknya. Dalam keputusasaan

anak itu minum sebotol pembersih lantai dan percaya ini akan membunuh dia dan

menyelamatkan ibunya.

Pembahasan :

Permasalahan yang teridentifikasi pada pasien ini adalah usaha percobaan

bunuh diri menggunakan pembersih lantai.

Kategori faktor risiko: high risk

Faktor risiko : riwayat latar belakang dan pola asuh yang buruk, putus asa,

riwayat mengalami pelecehan seksual

Faktor protektif : usia anak- anak

Kebutuhan : asesmen lengkap, konsultasi psikiatri anak dan dokter

spesialis anak, intervensi keluarga.

5. Seorang wanita di usia 30 tahun yang mengalami pelecehan seksual oleh

ayahnya dari usia dua sampai enam belas usia. Dia telah mengalami overdosis

55
dua kali dengan maksud bunuh diri, dan harus menjalani perawatan di rumah

sakit. Dia juga membahayakan dirinya sendiri dengan memotong lengan dan

tubuhnya untuk menghilangkan rasa sakit emosional yang menyiksa. Dia

melakukan hal tersebut sebagai alternatif untuk mencoba bunuh diri. Dia

bercerita dirinya seperti memiliki dorongan yang sangat kuat untuk melakukan

hal ini, dan menganggapnya sebagai tindakan yang dilakukan untuk menolong

dirinya dari tindakan membunuh dirinya sendiri.

Pembahasan :

Permasalahan yang teridentifikasi pada pasien ini adalah percobaan bunuh

diri berulang dengan banyak metode.

Kategori faktor risiko: high risk

Faktor risiko : riwayat latar belakang keluarga yagn buruk dan riwayat

mengalami pelecehan seksual oleh ayah sendiri. Dorongan yang intens untuk

mengakhiri hidup, riwayat percobaan bunuh diri sebelumnya.

Faktor protektif : wanita

Kebutuhan : asesmen lengkap, asesmen status mental dan identifikasi

risiko berulang. Perlu dijauhkan dari akses peralatan yang membahayakan.

56
BAB IV

KESIMPULAN

Proses asesmen yang dilakukan terhadap pasien dengan NSSI (Non

Suicidal Self Injury) meliputi asesemen terhadap kegawatdaruratan, status fisik

dan mental, asesmen psikososial, risiko berulang dan risiko bunuh diri. Asesmen

ini dapat dilakukan oleh dokter triase maupun dokter spesialis sesuai dengan

kompetensinya masing-masing. Proses asesmen ini akan menghasilkan penilaian

mengenai risiko dan kebutuhan penderita untuk mendapatkan penanganan dan

pemantauan lebih lanjut. Beberapa instrumen yang digunakan untuk asesmen

NSSI antara lain NSSIAT (Non Suicidal Self Injury Assessment Tools); SHI (Self

Harm Inventory); DSHI (Deliberate Self Harm Inventory); SHBQ (Self Harm

Behaviour Qestionnaire); SIQ (Self Injury Questionnaire); SITB (Self Injurious

Thoughts and Behaviour Interview); SASSI (Suicide Attempt Self Injury

Interview); dan FASM (Functional Assesment of Self Mutilation), dan SITS (Self

Injury Trauma Scale) yang penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan dari

klinisi.

57
DAFTAR PUSTAKA

Arbuthnott, A.E. & Lewis, S.P., 2015. Parents of youth who self-injure: a review
of the literature and implications for mental health professionals. Child and
adolescent psychiatry and mental health, 9(1), p.35.
Arce, E. & Santisteban, C., 2006. Impulsivity: A review. Psicothema, 18(2),
pp.213–220.
Arsani, N.L.K.A., Agustini, N.N.M. & Purnomo, I.K.I., 2013. Peranan Program
PKPR (Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja) Terhadap Kesehatan
Reproduksi Remaja Di. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 2(1), pp.129–
208.
Auerbach, R.P. et al., 2014. Adolescent nonsuicidal self-injury: Examining the
role of child abuse, comorbidity, and disinhibition. Psychiatry Research,
220(1-2), pp.579–584.
Baetens, I. et al., 2014. Non-suicidal self-injury in adolescence : A longitudinal
study of the relationship between NSSI , psychological distress and perceived
parenting. , 37, pp.817–826.
Baetens, I. et al., 2011. The relationship between non-suicidal self-injury and
temperament in male and female adolescents based on child- and parent-
report. Personality and Individual Differences, 50(4), pp.527–530.
Boege, I. et al., 2014. Pilot study: feasibility of using the Suicidal Ideation
Questionnaire (SIQ) during acute suicidal crisis. Child and adolescent
psychiatry and mental health, 8(1), p.28.
Bryan, C.J. et al., 2015. Nonsuicidal self-injury as a prospective predictor of
suicide attempts in a clinical sample of military personnel. Comprehensive
Psychiatry, 59, pp.1–7.
Burešová, I., Vrbová, M. & Čerňák, M., 2015. Personality Characteristic of
Adolescent Self-harmers. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 171,
pp.1118–1127.
Calvete, E. et al., 2015. Prevalence and functions of non-suicidal self-injury in
Spanish adolescents. Psicothema, 27(3), pp.223–228.
Carter, G. et al., 2005. Repeated self-poisoning: Increasing severity of self-harm
as a predictor of subsequent suicide. British Journal of Psychiatry,
186(MAR.), pp.253–257.
Cerutti, R., Calabrese, M. & Valastro, C., 2014. ScienceDirect Alexithymia and
personality disorders in the Adolescent Non- suicidal Self Injury: preliminary
results. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 114, pp.372–376.
World Health Organization (WHO)., 2015. Universal Sustainable Understanding
the Transformational Challenge for Developed Countries Report Of A Study
By Stakeholder Forum.
Claes, L. et al., 2010. Brief report : The association between non-suicidal self-
injury , self-concept and acquaintance with self-injurious peers in a sample of
adolescents. Journal of Adolescence, 33(5), pp.775–778. Available at:

58
http://dx.doi.org/10.1016/j.adolescence.2009.10.012.
Claes, L., Luyckx, K. & Bijttebier, P., 2014. Non-suicidal self-injury in
adolescents: Prevalence and associations with identity formation above and
beyond depression. Personality and Individual Differences, 61-62, pp.101–
104.
Claes, L. & Vandereycken, W., 2007. The self-injury questionnaire-treatment
related (SIQ-TR): Construction, reliability, and validity in a sample of female
eating disorder patients. In Psychological tests and testing research trends.
pp. 111–139.
Crowell, S.E. et al., 2009. Injury in Adolescents. , 76(1), pp.15–21.
De Moore, G. & Robertson, A., 1996. Suicide in the 18 years after deliberate self-
harm. British Journal of Psychiatry, 169, pp.489–494.
Di Pierro, R. et al., 2012. Adolescent nonsuicidal self-injury: The effects of
personality traits, family relationships and maltreatment on the presence and
severity of behaviours. European Child and Adolescent Psychiatry, 21(9),
pp.511–520.
Esposito-smythers, C. et al., 2010. Clinical and psychosocial correlates of non-
suicidal self-injury within a sample of children and adolescents with bipolar
disorder. Journal of Affective Disorders, 125(1-3), pp.89–97. Available at:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jad.2009.12.029.
Ferrara, M., Terrinoni, A. & Williams, R., 2012. Non-suicidal self-injury ( Nssi )
in adolescent inpatients : assessing personality features and attitude toward
death. Child and Adolescent Psychiatry and Mental Health, 6(1), p.12.
Available at: http://www.capmh.com/content/6/1/12.
Glassman, L.H. et al., 2007. Child maltreatment , non-suicidal self-injury , and the
mediating role of self-criticism. , 45, pp.2483–2490.
Groschwitz, R.C. & Plener, P.L., 2012. The Neurobiology of Non-suicidal Self-
injury (NSSI): A review. Suicidology Online, 3, pp.24–32.
Gutierrez, P.M. et al., 2001. Development and Initial Validation of the Self-Harm
Behavior Questionnaire. JOURNAL OF PERSONALITY ASSESSMENT,
77(3), pp.475–490.
Gutierrez, P.M. et al., 2001c. Development and initial validation of the Self-harm
Behavior Questionnaire. Journal of personality assessment, 77(3), pp.475–
90.
Hankin, B.L. et al., 2015. 5-HTTLPR ?? interpersonal stress interaction and
nonsuicidal self-injury in general community sample of youth. Psychiatry
Research, 225(3), pp.609–612.
Hintikka, J. et al., 2009. Mental Disorders in Self-Cutting Adolescents. Journal of
Adolescent Health, 44(5), pp.464–467. Available at:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jadohealth.2008.10.003.
Huang, R. et al., 2011. The assessment methods of self-injurious behavior
commonly used among the adolescents. Chinese Journal of Clinical
Psychology, 19(5), pp.645–647.
International, R. & London, C., 2014. Psychoanalytic Contributions to
understanding Self-Harm.
Jacobs, D.G. et al., 2003. Assessment and Treatment of Patients With Suicidal

59
Behaviors. American Psychiatric Association Practice Guidelines.
Ką, H., Żak, G. & Kalin, B., 2015. The prevalence of Non-Suicidal Self-Injury (
NSSI ) among high school students in relation to age and sex. , 49(4),
pp.765–778.
Kelly, C.M. et al., 2008. Development of mental health first aid guidelines for
deliberate non-suicidal self-injury: a Delphi study. BMC Psychiatry, 8, p.62.
Klonsky, E.D. et al., 2015. The functions of nonsuicidal self-injury: converging
evidence for a two-factor structure. Child and adolescent psychiatry and
mental health, 9, p.44.
Klonsky, E.D. & Glenn, C.R., 2009. Assessing the Functions of Non-suicidal Self-
injury: Psychometric Properties of the Inventory of Statements about Self-
injury (ISAS). Journal of Psychopathology and Behavioral Assessment,
31(3), pp.215–219.
Linehan, M.M. et al., 2006. Suicide Attempt Self-Injury Interview (SASII):
development, reliability, and validity of a scale to assess suicide attempts and
intentional self-injury. Psychological assessment, 18(3), pp.303–312.
Moreno, D.V. & Medicine, F., 2014. Neurophysiological correlates of reward
processing and cognitive control in Borderline Personality Disorder patients
with and without self-harm history.
Muehlenkamp, J.J. et al., 2009. Behaviour Research and Therapy Emotional states
preceding and following acts of non-suicidal self-injury in bulimia nervosa
patients q. Behaviour Research and Therapy, 47(1), pp.83–87. Available at:
http://dx.doi.org/10.1016/j.brat.2008.10.011.
Muehlenkamp, J.J. et al., 2012. International prevalence of adolescent non-
suicidal self-injury and deliberate self-harm. Child and adolescent psychiatry
and mental health, 6, p.10.
Muehlenkamp, J.J., Cowles, M.L. & Gutierrez, P.M., 2010. Validity of the self-
harm behavior questionnaire with diverse adolescents. Journal of
Psychopathology and Behavioral Assessment, 32(2), pp.236–245.
Muthia, E.N., Hidayati, D.S. & Malang, U.M., 2011. Kesepian dan keinginan
melukai diri sendiri remaja. , (246), pp.185–198.
Nock, M.K. et al., 2007. Self-Injurious Thoughts and Behaviors Interview:
development, reliability, and validity in an adolescent sample. Psychological
assessment, 19(3), pp.309–317.
Pinto, A., Whisman, M. a. & McCoy, K.J.M., 1997. Suicidal ideation in
adolescents: Psychometric properties of the suicidal ideation questionnaire in
a clinical sample. Psychological Assessment, 9(1), pp.63–66.
Rodav, O., Levy, S. & Hamdan, S., 2014. Clinical characteristics and functions of
non-suicide self-injury in youth. European Psychiatry, 29(8), pp.503–508.
Sadeh, N. et al., 2014. Functions of non-suicidal self-injury in adolescents and
young adults with Borderline Personality Disorder symptoms. Psychiatry
Research, 216(2), pp.217–222. Available at:
http://dx.doi.org/10.1016/j.psychres.2014.02.018.
Saraff, P.D. & Pepper, C.M., 2014. Functions, lifetime frequency, and variety of
methods of non-suicidal self-injury among college students. Psychiatry
Research, 219(2), pp.298–304.

60
Self-injury, P.C.N. et al., 2012. DSM-5 Update : Clinical Considerations for. ,
pp.302–303.
Sustainable, T. & Goals, D., 2016. The Sustainable Development Goals Report.
Swahn, M.H. et al., 2012. Self-Harm and Suicide Attempts among High-Risk ,
Urban Youth in the U . S .: Shared and Unique Risk and Protective Factors. ,
pp.178–191.
Symons, F.J. & Danov, S.E., 2005. A prospective clinical analysis of pain
behavior and self-injurious behavior. Pain, 117(3), pp.473–477.
Wan, Y. et al., 2015. Impact of Childhood Abuse on the Risk of Non-Suicidal
Self-Injury in Mainland Chinese Adolescents. , pp.1–15.
Whitlock, J. et al., 2012. Nonsuicidal Self-injury as a Gateway to Suicide in
Young Adults. Journal of Adolescent Health, pp.7–13. Available at:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jadohealth.2012.09.010.
Whitlock, J. & Purington, A., 2007a. The Non-Suicidal Self-Injury Assessment
Tool (NSSI-AT). , pp.1–10.
Whitlock, J. & Purington, A., 2007b. Validity and Reliability of the Non ‐ Suicidal
Self ‐ Injury Assessment Tool ( NSSI ‐ AT ): Why Use the NSSI ‐ AT ?
Journal of Counseling Psychology Journal of Psychopathology and
Behavioral Assessment Journal of Personality Assessment Psychological
Medicine Psychological Assessment Psychological Assessment Pediatrics,
12(2), p.2006.
Williams, K. et al., 2013. Can questions about social interaction correctly identify
preschool aged children with autism? Journal of Paediatrics and Child
Health, 49(2).
Young, R. et al., 2014. Why alternative teenagers self-harm: exploring the link
between non-suicidal self-injury, attempted suicide and adolescent identity.
BMC psychiatry, 14, p.137.
Yusuf, H. & Fahrudin, A., Perilaku Bullying : Asesmen Multidimensi Dan
Intervensi Sosial. Jurnal Psikologi, 11(No.2), pp.1–10.
Zhang, Y., Yip, P.S.F. & Fu, K.-W., 2014. Validation of the Chinese version of
the Reynolds’ Suicidal Ideation Questionnaire: psychometric properties and
its short version. Health and quality of life outcomes, 12(1), p.33.

61

You might also like