You are on page 1of 7

Pemanfaatan Limbah Kulit Nanas Madu(Ananas Comocus L) Sebagai Bahan Baku

Pembuatan Bioetanol Melalui Proses Fermentasi

Muhammad Firdha Nurul Islami,


Program studi Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya.
Kampus Bekasi Jl. Perjuangan No.81 Kota Bekasi, Jawa Barat 17143
muhammadfirdha@hotmail.com

ABSTRACT

Leather waste pineapple (Ananas comusus (L.) Merr) is agricultural waste which have a
sugar content is quite high, ranging between 8.7% to 17.53%. %. Sugar content high enough on
the pineapple skin allows it to be used as raw material for bioethanol production through
fermentation. Based on preliminary research shows that only 76.36% of the weight of fresh
pineapple can be used / consumed, while the rest is discarded as waste.
The research method for bioethanol production using a process with several stages. Begins with
the extraction process. Previously crushed pineapple skin and the skin of pineapple that has been
devastated plus distilled water with a weight ratio of pineapple skin: distilled water = 1: 2 and
then do the screening process. Pineapple skin juice is then analyzed for levels of glucose. The
process of anaerobic fermentation takes place at pH 4-5 by using yeast (Saccharomyces
cerevisiae) as microorganisms that will outline the glucose into ethanol. In order for optimal
growth and proliferation of yeast, then add urea weighing 4 grams as the nutrient into the media.
To separate the ethanol formed, the distillation process is carried out at a temperature of 90-
95ºC for approximately 3 hours until the distillate no longer drips.
In this research, the weight ratio variation of yeast used and the length of time of fermentation.
The results of the study are expected pineapple skin waste produce bioethanol at optimum levels
with a conversion ratio of glucose, duration of fermentation

Keywords: Bioethanol, distillation, fermentation, pineapple peel.


1. Pendahuluan nanas madu dengan cara
memisahkan filtrat nanas
Produksi buah nanas di Indonesia dengan ampas nanas dan
mencapai 702 ton pertahun dan melakukan analisa kadar
sebagian besar disumbang oleh lima glukusa yang ada pada kulit
daerah penghasil nanas, yaitu nanas dengan menggunakan
Sumatra Utara yang memiliki luas glukosa meter dan metode
lahan perkebunan nanas 340 Ha Lane-eynon. Tahap
menghasilkan produksi nanas selanjutnya yaitu Pasteurisasi
sebanyak 32.175 ton, Sumatra dengan cara memanaskan
Selatan 763 Ha menghasilkan 72.265 larutan sari(filtrat) kulit nanas
ton nanas, Lampung 484 Ha pada suhu 70oC selama 15
menghasilkan 45.896 ton, Jawa Barat menit kemudian
1.767 Ha menghasilkan 167.439 ton, mendinginkan larutan hingga
dan Jawa Timur 3.013 Ha suhu kamar(30oC) dengan
menghasilkan 285.504 ton. ditutup menggunakan
Komposisi limbah nanas rata-rata alumunium foil. Lalu
mencapai kurang lebih 50 % dimana pembuatan starter dengan
sebesar 23 % adalah bagian kulit. menggunakan nutien (0.5%
Limbah tersebut saat ini belum urea dan 0.1 NPK) dan ragi
dimanfaatkan dan hanya dibuang Saccaromyces cereviceae
begitu saja. Dari konsumsi buah dalam bentuk dry baker yeast
nanas maka akan menghasilkan komersil dengan variasi 3%,
limbah kulit nanas yang cukup 4% dan 5% dan melakukan
banyak sehingga berpotensi untuk proses aerasi larutan starter
dijadikan bahan baku bioetanol. selama 16 jam dengan
menggunakan aerator.
Menurut Wijana dkk (1991), kulit Dilanjutkan dengan proses
nanas mengandung 43,54 % air, fermentasi dengan cara
17,53 % karbohidrat, 4,41 % protein, mencampur larutan starter ke
20,87 % serat kasar, dan 13,65 % dalam fermentor. Selanjutnya
gula reduksi. Kandungan jumlah adalah proses destilasi hasil
glukosa, serat kasar dan karbohidrat fermentasi pada suhu 90oC-
pada kulit nanas yang terbilang 95oC dalam waktu 4 jam.
cukup tinggi maka kulit nanas dapat Proses yang terakhir adalah
dimanfaatkan sebagai salah satu menentukan kadar alkohol
bahan baku untuk pembuatan dengan menggunakan
bioetanol melaui proses fermentasi alkoholmeter.
menggunakan Saccaromyces
cerevisiae. 3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Proses Fermentasi
2. Metodologi Selama proses fermentasi terjadi
penurunan kadar gula pereduksi dan
Produksi Bioetanol pH, fase ini merupakan fase dimana
Tahap awal produksi yaitu khamir mengkonsumsi substrat
persiapan bahan baku kulit untuk menghasilkan etanol.
Penurunan Kadar Gula Pereduksi dan pH pada Substrat Fermentasi

Gula Pereduksi pH
Perlakuan
Awal Akhir Awal Akhir
P1 9 1 4,26 4,15
P2 9 2 4,32 4,25
P3 9 2 4,29 4,19
P4 7 0 4,41 4,28
P5 9 0 4,54 4,37
P6 7 0 4,34 4,26
P7 9 4 4,65 4,42
P8 8 3 4,47 4,38
P9 5 3 4,56 4,45

Pada semua perlakuan, laju fermentasi


Kadar gula pereduksi pada akhir
berjalan dengan lambat. Hal ini dapat dilihat
proses fermentasi mengalami penurunan, hal
dari konsumsi gula pereduksi oleh
ini karena gula pereduksi telah diubah
Saccharomyces cerevisiae yang tidak
menjadi bioetanol. Perubahan gula
maksimal. Menurut Mussato dan Roberto
pereduksi menjadi bioetanol sangat
(2004), lambatnya laju fermentasi diduga
dipengaruhi oleh kerja enzim zimase dan
karena adanya senyawa-senyawa toksik
intervase dari ragi
yang terbentuk pada proses hidrolisis asam
Saccharomyces cerevisiae, dimana kinerja
antara lain senyawa furfural, hydroximetil
enzim ini akan mengalami penurunan jika
furfural, asam karboksilat dan senyawa
terdapat jumlah gula pereduksi yang terlalu
fenol. Boyer, dkk. (1992) menyatakan fase
tinggi.
awal yang lambat menunjukkan bahwa

mikroorganisme membutuhkan fase adaptasi


(lag phase) yang lebih lama. Hal ini diduga endapan hasil fermentasi yang berasal dari

karena adanya proses sintesis enzim atau ragi Saccaromyces cerevisiae dengan larutan

koenzim baru untuk menguraikan senyawa hasil fementasi. Sampel yang telah malalui

furfural. Dikutip dari Palvist dan Hagerdal proses penyaringan selanjutnya diproses

(2006) Fase adaptasi berhubungan dengan dengan cara didistilasi. Distilasi ini

adanya sintesis enzim baru untuk mengubah bertujuan untuk mengambil etanol yang

furfural menjadi furfural alkohol, enzim terkandung dalam larutan hasil fermentasi

tersebut ialah enzim alkoholdehidrogenase untuk selanjutnya dihitung kadarnya dengan

(ADH) yang seharusnya berfungsi untuk menggunakan alat alkoholmeter dan metode
merubah asetildehid menjadi etanol. berat jenis. Proses distilasi
3.2 Proses Destilasi dilakukan pada suhu 90 - 95C selama 4
Sebelum sampel didistilasi, sampel
(empat) jam atau sampai destilat tidak
terlebih dahulu disaring untuk memisahkan
menetes lagi.

Tabel Volume, Rendemen, Kadar dan Berat Jenis Bioetanol Setelah Distilasi

Perlakuan Volume (ml) Rendemen (%) Kadar (%) Berat Jenis (gr/ml)

P1 43 8,6 43 0,9477

P2 47 9,4 45 0,9467

P3 58 11,6 25 0,9890

P4 40 8 50 0,9409

P5 43 8,6 66 0,9083

P6 52 10,4 50 0,9478

P7 65 13 35 0,9700

P8 50 10 48 0,9596

P9 74 14,8 13 0,9766
Dari data diatas, dapat dilihat waktu yang waktu fermentasi maka jumlah mikroba
sesuai untuk menghasilkan etanol yang semakin menurun dan menuju ke fase
optimum berada pada waktu 3 hari. kematian yang diakibatkan karena etanol
Semakin lama waktu fermentasi kadar yang dihasilkan semakin banyak dan
etanol yang dihasilkan akan optimum dan nutrient yang ada sebagai makanan mikroba
akhirnya akan menurun. Hal ini dapat kita semakin menurun. Penurunan kadar
lihat pada di lama waktu fermentasi 4 hari, bioetanol juga disebabkan oleh konsentrasi
dimana kadar etanol yang dihasilkan gula pereduksi berlebih sebagai efek
menurun dibandingkan pada lama inhibisi substrat dan produk. Konsentrasi
fermentasi 3 hari. Sari dkk (2008) substrat yang terlalu tinggi akan
menyatakan, lama fermentasi yang paling mengurangi jumlah oksigen terlarut
optimal untuk proses pembuatan meskipun dalam jumlah yang sedikit.
bioetanoladalah 3 hari. Apabila fermentasi
dilakukan lebih dari 3 hari, maka kadar
etanol yang dihasilkan akan berkurang. 3.3 Proses Optimasi
Berkurangnya kadar etanol disebabkan
karena etanol telah dikonversi menjadi Setelah diketahui bahwa waktu optimum
senyawa lain, seperti ester. Pada tahap untuk melakukan fermetasi yaitu berada di
pertama, sel khamir mulai memasuki fase 3 (tiga) hari dengan jumlah ragi sebanyak
eksponensial dimana etanol sebagai 5%, selanjutnya dilakukan proses optimasi
metabolit primer dihasilkan, sedangkan yaitu dengan melakukan pengujian ulang
tahap selanjutnya sel khamir mulai pada perlakuan optimum tersebut.
memasuki fase stasioner dan kematian Pengulangan dilakukan sama dengan
sehingga etanol yang dihasilkan menurun. perlakuan optimum.
Menurut Kunaepah (2008), semakin lama

Tabel Penurunan Gula Pereduksi dan pH pada Proses Fermentasi

Gula Pereduksi pH
Perlakuan
Awal Akhir Awal Akhir
U1 9 0 4,54 4,37
U2 9 0 4,54 4,37
U3 9 0 4,54 4,37

Tabel Volume, Rendemen, Kadar dan Berat Jenis Bioetanol Setelah Distilasi

Pengulangan Volume (ml) Rendemen (%) Kadar (%) Berat Jenis (g/mL)

U1 43 8,6 66 0,9083

U2 43 8,6 66 0,9067

U3 42 8,4 65 0,9030
3.4 Uji Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red(FTIR)

Fourier Transformed Infrared(FTIR) merupakan salah satu alat atau instrument yang dapat
digunakan untuk mendeteksi gugus fungsi, mengidentifikasi senyawa dan menganalisis campuran
dari sampel bioetanol yang dihasilkan.

4. Kesimpulan
2. Perlu penelitian lanjutan untuk mendapatkan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat kadar etanol optimum dengan cara
disimpulkan sebagai berikut : menggunakan ragi saccaromyces cerevisiae
biakan yang tahan terhadap konsentrasi etanol,
1. Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa limbah glukosa dan garam tinggi.
kulit nanas madu mengandung glukosa yang cukup
tinggi sehingga dapat dikonversikan menjadi bioetanol 3. Perlu dilakukan analisa GC-MS untuk
melalui proses fermentasi dengan menggunakan ragi mengetahui gugus dan senyawa produk
Saccharomyces cerevisiae. fermentasi guna mendapatkan hasil yang lebih
akurat.
2. Pada penelitian ini didapatkan konsentrasi bioetanol
terbaik yaitu pada waktu fermentasi 3 hari dan 6. Ucapan Terimakasih
penambahan ragi sebanyak 30g dari volume larutan
yang dihasilkan konsentrasi bioetanol tertinggi yaitu Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu
sebesar 62% dengan rendemen bioetanol sebesar 8,6%. Dr.Ir. Yatti Maryati Akib, M.Si dan Bapak Ir.
Yos Ully, MBA selaku pembimbing yang
5. Saran membantu peneliti selama penelitian ini.

Berdasarkan data hasil penelitian yang didapat, maka


diajukan beberapa saran untuk perbaikan penelitian
selanjutnya dimasa yang akan datang yaitu :

1.Perlu dilakukan proses distilasi secara bertingkat dengan


kontrol temperatur yang baik, agar didapatkan kemurnian
etanol yang tinggi.
Daftar Pustaka
Agustian, Diah., dkk. 2015. Efektivitas Penggunaan Bioetanol Dari IEA (International Energy Agency) (2006) Medium
Limbah Padat Alang-alang (Imperata cylindrica (L) Beauv.) Terhadap term oil market report. Paris. Available at htt
Lama Pembakaran Kompor Bioetanol. Biologi FMIPA ITS. Surabaya. p://www.iea.org
Jurnal Sains dan Seni ITS Vol. 4 No. 1 (2015) Iman, P., 2014. Bahan Bakar Nabati 5 (Proses
Amorim, HV, Basso, LC, Lopes, ML (2009) Sugar can juice and Pengolahan Bahan Baku Biomassa Menjadi Bioetanol).
molasses, beet molasses and sweet sorghum: composition and usage. Bandung.
In: The alcohol textbook, 5th edn. Nottingham University Press, Judoamidjojo, RM., E. G. Sa’id, dan L. Hartono. 1989.
Nottingham, pp 39–46 Biokonversi. Bogor : Departemen Pendidikan dan
Andri, H., Sitinjak. R, Wira. H, wibawa.G, dan Ali, 2009. Distilasi Kebudidayaan, Dirjen Dikti, Pusat Antar Universitas
Terpadu Untuk Memisahkan campuran Azeotrope Sistem Etanol + Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.
Air. Prossiding SNTKI.Bandung. Kartika., dkk. 1992. Petunjuk Evaluasi Produk Industri
ANFAVEA—National Association of Automobile Fabricants (2006) Hasil Pertanian. Yogyakarta : PAU pangan dan Gizi
Brazilian automotive industry yearbook. p 167 (in Portuguese) UGM.
Anonim. Modul 2.05 Distilasi. Panduan Pelaksanaan Laboratorium Khairani, R., 2007. Tanaman Jagung Sebagai bahan
Instruksional I / II. Departemen Teknik Kimia ITB. Bio-fuel. Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik.
Armansyah, T.H, Hambali. E, Mujdalipah. S, Pratiwi. W.A, dan Universitas Indonesia.
Hendroko.R, 2007. Kusnadi, dkk., 2009. Pemanfaatan Sampah Organik
Teknologi Bioenergi. PT. Agro Medika Pustaka. Jakarta. sebagai Bahan Baku Produksi Bioetanol sebagai Energi
Assegaf, F., 2009. Prospek Produk Bioetanol Bonggol Pisang (Musa Alternatif. Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas
Paradisiacal) Menggunakan Metode Hidrolisis Asam dan Enzimatik. Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Universitas Indonesia.
Bajpai P (2007) Bioethanol. PIRA Technology Report, Smithers Mahreni dan Sri Suhenry. 2011. Kinetika Pertumbuhan
PIRA, UK Sel Saccaromyces cereviceae dalam Media Tepung
Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wotton, 1987. Kulit Pisang. Seminar Rekayasa Kimia dan Proses.
Ilmu Pangan. Penerjemah H Purnomo dan Adiono. UI – Press, Yogyakarta. ISSN : 1411-4216.
Jakarta. Nurdyastuti. I., 2002. Pembuatan Bioetanol dari Buah
Dambach E, Han A, Henthorn B (2004) Ethanol as fuel for Pepaya. Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik.
recreational boats. ENGS 190/ENGG 290 final report. Available at Universitas Sumatra Utara.
http://www.dartmouth.edu/~ethanolboat/ Nurrohmadi dan Nuria Amalia S. 2010. Pembuatan
Ethanol_Outboard_Final_Report.pdf Bioetanol dari Ubi Jalar Putih. UNS. Semarang.
Department of Energy (2006b) Guidebook for handling, storing, & Noto, A., 2010. Tinjaun Pustaka.
dispensing fuel ethanol pre-pared for the U.S. department of energy http://repository.usu.ac.id
by the center for transportation research energy sys-tems division, Perry. R.H, 1984. Perry Chemical Engineering Hands
Argonne National Laboratory Book. Mc Graw Hill. Singapore.
Direktorat Gizi Depkes RI. 1996. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Ratna, I Wayan. 2009. Pengembangan Alternatif
Jakarta. Teknologi Bioproses Pembuatan Bioetanol Dari Ubi
Ethanol News (2006). Japan to fight global warming, rising oil prices Kayu Mwnggunakan Trichoderma viride, Aspergillus
by replacing gas cars with ethanol ones. Available at http://ethanol- niger dan Saccaromyces cereviceae. Sekolah pasca
news.newslib.com/story/6938-4598/69 sarjana IPB. Bogor
Fanindi, dkk. 2005. Pertumbuhan dan Produktivitas Tanaman Renewable Fuels Association (RFA) (2007) Ethanol
Sorgum (Sorghum Bicolor (L) Moench dan Sorghum Sudanense industry outlook: building new horizons. Available at:
(Piper) Stafp) yang Mendapatkan Kombinasi Pemupukan N, P, K dan http://www.ethanolrfa.org/objects/pdf/outlook/RFA_Ou
Ca. Balai Penelitian Ternak. Bogor. tlook_2007.pdf
Fessenden and Fessenden, 1982.Kimia Organik. PT. Erlangga. Renewable Fuels Association (RFA) (2010)
Jakarta. http://www.ethanolrfa.org/pages/statistics
Harahap.H, 2003.Karya Ilmiah Produksi Alkohol. Program Studi Renewable Fuels Association (RFA) (2012)
Teknik Kimia Fakultas Teknik. Universitas Sumatra Utara. http://www.ethanolrfa.org/pages/statistics
Hidayat, N., M. C. Pradaga dan S. Suhartini, 2006. Mikrobiologi Renewable Fuels Association (RFA) (2013) Battling for
Industri. Andi: Yogyakarta. the
barrell.ethanolrfa.3cdn.net/dc207800043a5aa5aa_y5im6
rokb.pdf

You might also like