Professional Documents
Culture Documents
Baca juga:
Kita sebagai manusia seringkali mudah lupa dengan segala kebaikan Tuhan yang sudah kita terima dan
hanya mengingat peristiwa buruk di dalam hidup. Tuhan menginginkan kita untuk bersyukur sebab
dengan bersyukur maka kita bisa mengingat semua kebaikan yang sudah Tuhan berikan untuk kita.
3. Roma 8:28
Bersyukur berarti mengamini semua anugerah yang sudah diberikan baik senang atau susah. Disini
tertulis jika Allah bekerja dengan segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan dan kita sebagai orang
yang percaya akan selalu melihat segala sesuatu dalam kerangka anugerah dan segala permasalahan di
dalam hidup memang harus ada untuk lebih mengasah iman dan juga rasa kepercayaan kita pada-Nya.
Pemberitaan Injil adalah kewajiban yang penuh dengan tantangan dan tidak sedikit penginjil yang
mendapatkan penolakan bahkan sampai kematian. Di saat pewartaan Injil ini membuahkan hasil maka
sudah selayaknya kita memanjatkan syukur sebab ini mengartikan jika Allah masih memberikan anugerah
keselamatan untuk semua orang.
Sponsors Link
6. Mazmur 42:4-5
Inilah yang hendak kuingat, sementara jiwaku gundah-gulana; bagaimana aku berjalan maju dalam
kepadatan manusia, mendahului mereka melangkah ke rumah Allah dengan suara sorak-sorai dan
nyanyian syukur, dalam keramaian orang-orang yang mengadakan perayaan. Mengapa engkau tertekan,
hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah, sebab aku akan bersyukur lagi
kepada-Nya, penolongku dan Allahku.
7. Mazmur 35:17-19
Sampai berapa lama, Tuhan, Engkau memandangi saja? Selamatkanlah jiwaku dari perusakan mereka,
nyawaku dari singa-singa muda. Aku mau menyanyikan syukur kepada-Mu dalam jemaah yang besar, di
tengah-tengah rakyat yang banyak aku mau memuji-muji Engkau. Janganlah sekali-kali bersukacita atas
aku orang-orang yang memusuhi aku tanpa sebab, atau mengedip-ngedipkan mata orang-orang yang
membenci aku tanpa alasan.
Sponsors Link
8. Mazmur 30:11-12
Aku yang meratap telah Kauubah menjadi orang yang menari-nari, kain kabungku telah Kaubuka,
pinggangku Kauikat dengan sukacita, supaya jiwaku menyanyikan mazmur bagi-Mu dan jangan berdiam
diri. TUHAN, Allahku, untuk selama-lamanya aku mau menyanyikan syukur bagi-Mu.
9. Mazmur 33:1-3
Bersorak-sorailah, hai orang-orang benar, dalam TUHAN! Sebab memuji-muji itu layak bagi orang-orang
jujur. Bersyukurlah kepada Allah Tritunggal dengan kecapi, bermazmurlah bagi-Nya dengan
gambus sepuluh tali! Nyanyikanlah bagi-Nya nyanyian baru; petiklah kecapi baik-
baik dengan sorak-sorai.
10. Mazmur 44:6-8
Sebab bukan kepada panahku aku percaya, dan pedangkupun tidak memberi aku kemenangan, tetapi
Engkaulah yang memberi kami peran Gereja dalam masyarakat sebagai kemenangan terhadap para lawan
kami, dan orang-orang yang membenci kami Kauberi malu. Karena Allah kami nyanyikan puji-pujian
sepanjang hari, dan bagi nama-Mu kami mengucapkan syukur selama-lamanya.
Ibrani 11:1 Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang
tidak kita lihat.
Kisah Para Rasul 17:31 Karena Ia telah menetapkan suatu hari, pada waktu mana Ia dengan adil akan
menghakimi dunia oleh seorang yang telah ditentukan-Nya, sesudah Ia memberikan kepada semua orang
suatu bukti tentang hal itu dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati."
Kisah Para Rasul 18:28 Sebab dengan tak jemu-jemunya ia membantah orang-orang Yahudi di muka
umum dan membuktikan dari Kitab Suci bahwa Yesus adalah Mesias.
I Petrus 3:15 Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala
waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab
dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat,
Bukti dan Iman. Dua hal yang saling berkaitan sekaligus sering dipertentangkan. "Buktikan dulu, baru
saya beriman" adalah kalimat yang sering diucapkan kaum skeptis. Bahkan Tomas memakai presuposisi
ini untuk percaya kepada Tuhan Yesus yang telah bangkit. Buktikan dulu, baru saya percaya. Apakah
kalimat tersebut salah? Tentu saja tidak. Kalau tidak ada bukti, masakan kita akan percaya dengan iman
buta? Kalau tidak ada bukti, apa yang mesti dipercaya? Ada yang mendasarkan iman berdasarkan atas
iman, yaitu segala pengetahuan dan pengertian harus didasarkan atas iman dan menolak bukti serta fakta.
Itulah fideisme. Percaya secara membabi buta. Percaya atas dasar POKOKNYA PERCAYA. Kalau
begitu, apakah iman perlu dibuktikan? Apakah sesudah dibuktikan, bukan iman namanya? Apa hubungan
antara pembuktian dengan beriman?
Apa hubungan antara kebenaran dan bukti? Manakah yang duluan ada? Bukti atau kebenaran? Bukankah
bukti digunakan untuk menyatakan kebenaran? Tetapi kalau tidak ada kebenaran, apakah bukti dapat
menyatakannya? Vantillian berpegang bahwa segala kebenaran berasal dari Allah dan merupakan dasar
pengetahuan. Ini artinya dalam metode pembuktian, kebenaran adalah subjek sekaligus objek. Kebenaran
adalah bukti itu sendiri yang akan membuktikan dirinya sendiri. Bukti penting bagi penyelidikan ilmu
pengetahuan. Bukti didasarkan atas fakta. Adanya fakta membuktikan bahwa itu benar-benar BENAR.
Tidak ada rekayasa, tidak ada kebohongan. Karena itu, maka berkembanglah metode ilmu pengetahuan
berdasarkan atas PEMBUKTIAN. Untuk mendukung suatu teori, perlu adanya bukti yang memadai. Hal
ini berimbas kepada dunia teologi kekristenan. Bagaimana cara tahu Allah itu ada? Kita membeberkan
sederetan bukti dari A sampai Z. Bagaimana cara tahu Alkitab itu benar? Kita juga melakukan hal yang
sama. Mengumpulkan bukti yang mendukung, menganalisa bukti dan menafsirkan bukti.
Sayang sekali, seringkali metode pembuktian dengan bukti fakta/data dan argumen mempunyai banyak
kelemahan. Salah satunya adalah mengenai JUMLAH BUKTI yang memadai. Jika kita ingin
membuktikan dengan fakta bahwa Allah itu ada, sampai berapa bukti yang mesti kita jabarkan supaya
pembuktian kita menjadi valid? Sampai berapa bukti yang mesti kita kumpulkan untuk meyakinkan
seorang ateis bahwa argumennya sudah tidak memadai? Tidak ada hukum yang mengatur ini. Tidak ada
ilmu logika yang menetapkan ini. Apa bedanya mengumpulkan satu bukti dengan beratus bukti jika satu
bukti KUALITASNYA lebih berbobot. Inilah masalah kedua pembuktian. Mengenai kualitas bukti yang
diberikan. Seberapa berkualitas bukti yang diberikan bisa menunjukkan sesuatu itu benar? Inilah salah
satu masalah serius dari evidensialis. Seorang yang meyakini kebenaran berdasarkan kekuatan bukti.
Bukankah satu bukti kadang bisa menguatkan daripada berpuluh-puluh bukti? Siapa yang menetapkan
standar bukti kebenaran?
Bukti selalu berkaitan dengan argumen, fakta, data dan objektif. Bukti tidak memihak kepada siapa-siapa.
Bukti hanya memihak kepada kebenaran. Karena itu, bukti adalah turunan dari kebenaran. Bukti HARUS
dimengerti dari presuposisi kebenaran itu sendiri. Tidak ada bukti tanpa pewahyuan kebenaran. Tidak ada
bukti tanpa kebenaran presuposisi. Apa maksudnya? Bukankah tidak pernah ada bukti yang memadai
yang bisa membuktikan kebenaran suatu argumen atau fakta? Bukankah bukti harus diterjemahkan,
diinterpretasikan, dan dianalisa berdasarkan presuposisi? Semua kebenaran bukti berdasarkan atas
kebenaran pewahyuan. Tanpa penyingkapan, tidak ada kebenaran yang menjadi bukti suatu hal/objek.
Disinilah kita bertemu dengan dilema pembuktian yang lain. Orang teis membuktikan adanya Allah
dengan bukti tertentu. Ateis juga membuktikan Allah tidak ada dengan bukti tertentu. Mana yang benar?
Kalau begitu, apakah kita akan jatuh dalam relativisme? Tentu tidak, karena sebagai orang percaya, kita
tidak menerima bukti argumentasi dari presuposisi orang tidak percaya. Kita percaya akan kebenaran
Allah. Kita membuktikan kepercayaan kita. Kita memakai presuposisi Alkitab untuk membuktikan bahwa
kebenaran memang kebenaran. Karena itu, dalam I Petrus 3:15 tertulis : Kuduskanlah Kristus dalam
hatimu sebagai Tuhan. Itulah dasar presuposisi setiap orang percaya. Ketuhanan Kristus adalah yang
menjadi ultimat bagi semua pembelaan iman kristen. Tanpa dasar ini, maka kita akan terjatuh dalam
dilema BUKTI dan IMAN.
Dengan demikian implikasinya jelas, tidak ada kenetralan dalam pembuktian. Semua pembuktian atas
kebenaran oleh orang percaya dan non percaya adalah didasarkan atas keberpihakan terhadap presuposisi
yang dipegang. Manusia yang telah jatuh dalam dosa bukan tidak percaya kepada Allah, karena penyataan
Allah sudah jelas bagi mereka. Manusia berdosa melawan kebenaran. Karena itu, semua bukti yang
dipakai untuk menindas dan menentang kebenaran adalah bukti yang sedang menentang dirinya sendiri.
Presuposisi manusia berdosa adalah presuposisi ketidakbenaran, antitesis terhadap kebenaran. Presuposisi
manusia berdosa adalah OTONOMI DIRI atau mendasarkan kebenaran terhadap diri sendiri. ( Roma 10:3
tertulis : Sebab, oleh karena mereka tidak mengenal kebenaran Allah dan oleh karena mereka berusaha
untuk mendirikan kebenaran mereka sendiri, maka mereka tidak takluk kepada kebenaran Allah.)
Dari presuposisi muncullah worldview atau cara pandang. Cara pandang manusia berdosa adalah berpusat
kepada diri sendiri. Karena itu, segala pembuktian melawan kebenaran adalah pembuktian DIRI menjadi
benar. Bukan mencari kebenaran itu sendiri. Manusia menjadi standar bukti kebenaran itu sendiri.
Manusia menjadi beriman kepada dirinya sendiri.
Iman adalah bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat. Apakah ini berarti iman tidak perlu melihat?
Apakah berarti melihat pasti tidak akan beriman? Apakah ketika kita tidak melihat segala sesuatu, kita
baru butuh iman? Kalimat di atas terlalu gampang dan susah untuk dimengerti. Karena iman adalah dasar
(substance) dan bukti (evidence). Kita beriman dalam kebenaran, karena Sang Kebenaran itu sendiri yang
akan memimpin dan membawa iman kita kepada kesempurnaan ( Ibrani 12:2 ). Kebenaran adalah
presuposisi dari iman. Tanpa itu, kita tidak akan beriman. Karena beriman, maka kita menjadi mengerti.
Inilah presuposisi orang kristen. Yang menentukan kebenaran bukti. Bukti yang digunakan manusia
berdosa berdasarkan imannya adalah bukti dari presuposisi melawan kebenaran.
Iman Kristen bukan iman tanpa pembuktian, karena Lukas sendiri menyusun Injilnya dengan cermat dan
teliti. Paulus dan Apolos menggunakan Kitab Suci untuk membuktikan bahwa Injil adalah kebenaran.
Kebenarannya adalah : Kebenaran telah diwahyukan, karena itu menjadi presuposisi dari iman orang
percaya sehingga dibuktikan statusnya sebagai kebenaran. Tanpa bukti, kebenaran tetap kebenaran. Tetapi
tanpa kebenaran, bukti bukanlah bukti. Karena tidak ada yang berguna dari bukti lagi. Kebenaran adalah
presuposisi dari iman. Iman adalah presuposisi dari bukti. Jadi, kebenaran karena bukti memerlukan iman
untuk menerimanya.