You are on page 1of 35

Sub Departemen THT-KL

RS TK II Moh. Ridwan Meuraksa

CASE REPORT
Sinusitis Maxillaris Dextra Akut Dentogen dengan
Rhinosinusitis Kronik

disusun oleh:
Soraya Haji Muhamad
1102013279

Pembimbing:
Mayor CKM dr. Junicko Sacrifian A, Sp.THT-KL
Koloner (Purn) dr. Tri Damijatno, Sp.THT-KL

KEPANITRAAN ILMU PENYAKIT THT


PERIODE 5 FEBRUARI – 10 MARET 2018

1
RUMAH SAKIT TK II MOHAMMAD RIDAN MEURAKSA
JAKARTA TIMUR

Sinusitis Maxillaris Dextra Akut Dentogen


dengan Rhinosinusitis Kronik

Soraya Haji Muhamad

Abstrak
Rinosinusitis, istilah bagi suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa hidung dan sinus
paranasal, yang dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor mulai dari penyakit LPR, polip,
polusi, merokok, malformasi anatomis seperti penyimpangan septum, reaksi alergi, maupun
infeksi yang masih dianggap remeh seperti infeksi gigi. Padahal infeksi gigi, selain dapat
menyebabkan rinosinusitis, juga dapat menyebabkan komplikasi berbahaya. Untuk itu perlu
kecurigaan akan adanya penyakit sinusitis maksila yang berasal dari gigi apabila dijumpai
penderita dengan keluhan utama hidung meler yang berbau, dan terdapatnya infeksi gigi molar
untuk segera diberikan pengobatan yang optimal.

Kata Kunci: Rinosinusitis, sinusitis maksila, infeksi gigi

Abstract
Rhinosinusitis, a term for an inflammatory process involving the nasal mucosa and paranasal
sinuses, which can be caused by various factors ranging from LPR disease, polyps, pollution,
smoking, anatomical malformations such as septal deviations, allergic reactions, or infections
that are still underestimated as infections tooth. Though dental infection, in addition to causing
rhinosinusitis, can also cause dangerous complications. It is necessary to suspect the presence of
maxillary sinusitis disease from the teeth when the patient encounters a major complaint of
runny nose smell, and the presence of molar tooth infection to be given optimal treatment.

Keywords : Rhinosinusitis, maxillaris sinusitis, dental infection

2
PENDAHULUAN
Rhinosinusitis sesuai kriteria EPOS (European Position Paper on Rhinosinusittis and
Nasal Polyposis) 2012 adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai adanya dua
atau lebih gejala berupa hidung tersumbat, sekret hidung (anterior maupun posterior nasal
drip) dan dapat disertai
1) Nyeri Fasial/ rasa tertekan di wajah
2) Hiposmia/anosmia
Atau dengan endoskopi dapat ditemukan:
1. Polip Nasi
2. Sekret Mukopurulen terutama di meatus nasi medius dan/atau
3. Oedem atau obstruksi mukosa terutama meatus medius atau dapat disertai hasil
pemeriksaan CT Scan berupa:
1. Perubahan mukosa kompleks oastiomeatal dan/atau sinus paranasal. 2
Disebut Rhinosinusitis akut apabila gejala kurang dari 12 minggu. Disebut kronik
apanila gejala lebih daru 12 minggu
Berdasarkan penyebabnya rinosinusitis dibagi kepada sinusitis tipe rinogen dan
sinusitis tipe dentogen. Rinosinusitis tipe rinogen terjadi disebabkan kelainan atau masalah di
hidung yang menyebabkan sumbatan pada hidung dan menyebabkan sinusitis. Tipe rinogenik
umumnya merupakan lanjutan dari rinosinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat
Rinosinusitis tipe dentogen terjadi disebabkan karena kelainan gigi, keadaan yang sering
menyebabkan rinosinusitis tipe ini adalah infeksi pada gigi geraham atas yaitu pre molar dan
molar.11
Secara anatomis apeks gigi-gigi rahang atas sangat dekat dengan dasar sinus, terutama
sinus maksilaris. Gigi yang berlubang, adanya abses atau infeksi di sekitar gigi harus segera
diobati sebab masalah gigi di rahang atas dapat menjalar ke sinus1

KEKERAPAN/INSIDEN
Berdasarkan data dari US Centers for Disease Control and Prevention lebih dari 35
juta orang dewasa Amerika menderita rinosinusitis atau sekitar 17,4% dari seluruh orang
dewasa di Amerika Serikat, bahkan rinosinusitis kronis lebih banyak dari penyakit jantung
dan migrain.2 Insiden pada orang dewasa antara 10-15% dari seluruh kasus rinosinusitis yang
berasal dari infeksi gigi.11
Data dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2003 menyatakan bahwa
penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke 25 dari 50 pola penyakit tingkat utama atau
sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Data dari Departemen Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher THT-KL RS Hasan Sadikin tahun
2011 tercatat 46% kasus Rhinosinusitis.3
Poliklinik THT-KL RS TK II Moh Ridwan Meuraksa tercatat sepanjang bulan desember
2017 angka kejadian rhinosinusitis dan penyakit sinus lainnya sebanyak 42 orang.
Merupakan urutan ke 3 setelah penyakit telinga dan laryngitis.
Ramalinggam (1990) di Madras, India mendapatkan bahwa rinosinusitis maksila tipe
dentogen sebanyak 10% kasus yang disebabkan oleh abses gigi dan abses apikal..11
3
ANATOMI SINUS PARANASAL DAN GIGI GELIGI

Anatomi Sinus Paranasal


Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi
karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu.
Ada 4 pasang sinus paranasal mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal,
sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi
tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai
muara (ostium) ke dalam rongga hidung.4

Gambar 1. Sinus Paranasal12

Gambar 2. Hidung dan Sinus13

1. Sinus Maksila
Sinus maksila disebut juga antrum high more, merupakan sinus yang sering terinfeksi,
oleh karena 1) Merupakan sinus paranasal yang terbesar; 2) Letak ostiumnya lebih tinggi dari
dasar, sehingga aliran sekret atau drainase dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan
silia; 3) Dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi
dapat menyebabkan sinusitis maksila; 4) ostium sinus maksila terletak di meatus medius,
disekitar hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah 1) Dasar
sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2),
molar (M1 dan M2), kadang-kadang gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar gigi
tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi mudah naik ke atas

4
menyebabkan sinusitis; 2) Sinusitis dapat menimbulkan komplikasi orbita; 3) Ostium sinus
maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase tergantung dari gerak silia,
lagipula darinase harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari
sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang dan alergi pada daerah ini dapat
menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis. 4

2. Sinus Frontal
Sinus frontal terletak di os frontal, mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus, berasal
dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal
mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia
20 tahun. 4
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada yang
lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang
dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak
berkembang. 4
Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm, dan dalamnya 2 cm.
Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran
septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen merupakan adanya infeksi
sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri
anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini.
Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang
berhubungan dengan infundibulum etmoid. 4

3. Sinus Ethmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini
dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya.
Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti pyramid dengan dasarnya di bagian posterior4
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon,
yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara media dan
dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi. Berdasarkan letaknya sinus, sinus
etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior dan sinus etmoid posterior yang bermuara di
meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di
depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral
(lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih
sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis.4
Di bagian depan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal,
yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di
daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat
bermuaranya sinus maksila.
Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis
frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila. 4

5
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa.
Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid
dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasn denga sinus sfenoid. 4

4. Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus
sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm
tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7,5 ml. Saat
sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi
sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus
sfenoid. 4
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar
hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus
kavernosus dan arteri karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah
posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior dan pons. 4

Anatomi Gigi Geligi

Gambar 3. Susunan Gigi permanen orang dewasa16

6
Gambar 4. Struktur Anatomi Gigi16

ada bagian gigi manusia terstruktur / tersusun atas 4 (empat) jaringan yakni :

1.Mahkota
Merupakan bagian yang menonjol dari rahang

2.Leher
Merupakan bagian yang terletak antara mahkota dengan bagian akar gigi

3.Akar
Merupakan bagian yang tertanam di dalam rahang

4. Email
Dikenal juga dengan istilah "Enamel", merupakan jaringan yang berfungsi untuk melindungi
tulang gigi dengan zat yang sangat keras yang berada di bagian paling luar gigi manusia.
merupakan bagian gigi yang paling keras. Enamel inilah yang melapisi mahkota gigi dan
mempunyai ketebalan yang bervariasi mulai bagian puncak mahkota dan akan semakin
menipis ketebalannya pada dasar mahkota, tepatnya pada perbatasan mahkota dengan akar
gigi. Warna email gigi pun sebenarnya tidak putih mutlak, kebanyakan lebih mengarah
keabu-abuan dan semi translusen. Kecuali pada kondisi enamel yang abnormal seringkali
menghasilkan warna yang menyimpang dari warna normal enamel dan cenderung mengarah
ke warna yang lebih gelap.

Semakin menuju ke bagian dalam dari enamel, kekerasannya akan semakin berkurang.
Bagian email ini pula yang menjadi awal terjadinya lubang pada gigi, karena sifatnya mudah
larut terhadap asam, dan kelarutannya juga meningkat seiring dengan semakin dalamnya
lapisan enamel.

5.Tulang
Dikenal juga dengan istilah "Dentin" yaitu tulang merupakan lapisan yang berada pada
lapisan setelah email yang dibentuk dari zat kapur. Dentin juga merupakan bagian yang
7
terluas dari struktur gigi, meliputi seluruh panjang gigi mulai dari mahkota hingga akar.
Dentin pada mahkota gigi dentin dilapisi oleh enamel, sedangkan dentin pada akar gigi
dilapisi oleh semen. Kalau kita amati, bagian ini memegang peranan yang sangat penting
yaitu sebagai pelindung dari ruang pulpa. Jadi sebenarnya bagian inilah yang menjadi
pertahanan kedua gigi kita setelah enamel.

6.Semen
Dikenal juga dengan istilah "Sementum", merupakan bagian dari akar gigi yang
berdampingan dan berbatasan langsung dengan bagian tulang rahang di mana gigi manusia
tumbuh. Seperti halnya pada bagian email yang melapisi dentin, semen juga melapisi dentin
namun untuk dentin pada bagian akar gigi. Sementum ini secara normal tidak tampak dari
pandangan kita, namun tertutup oleh tulang dan dilapisi oleh gusi. Pada beberapa kondisi
abnormal, sementum akantampak.
Semua struktur jaringan keras gigi akan berintegrasi membentuk struktur yang lebih kuat.

7..Pulp
Adalah rongga yang di dalamnya terdapat pembuluh darah kapiler dan serabut-serabut saraf.

FISIOLOGI SINUS PARANASAL


Beberapa teori dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain

1. Pengatur Kondisi Udara (Air Conditioning)


Sinus sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara
inspirasi. Keberatan terhadap teori ini karena tidak didapati pertukaran udara yang definitif
antara sinus dan rongga hidung. Volume pertukaram udara dalam ventilasi sinus kurang lebih
1/1000 volume sinus tiap kali bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran
udara total dalam sinus. Mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar sebanyak
mukosa sinus. 4

2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)


Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan panas, melindungi orbita dan fosa serebri
dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.4
8
3. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Namun
juka udara dalam sinus diganti tulang hanya akan memberikan pertambahan berat 1% dari
berat kepala sehingga teori ini dianggap tidak bermakna. 4

4. Membantu Resonansi suara


Sinus berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas
suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan
sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. 4

5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara


Fungsi berjalan saat ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak misalnya saat
bersin dan membuang ingus

6. Membantu produksi mukus


Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal jumlahnya memang kecil dibandingkan
mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk
dengan udara inspirasi karena mukus keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.
4

ETIOLOGI DAN PATOFISOLOGI

Johnson dan Ferguson (1998) menyatakan bahwa karena mukosa kavum nasi dan
sinus paranasal saling berhubungan sebagai satu kesatuan maka inflamasi yang terjadi pada
kavum nasi biasanya berhubungan dengan inflamasi dalam sinus paranasal.1 Secara histologi,
mukosa kavum nasi dan mukosa sinus mempunyai sejumlah kesamaan; mucous blanket sinus
senantiasa berhubungan dengan kavum nasi dan pada studi dengan CT-Scan untuk common
cold ditunjukkan bahwa mukosa kavum nasi dan sinus secara simultan mengalami proses
inflamasi bersama-sama. Alasan lainnya karena sebagian besar penderita sinusitis juga
menderita rinitis, jarang sinusitis tanpa disertai rinitis, gejala pilek, buntu hidung dan
berkurangnya penciuman ditemukan baik pada sinusitis maupun rinitis. Fakta tersebut
menunjukkan bahwa sinusitis merupakan kelanjutan dari rinitis, yang mendukung konsep
“united airway disease” yaitu bahwa penyakit di salah satu bagian saluran napas akan
cenderung berkembang ke bagian yang lain.3 Hubungan antara sinus paranasal dan kavum
nasi secara lebih jelas dapat dilihat pada gambar 3 dibawah ini.

Gambar 5.
Hubungan
antara sinus
paranasal
dan kavum
9
nasi dan struktur yang terdapat pada kompleks ostiomeatal meatus medius.1
1. Etiologi
Publikasi Task Force (2003) menyatakan bahwa rinosinusitis kronik merupakan hasil
akhir dari proses inflamatori dengan kontribusi beberapa faktor yaitu “faktor sistemik, faktor
lokal dan faktor lingkungan”.5-6 Berdasarkan ketiga kelompok tersebut, maka faktor etiologi
rinosinusitis kronik dapat dibagi lagi menjadi berbagai penyebab secara spesifik, ini dapat
dilihat pada tabel 1 berikut.5-6

Tabel 1. Faktor etiologi rinosinusitis kronik, dikelompokkan masing-masing berdasarkan


faktor genetik/fisiologik, lingkungan dan struktural.5
Genetic/PhysiologicFactors Environmental Structural Factors
Factors
Airway hyperreactivity Allergy Septal deviation
Immunodeficiency Smoking Concha bullosa
Aspirin sensitivity Irritants/pollution Dental disease
Ciliary dysfunction Viruses Foreign bodies
Cystic fibrosis Blacteria Bone inflamation
Autoimmune disease Fungi craniofacial
Granulomatous disorders Stress Barotrauma
2. Patofisiologi
Faktor Genetik / Fisiologik
Hipereaktivitas saluran napas (asma) merupakan faktor yang berperan bagi rinosinusitis
kronik, banyak penelitian menemukan ada asosiasi yang kuat antara asma dengan
rinosinusitis kronik.2,5
Imunodefisiensi (bawaan atau dapatan) juga berperan terhadap rinosinusitis kronik.
Penelitian Chee dkk (2001) menunjukkan bahwa pada keadaan level imunoglobulin (IgG,
IgA, IgM) yang rendah dan kurangnya fungsi sel limfosit T, maka kejadian sinusitis yang
refrakter cenderung meningkat. Defisiensi IgG adalah yang paling sering menjadi penyebab
bagi rinosinusitis kronik.2,5 Pada individu dengan HIV, rinosinusitis sering terjadi (38-68 %)
dengan klinis yang lebih berat namun resisten terhadap terapi.2,5,6
Faktor Lingkungan
Faktor iritan dan polutan banyak memberikan implikasi bagi perkembangan
rinosinusitis kronik, antara lain : asap rokok, debu, ozon, sulfur dioksida, komponen volatil
organik, dll.9-10 Bahan polutan ini bertindak sebagai iritan nasal mengakibatkan kekeringan
dan inflamasi lokal diikuti influks neutrofil. Sebagai tambahan, asap rokok juga
menyebabkan kelainan siliar sekunder dengan defek mikrotubular primer.
Peranan virus dalam menyebabkan rinosinusitis kronik belum sepenuhnya jelas. Pada
studi epidemiologik skala besar, Gable dkk (1994) menemukan peningkatan insiden
rinosinusitis kronik selama musim infeksi saluran pernapasan atas. Sedangkan studi yang
melibatkan manusia dan hewan, menunjukkan bahwa virus menyebabkan perubahan
morfologis dan fungsional multipel pada sel epitel nasal, termasuk peningkatan pelepasan sel
epitel, pemendekan silia, berkurangnya frekuensi gerakan silia serta penurunan klirens
10
mukosiliar. Adenovirus dan RSV (respiratory syncytial virus) didapatkan pada pasien
rinosinusitis kronik yang menjalani operasi sinus endoskopik.9
Gambaran bakteriologi rinosinusitis kronik kuman yang predominan adalah S.aureus,
Stafilokakus koagulase negatif, bakteri anaerob dan gram negatif. Sedangkan pada
rinosinusitis akut, kuman predominan antara lain S.pneumoniae, H.influenzae dan
M.catarrhalis.2
Pada orang dewasa, gambaran kuman umumnya polimikrobial baik gram positif
maupun gram negatif, aerob dan anaerob.Kuman aerob yang terisolasi berkisar antara 50-100
% sedangkan kuman anaerob berkisar antara 0-100 %. Kuman anaerob banyak terdapat pada
infeksi sekunder akibat masalah gigi.2
Para peneliti berpendapat bahwa bakteri dapat secara langsung bertindak
mengaktifkan kaskade inflamatori, disamping fungsi tradisional mereka yang berlaku sebagai
agen infeksius. Pada individu yang suseptibel, bakteri superantigen seperti staphylococcal
enterotoxin dapat langsung mengaktifkan sel limfosit T melalui jalur aktivasi sel T dengan
mekanisme antigen presenting cell.3,6 Istilah superantigen digunakan untuk menjelaskan
kemampuan bakteri (S.aureus dan S.pyogenes) memproduksi partikel yang dapat
mengaktifkan sejumlah besar suppopulasi sel T (berkisar antara 5–30 %) yang kontras
dengan antigen topikal konvensional (kurang dari 0,01 %).3,6 Pada jalur tradisional, antigen
difagosit oleh APC (antigen presenting cell), terdegradasi menjadi sejumlah fragmen peptida
yang kemudian diproses pada permukaan sel setelah berikatan dengan reseptor MHC (major
histocompatibility complex) kelas II, selanjutnya akan dikenal oleh sel limfosit T yang
kompatibel dan dimulailah respon inflamasi.6
Superantigen mempunyai kemampuan memintas proses diatas, langsung berikatan
dengan permukaan domain HLA-DR alpha pada MHC kelas II dan domain V beta pada
reseptor sel T. Selanjutnya terjadi stimulasi ekspresi masif IL-2, kemudian IL-2 menstimulasi
produksi sitokin lainnya seperti TNF-α, IL-1, IL-8 dan PAF (platelet activating factor) yang
memicu terjadinya respon inflamasi.6
Faktor Struktural
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens
mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks osteomeatal.9,10,12 Sinus dilapisi oleh
sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu
lapisan viscous superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel
epitel untuk membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta mengandungi zat-zat
yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama
udara pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika
jumlahnya berlebihan. Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya
sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan
menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel
sel mensekresikan cairan mukus dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi silia ini akan
menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus.15
Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga
rongga sinus maksila hanya dipisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan kadang-
kadang tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau
11
inflamasi jaringan periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus atau melalui
pembuluh darah dan limfe.15
Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena infeksi bakteri
anaerob menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga jaringan lunak gigi dan sekitarnya
rusak. Pada pulpa yang terbuka, kuman akan masuk dan mengadakan pembusukan pada
pulpa sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai selaput
periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama sehingga
terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian dapat meluas dan mencapai tulang alveolar
menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga
memicu inflamasi mukosa sinus. Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus dan abnormalitas
sekresi mukus menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus sehingga terjadinya sinusitis
maksila.
DIAGNOSIS
Task Force on Rhinosinusitis (TFR) 2003, ada tiga kriteria yang dibutuhkan untuk
mendiagnosis rinosinusitis akut, berdasarkan penemuan pada pemeriksaan fisik seperti
ditampilkan pada tabel 2.5,7 Diagnosis klinik ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang meliputi transiluminasi, pemeriksaan radiologi, endoskopi
nasal, CT-scan dan lainnya
REQUIREMENTS FOR DIAGNOSIS OF CHRONIC RHINOSINUSITIS
(2003 TASK FORCE)
Duration Physical findings (on of the following must be present)
Tab
>12 weeks of continuous 1. Discolored nasal discharge, polyps, or polypoid
el 2.
symptoms (as described swelling on anterior rhinoscopy (with
Krit
by 1996 Task Force) or decongestion) or nasal endoscopy
eria
physical findings 2. Edema or erythema in middle meatus on nasal
diag
endoscopy
nosi
3. Generalized or localized edema, erythema, or
s
granulation tissue in nasal cavity. If it does not
rino
involve the middle meatus, imaging is required for
sinu
diagnosis
sitis
4. Imaging confirming diagnosis (plain filmsa or
kron
computerized tomography)b
ik
terdi
ri dari durasi dan pemeriksaan fisik. Bila hanya ditemukan gambaran radiologis namun tanpa
klinis lainnya maka diagnosis tidak dapat ditegakkan

12
Diagnosis rinosinusitis kronik tanpa polip nasi (pada dewasa) berdasarkan EPOS 2012
ditegakkan berdasarkan penilaian subyektif, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
lainnya.2
Penilaian subyektif berdasarkan pada keluhan, berlangsung kurang dari 12 minggu:2
1) Buntu hidung, kongesti atau sesak
2) Sekret hidung / post nasal drip, umumnya mukopurulen
3) Nyeri wajah / tekanan, nyeri kepala dan
4) Penurunan / hilangnya penciuman
Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup rinoskopi anterior dan posterior.2 Yang menjadi
pembeda antara kelompok rinosinusitis kronik tanpa dan dengan nasal polip adalah
ditemukannya jaringan polip / jaringan polipoid pada pemeriksaan rinoskopi
anterior.Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain endoskopi nasal, sitologi dan
bakteriologi nasal, pencitraan (foto polos sinus, transiluminasi, CT-scan dan MRI),
pemeriksaan fungsi mukosiliar, penilaian nasal airway, fungsi penciuman dan pemeriksaan
laboratorium.2
Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri atau rasa
tertekan pada muka dan ingus purulen yang sering kali turun ke tenggorok (post nasal drip).
Disertai gejala sistemik demam dan lesi.

Keluhan nyeri atau rasa tertekan di daerah sinus yang terkena merupakan gejala
sinusitis akut, kadang-kadang nyeri dirasakan di tempat lain (referred pain). Nyeri pipi
menandakan sinusitis maksila, pada sinusitis maksila didapatkan adanya nyeri alih ke gigi
dan telinga, nyeri di antara atau dibelakang kedua mata ciri sinus etmoid. Nyeri di dahi atau
diseluruh kepala menandakan sinusitis frontal.
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang 1 atau
2 dari gejala-gejala dibawah ini yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik,
gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba eustachi.
Anamnesis
Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam menilai gejala-
gejala yang ada pada kriteria diatas, mengingat patofisiologi rinosinusitis kronik yang
kompleks.3 Adanya penyebab infeksi baik bakteri maupun virus, adanya latar belakang alergi
atau kemungkinan kelainan anatomis rongga hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat
penyakit yang lengkap. Informasi lain yang perlu berkaitan dengan keluhan yang dialami
penderita mencakup durasi keluhan, lokasi, faktor yang memperingan atau memperberat serta
riwayat pengobatan yang sudah dilakukan.

Menurut EPOS 2012, keluhan subyektif yang dapat menjadi dasar rinosinusitis kronik
adalah:

13
1) Obstruksi nasal
Keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi aliran udara
mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan sekitarnya
2) Sekret / discharge nasal
Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip
3) Abnormalitas penciuman
4) Nyeri / tekanan facial
Pemeriksaan Fisik
 Pada inspeksi, pemeriksaan yang diperhatikan ialah adanya pembengkakan pada muka.
Palpasi didapatkan nyeri tekan pada pipi yang sakit.
 Rinoskopi anterior dengan cahaya lampu kepala yang adekuat dan kondisi rongga
hidung yang lapang (sudah diberi topikal dekongestan sebelumnya) Dengan rinoskopi
anterior dapat dilihat kelainan rongga hidung yang berkaitan dengan rinosinusitis kronik
seperti udem konka, hiperemi, sekret (nasal drip), krusta, deviasi septum, tumor atau
polip.2,3,5
 Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang rongga
hidung.2,3,5

Pemeriksaan Penunjang
 Transiluminasi, merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai kondisi
sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat perbedaan
transiluminasi antara sinus kanan dan kiri.2,3
 Endoskopi nasal, dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret, patensi
kompleks ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar orifisium tuba, hipertrofi
adenoid dan penampakan mukosa sinus. Indikasi endoskopi nasal yaitu evaluasi bila
pengobatan konservatif mengalami kegagalan.2 Untuk rinosinusitis kronik, endoskopi
nasal mempunyai tingkat sensitivitas sebesar 46 % dan spesifisitas 86 %.2,3
 Radiologi merupakan Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah foto sinus paranasal
(Water’s,Caldwel dan lateral),CT scan dan MRI. Foto sinus paranasal cukup informatif
pada RSA akan tetapi CT scan merupakan pemeriksaan radilogis yang mempunyai nilai
objektif yang tinggi. Indikasi pemeriksaan CT scan adalah untuk evaluasi penyakit lebih
lanjut apabila pengobatan medikamentosa tidak memberi respon seperti yang
diharapkan. Kelainan pada sinus
 maupun kompleks ostiomeatal dapat terlihat dengan jelas melalui pemeriksaan ini.

 Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain:2,3,5


1. Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi
2. Tes alergi
3. Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar siliar, mikroskop
elektron dan nitrit oksida

14
4. Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory peakflow,
rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri
5. Tes fungsi olfaktori: threshold testing
6. Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reactive protein)

PENATALAKSANAAN
Terapi Medikamentosa
Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan rinosinusitis kronik
yakni berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan penderita, membantu dalam diagnosis
rinosinusitis kronik.
Pada dasarnya yang ingin dicapai melalui terapi medikamentosa adalah kembalinya
fungsi drainase ostium sinus dengan mengembalikan kondisi normal rongga hidung.
1. Antibiotika, merupakan modalitas tambahan pada rinosinusitis kronik mengingat terapi
utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika yang digunakan adalah antibiotika spektrum
luas antara lain:
a. Amoksisilin + asam klavulanat10
b. Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefixime
c. Florokuinolon : ciprofloksasin
d. Makrolid : eritromisin, klaritromisin, azitromisin
e. Klindamisin
f. Metronidazole
2. Antiinflamatori dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau sistemik10
3. Terapi penunjang lainnya meliputi:
g. Dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis α-adrenergik10
h. Antihistamin
i. Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat, sodium nedokromil
j. Mukolitik
k. Antagonis leukotrien
l. Imunoterapi
m. Lainnya: humidifikasi, irigasi dengan salin, olahraga, avoidance terhadap iritan dan
nutrisi yang cukup

Terapi Pembedahan
Beberapa jenis tindakan pembedahan yang dilakukan untuk rinosinusitis kronik tanpa
polip nasi ialah:
1. Sinus maksila:
a) Operasi Caldwell-Luc

2. Sinus etmoid:
a) Etmoidektomi intranasal, eksternal dan transantral
3. Sinus frontal:
a) Intranasal, ekstranasal
b) Frontal sinus septoplasty
15
c) Fronto-etmoidektomi
4. Sinus sfenoid :
a) Trans nasal
b) Trans sfenoidal

5. FESS (functional endoscopic sinus surgery), dipublikasikan pertama kali oleh


Messerklinger tahun 1978. Indikasi tindakan FESS adalah:
a) Sinusitis (semua sinus paranasal) akut rekuren atau kronis
b) Poliposis nasi
c) Mukokel sinus paranasal
d) Mikosis sinus paranasal
e) Benda asing
f) Osteoma kecil
g) Tumor (terutama jinak, atau pada beberapa tumor ganas)
h) Dekompresi orbita / n.optikus
i) Fistula likuor serebrospinalis dan meningo ensefalokel
j) Atresia koanae

Gambar 6. Skema penatalaksanaan Rinosinusitis Akut pada dewasa untuk pelayanan primer
dan dokter spesialis non tht2

16
KOMPLIKASI:
A. Osteomielitis dan abses subperiostal

Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada
osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral
B. Kelainan Orbita

Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang paling sering
ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi
melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Variasi yang dapat timbul ialah udema
palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita

C. Kelainan Intrakranial

Dapat berupa meningitis, abses ektradural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus
CASE REPORT
Pasien wanita, berusia 55 tahun datang ke poli THT RS TK II Moh Ridwan Meuraksa dengan
keluhan keluar sekret (ingus) dari hidung kanan berwarna kekuningan dan berbau busuk sejak
dua bulan yang lalu. Keluhan dirasakan kadang-kadang dan tidak kunjung membaik. Keluhan
disertai dengan nyeri pada pipi kanan. Pasien juga mengeluh hidung tersumbat terutama pada
pagi hari dan membaik pada siang hari. Tiga bulan sebelumnya pasien mengeluh sakit gigi
pada gigi geraham bagian kanan atas. Pasien memiliki riwayat gigi berlubang dan goyang
pada gigi geraham sebelah kanan atas sejak + sembilan bulan yang lalu, tetapi belum berobat
lebih lanjut ke dokter gigi. Pasien mengaku mempunyai riwayat keluar sekret dari hidung di
pagi hari lebih dari 6 kali dalam setahun. Pasien mengaku sebelumnya tidak kemasukan
benda asing ke dalam hidungnya. Riwayat trauma disangkal. Riwayat demam disangkal.
Riwayat Asma disangkal. Pasien mengaku tidak mempunyai alergi terhadap obat ataupun
makanan. Pasien mengaku sehari-hari sering mengkonsumsi makanan pedas dan berminyak.
Batuk-batuk menggangu disangkal. Keluhan batuk saat tidur disangkal. Rasa terbakar di dada
disangkal. Pasien pernah mengkonsumsi obat warung untuk meredakan sakit giginya, tapi
belum pernah melakukan pengobatan untuk mengatasi keluhan saat ini. Di keluarga tidak ada
yang mengalami keluhan yang serupa seperti pasien.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit ringan, kesadaran
compos mentis, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80x/menit, pernapasan 20x/menit, suhu
36,4 C.
Pada pemeriksaan klinis telinga didapatkan hasil: pada bagian luar tidak ada nyeri tekan,
sikatrik (jaringan parut), dan kelainan kogenital. Membran timpani yang intak, liang telinga
lapang, tidak terdapat adanya sikatrik, edema, perdarahan.
Pada pemeriksaan hidung bagian luar tidak terdapat adanya edema, hematoma, terdapat
nyeri tekan hidung kanan. Pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan hasilnya sebagai
berikut: septum nasal deviasi, odem pada conca inferior + /+ hiperemis +/+ sekret kental
putih kekuningan

17
Gambar 7. Rhinoskopi anterior hidung kiri

Gambar 8. Rhinoskopi anterior hidung kanan


Pada pemeriksaan cavum oris dan orofaring pada bagian mukosa terlihat hiperemis
pada arcus glossus dan palatoglossus. Uvula berada di tengah tidak ada deviasi, Gigi M1 M2
Karies, tidak terdapat bau mulut. Pada pemeriksaan tonsil mukosa terlihat normal, besar
T1/T1, tidak ada perlengketan, kripti + /+ tidak melebar dendritus(-)
Pada penatalaksanaan yang diberika kepada pasien berupa pemberian informasi tentang
penyakit,penyebab dan prognsisnya. Pemberian farmakoterapi berupa cuci hidung dengan
Nacl 0,9% untuk membantu mengeluarkan dan membersihkan lendir, oksimetazolin HCL
spray 2x1 puff untuk mengurangi pembengkakakn pada konka, Ciprofloxcacin 3x500mg dan
asam mefenamat 3x500mg serta konsultasi ke dokter gigi atau spesialis bedah mulut
berkaitan dengan gigi dan pencabutan gigig yang dicurigai sebagai penyebabnya.
PEMBAHASAN /DISKUSI
Diagnosis pada pasien ini adalah rhinosinusitis kronik eksaserbasi akut maxilla dextra
ec dentogen, yang ditegakkan dari anamnesis yaitu, Pada pasien didapatkan keluhan keluar
ingus dari hidung kanan berwarna putih kekuningan dan berbau nyeri pada pipi kanan dan.
Hal ini sesuai gejala pada rhinosinusitis. Pada rhinosinusitis, terdapat gejala subyektif terdiri
dari gejala sistemik dan gejala lokal.
Gejala sistemik ialah demam dan rasa lesu. Gejala lokal pada hidung terdapat sekret
kental yang kadang-kadang berbau busuk dan dirasakan mengalir ke nasofaring (post nasal
drip). Dirasakan hidung tersumbat, seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan
menusuk, serta nyeri di tempat lain karena nyeri alih (referred pain). Penciuman terganggu
dan ada perasaan penuh dipipi waktu membungkuk ke depan. Terdapat perasaan sakit kepala
waktu bangun tidur dan dapat menghilang hanya bila peningkatan sumbatan hidung sewaktu
berbaring sudah ditiadakan.
Pasien memiliki riwayat gigi berlubang pada gigi geraham sebelah kanan atas sejak +
9 bulan yang lalu. Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena
infeksi bakteri anaerob menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga jaringan lunak gigi
dan sekitarnya rusak. Pada pulpa yang terbuka, kuman akan masuk dan mengadakan
pembusukan pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan
18
mengenai selaput periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama
sehingga terbentuk pus.
Abses periodontal ini kemudian dapat meluas dan mencapai tulang alveolar
menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga
memicu inflamasi mukosa sinus. Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus dan abnormalitas
sekresi mukus menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus sehingga terjadinya sinusitis
maksila.

Pasien pada kasus mengaku mengalami sakit gigi karena gigi berlubang pada graham
kanan atas 9 bulan yang lalu. Pada kasus dicurigai terdapat karies yang menyebabkan
timbulnya keluhan pada pasien sesuai dengan pernyataan di atas.
Pada pemeriksaan fisik sinusitis maksilaris dapat dilakukan dengan inspeksi dan palpasi.
Pada inspeksi, pemeriksaan yang diperhatikan ialah adanya pembengkakan pada muka.
Palpasi didapatkan nyeri tekan pada pipi yang sakit. Pemeriksaan rinoskopi anterior dapat
melihat kelainan rongga hidung yang berkaitan dengan sinusitis seperti udem konka,
hiperemi, sekret (nasal drip), krusta, deviasi septum, tumor atau polip. Pada kasus, saat
palpasi didapatkan adanya nyeri tekan pada hidung dan pipi sebelah kanan. Pada pemeriksaan
rhinoskopi anterior, konka inferior dextra mengalami edema, terdapat sekret dan warna pucat
karna infeksi yang sudah kronis.
KESIMPULAN
Rinosinusitis merupakan suatu inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal, disertai
dua atau lebih gejala dimana salah satunya adalah

Sumbatan pada hidung (nasal blockage/obstruction/congestion) atau nasal discharge


(anterior/posterior nasal drip) ditambah nyeri fasial dan penurunan/hilangnya daya
penciuman. Sinusitis dibagi menjadi dua menurut waktunya, yaitu sinusitis akut (<12
minggu) dan sinusitis kronik (≥12 minggu).

Pada pasien ini diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pada pasien ini ditemukan keluhan berupa keluar ingus dari hidung
kanan berwarna kekuningan dan berbau busuk, nyeri pada pipi kanan. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan nyeri tekan pada hidung dan pipi sebelah kanan. Pada pemeriksaan rhinoskopi
anterior, konka inferior sinistra da dextra edema . Penatalaksanaan yang diberikan pada
pasien berupa pemberian informasi tentang penyakit, penyebab, dan prognosisnya. Terapi
farmakoterapi berupa pemberian oksimetazolin HCl spray 2x1 puff, Ciprofloxacin tablet
3x500 mg dan asam mefenamat tablet 3x500 mg serta konsultasi ke dokter gigi untuk
menghilangkan masalah gigi yang dicurgai sebagai penyebab.

DAFTAR PUSTAKA
1. Clement PAR. Classification of rhinosinusitis. In Brook I, eds. Sinusitis from
microbiology to management. New York: Taylor & Francis, 2006; 15-34.

19
2. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, et al. European Position Paper on Rhinosinusitis
and Nasal Polyps 2012. Rhinology 2012 Suppl. 2012, 23: 1-298
3. Selvianti, Kristyono I. 2008. Pathophysiology, diagnosis and treatment chronic
rhinosinusitis at adult people. Journal THT-KL. Surabaya: Universitas Airlangga
4. Soepardi.E.A, et al. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Vol VII (&). Jakarta: FKUI
5. Busquets JM, Hwang PH. Nonpolypoid rhinosinusitis: Classification, diagnosis and
treatment. In Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. Head & Neck Surgery –
Otolaryngology. 4th ed. Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2006;
406-416.
6. Jackman AH, Kennedy DW. Pathophysiology of sinusitis.In Brook I, eds. Sinusitis
from microbiology to management. New York: Taylor & Francis, 2006;109-129
7. Shah DR, Salamone FN, Tami TA. Acute & chronic rhinosinusitis. In Lalwani AK,
eds. Current diagnosis and treatment in otolaryngology – head and neck surgery. New
York: Mc Graw Hill, 2008; 273-281.
8. Paul W. Flint, Bruce H. Haughey, Valerie J. Lund, et al. 2015. Cummings
Otolaringology Head and Neck Surgery 6th Edition. Department of Otolaryngology–
Head and Neck Surgery. Oregon Health and Science University. Portland, Oregon.
9. Bernstein JM. Chronic rhinosinusitis with and without nasal polyposis. In Brook I,
eds. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis,
2006;371-398.
10. Bachert C, Ruby P, Zhang L, et al. 2014. Icon: Chronic Rhinosinusitis. World Allergy
Organization Journal. licensee BioMed Central Ltd
11. Hoesin, M. 2012. Rinosinusitis Maksilaris Dentogen Dengan Komplikasi Selulitis
Periorbita. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
12. James, H. 2013. Sinus Infection Remedies (And Why You Might Not Need
Antibiotics). The Survival Doctor. http://thesurvivaldoctor.com/2013/01/31/sinus-
infection-remedies/. (diakses 20/01/2018)
13. Chang, G. The nose and paranasal sinuses: applied anatomy and examination.
Aibolita.http://aibolita.com/ear-throat-nose/51205-the-nose-and-paranasal-sinuses-
applied-anatomy-and-examination.html. (diakses 19/01/2018)
14. Epomedicine. 2014. Anatomy of Ostiomeatal Complex. Epomedicine: medical
student. http://epomedicine.com/medical-students/anatomy-of-ostiomeatal-complex/
(diakses 19/01/2018)
15. Farhat. 2006. Peran Infeksi Gigi Rahang Atas pada Kejadian Sinusitis Maksila di
RSUP H.Adam Malik Medan. Dept. Ilmu Kesehatan THT, Bedah Kepala, dan Leher
FK USU/RSUP H.Adam Malik Medan.
16. Graphdiagram. Picture Of Human Teeth Diagram - Chart - diagrams and charts with
labels. This diagram depicts Picture Of Human Teeth. Picture of Human teeth.
http://graphdiagram.com/tag/teeth-anatomy/ (diakses 20/01/2018)

20
21
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS
Nama : Ny. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 55 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : Tidak sekolah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jalan Pinang Ranti rt 17/ rw 02
Tanggal pemeriksaan : 19 februari 2018

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara Autoanamnesa.
Keluhan utama :
Keluar sekret dari hidung kanan dan berbau
Keluhan tambahan :
Nyeri pada pipi

22
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien wanita, berusia 55 tahun datang ke poli THT RS TK II Moh Ridwan Meuraksa
dengan keluhan keluar sekret (ingus) dari hidung kanan berwarna kekuningan dan berbau
busuk sejak dua bulan yang lalu. Keluhan dirasakan kadang-kadang dan tidak kunjung
membaik. Keluhan disertai dengan nyeri pada pipi kanan. Pasien juga mengeluh hidung
tersumbat terutama pada pagi hari dan membaik pada siang hari. Tiga bulan sebelumnya
pasien mengeluh sakit gigi pada gigi geraham bagian kanan atas. Pasien memiliki
riwayat gigi berlubang dan goyang pada gigi geraham sebelah kanan atas sejak +
sembilan bulan yang lalu, tetapi belum berobat lebih lanjut ke dokter gigi. Pasien
mengaku mempunyai riwayat keluar sekret dari hidung di pagi hari lebih dari 6 kali
dalam setahun. Sakit kepala disangkal, mimisan disangkal, pandangan ganda disangkal,
Pasien mengaku sebelumnya tidak kemasukan benda asing ke dalam hidungnya. Riwayat
trauma disangkal. Riwayat demam disangkal. Riwayat Asma disangkal. Pasien mengaku
tidak mempunyai alergi terhadap obat ataupun makanan. Pasien mengaku sehari-hari
sering mengkonsumsi makanan pedas dan berminyak. Batuk-batuk menggangu
disangkal. Keluhan batuk saat tidur disangkal. Rasa terbakar di dada disangkal. Pasien
pernah mengkonsumsi obat warung untuk meredakan sakit giginya, tapi belum pernah
melakukan pengobatan untuk mengatasi keluhan saat ini. Di keluarga tidak ada yang
mengalami keluhan yang serupa seperti pasien.

Riwayat penyakit dahulu :


Asma (-),alergi (-),Diabetes Melitus (-) Hipertensi (-)

Riwayat penyakit keluarga :


Tidak ada yang mengalami keluhan yang serupa pada anggota keluarga.
Riwayat alergi pada mata, hidung, kulit pada anggota keluarga disangkal.
Riwayat penyakit penyakit asma pada anggota keluarga disangkal
Riwayat pengobatan :
Pemberian Antibiotik sistemik dan antinyeri
Riwayat kebiasaan & sosial ekonomi :
Pasien seorang ibu rumah tangga, dengan tingkat ekenomi menengah ke atas . Di
rumah pasien mengaku sering menggunakan AC dengan suhu lebih sering dibawah 20’C.
Pasien memiliki kebiasaan menyikat gigi 1 kali sehari. Pasien mengaku sering
mengkonsumsi makanan yang manis. Pasien jarang ke dokter gigi untuk membersihkan
karang gigi

23
III. PEMERIKSAAN FISIK
KEADAAN UMUM, KESADARAN, & TANDA-TANDA VITAL
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis (GCS 15)
Tanda-tanda vital
Nadi : 80 x/menit
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Laju pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,4oC

STATUS GENERALIS
Kepala
Mata : konj. anemis -/-, sklera ikterik-/-, pupil bulat, refleks cahaya +/+, isokor 3
mm
Leher : pembesaran kel. limfe (-), pembesaran kel. tiroid (-)
THT : (lihat status lokalis)
Mulut : (lihat status lokalis)
Thorax
Inspeksi : dinding thoraks simetris, deformitas (-)
Palpasi : tidak dilakukan
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : BJ I-II reguler, gallop (-), murmur (-), suara napas vesikuler
Abdomen
Inspeksi, palpasi, perkusi , auskultasi : tidak dilakukan
Ekstremitas
Ekstremitas superior & inferior : edema (-), sianosis (-)
Neurologis
Refleks fisiologis : tidak dilakukan
Refleks patologis : tidak dilakukan
Genitalia : tidak dilakukan

24
STATUS LOKALIS
TELINGA
BAGIAN KELAINAN KANAN KIRI
Kongenital Fistula (-), Fistula (-),
auricula asesoris (-) auricula asesoris (-)

Radang (-) (-)

Pre-aurikula Tumor (-) (-)

Trauma (-) (-)

Nyeri tekan (-) (-)


tragus
Kongenital Mikro/makrotia (-) Mikro/makrotia (-)

Radang (-) (-)

Tumor Ateroma (-), keloid (-), kista Ateroma (-), keloid (-),
Aurikula (-) kista (-)

Trauma Hematoma (-) Hematoma (-)

Edema (-) (-)

Nyeri tekan (-) (-)

Hiperemis (-) (-)

Retro-aurikula
Sikatriks (-) (-)

Fistula (-) (-)

Fluktuasi (-) (-)

25
Kongenital Atresia (-) Atresia (-)

Kulit Tidak hiperemis, tidak ada Tidak hiperemis, tidak ada


furunkel furunkel
Sekret (-) (-)

Cerumen (-) (-)


CAE
Edema (-) (-)

Jar. Granulasi (-) (-)

Massa (-) (-)

BAGIAN KELAINAN KANAN KIRI


Membran timpani Intak (+) (+)
(Setelah liang Warna Putih keabuan spt mutiara Putih keabuan spt mutiara
telinga
dibersihkan ) Refleks cahaya (+) (+)
Gambar :

Dalam batas normal Dalam batas normal


Cavum timpani Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai

TES
KANAN KIRI
PENDENGARAN
Tes Rinne
Tes Weber Tidak dilakukan
Tes Swabach

HIDUNG

26
PEMERIKSAAN KANAN KIRI
Keadaan luar Bentuk & ukuran Bentuk biasa, asimetri (-), Bentuk biasa, asimetri (-),
deviasi (-), deformitas (-) deviasi (-), deformitas (-)
Edema (-) (-)
Hematom (-) (-)
Nyeri tekan (-) (-)
Krepitasi (-) (-)
Kel. Kongenital Atresia (-) Atresia (-)
Radang (-) (-)
Trauma (-) (-)
Tumor (-) (-)
Rhinoskopi Cavum nasi masa (-), mukosa pucat, masa (-), mukosa pucat,
anterior sekret (-) sekret (-)
Konka inferior udem, hiperemis, udem, hiperemis,
permukaan licin permukaan licin
Konka media Udem, hiperemis, Udem, hiperemis,
permukaan licin permukaan licin
Meatus nasi Sekret (+) cair warna Sekret (-)
kuning
Septum Lurus Lurus
Pasase udara Negative Positif

Rhinoskopi Mukosa Tidak dilakukan


posterior Sekret Karena pasien tidak koperatif
Koana

Torus tubarius
Fossa Rossenmuler

PEMERIKSAAN KANAN KIRI


Keadaan luar Bentuk & ukuran Bentuk biasa, asimetri (-), Bentuk biasa, asimetri (-),
deviasi (-), deformitas (-) deviasi (-), deformitas (-)
Edema (-) (-)
Hematom (-) (-)
Nyeri tekan (+) (-)
Krepitasi (-) (-)
Kel. Kongenital Atresia (-), meningokel(-) Atresia (-), meningokel (-)

27
Radang (-) (-)
Trauma (-) (-)
Tumor (-) (-)
Rhinoskopi anterior Cavum nasi Massa (-), mukosa pucat, Massa (-), mukosa pucat,
sekret (-) sekret (-)
Konka inferior Udem, hiperemis, Udem, hiperemis,
permukaan licin permukaan licin
Konka media Udem, hiperemis, Udem, hiperemis,
permukaan licin permukaan licin
Meatus nasi Sekret (+) cair warna Sekret (-)
kuning
Septum Lurus Lurus
Pasase udara Negatif Positif

Rhinoskopi Mukosa Basah Basah


posterior Sekret Sekret - Sekret -
Koana lapang lapang
Hiperemis Hiperemis
Torus tubarius Normal tidak hiperemis Normal tidak hiperemis
Fossa Rossenmuler

CAVUM ORIS & OROFARING


BAGIAN KETERANGAN
Mukosa Warna merah muda
Lidah Normal, simetris, ulkus (-)
Gigi geligi Berlubang (+) M1 M2 dextra, tambal (-)
Uvula Simetris
Pilar Simetris, tidak hiperemis, pergerakan palatum (+)
Halitosis (-)
Tonsil :
Mukosa Edema (-), Hiperemis (-)
Besar T1-T1
Kripta Tidak melebar +/+
Detritus -/-
Perlengketan -/-
28
Gambar :

T1 T1

Faring :
Mukosa Warna merah muda
Granula (-)
Post nasal drip (-)

Laring : Tidak diperiksa


Epiglotis
Kartilago arytenoid
Plika aryeiglotika
Plika vestibularis
Plika vokalis
Rima glotis
Trakea

MAKSILOFASIAL
BAGIAN KETERANGAN

Maksilofasial :
Pemeriksaan pasif :
deformitas (-)
tanda radang (-)
kemencongan pada wajah (-) / wajah simetris
nyeri tekan pada wajah (-)
pemeriksaan sensoris dengan kapas:
normoestesia kiri & kanan

Pemeriksaan aktif :
gerakan aktif mencucu, menyeringai,

29
memencongkan mulut, menaikkan alis dapat
dilakukan, kanan-kiri simetris

LEHER
BAGIAN KETERANGAN
Leher :
Bentuk Normal, deformitas (-), tanda radang (-), edema (-), pembesaran kelenjar tiroid &
KGB (-)
Massa (-)

Gambar :

V. RESUME
Pasien wanita, berusia 55 tahun mengeluh keluar sekret (ingus) dari hidung
kanan berwarna kekuningan dan berbau busuk sejak dua bulan yang lalu. Keluhan
disertai dengan nyeri tumpul pada pipi kanan dan rasa penuh pada wajah. Hidung
tersumbat terutama pada pagi hari dan membaik pada siang hari juga dikeluhkan
pasien. Tiga bulan sebelumnya pasien mengeluh sakit gigi pada gigi geraham bagian
kanan atas. Pasien memiliki riwayat gigi berlubang dan goyang pada gigi geraham
30
sebelah kanan atas sejak + sembilan bulan yang lalu. Pasien mengaku mempunyai
riwayat keluar sekret dari hidung di pagi hari lebih dari 6 kali dalam setahun.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan : Tanda-tanda vital dalam batas normal, pada
rhinoskopi anterior terlihat cavum nasi dextra berisi sekret (+) kental warna kuning,
konka inferior dextra dan sinistra terlihat udem, hiperemis, permukaan licin, konka
media dextra dan sinistra udem, hiperemis, permukaan licin, meatus nasi media dextra
terlihat sekret putih kekuningan. Pada pemeriksaan cavum oris didapatkan gigi karies
pada M1 dan M2. Pada pemeriksaan palpasi wajah didapatkan nyeri pada pipi kanan.

VI. DIAGNOSIS KERJA


Sinusitis Maxillaris Dextra Akut Dentogen dengan Rhinosinusitis Kronik

VII. PENATALAKSANAAN
konservatif dengan Medikamentosa :
Lokal :
Cuci hidung dengan NaCl 0.9% 2 kali sehari pagi dan sore untuk membersihkan lendir
sehingga pengobatan dapat berjalan efektif
oksimetazolin HCl spray 2x1 puff untuk mengurangi pembengkakakan konka
Sistemik :
Antibiotik : Tablet Ciprofloxacin 2x500 mg PO, diminum sampai habis untuk antibiotik
Antinyeri : Asam Mefenamat 2x500 mg PO, untuk mengurangi nyeri
Non medikamentosa : Rajin mencuci hidung, Rajin menggosok gigi, memakai masker,
kurangi volume AC, Konsul dokter gigi atau spesialis bedah mulut.

Rencana Pemeriksaan Penunjang


Melakukan swab pada sekret hidung dan mengirim ke bagian mikrobiologi untuk kultur
bakteri dan resistensi antibiotik.
Foto polos posisi waters untuk mengetahui kelainan sinus. Pada kelainan akan terlihat
perselubungan batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa
CT Scan merupakan gold standar untuk mendiagnosis sinusitis karena mampu melihat
anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit hidung dan sinus secara keseluruhan dan
perluasannya

XI. MONITORING
Dilakukan pengobatan sistemik dan lokal kemudian kontrol ulang setelah obat habis atau
+1 minggu.
Subjektif :
Memantau keluhan apakah terjadi perbaikan.

31
Apakah keluhan pilek berkurang; wajah tidak nyeri; penciuman kembali
normal ?
Memantau efek samping obat.
Apakah terdapat reaksi alergi obat ?
Memantau komplikasi dari penyakit yang muncul.
Apakah timbul nanah/ darah/yang berlendir dari hidung ?
Apakah timbul polip hidung?
Objektif :
Mengkaji hasil rencana pemeriksaan penunjang swab sekret hidung dan foto waters sinus
Memberikan antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur bakteri & uji
resistensi.
Menilai apakah ada komplikasi yang muncul.
Komplikasi penyakit bila tidak dilakukan terapi secara adekuat adalah
polip hidung, epistaksis atau keluhan yang lebih parah bisa menyebabkan
abses periorbita, otitis media hingga kelumpuhan nervus fascialis

32
X. EDUKASI
 Menjelaskan mengenai penyakit pasien bahwa terjadi proses inflamasi pada kedua
hidung faktor terbesar terjadinya penyakit karena infeksi gigi.
 Menjaga hidung dari faktor iritan, mencegah udara dingin dengan cara mengurangi
suhu AC. Mencegah paparan debu dan polusi dengan selalu mengenakan masker
 Menjaga kebersihan gigi, dengan rajin menggosok gigi minimal 2 kali sehari. Rutin
ke dokter gigi secara berkala untuk membersihkan karang gigi
 Hindari makanan yang terlalu asam atau manis karena dapat merusak email gigi
 Obat Analgetik, Asam mefenamat tablet diminum bila terdapat nyeri saja untuk
mengurangi nyeri gigi dan wajah
 Obat Antiinflamasi, oksimetazolin HCl spray disemprotkan minimal dua kali sehari
untuk mengurangi peradangan di konka
 Cuci hidung dengan NaCL 0,9% minimal 2 kali sehari untuk membersihkan lendir
sehingga pengobatan dapat berjalan efektif
 Cara cuci hidung NaCL 0,9%:
 Siapkan alat yang diperlukan; NaCL 0.9%, 1 jarum suntik 20 cc, 1 mangkok, tissue
o Lubangi infus dengan pipet, tancapkan
o Tuang cairan infus ke dalam mangkok
o Ambil jarum suntik, kemudian copot jarumnya
o Ambil cairan infus 10-20 cc dengan suntikan
o Semprot cairan infus ke hidung kanan, dengan cara miringkan kepala ke kiri
sambil bilang AAA. Air infus akan keluar bersama lendir dan kuman dari
sebelah kiri. Ulangi 4-5 kali
o Hal yang sama (6) dilakukan pada hidung kiri
 Meningkatkan daya tahan tubuh dengan makan makananan yang bergizi seperti
daging, sayur, dan buah dan istirahat yang cukup minimal 8 jam sehari.
 Kontrol setelah obat habis/ keluhan memberat satu minggu setelah kunjungan yang
pertama.

XI. PROGNOSIS

33
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

34
35

You might also like