You are on page 1of 18

LAPORAN BACAAN

KRISTUS DAN KEBUDAYAAN: SEBUAH KAJIAN BARU

Nama : Ezra Siorasi

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI GLOBAL GLOW INDONESIA


A. IDENTITAS BUKU

1. Judul Buku : Kristus dan Kebudayaan: Sebuah Kajian Baru

2. ISBN : 978-602-8165-33-4

3. Penerbit : MOMENTUM

4. Penulis : D.A. CARSON

5. Alih Bahasa : Junedy Lee

6. Pengoreksi : Jessy Siswanto dan Yosephin Widhi A.

7. Total Halaman : 272 Halaman

8. Cetakan Pertama : 2018

9. Foto Cover Buku :


B. HASIL LAPORAN

"Kristus dan Kebudayaan" adalah salah satu buku yang mendalam yang berupaya

menjembatani antara teologi Kristen dan perubahan sosial-kultural yang terjadi. Meskipun

judulnya mirip dengan buku klasik H. Richard Niebuhr, buku karya D.A. Carson ini memberikan

perspektif dan analisis yang berbeda.

Selama lebih dari setengah abad, penulis menemukan bahwa karya klasik H. Richard

Niebuhr yang berjudul "Christ and Culture" telah berdampak pada pemahaman gereja tentang

cara mengintegrasikan iman Kristen dengan budaya tempat kita hidup. Dalam buku terbaru DA

Carson, "Christ and Culture Revisited", penulis melihat bahwa karya Niebuhr tersebut dievaluasi

secara kritis. Carson menggambarkan isinya, memberikan kritik yang relevan untuk masa

sekarang, dan kemudian menggunakan buku tersebut sebagai landasan untuk membicarakan

masalah-masalah kontemporer.

Buku karya Carson mewakili suatu penyegaran dalam konsep "Kristus dan Kebudayaan"

serta merupakan evaluasi kritis terhadap karya Niebuhr. Dengan mengamati pengaruh budaya

dominan di era saat ini dan terlibat dalam perdebatan seputar "kebudayaan" dan

"postmodernisme," Carson memodernisasi, mengubah, dan bahkan dapat dikatakan

menggantikan pemikiran Niebuhr, terutama dalam konteks relevansi zaman sekarang.

Dalam buku ini, Carson menyelidiki topik yang kontroversial mengenai hubungan antara

Kristus dan budaya. Ia memulai dengan mengevaluasi karya berpengaruh Richard Niebuhr secara

kritis. Carson juga menganalisis kerangka kerja lima tahap Niebuhr (Kristus melawan budaya,

Kristus dari budaya, Kristus di atas budaya, Kristus dan budaya dalam paradoks, dan Kristus yang

mengubah budaya), dan mengevaluasinya berdasarkan kesesuaian dengan teologi Alkitab. Hasil

analisis Carson adalah bahwa model-model Niebuhr tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan

kesatuan Alkitab dan prioritas teologis dalam kanon. Kemudian, Carson melihat pada situasi
kontemporer dan mempertimbangkan perkembangan budaya (terutama di dunia Barat) serta

memberikan saran mengenai cara orang Kristen dapat berinteraksi secara bijaksana dalam

masyarakat mereka, sambil tetap setia pada keyakinan bahwa Yesus adalah Tuhan atas setiap

aspek kehidupan. Buku ini membahas berbagai isu, tetapi diuraikan dengan analisis dan wawasan

yang bermanfaat.

C. RANGKUMAN SINGKAT

Dalam bab awal bukunya, D.A. Carson membahas secara rinci lima paradigma yang

diperkenalkan oleh H. Richard Niebuhr untuk memahami kompleksitas hubungan antara Kristus

dan kebudayaan. Paradigma pertama, yang dikenal sebagai "Kristus melawan Kebudayaan,"

menggambarkan pandangan di mana kekristenan dipandang sebagai entitas yang bertentangan

atau kontradiktif dengan budaya sekitarnya. Paradigma kedua, "Kristus dalam Kebudayaan,"

mencerminkan gagasan bahwa iman Kristen dan budaya dapat berdampingan secara harmonis.

Paradigma ketiga, "Kristus di atas Kebudayaan," menunjukkan pandangan bahwa Kristus berada

di luar pengaruh budaya dan memiliki supremasi mutlak atasnya. Paradigma terakhir, yang terdiri

dari "Kristus dan Kebudayaan dalam Paradoks" serta "Kristus yang Transformator Kebudayaan,"

menggambarkan konsep-konsep di mana elemen-elemen dari paradigma sebelumnya

digabungkan dengan cara yang mengakui ketegangan antara kekristenan dan budaya sambil juga

mendorong transformasi budaya oleh iman Kristen.

Pentingnya memahami dan menganalisis paradigma-paradigma ini adalah untuk

memungkinkan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana iman Kristen berinteraksi

dengan kebudayaan sekitar, sekaligus mempertimbangkan bagaimana iman tersebut dapat

membentuk dan memengaruhi budaya itu sendiri. Penelusuran Carson terhadap pandangan-

pandangan ini menciptakan dasar penting untuk diskusi yang lebih lanjut tentang hubungan antara

iman dan budaya dalam konteks kontemporer.


Dalam karya "Kristus dan Kebudayaan," dipaparkan bahwa relasi antara kekristenan dan

kebudayaan merupakan isu yang kompleks dan selalu berubah. Reinhold Niebuhr sendiri

mengidentifikasi berbagai sikap yang berbeda tentang cara kekristenan dapat berinteraksi dengan

kebudayaan. Beberapa kategori yang dia tunjukkan adalah sebagai berikut:

1. Kristus Terhadap Kebudayaan: Menurut pandangan D.A. Carson dalam konteks "Kristus

Melawan Kebudayaan," kekristenan dianggap sebagai entitas yang berlawanan dengan

kebudayaan sekitar. Carson, seperti yang disampaikan dalam bukunya, berpendapat bahwa

pendukung pandangan ini meyakini bahwa kekristenan harus mempertahankan identitasnya

yang unik dan kesetiaan terhadap prinsip-prinsipnya dengan menolak sebagian besar pengaruh

budaya yang dapat mengikis integritas kekristenan. Dalam perspektif ini, Carson menekankan

pentingnya menjaga kekudusan dan kemurnian iman Kristen dari pengaruh-pengaruh negatif

budaya yang mungkin bertentangan dengan nilai-nilai Kristiani. Dia mengamati bahwa

pandangan ini mencerminkan ketidaksetujuan terhadap kompromi dengan budaya yang

mungkin merendahkan prinsip-prinsip kekristenan. Carson menggarisbawahi bahwa menjaga

jarak dari elemen-elemen budaya yang tidak sejalan dengan keyakinan Kristen adalah esensial

untuk memelihara keaslian iman dan kepemimpinan Kristus dalam kehidupan orang percaya.

Dalam pandangan ini, Kristus dipandang sebagai tujuan tertinggi yang harus dipertahankan di

atas segala pengaruh budaya yang mungkin datang.

2. Kristus dan Kebudayaan: Menurut pemikiran D.A. Carson dalam perspektif "Kristus dan

Kebudayaan," kekristenan dan kebudayaan dianggap sebagai kekuatan yang dapat saling

melengkapi. Carson, seperti yang disampaikan dalam bukunya, mengungkapkan bahwa dalam

pandangan ini, kekristenan memiliki potensi untuk membentuk dan memengaruhi kebudayaan

sekitarnya, dan sebaliknya, kebudayaan juga memiliki kemampuan untuk memengaruhi

perkembangan kekristenan.
Dalam perspektif ini, Carson menekankan pentingnya dialog dan interaksi yang bijak antara

kekristenan dan budaya. Ia berpendapat bahwa kekristenan dapat memberikan nilai-nilai etis

dan moral yang positif kepada kebudayaan, dan sebaliknya, kebudayaan dapat memengaruhi

bagaimana kekristenan dipraktikkan dalam konteks tertentu. Carson memandang bahwa

hubungan ini harus dijaga dengan hati-hati untuk memastikan bahwa pengaruh kebudayaan

tidak mengarah pada penyimpangan dari prinsip-prinsip kekristenan yang mendasar. Dalam

pandangan ini, Kristus dianggap sebagai dasar yang kuat untuk membentuk kebudayaan yang

lebih baik dan memberikan pedoman moral dalam menghadapi dinamika sosial dan budaya.

Carson menyoroti pentingnya pemahaman yang tepat tentang peran Kristus dalam kebudayaan

sebagai landasan bagi interaksi yang seimbang dan bermanfaat antara kekristenan dan budaya.

3. Kristus Di Atas Kebudayaan: Menurut D.A. Carson, dalam perspektif "Kristus Di Atas

Kebudayaan," terdapat pandangan yang menegaskan bahwa kekristenan memiliki posisi yang

lebih tinggi dan memiliki otoritas moral atau spiritual yang mengatasi kebudayaan. Dalam

konteks ini, Carson berpendapat bahwa iman Kristen dan ajaran Kristus dilihat sebagai

landasan dan norma yang lebih tinggi dibandingkan dengan norma-norma budaya atau nilai-

nilai yang ada dalam masyarakat. Dalam pandangan ini, Kristus dipandang sebagai sumber

otoritas mutlak dan pedoman moral yang memandu tindakan dan nilai-nilai dalam

kebudayaan. Carson menekankan bahwa kekristenan harus mempertahankan otonomi dan

kesetiaannya pada prinsip-prinsip ajaran Kristus tanpa kompromi dengan nilai-nilai budaya

yang bertentangan dengan iman Kristen. Ia juga menyoroti pentingnya memahami bahwa

Kristus memiliki supremasi mutlak dalam hal moral dan spiritual, dan itulah yang harus

menjadi pegangan utama dalam kehidupan orang percaya. Dalam pandangan "Kristus Di Atas

Kebudayaan" ini, Carson menggarisbawahi bahwa kekristenan memiliki tanggung jawab

moral untuk memengaruhi dan membentuk kebudayaan sesuai dengan nilai-nilai Kristiani

yang mendasar, dan bukan sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa Kristus adalah pusat dari
otoritas moral dan rohani dalam pandangan ini, dan iman Kristen harus berfungsi sebagai

panduan utama dalam membentuk dan memengaruhi budaya.

4. Kristus dalam Kebudayaan: Menurut D.A. Carson, dalam perspektif "Kristus dalam

Kebudayaan," terdapat pandangan yang memandang kekristenan sebagai unsur yang tak

terpisahkan dari kebudayaan. Carson, seperti yang diajarkan dalam bukunya, mengungkapkan

bahwa dalam pandangan ini, kekristenan dianggap sebagai bagian integral dari identitas dan

nilai-nilai kebudayaan yang ada. Ia berpendapat bahwa agama Kristen dan keyakinan Kristiani

dianggap sebagai salah satu komponen yang membentuk dan mempengaruhi karakter serta

moralitas dalam budaya tersebut. Dalam perspektif ini, Carson menyoroti pemahaman bahwa

kekristenan memiliki kontribusi yang berharga dalam membentuk tatanan sosial, etika, dan

norma budaya yang ada. Ia juga menekankan pentingnya hubungan yang erat antara

kekristenan dan budaya, di mana iman Kristen tidak dapat dipisahkan secara tajam dari

kehidupan dan praktik budaya sehari-hari. Dalam hal ini, Kristus dilihat sebagai aspek yang

meresap dalam kebudayaan, membentuknya, dan memberikan fondasi moral bagi tindakan-

tindakan dalam masyarakat. Pandangan "Kristus dalam Kebudayaan" ini menunjukkan bahwa

kekristenan dapat memberikan sumbangan yang berarti dalam membentuk nilai-nilai dan

karakter budaya yang mendalam, dan ini menciptakan pandangan di mana Kristus diakui

sebagai kehadiran yang penting dalam budaya itu sendiri.

5. Kristus Mentransformasi Kebudayaan: Menurut D.A. Carson, dalam pandangan

"Kristus Mentransformasi Kebudayaan," terdapat keyakinan bahwa kekristenan memiliki

peran aktif dalam upaya untuk mengubah dan meningkatkan kebudayaan agar sesuai dengan

prinsip-prinsip ajaran Kristus. Dalam konteks ini, Carson mengajukan bahwa iman Kristen

harus menjadi agen yang berkontribusi untuk memperbaiki nilai-nilai, etika, dan praktik-

praktik budaya sehingga mereka sejalan dengan prinsip-prinsip kekristenan. Dalam

pandangan ini, Carson menyoroti pentingnya aksi yang dilakukan oleh orang Kristen dalam
rangka mengubah budaya dan menciptakan dampak positif. Ia berpendapat bahwa Kristus

dilihat sebagai sumber inspirasi dan motivasi untuk terlibat dalam transformasi budaya.

Carson memandang bahwa iman Kristen harus mendorong orang-orang untuk bertindak dalam

kehidupan sehari-hari mereka untuk membentuk budaya yang lebih baik, yang mencerminkan

nilai-nilai Kristiani. Perspektif "Kristus Mentransformasi Kebudayaan" ini menunjukkan

bahwa iman Kristen tidak hanya menjadi bagian dari budaya, tetapi juga memiliki peran aktif

dalam mengubah budaya itu sendiri agar lebih mencerminkan prinsip-prinsip kekristenan. Hal

ini menunjukkan bahwa Kristus dilihat sebagai pendorong perubahan positif dalam budaya

dan memotivasi orang Kristen untuk bertindak sebagai agent perubahan dalam

masyarakat.Niebuhr berpendapat bahwa tidak ada satu pun dari kategori-kategori ini yang

sepenuhnya memadai, dan mendorong orang Kristen untuk berpikir secara kritis dan reflektif

tentang hubungan antara iman mereka dan kebudayaan mereka berada.

Dalam bab kedua bukunya, D.A. Carson menjalankan kritik mendalam terhadap argumen

yang diajukan oleh H. Richard Niebuhr, terutama dengan menyoroti bagaimana individu-individu

yang mengadopsi pandangan yang sejalan dengan paradigma "Kristus dalam Kebudayaan" seperti

Gnostik atau Liberal Klasik seringkali cenderung meninggalkan iman Kristen sama sekali. Carson

juga menyelidiki bagaimana Niebuhr berurusan dengan teks-teks Alkitab, khususnya dalam

pertahanannya terhadap pandangan "Kristus Sang Pengubah Kebudayaan." Carson menyatakan

keprihatinannya terhadap pandangan "satu ukuran cocok untuk semua," dan sebaliknya, ia

meyakini bahwa Alkitab mungkin mendukung berbagai pendekatan tergantung pada konteks dan

situasi yang berbeda. Namun, Carson tidak hanya berfokus pada kritik terhadap Niebuhr; ia juga

melakukan eksplorasi sejarah penting yang membentuk pemahaman Kristen terhadap dunia,

dengan keyakinan bahwa aspek-aspek ini tidak dapat dikompromikan dalam teologi yang

berlandaskan Alkitab.
Penyelidikan Carson yang mendalam terhadap paradigma-paradigma ini dan pemahaman

terhadap bagaimana Alkitab diterapkan dalam berbagai konteks menyediakan landasan yang kuat

untuk refleksi kritis dalam konteks hubungan antara iman Kristen dan budaya. Dia menunjukkan

bahwa pemahaman yang lebih dalam tentang keragaman situasi dan pemahaman yang tepat

tentang Kitab Suci sangat penting dalam membentuk pendekatan yang bijaksana terhadap dilema

yang kompleks ini. Dalam hal ini, Carson menawarkan wawasan yang memadai dalam

pembahasan mengenai bagaimana agama dan budaya dapat berinteraksi secara bermakna.

Dalam bab ketiga bukunya, D.A. Carson menguraikan definisi yang lebih jelas tentang

konsep "budaya" dan secara rinci mengembangkan pemahaman kita tentang "postmodernisme."

Terhadap akhir bab ini, Carson secara kritis meninjau beberapa pandangan yang ada. Dalam

konteks diskusi epistemologi, Carson secara tegas mempertimbangkan argumen yang diusung

oleh James Smith, yang saat itu sedang muncul dalam lingkaran Emerging Church.

Carson membantu membentuk pemahaman yang lebih mendalam tentang apa yang dimaksud

dengan "budaya" dan juga menguraikan pergeseran epistemologis yang terjadi dalam masyarakat

postmodern. Dalam penjelasan epistemologi, Carson secara tegas menghadapi argumen-argumen

yang diajukan oleh James Smith, memberikan perspektif yang kritis terhadap pandangan yang

muncul di dalam gerakan Emerging Church. Hal ini mencerminkan upaya Carson untuk

membawa pembaca ke dalam diskusi yang lebih mendalam tentang bagaimana pandangan-

pandangan ini dapat memengaruhi pemahaman kita tentang kekristenan dan budaya dalam era

postmodern.

Judul "Cultivating Culture and Reimagining Postmodernism" menunjukkan bagaimana

kekristenan bisa memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang dan berinteraksi dengan budaya

saat ini dalam konteks postmodern, serta bagaimana pandangan postmodernisme dapat dilihat

ulang atau dinilai ulang dalam perspektif kekristenan. Dalam judul ini, D.A. Carson ingin
menyoroti pentingnya mengembangkan hubungan yang berarti antara kekristenan dan budaya

masa kini yang ditandai oleh ciri-ciri postmodernisme.

Carson, dalam bab ini, mencoba membawa pemahaman tentang bagaimana kekristenan dapat

beradaptasi dengan budaya kontemporer yang dipengaruhi oleh pemikiran postmodern. Dia juga

merangsang pembaca untuk memikirkan kembali pandangan postmodernisme dan melihatnya

dalam konteks nilai-nilai dan keyakinan kekristenan. Ini mencerminkan tekad Carson untuk

membantu orang Kristen memahami dinamika budaya yang ada dan merenungkan cara-cara di

mana mereka dapat mempertahankan iman mereka dalam lingkungan postmodern.

1. Membesut Budaya:

Bab ini membahas bagaimana kekristenan dapat atau harus memahami dan berinteraksi

dengan budaya kontemporer, terutama dalam era postmodern yang sering ditandai dengan

relativisme, skeptisisme terhadap narasi besar, dan pluralisme budaya. Terdapat diskusi

tentang tantangan dan peluang yang dihadapi oleh kekristenan dalam merespon atau

berbicara ke dalam konteks budaya ini.

Dalam pemikiran D.A. Carson, sifat-sifat seperti relativisme, keraguan terhadap narasi

besar, dan keragaman budaya yang kaya mencerminkan beberapa karakteristik utama dari

era postmodern, yang dapat memiliki implikasi yang signifikan dalam konteks

kekristenan:

a. Relativisme: Carson mengamati bahwa postmodernisme cenderung

mendukung pandangan relativisme, di mana tidak ada standar moral atau

kebenaran yang mutlak. Ini dapat menantang ajaran-ajaran kekristenan yang

memiliki prinsip-prinsip moral yang jelas dan keyakinan akan kebenaran absolut,

seperti iman kepada Yesus Kristus sebagai satu-satunya jalan keselamatan. Bagi

Carson, perlu untuk memahami dan merespons tantangan ini dengan bijak, sambil

tetap mempertahankan keyakinan akan kebenaran Kristiani.


b. Keraguan Terhadap Narasi Besar: Era postmodern seringkali menciptakan

keraguan terhadap narasi besar atau cerita-cerita universal yang mencoba

menjelaskan makna dan tujuan kehidupan manusia. Carson mengenali bahwa

kekristenan adalah narasi besar yang mencakup cerita tentang penciptaan, dosa,

penebusan melalui Kristus, dan harapan akan kedatangan-Nya yang kedua. Dalam

konteks keraguan terhadap narasi besar ini, Carson mendorong refleksi tentang

bagaimana cerita Kristiani relevan dan memenuhi kebutuhan spiritual dan

eksistensial manusia pada era postmodern.

c. Keragaman Budaya yang Kaya: Carson menyadari bahwa budaya dalam era

postmodern sangat beragam dan seringkali diwarnai oleh pluralisme agama dan

nilai-nilai yang berbeda. Ini menuntut bagi orang Kristen untuk berinteraksi

dengan keragaman budaya tersebut dengan bijak, menghormati kepercayaan orang

lain sambil tetap setia pada iman mereka sendiri. Carson mendorong refleksi

tentang bagaimana agama Kristen dapat memberikan kontribusi positif dalam

masyarakat yang beragam ini tanpa mengorbankan prinsip-prinsip kekristenan

yang mendasar.

Dalam pandangan Carson, postmodernisme membawa tantangan serius bagi kekristenan,

tetapi juga membuka peluang untuk merenungkan kembali dan mendalami iman Kristiani

dalam konteks budaya yang berubah-ubah ini.

2. Mengidentifikasikan Ulang Postmodernisme:

D.A. Carson membahas bagaimana postmodernisme, sebagai gerakan atau pandangan

dunia, dapat diartikan ulang atau dipahami dari perspektif kekristenan. Ia memberikan

kemungkinan bahwa adanya usaha untuk menilai kritik postmodern terhadap modernitas

dan bagaimana kekristenan dapat menanggapi atau berdialog dengan kritik ini. Berikut
adalah beberapa poin kunci dalam pengidentifikasian ulang postmodernisme menurut D.A.

Carson:

• Pemahaman yang Lebih Akurat: Carson mengusulkan agar kita

memahami bahwa postmodernisme tidaklah sepenuhnya salah atau

sepenuhnya benar. Sebaliknya, ia mengajak untuk mengidentifikasi

elemen-elemen dalam postmodernisme yang dapat diterima atau sejalan

dengan pandangan Kristiani, sambil tetap waspada terhadap elemen-

elemen yang bertentangan.

• Pemahaman akan Keterbatasan: Carson menyoroti keterbatasan

pemikiran postmodernisme dalam mengatasi pertanyaan-pertanyaan

fundamental tentang makna hidup, moralitas, dan kebenaran. Ia mengajak

untuk mengakui bahwa postmodernisme mungkin tidak memberikan

jawaban yang memuaskan terhadap pertanyaan-pertanyaan ini dan bahwa

iman Kristen memiliki relevansi dalam memberikan panduan moral dan

kebenaran mutlak.

• Menghormati Keragaman: Carson merespons keragaman pandangan

dalam postmodernisme dengan menghargai keragaman tersebut tanpa

mengorbankan prinsip-prinsip iman Kristen yang mendasar. Ia

berpendapat bahwa kekristenan dapat berkontribusi dalam berbicara

dengan berbagai pandangan dan menghadapi keragaman budaya dengan

sikap hormat.

• Pengembangan Dialog: Carson mendorong dialog konstruktif antara

pandangan-pandangan dalam postmodernisme dan pandangan Kristiani. Ia

menyarankan agar kita tidak hanya menolak mentah-mentah

postmodernisme, tetapi juga mencari kesempatan untuk berbicara,


merenungkan, dan memperdalam pemahaman kita tentang agama,

kebudayaan, dan moralitas dalam era postmodern.

Dalam Bab ini Carson juga dapat mengeksplorasi bagaimana kekristenan mungkin

memberikan jawaban atau alternatif terhadap beberapa masalah atau pertanyaan yang

diajukan oleh postmodernisme. D.A. Carson, dalam karyanya tentang Kristus dan

Kebudayaan, menyajikan sejumlah jawaban atau alternatif terhadap beberapa masalah atau

pertanyaan yang diajukan oleh postmodernisme. Berikut beberapa poin kunci yang dapat

dianggap sebagai respons dari perspektif Carson terhadap isu-isu postmodernisme:

a. Penekanan pada Kebenaran Absolut: Carson menekankan pentingnya

kebenaran absolut dalam kekristenan. Ia berpendapat bahwa, meskipun

postmodernisme cenderung menggantungkan segalanya pada relatifitas,

kekristenan memegang teguh kebenaran yang tidak berubah dalam ajaran-ajaran

Alkitab. Sebagai alternatif, Carson mendorong orang untuk mencari dan mengakui

kebenaran mutlak yang terkandung dalam iman Kristen.

b. Pentingnya Penjelasan dan Apologetika: D.A. Carson mendukung

pendekatan apologetika yang kuat dalam menanggapi tantangan postmodernisme.

Ia berpendapat bahwa orang Kristen harus siap untuk memberikan alasan yang

rasional dan mendalam mengenai keyakinan mereka kepada orang lain. Ini adalah

alternatif yang diajukan Carson untuk merespons keraguan postmodernisme

terhadap narasi besar atau keyakinan keagamaan.

c. Memahami Budaya Tanpa Kompromi: Carson merespons keragaman budaya

dengan menjelaskan pentingnya memahami budaya secara mendalam, tetapi tanpa

mengorbankan prinsip-prinsip iman Kristen. Ia mengajak orang Kristen untuk

berinteraksi dengan budaya dengan bijak, mengambil yang baik dan


mempertahankan integritas iman mereka. Ini adalah cara Carson merespons

keragaman budaya yang kaya.

d. Kristus Sebagai Landasan: Dalam semua respons terhadap postmodernisme,

Carson menekankan bahwa Kristus harus tetap menjadi landasan dan panduan

utama bagi orang Kristen. Kristus dilihat sebagai kekuatan yang mendorong

perubahan positif dalam budaya, serta sebagai sumber kebenaran mutlak dan nilai-

nilai moral yang harus dipertahankan.

e. Menghadapi Keraguan: Carson merespons keraguan postmodernisme dengan

mengajak orang Kristen untuk merenungkan kembali iman mereka secara

mendalam, memahami dasar-dasar keyakinan Kristen, dan mempersiapkan diri

untuk menjawab pertanyaan dan keraguan yang mungkin timbul dalam konteks

postmodern.

Dalam pandangan D.A. Carson, iman Kristen harus tetap kuat dan relevan dalam

menghadapi tantangan-tantangan postmodernisme, dan ini dapat dicapai melalui pemahaman

mendalam tentang ajaran-ajaran Kristiani dan keterlibatan yang bijaksana dalam budaya

kontemporer.

3. Integrasi:

- Bab ini mencari cara-cara untuk mengintegrasikan pandangan kekristenan dengan

pengamatan budaya postmodern, mencari titik-titik temu dan perbedaan, dan menawarkan

jalan maju untuk kekristenan dalam dialog dengan budaya dan postmodernisme.

Dalam Bab 4 dan 5 dari bukunya, D.A. Carson mengangkat berbagai isu kontemporer

yang relevan dalam masyarakat saat ini. Carson berusaha untuk merespons beragam pertanyaan

dan perdebatan yang melibatkan pandangan orang Kristen terhadap perkembangan zaman. Dia
mengawali pembahasannya dengan menjelaskan pandangan orang Kristen terhadap sekularisasi,

yang sering kali menciptakan kekhawatiran tentang hilangnya nilai-nilai agama dalam

masyarakat. Carson menggarisbawahi pentingnya membedakan antara pemerintahan demokratis

dan Kerajaan, mengingat bahwa kedua entitas ini memiliki ciri khas dan peran yang berbeda

dalam kehidupan masyarakat.

Dalam bukunya, Carson juga mengajak kita untuk merenungkan dampak yang mungkin

timbul dari kebebasan. Ia menunjukkan bahwa kebebasan, jika tidak dijalankan dengan bijak,

dapat menjadi sebuah ancaman. Carson menyusun argumen yang mempertanyakan kesempurnaan

citra Barat tentang kebebasan dan kemakmuran, sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip

Alkitabiah sebagai panduan utama.

Pada Bab 4 khususnya, D.A. Carson mengeksplorasi hubungan antara kekristenan dengan

beberapa konsep kunci dalam masyarakat modern, yaitu sekularisme, demokrasi, kebebasan, dan

kekuasaan.

1. Sekularisme:

Dalam menghadapi sekularisme, Carson menggarisbawahi pentingnya pembelaan

rasional akan keyakinan Kristen. Ia memotivasi orang Kristen untuk memahami dasar-

dasar keyakinan mereka dengan lebih mendalam dan siap memberikan alasan mengapa

iman Kristen memiliki relevansi dan kebenaran dalam kehidupan yang semakin sekuler.

Bagi Carson, sekularisme merupakan tantangan serius bagi iman Kristen karena dapat

mengaburkan atau menghancurkan peran keagamaan dalam kehidupan individu dan

masyarakat. Ini memaksa orang Kristen untuk mempertanyakan bagaimana mereka

dapat mempertahankan keyakinan mereka dalam lingkungan yang semakin sekuler.

sekularisme sering kali menyebabkan reduksi peran agama dalam kehidupan

masyarakat. Nilai-nilai dan etika agama cenderung diabaikan atau dianggap tidak

penting dalam pengambilan keputusan publik, hukum, dan norma sosial. Carson melihat
sekularisme sebagai pemisahan antara agama dan kebudayaan. Ini berarti bahwa dalam

masyarakat yang semakin sekuler, agama dan nilai-nilai keagamaan sering dianggap

sebagai masalah pribadi yang tidak relevan dalam kehidupan publik dan budaya umum.

2. Demokrasi:

Carson menyoroti bahwa demokrasi seringkali memberikan tantangan etis yang serius

dalam pengambilan keputusan publik. Ia menggarisbawahi pentingnya penerapan prinsip-

prinsip etis dan moral dalam proses demokratis, terutama dalam konteks kekristenan yang

memiliki pandangan moral yang jelas. Dalam bukunya, Carson membahas bagaimana

nilai-nilai demokratis sangat mungkin bersinggungan atau konflik dengan nilai-nilai

kekristenan. Ia mendorong orang Kristen untuk memahami implikasi moral dari keputusan

politik dan untuk tetap setia pada prinsip-prinsip Alkitabiah dalam partisipasi mereka

dalam sistem demokratis. Carson juga membahas bagaimana kekristenan telah

berkontribusi pada perkembangan demokrasi dan sebaliknya, bagaimana perkembangan

demokrasi mungkin memengaruhi atau mempengaruhi perkembangan kekristenan dalam

masyarakat. Ini menggarisbawahi pentingnya memahami interaksi kompleks antara agama

dan politik dalam konteks demokrasi. D.A. Carson tidak memberikan pandangan tunggal

atau definitif tentang demokrasi, tetapi ia menekankan perlunya refleksi etis dan

pemahaman mendalam tentang implikasi politik dari perspektif kekristenan. Dalam

pandangannya, demokrasi adalah salah satu aspek dari budaya kontemporer yang harus

dianalisis dan dihadapi dengan bijak oleh orang Kristen.

3. Kebebasan:

Analisis mengenai konsep kebebasan dalam kekristenan, seperti kebebasan dalam Kristus,

dibandingkan dengan konsep kebebasan dalam masyarakat sekular. Mungkin ada

eksplorasi mengenai tantangan-tantangan etika yang muncul dari ide kebebasan dalam

konteks budaya modern.


4. Kekuasaan:

Diskusi tentang bagaimana kekristenan memahami dan berhubungan dengan kekuasaan,

baik dalam struktur gerejawi maupun dalam masyarakat umum. Mungkin ada refleksi

tentang bagaimana kekristenan harus berperan dalam isu-isu keadilan sosial, politik, dan

ekonomi.

Dalam bab terakhir, Carson mengulas berbagai model pemikiran yang berkaitan dengan isu-

isu Kristus dan kebudayaan. Ia tidak hanya menyajikan model-model ini sebagai "pilihan" yang

layak dipertimbangkan, tetapi juga memberikan apresiasi dan kritik terhadap masing-masing

model. Dengan demikian, Carson menghadirkan perspektif yang mendalam dan seimbang dalam

memahami kompleksitas hubungan antara iman Kristen dan budaya dalam konteks zaman kita

yang terus berubah.

D. Tanggapan Kritis :

"Kristus dan Kebudayaan: Sebuah Kajian Baru" karya D.A. Carson adalah sebuah buku

yang memperkenalkan pandangan dan pemikiran Carson tentang hubungan antara iman Kristen

dan budaya. Meskipun buku ini telah mendapatkan banyak penghargaan dan pujian, seperti yang

dijelaskan dalam ulasan-ulasan positifnya, penulis memiliki beberapa tanggapan kritis yang dapat

dipaparkan terhadap bukunya:

1. Pendekatan Teologis yang Konservatif: Penulis menilai bahwa Carson menerapkan

pendekatan teologis yang terlalu konservatif dalam memahami dan merespons isu-isu budaya

kontemporer. Penulis berpendapat bahwa pandangan D.A. Carson cenderung melihat budaya

secara skeptis atau bahkan menolak beberapa aspek dari budaya modern, tanpa memberikan cukup

ruang untuk dialog atau penyelidikan yang lebih mendalam.


2. Keterbatasan Dalam Mengatasi Kekompleksan Budaya: Penulis sependapat dengan

beberapa teologi dan kritikus dalam review google books buku ini, yang mengatakan bahwa buku

ini mungkin memiliki keterbatasan dalam mengatasi kekompleksan budaya kontemporer yang

semakin beragam dan dinamis. Penulis merasa bahwa Carson tidak memberikan solusi yang

cukup konkret atau relevan untuk tantangan-tantangan budaya yang spesifik di era postmodern.

3. Kelengkapan Tinjauan Terhadap Pemikiran Lain: Penulis sesungguhnya

mengharapkan buku ini untuk memberikan tinjauan yang lebih komprehensif terhadap pemikiran-

pemikiran lain tentang hubungan antara Kristus dan kebudayaan. Carson mungkin tidak

memberikan ruang yang cukup untuk membahas pandangan-pandangan yang berbeda, sehingga

beberapa pembaca mungkin merasa bahwa bukunya kurang inklusif.

4. Bahasa yang Rumit: Penulis menemukan fakta bahwa Carson dikenal dengan

bahasanya yang akademis dan seringkali kompleks. Menurut penulis, ini bisa menjadi tantangan

bagi beberapa pembaca dan bahkan penulis sendiri, khususnya yang tidak memiliki latar belakang

teologis atau filosofis yang kuat, karena dapat membuat buku ini sulit dipahami.

You might also like