You are on page 1of 11

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/324121972

Faktor-Faktor Yang berhubungan dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak


Usia 1-5 Tahu

Article · March 2018

CITATIONS READS

0 1,397

1 author:

Sri Kartini
Universitas Abdurrab
7 PUBLICATIONS   2 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Hubungan Penggorengan Berulang dengan Angka Asam Minyak Bekas Penggorengan View project

All content following this page was uploaded by Sri Kartini on 31 March 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KEJADIAN KECACINGAN PADA ANAK USIA 1 – 5 TAHUN

Sri Kartini1, Ilham Kurniati2, Nandriya Safarin Jayati3,Windra Sumitra4


1
Program Studi Analis Farmasi dan Makanan Universitas Abdurrab
1)
email : sri.kartini@univrab.ac.id
2-4
Akademi Analis Kesehatan Yayasan Fajar
2)
email : ilham.kurniata@aakfajar.ac.id
3 email :nandriyasafarinjayati@gmail.com
4email: windrasumirta@gmail.com

ABSTRACT
Helminthiasis is a disease that occurs in the population in the tropics and subtropics
area.One of the helminthiasis in humans is Soil Transmitted Helminth (STH). The
prevalence of this disease is still to be a concern because the prevalence is quite high in
children that is no exception in the children aged 1-5 years. The factors causing
helminthiasis are included behavioral and environmental factors. This study aims to
determine the factors that are related to STH helminthiasis incidence among others, the
habit of washing hand of mothers, the habit of wearing footwear, the cleanliness of
mother and child's nails, the availability of clean water, the availability of latrines and the
availability of the trash. The sample is the total population of 55 children aged 1-5 years
in RW 07 Geringging Rumbai Pesisir District. This research is an observational
quantitative with cross sectional design.Data is taken from the result of questionnaire and
human fecal sample. The data were analyzed using chi square test. The result of the
research showing STH infected children were 7 people (12,7%). The types of the worm
eggs that infect are Ascaris lumbricoides (7.2%), Trichuris trichiura (3.6%), and
hookworm (1.8%). The result of statistical test showed that there was a relationship
between hand washing habits (p = 0,039), children habit wearing footwear (p = 0,002),
clean of mother and child nail (p = 0,041), clean water supply (p = 0,016) (p = 0,024) and
there is no relation between garbage availability (p = 0,168)) to the occurrence of
helminthiasis.

Keywords: Helminthiasis, hygiene, sanitation

ABSTRAK

Kecacingan merupakan penyakit yang terjadi pada penduduk di daerah tropis dan
subtropis, salah satu kecacingan pada manusia yaitu Soil Transmitted Helminth (STH).
Prevalensi penyakit ini masih menjadi perhatian karena prevalensinya cukup tinggi pada
anak tidak terkecuali pada anak usia 1-5 tahun. Beberapa faktor penyebab kecacingan
dianataranya faktor prilaku dan lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
faktor-faktor yang hubungan dengan kejadian cacing STH diantaranya ,kebiasaan
mencuci tanganibu, kebiasaan memakai alas kaki,kebersihan kuku ibu dan anak,
ketersediaan air bersih, ketersediaan jamban dan ketersediaan tempat sampah. Sampel
adalah total populasi berjumlah 55 orang anak usia 1-5 tahun di RW 07 Geringging
Kecamatan Rumbai Pesisir. Penelitian ini merupakan kuantitatif observasional dengan
desain cross sectional.Data diambil dari hasil kuesioner dan sampel feses. Data dianalisis
menggunakan uji chi square. Hasil penelitian menunjukkan anak yang terinfeksi STH
berjumlah 7 orang (12,7%). Jenis telur cacing yang menginfeksi adalah Ascaris
lumbricoides (7,2%), Trichuris trichiura (3,6%), dan cacing tambang (1,8%). Hasil uji
statistik menunjukkan ada hubungan antara kebiasaan ibu mencuci tangan (p=0,039),
kebiasaan memakai alas kaki (p= 0,002), kebersihan kuku ibu dan anak (p=0,041),
ketersediaan air bersih (p=0,016), ketersediaan jamban (p= 0,024) dan tidak terdapat
hubungan antara ketersediaan tempat sampah (p=0,168) )terhadap kejadian kecacingan

Kata Kunci: Kecacingan, hyigene, sanitasi


PENDAHULUAN
Penyakit kecacingan merupakan salah satu penyakit yang banyak dialami
oleh masyarakat di Indonesia yang berhubungan erat dengan sanitasi lingkungan
dan perilaku. Salah satu penyakit kecacingan adalah penyakit cacing usus yang
penularannya melalui tanah atau disebut juga dengan Soil Transmitted Helminths
(STH). Jenis cacing yang dimaksud adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides),
cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus), cacing
cambuk (Trichuris trichiura) dan Strongyloides stercoralis [1]. Faktor-faktor yang
berhubungan dengan penyakit ini erat hubungannya dengan hygiene dan sanitasi
[2][3] [4], hasil bebarapa penelitian antara lain kebersihan diri seperti mencuci
tangan dengan sabun, memakai alas kaki,kebiasaan memotong kuku merupakan
cara yang terbaik dalam mencegah penularan dari kecacingan[5][6][7][8] [9]
[10].Selain itu sanitasi merupakan salah satu faktor resiko terjadinya
kecacinganAscaris lumbricoides seperti pemakaian jamban yang tidak layak akan
menimbulkan pencemaran pada tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah,
ketersediaan tempat pembuangan sampah dan ketersediaan air bersih [1] [11]
Menurut WHO tahun 2016 [12] lebih dari 1,5 miliar orang atau 24% dari
populasi dunia mengalami kecacingan STH dan lebih dari 870 juta anak hidup di
lingkungan yang penularannya sangat intensif dan membutuhkan pengobatan
akibat parasit ini. Prevalensi kejadian kecacingan di Indonesia pada anak berkisar
2,7 – 60,7% [13].Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru tahun
2013 diketahui kecacingan pada anak sebanyak 446 orang.
Perhatian para peneliti terhadap kecacingan pada anak lebih banyak pada
anak usia sekolah baik presentasi maupun faktor –faktor yang berhubungan
dengannya dibandingkan pada anak usia dibawahnya, kemungkinan karena pada
anak usia ini penularan lebih berisiko dan sebagai respondenpun anak usia ini
sudah mampu memahami petanyaan sehingga memudahkan dalam penelitian.
Padahal anak usia 1-5 tahun juga sangat berisiko untuk tertularnya penyakit ini.
Pada usia ini anak sudah mulai beraktivitas seprti memasukkan jari ditangan,
bermain ditanah dan lain-lain.Kecacingan berdampak buruk terhadap
perkembangan kesehatan dan mental bahkan dapat menghambat tumbuh kembang
anak, kecacatan dan kebutaanArimbi[14]. Peran orang tua dalam upaya
pencegahan kecacingan pada anak usia 1-5 tahun sangat besar terutama ibu karena
anak belum memahami tentang kebersihan diri. Ibu yang kurang menjaga
kebersihan dirinya setelah beraktivitas kontak dengan tanah (misalanya berkebun,
membersihkan halaman, memegang sayuran kotor dan lain-lain) maka anak yang
dalam pengasuhannya akan dapat mengalami kecacingan. Misalnya ibu menyuapi
anak makan yang sebelumnya tidak mencuci tangan menggunakan sabun.
Penelitian pada anak balita di Surabya terdapat 9,8% anak kecacingan[15], pada
anak 1-4 tahun di Semarang 36% kecacingan[16][17]Data dari Dinkes Kota
Pekanbaru tahun 2013 Kecamtan Rumbai Pesisir diatas adalah untuk seluruh
anak baik pra maupun usia sekolah. Belum diketahui presentasi kecacingan pada
anak usia 1-5 tahun. Hasil survei di Kelurahan Geringging Kecamatan Rumbai
pesisir tepatnya RW 07 bahwa terlihat anak-anak bermain tanpa alas kaki dan
sanitasi di daerah tersebut memungkinkan terjadinya kecacingan. Hasil
wawancara pada staf Puskesmas Rumabi pesisir belum ada dilakukan penelitian
tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kecacingan pada anak usia 1-5
tahun, sehingga peneliti merasa perlu dilakukan penelitian didaerah tersebut.
TINJAUAN PUSTAKA

Cacing gelang (Ascaris lumbricoides


Cacing ini ditemukan kosmopolit (di seluruh dunia) terutama di daerah
tropik yang erat hubungannya dengan hygiene dan sanitasi. Cacing gelang lebih
sering ditemukan pada anak- anak. Di Indonesia frekwensinya cukup tinggi
berkisar antar 20-90%. Hospes defefenitifnya hanya manusia[2]. Cacing betina
panjangnya 20-35 cm, sedangkan cacing jantan 15-30 cm. Cacing dewasa hidup
pada usus manusia[18]. Cara penularannya dapat terjadi karena menelan telur
yang fertile dari tanah yang terkontaminasi dengan kotoran atau dari produk
mentah yang terkontaminasi dengan tanah yang berisi telur cacing. Penularan
tidak terjadi langsung dari orang keorang lain atau dari tinja segar ke orang.
Penularan paling sering terjadi di sekitar rumah, dimana anak-anak tanpa adanya
fasilitas jamban yang saniter, mencemari daerah tersebut. Infeksi pada anak
kebanyakan karena menelan tanah yang terkontaminasi cacing dan dapat terbawa
jauh karena menempel pada kaki atau alas kaki masuk ke dalam rumah, penularan
melalui debu juga dapat terjadi [19].

Cacing Cambuk (Trihchuris trichiura)


Cacing cambuk (Trichuris trichiura) merupakan parasit usus manusia.
Larva dan cacing dewasa hidup dalam usus manusia dan dapat menyebabkan
penyakit usus. Nama ini berasal dari khas cacing seperti bentuk cambuk .
Diperkirakan bahwa 800 juta orang terinfeksi di seluruh dunia. Trichuriasis
(penyakit yang diakibatkan oleh Trichuris trichiura ) terjadi di Amerika Serikat
bagian selatan[20] . Penyebaran Trihchuris trichiura secara kosmopolit, terutama
di daerah panas dan lembab. Di Indonesia frekwensin cacing ini sebanyak 75-
90%. Satu- stunya hospes defenitif cacing ini adalah manusia . Cacing betina
berukuran 3,5- 5 cm dan jantan 3- 4,5 cm. Tiga perlima anterior tubuh halus
seperti benang, dua perlima bagian posteoreor tubuh lebih tebal, berisi usus dan
perangkat alat kelamin.[2]. Cara penularan cacing ini adalah tidak langsung,
terutama karena kebiasaan menggigit/ menjilat benda- benda yang terkontaminasi
atau karena mengkonsumsi sayuran yang terkontaminasi. Setelah telur tertalan
dan larva menempel pada mukosa dari cecom dan colon proximal dan
berkembang menjadi cacing dewasa. Telur cacing ditemukan dalam tinja setelah
70– 90 hari sejak menelan telur dengan embrio [19].

Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)


Cacing ini terdapat hampir di seluruh daerah khatulistiwa, terutama di
daerah pertambangan. diperkirakan 576-740 juta orang di dunia terkecacingan
tambang [20]. Frekwensi cacing ini di Indonesia masih tinggi kira- kira 60-70 %,
terutama didaerah pertanian dan pinggir pantai [2]. Hospes parasit ini adalah
manusia. Cacing dewasa hidup di rongga usus halus dengan giginya melekat pada
mukosa usus. Cacing betina menghasilkan 9.000 -10.000 butir telur sehari. Cacing
betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm. Bentuk
badan N. americanus biasanya menyerupai huruf S sedangkan A.duodenale seperti
huruf C. Rongga mulut kedua jenis cacing ini besar. N.americanus mempunyai
benda kitin, sedangkan A. duodenale ada dua pasang gigi. Cacing jantan
mempunyai bursa kopulatriks. Cara penularan cacing tambang adalah telur dalam
tinja yang dideposit di dalam tanah dan menetas di tanah; dalam kondidsi yang
sesuai yaitu udara yang lembab, suhu dan tipe tanah yang sesuai, larva
berkembang menjadi stadium tiga, menjadi infektif dalam 7-10 hari.. Infeksi pada
manusia terjadi ketika larva infektif masuk melalui kulit biasanya pada kaki;
kemudian mengakibatkan terjadinnya dermatitis yang khas (ground itch),
melewati saluran linfe dan aliran dan menuju paru-paru masuk ke alveoli, pindah
ke trachea kemudian ke farink, ditelan dan mencapai usus halus dimana mereka
menyerang dinding usus halus, berkembang menjadi dewasa. Infeksi Ancylostoma
bisa juga didapat karena menelan telur infektif[19].

Dampak Infeksi Kecacingan


Penyakit cacing/kecacingan jarang mengakibatkan kematian langsung,
namun sangat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Kecacingan gelang
yang sangat berat akan menyebabkan malnutrisi dan gangguan pertumbuhan
pada anak. Berbagai penelitian membuktikan bahwa sebagian kalori manusia
tidak dimanfaatkan badan karena adanya parasit dalam tubuh. Pada infeksi ringan
akan meyebabkan gangguan peyerapan nutrient lebih krang 3% dari kalori yang
dicerna. Pada infeksi berat 25% kalori yang dicerna tidak dapat dimanfaatkan
oleh badan. Infeksi Ascaris lumbricoides yang berkepanjangan dapat
menyebabkan kekurangan kalori protein dan diduga dapat mengakibatkan
defesiensi vitamin A.Menurut Gandahusada dalam Sunita [21], infeksi Trichuris
berat sering dijumpai diare darah, turunnya berat badan dan anemia. Diare pada
umumnya berat sedangkan eritrosit di bawah 2.5 juta dan hemoglobin 30% di
bawah normal. Anemia berat ini terjadi karena infeksi trichuris mampu menghisap
darah 0,005 ml perhari/cacing. Kecacingan tambang umumnya berlangsung
selama menahun. Cacing tambang ini sudah dikenal sebagai penghisap darah.
Seekor cacing tambang mampu mengisap darah 0,2 ml perhari. Apabila terjadi
infeksi berat maka penderita akan kehilangan darah secara perlahan dan dapat
meyebabkan anemia. Kecacingan yang telah kronis pada anak dapat menyebabkan
kekurangan gizi yang berakibat menurunnya daya tahan tubuh dan akhirnya
menimbulkan gangguan perkembangan tumbuh anak.

Pencegahan Kecacingan
Pencegahan kecacingan ini dapat dilakukan dengan memutuskan rantai
daur hidup dengan cara defekasi di kakus, menjaga kebersihan, cuckup air di
kakus, mandi dan cuci tangan secara teratur. Melakukan penyuluhan kesehatan
kepada masyarakat mengenai sanitasi lingkungan dan personal hygiene. Selain itu
dapat dilakukan dengan cara tidak membuang tinja ditanah, membiasakan cuci
tangan sebelum makan, membiasakan menggunting kuku secara teratur,
membiasakan diri membuang air besar di jamban, membiasakan mencuci
makanan lalapan mentah dengan air bersih[22]. Pencegahan yang dapat dilakukan
untuk menghindari cacing tambang adalah dengan tidak berjalan tanpa alas kaki di
tanah yang terkontaminasi cacing tambang adanya tinja manusia ditanah . Selain
itu,dapat menghindari tertelan dan kontak kulit dengan tanah yang
terkontaminasi. Infeksi juga dapat dicegah dengan sistem pembuangan limbah
yang efektif [20] dan tidak memakai tinja pada pupuk tanamam[2].

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan kuantitatif observasional dengan desain cross
sectional, yang dilaksanakan di Rw 07 Kelurahan Geringging Kecamatan Rumbai
Pesisir Pekanbaru tahun 2017. Populasi dalam penelitian adalah anak usia 1-5
tahun berjumlah 55 orang dengan jumlah sampel adalah seluruh populasi yaitu 55
orang.Variabel independen yang dikumpulkan adalah ,kebiasaan mencuci tangan,
kebiasaan memakai alas kaki (pada anak),kebersihan kuku ibu dan anak,
ketersediaan air bersih, ketersediaan jamban dan ketersediaan tempat sampah dan
variabel dependen adalah kecacingan. Data yang dikumpulkan adalah data primer
dari semua variabel independen dengan memberikan kuesioner pada ibu dari anak
usia 1-5 tahun sebagai responden, data pemeriksaan kecacingan pada feses anak
menggunakan mikroskop, analisis bivariat dilakukan dengan uji Chi-Square

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hubungan variabel independen terhadap kejadian kecacingan dapat dilihat
pada tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1. Hubungan Beberapa Variabel IndependenTerhadap
Kejadian Kecacingan Pada anaka Usia 1-5 Tahun di Kelurahan Geringging
Kecamatan Rumbai Pesisir Pekanbaru
Variabel Infeksi cacinng Jumlah
P
Independen dan Ya Tidak
N (%) value
Kategori N (%) N (%)
Kebiasaan
mencuci tangan
Ya 6 (24) 29 (76,0) 30 (100) 0,039
Tidak 1 (3,3) 18 (96,7) 25 (100)
Kebiasaan
menggunakan
alas kaki
Ya 2 (4,5) 42 (95,5) 44 (100) 0,002
Tidak 5 (45,5) 6 (54,6) 11 (100)
Kebersihan kuku
Bersih 2 (5,6) 34 (94,4) 36 (100) 0,041
Kotor 5 (26,3) 14 (73,7) 19 (100)
Ketersediaan air
bersih
Ya 0 (0,0) 45 (100) 45 (100) 0,016
Tidak 7 (70.0) 3 (30,0) 10 (100)
Ketersediaan
jamban 0 (0,0) 44 (100) 44 (100) 0,024
Tersedia 7 (63,6) 4 (36,4) 11 (100)
Tidak Tersedia
Ketersedaan
tempat sampah
Terseda 0 (0.0) 43 (100) 43 (100) 0,168
TidakTersedia 7 (12,7) 5 (87,3) 12 (100)

Jumlah 93 47 140

Berdasarkan tabel 1 terhadap 55 sampel feses pada anak usia 1 – 5 tahun


terdapat 7 anak (12,7%) yang terinfeksi telur cacing . Dari 7 sampel yang positif
tersebut, ditemukan 4 telur Ascaris lumbricoides (7,2%), 2 telur Trichuris
trichiura (3,6%), dan 1 telur cacing tambang (1,8%)
Hasil tersebut menunjukkan bahwa rendahnya prilaku kebersihan diri dan sanitasi
lingkungan ibu pada anak beresiko terhadap terjadinya infeksi telur cacing.
Kebiasaan mencuci tangan
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang memiliki
kebiasaan mencuci tangan terdapat 1 anaknya (3,3%) terinfeksi telur cacing dan
yang tidak terinfeksi telur cacing terdapat 29 anak (96,7%), sedangkan ibu yang
tidak memiliki kebiasaan mencuci tangan terdapat 6 anaknya (24%) terinfeksi
telur cacing dan yang tidak terinfeksi telur cacing terdapat 19 anak (76%). Hal ini
menunjukkan bahwa Ibu yang tidak memiliki kebiasaan mencuci tangan
menggunakan sabun dan air mengalir dapat menularkan telur atau larva cacing
pada saat menyuapkan makanan kepada anak, maka telur cacing yang ada pada
tangan ibu masuk ke dalam mulut sehingga tertelan oleh anak.Hasil uji statistik
chi square antara variabel kebiasaan mencuci tangan dengan infeksi telur cacing
STH didapatkan nilai p-value 0,039, artinya ada hubungan antara kebiasaan ibu
mencuci tangan dengan infeksi telur cacing STH. Hasil ini sesuai dengan
penelitian Yudhastuti[15].

Kebiasaan menggunakan alas kaki


Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa 44 anak yang terbiasa
menggunakan alas kaki terdapat 2 anak (4,5%) yang terinfeksi telur cacing dan 42
anak (95,5%) yang tidak terinfeksi telur cacing, sedangkan 11 anak yang tidak
memiliki kebiasaan memakai alas kaki terdapat 5 anak (45,5%) yang terinfeksi
telur cacing dan 6 anak (54,5%) yang tidak terinfeksi telur cacing..Hasil uji chi
square antara kebiasaan memakai alas kaki dengan infeksi telur cacing
menghasilkan nilai p-value sebesar 0,002, artinya ada hubungan antara kebiasaan
anak memakai alas kaki dengan infeksi telur cacing..Anak yang tidak
menggunakan alas kaki saat bermain di tanah akan memudahkan larva cacing
tambang masuk melalui kulit kaki, karena salah satu cara penularan cacing
tambang melalui per kutan atau penetrasi kulit yaitu apabila larva infektif yang
bisa menembus melalui kulit[3] . Dalam penelitian ini ditemukan satu anak yang
terinfeksi telur cacing tambang, tentunya hal ini disebabkan karena kebiasaan
anak yang tidak memakai sandal atau alas kaki pada saat bermain di tanah. Untuk
menghindari agar anak tidak tertular infeksi telur cacing saat bermain di tanah,
sebaiknya orang tua lebih memperhatikan dan mengajarkan anaknya untuk selalu
menggunakan alas kaki apabila bermain di tanah ataupun hendak keluar rumah.
Penelitian tidak sejalan dengan penelitian Yudhastuti[15] dan Erdiani[16] yang
menunjukkan tidak ada hubungan antara penggunaan alas kaki dengan kejadian
kecacingan.

Kebersihan kuku ibu dan anak


Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu dan anak yang
memiliki kebersihan kuku terdapat 2 anak (5,6%) terinfeksi telur cacing dan 34
anak (94,4%) lainnya tidak terinfeksi telur cacing. Sedangkan ibu dan anak yang
tidak memiliki kebersihan kuku terdapat 5 anak (26,3%) yang terinfeksi telur
cacing dan 14 anak (73,7%) anak tidak terinfeksi telur cacing. Kebiasaan anak-
anak bermain tanah yang terkontaminasi telur cacing dapat menyebabkan tangan
dan kuku anak menjadi kotor. Kuku yang kotor tersebut akan menjadi sarang bagi
telur cacing, sehingga kebiasaan anak-anak yang menggigit kuku dan
memasukkan jari ke dalam mulutnya akan mempermudah telur cacing untuk
masuk ke dalam tubuh. Memelihara kuku pada anak sebaiknya kuku dipotong
minimal seminggu sekali [23] Hasil uji chi square antara kebersihan kuku dengan
infeksi telur cacing menghasilkan nilai p-value 0,041, artinya ada hubungan antara
kebersihan kuku ibu dan anak dengan infeksi telur cacing STH. Hasil ini tidak
sesuai dengan penelitian Yudhastuti [15]dan Erdiani[16].ada pebedaan antara
penelitian ini dengan sebelumnya yaitu kebersihan kuku yang diobservasi pada
penelitian ini bukan saja pada anak tetapi juga kebersihan kuku ibu. Jadi
kebersihan kuku ibu mempunyai peranan penting dengan terjadinya kecacingan
pada anak.ibu yang menyuapi anaknya menggunakan tangan dimana kuku ibu
dalam keadaan panjang dan kotor maka dapat menularkan kecacingan.
Ketersediaan air bersih
Dari tabel 1dapat dilihat bahwa anak yang rumahnya memiliki ketersediaan
air bersih tidak ada yang terinfeksi telur cacing (0.0%). Sedangkan anak yang
rumahnya tidak memiliki ketersediaan air bersih 7 anak (70,0 %) yang terinfeksi
telur cacing dan 3 anak (30%) anak tidak terinfeksi telur cacing. Meskipun
keadaan ini menggambarkan bahwa kondisi penyediaan air bersih sebagian
masyarakat sudah memenuhi syarat, namun dalam kenyataannya masih ada balita
yang terkena penyakit cacingan. Hal ini dikarenakan masih ada kondisi air yang
tidak memenuhi syarat kesehatan. syarat-syarat air yang sehat yaitu memenuhi
persyaratan fisik (tidak berasa, berbau, dan tidak berwarna), persyaratan
bakteriologis (untuk mengurangi terkontaminasinya mikroorganisme
patogen)[24].Berdasarkan hasil uji statistik chi-square diperoleh nilai P value
0,016, artinya pada variabel ketersediaan air bersih memiliki hubungan secara
signifikan dengan kecacingan Soil Transmitted Helminth, hal ini sama dengan
penelitian Yudhastuti[15].Salah satu penularan askariasis dapat terjadi melalui
beberapa jalan, yaitu masuknya telur infektif ke dalam mulut bersama makanan
atau minuman yang tercemar. Ketersediaan air bersih merupakan salah satu
kebutuhan manusia untuk minum, masak, mandi, dan mencuci (bermacam-macam
sayuran). Oleh karena itu untuk keperluan sehari-hari air harus mempunyai syarat
kesehatan agar tidak menimbulkan suatu penyakit[25][24]
Ketersediaan jamban
Dari tabel 1 menunjukkan bahwa anak yang rumahnya memiliki ketersediaan
jamban tidak ada yang terinfeksi telur cacing (0,0%). Sedangkan anak yang
rumahnya tidak memiliki ketersediaan jamban terdapat 7 anak (63,6%) yang
terinfeksi telur cacing dan 4 anak (36,4%) tidak terinfeksi telur cacing. Kondisi
jamban di RW 07 masih memprihatinkan, yaitu keadaan jamban yang kumuh,
kurang tersedianya air bersih, kurang pencahayaan dan sering dihinggapi serangga
terutama lalat. Kurangnya penyediaan jamban akan mempercepat penyebaran
penyakit-penyakit yang ditularkan melalui tinja, diantaranya penyakit tifus,
disentri, kolera dan kecacingan[24].Berdasarkan hasil uji statistik chi-square
diperoleh nilai P= 0,024 , artinya pada variabel ketersediaan jamban memiliki
hubungan secara signifikan dengan kecacinganSoil Transmitted Helminth. Hal ini
sama dengan penelitian Yudhastuti[15]dan Altiara[26].
Ketersediaan tempat sampah
Dari tabel 1 menunjukkan bahwa anak yang rumahnya memiliki ketersediaan
tempat sampah tidak ada yang terinfeksi telur cacing (0,0%). Sedangkan anak
yang rumahnya tidak memiliki ketersediaan tempat sampah terdapat 7 anak
(12,7%) yang terinfeksi telur cacing dan 4 anak (87,3%) anak tidak terinfeksi telur
cacing
Berdasarkan hasil uji statistik chi-square kondisi tempat sampah tidak
berpengaruh signifikan, terlihat dari nilai P= 0,168 , artinya pada variabel
ketersediaan tempat sampah tidak memiliki hubungan secara signifikan dengan
kecacinganSoil Transmitted Helminth.penelitian ini sejalan denga penelitian
Altira[26]

KESIMPULAN
Persentase kecacingan anak usia 1-5 tahun yang sebesar 12,7% dengan jenis
cacing Ascaris lumbricoides 7,2%, Trichuris trichiura 3,6%, dan cacing
tambang1,8%.Variabel yang berhubungan dengan kejadian kecacingan adalah
kebiasaan mencuci tanganibu, kebiasaan memakai alas kaki,kebersihan kuku ibu
serta anak,ketersediaan air bersih dan ketersediaan jamban dengan kejadian
kecacingan.Diharapkan kepada ibu agar meperhatikan kebersihan diri dan
kebersihan anaknya agar terhindar dari kecacingan. Untk peneliti selajutnya dapat
meniliti faktor lain yang berhubungan dengan kecacingan seperti karakteristik
anak, pengetahuan dan pekerjaan orang tua

REFERENSI
[1] S. Sutanto, I., Ismid, I.S., Sjarifuddin, P.K., Sungkar, Buku Ajar
Parasitologi Kedokteran, Keempat. Jakarta: FKUI, 2008.
[2] R. Safar, Parasitologi kedokteran Protizoa, helmintologi Entomologi.
Bandung: CV Yrama widya, 2009.
[3] H. Widodo, Parasitologi Kedokteran. Yogyakarta: D-Medika, 2013.
[4] D. RI, “Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia N0.
24/MENKES/VI/2006 tENTANG pEDOMAN pENGENDALIAN
CACINGAN.” 2006.
[5] A. Mokodompit, A. Y. Ismanto, and F. Onibala, “HUBUNGAN
TINDAKAN PERSONAL HYGIENE IBU DENGAN KEJADIAN DIARE
PADA BALITA DI PUSKESMAS BILALANG KOTA
KOTAMOBAGU,” J. KEPERAWATAN, vol. 3, no. 2, 2015.
[6] S. Kola, M. Racheal, and A. Elizabeth, “Soil-transmitted helminth
infections among school children in rural communities of Moro Local
Government Area, Kwara State, Nigeria,” African J. Microbiol. Res., vol.
7, no. 45, pp. 5148–5153, 2013.
[7] B. T. Ratag, F. R. R. Maramis, and K. Dareda, “Hubungan Antara Higiene
Perorangan Dengan Infestasi Cacing Usus Pada Siswa Sekolah Dasar
Negeri 119 Manado,” Bul. IDI Manad. Hal, pp. 19–25, 2011.
[8] K. Deribe et al., “The burden of neglected tropical diseases in Ethiopia ,
and opportunities for integrated control and elimination,” Parasit. Vectors,
vol. 5, no. 1, p. 1, 2012.
[9] S. Debalke, A. Worku, N. Jahur, and Z. Mekonnen, “Soil transmitted
helminths and associated factors among schoolchildren in government and
private primary school in Jimma Town, Southwest Ethiopia,” Ethiop. J.
Health Sci., vol. 23, no. 3, pp. 237–244, 2013.
[10] S. Kartini, “Kejadian Kecacingan pada Siswa Sekolah Dasar Negeri
Kecamatan Rumbai Pesisir Pekanbar,” J. Kesehat. Komunitas, vol. 3, no. 2,
pp. 53–58, 2016.
[11] J. Fitri, Z. Saam, and M. Y. Hamidy, “Analisis faktor-faktor risiko infeksi
kecacingan murid sekolah dasar di Kecamatan Angkola Timur Kabupaten
Tapanuli Selatan tahun 2012,” J. Ilmu Lingkung., vol. 6, no. 2, 2013.
[12] WHO, “Soil-Transmitted Helminth Infection,” 2016.
[13] Depkes, Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta, 2009.
[14] H. Arimbi, Tumbuh Kembang, Staus Gizi dan Imunisasi Pada Balita.
Jakarta: Nuha Medika, 2010.
[15] R. Yudhastuti and M. F. D. Lusno, “Kebersihan Diri dan Sanitasi Rumah
pada Anak Balita dengan Kecacingan Personal Hygiene and House
Sanitation among Children Under Five Years Old with Helminthiasis,” pp.
173–178, 2010.
[16] S. Endriani, Mifbakhudin, “Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan
Kejadian Kecacingan Pada Anak Usia1-4 Tahun,” J Kesy Mash Indones,
pp. 22–35, 2010.
[17] A. Tri, R. Amaliah, and D. Indo-, “Distribusi Spasial Kasus Kecacingan (
Ascaris lumbricoides ) Terhadap Personal Higiene Anak Balita di Pulau
Kodingareng Kecamatan Ujung Tanah Kota Makassar Tahun 2016,” 2016.
[18] Widodo, Parasitologi Kedokteran. Jogjakarta: D_MEDIKA, 2013.
[19] C. James, Manual Pemberantasan Penyakit Menular, 17th ed. Jakarta:
Infomedika, 2012.
[20] CDC, “Parasites hookworm.” 2013.
[21] Sunita, “Hubungan prilaku hidup bersih PHBS dengan kejadian cacingan
siswa sekolah dasar di Kecamatan Tambang Kabupaten Kampar.”
Universitas Riau, 2011.
[22] S. Idehan, B & Pusarawati, Helmintologi Kedokteran, Cetakan Pe.
Surabaya: Airlangga University Press, 2007.
[23] A. Murtie, All About Kesehatan Anak. Jogjakarta: Idea Publishing, 2014.
[24] N. Soekidjo, Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta,
2007.
[25] Sudarto, Buku Ajar Helmintologi Kedokteran. Suarabaya: AUAP, 2011.
[26] S. Altiara, “Hubungan Sanitasi Lingkungan Rumah dengn Kejadian
Cacingan Pada Balita di RW 03 Kelurahan Panggng Kota Tegal,” 2010.
View publication stats

You might also like