You are on page 1of 123

POTENSI BAKTERI SIMBION

TUMBUHAN LAMUN SEBAGAI PENGHAMBAT


TERJADINYA BIFOULING DI LAUT

BINTANG MARHAENI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Potensi Bakteri


Simbion Tumbuhan Lamun sebagai Penghambat Terjadinya Biofouling di Laut”
adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan atau tidak diterbitkan dari penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir disertasi.

Bogor, April 2011

Bintang Marhaeni
C561060031
ABSTRACT

BINTANG MARHAENI. Potential of Bacterial Simbionts of Seagrass as


Preventing Marine Biofouling. Under direction of DIETRIECH GEOFFREY
BENGEN, RICHARDUS KASWADJI, and OCKY KARNA RADJASA.

Biofouling is defined as the attachment and growth of microorganisms


(microbial fouling) and macroorganisms (macrofouling) on solid surface.
Biofouling bacteria also result on surface of marine plant seagrass as symbiotic.
Bacteria-seagrass association that occur on the surface have been known to
produce secondary metabolites that have important ecological roles, including
prevention from pathogen infection and fouling organisms. A research aimed at
the bacterial symbionts of seagrass Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii and
Syringodium isoetifolium as defense marine biofouling was performed. Bacterial
symbionts including endophytes and epiphytes were isolated from the seagrass.
Marine biofilm-forming bacteria had been isolated from the fiber and wooden
panels from the surrounding colonies. Epiphyte isolate found more than
endophyte isolate, however more biological activity was found among endophyte
compare to epiphyte against biofilm-forming bacteria. Bacterial endophyte
inhibited more biofilm-forming bacteria than epiphyte. Extract endophytes and
epiphytes bacteria also inhabited biofilm-forming bacteria. Field experimental of
extract bacteria show that extract of two bacteria spesies cannot obtained fouling
organisms identified as Virgibacillus genus and one identified as Bacillus genus.
Bacterial symbionts of seagrass in this experiment show potential source as
natural marine antifouling.

Keywords : biofouling, seagrass, endophyte, epiphyte, biofilm-forming bacteria.


RINGKASAN

BINTANG MARHAENI. Potensi Bakteri Simbion Tumbuhan Lamun


sebagai Penghambat Terjadinya Biofouling di Laut. Dibimbing oleh Dietriech
Geoffrey Bengen., Richardus Kaswadji., dan.Ocky Karna Radjasa.

Biofouling adalah penempelan dan pertumbuhan organisme pada permukaan


substrat baik yang bersifat abiotik maupun biotik yang berada di bawah
permukaan air. Biofouling dibedakan menjadi microfouling yaitu pembentukan
biofilm (kolonisasi bakteri dan mikroalga) dan macrofouling yaitu penempelan
makroorganisme (kolonisasi avertebrata dan makroalga). Tahapan proses
biofouling dimulai dari terbentuknya biofilm secara biokimia pada permukaan
substrat diikuti penempelan mikroba atau microfouling dan tahap akhir adalah
penempelan macrofouling. Biofouling banyak terjadi pada berbagai struktur di
lingkungan laut dan telah menjadi permasalahan yang serius. Usaha
penanggulangan biofouling di laut banyak dilakukan dengan cara pengecatan
menggunakan cat antifouling sintetis yang mengandung logam berat dan TBT
(tributyltin). Aplikasi cat tersebut pada kenyataannya menyebabkan timbulnya
pencemaran lingkungan karena merusak kehidupan organisme non-target yang
merupakan spesies ekonomis penting. Hal tersebut menyebabkan penggunaan
TBT sebagai antifoulant pada saat ini tidak boleh digunakan lagi. Berawal dari
permasalahan tersebut maka penelitian potensi bakteri simbion tumbuhan lamun
sebagai penghambat biofouling dilaut telah dilakukan.
Penelitian ini dilakukan mulai bulan Desember 2008 sampai Maret 2010.
Tahap awal dari penelitian ini adalah isolasi bakteri simbion tumbuhan lamun
(epifit dan endofit) dari jenis Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii dan
Syringodium isoetifolium yang tumbuh di perairan Teluk Awur, Jepara, Jawa
Tengah. Penjebakan bakteri pembentuk biofilm yang digunakan untuk menguji
kemampuan bakteri simbion lamun dilakukan pada tempat tumbuh lamun
tersebut. Terhadap isolat bakteri yang diperoleh dilakukan pengkulturan murni
terlebih dahulu sebelum digunakan untuk pengujian kemampuan penghambatan
bakteri simbion lamun terhadap pertumbuhan bakteri biofilm. Pengujian
penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri biofilm dilakukan terhadap isolat
bakteri dan ekstrak isolat bakteri simbion lamun. Kegiatan ini dilakukan di
Laboratorium Jurusan Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang. Aplikasi
lapang terhadap penempelan macrofouling dilakukan untuk menguji kemampuan
penghambatan bakteri simbion lamun yang teruji memiliki kemampuan maksimal
pada pengujian skala laboratorium dilakukan di perairan Kamal Muara, Jakarta
Utara. Identifikasi bakteri potensial antifouling dilakukan di laboratorium
Bioteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan UIN
Yogyakarta. Pengamatan suksesi proses biofouling dilakukan pada substrat kayu
dan fiber di perairan Muara Baru. Jakarta Utara. Analisis data uji hambat
dilakukan dengan Analisis Ragam Rancangan Acak Kelompok (RAK).
Penelusuran homologi bakteri dilakukan dengan program BLAST dan Analisis
Filogenetik dengan software ARB.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa isolat bakteri simbion epifit
ditemukan lebih banyak dibandingkan bakteri simbion endofit namun demikian
dilihat dari persentase bakteri terisolasi yang aktif pada uji hambat lebih banyak
persentase bakteri endofit yang aktif dibandingkan bakteri epifit. Kemampuan
penghambatan bakteri simbion endofit lebih besar baik zona hambatnya maupun
kemampuan menghambat banyaknya jumlah isolat bakteri biofilm. Kemampuan
penghambatan ekstrak bakteri simbion lamun (epifit dan endofit) terhadap bakteri
lebih kecil dibandingkan isolat bakteri. Pada aplikasi lapang uji penghambatan
macrofouling terhadap ekstrak bakteri lamun yang dicampurkan dengan cat tanpa
antifoulant sintetis dengan perbandingan 50 : 50 memperlihatkan ada tiga ekstrak
isolat bakteri simbion lamun yaitu bakteri simbion epifit pada Enhalus acoroides
(EA 6), bakteri simbion epifit Thalassia hemprichii (TB 3) dan bakteri simbion
endofit Syringodium isoetifolium (ESJ 1) tidak ditemukan macrofouling. Ketiga
bakteri tersebut merupakan bakteri yang memiliki kemampuan penghambatan
maksimal pada uji penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri biofilm. Hasil
identifikasi molekuler bakteri memperlihatkan bahwa dua isolat bakteri tersebut
tergolong genus Virgibacillus dan satu isolat bakteri adalah genus Bacillus . Hasil
isolasi bakteri biofilm memperlihatkan bahwa jumlah isolat bakteri biofilm
(microfouling) yang terisolasi dari substrat kayu dan fiber permukaan kasar lebih
banyak dibandingkan permukaan halus. Pengamatan terhadap macrofouling pada
suksesi proses biofouling memperlihatkan kecenderungan yang sama yaitu
permukaan kasar lebih banyak dibandingkan permukaan halus dan jumlah
organisme fouling pada substrat kayu lebih banyak dibandingkan substrat fiber.

Kata kunci : biofouling, lamun, bakteri endofit, bakteri epifit, bakteri biofilm.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan
tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya
tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
POTENSI BAKTERI SIMBION TUMBUHAN LAMUN
SEBAGAI PENGHAMBAT TERJADINYA
BIOFOULING DI LAUT

BINTANG MARHAENI

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Penguji Luar Komisi

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Malikusworo Hutomo.


Dr. Iwan Saskiawan.

Penguji pada Ujian Terbuka : Prof .Dr.Ir. Dedi Soedharma, DEA


Dr. Sarjiya Antonius.
Judul Disertasi : Potensi Bakteri Simbion Tumbuhan Laut Lamun sebagai
Penghambat terjadinya Biofouling di Laut
Nama : Bintang Marhaeni
NIM : C 561060031

Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA


Ketua

Dr. Ir. Richardus Kaswadji, MSc Ocky Karna Radjasa, Ph.D


Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Kelautan

Dr. Ir.Neviaty P. Zamani., MSc Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal Ujian : 5 April 2011 Tanggal Lulus :


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2008 sampai Maret 2010
adalah mencari sumber alternatif antifoulant alami ramah lingkungan, dengan
judul Potensi Bakteri Simbion Tumbuhan Lamun sebagai Penghambat Terjadinya
Biofouling di Laut.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof.Dr.Ir. Dietriech Geoffrey
Bengen, DEA, Bapak Dr. Ir. Richardus Kaswadji, MSc dan Bapak Drs. Ocky
Karna Radjasa, MSc, Ph D selaku pembimbing. Kepada Bapak Dr. Ir. Agus Oman
Sudrajat yang telah memimpin sidang baik pada Ujian Tertutup maupun Ujian
Terbuka dan Ibu Dr. Neviaty P. Zamani sebagai ketua Program Studi Ilmu
Kelautan kami ucapkan terima kasih banyak. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada Rektor Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Dekan
Fakultas Sains dan Teknik Universitas Jenderal Soedirman, Pimpinan dan Staf
Sekolah Pascasarjana IPB, Pimpinan dan Staf Program Studi Ilmu Kelautan IPB
yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Doktor
dan atas segala bantuan dan pelayanan Bagian Administrasi yang diberikan
selama proses studi.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ditjen DIKTI yang telah
memberikan bantuan beasiswa dan dana penelitian melalui BPPS-DIKTI, Pihak
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto yang telah memberikan bantuan dana
untuk penyelesaian disertasi. Kepada keluarga penulis juga mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya terutama suami Drs. Noor Abiyoso Syakhrie dan
anak-anak tercinta Aisyah Amanda Kirana, Annisa Dian Kirani dan Alyya
Meigita Karina serta Orang Tua yang telah senantiasa memberikan suport baik
moril maupun materiil kepada penulis. Kepada segenap pimpinan dan staf
laboratorium jurusan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro
Semarang kami ucapkan terimakasih atas bantuannya selama penelitian serta
rekan-rekan sesama mahasiswa Ilmu Kelautan dan rekan-rekan pengajar di
Jurusan Perikanan dan Kelautan Unsoed yang telah banyak memberikan motivasi.
Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada rekan-rekan yang bersama-sama
menuntut ilmu di IPB atas segala motivasi dan bantuannya semoga kita semua
akan selalu menjadi sahabat dimanapun kita berada.
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banjarnegara, Jawa Tengah dari orang tua Ibu Soekijati
dan Bapak Drs. Didi Sayidi (Alm) pada tanggal 3 Juli 1966. Kuliah S1
diselesaikan di Jurusan Biologi Lingkungan, Fakultas Biologi, Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto lulus tahun 1989 dan kuliah S2 di Program Studi
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor lulus tahun 1999 dengan beasiswa TMPD
dari Ditjen DIKTI. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa doktoral
Pascasarjana Program Studi Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dengan
beasiswa melalui BPPS-DIKTI dan sekarang menjadi kandidat untuk gelar doktor
pada di Departemen Ilmu Kelautan FPIK-IPB.
Riwayat pekerjaan penulis dimulai sebagai Staf Peneliti di Program Tropical
Aquatic Biology, SEAMEO-BIOTROP tahun 1990–1995, selanjutnya sebagai
staf pengajar di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
pada tahun 1993–2004 dan pada saat ini penulis bekerja sebagai staf pengajar di
jurusan Perikanan dan Kelautan, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto dari tahun 2004–sekarang.
Sebuah artikel berjudul Screening of Bacterial Symbionts of Seagrass
Enhalus acoroides against Biofilm-Forming Bacteria telah diterbitkan pada bulan
Februari 2010 di Journal of Coastal Development 13(2). Karya ilmiah tersebut
merupakan bagian dari penelitian Program S3 penulis.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiv
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvii

PENDAHULUAN.............................................................................................. 1
Latar belakang ..................................................................................................... 1
Perumusan Masalah ............................................................................................ 2
Tujuan Penelitian ................................................................................................ 5
Manfaat Penelitian .............................................................................................. 5
Ruang Lingkup Penelitian ................................................................................... 5
Kebaharuan Penelitian (Novelty Penelitian) ....................................................... 5

TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 6


Ekobiologi Lamun .............................................................................................. 6
Sumber-sumber Antifoulant Alami ..................................................................... 10
Biofouling ............................................................................................................ 15

BAHAN DAN METODE .................................................................................. 22


Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................................. 22
Prosedur Penelitian.............................................................................................. 24
Isolasi Bakteri Epifit ..................................................................................... 24
Isolasi Bakteri Endofit................................................................................... 24
Isolasi Bakteri Pembentuk Biofilm ............................................................... 25
Uji Penghambatan Bakteri Simbion Lamun (epifit dan endofit)
terhadap Pertumbuhan Bakteri Biofilm ......................................................... 26
Uji Penghambatan Ekstrak Bakteri Simbion Lamun (epifit dan endofit)
terhadap Pertumbuhan Bakteri Biofilm ......................................................... 27
Uji Aplikasi Lapang Penghambatan Ekstrak Bakteri Simbion Lamun
terhadap Penempelan Macrofouling ............................................................. 27
Identifikasi Bakteri ........................................................................................ 28
Analisis Pohon Filogenetik ........................................................................... 29
Uji Penempelan Macrofouling pada jenis substrat kayu dan fiber ............... 30
Pengamatan Parameter Fisik-Kimia Perairan ............................................... 30

HASIL ............................................................................................................... 31
Identifikasi Tumbuhan Lamun ............................................................................ 31
Isolasi Bakteri Simbion Lamun (epifit dan endofit) ........................................... 32
Uji Penghambatan Bakteri Simbion Lamun (epifit dan endofit) terhadap
Pertumbuhan Bakteri Biofilm .............................................................................. 32
Uji Penghambatan Ekstrak Bakteri Simbion Lamun terhadap Pertumbuhan
Bakteri Biofilm .................................................................................................... 35

xii
Uji Aplikasi Lapang Penghambatan Ekstrak Bakteri Simbion Lamun
terhadap penempelan Macrofouling.................................................................... 37
Isolasi Bakteri Pembentuk Biofilm ...................................................................... 38
Suksesi Proses Biofouling pada Jenis Substrat Kayu dan Fiber.......................... 39
Pengamatan Parameter Fisik-Kimia Perairan ..................................................... 40
Identifikasi Bakteri .............................................................................................. 44
Analisis Filogenetik ............................................................................................ 45

PEMBAHASAN ................................................................................................ 47
Identifikasi Tumbuhan Lamun ............................................................................ 47
Isolasi Bakteri Simbion Lamun (epifit dan endofit) ........................................... 47
Uji Penghambatan Bakteri Simbion Lamun (epifit dan endofit) terhadap
Pertumbuhan Bakteri Biofilm .............................................................................. 49
Uji Penghambatan Ekstrak Bakteri Simbion Lamun terhadap
Pertumbuhan Bakteri Biofilm .............................................................................. 51
Uji Penghambatan Ekstrak Bakteri Simbion Lamun terhadap
Macrofouling ....................................................................................................... 53
Isolasi Bakteri Pembentuk Biofilm ...................................................................... 55
Pengamatan Suksesi Proses Biofouling pada Jenis Substrat Kayu dan Fiber ..... 57
Pengamatan Parameter Fisik-Kmia Perairan ...................................................... 62
Identifikasi Bakteri .............................................................................................. 63

KESIMPULAN ................................................................................................. 67
SARAN ............................................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 70
LAMPIRAN ....................................................................................................... 76

xiii
DAFTAR TABEL
Halaman

1. Hasil identifikasi bakteri simbion lamun. ..................................................... 44


2. Hasil identifikasi bakteri biofilm ................................................................... 44

xiv
DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Latar belakang penelitian .............................................................................. 2


2. Kerangka perumusan masalah....................................................................... 4
3. Rangkaian peristiwa microfouling dan macrofouling (Egan, 2001) ............. 17
4. Peta lokasi pengambilan contoh daun lamun ................................................ 23
5. Cara melakukan isolasi bakteri epifit dari daun lamun ................................. 24
6. Cara melakukan isolasi bakteri endofit dari daun lamun .............................. 25
7. Pemasangan substrat kayu dan fiber dengan posisi empat mata
angin untuk penjebakan bakteri pembentuk biofilm. .................................... 26
8. Substrat kayu yang dicat dengan campuran cat tanpa antifoulant
dan ekstrak bakteri untuk aplikasi lapang ..................................................... 28
9. Balok kayu dan fiber yang digunakan dalam percobaan biofouling ............. 30
10. Morfologi jenis lamun yang digunakan sebagai objek penelitian ................. 31
11. Hasil isolasi bakteri simbion epifit (a) dan endofit (b) ................................. 32
12. Jumlah isolat bakteri epifit dan endofit terisolasi dari 3 jenis lamun. ........... 32
13. Besar zona hambat maksimum (mm) uji penghambatan bakteri
simbion lamun (epifit dan endofit) terhadap pertumbuhan bakteri
biofilm ........................................................................................................... 33
14. Jumlah bakteri biofilm yang dihambat pada uji penghambatan
bakteri simbion lamun (epifit dan indofit) terhadap pertumbuhan
bakteri biofilm ............................................................................................... 34
15. Persentase bakteri simbion lamun (epifit dan indofit) yang aktif
pada uji penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri biofilm .................... 35
16. Zona hambat maksimum uji penghambatan ekstrak bakteri simbion
lamunn (epifit dan endofit) terhadap pertumbuhan bakteri biofilm ............. 36
17. Jumlah biofilm yang dihambat pada uji penghambatan ekstrak
bakteri simbion lamun (epifit dan endofit) terhadap pertumbuhan
bakteri biofilm ............................................................................................... 37
18. Jumlah macrofouling pada uji aplikasi lapang ekstrak bakteri
simbion lamun terhadap penempelan macrofouling ..................................... 38
19. Jumlah isolat bakteri biofilm yang terisolasi dari substrat kayu dan
fiber ............................................................................................................... 38
20. Jumlah macrofouling pada Uji penempelan macrofouling pada
substrat kayu dan fiber .................................................................................. 39

xv
21. Suksesi proses biofouling pada substrat fiber dan kayu satu minggu
pertama pengamatan...................................................................................... 40
22. Parameter lingkungan perairan pada saat isolasi bakteri simbion
lamun (epifit dan endofit).............................................................................. 41
23. Parameter lingkungan perairan pada saat uji aplikasi lapang ekstrak
bakteri terhadap macrofouling ...................................................................... 42
24. Parameter lingkungan perairan pada saat pengamatan suksesi
biofouling ...................................................................................................... 43
25. Hasil analisis pohon filogenetik bakteri simbion lamun (epifit dan
endofit) .....................................................................................................................45
26. Hasil analisis filogenetik bakteri biofilm ..................................................................46
27. Zona hambat pada uji penghambatan ekstrak bakteri simbion E.
acoroides, T. hemprichii dan S. isoetifolium terhadap pertumbuhan
bakteri biofilm ............................................................................................... 53
28. Jenis macrofouling yang mendominasi pada uji aplikasi lapang
penempelan macrofouling pada substrat uji yang dicampur dengan
ekstrak bakteri ............................................................................................... 55
29. Jenis macrofouling yang mendominasi pada pengamatan suksesi
biofouling ...................................................................................................... 60

xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman

1. Pembuatan media isolasi bakteri ................................................................... 76


2. Sterilisasi alat dan bahan ............................................................................... 77
3. Ekstraksi bakteri ............................................................................................ 77
4. Kultur pada media cair .................................................................................. 77
5. Hasil analisis ragam zona hambat bakteri epifit E. acoroides
terhadap bakteri biofilm................................................................................. 78
6. Hasil analisis ragam zona hambat bakteri epifit T. hemprichi terhadap
bakteri biofilm...........................................................................................................78
7. Hasil analisis ragam zona hambat bakteri epifit S. isoetifolium
terhadap bakteri biofilm................................................................................. 78
8. Hasil analisis ragam zona hambat bakteri endofit T. hemprichi
terhadap bakteri biofilm................................................................................. 78
9. Hasil analisis ragam zona hambat bakteri endofit E. acoroides
terhadap bakteri biofilm................................................................................. 79
10. Hasil analisis ragam zona hambat bakteri endofit S. isoetifolium
terhadap bakteri biofilm................................................................................. 79
11. Analisis ragam (Anova) uji daya hambat ekstrak bakteri simbion
epifit E. acoroides terhadap bakteri biofilm .................................................. 79
12. Analisis ragam (Anova) uji daya hambat ekstrak bakteri simbion
epifit T. hemprichi terhadap bakteri biofilm .................................................. 79
13. Analisis ragam (Anova) uji daya hambat ekstrak bakteri simbion
epifit S. isoetifolium terhadap bakteri biofilm ............................................... 79
14. Analisis ragam (Anova) uji daya hambat ekstrak bakteri simbion
endofit E. acoroides terhadap bakteri biofilm ............................................... 80
15. Analisis ragam (Anova) uji daya hambat bakteri simbion endofit T.
hemprichi terhadap bakteri biofilm ............................................................... 80
16. Analisis ragam (Anova) uji daya hambat bakteri simbion endofit S.
isoetifolium terhadap bakteri biofilm............................................................. 80
17. Hasil analisis ragam uji macrofouling terhadap ekstrak bakteri
simbion lamun ............................................................................................... 80
18. Hasil analisis ragam perlakuan perbedaan jenis dan permukaan
substrat .......................................................................................................... 81
19. Pengkodean bakteri simbion lamun dan bakteri biofilm ............................... 81
20. Sequen bakteri hasil identifikasi molekuler..............................................................82

xvii
PENDAHULUAN

Latar belakang

Peristiwa biofouling pada berbagai benda di lingkungan laut telah


mengakibatkan masalah bagi pelaku industri maritim khususnya dalam bidang
transportasi laut seperti perkapalan dan struktur pelabuhan. Biofouling yang
terjadi pada badan kapal mengakibatkan peningkatan kekasaran dan menambah
beban daya tarik kapal sehingga menyebabkan konsumsi bahan bakar semakin
meningkat. Masalah biofouling juga dapat terjadi pada jaring budidaya, pipanisasi
bawah laut dan struktur pelabuhan.
Usaha penanggulangan biofouling telah dilakukan dengan beberapa metode
antara lain dengan melakukan pengerokan dan pengecatan dengan cat yang
mengandung bahan antifouling sintetis. Pengerokan organisme penempel pada
badan kapal memerlukan cara tertentu dengan terlebih dahulu melakukan
pendaratan kapal. Hal ini menyebabkan kerugian besar bagi industri perkapalan
karena pada masa itu kapal tidak bisa melakukan aktifitasnya di laut. Pengecatan
dengan antifouling sintetis banyak dilakukan dengan pengecatan antifouling yang
mengandung tembaga (logam berat) dan TBT (tributyltin) sebagai unsur aktif
yang paling efektif (Willemsen and Ferrari 1993), diacu dalam Abarzua and
Jakubowski 1995). Cat antifouling ini mencegah terjadinya biofouling dengan
mewujudkan biosida yang efektif dan konstan. Sejak tahun 1970 triaryltin dan
trialkiltin (turunan tributyltin) meningkat penggunaannya sebagai cat antifouling
karena kemampuannya sangat baik dalam mencegah penempelan organisme laut.
Penggunaannya dilakukan dengan cara melapisi cat pada dasar kapal dan jaring
budidaya (Suzuki et al. 1992 diacu dalam Abarzua and Jakubowski 1995). Pada
kenyataannya aplikasi cat berbahan TBT ini mengalami peluruhan dan
menyebabkan timbulnya pencemaran pada lingkungan perairan. TBT merusak
banyak bentuk kehidupan organisme laut lain yang merupakan spesies ekonomis
penting selain organisme fouling. Organisasi Maritim Internasional (IMO) telah
melarang pemakaian bahan-bahan tersebut pada kapal yang secara efektif dimulai
pada 17 September 2008 (Mayavu et al. 2009, IMO 2007, diacu dalam Qian
2

2010). Berdasarkan hal tersebut maka alternatif yang efisien dari penggunaan
TBT sebagai antifoulant pada saat ini sudah tidak dapat digunakan lagi. Oleh
karena itu pencarian alternatif antifoulant alami yang ramah lingkungan sangat
diperlukan pada saat ini (Mayavu et al. 2009). Hal tersebut dapat dijelaskan
melalui Gambar 1 mengenai latar belakang penelitian.
MASALAH BIOFOULING
KONVENSI INTERNASIONAL
BIOFOULING
-Perkapalan, Pipanisasi bawah laut, Jaring PENGAWASAN SISTEM ANTI PENCEMARAN
budidaya laut, struktur pelabuhan BAHAN-BAHAN BERBAHAYA PADA KAPAL
Oleh
ORGANISASI MARITIM INTERNASIONAL (IMO)
Upaya Penanganan DI INGGRIS 2001
PENGECATAN ANTIFOULANT
SINTETIS PELARANGAN PENGGUNAAN CAT YANG
(penggunaan Cat yang MENGANDUNG BAHAN KIMIA TBT (trybutyl tin),
Pengerokan Mengandung TBT LOGAM BERAT
(Tidak efisien) (trybuthyltin) dan Logam BERLAKU MULAI 1 JANUARI 2008
Berat)

PELURUHAN

PERLU DICARI ALTERNATIF


PENCEMARAN LINGKUNGAN
ANTIFOULANT ALAMI RAMAH LINGKUNGAN

Gambar 1 Latar belakang penelitian.

Perumusan Masalah

Biofouling adalah penempelan dan pertumbuhan organisme pada permukaan


substrat abiotik maupun biotik yang berada di bawah permukaan air. Biofouling
dibedakan menjadi microfouling yaitu pembentukan biofilm (kolonisasi bakteri
dan mikroalga) dan macrofouling yaitu penempelan makroorganisme (kolonisasi
avertebrata dan makroalga) (Railkin 2004). Menurut Egan (2001) proses
pembentukan komunitas biofouling terjadi melalui suatu proses dimana kolonisasi
pada suatu permukaan terjadi sebagai hasil suksesi dari beberapa tahap. Mula-
mula terjadi penempelan bahan organik pada suatu permukaan substrat yang
bersih kemudian diikuti dengan penempelan bakteri atau microfouling yang
kemudian membentuk lapisan eksopolisakarida (EPS) dan tahap akhir adalah
penempelan macrofouling. Dalam hal ini terbentuknya biofilm merupakan syarat
utama terjadinya biofouling sehingga untuk melakukan penghambatan terjadinya
3

macrofouling dapat dilakukan dengan cara memutus rantai dengan melakukan


penghambatan terjadinya biofilm bakteri.
Biofouling yang terjadi pada benda mati sangat dipengaruhi oleh jenis
substrat dan tekstur permukaan substrat sehingga pemilihan substrat yang tepat
pada benda yang terendam di perairan sangat diperlukan. Organisme laut yang
hidup dalam perairan juga mengalami peristiwa biofouling namun tidak semua
organisme mengalami biofouling yang kompleks karena banyak organisme laut
terutama organisme laut sesil memiliki kemampuan pertahanan diri dengan
menghasilkan metabolit sekunder. Tumbuhan laut merupakan organisme sesil
yang dikenal sebagai sumber metabolit sekunder. Metabolit sekunder yang
dihasilkan oleh organisme tersebut memiliki fungsi penting memberikan
pertahanan kimia dalam melawan infeksi dan fouling (Davis et al. 1989). Menurut
Sammarco dan Coll (1992), metabolit sekunder pada organisme laut berperan
penting dalam fungsi ekologis terutama untuk perlindungan terhadap predator,
kompetisi ruang hidup, reproduksi dan antifouling. Penelitian yang telah
dilakukan membuktikan beberapa metabolit sekunder yang dimiliki oleh
tumbuhan lamun menunjukkan adanya aktivitas farmakologi dan merupakan
kandidat baru sebagai bahan obat-obatan. Jika kita melakukan produksi bahan-
bahan tersebut dari tumbuhan lamun maka kita akan memerlukan suplai biomas
lamun dalam jumlah banyak secara kontinyu. Hal yang mengkhawatirkan adalah
terjadinya masalah suplai biomas lamun tersebut. Maka hal tersebut jika
dilaksanakan dapat mengundang terjadinya permasalahan baru terjadinya
eksploitasi berlebihan terhadap keberadaan lamun padahal kita ketahui bahwa
ekosistem lamun merupakan ekosistem tempat kehidupan banyak organisme laut.
Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan upaya eksplorasi terhadap tumbuhan
lamun tanpa melakukan pengrusakan terhadap komunitas lamun itu sendiri.
Tumbuhan lamun adalah tumbuhan yang hidup terendam air sehingga
organisme ini juga tak luput dari terjadinya biofilm pada permukaan tubuhnya.
Organisme pembentuk biofilm pada permukaan organisme hidup adalah hanya
organisme yang mampu bersimbiosis dengan organisme yang menjadi inangnya.
Bakteri merupakan organisme utama pembentuk biofilm yang selalu menjadi
pioner terjadinya biofouling baik pada benda mati maupun organisme hidup.
4

Bakteri yang bersimbiosis pada organisme hidup sebagai inangnya merupakan


bakteri yang hidup bersimbiosis mutualisme. Bakteri simbion ini dapat
menghasilkan senyawa hasil metabolit sekunder yang sama dengan inangnya
sehingga jika kita mampu mengisolasi bakteri simbion tumbuhan lamun dan
berhasil mengkulturnya maka kita bisa mendapatkan metabolit sekunder berupa
bahan bioaktif yang sama dengan yang dihasilkan oleh tumbuhan lamun tersebut.
Dengan cara ini maka kekhawatiran akan terjadinya eksploitasi berlebihan
terhadap biomas lamun dapat terhindarkan. Salah satu fungsi metabolit sekunder
yang dihasilkan tumbuhan lamun adalah sebagai antifouling dengan demikian
besar kemungkinan bahwa bakteri simbion lamun juga mampu menghasilkan
metabolit sekunder yang dapat digunakan sebagai antifouling. Hal ini merupakan
terobosan untuk mendapatkan sumber antifoulant alami yang ramah lingkungan
karena dengan hanya melakukan isolasi bakteri kita hanya memerlukan bagian
tumbuhan lamun dalam jumlah kecil dan antifoulant yang dihasilkan berasal dari
organisme bukan bahan sintetis sehingga ramah lingkungan. Untuk melihat
keterkaitan pada penjelasan diatas dapat dilihat pada Gambar 2 tentang kerangka
perumusan masalah.
BIOFOULING
BENDA MATI •Mikrofouling ORGANISME LAUT
•Makrofouling
TUMBUHAN
DIPENGARUHI LAMUN
JENIS SUBSTRAT PROSES BIOFOULING

Metabolit sekunder (Bioaktif)

PEMILIHAN Fungsi Ekologis:


SUBSTRAT -Anti predator,anti parasit,antifouling

Bakteri simbion
Epifit & Endofit Biomas lamun
(Bioaktif mirip inang)

Isolasi bakteri Pemanenan

Pemutusan Siklus
Pengkulturan Masalah suplai

Ramah lingkungan Tidak


CARA PENANGANAN Ramah lingkungan
MASALAH BIOFOULING
SUMBER ANTIFOULANT
ALAMI

Gambar 2 Kerangka perumusan masalah


5

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan bakteri simbion tumbuhan lamun


yang berpotensi sebagai penghambat terjadinya biofouling di laut.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini bermanfaat bagi tersedianya sumber alternatif


antifoulant alami yang ramah lingkungan.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini diawali dengan isolasi bakteri simbion lamun epifit dan
endofit pada lamun jenis Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii. dan
Syringodium isoetifolium yang tumbuh di perairan Teluk Awur, Jepara, Jawa
Tengah. Pengujian kemampuan penghambatan bakteri simbion lamun dilakukan
pada isolat bakteri dan ekstrak isolat bakteri simbion epifit dan endofit terhadap
bakteri biofilm dari substrat kayu dan fiber yang memiliki permukaan kasar dan
halus. Aplikasi lapang terhadap penempelan makrofouling di laut dilakukan
terhadap ekstrak isolat bakteri simbion epifit dan endofit lamun yang dipilih
berdasarkan kemampuan penghambatan yang tinggi pada uji penghambatan isolat
bakteri simbion lamun terhadap pertumbuhan isolat bakteri biofilm. Pengamatan
terhadap proses biofouling pada substrat kayu dan fiber yang memiliki permukaan
kasar dan halus yang dipaparkan pada air laut hingga diperoleh makroorganisme
penempel. Isolasi bakteri biofilm dilakukan pada substrat kayu dan fiber yang
memiliki permukaan kasar dan halus yang diletakkan pada lokasi dimana
dilakukan isolasi bakteri simbion tumbuhan lamun yang digunakan untuk
pengujian penghambatan bakteri simbion lamun terhadap pertumbuhan bakteri
biofilm.

Kebaharuan Penelitian (Novelty Penelitian)

Bakteri simbion lamun (epifit dan endofit) pada lamun jenis Enhalus
acoroides, Thalassia hemprichii dan Syringodium isoetifolium memiliki
kemampuan menghambat biofouling di laut.
TINJAUAN PUSTAKA

Ekobiologi Lamun

Lamun adalah tumbuhan laut yang memiliki arti penting dalam siklus
ekologi pada perairan dangkal pantai tropis dan subtropis, khususnya
berhubungan dengan produktivitas lautan. Tumbuhan ini merupakan produsen
yang tinggi di daerah tropis. Salah satu hal penting dari lamun adalah memiliki
daya adaptasi pada kondisi yang terendam air (hydrofit). Tumbuhan ini memiliki
perkembangan rhizoma yang baik (secara horizontal) yang biasanya terdapat di
bawah permukaan substrat dan asosiasinya saling menutup satu dengan yang lain.
Hal tersebut menyebabkan tumbuhan lamun di lokasinya berperan pada proses
sedimentasi karena dapat menangkap serasah dan menstabilkan substrat. Semua
jenis tumbuhan lamun memiliki alternatif munculnya daun dari dua kedudukan
biasanya muncul dari bagian yang berdiri tegak berupa tunas pendek atau dari
rhizoma (Tomlinson 1974, diacu dalam Dawes 1981). Akar yang muncul dan
berkembang dari rhizoma sama baiknya seperti yang keluar dari bagian dasar dari
setiap bagian yang berdiri tegak. Lamun biasanya memiliki akar yang lebat dan
berkulit. Daunnya rata, berbentuk seperti pita, atau silindris jika dilihat dari irisan
melintang. Tumbuhan ini dapat menahan gerakan air. Bunganya kecil dan muncul
dari dasar tandan daun. Stamen (antera), pistil (style) dan stigma menjulur di atas
petal. Biasanya pollen dikeluarkan dengan lapisan bergelatin yang akan terbawa
oleh arus air. Butiran polen memanjang (elongated) (Famili Potamogetonaceae)
atau seperti bola (spherical) (Famili Hydrocharitaceae) dan tersusun saling
melekat berbentuk monili seperti rantai.
Salah satu cara mengidentifikasi spesies lamun adalah dengan mengenali
bentuk morfologi daun, akar, rhizoma, bunga dan buah. Akar pada tumbuhan
lamun tidak berfungsi penting dalam pengambilan nutrien karena daun dapat
menyerap nutrien secara langsung dari dalam air laut. Tumbuhan tersebut dapat
menyerap nutrien dan melakukan fiksasi nitrogen melalui tudung akar. Untuk
menjaga agar tubuhnya tetap mengapung di dalam kolom air, tumbuhan ini
dilengkapi dengan ruang udara (Fortes 1990).
7

Lamun tumbuh subur terutama di daerah terbuka dengan pasang surut dan
perairan pantai atau goba yang dasarnya berupa lumpur, pasir, kerikil dan patahan
karang mati dengan kedalaman sampai empat meter. Pada perairan yang sangat
jernih, beberapa jenis lamun ditemukan tumbuh sampai kedalaman 8–15 meter
bahkan sampai 40 meter (Larkum et al. 1989). Padang lamun dapat berbentuk
vegetasi tunggal yaitu tersusun atas satu jenis lamun yang tumbuh membentuk
padang lebat atau vegetasi campuran yang terdiri dari 2 sampai 12 jenis yang
tumbuh bersama-sama pada satu substrat. Pertumbuhan lamun sangat dipengaruhi
oleh faktor-faktor internal seperti kondisi fisiologis dan metabolisme, serta faktor
eksternal seperti zat hara (nutrien) dan tingkat kesuburan perairan. Faktor-faktor
eksternal (lingkungan) yang mempengaruhi distribusi dan pertumbuhan ekosistem
padang lamun adalah (1) kecerahan, (2) temperatur, (3) salinitas, (4) substrat dan
(5) kecepatan arus.
Lamun yang ditemukan di perairan Indonesia terdiri dari tujuh genus. Tiga
diantaranya : Enhalus, Thalassia dan Halophila termasuk Famili Hidrocharitaceae,
sedangkan empat genus lainnya adalah Halodule, Cymodocea, Syringodium dan
Thalassodendron yang termasuk Famili Potamogetonaceae (Nontji 1987, diacu
dalam Dahuri 2003). Kekayaan jenis yang dijumpai di Indonesia menurut Den
Hartog (1970), diacu dalam Dahuri (2003) terdapat 13 jenis lamun yaitu:
Cymodocea serrulata, C. rotundata, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, H.
pinifolia, Halophila minor, H. ovalis, H. decipiens, H. spinulosa, H. sulawesii,
Thalassia hemprichii, Syringodium isoetifolium dan Thalassodendron ciliatum.
Lamun jenis Thalassia sp. merupakan jenis yang jumlahnya bisa berlimpah dan
memiliki penyebaran yang luas. Hal demikian juga terjadi di Indonesia.
Ekosistem padang lamun merupakan habitat dan sumber makanan bagi
binatang laut. Pemakanan tumbuhan langsung terhadap tumbuhan lamun hanya
terbatas pada beberapa spesies. Alga penempel dapat ditemukan sebagai epifit
pada daun lamun. Terdapat 113 epifit dan 120 spesies makroalga teridentifikasi
ditemukan di helaian daun lamun dan komunitas lamun di Florida. Meskipun
banyak binatang yang langsung makan daun lamun, namun komunitas epifit
seperti biofilm bakteri, diatom dan alga juga memberikan makanan terhadap
8

binatang kecil sebagai dasar dari rantai makanan yang akan dikonsumsi oleh
anakan ikan dan udang (Dawes 1981).
Tumbuhan lamun di perairan biasanya cepat terkoloni oleh mikroorganisme
seperti bakteri dan mikroalga. Selanjutnya akan terjadi penempelan makroalga
dan avertebrata namun hal ini tidak akan terjadi jika makrofita tersebut memiliki
mekanisme pertahanan diri secara kimia dan fisika (Larkum 1989). Menurut
Larkum (1989) jangka waktu hidup bagian-bagian yang berbeda dari lamun juga
akan berakibat pada diversitas dan biomas dari epifit. Jangka waktu hidup daun
tumbuhan lamun berkisar antara 1 sampai 4 bulan. Kecepatan pertumbuhan daun
lamun juga akan berbeda pada habitat dan variasi musim yang berbeda dan terjadi
perubahan kecepatan pertumbuhan. Distribusi epifit pada daun lamun dipengaruhi
oleh:
1. Umur relatif dari bagian yang berbeda pada setiap permukaan daun
2. Urutan bagian pada perkembangan daun yang berbeda dalam setiap tanaman
3. Arah permukaan daun dan lingkungan sekelilingnya.
4. Jenis epifit pada tumbuhan lamun yang merupakan simbiosis.
Simbiosis tumbuhan dengan organisme lain dapat terjadi baik pada
permukaan tanaman itu sendiri (epifit) seperti umumnya pada tumbuhan air dan
dapat bersifat endofit atau di dalam jaringan tanaman. Menurut Prihatiningtias
(2006) mikroba endofit merupakan mikroba yang hidup dalam jaringan tumbuhan
tanpa menimbulkan gejala penyakit pada tumbuhan inangnya. Hubungan antara
mikroba endofit dan tumbuhan inangnya merupakan suatu bentuk hubungan
simbiosis mutualisme atau sebuah hubungan yang saling menguntungkan.
Mikroba endofit dapat memperoleh nutrisi untuk melengkapi siklus hidupnya dari
tumbuhan inangnya dan sebaliknya tumbuhan inang memperoleh proteksi
terhadap patogen oleh senyawa yang dihasilkan mikroba endofit. Mikroba endofit
yang diisolasi dari tumbuhan yang menghasilkan bahan bioaktif diketahui
memiliki aktivitas yang lebih besar bahkan dapat memiliki aktivitas yang lebih
besar dibandingkan aktivitas tumbuhan inangnya. Dilihat dari sisi efisiensi maka
hal ini sangat menguntungkan karena siklus hidup mikroba endofit lebih singkat
dibandingkan siklus hidup tumbuhan inangnya. Hal ini dapat menghemat waktu
yang dibutuhkan untuk mendapatkan senyawa tersebut dan jumlah senyawa yang
9

diproduksi dapat dibuat dalam skala yang besar. Keuntungan lain yang dapat
diperoleh yaitu menjaga kelestarian tumbuhan tersebut agar tidak dieksploitasi
secara terus menerus yang akhirnya dapat mengakibatkan kepunahan.
Simbiosis diartikan sebagai hidup bersama atau terjadinya hubungan yang
permanen diantara dua organisme yang berbeda. Keeratan hubungan ini dapat
dibedakan sebagai ektosimbion atau episimbion dimana kolonisasi
mikroorganisme terjadi pada permukaan luar dan endosimbion adalah kolonisasi
mikroorganisme yang terjadi di dalam sel inangnya. Endosimbion seringkali
memperlihatkan adaptasi yang spesifik dalam kehidupan intraseluler inangnya.
Seringkali mikroorganisme yang terlibat simbiosis dapat hidup tanpa inang, tetapi
pada situasi yang lain mereka dapat kehilangan kemampuannya untuk hidup
terpisah dari inangnya. Interaksi diantara mikroorganisme yang tipenya berbeda
dan diantara mikroorganisme dengan organisme hidup yang lebih tinggi
tingkatannya seperti binatang dan tumbuhan merupakan hal penting yang
mendasar dalam ekologi di lingkungan lautan (Munn 2004). Beberapa penelitian
menunjukkan besarnya potensi bakteri endofit banyak dilakukan pada tumbuhan
darat seperti pada tanaman Sambung nyawa Gynura procumbens sebagai
antimikroba (Simarmata 2007), tumbuhan obat Taxus brevifolia menghasilkan
antikanker (Prihatiningtias 2006), tanaman Jati belanda Guazumae folium
menghasilkan pelangsing (Syarmalina dan Hanafi 2006).
Tan et al. (2001), diacu dalam Radji (2005) mengatakan bahwa setiap
tumbuhan tingkat tinggi dapat mengandung beberapa mikroba endofit yang
mampu menghasilkan senyawa biologi atau metabolit sekunder yang diduga
sebagai akibat koevolusi atau transfer genetik dari tanaman inangnya ke mikroba
endofit. Dalam hal ini tumbuhan lamun juga merupakan tumbuhan tingkat tinggi.
Kemampuan mikroba endofit memproduksi senyawa metabolit sekunder sesuai
dengan tanaman inangnya merupakan peluang yang sangat besar dan dapat
diandalkan untuk memproduksi metabolit sekunder dari mikroba endofit yang
diisolasi dari tanaman inangnya tersebut. Dari sekitar 300.000 jenis tanaman yang
tersebar di muka bumi ini, masing-masing tanaman mengandung satu atau lebih
mikroba endofit yang terdiri dari bakteri dan jamur. Karena endofit yang diisolasi
dari suatu tanaman dapat menghasilkan metabolit sekunder sama dengan tanaman
10

aslinya atau bahkan dalam jumlah yang lebih tinggi, maka kita tidak perlu
menebang/mengambil tanaman aslinya yang kemungkinan besar memerlukan
waktu lama untuk dapat dipanen (Strobel et al. 2003, diacu dalam Radji 2005).

Sumber-sumber Antifoulant Alami

Tumbuhan laut mempunyai pergerakan terbatas dibandingkan vertebrata laut


oleh karena itu tumbuhan laut mampu mengembangkan sistem pertahanan diri
dengan memproduksi senyawa kimia (chemical defense). Senyawa kimia yang
dihasilkan berguna untuk mencegah dan mempertahankan diri dari serangan
predator, media kompetisi, mencegah infeksi bakteri, membantu proses reproduksi
dan mencegah sengatan sinar ultra violet (Kubanek et al. 2003; Harper et al. 2001,
diacu dalam Murniasih 2005). Selain itu senyawa kimia tersebut juga merupakan
respon terhadap kompetisi dengan lingkungannya. Fungsi lain dari metabolit
sekunder adalah: (1) sebagai media interaksi dengan organisme lain, seperti
hubungan antara predator maupun kompetitor, komensalisme dan mutualisme. (2)
mencegah terjadinya infeksi dari mikroorganisme (antifouling), dan (3) sebagai
media dalam proses reproduksi, seperti feromon.
Menurut Shafer et al. (2007) tumbuhan laut dan avertebrata merupakan
sumber yang kaya akan bahan aktif biologi berupa metabolit sekunder, beberapa
diantaranya memberikan kepentingan fungsi ekologis seperti pertahanan kimia
yang potensial untuk melawan predator. Metabolit tersebut juga memberikan
pertahanan kimia sebagai antimikroba untuk mencegah terjadinya infeksi dan
fouling. Metabolit sekunder pada mulanya diasumsikan sebagai hasil samping
atau limbah dari organisme sebagai akibat produksi metabolit primer yang
berlebihan. Namun dengan perkembangan ilmu pengetahuan, terbukti bahwa
metabolit sekunder diproduksi oleh organisme sebagai respon terhadap
lingkungannya (William et al. 1989, diacu dalam Murniasih 2005). Organisme
laut, khususnya yang hidup di daerah tropis untuk kelangsungan hidupnya
menghadapi berbagai tantangan, harus berkompetisi untuk mendapatkan ruang
tumbuh, sinar dan makanan. Oleh karena itu, Harper et al. (2001) diacu dalam
Murniasih (2005), menyimpulkan bahwa organisme laut dalam mengembangkan
berbagai system mekanisme pertahanan diri, diantaranya adalah dengan tingkah
11

laku (behavioral misalnya cryptic, nocturnal), fisik (sclerites, pengerasan


permukaan tubuh) dan substansi kimia “chemical defense”.
Metabolit sekunder banyak dihasilkan oleh organisme laut sesil seperti
rumput laut, lamun, karang dan lainnya dan merupakan sebuah perspektif baru
dalam mencegah pertumbuhan yang pesat dari epibiont (fouling) dan dapat
berpotensi digunakan sebagai antifoulant (Pereira 2003). Metabolit sekunder dari
organisme laut yang dapat berperan sebagai antifouling juga dapat diisolasi dari
beberapa organisme laut lain termasuk bakteri, sponge, ascidian, bryozoa dan
gorgonia (Davis et al. 1989; Clare 1996, diacu dalam Pereira 2003).
Seringkali terjadi kondisi dimana beberapa organisme laut tidak terlapisi
oleh biofilm yang kompleks pada permukaan tubuhnya. Menurut Armstrong et al.
(2000) tumbuhan laut dan avertebrata laut memiliki bakteri pada permukaan
tubuhnya yang menghasilkan komponen untuk menghambat penempelan
organisme. Suatu peran perlindungan oleh beberapa strain bakteri epibiotik hadir
pada permukaan tubuhnya dengan mengeluarkan bahan kimia yang menghambat
biofouling oleh organisme lain (Armstrong et al. 2000). Produksi komponen
bioaktif oleh bakteri dan inangnya dilakukan secara bekerjasama untuk
melindungi permukaan inangnya. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa terjadi
simbiosis antara bakteri dan inangnya. Kerjasama atau simbiosis ini sering
dilakukan untuk menghasilkan bahan bioaktif. Bertambahnya bukti keterlibatan
mikroba simbion sebagai sumber yang bisa diandalkan dari komponen turunan
beberapa organisme laut, menjadikan mikroba laut simbion sebagai hal penting di
bidang biologi laut dan produk alami laut karena potensinya tersebut merupakan
alternative menyelesaikan masalah suplai produk alami dari laut tanpa melakukan
pemanenan biomas inang secara berlebihan (Li 2009). Simbiosis organisme laut
dengan bakteri dapat menghasilkan bahan aktif hasil metabolit sekunder yang
memiliki peran penting bagi inangnya (Kelecom 2002). Peran penting metabolit
sekunder yang dihasilkan oleh bakteri simbion epifit adalah memberikan
perlindungan lingkungan permukaan organisme inangnya dengan menghambat
perlekatan bakteri laut yang merugikan dan larva organisme lain yang biasanya
menempati permukaan eukariotik seperti organisme bercangkang, alga dan
barnacle (Armstrong et al. 2000). Lane and Kubanek (2008) dalam penelitiannya
12

memperlihatkan bahwa makroalga dan bakteri dapat menghasilkan metabolit


sekunder yang berfungsi untuk melindungi makroalga dari biofouling yang
merugikan. Simbiosis mutualisme yang banyak terjadi pada organisme laut telah
banyak diteliti dimana hasil simbiosis tersebut dapat berupa metabolit sekunder
yang merupakan bahan bioaktif yang digunakan sebagai pertahanan terhadap
pathogen dan organisme fouling (Pereira et al. 2003; Lane and Kubanek 2008;
Steinberg 2004; Murniasih 2005 dan Rao 2006). Menurut Kelecom (2002)
terdapatnya kandungan alkaloid pada sponge genus Reniera merupakan hasil dari
simbiosis dengan mikroorganisme yang berfungsi sebagai antibakteri. Beberapa
tumbuhan laut juga telah diteliti menghasilkan komponen antifouling seperti pada
lamun Zostera sp. (zosteric acid) yang terbukti merupakan antifouling yang tidak
beracun terhadap orgnisme nontarget (Qian 2010).
Tumbuhan memproduksi senyawa metabolit sekunder lebih banyak
dibandingkan binatang (Wibowo et al. 2003). Untuk mengambil senyawa bioaktif
secara langsung dari tanamannya dibutuhkan sangat banyak biomassa atau bagian
dari tanamannya. Untuk mengefisienkan cara memperoleh senyawa bioaktif
tersebut maka pemanfaatan mikroba simbion seperti mikroba epifit dan endofit
perlu dikembangkan. Mikroba epifit adalah mikroba yang hidup pada permukaan
tubuh inang dan mikroba endofit adalah mikroba yang spesifik yang diperoleh
dari bagian dalam tanaman. Mikroba yang bersimbiosis tersebut diharapkan
mampu menghasilkan sejumlah senyawa bioaktif yang dibutuhkan tanpa harus
mengekstrak tanamannya inang (Simarmata et al. 2007).
Penemuan antifoulant dari metabolit sekunder organisme laut dapat
merupakan penemuan baru sebagai sebuah alternatif teknologi non-toksik untuk
mengontrol biofouling lautan. Berbagai macam substansi telah diidentifikasi (dan
dipatenkan) sebagai antifoulant, walaupun sebagian besar hanya dilakukan uji
coba di laboratorium dengan menggunakan larva organisme fouling seperti
barnacle dan bryozoa (Pereira et al. 2003). Sebagian kecil komunitas peneliti
yang bekerja pada bidang ini telah melakukan percobaan yang relevan dengan
lingkungan seperti uji coba lapang dimana melakukan uji lapang kolonisasi pada
permukaan organisme yang menempel di alam dengan menggunakan konsentrasi
13

alami metabolit sekunder yang ditemukan berasal dari organisme sumbernya


(Pereira et al. 2003).
Salah satu bahan yang paling umum digunakan sebagai antifoulant alami
adalah bahan organik irgarol 1051 (2-methylthio-4-tert-butylamino-6-
isopropylamino-s-triazine). Irgarol termasuk herbisida s-triazine, bahan ini
mempunyai struktur yang sama dengan herbisida atrazine yang digunakan dalam
pertanian (Maxey 2006). Hasil penelitian Maxey (2006) menunjukkan bahwa
irgarol merupakan pencemar yang umum di lautan. Meskipun demikian irgarol
tidak berpengaruh terhadap organisme laut. Akumulasi irgarol pada organisme
laut tidak pernah ditemukan. Pada tumbuhan lamun, irgarol mengalami
bioakumulasi walaupun akumulasi yang terjadi bervariasi. Konsentrasi irgarol
pada jaringan lamun sepanjang tahun konsisten. Irgarol dimiliki oleh vegetasi
yang terendam air laut sebagai pencegah pertumbuhan epifit atau bisa dikatakan
sebagai antifouling (Maxey 2006).
Jensen et al. (1989) dalam penelitiannya menemukan bahwa tumbuhan
lamun Thalassia testudinum menghasilkan bahan antibiotik flavone glycoside
yang berfungsi sebagai bahan pertahanan melawan mikroorganisme fouling yaitu
bahan kimia pertahanan yang menghambat mikroorganisme fouling. Pada jaringan
daun T. testudinum yang masih sehat dimana mengandung bahan aktif flavone
glycoside mengindikasikan bahwa organisme yang menempel tidak selengkap
pada jaringan daun T. testudinum yang sudah mati. Penelitiannya di laboratorium
mengindikasikan bahwa substrat yang berisi ekstrak jaringan daun T. testudinum
yang sehat menghambat pertumbuhan Schizochytrium aggregatum dan
menghalangi penempelan zoospora motil S. aggregatum. Bahan kimia flavone
glycoside merupakan antibiotik baru untuk pertahanan Lamun Thalassia
testudinum dalam melawan zoospora fungi. Pada penelitiannya memperlihatkan
bahwa terjadi penurunan jumlah zoospora fungi pada T. testudinum yang mati
yaitu yang telah diautoklaf dan dikembalikan pada tempat koleksi selama 48 jam
dibandingkan pada T. testudinum yang sehat. Penelitian tersebut menemukan
hipotesis bahwa metabolit sekunder dari lamun ini dihasilkan dari asosiasi dengan
populasi mikroba. Pertahanan kimia oleh antimikroba berfungsi menurunkan
fouling pada permukaan tumbuhan. Untuk mendukung hipotesis tersebut maka
14

perlu dilengkapi penelitian mulai dari besarnya konsentrasi metabolit sekunder


yang dihasilkan oleh T. testudinum sebagai antimikroba hingga isolasi bakteri dan
mengetahui karakter dari struktur flavone glycoside tersebut.
Mayavu (2009) telah meneliti ekstrak lamun jenis Cymodosea serrulata dan
Syringodium isoetifolium dapat berfungsi sebagai antifouling. Geiger (2003)
meneliti ekstrak lamun jenis Zostera marina ternyata menghasilkan antifouling
zosteric acid. Newby (2006) dan Qi (2008) hasil penelitiannya memperlihatkan
adanya kemampuan antifouling dari ekstrak Enhalus acoroides. Ravikumar et al.
(2009) memperlihatkan hasil penelitiannya bahwa telah dapat diisolasi sebanyak
32 strain isolat bakteri endofit dan epifit dari tumbuhan lamun Syringodium
isoetifolium dan Cymodocea serrulata. Salah satu strain bakteri yang diisolasi dari
bakteri endofit Syringodium isoetifolium memiliki kemampuan paling besar
mampu menghambat lima jenis bakteri pathogen yang diuji dengan penghambatan
maksimum perhadap bakteri pathogen Pseudomonas aeruginosa.
Penelitian mengenai antifoulant pada karang gorgonia memperlihatkan
bahwa karang tersebut adalah salah satu binatang penghasil komponen
antifouling. Ekstrak dari binatang maupun tumbuhan laut penghasil antifouling
dapat dicampur dalam cat atau pelapis antifouling yang lebih lengkap sebagai
proteksi antifouling alami. Antifoulant produk alami tersebut ditemukan oleh ahli
biologi yang meneliti spesies secara bersamaan karang dan tumbuhan laut yang
tidak pernah terkoloni oleh bakteri, jamur dan organisme yang lebih tinggi. Pada
ekosistem laut terjadinya kolonisasi pada permukaan tubuh organisme signifikan
dengan faktor pembatas perkembangan beberapa bentuk kehidupan. Oleh karena
itu ketidakhadiran koloni organisme laut pada spesies karang dan tumbuhan laut
merupakan hal yang mengejutkan. Penelitian lebih jauh terhadap karang gorgonia
dan lamun Zostera marina ternyata menghasilkan komponen organik komplek,
dimana pada saat ekstraksi dan aplikasi pengecatan dapat mencegah kolonisasi
organisme fouling (Mittelman 1999).
Pada akhir tahun 1980, Staffan Kjelleberg dan Pete Steinberg menemukan
bahwa alga merah menghasilkan molekul yang dinamakan furanon. Furanon
dipurifikasi dan ditambahkan pada cat kapal, jaring ikan dan lensa kontak.
Setelah 5 bulan percobaan pada panel percobaan terjadi fouling dari makroalga
15

namun pada panel yang berisi furanon tidak terjadi kolonisasi. Pada kenyataannya
furanon dapat menghambat pembentukan biofilm dari ratusan spesies bakteri
(Costerton 1999).
Egan et al. (2001) dalam penelitiannya memperlihatkan bahwa bakteri laut
Pseudomonas tunicata mampu menghambat organisme fouling seperti larva
avertebrata laut, alga, bakteri dan jamur sedangkan ekstrak bakteri Bacillus sp.
dan Virgibacillus sp. yang diisolasi dari sponge Pseudoceratina purpurea mampu
menghambat bakteri Vibrio algoniticus dan V. fishery yang yang menyebabkan
biofouling. Hasil penelitian Sabdono et al. (2005) memperlihatkan bahwa 371
isolat bakteri telah terisolasi dari karang lunak Sarcophyton sp. dan Sinularia sp.
di perairan Ujung Kulon dan Karimunjawa. Hasil uji antibakteri skala
laboratorium memperlihatkan bahwa 10 isolat (2,39 %) bakteri tersebut berpotensi
menghasilkan senyawa antifoulant alami. Austin (1988) menemukan antibiotik
dari hasil metabolisme sekunder bakteri yang pertama kali adalah senyawa pirol
(pyrrole) yang mengandung unsur Br. Bakteri ini melekat pada lamun (Thalassia
testudinum) yang ditemukan di laut Karibia.
Bakteri Vibrio sp. bersimbiosis dengan hewan laut porifera jenis Dysilea sp.
ditemukan di samudera Hindia. Bakteri ini menghasilkan bahan bioaktif
bis(dibromofenil)eter yang khas ditemukan pada Dysilea sp. Hal ini juga
membuktikan bahwa bakteri berperan menghasilkan metabolit sekunder pada
simbiosis ini (Sidharta 2000).

Biofouling

Semua permukaan di lingkungan laut dipengaruhi oleh faktor-faktor biologi,


fisika dan kimia yang menghasilkan bentuk suatu lapisan kompleks dari
perlekatan mikroorganisme (microfouling) dan makroorganisme (macrofouling)
yang dikenal sebagai biofouling. Komposisi spesies organisme yang ada pada
kolom air merupakan faktor biologi yang sangat penting terhadap terjadinya
biofouling. Bakteri merupakan bagian penting dimana mereka membentuk
pengkoloni yang pertama pada permukaan yang bersih dan mengubah sifat fisika-
kimia permukaan. Sifat-sifat fisik dapat mempengaruhi perkembangan biofouling
antara lain tekstur dan kontour permukaan, ketersediaan cahaya, kelembaban
16

permukaan serta peningkatan panas, gas dan nutrient. Sifat-sifat kimia yang
berpengaruh termasuk hadirnya bermacam-macam molekul pada permukaan,
kandungan kalsium, magnesium atau ion yang ada dalam air, ketersediaan nutrient
yang spesifik dan sinyal kimia organisme di sekitarnya (Egan et al. 2001).
Menurut Zaitsev (1970; 1997), diacu dalam Railkin (2004) penyebab proses
biofouling awalnya diperankan oleh adanya akumulasi nutrien pada permukaan
karena hal tersebut memicu tersedianya sumber makanan sehingga menarik
mikroorganisme untuk menempel. Akumulasi dan reproduksi mikroorganisme
pada permukaan tersebut merupakan sumber nutrisi bagi perkembangan
organisme jenjang trofik yang lebih tinggi dan selanjutnya dapat menarik
organisme multiseluler. Wahl (1989: 1997), diacu dalam Railkin (2004)
menggolongkan proses kolonisasi pada permukaan keras yang meliputi: 1)
pengkondisian secara biokimia (adsorpsi makromolekul dan ion-ion); 2)
pengkolonian bakteri; 3) kolonisasi eukariotik uniseluler; dan 4) kolonisasi
eukariotik multiseluler.
Suatu permukaan materi yang terpapar dalam media air dengan cepat akan
mengalami kondisi terlapis oleh polimer dan menghasilkan suatu modifikasi
kimia yang berakibat mempercepat dan memperluas penempelan bakteri. Loeb
dan Neihof (1975), diacu dalam Characklis et al. (1990) adalah yang pertama kali
melaporkan pembentukan kondisi biofilm pada permukaan yang terpapar air laut.
Penelitian tersebut menemukan bahwa biofilm adalah lapisan organik di alam
yang terbentuk dalam hitungan menit dan berlanjut tumbuh pada beberapa jam.
Permukaan padat merupakan hal penting pada proses penempelan. Characklis et
al. (1990) mencatat bahwa perluasan koloni mikroba muncul semakin meningkat
sejalan dengan meningkatnya kekasaran permukaan. Hal ini disebabkan karena
kekuatan lapisan luar meningkat dan daerah yang kasar permukaannya menjadi
lebih luas. Faktor fisika-kimia permukaan juga memegang peranan kuat dalam
meningkatkan dan memperluas penempelan. Banyak peneliti menemukan bahwa
mikroorganisme menempel sangat rapat pada media yang hydrophylic seperti
permukaan nonpolar antara lain teflon dan plastik-plastik yang lain dibandingkan
pada material yang lebih hydrophobic seperti gelas atau logam (Michael and
Smith 1995; Kerr 1999; Donlan 2002).
17

Komunitas macrofouling yang terdiri dari ’soft fouling’ dan ’hard fouling’,
tumbuh dan berkembang dari komunitas microfouling. Soft fouling beranggotakan
alga dan avertebrata seperti karang lunak, spong, anemon, tunikata, cacing tabung
dan hidroida. Organisme spesifik yang berkembang dalam komunitas fouling
tergantung pada substrat, lokasi geografis, musim dan faktor-faktor seperti
kompetisi dan predasi. Komunitas fouling memiliki proses dinamika yang tinggi
(Callow and Callow 2002). Microfouling dan macrofouling merupakan proses
yang overlapping yang dapat digambarkan sebagai berikut: bakteri muncul setelah
kira-kira 1–2 jam, diatom setelah 24 jam, spora makroalga dan protozoa setelah
satu minggu dan larva makrofouler setelah dua hingga tiga minggu (Von Oertzen
et al. 1989, diacu dalam Abarzua dan Jakubowski 1995). Rangkaian peristiwa
microfouling dan macrofouling dimulai dari pembentukan lapisan film secara
biokimia dan dilanjutkan dengan terjadinya kolonisasi mikroba (bakteri, jamur
dan diatom). Kolonisasi tersebut akan mengundang terjadinya kolonisasi
organisme macrofouling seperti avertebrata dan alga (Gambar 3).

Gambar 3 Rangkaian peristiwa microfouling dan macrofouling (Egan 2001).

Interaksi antara materi penempel dan substrat dipengaruhi oleh: a)


kelembaban substrat untuk menempel dan b) kemampuan dari penempel.
Kelembaban merupakan area yang baik sebagai kontak antara penempel dan
substrat. Hal tersebut juga berperan penting untuk menggambarkan besarnya
18

interaksi antara penempel dan substrat. Mikrostruktur yang padat mempengaruhi


kemampuan mekanik dan kekuatan penempelan (Callow and Callow 2002).
Analisa proses yang mendasar dari biofouling merupakan hal yang penting
untuk mengetahui mekanisme kolonisasi oleh fouler (organisme penempel) pada
permukaan keras alami dan struktur buatan manusia. Kolonisasi merupakan
bagian dari akumulasi dan pertumbuhan. Akumulasi adalah pengertian timbulnya
fouling pada suatu permukaan keras sebagai hasil dari transport oleh arus,
pengkolonian dan pelekatan. Transport fouler ke substrat dilakukan oleh arus dan
kolonisasi dianggap sebagai imigrasi. Walaupun faktanya mekanisme kolonisasi
pada permukaan keras yang dilakukan oleh mikroorganisme, spora makroalga dan
larva binatang berbeda, namun fenomena proses tersebut mirip. Kesamaan
peristiwa proses kolonisasi dari mikroorganisme dan makroorganisme menurut
Railkin (2004) adalah :
1. Kesamaan bentuk hidup dimana terdapat satu organisme sesil yang dominan.
2. Pada suatu lingkungan yang umum, dicirikan oleh kondisi dari transport oleh
arus, pengkolonian, perlekatan, nutrisi dan pertumbuhan.
3. Kehadiran suatu permukaan keras sebagai suatu substrat.
4. Keterbatasan area permukaan suatu substrat keras
Menurut Bhaduri dan Wright (2004) proses biofouling secara lebih rinci
memiliki 4 tahapan yaitu :
1. Fouling diawali oleh proses substrat terendam air. Permukaan substrat secara
cepat mengalami akumulasi materi organik terlarut dan molekul seperti
polisakarida dan fragmen protein. Fase ini dinamakan fase conditioning.
2. Secara berangsur-angsur bakteri dan diatom bersel tunggal akan menempel
pada permukaan dan mulai menetap disana, membentuk lapisan (biofilm)
mikroba. Kemampuan sel bakteri melakukan penempelan pada permulaan ini
dikontrol oleh dua faktor yaitu faktor lingkungan seperti kandungan nutrien,
sensor lingkungan, daya lekat dan faktor genetik.
3. Setelah penempelan awal, sel mulai tumbuh dan mulai membentuk koloni.
Selama periode ini terjadi perubahan besar pembentukan lapisan
eksopolisakarida (EPS). Hal ini membuktikan bahwa substansi EPS ini
memegang peranan penting dalam siklus penempelan bakteri pada permukaan.
19

Kehadiran substansi pelekat dan koloni mikroba yang kasar dan bentuknya
tidak teratur, berangsur-angsur mulai menangkap banyak partikel dan
organisme lain. Setelah menempel pada permukaan sel bakteri akan
melekatkan diri pada permukaan dengan substansi EPS yang mengandung
biopolimer tinggi seperti polisakarida, protein dan asam nukleat (Flemming
2009).
4. Tahap terakhir adalah penempelan organisme laut lain seperti barnacle,
tunikata, kerang-kerangan, bryozoa, polikaeta dan cacing tabung, bersama-
sama dengan pertumbuhan alga. Penempelan organisme ini diawali oleh
pertumbuhan biofilm yang menjadi dasar bagi pertumbuhan alga, barnacle dan
organisme lain. Dilain pihak mikroorganisme seperti bakteri, diatom, dan
mikroalga membentuk lapisan primer berlendir bagi penempelan
makroorganisme seperti moluska, sponge, anemon laut, cacing bertabung,
polikaeta dan barnacle (Stanczak 2004).
Akibat terjadinya peristiwa biofouling peningkatan penebalan badan kapal
sebesar 1 mm dapat menyebabkan daya tarik kapal meningkat 80% dan efisiensi
bahan bakar dapat turun 40%. Hal tersebut menyebabkan peningkatan
pengeluaran biaya perjalanan sebesar 77%. Peningkatan konsumsi bahan bakar
menentukan peningkatan emisi gas rumah kaca, dimana hal ini dipercaya sebagai
salah satu penyebab pemanasan global. Keberadaan komunitas biologi di perairan
secara regional dapat juga mempengaruhi biofouling karena biaya transport harus
dikeluarkan untuk spesies pendatang yang menempel pada kapal. Di teluk San
Fransisco, 150 spesies non-native (spesies pendatang) telah berhasil dicatat
(Cohen dan Carlton 1995, diacu dalam Maxey 2006). Penemuan yang sama pada
tempat lain memperlihatkan terdapat 100 spesies pendatang di Pearl Harbor,
Hawai (Coles et al. 1997, diacu dalam Maxey, 2006); 50 spesies pendatang di
Puget Sound, Washington; 100 spesies pendatang di Pelabuhan teluk Philip,
Australia (Hewitt et al. 1999, diacu dalam Maxey 2006). Hal tersebut dapat
merugikan komunitas laut karena introduksi dari spesies pendatang yang tidak
terkalahkan dapat mempengaruhi perubahan biodiversitas spesies laut.
Perlengkapan pembangkit yang menggunakan air laut sebagai pendingin dapat
juga merupakan substrat biofouling yang baik. Biofouling pada tabung pendingin
20

air pada pembangkit dapat menurunkan efisiensi kondenser karena dapat


menurunkan keseluruhan daya pembangkit untuk kepentingan masyarakat. Hal ini
dapat menyebabkan stasiun pembangkit secara temporer menutup pembangkit
tenaga disebabkan karena terjadi biofouling (Meesters et al. 2003, diacu dalam
Maxey 2006).
Biofouling secara komersial dapat menyebabkan dampak besar bagi
konsumer, tetapi ahli lingkungan mengatakan bahwa biofouling memiliki
beberapa kerugian yang lain juga (Maxey 2006). Penelitian yang dilakukan oleh
Sudaryanto et al. (2001) dan Harder (2004) membuktikan terjadinya akumulasi
bahan TBT pada sedimen perairan di Indonesia dan menyebabkan terjadinya
imposex pada gastropoda laut betina karena dapat menyebabkan penyumbatan
pada saluran pengeluaran telur. Kelainan seksual pada spesies gastropoda yang
terekspos TBT tergambar secara luas pada awal tahun 1990 (Soedharma dan
Fauzan 1996; Adelman 1990 and Stewart 1996, diacu dalam Maxey 2006).
Kandungan TBT juga diperlihatkan oleh adanya akumulasi pada ikan.
Usaha pertama untuk melakukan pencegahan biofouling di lautan adalah
dengan menggunakan bahan-bahan kimia yang pada saat ini diketahui memiliki
daya toksik yang tinggi, seperti arsen, organo-mercury, DDT, dan timah. Semua
komponen tersebut beredar di pasaran pada tahun 1960. Bahan tersebut setelah
dipelajari diketahui bahwa mereka berbahaya jika digunakan dan memiliki
persisten tinggi di lingkungan. Tahap pencegahan biofouling berikutnya adalah
perkembangan penggunaan cat antifouling berbahan dasar tributyltin (TBT).
Produk tersebut dengan cepat berkembang dengan populer karena efektif dan
penggunaannya menyebar ke seluruh dunia pada saat yang singkat. Pada tahun
1985 produksi antifouling TBT mencapai 8–10000 meter ton per tahun (Alzieu et
al. 1991, diacu dalam Maxey 2006). Ketika pertama digunakan untuk mencampur
cat berbahan dasar tembaga terbukti memperlihatkan pencegahan biofouling. Oleh
karena itu komponen-komponen tin dengan cepat hadir sebagai bahan aktif utama
dalam cat yang digunakan di lautan. Kebanyakan formula-formula tersebut pada
tahun 1960–1970 dibuat dalam bentuk dimana formulasi bahan aktifnya bukan
ikatan kimia tetapi dalam bentuk lebih bebas tercampur dalam larutan. Cat-cat
dengan tipe ini pada umumnya memiliki kecepatan peluruhan yang tinggi dari
21

bahan aktifnya. Hal ini menyebabkan kandungan campuran pada di lingkungan


menjadi sangat tinggi. Akibat kecepatan peluruhan yang tinggi menyebabkan
kapal harus didaratkan lebih sering untuk dilakukan pengecatan kembali dan
perbaikan. Hal tersebut menyebabkan penurunan efisiensi dan tingginya biaya
bagi industri perkapalan. Hal tersebut tidak berlangsung lama setelah penggunaan
TBT di seluruh dunia memperlihatkan dampak negatif terhadap lingkungan.
Indonesia bersama 74 negara anggota Organisasi Maritim Internasional
(IMO) lainnya, menandatangani Konvensi Internasional Pengawasan Sistem Anti
Pencemaran Bahan-bahan Berbahaya pada kapal di Inggris, yang melarang
penggunaan jenis cat berbahaya untuk badan kapal. Dengan adanya kesepakatan
tersebut, maka penggunaan cat kapal lama yang dianggap mengandung TBT
tersebut dilarang. Menurut penelitian, cat yang digunakan untuk pengecatan
badan kapal oleh hampir semua kapal di seluruh dunia termasuk Indonesia,
selama ini ternyata mengandung bahan kimia TBT yang berbahaya dan dapat
membunuh biota laut (Ine dan Ant 2001).
Strategi penanggulangan biofouling menggunakan antifouling yang ramah
lingkungan difokuskan pada pengkarakterisasian dan pengembangan produk
berdasarkan pada pertahanan kimia pada organisme laut sesil yang dapat
mengkondisikan permukaan tubuhnya bebas dari organisme fouling. Beberapa
antifouling alami telah diekstrak dari tumbuhan laut dan organisme avertebrata.
Pengkarakterisasian dan aplikasi komponen bioaktif dalam cat antifoulant telah
dicobakan (Fusetani 2004).
BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan mulai bulan Desember 2008 sampai bulan Maret 2010.
Pengambilan contoh daun tumbuhan lamun jenis Enhalus acoroides, Thalassia
hemprichii dan Syringodium isoetifolium yang diisolasi bakteri epifit dan endofit
serta penjebakan biofilm primer pada substrat kayu dan fiber dilakukan di
ekosistem padang lamun perairan pantai Teluk Awur, Jepara Jawa Tengah
(Gambar 4).
Isolasi bakteri, uji hambat dan uji aplikasi secara laboratorium dilakukan di
Laboratorium Kelautan, Jurusan Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang.
Identifikasi bakteri pembentuk biofilm yang berespon terhadap bakteri simbion
tumbuhan lamun pada uji hambat serta bakteri simbion epifit dan endofit pada
tumbuhan lamun dilakukan di laboratorium Bioteknologi Fakultas Pertanian
Universitas Gadjah Mada dan Universitas Islam Negeri Yogjakarta.
Aplikasi lapangan hasil ekstrak bakteri yang mengindikasikan adanya
senyawa antifoulant dilakukan di perairan Kamal Muara, Penjaringan, Tangerang,
Jawa Barat Uji dan uji biofouling pada beberapa jenis substrat yaitu kayu tanpa
cat, kayu dicat terang, kayu dicat gelap dan fiber dilakukan di perairan Muara
Baru, Jakarta Utara.
23

Peta
24

Prosedur Penelitian

Isolasi Bakteri Epifit

Daun dari jenis lamun Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii dan


Syringodium isoetifolium (identitifikasi menurut Larkum 1989) yang terbebas dari
makroepifit yaitu yang tidak dijumpai adanya makroorganisme yang menempel
diambil sebanyak kurang lebih 5 cm. Sampel kemudian dimasukkan dalam
kantong plastik dan ditempatkan dalam kontainer pendingin untuk selanjutnya
dibawa ke laboratorium. Sampel selanjutnya disemprot dengan air laut steril (air
laut yang disterilisasi) sebanyak tiga kali untuk mendapatkan biofilm permanen
kemudian dilakukan pengerokan dengan alat pengerok steril. Hasil kerokan
dimasukkan ke dalam 90 ml air laut steril (Gambar 5) dan diencerkan hingga
diperoleh pengenceran 10-1, 10-2, dan 10-3. Dari masing-masing tingkat
pengenceran diambil 100 µl dengan pipet, dimasukkan ke dalam media ZoBell
2216E (Lampiran 2) yang telah disiapkan di dalam cawan petri. Selanjutnya
diratakan dengan menggunakan spreader dan diinkubasikan selama 2 x 24 jam
pada suhu kamar. Pemurnian isolat bakteri dilakukan dengan metode goresan
(streak method) hingga diperoleh kultur murni.

Gambar 5 Cara melakukan isolasi bakteri epifit dari daun lamun.

Isolasi Bakteri Endofit

Isolasi mikroba endofit dilakukan dengan modifikasi metode F. Tomita


(Lumyong et al. 2001, diacu dalam Simarmata et al. 2007) yaitu daun lamun yang
diambil dari lapangan dibersihkan dari kotoran dengan cara mencucinya dengan
air mengalir. Kemudian daun lamun dipotong sepanjang 5 cm dan selanjutnya
disterilisasi permukaannya menggunakan larutan alkohol 70%. Setelah itu sampel
dibilas dengan air steril tiga kali dan kemudian dengan cara membelah bagian
daun lamun dan meletakkan pada posisi tertelungkup ditanam di dalam media
agar ZoBell 2216E (Gambar 6). Cawan petri yang sudah mengandung sampel
25

daun lamun kemudian diinkubasi dalam inkubator pada suhu kamar selama 2-4
hari. Mikroba yang tumbuh secara bertahap dimurnikan satu persatu.

Gambar 6 Cara melakukan isolasi bakteri endofit dari daun lamun.

Isolasi Bakteri Pembentuk Biofilm

Biofilm bakteri disiapkan dalam rangka memperoleh isolat bakteri


pembentuk biofilm bakteri. Beberapa jenis substrat penempel steril (kayu dan
fiber) disiapkan, kemudian diikatkan pada penyangga dengan menggunakan tali
yang dipasang sedemikian rupa sehingga dapat mewakili 4 penjuru mata angin
(Gambar 7). Selanjutnya dipasang di daerah lamun yang akan diisolasi bakterinya.
Substrat diletakkan pada kedalaman 1 meter di bawah permukaan laut pada surut
paling rendah selama 1 minggu. Substrat tersebut selanjutnya diambil dan
dimasukkan ke dalam kotak pendingin dan dibawa ke laboratorium untuk proses
isolasi. Substrat selanjutnya dicuci dengan air laut steril dengan cara disemprotkan
sebanyak tiga kali untuk memastikan bahwa bakteri yang terisolasi adalah bakteri
pembentuk biofilm yang sudah permanen. Isolasi bakteri dilakukan dengan
metode pour plate (lempeng tuang) menurut Brock dan Madigan (1991). Substrat
tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam cawan petri steril yang sebagian berisi
air laut steril, kemudian dilakukan pengerokan (scrapping) terhadap permukaan
substrat dengan alat pengerok steril secara aseptik. Sampel selanjutnya
dimasukkan ke dalam 90 ml air laut steril dan diencerkan hingga diperoleh
pengenceran 10-1, 10-2, dan 10-3. Dari masing-masing tingkat pengeceran diambil
100 µl dengan pipet ke dalam media ZoBell 2216 E (Lampiran 1) yang telah
disiapkan di dalam cawan petri. Selanjutnya diratakan dengan menggunakan
spreader dan diinkubasikan selama 2 x 24 jam pada suhu kamar. Pemurnian isolat
bakteri dilakukan dengan metode goresan (streak method) hingga diperoleh kultur
murni. Semua alat dan bahan yang digunakan dilakukan sterilisasi terlebih dahulu
dengan autoklaf (Lampiran 2).
26

Utara
PEMASANGAN SUBSTRAT
PADA 4 PENJURU Barat Timur
( Pencelupan selama 1 Minggu)
Selatan

Substrat Fiber

Substrat Kayu

Waktu T: o hari pemasangan Setelah 7 hari pemasangan

Gambar 7 Pemasangan substrat kayu dan fiber pada posisi empat penjuru
mata angin untuk penjebakan bakteri pembentuk biofilm.

Uji Penghambatan Bakteri Simbion Lamun (epifit dan endofit) terhadap


pertumbuhan Bakteri Biofilm
Metode difusi agar dilakukan berdasarkan Radjasa et al. (2004) dengan
menyiapkan cawan petri steril berisi 20 ml media Zobell 2216E. Sebanyak 75 μl
kultur bakteri biofilm dalam media Zobell 2216E cair (Lampiran1) yang telah
diinkubasi selama 1 hari diinokulasikan pada cawan petri tersebut dengan metode
spread sampai merata dan didiamkan sekitar tiga menit supaya bakteri biofilm
meresap pada media. Selanjutnya beberapa paper disk diletakkan secara aseptis
pada permukaan agar lalu ditetesi 25 µl isolat bakteri yang akan diuji yaitu bakteri
epifit atau endofit simbion tumbuhan lamun E. acoroides, T. hemprichii dan S.
isoetifolium yang telah dikultur pada media Zobell 2216E cair dan telah dilakukan
pengukuran kepadatan bakteri dengan spektrofotometer pada panjang gelombang
(λ) maksimal 500. Media tersebut selanjutnya diinkubasikan pada suhu kamar
selama 2 x 24 jam. Pengamatan dilakukan dengan melihat ada tidaknya zona
hambatan pertumbuhan bakteri di sekeliling paper disk. Zona hambat yang
terbentuk diukur dengan menggunakan jangka sorong dengan ketelitian 0,05 mm.
27

Uji Penghambatan Ekstrak Bakteri Simbion Lamun (epifit dan endofit)


terhadap Pertumbuhan Bakteri Biofilm
Metode yang digunakan dalam adalah metode difusi agar yang dilakukan
berdasarkan Radjasa et al. (2004) dengan menyiapkan cawan petri steril berisi 20
ml media Zobell 2216E. Kemudian sebanyak 75 μl kultur bakteri biofilm dalam
media Zobell 2216E cair yang telah diinkubasi selama 1 hari diinokulasikan pada
cawan petri tersebut dengan metode spread sampai merata dan didiamkan sekitar
tiga menit supaya bakteri biofilm meresap pada media. Selanjutnya beberapa
paper disk diletakkan secara aseptis pada permukaan agar lalu ditetesi 25 µl
ekstrak isolat bakteri (Lampiran 3) yang akan diuji yaitu bakteri epifit atau endofit
simbion tumbuhan lamun E. acoroides, T. hemprichii, dan S. isoetifolium yang
telah dikultur pada media Zobell 2216E cair dan telah dilakukan pengukuran
kepadatan bakteri dengan spektrofotometer pada panjang gelombang
(λ) maksimal 500. Media tersebut selanjutnya diinkubasikan pada suhu kamar
selama 2 x 24 jam. Pengamatan dilakukan dengan melihat ada tidaknya zona
hambatan pertumbuhan bakteri di sekeliling cawan petri. Zona hambat yang
terbentuk diukur dengan menggunakan jangka sorong dengan ketelitian 0.05 mm.

Uji Aplikasi Lapang Penghambatan Ekstrak Bakteri Simbion Lamun


terhadap Penempelan Macrofouling
Uji lapang dilakukan dengan cara mencampur cat yang tidak mengandung
antifoulant sintetis dengan ekstrak bakteri untuk mengetahui kemampuan senyawa
aktif dalam melindungi struktur dari penempelan organisme fouling (Burgess et
al. 2003). Disiapkan substrat berupa balok kayu berukuran 3 x 6 cm2 dan dibuat
lubang kecil untuk memasukkan tali pengikat. Beberapa larutan campuran ekstrak
bakteri simbion lamun dan cat kayu tanpa antifoulant dibuat dengan perbandingan
25 : 75 dan 50 : 50. Satu balok kayu dicat dengan campuran cat tanpa antifoulant
dan pelarut hexana dan satu balok kayu tanpa penambahan ekstrak kasar bakteri
digunakan sebagai kontrol. Selanjutnya larutan cat tersebut digunakan untuk
mengecat balok kayu yang tersedia. Setelah itu dikeringkan selama 1 hari untuk
memastikan cat benar-benar sudah menempel pada balok kayu. Balok-balok kayu
tersebut diikat dengan tali plastik (Gambar 8) dan dilakukan perendaman pada air
laut di lokasi aplikasi lapang. Balok kayu tersebut ditempatkan 50 cm dibawah
28

permukaan air laut pada surut terendah. Balok kayu yang digunakan untuk setiap
perlakuan sebanyak 3 buah untuk pengulangan. Rancangan penelitian yang
digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan perlakuan ekstrak
isolat bakteri simbion lamun (epifit dan endofit), dan terdapat perlakuan kontrol
atau pembanding yaitu kayu yang hanya dicat dengan cat tanpa antifoulant.
Pengamatan dilakukan sekali dalam seminggu. Identifikasi dan penghitungan
organisme penempel dilakukan setelah terdapat organisme penempel pada
perlakuan kontrol.

Gambar 8 Substrat kayu yang dicat dengan campuran cat tanpa antifoulant
dan ekstrak bakteri simbion lamun untuk aplikasi lapang

Identifikasi Bakteri

Ekstraksi DNA Bakteri


Diambil isolat murni bakteri secukupnya dan selanjutnya isolat tersebut
dimasukkan tabung ependorf 1,5 ml diisi 100 ul akuades. Selanjutnya direbus
dalam panci berisi air mendidih 10 – 20 menit dan setelah itu tabung dimasukkan
dalam es 5 – 10 menit. Sentrifuse dilakukan pada 12.000 rpm selama 10 menit dan
supernatan yang terjadi diambil dan dimasukkan tabung ependorf baru.
Selanjutnya disimpan pada 4oC sebelum digunakan.

Amplifikasi DNA

Amplifikasi DNA dilakukan dengan metode PCR (Polymerase Chain


Reaction) berdasarkan metode yang dilakukan menurut metode Thiel and Imhoff
(2003), diacu dalam Radjasa et al. (2007). Primer yang digunakan untuk
amplifikasi 16S rDNA adalah primer universal 27F (5'-
AGAGTTTGATCMTGGCTCAG-3') (Long dan Azam 2001, diacu dalam
Radjasa et al. 2007).
29

Amplifikasi DNA dengan PCR dilakukan dengan DNA thermal cycler


dengan perlakuan suhu sebagai berikut :
Denaturasi awal dilakukan pada 94°C selama 5 menit dan selanjutnya
dilakukan annealing (94°C selama 30 detik), ekstensi (54°C selama 45 detik),
dan denaturasi (72°C selama 1 menit), sebanyak 35 siklus. Kemudian ekstra
annealing selama 1 menit, dan ekstra ekstensi akhir pada 72°C selama 5 menit.

Visualisasi produk PCR dilakukan melalui elektroforesis dengan tahapan


sebagai berikut:
Produk PCR sebanyak 50 μl dimasukkan ke dalam sumur gel agarose 0,6%
yang diletakkan pada bufer TEB (Tris-acetat-EDTA Buffer) 1 X, dilakukan
running selama 45 menit. Gel kemudian direndam dalam ethidium bromide
selama 5 menit untuk mewarnai pita DNA yang terperangkap pada gel. Hasil
amplifikasi 16S rDNA yang memiliki panjang sekitar 1460 bp dapat dilihat
dengan meletakkan gel di atas UV transluminator (Long dan Azam, 2001,
diacu dalam Radjasa et al. 2007). Analisis sekuen DNA isolat bakteri terbaik
kemudian dibandingkan dengan sekuen DNA pada basis data (database) DNA.
Penelusuran homologi dilakukan dengan menggunakan internet melalui
program pelacakan database Basic Local Alignment Search Tool (BLAST)
pada National Center for Biotechnology Information, National Institute for
Health, USA (www.ncbi.nlm.nih.gov) (Altschul et al. 1997, diacu dalam
Radjasa et al. 2007).

Analisis Pohon Filogenetik

Analisis dengan Pohon filogenetik digunakan untuk membuat struktur


analisis maximum-likelihood. Temuan posisi tidak kurang dari 50% (masing-
masing tiga) dari sekuen yang memiliki kesamaan dengan sekuen primer 16S
rDNA adalah data yang akan ikut diperhitungkan dengan Analisis Filogenetik
dengan software ARB (http://www.micro.biologie.tu-muenchen.de, diacu dalam
Radjasa et al. 2007).
30

Uji Penempelan Macrofouling pada Jenis Substrat Kayu dan Fiber

Disiapkan substrat balok kayu dan fiber (Gambar 9) yang memiliki


permukaan kasar dan halus. Pada percobaan ini juga digunakan substrat kayu
yang dicat dengan cat berwarna terang (putih) dan berwarna gelap (coklat)
berukuran 4 x 8 cm2 dan dibuat lubang kecil pada salah satu ujungnya untuk
memasukkan tali pengikat. Substrat kayu dan fiber yang telah diikat dengan tali
plastik tersebut kemudian ditempatkan 50 cm dibawah permukaan laut pada surut
terendah. Hal ini untuk lebih memastikan bahwa substrat akan selalu terendam air
laut. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap organisme penempel dua kali
dalam seminggu hingga diperoleh organisme penempel yang dominan pada setiap
substrat percobaan. Masing-masing jenis substrat dilakukan pengulangan
sebanyak tiga kali. Pada akhir pengamatan dihitung jumlah makroorganisme
penempel yang ada pada setiap substrat perlakuan.

Gambar 9 Balok kayu dan fiber yang digunakan dalam percobaan


biofouling.

Pengamatan Parameter Fisik-Kimia Perairan


Pengamatan terhadap parameter fisik-kimia lingkungan dengan
menggunakan Water Quality Checker, Salinetest, dan pH meter dilakukan pada
saat isolasi bakteri simbion lamun (epifit dan endofit) dan isolasi bakteri
pembentuk biofilm pada substrat kayu dan fiber meliputi parameter Turbiditas,
Kecepatan Arus, Temperatur, Salinitas dan pH. Pengamatan parameter fisik-kimia
lingkungan pada pengamatan proses biofouling dan uji aplikasi lapang
penempelan macrofouling pada jenis substrat dengan perlakuan campuran cat
tanpa antifouling dan ekstrakkasar bakteri simbion lamun meliputi, Temperatur,
Salinitas dan pH.
HASIL

Identifikasi Tumbuhan Lamun

Tiga jenis tumbuhan lamun yang diisolasi bakteri simbionnya adalah jenis
Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii dan Syringodium isoetifolium. Ketiga
jenis lamun tersebut dapat diklasifikasikan (Les and Waycott 2004) sebagai
berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Magnoliophyta (Angiosperms)
Class : Liliopsida
Sub-class : Alismatidae
Order : Alismatales
Family : Hydrocharitaceae
Genus : Thalassia
Species : Thalassia hemprichii
Genus : Enhalus
Species : Enhalus acoroides
Order : Potamogetonales
Family : Potamogetonaceae
Genus : Syringodium
Species : Syringodium isoetifolium

Morfologi ketiga jenis tumbuhan lamun dapat dilihat pada Gambar 10.

Enhalus acoroides Thalassia hemprichii Syringodium isoetifolium


(Les and Waycott 2004)
Gambar 10 Morfologi jenis lamun yang digunakan sebagai objek penelitian.
32

Isolasi Bakteri Simbion lamun (epifit dan endofit)

Hasil pengamatan terhadap jumlah isolat bakteri terisolasi dari ketiga jenis
lamun yang diuji memperlihatkan bahwa jumlah isolat bakteri simbion epifit lebih
banyak dibandingkan bakteri simbion endofit pada semua jenis lamun yang diuji
(Gambar 11). Jumlah isolat bakteri simbion paling banyak diantara ketiga jenis
lamun tersebut adalah isolat bakteri yang terisolasi dari jenis lamun Thalassia
hemprichii (22 epifit dan 8 endofit). Isolat bakteri yang terisolasi dari lamun
Syringodium isoetifolium jumlahnya paling sedikit (12 epifit dan 6 endofit)
(Gambar 12).

a. b.
Gambar 11 Hasil isolasi bakteri simbion epifit (a) dan endofit (b).
Isolat bakteri

30
22
17
20
6 8
12 6
10

Epifit
Jenis
Endofit

Gambar 12 Jumlah isolat bakteri simbion epifit dan endofit terisolasi dari 3
jenis lamun

Uji Penghambatan Bakteri Simbion Lamun (epifit dan endofit)


terhadap Pertumbuhan Bakteri Biofilm
Zona hambat maksimum bakteri simbion lamun (epifit dan endofit) terhadap
pertumbuhan bakteri biofilm pada ketiga jenis lamun yang diuji secara umum
memperlihatkan bahwa zona hambat bakteri simbion endofit lebih besar
dibandingkan bakteri simbion epifit (Gambar 13). Bakteri simbion epifit pada
33

jenis lamun Enhalus acoroides merupakan bakteri yang memiliki zona hambat
maksimum paling tinggi diantara bakteri epifit pada ketiga jenis lamun sedangkan
bakteri simbion endofit Syringodium isoetifolium merupakan bakteri yang
memiliki zona hambat maksimum paling tinggi diantara bakteri endofit pada
ketiga jenis lamun yang diteliti.

Keterangan : EA, EB, ET : Bakteri simbion epifit Enhalus acoroides


TA, TB, TT : Bakteri simbion epifit Thalassia hemprichii
SA, ST : Bakteri simbion epifit Syringodium isoetifolium
EEJ : Bakteri simbion endofit Enhalus acoroides
ETJ : Bakteri simbion endofit Thalassia hemprichii
ESJ : Bakteri simbion endofit Syringodium isoetifolium

Gambar 13 Besar zona hambat maksimum (mm) uji penghambatan bakteri


simbion lamun (epifit dan endofit) terhadap pertumbuhan bakteri biofilm.

Jumlah bakteri biofilm yang dihambat pada uji penghambatan bakteri


simbion (epifit dan endofit) terhadap pertumbuhan bakteri biofilm
memperlihatkan hasil bahwa secara umum bakteri simbion endofit mampu
34

menghambat bakteri biofilm lebih banyak dibandingkan bakteri epifit (Gambar


14).

Gambar 14 Jumlah bakteri biofilm yang dihambat pada uji penghambatan bakteri
simbion lamun (epifit dan endofit) terhadap pertumbuhan bakteri biofilm.

Persentase bakteri simbion lamun (epifit dan endofit) yang aktif dalam uji
penghambatan bakteri simbion lamun terhadap pertumbuhan bakteri biofilm
memperlihatkan bahwa bakteri simbion endofit memiliki persentase lebih besar
dibandingkan bakteri epifit walaupun jumlah bakteri epifit yang terisolasi lebih
banyak (Gambar 15). Pada jenis lamun Enhalus acoroides dan Syringodium
isoetifolium semua bakteri endofit yang terisolasi memiliki kemampuan
penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri biofilm.
35

100
100
100 75

bakteri
47
50 40
33

Persen
0
Enhalus
acoroides Thalassia
hempprichii Syringodium
isoetifolium

Jenis lamun
Epifit Endofit

Gambar 15 Persentase bakteri simbion lamun (epifit dan endofit) yang aktif
pada uji penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri biofilm.

Uji Penghambatan Ekstrak Bakteri Simbion Lamun terhadap


Pertumbuhan Bakteri Biofilm

Zona hambat maksimum uji penghambatan ekstrak bakteri simbion lamun


terhadap pertumbuhan bakteri biofilm memperlihatkan hasil bahwa bakteri epifit
simbion pada lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii memiliki
kemampuan penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri biofilm lebih besar
dibandingkan bakteri epifit simbion pada lamun Syringodium isoetifolium. Bakteri
simbion endofit pada lamun Syringodium isoetifolium memiliki kemampuan
penghambatan paling besar dibandingkan bakteri simbion endofit kedua jenis
lamun lainnya (Gambar 16).
36

Gambar 16 Zona hambat maksimum uji penghambatan ekstrak bakteri simbion


lamun (epifit dan endofit) terhadap pertumbuhan bakteri biofilm.

Jumlah bakteri biofilm yang dihambat pada uji penghambatan ekstrak


bakteri simbion lamun (epifit dan endofit) terhadap pertumbuhan bakteri biofilm
memperlihatkan hasil bahwa bakteri simbion epifit pada lamun jenis Enhalus
acoroides dan Thalassia hemprichii memiliki kemampuan menghambat bakteri
biofilm lebih banyak dibandingkan bakteri simbion epifit Syringodium
isoetifolium (Gambar 17). Bakteri simbion endofit Syringodium isoetifolium
merupakan bakteri simbion endofit yang mampu menghambat bakteri biofilm
paling banyak dibandingkan bakteri endofit simbion pada kedua jenis lamun
lainnya.
37

Gambar 17 Jumlah biofilm yang dihambat pada uji penghambatan ekstrak bakteri
simbion lamun (epifit dan endofit) terhadap pertumbuhan bakteri biofilm.

Uji Aplikasi Lapang Penghambatan Ekstrak Bakteri Simbion Lamun


terhadap Penempelan Macrofouling

Hasil uji aplikasi lapang penempelan macrofouling pada substrat yang telah
dilakukan pengecatan campuran ekstrak bakteri simbion lamun terpilih dari
ekstrak yang memiliki zona hambat maksimum paling besar dan kemampuan
menghambat bakteri biofilm paling banyak dari bakteri simbion epifit dan endofit
memperlihatkan hasil bahwa secara umum jumlah macrofouling lebih banyak
ditemukan menempel pada perlakuan campuran ekstrak bakteri simbion dan cat
tanpa antifoulant sintetis pada komposisi campuran 25 bagian ekstrak bakteri dan
75 bagian cat tanpa antifoulant sintetis. Pada tiga substrat yang diuji tidak
ditemukan adanya macrofouling yang menempel (0 macrofouling) (Gambar 18).
Ketiga substrat tersebut merupakan substrat dengan perlakuan pengecatan dengan
campuran ekstrak bakteri dan cat pada komposisi 50 bagian ekstrak dan 50 bagian
cat tanpa antifoulant sintetis. Dua ekstrak bakteri merupakan ekstrak yang
diperoleh dari bakteri simbion epifit yaitu bakteri simbion epifit pada jenis lamun
Enhalus acoroides (EA6) dan Thalassia hemprichii (TB3) serta satu ekstrak
bakteri dari bakteri simbion endofit Syringodium isoetifolium (ESJ1).
38

Gambar 18 Jumlah macrofouling pada uji aplikasi lapang ekstrak bakteri


simbion lamun terhadap penempelan macrofouling.

Isolasi Bakteri Pembentuk Biofilm

Jumlah isolat bakteri biofilm yang berhasil diisolasi dari substrat kayu dan
fiber permukaan halus dan kasar memperlihatkan hasil bahwa secara umum
jumlah isolat bakteri biofilm lebih banyak diisolasi dari substrat dengan
permukaan kasar baik pada substrat kayu maupun fiber (Gambar 19). Pada
substrat kayu dan fiber yang diletakkan penjebakannya pada daerah komunitas
lamun Enhalus acoroides terisolasi isolat bakteri biofilm paling banyak
dibandingkan tempat penjebakan yang lain. Penjebakan bakteri biofilm pada
daerah komunitas Syringodium isoetifolium memperlihatkan jumlah bakteri
biofilm yang diisolasi paling sedikit.

20 14 14 15 15
Isolat bakteri

12 11
9 12 13
10 7 8
5
0

perm halus
Jenis substrat
perm kasar

Gambar 19 Jumlah isolat bakteri biofilm yang terisolasi dari substrat kayu
dan fiber
39

Suksesi Proses Biofouling pada Jenis Substrat Kayu dan Fiber

Hasil penelitian terhadap jumlah penempelan macrofouling pada jenis


substrat kayu dicat terang (putih), kayu dicat gelap (coklat), kayu tanpa dicat dan
fiber memperlihatkan bahwa secara umum macrofouling banyak ditemukan pada
permukaan kasar dibandingkan pada permukaan halus (Gambar 20). Jumlah
macrofouling paling banyak ditemukan pada jenis substrat kayu dicat gelap
(coklat) dan jumlah macrofouling paling sedikit ditemukan pada substrat fiber.

1500 1312
1059
1000 662
Macrofouling

390
757 571 741
500 443

Kayu cat
Kayu cat
terang Kayu tanpa
gelap Fiber
cat
Jenis substrat
Kasar

Halus

Gambar 20 Jumlah macrofouling pada uji penempelan macrofouling pada


substrat kayu dan fiber.

Pengamatan terhadap suksesi proses biofouling pada satu minggu pertama


pengamatan memperlihatkan hasil bahwa jenis substrat yang mengalami suksesi
proses biofouling paling lambat yang dimulai dari teramatinya lapisan biofilm
yang diikuti adanya protozoa dan selanjutnya ditemukan organisme macrofouling
adalah jenis substrat fiber dengan permukaan halus (Gambar 21). Pada jenis
substrat ini sampai pengamatan setelah satu minggu perendaman substrat di laut
belum ditemukan adanya macrofouling yang menempel sedangkan pada jenis
substrat yang lain telah ditemukan adanya macrofouling.
40

Permukaan Waktu Fiber Kayu tanpa cat Kayu cat terang


(hari)
3 Biofilm

Halus 5 Biofilm Protozoa

7 Biofilm Macrofouling

3 Biofilm

Kasar 5 Biofilm Protozoa

7 Macrofouling

Gambar 21 Suksesi proses biofouling pada substrat kayu dan fiber satu
minggu pertama pengamatan.

Pengamatan Parameter Fisik-Kimia Perairan

Hasil pengamatan terhadap parameter lingkungan perairan pada saat


dilakukan isolasi bakteri simbion lamun (epifit dan endofit) yang bersamaan
dengan isolasi bakteri biofilm memperlihatkan adanya perbedaan yang lebih
terlihat pada parameter turbiditas. Pada pengukuran parameter ini memperlihatkan
bahwa pengukuran di lokasi daerah tempat komunitas lamun Enhalus acoroides
paling tinggi turbiditasnya dan arusnya paling lambat dibandingkan lokasi yang
lain dan pada lokasi daerah tempat komunitas lamun Syringodium isoetifolium
merupakan lokasi dengan turbiditas paling rendah (Gambar 22). Pengamatan
parameter lingkungan selama perendaman substrat percobaan uji ekstrak bakteri
simbion lamun terhadap penempelan macrofouling tidak memperlihatkan
terjadinya fluktusi yang tinggi pada semua parameter yang diamati (Gambar 23).
Pada pengamatan parameter lingkungan saat uji biofouling pada jenis substrat
kayu dan fiber memperlihatkan fluktuasi nilai yang agak tinggi pada semua
parameter yang diamati (Gambar 24).
41

Arus
0,05 0,03 0,03
0,01
0

m/det
Arus
Lokasi pengamatan

Turbiditas
12,1 9,4 4,9
NTU 20
0

Turbiditas

Temperatur
29,62 29,68 29,67
OC 30
29

Temperatur

Salinitas
38 38 38
50
%o

Salinitas

pH
7,26 7,48 7,53
8
7

pH
Lokasi pengamatan

Gambar 22 Parameter lingkungan perairan pada saat isolasi bakteri


simbion lamun (epifit dan endofit)
42

Temperatur
O c
40 31,6
26,9 27 28,9 27,2 28,1 29,6
30 Temperatur
20
1 2 3 4 5 6 7

%o Salinitas
40
24 21 21,5 22 24,5 24
19,5
20
Salinitas

0
1 2 3 4 5 6 7

pH
10
8,17 8,37
7,68 7,42 7,69 7,35
8 7,22 pH

6
1 2 3 4 5 6 7

Gambar 23 Parameter lingkungan perairan pada saat uji aplikasi lapang


ekstrak bakteri terhadap macrofouling.
43

Temperatur
O c
31,5 31,6
32 31,2 31,2 31,1 31,2
30,9 31,1
30,6 30,6 30,5
30,3
30
30 29,6
Temperatur
28
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

%o Salinitas
30 22 22
20
14 14,9
15 10,810,912 1211,2
7,5 9 7,7 7,7
Salinitas
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

pH
8,5 8,1 8,02 8,14
7,99
7,82 7,85 7,787,81
7,63 7,7 7,7 7,697,747,78

7,5
pH

6,5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Gambar 24 Parameter lingkungan perairan pada saat pengamatan suksesi


biofouling.
44

Identifikasi Bakteri

Hasil identifikasi bakteri secara molekuler memperlihatkan bahwa terdapat


beberapa bakteri simbion lamun (epifit dan endofit) yang memiliki kesamaan
genus walaupun nilai homologinya menunjukkan perbedaan. Kesamaan tersebut
diperlihatkan pada bakteri simbion epifit maupun simbion endofit (Tabel 1).

Tabel 1 Hasil identifikasi bakteri simbion lamun


No Kode Hasil Identifikasi Homologi No Akses
Bakteri
Bakteri Epifit
1. EA 2 Bacillus vietnamensis 97% AB099708
2. EA 6 Virgibacillus marismortui 99 % AJ009793
3. TB 3 Virgibacillus proomii 89 % AJ012667
4. TT 9 Halobacillus trueperi 92 % AJ310149
5. SA 2 Bacillus atrophaeus 92 % AB021181
6. SA 5 Bacillus luciferensis 93 % AJ419629
Bakteri Endofit
7. EEJ 1 Pseudoalteromonas flavipulchra 99 % AF297958
8. EEJ 2 Halobacillus litoralis 93 % X94558
9. ETJ 1 Vibrio campbellii 98 % NR829222
10. ETJ 2 Bacillus flexus 91 % AB021185
11. ESJ 1 Bacillus carboniphilus 84 % AB021182
12. ESJ 5 Halobacillus litoralis 92 % X94558

Hasil identifikasi bakteri secara molekuler terhadap bakteri biofilm yang


menunjukkan keaktifan terhadap bakteri simbion lamun pada uji penghambatan
memperlihatkan hasil bahwa bakteri yang teridentifikasi sebagian besar
merupakan genus Bacillus (50% yaitu 6 isolat bakteri biofilm) (Tabel 2).

Tabel 2 Hasil identifikasi bakteri biofilm.


No Kode Bakteri Hasil Identifikasi Homologi No Akses
1. EFK 18 Bacillus firmus 97 % BAC16SRR03
2. EKK 13 Paraliobacillus ryukyuensis 91 % AB087828
3. TFH 11 Halobacillus truperi 84 % AJ310149
4. TKK 2.3 Salinicoccus alkaliphilus 95 % AF275710
5. SFK 3 Bacillus siralis 93 % NR_028709
6. SKK 2 Lentibacillus salicampi 89 % AY057394
7. EKH 13 Bacillus vallismortis 93 % AB021198
8. EKK 8 Amphibacillus tropicus 91 % AF418602
9. TFH 12 Bacillus luciferensis 92 % AJ419629
10. TKH 6 Staphylococcus sciuri 92 % AJ421446
11. SFK 10 Bacillus flexus 99 % AB021185
12. SKK 12 Bacillus aeolius 92 % AJ504797
Keterangan : EFK, TFK, SFK, TFH : bakteri biofilm pada substrat fiber
EKK, TKK, SKK, TKH : bakteri biofilm pada substrat kayu
45

Analisis Pohon Filogenetik

Hasil analisis pohon filogenetik bakteri simbion lamun (epifit dan endofit)
memperlihatkan bahwa terdapat satu isolat bakteri yang memiliki kekerabatan
paling jauh dengan isolat yang lain yaitu isolat bakteri simbion endofit
Syringodium isoetifolium (ESJ1) (Gambar 25). Pada hasil analisis pohon
filogenetik bakteri biofilm memperlihatkan bahwa tingkat kekerabatan isolat
bakteri biofilm yang diisolasi dari substrat fiber permukaan halus yang
ditempatkan pada komunitas lamun Thalassia hemprichii terlihat paling jauh
kekerabatannya dengan isolat bakteri biofilm yang lain (Gambar 26).

0.024 Pseudoalteromonas rubra


Pseudoalteromonas maricaloris
Pseudoalteromonas flavipulchra
0.085
EEJ1
0.044 Vibrio proteolyticus
Vibrio natriegens
Vibrio -campbellii
ETJ1
0.030 Bacillus aquimaris strain TF-12
Bacillus firmus
EA2.1
Bacillus vietnamensis strain 15-1
0.027 Virgibacillus necropolis
0.018
Oceanobacillus picturae
Virgibacillus carmonensis
Virgibacillus proomii
TB3
0.073 Bacillus carboniphilus
ESJ1
Filobacillus milosensis
Halobacillus litoralis
EEJ2
Lentibacillus-salicampi
TT9
0.009 Halobacillus trueperi
Halobacillus karajensis
0.014 ESJ5
0.014 Bacillus sporothermodurans
0.070 Paraliobacillus ryukyuensis
Virgibacillus marismortui
EA6
Bacillus marisflavi
Bacillus subtilis subsp subtilis
Bacillus luciferensis
SA5
Staphylococcus auricularis
Staphylococcus felis
Bacillus flexus
ETJ2
Bacillus weihenstephanensis
Bacillus mycoides
Bacillus vallismortis
Bacillus atrophaeus
0.042 SA2
Bacillus subtilis
Bacillus mojavensis

Gambar 25 Hasil analisis pohon filogenetik bakteri simbion lamun (epifit dan
endofit)
46

0.058 Halobacillus salinus HSL-3


Halobacillus litoralis SL-4
Halobacillus trueperi DSM 10404
TFH_11
Staphylococcus chromogenes CBCC 1462
Staphylococcus sciuri DSM 20345
Bacillus halmapalus DSM 8723
Bacillus vallismortis DSM11031
EKH13
Staphylococcus equorum PA231
Staphylococcus auricularis WK 811M
Staphylococcus felis GD521
Bacillus luciferensis LMG 18422
0.019 TFH 12
TKH 6
Bacillus sonorensis NRRL B-23154
0.016 Halobacillus locisalis MSS-155
Tenuibacillus multivorans 28-1
Amphibacillus tropicus Z-7792
EKK 8
Bacillus sporothermodurans M215
0.030 Bacillus drentensis IDA1967
Macrococcus caseolyticus 235
Macrococcus brunensis CCM.4811
Bacillus siralis 171544
SFK 3
Bacillus aeolius 4-1
SKK_12
Bacillus flexus IFO15715
Bacillusasahii MA001
SFK_10
0.056 Salinicoccus roseus DSM 5351
Salinicoccus hispanicus DSM.5352
Salinicoccus alkaliphilusT8
TKK_2.3
0.038 Filobacillus milosensis SH714
Gracilibacillus halotolerans NN
0.015 0.019 Lentibacillus salicampi SF-20
SKK 2
Cerasibacillus quisquiliarum BLx
Halobacillus karajensis MA-2
Paraliobacillus ryukyuensis O15-7
EKK_13
0.022 Bacillus galactosidilyticus LMG 17892
Bacillus aquimaris TF-12
Bacillus firmus IAM 12464
EFK_18

Gambar 26 Hasil analisis pohon filogenetik bakteri biofilm.


PEMBAHASAN

Identifikasi Tumbuhan Lamun

Pada lokasi tempat pengambilan contoh daun lamun yang digunakan untuk
isolasi bakteri simbion ditemukan beberapa jenis tumbuhan lamun, namun dalam
penelitian ini hanya diambil tiga jenis lamun. Tiga jenis lamun yang dipilih adalah
jenis Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii dan Syringodium isoetifolium.
Pemilihan jenis lamun dilakukan dengan mengidentifikasi menggunakan kunci
identifikasi dari Les and Waycott (2004). Ciri-ciri spesifik dari jenis lamun
Enhalus acoroides adalah terdapatnya rambut-rambut kaku dan memiliki daun
yang cenderung panjang dan lebar. Pada jenis Thalassia hemprichii daun lebih
pendek dan terdapat garis-garis hitam. Pada Syringodium isoetifolium memiliki
ciri-ciri daun berbentuk silindris (Gambar 10).
Alasan dipilihnya ketiga jenis lamun tersebut adalah karena lamun tersebut
telah terbukti pada beberapa penelitian oleh adanya indikasi kandungan bahan
bioaktif sehingga kemungkinan besar mengindikasikan terdapatnya bakteri yang
hidup bersimbion dengan lamun tersebut (epifit dan endofit) yang juga dapat
menghasilkan bahan bioaktif seperti inangnya (Rosenblueth and Romero 2006).
Lamun jenis Syringodium isoetifolium ditemukan pada lokasi lebih kearah lautan
terbuka dengan substrat yang cenderung berpasir dan merupakan jenis yang paling
jauh jarak tumbuhnya dengan kedua jenis yang lain. Lamun Enhalus acoroides
dan Thalassia hemprichii terletak pada lokasi lebih saling berdekatan dan berada
pada daerah dengan substrat berlumpur.

Isolasi bakteri simbion lamun (epifit dan endofit)

Jumlah isolat bakteri simbion lamun epifit ditemukan lebih banyak pada
semua jenis lamun yang diteliti dibandingkan jumlah isolat bakteri simbion
endofit. Hal ini karena proses simbiosis tumbuhan lamun dengan bakteri epifit
dimulai dari kehadiran bakteri pada perairan di lingkungan sekitarnya. Prosesnya
diawali dari menempelnya materi organik pada permukaan tumbuhan lamun yang
selanjutnya menarik bakteri untuk menempel karena tersedia makanan. Jika
48

bakteri tersebut memiliki kecocokan dengan tumbuhan lamun sebagai inangnya


maka tahap selanjutnya bakteri tersebut akan memproduksi bahan
eksopolisakarida (EPS) yang akan memperkuat penempelannya. Penolakan
penempelan bakteri tertentu dapat terjadi jika tumbuhan lamun sebagai inangnya
menghasilkan metabolit sekunder yang dapat menghambat penempelan bakteri
tersebut. EPS juga berfungsi sebagai perekat hubungan antara bakteri yang satu
dengan bakteri yang lain dan dapat menarik bakteri lain yang cocok untuk dapat
hidup bersimbiosis. Pada tumbuhan inang, kehadiran EPS tersebut dapat berfungsi
antara lain untuk melindungi diri dari fluktuasi suhu dan kehadiran sinar
ultraviolet yang dapat membahayakan dirinya (Ramamoorthy 2001). Simbiosis
bakteri endofit dengan inangnya memerlukan proses yang lebih spesifik. Proses
terjadinya simbiosis antara bakteri endofit dan tumbuhan inangnya sampai saat ini
belum diperoleh jawaban pasti karena banyak peneliti yang masih melakukan
penelitian dalam proses pencarian jawaban tersebut. Beberapa kemungkinan
terjadinya proses simbiosis tumbuhan dengan bakteri adalah bahwa bakteri
kolonisasi terlebih dahulu berada pada permukaan tumbuhan inang dan
selanjutnya terjadi proses masuknya bakteri endofit ke dalam jaringan inangnya
melalui celah yang ada pada permukaannya atau bakteri endofit berada pada suatu
tumbuhan karena terjadi perpindahan yang dilakukan oleh inang dari generasi ke
generasi berikutnya pada saat reproduksi (Rosenblueth and Romero 2006).
Berdasarkan hal tersebut terjadinya simbiosis bakteri endofit dengan tumbuhan
inang yang lebih selektif karena bakteri yang dapat bersimbion secara endofit
pada umumnya merupakan bakteri yang dapat terlibat dalam metabolisme
bersama tumbuhan inangnya. Menurut Rosenblueth and Romero (2006) bahwa
bakteri simbion endofit pada tumbuhan dapat memacu pertumbuhan tanaman,
menghalangi pathogen, membantu membuang kontaminan, mengikat phosphat
atau berkontribusi dalam pengikatan nitrogen. Hal ini dapat terjadi karena adanya
keterlibatan bakteri simbion endofit dengan tumbuhan inangnya dalam proses
metabolisme.
Bakteri simbion epifit jumlahnya paling banyak ditemukan pada Thalassia
hemprichii, kemudian pada Enhalus acoroides dan paling sedikit pada
Syringodium isoetifolium. Banyaknya jumlah isolat bakteri epifit yang terisolasi
49

dari permukaan daun lamun sangat dipengaruhi oleh ketersediaan bakteri di


perairan tempat lamun tersebut tumbuh (Railkin 2004) dan kandungan bahan
bioaktif pada tumbuhan tersebut yang dapat menghambat penempelan bakteri
termasuk bakteri epifit pathogen (Larkum 1989 dan Ravikumar et al. 2010).
Bakteri simbion epifit pada Enhalus acoroides jumlahnya lebih sedikit
dibandingkan bakteri simbion epifit pada Thalassia hemprichii. Hal ini
kemungkinan karena lamun Enhalus acoroides, walaupun memiliki luasan
permukaan daun lebih luas namun lamun jenis ini pada beberapa penelitian
terdahulu (Jensen et al. 1998) telah membuktikan adanya kandungan bahan
bioaktif yang dimiliki yang dapat menghambat penempelan bakteri epifit. Bakteri
simbion epifit pada Syringodium isoetifolium paling sedikit diantara ketiga jenis
lamun yang diteliti. Penelitian Ravikumar et al. (2009) memperlihatkan bahwa
jenis lamun ini memiliki bakteri simbion yang dapat menghambat pertumbuhan
lima jenis bakteri pathogen. Hal lain kemungkinan karena selain luasan daun
lamun ini paling kecil juga karena dilihat dari pengamatan parameter lingkungan
pada daerah lokasi lamun ini tumbuh, memiliki turbiditas yang paling rendah dan
kecepatan arus paling tinggi (Gambar 22). Hal ini memungkinkan adanya kondisi
lingkungan pada lokasi tersebut adalah yang paling sedikit memiliki ketersediaan
bahan organik sebagai sumber makanan bakteri.

Uji Penghambatan Bakteri Simbion Lamun (epifit dan endofit)


terhadap Pertumbuhan Bakteri Biofilm

Zona hambat bakteri endofit pada ketiga jenis lamun yang diteliti secara
umum lebih besar dibandingkan bakteri simbion epifit. Hal ini karena keterlibatan
bakteri endofit dalam jaringan inangnya dalam hal metabolisme yang saling
menguntungkan. Bakteri endofit memperoleh nutrisi untuk melengkapi siklus
hidupnya dari tumbuhan inangnya dan tumbuhan inang memperoleh proteksi atau
keuntungan lain dari hasil kerjasama metabolismenya (Ramamoorthy et al. 2001;
Prihatiningtias 2006; dan Rosenblueth and Romero 2006). Kemampuan bakteri
simbion endofit dalam menghambat pertumbuhan bakteri biofilm juga
diperlihatkan pada kemampuannya menghambat isolat bakteri biofilm lebih
banyak dibandingkan bakteri simbion epifit. Besarnya kemampuan bakteri
50

simbion endofit dilihat berdasarkan besar zona hambat dan jumlah bakteri biofilm
yang dihambat memperlihatkan besarnya potensi bakteri endofit tersebut dalam
melakukan penghambatan terhadap bakteri biofilm. Kemampuan yang dimiliki
bakteri endofit tersebut kemungkinan karena akibat koevolusi terjadinya transfer
genetik dari tumbuhan inangnya ke bakteri endofit. Hal tersebut menyebabkan
kemampuan bakteri endofit setelah dilakukan isolasi dan dilakukan pengkulturan
terlepas dari tumbuhan inangnya masih memperlihatkan potensinya yang besar
dalam menghasilkan metabolit sekunder tanpa kerjasama dengan inangnya.
Kemampuan bakteri endofit yang demikian menyebabkan banyaknya para peneliti
melakukan penelitian-penelitian yang lebih intensif terhadap potensi bakteri
endofit pada saat ini. Pada penelitian ini memperlihatkan bahwa zona hambat dari
bakteri simbion endofit pada Syringodium isoetifolium cenderung lebih tinggi
dibandingkan jenis yang lain (Gambar 13). Penelitian potensi bioaktif beberapa
jenis tumbuhan lamun melawan bakteri pathogen manusia yang dilakukan oleh
Ravikumar et al. (2010) juga memperlihatkan bahwa isolat bakteri endofit dari
jenis Syringodium isoetifolium juga memperlihatkan hasil yang paling optimal.
Potensi penghambatan bakteri simbion lamun dilihat dari kemampuan
penghambatan terhadap banyaknya jumlah biofilm yang dihambat
memperlihatkan hasil bahwa semua bakteri simbion bakteri endofit dari ketiga
jenis lamun yang diteliti memperlihatkan kemampuan yang lebih tinggi
dibandingkan bakteri simbion epifit (Gambar 14). Hal ini memperkuat besarnya
potensi bakteri simbion endofit dibandingkan bakteri simbion epifit.
Persentase penghambatan bakteri endofit yang terisolasi dan aktif
menghambat bakteri biofilm pada bakteri yang diisolasi dari lamun Enhalus
acoroides dan Syringodium isoetifolium memperkuat bukti tingginya kemampuan
bakteri ini dalam penghambatannya terhadap pertumbuhan bakteri biofilm
(Gambar 15). Bakteri endofit yang diisolasi dari lamun Thalassia hemprichi tidak
semuanya memperlihatkan penghambatan terhadap bakteri biofilm. Hal ini
kemungkinan karena bakteri simbion epifit pada lamun tersebut jumlahnya paling
banyak sehingga pertahanan diri terhadap tumbuhan lamun oleh bakteri simbion
telah banyak dilakukan oleh bakteri simbion epifit yang berada pada permukaan
tubuh inang sehingga aktifitas penghambatan oleh bakteri endofit berkurang.
51

Kemampuan organisme dalam mempertahankan diri dengan memproduksi


metabolit sekunder berupa bahan bioaktif dapat dipengaruhi oleh rangsangan
disekitarnya termasuk kehadiran pathogen dan rangsangan fisik seperti terjadinya
luka pada bagian tubuhnya. Kemampuan yang lebih tinggi dari bakteri simbion
epifit dalam melindungi inangnya dapat mengurangi rangsangan bakteri endofit
untuk memproduksi metabolit sekunder karena pertahanan diri dari ancaman
terhadap inangnya telah dilakukan terlebih dahulu oleh bakteri epifit tersebut.
Hasil Analisis Ragam zona hambat maksimum bakteri epifit yang diisolasi
dari ketiga jenis lamun tersebut memperlihatkan perbedaan yang nyata pada jenis
isolat bakteri yang diisolasi dari jenis lamun E. acoroides dan T. hemprichi
namun pada isolat bakteri simbion epifit jenis lamun S. isoetifolium
memperlihatkan perbedaan tidak nyata (Lampiran 5, Lampiran 6 dan Lampiran 7).
Hal ini berarti bahwa perbedaan besarnya zona hambat pada masing-masing
bakteri epifit pada jenis lamun T. hemprichi dan E. acoroides sangat bervariasi
atau bisa dikatakan bahwa terdapat perbedaan yang cukup besar terhadap
besarnya zona hambat antara bakteri yang satu dengan bakteri yang lain.
Pada hasil analisis ragam terhadap bakteri endofit yang diisolasi dari ketiga
jenis lamun yang diteliti memperlihatkan hasil bahwa perbedaan besarnya zona
hambat maksimal pada ketiga jenis lamun sangat berbeda nyata. Hal ini
memperlihatkan bahwa zona hambat maksimum pada bakteri simbion endofit
yang diisolasi dari ketiga jenis lamun tersebut memperlihatkan hasil yang sangat
bervariasi dimana perbedaan dari masing-masing jenis bakteri cukup nyata
(Lampiran 8, Lampiran 9 dan Lampiran 10).

Uji Penghambatan Ekstrak Bakteri Simbion Lamun terhadap


Pertumbuhan Bakteri Biofilm

Penelitian mengenai potensi bahan bioaktif pada umumnya dimulai dari


ekstraksi kasar hingga ekstraksi senyawa murni dan dilanjutkan dengan uji
aktivitas biologi dari ekstrak kasar maupun senyawa murni tersebut (Putra 2008).
Hasil uji penghambatan ekstrak bakteri simbion lamun (epifit dan endofit)
terhadap pertumbuhan bakteri biofilm memperlihatkan hasil bahwa bakteri epifit
pada lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii memiliki zona hambat
52

maksimum lebih besar dibandingkan ekstrak bakteri epifit Syringodium


isoetifolium (Gambar 16). Jumlah bakteri biofilm yang dihambat pada Enhalus
acoroides dan Thalassia hemprichii juga lebih banyak dibandingkan ekstrak
bakteri epifit Syringodium isoetifolium. Ekstrak bakteri endofit Syringodium
isoetifolium memperlihatkan zona hambat paling besar (Gambar 16) dan jumlah
bakteri biofilm yang dihambat lebih banyak dibandingkan bakteri endofit dari
kedua lamun yang lain (Gambar 17). Hal tersebut memperlihatkan bahwa pada
tumbuhan lamun yang memiliki bakteri epifit lebih banyak dan kemampuan
penghambatan bakteri tersebut lebih besar ternyata tumbuhan tersebut memiliki
bakteri endofit dengan kemampuan bakteri lebih rendah. Hal ini berlaku
sebaliknya yaitu pada tumbuhan lamun yang memiliki kemampuan bakteri endofit
lebih besar ternyata kemampuan bakteri epifitnya lebih rendah seperti yang terjadi
pada lamun Syringodium isoetifolium. Pada tumbuhan yang memiliki bakteri
simbion epifit lebih banyak berarti kemampuan perlindungan terhadap tumbuhan
ini telah dilakukan terlebih dahulu oleh bakteri tersebut sehingga aktifitas bakteri
simbion endofit lebih rendah. Pada tumbuhan yang memiliki bakteri simbion
epifit lebih sedikit memacu bakteri simbion endofit untuk melakukan
perlindungan terhadap inangnya sehingga memacu bakteri simbion endofit
tersebut memproduksi metabolit sekunder dengan kemampuan lebih besar.
Kecenderungan hasil yang sama juga diperlihatkan pada uji penghambatan bakteri
simbion epifit dan endofit terhadap pertumbuhan bakteri biofilm. Hal ini dapat
memberikan suatu fenomena bahwa bakteri simbion epifit pada lamun jenis
Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii memiliki kemampuan penghambatan
lebih tinggi terhadap pertumbuhan bakteri biofilm dibandingkan bakteri simbion
endofit. Namun pada lamun jenis Syringodium isoetifolium justru kemampuan
bakteri simbion endofit memiliki kemampuan lebih tinggi dalam menghambat
pertumbuhan bakteri biofilm dibandingkan bakteri simbion epifit. Kemampuan
bakteri simbion pada lamun Syringodium isoetifolium memperlihatkan
kemampuan yang paling tinggi diantara jenis lamun yang lain seperti yang
diperlihatkan pada gambar 27. Pada gambar tersebut terlihat adanya zona bening
disekeliling paper disk yang paling luas dibandingkan pada lamun jenis lain.
53

Hasil analisis ragam terhadap uji daya hambat ekstrak bakteri simbion epifit
lamun terhadap bakteri biofilm memperlihatkan hasil bahwa pada bakteri simbion
epifit E. acoroides dan T. hemprichi terdapat perbedaan sangat nyata untuk jenis-
jenis bakteri yang diuji. Pada ekstrak bakteri simbon epifit jenis lamun S.
isoetifolium terdapat perbedaan nyata. Ulangan yang dilakukan pada uji ini
ternyata tidak memberikan pengaruh nyata. Hal ini memperlihatkan bahwa daya
hambat dari bakteri yang berbeda memiliki perbedaan yang cukup besar
sedangkan data zona hambat antar ulangan tidak berbeda terlalu jauh (Lampiran
11, Lampiran 12 dan Lampiran 13).
Hasil analisis ragam terhadap uji zona hambat ekstrak bakteri simbion
endofit lamun terhadap bakteri biofilm memperlihatkan hasil bahwa bakteri
simbion endofit pada ketiga jenis lamun yang diuji memperlihatkan hasil yang
berbeda sangat nyata pada perlakuan perbedaan bakteri namun pada pengulangan
yang dilakukan tidak memperlihatkan berbedaan nyata. Hal ini memperlihatkan
bahwa daya hambat bakteri yang berbeda memiliki perbedaan yang cukup besar
sedangkan zona hambat antar ulangan tidak berbeda nyata (Lampiran 14,
Lampiran 15 dan Lampiran 16).

E. acoroides T. hemprichii S. isoetifolium


Gambar 27 Zona hambat pada uji penghambatan ekstrak bakteri simbion E.
acoroides, T. hemprichii dan S. isoetifolium terhadap pertumbuhan bakteri
biofilm.

Uji Penghambatan Ekstrak Bakteri Simbion Lamun terhadap


Macrofouling

Hasil uji aplikasi lapang memperlihatkan bahwa beberapa substrat yang


diberi perlakuan ekstrak isolat bakteri simbion lamun yang tidak memperlihatkan
adanya makroorganisme fouling pada permukaannya adalah substrat dengan
perlakuan dosis perbandingan cat dan ekstrak bakteri 50 : 50 yaitu substrat dengan
54

perlakuan ekstrak isolat bakteri simbion lamun epifit pada T. hemprichii (TB3)
dan E. acoroides (EA 6) serta substrat dengan perlakuan ekstrak isolat bakteri
simbion endofit pada S. Isoetifolium (Gambar 18). Kecenderungan yang sama
diperlihatkan pada hasil pengujian penghambatan ekstrak isolat bakteri simbion
lamun terhadap pertumbuhan bakteri biofilm yaitu pada ekstrak isolat bakteri
epifit T. hemprichii (TB3) dan E. acoroides (EA 6) memiliki kemampuan lebih
tinggi dibandingkan ekstrak isolat bakteri simbion epifit S. isoetifolium namun
ekstrak isolat bakteri simbion endofit yang memiliki kemampuan paling tinggi
adalah dari ekstrak isolat bakteri simbion endofit S. isoetifolium. Hal demikian
memperlihatkan bahwa ketiga isolat bakteri tersebut benar-benar merupakan isolat
bakteri yang memproduksi bahan bioaktif yang dapat menghambat microfouling
dan macrofouling.
Pada uji aplikasi lapang ini memperlihatkan hasil bahwa perlakuan kontrol
yaitu tanpa perlakuan ekstrak isolat bakteri (hanya cat saja) dan perlakuan dengan
mencampurkan bahan pelarut heksana ditemukan macrofouling dengan jumlah
sangat menyolok jika dibandingkan perlakuan substrat yang diberi perlakuan
ekstrak isolat bakteri simbion lamun. Hal demikian memperlihatkan bahwa
perlakuan dengan ekstrak isolat bakteri benar-benar memberikan pengaruh
penghambatan terhadap penempelan macrofouling karena pada substrat tanpa
perlakuan memperlihatkan adanya sejumlah besar macrofouling. Hal lain yang
dapat diperlihatkan dari hasil aplikasi tersebut adalah penggunaan pelarut pada
saat ekstraksi yang sudah tepat sehingga penggunaan bahan pengekstrak tidak
memberikan pengaruh terhadap pengujian ekstrak bakteri simbion terhadap
penempelan macrofouling. Hasil uji aplikasi lapang penempelan macrofouling
pada substrat uji yang dicampur dengan ekstrak bakteri didominasi oleh jenis
macrofouling cacing bertabung genus Hydroides (Gambar 28) yang dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
Menurut Storer et al. (1977) klasifikasi sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phyllum : Annelida
Class : Polychaeta
Order : Canalipalpata
Family : Serpulidae
Genus : Hydroides
55

Hydroides sp.

Gambar 28 Jenis macrofouling yang mendominasi pada uji aplikasi lapang


penempelan macrofouling pada substrat uji yang dicampur dengan ekstrak bakteri.

Hasil analisis ragam kemampuan penghambatan ekstrak bakteri simbion


terhadap macrofouling memperlihatkan perbedaan nyata pada pengulangan dan
terdapat perbedaan sangat nyata pada perlakuan perbedaan dosis campuran antara
cat tanpa antifouling dengan ekstrak bakteri simbion lamun (Lampiran 18). Hal ini
memperlihatkan bahwa pada konsentrasi ekstrak bakteri yang lebih tinggi ternyata
lebih mampu menghambat penempelan macrofouling pada aplikasi lapang.
Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan bahwa kehadiran ekstrak bakteri simbion
lamun memang benar-benar memiliki pengaruh terhadap penghambatan
penempelan macrofouling.

Isolasi Bakteri Pembentuk Biofilm

Penjebakan bakteri biofilm pada substrat kayu dan fiber permukaan kasar
dan halus memperlihatkan hasil bahwa isolat bakteri biofilm lebih banyak
terisolasi dari substrat dengan permukaan kasar (Gambar 19). Hal ini
membuktikan bahwa substrat yang terendam dalam perairan yang memiliki
permukaan kasar akan lebih cepat mengalami peristiwa biofouling dibandingkan
substrat dengan permukaan halus. Hal ini disebabkan karena permukaan kasar
memiliki luas permukaan yang lebih besar (luas) dibandingkan permukaan halus.
Permukaan yang lebih luas menyebabkan semakin banyaknya molekul-molekul
organik yang dapat terjebak sehingga lebih cepat menarik bakteri sesil untuk dapat
menempel dan menetap pada permukaan tersebut dan segera dapat membentuk
lapisan biofilm. Pada permukaan halus, luas permukaan lebih sedikit
menyebabkan penjebakan molekul organik untuk memicu penempelan bakteri
56

lebih sedikit sehingga lebih lambat terjadi biofilm. Menurut Zaitsev (1970; 1997),
diacu dalam Railkin (2004) bahwa penyebab proses biofouling diperankan oleh
adanya akumulasi nutrien pada permukaan. Hal tersebut memicu tersedianya
sumber makanan dan menarik mikroorganisme seperti bakteri untuk menempel.
Setelah perlekatan pertama pada permukaan terjadi, sel bakteri mulai
menghasilkan matriks dari substransi eksopolisakarida (EPS). Substansi ini
penting untuk mempertahankan perlekatan dan selanjutnya membentuk lapisan
biofilm yang lebih kompleks (Sutherland 2001; Whitchurch et al. 2002; Allison
2003, diacu dalam Krug 2006). Hasil yang sama ternyata juga diperlihatkan dari
penelitian Characklis and Escher (1990) dimana hasil penelitiannya
memperlihatkan bahwa perluasan koloni mikroba muncul semakin meningkat
dengan meningkatnya kekasaran permukaan. Kecenderungan yang sama juga
dibuktikan oleh Kerr et al. (1999) dalam penelitiannya pada substrat kaca dan
akrilik dimana diperoleh data bahwa kekasaran permukaan meningkatkan jumlah
organisme fouling.
Banyaknya bakteri biofilm yang dapat menempel dan membentuk lapisan
biofilm pada suatu permukaan substrat sangat dipengaruhi oleh keberadaan bakteri
pada lingkungan dimana substrat berada. Pada penelitian ini substrat yang
digunakan dalam penjebakan bakteri biofilm yang diletakkan pada komunitas
lamun dimana banyak tumbuh lamun jenis S. isoetifolium memperlihatkan jumlah
isolat bakteri biofilm yang terisolasi paling sedikit. Hal ini disebabkan karena
habitat dimana S. isoetifolium tumbuh merupakan habitat dimana memiliki tipe
substrat lebih berpasir. Lokasi ini merupakan lokasi dimana terdapat arus yang
lebih besar sehingga ketersediaan dan kemampuan bahan organik untuk
menempel pada substrat juga cenderung lebih lambat dibandingkan substrat yang
ditempatkan pada posisi tumbuh jenis lamun lainnya. Substrat yang ditempatkan
pada komunitas jenis lamun E. acoroides dan T. hemprichii lebih banyak
terisolasi jumlah isolat bakterinya. Hal ini karena posisi habitat tumbuhnya kedua
jenis lamun tersebut adalah pada substrat yang cenderung memiliki tekstur
berlumpur sehingga di lingkungannya lebih banyak tersedia bahan organik. Hal
demikian memicu penempelan bahan organik pada substrat yang lebih cepat
sehingga akan lebih cepat menarik bakteri untuk menempel. Hal tersebut dapat
57

dikatakan bahwa faktor lingkungan tempat substrat diletakkan sangat


mempengaruhi jumlah isolat bakteri biofilm yang dapat terisolasi. Alasan tersebut
diatas diperkuat dengan hasil pengukuran parameter lingkungan dimana pada
lokasi penjebakan biofilm pada substrat yang diletakkan pada komunitas lamun S.
isoetifolium memperlihatkan pengukuran terhadap arus yang paling besar dan
turbiditas paling rendah (Gambar 22). Hal ini menyebabkan sedikitnya bahan
organik yang tersedia pada lingkungan penjebakan substrat karena arus yang besar
memperlambat penempelan bahan organik pada substrat dan sedikitnya
ketersediaan bahan organik tersebut menyebabkan lambatnya penempelan bakteri
pada substrat sehingga menyebabkan sedikitnya jumlah isolat bakteri biofilm yang
terisolasi. Characklis and Escher (1990) menyatakan bahwa keberadaan
organisme fouling pada suatu substrat tertentu sangat dipengaruhi oleh keberadaan
organisme dalam lingkungan perairan dimana substrat terendam air.

Pengamatan Suksesi Proses Biofouling pada Jenis Substrat Kayu dan


Fiber

Hasil pengamatan lebih intensif terhadap proses terjadinya biofouling pada


minggu pertama memperlihatkan kecepatan terjadinya biofouling pada jenis
substrat fiber lebih lama dibandingkan jenis substrat kayu. Hal seperti ini juga
diperlihatkan pada hasil pengamatan microfouling (Gambar 21). Pada penelitian
ini jenis substrat fiber yang diletakkan pada perairan selama satu minggu
khususnya pada permukaan halus belum ditemukan adanya organisme fouling.
Organisme fouling pada substrat fiber ditemukan pada pengamatan setelah satu
minggu perendaman substrat. Hal ini hanya terjadi pada substrat fiber permukaan
kasar sementara pada substrat kayu telah terlihat adanya organisme protozoa yang
jenjang trofiknya lebih tinggi dari bakteri. Pada pengamatan hari ke lima
perendaman bahkan pada pengamatan hari ke tujuh perendaman mulai terlihat
makroorganisme penempel jenis cacing bertabung dan teritip pada substrat selain
fiber. Hal demikian dapat memperlihatkan bahwa perbedaan jenis substrat
merupakan faktor yang menentukan kecepatan terjadinya peristiwa biofouling.
Pada substrat fiber kecepatan terjadinya biofouling lebih lambat dibandingkan
substrat kayu karena substrat kayu memiliki tekstur kurang padat dan kelembaban
58

yang lebih tinggi sehingga mengalami proses biofouling lebih cepat dibandingkan
substrat fiber. Substrat kayu memiliki kelembaban dan ukuran pori lebih besar
akan lebih cepat mengalami penempelan bahan organik karena menyediakan
tempat lebih banyak. Substrat dengan kelembaban tinggi juga menyediakan
habitat bakteri lebih baik karena bakteri tumbuh memerlukan kondisi lingkungan
yang lembab untuk memenuhi kebutuhan metabolismenya. Hasil penelitian
tersebut ternyata memperlihatkan hasil seperti penelitian yang dilakukan Mitchell
and Maki (1988) dimana larva bryozoa lebih banyak menempel pada substrat
yang hydrophylic daripada yang hydrophobic. Penelitian yang dilakukan oleh Rini
(2009) memperlihatkan bahwa dari tiga jenis substrat yang diteliti yaitu kayu,
beton dan baja ternyata setelah dilakukan perendaman pada perairan sekitar
jembatan Suramadu, substrat baja merupakan substrat yang tidak ditemukan
adanya pita-pita protein yang merupakan bakteri pembentuk biofilm. Bakteri
biofilm ditemukan hanya pada substrat kayu dan beton dimana bakteri biofilm ini
merupakan pioneer terjadinya biofouling. Berdasarkan hal tersebut artinya bahwa
jenis substrat yang lebih keras, padat dan hydrophobic merupakan jenis yang lebih
dapat bertahan terhadap proses biofouling. Penelitian lain dari Kerr et al. (1999)
dan Hamadouche (2003) juga membuktikan bahwa bahan yang hydrophylic lebih
cepat terjadi lapisan biofilm bakteri daripada substrat hydrophobic. Berdasarkan
hal tersebut diatas maka untuk mengurangi penempelan bakteri yang dapat
menyebabkan biofouling dapat dilakukan dengan cara meningkatkan sarana yang
lebih bersifat hydrophobic bagi permukaan yang terendam dalam perairan.
Tidak hanya jenis substrat yang berbeda namun tipe permukaan subtrat yang
berbeda ternyata juga berpengaruh terhadap kecepatan terjadinya biofouling. Pada
penelitian ini semua permukaan substrat yang dicobakan memperlihatkan bahwa
pada tipe permukaan kasar menjadikan media terjadinya biofouling lebih cepat
dibandingkan tipe permukaan halus. Pada semua jenis substrat yang diuji ternyata
permukaan kasar merupakan permukaan yang memiliki jumlah organisme
penempel lebih banyak daripada permukaan halus (Gambar 20). Penelitian dari
Kerr (1999) memperlihatkan bahwa tingkat fouling ditemukan meningkat sejalan
dengan meningkatnya kekasaran permukaan substrat. Pada permukaan kasar
memungkinkan terjebaknya nutrien yang lebih cepat dibandingkan permukaan
59

halus. Hal ini menyebabkan pada semua substrat permukaan kasar yang direndam
pada perairan memperlihatkan terjadinya biofouling yang lebih cepat daripada
permukaan halus. Kecenderungan yang sama diperlihatkan pada hasil pengamatan
terhadap jumlah isolat bakteri biofilm yang diisolasi dari substrat kayu dan fiber
permukaan halus dan kasar (Gambar 19). Hal ini memperlihatkan bahwa terdapat
hubungan yang erat antara peristiwa microfouling dan macrofouling yaitu
peristiwa macrofouling dimulai oleh terjadinya peristiwa microfouling.
Hasil pengamatan terhadap proses biofouling dilihat dari kecepatan
terjadinya peristiwa biofouling pada lokasi penelitian tergolong cepat karena pada
satu minggu perendaman substrat telah mulai teramati adanya makroorganisme
fouling dimana pada penelitian Abarzua dan Jakobowski (1995) makroorganisme
fouling ditemukan setelah substrat terpapar air laut setelah 2 minggu. Terjadinya
hal seperti ini menunjukkan bahwa terjadinya peristiwa biofouling juga sangat
ditentukan oleh kehadiran organisme-organisme terutama larva makroorganisme
fouling pada tempat dimana substrat terendam. Menurut Egan (2001a) komposisi
spesies organisme yang ada pada kolom air merupakan faktor biologi yang sangat
penting terhadap terjadinya biofouling. Pada penelitian ini ternyata penempelan
teritip sudah dapat teramati sebelum waktu perendaman dua minggu dimana jika
dibandingkan dengan penelitian terdahulu tergolong cepat. Hal ini dapat dikatakan
juga bahwa ketersediaan bahan organik dalam membentuk lapisan biofilm dan
keberadaan organisme fouling pada lokasi perendaman cukup banyak karena di
lokasi penelitian juga terlihat banyaknya organisme fouling yang menempel pada
batuan, beton pada struktur pantai serta pada bambu atau kayu yang dapat
ditemukan pada lokasi perendaman. Macrofouling yang mendominasi pada
penelitian ini adalah Genus Balanus (Gambar 29) yang diklasifikasikan sebagai
berikut :
Phylum : Arthropoda
Sub Phylum : Mandibulata
Class : Crustaceae
Sub Class : Ciripedia
Ordo : Tharacica
Sub Ordo : Balanomorpha
Family : Balanidae
Genus : Balanus
Spesies : Balanus sp. (Storer et al. 1977)
60

Balanus sp.

Gambar 29 Jenis macrofouling yang mendominasi pada pengamatan suksesi


biofouling.

Chamber (2006) mengatakan bahwa untuk meminimalkan penempelan


organisme fouling seringkali dilakukan dengan cara melakukan pengecatan namun
hal ini dilakukan pada kayu yang tidak memiliki bahan bioaktif yang dapat
menghambat penempelan organisme fouling. Pada kayu yang memiliki bahan
bioaktif maka pelapisan dengan cat tanpa antifouling bahkan dapat mempercepat
penempelan organisme fouling. Pada penelitian ini diperlihatkan bahwa pada
substrat kayu yang tidak dicat cenderung lebih sedikit organisme fouling
dibandingkan substrat kayu dicat. Disini pengecatan terlihat kurang memiliki
fungsi untuk mengurangi terjadinya biofouling. Hal tersebut dikarenakan cat yang
digunakan adalah cat tidak mengandung antifoulant selain itu ternyata jenis kayu
yang digunakan juga dapat menjadi faktor penyebab hal ini. Dalam penelitian ini
secara tidak sengaja telah digunakan kayu yang memiliki aroma sehingga
kemungkinan memang merupakan jenis kayu yang mengandung bahan bioaktif
yang juga dapat mengurangi terjadinya biofouling. Jadi pengecatan terhadap jenis
kayu ini menutup bekerjanya bahan aktif yang terkandung dalam kayu untuk
menghambat biofouling. Penelitian yang dilakukan oleh Boesono (2008) terhadap
dua jenis kayu yaitu kayu Jati dan kayu Bengkirai ternyata menunjukkan hasil
pada kayu bengkirai memiliki organisme penempel lebih banyak dibandingkan
kayu jati, dimana hal ini dikarenakan kedua jenis kayu tersebut memiliki
elastisitas yang berbeda yaitu kayu jati memiliki elastisitas lebih tinggi.
Nagabhusaman and Alam (1988) menyatakan bahwa beberapa jenis kayu
memiliki kemampuan lebih resisten terhadap penempelan organisme fouling
dibandingkan jenis kayu yang lain. Tingkat resistensi kayu tersebut sangat
61

dipengaruhi oleh lokasi, keberadaan jenis organisme fouling, kualitas kayu dan
kondisi fisik lingkungan tempat kayu tumbuh. Kayu yang berasal dari daerah
tropis memiliki ketahanan lebih tinggi di dalam air laut namun demikian
kehadiran substansi alami seperti minyak, resin, getah, tannin dan alkaloid juga
dapat merupakan sarana yang dapat mencegah terjadinya penempelan organisme.
Melapisi permukaan yang terendam dalam air laut dengan cat juga
merupakan suatu cara untuk menciptakan permukaan yang lebih halus namun
pelapisan permukaan substrat dengan cat tanpa antifoulant pada penelitian ini
ternyata kurang dapat mengurangi permasalahan terjadinya biofouling. Pada
penelitian ini pada substrat kayu yang dicat memperlihatkan jumlah organisme
penempel lebih banyak dibandingkan pada substrat kayu yang tidak dicat. Hal ini
menunjukkan bahwa pengecatan substrat yang terendam air laut dengan cat tanpa
antifoulant tidak selalu dapat mengurangi penempelan organisme fouling, namun
jenis kayu ikut memegang peranan penting terhadap ketahanan terhadap
penempelan organisme fouling. Namun demikian pemakaian cat untuk melapisi
permukaan substrat yang berbeda memperlihatkan adanya perbedaan dimana pada
substrat yang dicat dengan warna terang (putih) ditempeli organisme fouling lebih
sedikit dibandingkan substrat yang dicat warna gelap (coklat). Penelitian yang
dilakukan oleh Azhar (2009) dengan menggunakan warna cat merah, oranye,
hijau, biru dan putih pada lambung kapal menunjukkan hasil cat warna putih
merupakan cat yang paling efektif diantara keempat warna cat tersebut. Hal ini
dapat dijadikan dasar dalam pengecatan lambung kapal agar dapat mengurangi
penempelan organisme fouling. Penelitian Sasongko (2008) pada pelat baja yang
dicat warna hitam, merah, biru, hijau, coklat, kuning, oranye dan putih yang
ditenggelamkan pada perairan Ujung Surabaya juga memperlihatkan bahwa
organisme penempel lebih menyukai substrat yang memiliki warna cenderung
gelap (coklat, hitam, merah dan hijau) daripada substrat yang memiliki warna-
warna yang cenderung lebih terang (oranye, kuning, putih dan biru). Hal ini
memperlihatkan bahwa organisme fouling lebih menyukai warna gelap daripada
warna terang. Penggunaan warna terang menyebabkan organisme akan cepat
terlihat oleh pemangsanya sedangkan penggunaan warna gelap akan dapat
menyamarkan keberadaan organisme karena kurang dapat terlihat dengan jelas
62

oleh pemangsanya. Berdasarkan hal tersebut maka penggunakan cat yang


cenderung berwarna terang terutama warna putih lebih dapat mengurangi
terjadinya penempelan organisme fouling.
Hasil analisis ragam terhadap hasil uji macrofouling memperlihatkan
perbedaan sangat nyata dari jenis permukaan kasar dan halus namun perbedaan
jenis substrat yang diuji tidak memperlihatkan adanya perbedaan nyata. Hal ini
dapat dikatakan bahwa peristiwa macrofouling lebih ditentukan oleh kekasaran
permukaan suatu substrat. Pada perlakuan perbedaan jenis substrat walaupun
secara analisis statistik tidak memperlihatkan perbedaan nyata namun terdapat
kecenderungan bahwa pada substrat yang diberi perlakuan pengecatan warna
terang (putih) dapat mengurangi jumlah organisme penempel (Lampiran 18).

Pengamatan Parameter Fisik-Kimia Perairan

Pengamatan terhadap parameter fisika kimia selama penelitian uji


macrofouling menunjukkan adanya parameter salinitas yang berfluktuatif
(Gambar 22). Hal ini dikarenakan lokasi penelitian yang terletak di pantai utara
Jakarta pada saat penelitian sering terjadi gelombang tinggi. Pada malam hari
bahkan pada pengamatan setelah dua minggu perendaman terjadi banjir. Hal ini
menyebabkan terjadinya fluktuasi salinitas yang tinggi. Fusetani (2004)
mengatakan bahwa penempelan larva organisme fouling dipengaruhi oleh faktor-
faktor seperti salinitas, cahaya, tipe substrat, dinamika populasi hewan avertebrata
dan bahan kimia di laut. Terjadinya fluktuasi salinitas yang tinggi juga disebabkan
karena lokasi tempat penjebakan 62 organisme fouling merupakan lokasi dimana
banyak perusahaan eksportir ikan hasil tangkapan kapal-kapal besar. Pada
perusahaan ini sebelum melakukan pengiriman ikan-ikan tersebut dilakukan
penyucian dengan air tawar. Hal ini menyebabkan limbah penyucian yang
dibuang ke perairan yang kebetulan tempat penjebakan organisme fouling
tersebut. Hal tersebut menyebabkan terjadinya perubahan salinitas yang
fluktuasinya agak tinggi karena terjadi pengenceran pada air laut.
63

Identifikasi Bakteri

Hasil identifikasi bakteri simbion lamun memperlihatkan bahwa tidak


ditemukan bakteri yang memiliki homologi 100% dengan bakteri yang telah
teridentifikasi (Tabel 1). Hal ini memperlihatkan bahwa hasil identifikasi bakteri
simbion lamun tidak menemukan bakteri yang memiliki kesamaan dengan bakteri
yang teridentifikasi yang terdaftar pada database DNA bakteri. Isolat bakteri
biofilm yang diisolasi dari substrat mati (kayu dan fiber) memperlihatkan hasil
yang lebih beragam dibandingkan isolat bakteri yang diisolasi dari tumbuhan
lamun (benda hidup). Perbedaan ini membuktikan bahwa pada organisme sebagai
benda hidup terjadi biofilm pada permukaan tubuhnya namun organisme (bakteri)
yang mampu bersimbion tidak sekompleks biofilm yang terjadi pada benda mati.
Hal ini terjadi karena kemampuan pertahanan diri yang dimiliki oleh organisme
dalam melindungi dirinya terhadap fouling yang antara lain dapat dilakukan
dengan cara produksi metabolit sekunder. Produksi bahan ini dapat dilakukan oleh
organisme itu sendiri atau dilakukan secara bersimbion dengan mikroorganisme.
Pada penelitian ini dapat membuktikan bahwa mikroorganisme yang bersimbiosis
dengan tumbuhan lamun sebagai inang ternyata mampu menghasilkan bahan
bioaktif yang mampu menghambat bakteri biofilm yang merupakan pioner
terjadinya biofouling. Hal yang lebih menarik lagi adalah bahwa produksi bahan
bioaktif tersebut mampu dilakukan oleh bakteri simbion walaupun bakteri
tersebut ditumbuhkan (dikultur) secara terpisah dengan organisme inangnya.
Menurut Li (2009) bahwa bukti seperti ini merupakan petunjuk nyata bakteri
simbion merupakan sumber komponen turunan organisme laut yang menyebabkan
bakteri laut simbion sebagai hal penting dalam bidang mikrobiologi laut dan
sumber produk alami dari laut karena potensi tersebut dapat menyelesaikan
masalah suplai produk alami dari laut.
Bakteri simbion lamun yang pada uji hambat terhadap microfouling paling
optimal dan penghambatan terhadap macrofouling memperlihatkan hasil tidak
ditempeli oleh organisme fouling yaitu isolat bakteri epifit Enhalus acoroides
(EA6) dan Thalassia hemprichii (TB3) memiliki kekerabatan terdekat dengan
genus Virgibacillus dan ekstrak bakteri endofit Syringodium isoetifolium (ESJ1)
memiliki kekerabatan erat dengan genus Bacillus. Isolat bakteri ESJ1 merupakan
64

bakteri simbion lamun yang teridentifikasi dengan memiliki homologi paling


rendah (Tabel 1) dan pada analisis filogenetik memperlihatkan posisi yang sangat
terpisah dengan jenis yang lain (Gambar 25). Hal ini memperlihatkan bahwa pada
database genomic, isolat bakteri yang memiliki kekerabatan dekat dengan isolat
tersebut masih belum banyak ditemukan dan hal ini sangat memungkinkan bahwa
isolat bakteri tersebut merupakan jenis yang baru yang belum ditemukan
sebelumnya.
Bakteri yang teridentifikasi baik bakteri simbion lamun maupun bakteri
pembentuk biofilm pada substrat mati banyak ditemukan memiliki kekerabatan
erat dengan genus Virgibacillus dan Bacillus. Bakteri ini dikenal sebagai bakteri
penghasil eksopolisakarida (EPS) yang merupakan bahan protein dengan
kandungan hidrat tinggi berfungsi sebagai media perlekatan pada substrat dan
juga merupakan pelindung untuk mencegah terjadinya kekeringan (Donlan 2002).
Bakteri ini merupakan bakteri gram negatif yang dapat membentuk endospora
yang berfungsi sebagai pertahanan diri pada kondisi ekstrim. Penelitian yang
dilakukan Sinsuwan et al. (2006) membuktikan bahwa bakteri Virgibacillus sp.
memproduksi enzim yang dapat menfermentasi saus ikan. Produksi enzim yang
dihasilkan oleh genus ini juga diperlihatkan dalam penelitian Kuhlmann et al.
(2008) bahwa Virgibacillus pantothenticus menghasilkan ectoin yang mampu
untuk melindungi dirinya terhadap kenaikan salinitas. Produksi ectoin akan
meningkat sejalan dengan terjadinya peningkatan temperatur. Berdasarkan hasil-
hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa bakteri genus Virgibacillus
mampu menghasilkan metabolit sekunder yang memiliki fungsi sebagai
pertahanan diri. Hal demikian kemungkinan juga dilakukan oleh bakteri dalam
melakukan penghambatan terhadap bakteri biofilm sehingga pada uji aplikasi
lapang penghambatan ekstrak isolat bakteri terhadap penempelan macrofouling
pada substrat dengan perlakuan ekstrak bakteri ini dapat menghambat bakteri
biofilm yang merupakan pioner terjadinya penempelan macrofouling. Berdasarkan
hal tersebut maka ekstrak bakteri dari tiga isolat bakteri yaitu isolat bakteri epifit
Enhalus acoroides (EA6) dan Thalassia hemprichii (TB3) dan ekstrak bakteri
endofit Syringodium isoetifolium (ESJ1) terbukti dapat digunakan sebagai sumber
antifoulant alami ramah lingkungan. Pada uji penghambatan ekstrak bakteri
65

simbion lamun terhadap penempelan macrofouling walaupun perlakuan dengan


ekstrak bakteri yang lain tidak memperlihatkan hasil tidak ditempeli
macrofouling namun jika dibandingkan dengan kontrol (tanpa perlakuan ekstrak
bakteri) berupa perlakuan cat tanpa antifoulant dan perlakuan cat tanpa
antifoulant dicampur dengan bahan pengekstrak berupa heksana memperlihatkan
perbedaan yang cukup tinggi. Hal ini memperlihatkan bahwa bakteri simbion
lamun selain ketiga bakteri tersebut juga memiliki kemampuan antifouling namun
tidak sekuat ketiga bakteri tersebut. Hal ini dapat mengindikasikan adanya
kandungan bahan bioaktif pada bakteri-bakteri tersebut.
Bakteri biofilm yang diisolasi dari substrat kayu dan fiber dengan
permukaan kasar dan halus memiliki tingkat keragaman yang lebih tinggi
dibandingkan dengan bakteri simbion epifit dan endofit yang diisolasi dari
tumbuhan lamun (Tabel 2). Hal ini juga dapat dilihat dari analisis pohon
filogenetik yang memperlihatkan posisi dari bakteri biofilm yang diidentifikasi
tidak terlihat lebih terpencar (Gambar 26). Keragaman yang lebih tinggi dari
bakteri pembentuk biofilm pada substrat mati mengindikasikan bahwa pada
substrat mati tidak memiliki perlawanan terhadap bakteri yang akan menempel
sedangkan pada substrat hidup seperti tumbuhan lamun, bakteri yang dapat
berasosiasi dengan cara menempel atau bersimbion dalam jaringannya berlaku
selektif. Hal ini karena terdapatnya bahan aktif hasil metabolit sekunder yang
dihasilkan inangnya atau hasil simbion inang dan bakteri yang memiliki fungsi
pertahanan tumbuhan lamun terhadap biofouling yang tidak dikehendaki.
Beberapa bakteri biofilm substrat memiliki kesamaan genus dengan bakteri
yang terisolasi dari bakteri simbion lamun baik epifit maupun endofit. Hal ini
kemungkinan memperlihatkan bahwa bakteri simbion lamun dapat berasal dari
bakteri di lingkungan sekitar tempat dimana tumbuhan lamun tersebut tumbuh
yang prosesnya diawali dari penempelan bakteri tersebut sebagai bakteri epifit
yang selanjutnya dapat masuk ke dalam jaringan sebagai bakteri endofit.
Hasil isolasi bakteri simbion endofit pada lamun Enhalus acoroides
ditemukan satu genus yang teridentifikasi memiliki kesamaan homologi sebesar
99% dengan bakteri Pseudoalteromonas flavipulchra. Egan et al. (2001) dalam
penelitiannya menemukan bakteri genus Pseudoalteromonas diisolasi dari
66

permukaan rumput laut Ulva lactuca. Bakteri tersebut memperlihatkan


kemampuannya dapat menghambat penempelan Balanus Amphitrite dan spora
alga merah Polysiphonia. Bakteri genus Pseudoalteromonas telah banyak
ditemukan merupakan bakteri yang hidup bersimbion pada permukaan tubuh
organisme laut seperti tunicate dan seaweed (Burgess et al. 2002).
KESIMPULAN

Bakteri simbion yang diisolasi dari lamun Enhalus acoroides, Thalassia


hemprichii dan Syringodium isoetifolium memperlihatkan bahwa isolat bakteri
epifit jumlahnya lebih banyak dibandingkan bakteri endofit namun dalam uji
penghambatan terhadap bakteri biofilm, persentase jumlah isolat bakteri endofit
yang diisolasi dan memiliki kemampuan penghambatan terhadap pertumbuhan
bakteri biofilm lebih besar dibandingkan jumlah isolat bakteri epifit. Pengujian
penghambatan isolat bakteri simbion lamun terhadap bakteri biofilm
memperlihatkan bahwa isolat bakteri endofit memiliki kemampuan penghambatan
terhadap pertumbuhan bakteri biofilm lebih besar dibandingkan isolat bakteri
epifit. Hal ini dapat dilihat dari besarnya zona penghambatan maupun banyaknya
jumlah bakteri biofilm yang dihambat. Pengujian penghambatan ekstrak isolat
bakteri simbion lamun terhadap pertumbuhan bakteri biofilm memperlihatkan
bahwa bakteri simbion epifit pada lamun Enhalus acoroides dan Thalassia
hemprichii memiliki kemampuan zona hambat dan penghambatan terhadap
banyaknya bakteri biofilm lebih tinggi dibandingkan bakteri simbion epifit
Syringodium isoetifolium. Namun pada bakteri simbion endofit Syringodium
isoetifolium memiliki zona penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri biofilm
lebih besar dan menghambat bakteri biofilm lebih banyak.
Pada aplikasi lapang penghambatan ekstrak bakteri simbion lamun terhadap
penempelan macrofouling memperlihatkan bahwa secara umum bakteri simbion
ketiga jenis lamun tersebut memiliki kemampuan menghambat penempelan
macrofouling. Beberapa panel percobaan yang dicat dengan campuran ekstrak
isolat bakteri terlihat memiliki kemampuan paling tinggi dengan tidak terdapatnya
macrofouling yang menempel yaitu pada perlakuan dengan ekstrak isolat bakteri
simbion epifit Enhalus acoroides (EA6) dan Thalassia hemprichii (TB3) dan
bakteri simbion endofit Syringodium isoetifolium (ESJ1). Ketiga isolat bakteri
tersebut memperlihatkan kemampuan paling tinggi penghambatan isolat bakteri
dan ekstrak bakteri terhadap pertumbuhan bakteri biofilm serta kemampuan
paling banyak menghambat jumlah isolat bakteri biofilm.
68

Kesimpulan dari penelitian ini adalah ditemukan bakteri simbion epifit dan
endofit lamun Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii dan Syringodium
isoetifolium yang potensial sebagai sumber antifoulant alami ramah lingkungan.
Bakteri dari genus Virgibacillus yang terisolasi dari bakteri simbion epifit Enhalus
acoroides (EA6) dan Thalassia hemprichii (TB3) serta bakteri genus Bacillus
yang terisolasi dari bakteri simbion endofit Syringodium isoetifolium (ESJ1)
terbukti paling optimal menghambat terjadinya biofouling (microfouling dan
macrofouling) di laut.
SARAN

Perlu dilakukan purifikasi dan identifikasi bahan bioaktif yang dihasilkan


oleh bakteri simbion lamun yang terbukti mengandung bahan antifoulant.
Uji Aplikasi lapang terhadap ekstrak bakteri perlu dilakukan dengan
menggunakan multibakteri (campuran beberapa jenis bakteri) simbion lamun, hal
ini memungkinkan terjadinya penghambatan terhadap bakteri biofilm secara lebih
maksimal.
DAFTAR PUSTAKA

Abarzua S, Jakubowski S. 1995. Biotechnological investigation for the prevention


of biofouling.I. Biological and biochemical principles for the prevention of
biofouling. Mar Ecol Prog Ser. 123: 301-312.

Armstrong E, Boyd G, Burgess J. 2000. Prevention of marine biofouling using


natural compounds from marine organisms. Elsevier Science. Biotechnology
Annual Review 6: 221-241.

Austin B. 1988. Marine microbiology. Cambridge University Press. New York.

Azhar R. 2009. Pengaruh warna cat antikorosi terhadap penempelan biofouling


berdasarkan faktor kedalaman laut. ITS Library.

Bhadury P, Wright PC. 2004. Exploitation of marine algae: biogenic compounds


for potential antifouling application. Springer-Verlag. Planta 219: 561-578.

Boesono H. 2008. Pengaruh lama perendaman terhadap organisme penempel dan


modulus elastisitas pada kayu. Ilmu Kelautan 13 (3): 177–180.

Brock TD, Madigan M. 1991. Biology of microorganisms. 6th edition. Prentice


Hall, englewood Cliffs, New Jersey.

Burgess JG et al. 2003. The development of a marine natural product-based


antifouling paint. Biofouling 19:197-205.

Callow ME, Callow JA. 2002. Marine biofouling: A sticky problem. Biologist
49:1-4.

Chambers. 2006. Modern approaches to marine antifouling coating. Elsevier.


Surface and Coatings Technology 201 (2) :3642-3652.

Characklis WG, Escher AR. 1990. Microbial fouling: Initial event. In marine
biodeterioration. A. A. Balkema. Rotterdam. Pp. 249-286.

Costerton JW. 1999. Antifouling. Center for biofilm engeneering. Montana State
University. Bozeman.MT.

Dahuri R. 2003. Keanekaragaman hayati laut aset pembangunan berkelanjutan


Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Davis A,. Target NM, McConnell OJ, Young CM. 1989. Epibiosis of the marine
algae and benthic invertebrates: Natural product chemistry and other
mechanisms inhibiting settlement and overgrowth. In. P. J. Scheuer (ed).
Bioorganic marine chemistry. Springer-Verlag K. G. Berlin, Germany.
Pp.85-114.
71

Dawes CJ. 1981. Marine botany. John Wiley & Sons, Inc. USA.

Donlan RM. 2002. Biofilm: Microbial life on surface. Emerging infectious


diseases. September 8 (9): 881-890.

Egan S. 2001. Production and regulation of fouling inhibitory compouns by the


marine bacterium. School of Microbiology and Immunology. Faculty of Life
Science. The University of New South Wales. Sydney. Australia.

Egan S, James, Kjelleberg S. 2001. Identification and characterization of a


putative transcriptional regulator controlling the expression of fouling
inhibitors in Pseudoalteromonas tunicate. Appl. Environ. Microbial. 68:
372–378.

Flemming HC. 2009. Why Microorganisms live in biofilm and the problem of
biofouling. Marine and industrial biofouling. Springer Series on Biofilm.
Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Volume 4, I, 3-12.

Fortes MD. 1990. Taxonomy and distribution of seagrasses in ASEAN region.


Contending with Global Change Study No. 6. Seagrass Resources in
Southeast Asia. UNESCO – Jakarta (ROSTSEA). September 1993:15–57.

Fusetani N. 2004. Biofouling and antifouling. Nat.Prod.Rep: 94–104.

Geiger TP, Gasser, Hany R and.Zinn M. 2003. Functional polymers from poly (3-
hydhoxyalkanoates): protection of surfaces from biofouling. European Cells
and Materials Vol.6 (1):page 32.

Hamadouche N. 2003. Marine bacteria interaction causing biofouling with


biospecific materials. ArchiMer. Institutional Archive of Ifremer.

Harder T. 2004. Analytical chemistry of natural product with marine biology,


Larval Biology, Environmental Microbiology and Molecular Biology.

Ine, Ant. 2001. RI Tandatangani Konvensi Larangan Penggunaan Cat Kapal.


Warta. Ed. Kamis, 11 Oktober 2001.

Jensen PR, Jenkins KM, Porter D, Fenical W. 1989. Evidence that a new
antibiotic flavone glycoside chemically defends the Seagrass Thalassia
testudinum against zoosporic fungi. Applied and Environmental
Microbiology, Apr. 1998. p.1490 -1496.

Kerr A et al. 1999. Some physical factors affecting the accumulation of


biofouling. Journal of the Marine Biological Association of the UK 79
(2):357-359.
72

Kelecom A. 2002. Secondary metabolites from marine microorganisms. Anals da


Academia Brasileira de Ciencias 74(1):151-170.

Krug PJ, Fusetani N, Clare AS. 2006. Progress in molecular and subcellular
biology subseries marine molecular biotechnology (Eds.): Antifouling
compounds. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.

Kubanek J et al. 2003. Seaweed resistance to microbial attack: A targeted


chemical defense against marine fungi. PNAS. 100 (12): 6916-6921.

Kuhlmann AU, Bursy J, Gimpel S, Hoffman T, Bremer E. 2008. Synthesis of the


compatible solute ectoin in Virgibacillus pantothenticus is triggered by
high salinity and low growth temperatur. Applied and Environmental
Microbiology.74(14):4560-4563.

Lane AL, Kubanek J. 2008. Secondary metabolite defence agains pathogen and
biofoulers. Biomedical and life science. In Algal Chemical Ecology.
Pringer Berlin Heidelberg. 229-243.

Larkum AWD, McComb AJ, Shepherd SA. 1989. Aquatic plant studies 2.
Biology of seagrass. Elsevier Science Puplishers B. V. Netherlands.

Les D, Waycott M. 2004. Tropical seagrass identification. Seagrass-Watch HQ.


Northern Fisheries Centre.

Li Z. 2009. Advance in marine microbial symbionts in the China sea and related
pharmaceutical metabolites. Mar. Drugs (7):113-129.

Long RA, Azam F. 2001. Antagonistic interactions among marine pelagic


bacteria. Appl. Environ. Microbiol. 67(11): 4975-4983.

Maxey IV CE. 2006. Occurrence and distribution of irgarol 1051 and its natural
metabolites in biotic and abiotic marine samples, having been approved in
respect to style and intellectual content, is referred to you for judgment.
Florida International University.

Mayavu C, Sugesh S, Ravindran VJ. 2009. Antibacterial activity of seagrass


species against biofilm forming bacteria. Research Journal of Microbiology
4(8):314-319.

Mitchell R, Maki JS. 1988. Microbial surface film and their influence on larval
settlement and metamorphosis in the marine environment. Marine
Biodeterioration. A.A. Balkema. Rotterdam. Pp. 489-497.

Michael T, Smith M. 1995. Lectin probe molecular film in biofouling:


characterization of early film on non-living and living surface
Mar.Ecol.Prog.Ser. 119:229-236.
73

Mittelman MW. 1999. Bacterial biofilm and biofouling: Translational mesearch in


Marine biotechnology. Proceeding workshop: Opportunities for
environmental applications of marine biotechnology October 5 – 6, 1999.
National Research Council (US). Pp. 3-7.

Munn CB. 2004. Marine microbiology, Ecology and aplication. Garland


Science/BIOS Scientific Publishers. UK.

Murniasih T. 2005. Substansi kimia untuk pertahanan diri dari hewan laut tak
bertulang belakang. Oseana 30( 2):19 – 27.

Nagabhushaman R, Alam SM. 1988. An overview of research on marine


biodeterioration in Indian waters. Marine biodeterioration. A. A. Balkema.
Rotterdam. Pp: 12-32.

Newby, Bi-min Zhang, Cutright T, Barrios CA, Xu Q. 2006. Zosteric acid an


effective antifoulant for reducing fresh water bacterial attachment on coating.
JCT Research. American Coatings Association, Inc. January 2006.

Pereira RC, da Gama BAP, Teixeira VL, Valentin Y. 2003. Ecological roles of
natural product of the Brazilian red seaweed Laurencia obtusa. Braz.J.Biol
63 (4): 665-672.

Pereira RC, Carvalho AGV, Gama BAP, Coutinho R. 2003. Field experimental
evaluation of secondary metabolites from marine invertebrates as
antifoulants. Braz.J. Biol 62(2):311-320.

Plouguerne E et al. 2010. Antifouling as a function of population variation in


Sargassum vilgare from the littoral of Rio de Janeiro (Brazil). J.Appl.
Phycol. Published online 11 March 2010.

Prihatiningtias W. 2006. Mikroba endofit, sumber penghasil antibiotik yang


potensial. Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Putra SE. 2008. Bahan alam, ujung tombak riset kimia di Indonesia. Ikatan
Himpunan Mahasiswa Kimia Indonesia.

Qian PY, Xu Y, Fusetani N. 2010. Natural products as antifouling compounds:


recent progress and future perspectives. Biofouling 26(2):223-234.

Qi SH. 2008. Antifeedant, antibacterial and antilarval compounds from the south
China sea seagrass Enhalus acoroides. Botanica Marina 51(5):441-447.

Radjasa OK, Martens T, Grossart HP, Brinkoff T, Sabdono A, Simon M. 2007.


Antagonistic activity of a marine bacterium Pseudoalteromonas
luteoviolacea TAB4.2 associated with coral Acropora sp. J. Biol. Sci
7(2):239-246
74

Radjasa OK. 2004. Marine invertebrata-associated bacteria in coral reef


ecosystems as a new source of bioactive compounds. J. Coast. Dev (7): 65-70

Radji M. 2005. Peranan bioteknologi dan mikroba endofit dalam pengembangan


obat herbal. Majalah Ilmu Kefarmasian II (3):113–126.

Railkin AI. 2004. Marine biofouling. Colonization processes and defence. CRC
Press. Florida.

Ramamoorthy V, Viswanathan R, Raguchander T, Prakasam V, Samiyappan R.


2001. Induction of systemic resistance by plant growth promoting
rhizobacteria in crop plant against pests and diseases. Crop Protection 20
:1-11.

Rao D, Webb JS, Kjelleberg S. 2006. Microbial colonization and competition on


the marine alga Ulva australis. Applied and Environmental Microbiology
22. (8):5547-5555.

Ravikumar S, Thajuddin N, Suganthi P, Inbaneson SJ and Vinodkumar T. 2009.


Bioactive potential of seagrass bacteria against human bacterial pathogens.
Journal of Environmental Biology 31:387-389.

Rini CS. 2009. Profil Protein bakteri biofilm pada substrat beton, kayu dan baja
yang dipaparkan di perairan sekitar jembatan Suramadu sisi Surabaya. ITS
Library. Surabaya.

Rosenblueth M, Romero EM. 2006. Bacterial endophytes and their interaction


with hosts. Duybiotech’s Blog. http://duybiotech.wordpress.com. 4 Februari
2011.

Sabdono A, Radjasa OK, Bachtiar T. 2005. Eksplorasi senyawa bioaktif


antifoulant bakteri yang berasosiasi dengan avertebrata laut sebagai alternatif
penanganan biofouling di laut. Pusat Studi Pesisir dan Laut Tropis.
Universitas Diponegoro. Semarang.

Sammarco PW, Coll JC. 1992. Chemical adaptation in the Octocorallia:


Evolutionary considerations. Mar. Ecol. Prog. Ser 88:93-104.

Sasongko S. 2008. Pengaruh warna cat anti corrosión (AC) terhadap penempelan
Vortex pada bagian badan kapal. Undergraduate Theses Teknik Perkapalan
Ekstensi. Institut Teknologi Surabaya.

Shafer DJ, Wyllie-Echeverria S, Sherman TD. 2007. Growth and production of


the introduced seagrass Zostera japonica from two Pacific Northwest
estuaries. Aquatic Botany (in review)

Sidharta BR. 2000. Pengantar mikrobiologi kelautan. Universitas Atmajaya.


Yogyakarta.
75

Simarmata R, Lekatompessy S, Sukiman H. 2007. Isolasi mikroba endofitik dari


tanaman obat Sambung nyawa (Gynura procumbens) dan analisis
potensinya sebagai antimikroba. Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga
Ilmu Pengetahuan, LIPI, Cibinong-Bogor. Berk. Penel. Hayati 13:85–90.

Sinsuwan S, Rodtong S, Yongsawatdigul J. 2006. NaCl-Activated extracellular


proteinase from Virgibacillus sp. SK37 Isolatd from fish sauce
fermentation. School of Food Technology, Suranaree Univ. Of Technology,
Nakhon Ratchasima 30000. Thailand.

Stanczak M. 2004. Biofouling: It’s not just barnacles anymore. All Rights
Reserved, CSA. http://www.Csa.com/discoveryguide.

Steinberg PD, Schneider R, Kjelleberg S. 2004. Chemical defenses of seaweeds


against microbial colonization. Biodegradation 8 (3): 211-220.

Storer TL, Usinger RL, Nybakken JW. 1977. General zoology. Fourth Edition.
Mc Graw Hill Book and Co Inc. New York. Page 874.

Sudaryanto A, Muchtar M, Razak H, Tanabe S. 2001. Pencemaran senyawa


butyltin di sedimen dari perairan Indonesia. Jurnal Sains dan Teknologi 3(5):
64-69.

Syarmalina, Hanafi AF. 2006. Endofit dan pelestarian alam. Fakultas Farmasi
Universitas Pancasila Jakarta. Jakarta.

Soedharma D, Fauzan A. 1996. Imposex pada Neogastropoda (Thais sp) sebagai


akibat kontaminasi tributyltin (senyawa Sn) dari cat pelapis kapal di sekitar
Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan
Indonesia IV (1):45-53.

Wibowo AE, Supriyono A, Subintoro, Rusman Y. 2003. Studi eksplorasi senyawa


metabolit sekunder dari biota laut. Prosiding Seminar Teknologi untuk
Negeri Volume II :112-118.
LAMPIRAN

Lampiran 1 Pembuatan media isolasi bakteri

Media penanaman bakteri menggunakan media Zobell 2216E padat, media


Zobell 2216E cair dan media Zobell 2216E Soft agar.

Komposisi Media Zobell yang digunakan


a. Media Zobell 2216E Padat/1L
1. Agar : 15 gr
2. Peptone : 2,5 gr
3. Ekstrak Yeast : 0,5 gr
4. Air Laut : 1 liter
b. Media Zobell 2216E Cair/1L
1. Peptone : 2,5 gr
2. Ekstrak Yeast : 0,5 gr
3. Air Laut : 1 liter
c. Media Soft Agar
1. Agar : 9 gr
2. Peptone : 2,5 gr
3. Ekstrak Yeast : 0,5 gr
4. Air Laut : 1 liter

Langkah-langkah pembuatan media tersebut adalah sebagai berikut :


a) Media Zobell 2216E padat
Pembuatan 1 liter media Zobell 2216E padat dilakukan dengan
melarutkan 15 gram bacto-agar, 2,5 gram Bacto-peptone, 0,5 gram ekstrak
yeast kedalam 1 liter air laut steril dan dihomogenkan di atas hotplate and
stirer. Selanjutnya media tersebut disterilisasi pada suhu 121°C dengan tekanan
1 atm selama 15 menit.
b) Media Zobell 2216E cair
Pembuatan media Zobell 2216E cair dilakukan dengan melarutkan 2,5
gram bacto-peptone, 0,5 gram ekstrak yeast kedalam 1 liter air laut steril dan
dihomogenkan di atas hotplate and stirer. Selanjutnya media tersebut
disterilisasi pada suhu 121°C dengan tekanan 1 atm selama 15 menit.
c) Media Zobell 2216E Soft Agar
Pembuatan media Soft Agar dilakukan dengan melarutkan 9 gram Bacto-
Agar, 2,5 gram Bacto-peptone, 0,5 gram ekstrak yeast kedalam 1 liter aquadest
77

steril dan dihomogenkan di atas hotplate and stirer. Selanjutnya media tersebut
disterilisasi pada suhu 121°C dengan tekanan 1 atm selama 15 menit.

Lampiran 2 Sterilisasi alat dan bahan

Langkah-langkah sterilisasi alat dan bahan adalah sebagai berikut :


1. Peralatan gelas dicuci dan dikeringkan. Kemudian dibungkus dengan kertas dan
disterilisasi pada suhu 121° C, tekanan 1 atm selama 15 menit.
2. Aquadest, air laut, kertas cakram dan media kultur bakteri disterilisasi pada
suhu 121° C, tekanan 1 atm selama 15 menit.
3. Alat-alat inokulasi seperti jarum ose, L glass, disterilisasi dengan cara
dipijarkan dengan lampu bunsen. Sementara meja kerja disterilisasi dengan
menyemprotkan alkohol 70 %.

Lampiran 3 Ekstraksi bakteri

Isolat murni bakteri yang telah dikultur dalam media agar miring diambil
masing-masing sebanyak 1 ose untuk kultur dalam 12 tabung biakan yang
masing-masing berisi 25 ml media Zobell 2216E kemudian dishaker selama 2
hari. Selanjutnya Kultur pada setiap biakan dipindahkan ke dalam 475 ml media
Zobell 2216E sehingga didapat 500 ml kultur masal bakteri, dishaker selama 5
hari. Setelah 5 hari, kultur disentrifuse (2500 rpm) selama 1 jam. Diambil
supernatant kemudian diekstraksi dalam separatory funnel dengan pelarut heksana
dengan perbandingan supernatant dan pelarut heksana (Ploguerne 2010) dengan
perbandingan 1 : 4. Fraksi heksana kemudian diambil dan dikisatkan dengan
rotavator pada suhu 60oC. Ekstrak kasar yang didapat kemudian diukur
volumenya.

Lampiran 4 Kultur bakteri pada media cair

Tahapan yang dilakukan sebelum dilakukan uji hambat bakteri adalah


dilakukan kultur bakteri yang akan digunakan. Kultur dilakukan dengan
memasukkan satu ose biakan bakteri dari media agar miring ke media Zobell
2216E cair. Kemudian digoyang terus menerus dengan menggunakan shaker
selama 4 hari. Apabila media menjadi keruh berarti bakteri telah berhasil
ditumbuhkan.
78

Lampiran 5 Hasil analisis ragam zona bakteri epifit E. acoroides terhadap


bakteri biofilm.

Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F


Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Hitung
Ulangan 2 0.18 0.09 0.29
Bakteri 10 118.77 14.85 47.73**
Galat 20 4.98 0.31
Keterangan : ** Berbeda sangat nyata pada taraf nyata () : 0.01

Lampiran 6 Hasil analisis ragam zona hambat bakteri epifit T. hemprichi terhadap
bakteri biofilm.

Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F


Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Hitung
Ulangan 2 0.01 0.01 0.04
Bakteri 8 12.16 1.52 8.37**
Galat 10 2.91 0.18
Keterangan : ** Berbeda sangat nyata pada taraf nyata (α) : 0.01

Lampiran 7 Hasil analisis ragam zona hambat bakteri epifit S. isoetifolium


terhadap bakteri biofilm.

Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F


Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Hitung
Ulangan 2 0.05 0.02 1.40
Bakteri 3 0.06 0.02 1.25
Galat 6 0.10 0.02

Lampiran 8 Hasil analisis ragam zona hambat bakteri endofit T. hemprichi


terhadap bakteri biofilm.

Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F


Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Hitung
Ulangan 2 0.06 0.03 0.11
Bakteri 21 69.70 3.32 11.22**
Galat 42 12.43 0.30
Keterangan : ** Berbeda sangat nyata pada taraf nyata (α) : 0.01
79

Lampiran 9 Hasil analisis ragam zona hambat bakteri endofit E. acoroides


terhadap bakteri biofilm.

Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F


Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Hitung
Ulangan 2 2.16 1.08 2.14
Bakteri 15 113.79 7.59 15.01**
Galat 30 15.17 0.51
Keterangan : ** Berbeda sangat nyata pada taraf nyata (α) : 0.01

Lampiran 10 Hasil analisis ragam zona hambat bakteri endofit S. isoetifolium


terhadap bakteri biofilm.
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F
Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Hitung
Ulangan 2 2.17 1.08 0.72
Bakteri 18 129.66 7.20 4.78**
Galat 36 45.21 1.51
Keterangan : ** Berbeda sangat nyata pada taraf nyata (α) : 0.01

Lampiran 11 analisis ragam daya hambat ekstrak bakteri simbion epifit E.


acoroides terhadap bakteri biofilm.
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung
Keragaman Bebas Kuadrat Tengah
Ulangan 2 0.14 0.07 1.89
Bakteri 37 14.18 0.38 10.18**
Galat 74 2.78 0.04
Keterangan : ** Berbeda sangat nyata pada taraf nyata (α) : 0.01

Lampiran 12 Analisis ragam daya hambat ekstrak bakteri simbion epifit T.


hemprichi terhadap bakteri biofilm.
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung
Keragaman Bebas Kuadrat Tengah
Ulangan 2 0.02 0.01 1.28
Bakteri 33 32.37 0.98 165.30**
Galat 66 0.39 0.01
Keterangan : ** Berbeda sangat nyata pada taraf nyata (α ) : 0.01

Lampiran 13 Analisis ragam daya hambat ekstrak bakteri simbion epifit S.


isoetifolium terhadap bakteri biofilm.
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung
Keragaman Bebas Kuadrat Tengah
Ulangan 2 0.01 0.01 0.52
Bakteri 3 0.19 0.06 5.05*
Galat 6 0.08 0.01
Keterangan : ** Berbeda sangat nyata pada taraf nyata (α) : 0.05
80

Lampiran 14 Analisis ragam daya hambat ekstrak bakteri simbion endofit E.


acoroides terhadap bakteri biofilm.
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung
Keragaman Bebas Kuadrat Tengah
Ulangan 2 0.01 0.004 2.16
Bakteri 20 0.88 0.04 25.99**
Galat 40 0.07 0.00
Keterangan : ** Berbeda sangat nyata pada taraf nyata (α) : 0.01

Lampiran 15 Analisis ragam daya hambat ekstrak bakteri simbion endofit T.


hemprichi terhadap bakteri biofilm.
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung
Keragaman Bebas Kuadrat Tengah
Ulangan 2 0.00 0.00 0.18
Bakteri 10 1.50 0.15 16.20**
Galat 20 0.19 0.01
Keterangan : ** Berbeda sangat nyata pada taraf nyata (α) : 0.01

Lampiran 16 Analisis ragam daya hambat ekstrak bakteri simbion endofit S.


isoetifolium terhadap bakteri biofilm.
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung
Keragaman Bebas Kuadrat Tengah
Ulangan 2 0.09 0.05 8.92
Bakteri 22 76.66 3.48 689.10**
Galat 44 0.22 0.01
Keterangan : ** Berbeda sangat nyata pada taraf nyata (α) : 0.01

Lampiran 17 Hasil analisis ragam uji macrofouling terhadap ekstrak bakteri


simbion lamun.
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F
Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Hitung
Kelompok 2 1124.436 562.2179 4.92*
Bakteri 25 1124.436 44.97744 0.39
Dosis 1 2295.513 2295.513 20.08**
Interaksi 25 1242 49.68 0.43
Galat 25 2857.615 114.3046
Total 78 8644
Keterangan : * Berbeda sangat nyata pada taraf nyata (α) : 0.05
** Berbeda sangat nyata pada taraf nyata (α) : 0.01
81

Lampiran 18 Hasil analisis ragam perlakuan perbedaan jenis dan permukaan


substrat
Sumber Derajat Kuadrat
Jumlah Kuadrat F Hitung
Keragaman Bebas Tengah
Kelompok 1 3450.083 3450.083 0.21
Jenis Substrat
(Kayu, Fiber, Kayu
3 76868.46 25622.82 1.56
tanpa cat dan
dicat))
Tekstur Permukaan
1 150892 150892 9.19**
(Halus dan Kasar)
Interaksi 3 30992.17 10330.72 0.63
Galat 9 147793.2 16421.47
Total 17 409996
Keterangan : ** Berbeda sangat nyata pada taraf nyata (α) : 0.01

Lampiran 19 Pengkodean bakteri simbion lamun dan bakteri biofilm.

Jenis Lamun Bakteri Epifit Bakteri Endofit Bakteri Biofilm

Enhalus acoroides EA EEJ EKK


ET EKH
EB FKK
FKH
Thalassia TA ETJ TKK
hemprichii TT TKH
TB FKK
FKH
Syringodium SA ESJ SKK
isoetifolium ST SKH
SFK
SFH
82

Lampiran 20 Hasil analisis BLAST sequen bakteri hasil identifikasi molekuler

Isolat bakteri EA_2.1


>ref|NR_024808.1| Bacillus vietnamensis strain 15-1 16S ribosomal RNA,
partial
sequence
dbj|AB099708.1| Bacillus vietnamensis gene for 16S ribosomal RNA, partial
sequence
Length=1388
Score = 695 bits (376), Expect = 0.0
Identities = 406/421 (97%), Gaps = 1/421 (0%)
Strand=Plus/Plus

Query 23 TGCAAGTCGAGCGGGGT-AAGGGAGCTTGCTCCCTGAGATCAGCGGCGGAAGGGTGAGTA 81
|||||||||||||| | | ||||||||||||||||| |||||||||||| |||||||||
Sbjct 22 TGCAAGTCGAGCGGATTGATGGGAGCTTGCTCCCTGATATCAGCGGCGGACGGGTGAGTA 81

Query 82 ACACGTGGGTAACCTGCCTGTAAGACTGGGATAACTCCGGGAAACCGGGGCTAATACCGG 141


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 82 ACACGTGGGTAACCTGCCTGTAAGACTGGGATAACTCCGGGAAACCGGGGCTAATACCGG 141

Query 142 ATAACTCAGTTCCTCGCATGAGGAACTGTTGAAAGGTGGCTTTTCGCTACCACTTACAGA 201


|||||||| |||||||||||||||| ||||||||||||| || | |||||||||||||||
Sbjct 142 ATAACTCATTTCCTCGCATGAGGAAATGTTGAAAGGTGGNTTCTGGCTACCACTTACAGA 201

Query 202 TGGACCCGCGGCGCATTATCTAGTTGGTGAGGTAACGGCTCACCAAGGCGACGATGCGTA 261


|||||||||||||||||| |||||||||||||||||||||||||||||| ||||||||||
Sbjct 202 TGGACCCGCGGCGCATTAGCTAGTTGGTGAGGTAACGGCTCACCAAGGCAACGATGCGTA 261

Query 262 GCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACACTGGGACTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGG 321


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 262 GCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACACTGGGACTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGG 321

Query 322 AGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGACGAAAGTCTGACGGAGCAACGCCGCGTGAG 381


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 322 AGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGACGAAAGTCTGACGGAGCAACGCCGCGTGAG 381

Query 382 TGAAGAAGGTTTTCGGATCGTAAAACTCTGTTGTTAGGGAAGAACAAGTGCCGTTCGAAT 441


||| |||||||||||||||||||| |||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 382 TGATGAAGGTTTTCGGATCGTAAAGCTCTGTTGTTAGGGAAGAACAAGTGCCGTTCGAAT 441

Query 442 A 442


|
Sbjct 442 A 442
83

Isolat bakteri EA_6


>ref|NR_028873.1| Virgibacillus marismortui strain 123 16S ribosomal RNA,
complete sequence
emb|AJ009793.1| Bacillus marismortui strain 123, 16S ribosomal RNA
Length=1563
Score = 743 bits (402), Expect = 0.0
Identities = 413/418 (99%), Gaps = 2/418 (0%)
Strand=Plus/Plus

Query 77 GGAATGAGCCGG-GGTCGGGTGAGTAACACGTGGGCAACCTGCCTGTAAGATTGGGATAA 135


|||| ||| ||| || ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 101 GGAACGAG-CGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGCAACCTGCCTGTAAGATTGGGATAA 159

Query 136 CCCCGGGAAACCGGGGCTAATACCGGATAATACTTTTCGTTGCATAACGAGAAGTTGAAA 195


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 160 CCCCGGGAAACCGGGGCTAATACCGGATAATACTTTTCGTTGCATAACGAGAAGTTGAAA 219

Query 196 GGCGGCTTTTAGCTGTCACTTACAGTTGGGCCCGCGGCGCATTAGCTAGTTGGTAAGGTA 255


||||||||||||||||||||||||| ||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 220 GGCGGCTTTTAGCTGTCACTTACAGATGGGCCCGCGGCGCATTAGCTAGTTGGTAAGGTA 279

Query 256 ACGGCTTACCAAGGCGACGATGCGTAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACACTGGGAC 315


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 280 ACGGCTTACCAAGGCGACGATGCGTAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACACTGGGAC 339

Query 316 TGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGACGAA 375


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 340 TGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGACGAA 399

Query 376 AGTCTGACGGAGCAACGCCGCGTGAGTGATGAAGGTTTTCGGATCGTAAAACTCTGTTGT 435


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 400 AGTCTGACGGAGCAACGCCGCGTGAGTGATGAAGGTTTTCGGATCGTAAAACTCTGTTGT 459

Query 436 CAGGGAAGAACAAGTGCCGTTCAAATAGGGCGGCACCTTGACGGTACCTGACCAGAAA 493


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 460 CAGGGAAGAACAAGTGCCGTTCAAATAGGGCGGCACCTTGACGGTACCTGACCAGAAA 517
84

Isolat bakteri TB_3


>ref|NR_025308.1| Virgibacillus proomii strain LMG 12370 16S ribosomal RNA,
partial
sequence
emb|AJ012667.1| Virgibacillus proomii 16S rRNA gene, strain LMG 12370
Length=1506
Score = 536 bits (290), Expect = 5e-150
Identities = 396/445 (89%), Gaps = 17/445 (3%)
Strand=Plus/Plus

Query 37 TGCCT-ATAC-TGCAAGTTCGAGCGCGGGAAGCAGGCAGATCCTCTTCGGAGGTGACGCC 94
||||| |||| |||||| |||||||||||||||| ||||| || |||||| ||||||||
Sbjct 7 TGCCTAATACATGCAAG-TCGAGCGCGGGAAGCAAGCAGAACCCCTTCGGGGGTGACGCA 65

Query 95 TGTGGAACGAGCGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGCAACCTGCCTGTAAGAGTGGGAT 154


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| ||||||
Sbjct 66 TGTGGAACGAGCGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGCAACCTGCCTGTAAGACTGGGAT 125

Query 155 AA-AGC-GGAAACCGGGGCTAATACCGGATAATACTTTTTCGTTGCAAAACGG-GATTTT 211


|| | |||||||||||||||||||||||||||| ||||| ||||| || || || |
Sbjct 126 AACTCCGGGAAACCGGGGCTAATACCGGATAATACGTTTTC-TTGCATAA-GGAGA-CGT 182

Query 212 TGAAAGGGCGGCTTTTTAGCTGTCCCTTTACGGATGGGCGCGGCGGCGCATTAACTAGTT 271


| ||| |||||| ||||||| | |||| ||||||| | ||||||||||| ||||||
Sbjct 183 T-AAAAGGCGGC--GCAAGCTGTCAC-TTACAGATGGGC-CCGCGGCGCATTAGCTAGTT 237

Query 272 GGTAAGGTAACGGCTTACCAAGGCGACGATGCGTAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCA 331


||| ||||| || |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 238 GGTGGGGTAAAAGCCTACCAAGGCGACGATGCGTAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCA 297

Query 332 CACTGGGACTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCA 391


||||||||||||||||| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 298 CACTGGGACTGAGACACRGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCA 357

Query 392 ATGGACGAAAGTCTGACGGAACAACGCCGCGTGAGTGATGAAAGTTTTCGGATTCGTAAA 451


|||||||||||||||||||| ||||||||||||||||| ||| |||||||||| ||||||
Sbjct 358 ATGGACGAAAGTCTGACGGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGTTTTCGGAT-CGTAAA 416

Query 452 ACTCTGTTTTTCCGGGAAAAAACAA 476


|||||||| || ||||| || |||
Sbjct 417 ACTCTGTTGTTA-GGGAAGAA-CAA 439
85

Isolat bakteri TT_9


>ref|NR_025459.1| Halobacillus trueperi strain DSM 10404 16S ribosomal RNA,
complete sequence
emb|AJ310149.1| Halobacillus trueperi 16S rRNA gene, strain DSM 10404T
Length=1536
Score = 658 bits (356), Expect = 0.0
Identities = 442/482 (92%), Gaps = 11/482 (2%)
Strand=Plus/Plus

Query 7 TGC-AGTCGAGCGCGGGAAGCAG-GCAGATCCTCTTCGGAGGTGACGCCT-GTGGAACGA 63
||| ||||||||||||||||| | | | ||| |||||| ||||| | || |||||||||
Sbjct 39 TGCAAGTCGAGCGCGGGAAGC-GAGTGGCTCC-CTTCGG-GGTGAAG-CTCGTGGAACGA 94

Query 64 GCGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGCAACCTGCCTGTAAGATTGGGATAACCCCGGGA 123


|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| || ||||||||||||
Sbjct 95 GCGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGCAACCTGCCTGTAAGATCGGAATAACCCCGGGA 154

Query 124 AACCGGGGCTAATACCGGATAATACTTTTCGTT-GCAT-AACGAGAAGTTGAAAGGCGGC 181


||||||||||||| |||| |||||| |||| || |||| || || |||||||||| |||
Sbjct 155 AACCGGGGCTAATGCCGGGTAATAC-TTTCTTTCGCATGAAGGA-AAGTTGAAAGATGGC 212

Query 182 TTTTAGCTGTCACTTACAGATGGGCCCGCGGCGCATTAGCTAGTTGGTAAGGTAACGGCT 241


|| ||||| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| |||||||||||
Sbjct 213 TTCTAGCTATCACTTACAGATGGGCCCGCGGCGCATTAGCTAGTTGGTGAGGTAACGGCT 272

Query 242 TACCAAGGCGACGATGCGTAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACACTGGGACTGAGAC 301


|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 273 CACCAAGGCGACGATGCGTAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACACTGGGACTGAGAC 332

Query 302 ACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGACGAAAGTCTG 361


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 333 ACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGACGAAAGTCTG 392

Query 362 ACGGAGCAACGCCGCGTGAGTGATGAAGGTTTTCGGATCGTAAAACTCTGTTGTCAGGGA 421


||||||||||||||||||| ||||||||| ||||||||||||| |||||||| |||||
Sbjct 393 ACGGAGCAACGCCGCGTGAACGATGAAGGTCTTCGGATCGTAAAGTTCTGTTGTTAGGGA 452

Query 422 AGAACAAGTGCCGTTCGAATAGGGCGGCACCTTGACGGTACCTGACCAGAAAGCCCCGGC 481


||||||||| |||| ||||||| |||| ||||||||||||||| || || ||||||||||
Sbjct 453 AGAACAAGTACCGTGCGAATAGAGCGGTACCTTGACGGTACCTAACGAGGAAGCCCCGGC 512

Query 482 TA 483


||
Sbjct 513 TA 514
86

Isolat bakteri SA 2
>ref|NR_024689.1| Bacillus atrophaeus strain JCM9070 16S ribosomal RNA,
partial sequence
dbj|AB021181.1| Bacillus atrophaeus gene for 16S ribosomal RNA
Length=1515
Score = 693 bits (375), Expect = 0.0
Identities = 468/511 (92%), Gaps = 14/511 (2%)
Strand=Plus/Plus

Query 1 TGGGGGCGTGGCCTAAAAACATGCACGTCGAGCGAATGGATTAAGAGCTTGCTCTTATGA 60
||| ||||| |||| || ||||||| |||||||| | || | |||||||||| |||
Sbjct 10 TGGCGGCGT-GCCT-AATACATGCAAGTCGAGCGGACAGA-TGGGAGCTTGCTC-CCTGA 65

Query 61 AGTTAGCGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGTAACCTGCCCATAAGACTGGGATAACTC 120


|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| |||||||||||||||||
Sbjct 66 TGTTAGCGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGTAACCTGCCTGTAAGACTGGGATAACTC 125

Query 121 CGGGAAACCGGGGCTAATACCGGATAACAT-TTTGAACCGCATGGTTCGAAA-TTGAAAG 178


||||||||||||||||||||||||| | | ||||||||||||||||| ||| | ||||
Sbjct 126 CGGGAAACCGGGGCTAATACCGGAT-GCTTGTTTGAACCGCATGGTTC-AAACATAAAAG 183

Query 179 GCGGCTTCGGCTGTCACTTATGGATGGACCCGCGTCGCATTAGCTAGTTGGTGAGGTAAC 238


| |||||||||| |||||| |||||||||||| |||||||||||||||||||||||||
Sbjct 184 GTGGCTTCGGCTACCACTTACAGATGGACCCGCGGCGCATTAGCTAGTTGGTGAGGTAAC 243

Query 239 GGCTCACCAAGGCAACGATGCGTAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACACTGGGACTG 298


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 244 GGCTCACCAAGGCAACGATGCGTAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACACTGGGACTG 303

Query 299 AGACACG-CCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGACGAAAG 357


||||||| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 304 AGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGACGAAAG 363

Query 358 TCTGACGGAGCAACGCCGCGTGAGTGATGAAGGCTTTCGGGTCGTAAAACTCTGTTGTTA 417


||||||||||||||||||||||||||||||||| |||||| ||||||| |||||||||||
Sbjct 364 TCTGACGGAGCAACGCCGCGTGAGTGATGAAGGTTTTCGGATCGTAAAGCTCTGTTGTTA 423

Query 418 GGGAAGAACAAGTGCTAGTTGAA-TAAG-CTGGCACCTTGACGGTACCTAACCAGAAAGC 475


||||||||||||||| ||| || || | | |||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 424 GGGAAGAACAAGTGCC-GTTCAAATAGGGC-GGCACCTTGACGGTACCTAACCAGAAAGC 481

Query 476 CACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCAGGT 506


||||||||||||||||||||||||||| |||
Sbjct 482 CACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGC-GGT 511
87

Isolat bakteri SA 5
>ref|NR_025511.1| Bacillus luciferensis strain LMG 18422 16S ribosomal RNA,
partial sequence
emb|AJ419629.1| Bacillus luciferensis partial 16S rRNA gene, strain LMG
18422 Length=1502 Score =793 bits (429),Expect = 0.0
Identities = 518/561 (93%), Gaps = 7/561 (1%).
Strand=Plus/Plus

Query 6 CTGGCGGCGTGCCTAATACATGCAAGTCGAGC-GAATGGATTAGAGCTTGCTCTTATGAA 64
|||||||||||||||||||||||||||||||| || | ||| |||||||||| || |
Sbjct 9 CTGGCGGCGTGCCTAATACATGCAAGTCGAGCGGACT-AATTGGAGCTTGCTCCAAT-TA 66

Query 65 GTTAGCGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGTAACCTGCCCATAAGACTGGGATAACTCC 124


||||||||||||||||||||||||||||||| ||||| || ||||||||||||||||| |
Sbjct 67 GTTAGCGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGCAACCTACCTATAAGACTGGGATAACTTC 126

Query 125 GGGAAACCGGGGCTAATACCGGATAACA-TTTTGAACCGCATGGTT-CGAAATTGAAAGG 182


|||||||||| ||||||||||||| ||| ||| | | | ||| | |||||||
Sbjct 127 GGGAAACCGGAGCTAATACCGGATGACAYAAAGGAA-CTCCT-GTTCCTTTRTTGAAAGA 184

Query 183 CGGCTTCGGCTGTCACTTATGGATGGACCCGCGTCGCATTAGCTAGTTGGTGAGGTAACG 242


|||||||||| |||||||| ||||| |||||| ||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 185 TGGCTTCGGCTATCACTTATAGATGGGCCCGCGGCGCATTAGCTAGTTGGTGAGGTAACG 244

Query 243 GCTCACCAAGGCAACGATGCGTAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACACTGGGACTGA 302


|||||||||||| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 245 GCTCACCAAGGCGACGATGCGTAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACACTGGGACTGA 304

Query 303 GACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGACGAAAGT 362


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 305 GACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGACGAAAGT 364

Query 363 CTGACGGAGCAACGCCGCGTGAGTGATGAAGGCTTTCGGGTCGTAAAACTCTGTTGTTAG 422


||||||||||||||||||||||| ||||||||| ||||||||||||| ||||||||||||
Sbjct 365 CTGACGGAGCAACGCCGCGTGAGCGATGAAGGCCTTCGGGTCGTAAAGCTCTGTTGTTAG 424

Query 423 GGAAGAACAAGTGCTAGTTGAATAAGCTGGCACCTTGACGGTACCTAACCAGAAAGCCAC 482


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 425 GGAAGAACAAGTGCTAGTTGAATAAGCTGGCACCTTGACGGTACCTAACCAGAAAGCCAC 484

Query 483 GGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAAAACGTAAGTGACAAGCGTTATCCGGAATTAT 542


||||||||||||||||||||||||||||| ||||| ||| |||||||| |||||||||||
Sbjct 485 GGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCGGAATTAT 544

Query 543 TGGGCGTAAAGCGCGCGCAGG 563


|||||||||||||||||||||
Sbjct 545 TGGGCGTAAAGCGCGCGCAGG 565
88

Isolat bakteri EEJ 1

>ref|NR_025126.1| Pseudoalteromonas flavipulchra strain NCIMB2033 16S


ribosomal
RNA, partial sequence
gb|AF297958.1|AF297958 Pseudoalteromonas flavipulchra 16S ribosomal RNA
gene, partial
sequence
Length=1483
Score = 878 bits (475), Expect = 0.0
Identities = 490/497 (99%), Gaps = 1/497 (0%)
Strand=Plus/Plus

Query 21 ACACATGCCCGTCGAGCGGT-GCATTTCTAGCTTGCTAGAAGATGACGAGCGGCGGACGG 79
|||||||| |||||||||| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 1 ACACATGCAAGTCGAGCGGTAACATTTCTAGCTTGCTAGAAGATGACGAGCGGCGGACGG 60

Query 80 GTGAGTAATGCTTGGGAACATGCCTTTAGGTGGGGGACAACCATTGGAAACGATGGCTAA 139


|||||||||||||||||||||||||| |||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 61 GTGAGTAATGCTTGGGAACATGCCTTGAGGTGGGGGACAACCATTGGAAACGATGGCTAA 120

Query 140 TACCGCATAATGTCTACGGACCAAAGGGGGCTTCGGCTCTCGCCTTTAGATTGGCCCAAG 199


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 121 TACCGCATAATGTCTACGGACCAAAGGGGGCTTCGGCTCTCGCCTTTAGATTGGCCCAAG 180

Query 200 TGGGATTAGCTAGTTGGTGAGGTAACGGCTTACCAAGGCGACGATCCCTAGCTGGTTTGA 259


||||||||||||||||||||||||| |||| |||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 181 TGGGATTAGCTAGTTGGTGAGGTAAAGGCTCACCAAGGCGACGATCCCTAGCTGGTTTGA 240

Query 260 GAGGATGATCAGCCACACTGGAACTGAGACACGGTCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGT 319


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 241 GAGGATGATCAGCCACACTGGAACTGAGACACGGTCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGT 300

Query 320 GGGGAATATTGCACAATGGGCGCAAGCCTGATGCAGCCATGCCGCGTGTGTGAAGAAGGC 379


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 301 GGGGAATATTGCACAATGGGCGCAAGCCTGATGCAGCCATGCCGCGTGTGTGAAGAAGGC 360

Query 380 CTTCGGGTTGTAAAGCACTTTCAGTCAGGAGGAAAGGTTAGTAGTTAATACCTGCTAGCT 439


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 361 CTTCGGGTTGTAAAGCACTTTCAGTCAGGAGGAAAGGTTAGTAGTTAATACCTGCTAGCT 420

Query 440 GTGACGTTACTGACAGAAGAAGCACCGGCTAACTCCGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGG 499


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 421 GTGACGTTACTGACAGAAGAAGCACCGGCTAACTCCGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGG 480

Query 500 AGGGTGCGAGCGTTAAT 516


|||||||||||||||||
Sbjct 481 AGGGTGCGAGCGTTAAT 497
89

Isolat bakteri EEJ 2

>ref|NR_029304.1| Halobacillus litoralis strain SL-4 16S ribosomal RNA,


complete
sequence
emb|X94558.1| H.litoralis 16S rRNA gene
Length=1559
Score = 734 bits (397), Expect = 0.0
Identities = 484/524 (93%), Gaps = 13/524 (2%)
Strand=Plus/Plus

Query 2 AACGCTGGGCGGCGTGCCTAATACATGCAAGTCGAGCGCGGGAAGCAG-GCAGATCCTCT 60
|||||| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| | | | ||| ||
Sbjct 26 AACGCT-GGCGGCGTGCCTAATACATGCAAGTCGAGCGCGGGAAGC-GAGTGGCTCC-CT 82

Query 61 TCGGAGGTGACGCCT-GTGGAACGAGCGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGCAACCTGC 119


|||| ||||| | || ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 83 TCGG-GGTGAAG-CTCGTGGAACGAGCGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGCAACCTGC 140

Query 120 CTGTAAGACTGGGATAACCCCGGGAAACCGGGGCTAATACCGGATAATACTTTTCGTT-G 178


||||||||| || ||||||||||||||||||||||||| |||| ||||||||||| || |
Sbjct 141 CTGTAAGACCGGAATAACCCCGGGAAACCGGGGCTAATGCCGGGTAATACTTTTC-TTCG 199

Query 179 CAT-AACGAGAAGTTGAAAGGCGGCTT-TTAGCTGTCACTTACAGATGGGCCCGCGGCGC 236


||| || || |||||||||| ||||| || ||| |||||||||||||||||||||||||
Sbjct 200 CATGAAGGA-AAGTTGAAAGATGGCTTCTT-GCTATCACTTACAGATGGGCCCGCGGCGC 257

Query 237 ATTAGCTAGTTGGTAAGGTAACGGCTTACCAAGGCGACGATGCGTAGCCGACCTGAGAGG 296


|||||||||||||| ||||||||||| |||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 258 ATTAGCTAGTTGGTGAGGTAACGGCTCACCAAGGCGACGATGCGTAGCCGACCTGAGAGG 317

Query 297 GTGATCGGCCACACTGGGACTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGG 356


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 318 GTGATCGGCCACACTGGGACTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGG 377

Query 357 AATCTTCCGCAATGGACGAAAGTCTGACGGAGCAACGCCGCGTGAGTGATGAAGGTTTTC 416


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| ||||||||| |||
Sbjct 378 AATCTTCCGCAATGGACGAAAGTCTGACGGAGCAACGCCGCGTGAACGATGAAGGTCTTC 437

Query 417 GGATCGTAAAACTCTGTTGTCAGGGAAGAACAAGTGCCGTTCGAATAGGGCGGCACCTTG 476


|||||||||| |||||||| |||||||||||||| |||| ||||||| |||| ||||||
Sbjct 438 GGATCGTAAAGTTCTGTTGTTAGGGAAGAACAAGTACCGTGCGAATAGAGCGGTACCTTG 497

Query 477 ACGGTACCTGACCAGAAAGCCCCGGCTAACTACGTGCCAGCAGC 520


||||||||| || || ||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 498 ACGGTACCTAACGAGGAAGCCCCGGCTAACTACGTGCCAGCAGC 541
90

Isolat bakteri ETJ 1


>ref|NR_029222.1| Vibrio campbellii strain 40 16S ribosomal RNA,partial
sequence Length=1484 Score=787 bits(426),Expect= 0.0
Identities = 459/473 (98%), Gaps = 9/473 (1%) Strand=Plus/Plus

Query 2 CACGTGCACGTCGAGCGGAAACGAGTTATCT-GAACCTTCGGGGGACGATAACGGCGTCG 60
||| |||| ||||||||||||||||||| || ||| ||| ||| |||||||||||||||
Sbjct 52 CACATGCAAGTCGAGCGGAAACGAGTTAACTGGAA-CTT--GGGAACGATAACGGCGTCG 108

Query 61 AGCGGCGGACGGGTGAGTAATGCCTAGGAAATTGCCCTGATGTGGGGGATAACCA-TTGG 119


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| ||||
Sbjct 109 AGCGGCGGACGGGTGAGTAATGCCTAGGAAATTGCCCTGATGTGGGGGATAACCACTTGG 168

Query 120 AAACGATGGCTAATACCGCATGATGCCTACGGGCCAAAGAGGGGGACCTTCGGGCCTCTC 179


||||||||||||||||||||| ||| ||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 169 AAACGATGGCTAATACCGCATAATG-CTACGGGCCAAAGAGGGGGACCTTCGGGCCTCTC 227

Query 180 GCGTCAGGATATGCCTAGGTGGGATTAGCTAGTTGGTGAGGTAAGGGCTCACCAAGGCGA 239


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 228 GCGTCAGGATATGCCTAGGTGGGATTAGCTAGTTGGTGAGGTAAGGGCTCACCAAGGCGA 287

Query 240 CGATCCCTAGCTGGTCTGAGAGGATGATCAGCCACACTGGAACTGAGACACGGTCCAGAC 299


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 288 CGATCCCTAGCTGGTCTGAGAGGATGATCAGCCACACTGGAACTGAGACACGGTCCAGAC 347

Query 300 TCCTACG-GGAGGCAGCAGTGGGGAATATTGCACAATGGGCGCAAGCCTGATGCAGCCAT 358


||||| | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 348 TCCTA-GAGGAGGCAGCAGTGGGGAATATTGCACAATGGGCGCAAGCCTGATGCAGCCAT 406

Query 359 GCCGCGTGTGTGAAGAAGGCCTTCGGGTTGTAAAGCACTTTCAGTCGTGAGGAAAGGTAG 418


|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| |||||
Sbjct 407 GCCGCGTGTGTGAAGAAGGCCTTCGGGTTGTAAAGCACTTTCAGTCGTGAGGAA-GGTAG 465

Query 419 TGTAGTTAATAGCTGCATTATTTGACGTTAGCGACAGAAGAAGCACCGGCTAA 471


|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 466 TGTAGTTAATAGCTGCATTATTTGACGTTAGCGACAGAAGAAGCACCGGCTAA 518
91

Isolat bakteri ETJ 2


>ref|NR_024691.1| Bacillus flexus strain IFO15715 16S ribosomal RNA, partial
sequence
dbj|AB021185.1| Bacillus flexus gene for 16S ribosomal RNA
Length=1529 Score = 664 bits (359), Expect = 0.0
Identities = 465/513 (91%), Gaps = 20/513 (3%)
Strand=Plus/Plus

Query 5 GCTGGGCGGGCGGTGCCTAAAACATGCCGGTCGAGCGAA-TGGATTAAG-AGCTTGC-TC 61
||| ||| ||| |||||||| |||||| |||||||||| | |||| || ||||||| ||
Sbjct 21 GCT-GGC-GGC-GTGCCTAATACATGCAAGTCGAGCGAACT-GATT-AGAAGCTTGCTTC 75

Query 62 TTATGAAGTTAGCGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGTAACCTGCCCATAAGACTGGGA 121


||||| ||||||||||||||||||||||||||||||| |||||||| |||||||||||
Sbjct 76 -TATGACGTTAGCGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGCAACCTGCCTGTAAGACTGGGA 134

Query 122 TAACTCCGGGAAACCGGGGCTAATACCGGATAACATTTTGAAC-CGCATGGTTCG-AAAT 179


||||||||||||||||| ||||||||||||||||||||| | |||| | ||||
Sbjct 135 TAACTCCGGGAAACCGGAGCTAATACCGGATAACATTTT-CTCTTGCAT-AAGAGAAAAT 192

Query 180 TGAAAGGCGGCTTCGGCTGTCACTTATGGATGGACCCGC-GTCGCATTAGCTAGTTGGTG 238


|||||| || ||||||| ||||||| ||||| ||||| || |||||||||||||||||
Sbjct 193 TGAAAGATGGTTTCGGCTATCACTTACAGATGGGCCCGCGGT-GCATTAGCTAGTTGGTG 251

Query 239 AGGTAACGGCTCACCAAGGCAACGATGCGTAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACACT 298


|||||||||||||||||||||||||||| |||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 252 AGGTAACGGCTCACCAAGGCAACGATGCATAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACACT 311

Query 299 GGGACTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGG 358


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 312 GGGACTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGG 371

Query 359 ACGAAAGTCTGACGGAGCAACGCCGCGTGAGTGATGAAGGCTTTCGGGTCGTAAAACTCT 418


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 372 ACGAAAGTCTGACGGAGCAACGCCGCGTGAGTGATGAAGGCTTTCGGGTCGTAAAACTCT 431

Query 419 GTTGTTAGGGAAGAACAAGTGCTAGT-TGAA-TAAGCTGGCACCTTGACGGTACCTAACC 476


|||||||||||||||||||| | || | || | ||| | |||||||||||||||||||
Sbjct 432 GTTGTTAGGGAAGAACAAGTACAAGAGT-AACT--GCTTGTACCTTGACGGTACCTAACC 488

Query 477 AGAAAGCCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCG 509


|||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 489 AGAAAGCCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCG 521
92

Isolat bakteri ESJ_1


>ref|NR_024690.1| Bacillus carboniphilus strain JCM9731 16S ribosomal RNA,
partial
sequence
dbj|AB021182.1| Bacillus carboniphilus gene for 16S ribosomal RNA
Length=1504
Score = 361 bits (195), Expect = 3e-97
Identities = 347/416 (84%), Gaps = 28/416 (6%)
Strand=Plus/Plus

Query 86 CGG-GGACAGGTGAGTAACACGTGGGCAAAATGCCTGTAAGATTGGGATAACCCCGGGAA 144


||| |||| |||||||||||||||| || ||||||||||| ||||||||| |||||||
Sbjct 72 CGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGATAACCTGCCTGTAAGACTGGGATAACTCCGGGAA 131

Query 145 ACCGGGGCTAATACCGGATAAT-ACTTTTCGTT-GCAT-AACGttttttttgaaatgttt 201


|||||||||||||||||||| | | |||| ||| |||| ||| | | |||| ||
Sbjct 132 ACCGGGGCTAATACCGGATA-TGA-TTTTAGTTCGCATGAAC-TGAAATG-GAAAGGTGG 187

Query 202 tttttagctgtcattttttCTACGGTGTC-GCGGCGCATTAGCTAGTTGGTAAGGTAACG 260


|||||||| || || | || || ||||||||||||||||||||| ||||||||
Sbjct 188 CTTTTAGCTACCACTTACAG-ATGGA-TCCGCGGCGCATTAGCTAGTTGGTGAGGTAACG 245

Query 261 GCTTACCAAGGCGACGATGCGTA-CTCTAA-T-AGTTAGGGTGATCGGCCACTCTGGGGA 317


||| ||||||||||||||||||| | | | | || ||||||||||||||| ||||| |
Sbjct 246 GCTCACCAAGGCGACGATGCGTAGC-CGACCTGAG--AGGGTGATCGGCCACACTGGG-A 301

Query 318 CTGAGACACGGCCCA-ACTCCTACGGGAGGGCAGCAGTAGGGGAATCTTCCGCAATGGGA 376


||||||||||||||| |||||||||||||| ||||||||||| ||||||||||||||| |
Sbjct 302 CTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGG-CAGCAGTAGGG-AATCTTCCGCAATGG-A 358

Query 377 CGAAGGTCTGACGGAGCAACGCCGCGTGAGTGATGAAGGCTTTCGGATCGAAAA-CTCTG 435


|||| |||||||||||||||||||||||||||||||||| |||||||||| ||| |||||
Sbjct 359 CGAAAGTCTGACGGAGCAACGCCGCGTGAGTGATGAAGGTTTTCGGATCGTAAAGCTCTG 418

Query 436 GTGGCAGGGAAAAAACAAGTGCCGTTC-AATTAGGGCGGGCCCTTTGACGGT-CCT 489


|| |||||| || ||||| |||||| ||| ||||||| |||| |||||| |||
Sbjct 419 TTGTTAGGGAAGAA-CAAGTACCGTTCGAAT-AGGGCGGTACCTT-GACGGTACCT 471
93

Isolat bakteri ESJ_5

>ref|NR_029304.1| Halobacillus litoralis strain SL-4 16S ribosomal RNA,


complete sequence
emb|X94558.1| H.litoralis 16S rRNA gene
Length=1559
Score = 638 bits (345), Expect = 1e-180
Identities = 433/473 (92%), Gaps = 15/473 (3%)
Strand=Plus/Plus

Query 11 CGGCGTGCCT-ACACATGCAAGTCGAGCGCGGGAAGCAG-GCAGATCCTCTTCGGAGGTG 68
|||||||||| | |||||||||||||||||||||||| | | | ||| |||||| ||||
Sbjct 34 CGGCGTGCCTAATACATGCAAGTCGAGCGCGGGAAGC-GAGTGGCTCC-CTTCGG-GGTG 90

Query 69 ACGCCT-GTGGAACGAGCGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGCAACCTGCCTGTAAGAC 127


| | || |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 91 AAG-CTCGTGGAACGAGCGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGCAACCTGCCTGTAAGAC 149

Query 128 TGGGATAACCCCGGGAAACCGGGGCTAATACCGGATAATACTTTTCGTT-GCAT-AACGA 185


|| ||||||||||||||||||||||||| |||| ||||||||||| || |||| || ||
Sbjct 150 CGGAATAACCCCGGGAAACCGGGGCTAATGCCGGGTAATACTTTTC-TTCGCATGAAGGA 208

Query 186 GAAGTTGAAAGGCGGCTT-TTAGCTGTCACTTACAGATGGGCCCGCGGCGCATTAGCTAG 244


|||||||||| ||||| || ||| ||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 209 -AAGTTGAAAGATGGCTTCTT-GCTATCACTTACAGATGGGCCCGCGGCGCATTAGCTAG 266

Query 245 TTGGTAAGGTAACGGCTTACCAAGGCGACGATGCGTAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGC 304


||||| ||||||||||| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 267 TTGGTGAGGTAACGGCTCACCAAGGCGACGATGCGTAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGC 326

Query 305 CACACTGGGACTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCG 364


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 327 CACACTGGGACTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCG 386

Query 365 CAATGGACGAAAGTCTGACGGAGCAACGCCGCGTGAGTGATGAAGTT-TTCGGATCGTAA 423


|||||||||||||||||||||||||||||||||||| ||||||| | ||||||||||||
Sbjct 387 CAATGGACGAAAGTCTGACGGAGCAACGCCGCGTGAACGATGAAGGTCTTCGGATCGTAA 446

Query 424 AACTCTGTTGTCAGGGAAGAACAAGTGCCGTTCGA-TAGGGCGGCACCTTGAC 475


| |||||||| |||||||||||||| |||| ||| ||| |||| ||||||||
Sbjct 447 AGTTCTGTTGTTAGGGAAGAACAAGTACCGTGCGAATAGAGCGGTACCTTGAC 499
94

Isolat bakteri EFK 18


>ref|NR_025842.1| Bacillus firmus strain IAM 12464 16S ribosomal RNA,
partial sequence
dbj|D16268.1|BAC16SRR03 Bacillus firmus gene for 16S rRNA, partial
sequence, strain:
IAM 12464
Length=1483

Score = 821 bits (444), Expect = 0.0


Identities = 482/499 (97%), Gaps = 7/499 (1%)
Strand=Plus/Plus

Query 22 GAA-GCTGGAGGCGTGCCT-ATACATGCAAGGT-GAGCGGACGGATGGGAGCTTGCTCCC 78
||| ||||| ||||||||| |||||||||| || ||||||||||||||||||||||| |
Sbjct 4 GAACGCTGGCGGCGTGCCTAATACATGCAA-GTCGAGCGGACGGATGGGAGCTTGCT--C 60

Query 79 AGACCGTCAGCGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGCAACCTGCCTGTAAAACTGGGATA 138


| | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| |||||||||
Sbjct 61 ACA-CGTCAGCGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGCAACCTGCCTGTAAGACTGGGATA 119

Query 139 ACTCCGGGAAACCGGGGCTAATACCGGATAAtttttttCCTCACATGAGGAAAAGCTGAA 198


|||||||||||||||||||||||||||||||| |||||||| |||||||||||||||||
Sbjct 120 ACTCCGGGAAACCGGGGCTAATACCGGATAATGCTTTTCCTCGCATGAGGAAAAGCTGAA 179

Query 199 AGATGGCATCTCGCTATCACTTACAGATGGGCCCGCGGCGCATTAGCTAGTTGGTGAGGT 258


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 180 AGATGGCATCTCGCTATCACTTACAGATGGGCCCGCGGCGCATTAGCTAGTTGGTGAGGT 239

Query 259 AACGGCTCACCAAGGCCACGATGCGTACCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACACTGGGA 318


|||||||||||||||| |||||||||| ||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 240 AACGGCTCACCAAGGCGACGATGCGTAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACACTGGGA 299

Query 319 CTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGACAA 378


|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| |
Sbjct 300 CTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGACGA 359

Query 379 AAGTCTGACGGAGCAACGCCGCGTGAGTGATGAAGGTTTTCGGATCGTAAAACTCTGTTG 438


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 360 AAGTCTGACGGAGCAACGCCGCGTGAGTGATGAAGGTTTTCGGATCGTAAAACTCTGTTG 419

Query 439 TCAGGGAAGAACAAGTACCGGAGTAACTGCCGGTACCTTGACGGTCCCTGACCAGAAAGC 498


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| ||||||||||||||
Sbjct 420 TCAGGGAAGAACAAGTACCGGAGTAACTGCCGGTACCTTGACGGTACCTGACCAGAAAGC 479

Query 499 CACGGCTAACTACGTGCCA 517


|||||||||||||||||||
Sbjct 480 CACGGCTAACTACGTGCCA 498
95

Isolat bakteri EKK 13


>ref|NR_028642.1| Paraliobacillus ryukyuensis strain O15-7 16S ribosomal
RNA, partial
sequence
dbj|AB087828.1| Paraliobacillus ryukyuensis gene for 16S rRNA
Length=1500

Score = 640 bits (346), Expect = 0.0


Identities = 442/486 (91%), Gaps = 15/486 (3%)
Strand=Plus/Plus

Query 6 GTG-CTAATACATGCACGTCGTGCGC-GGTAGCAGGCA-G-ATCCTCTTC-GGAGGTGAC 60
||| |||||||||||| |||| |||| || |||| | | | || | |||| ||| | ||
Sbjct 11 GTGCCTAATACATGCAAGTCGAGCGCGGGAAGCAAG-ATGAAT-C-CTTCGGGA-G-GAT 65

Query 61 GCCTGTGGAACGAGCGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGCAACCTGCCTGTAAGACTGG 120


| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 66 TCTTGTGGAACGAGCGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGCAACCTGCCTGTAAGACTGG 125

Query 121 GATAACCCCGGGAAACCGGGGCTAATACCGGATAATACTTTTCGTT-GCAT-AACGAGAA 178


|||||| |||||||||||| ||||||||||||||| || || ||| |||| ||| | |
Sbjct 126 GATAACTCCGGGAAACCGGAGCTAATACCGGATAAAAC-ATTGGTTCGCATGAACCA-AT 183

Query 179 GTTGAAAGGCGGCTTTTAGCTGTCACTTACAGATGGGCCCGCGGCGCATTAGCTAGTTGG 238


| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 184 GATGAAAGGCGGCTTTTAGCTGTCACTTACAGATGGGCCCGCGGCGCATTAGCTAGTTGG 243

Query 239 TAAGGTAACGGCTTACCAAGGCGACGATGCGTAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACA 298


| ||||||||||| |||||||| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 244 TGAGGTAACGGCTCACCAAGGCAACGATGCGTAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACA 303

Query 299 CTGGGACTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAAT 358


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 304 CTGGGACTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAAT 363

Query 359 GGACGAAAGTCTGACGGAGCAACGCCGCGTGAGTGATGAAGGTTTTCGGATCGTAAAACT 418


|||||||||||||||||||||||||||||||| ||||||||||||||||||||||| |
Sbjct 364 GGACGAAAGTCTGACGGAGCAACGCCGCGTGAACGATGAAGGTTTTCGGATCGTAAAGTT 423

Query 419 CTGTTGTCAGG-AAGAACAAGTGCCGTTCGAATAGGGCGGCACCTTGACGGTACCTGACC 477


||||||| ||| |||||||||| ||||||||| ||||||| ||||||||||||||| ||
Sbjct 424 CTGTTGTTAGGGAAGAACAAGTACCGTTCGAACAGGGCGGTACCTTGACGGTACCTAACG 483

Query 478 AGAAAG 483


|| |||
Sbjct 484 AGGAAG 489
96

Isolat bakteri SFK 10


>ref|NR_024691.1| Bacillus flexus strain IFO15715 16S ribosomal RNA, partial
sequence
dbj|AB021185.1| Bacillus flexus gene for 16S ribosomal RNA
Length=1529

Score = 856 bits (463), Expect = 0.0


Identities = 472/476 (99%), Gaps = 2/476 (0%)
Strand=Plus/Plus

Query 4 GGCGTGCCTAATA-ATGC-AGTCGAGCGAGCTGATTAGAAGCTTGCTTCTATGACGTTAG 61
||||||||||||| |||| |||||||||| ||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 27 GGCGTGCCTAATACATGCAAGTCGAGCGAACTGATTAGAAGCTTGCTTCTATGACGTTAG 86

Query 62 CGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGCAACCTGCCTGTAAGACTGGGATAACTCCGGGAA 121


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 87 CGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGCAACCTGCCTGTAAGACTGGGATAACTCCGGGAA 146

Query 122 ACCGGAGCTAATACCGGATAACATTTTCTCTTGCATAAGAGAAAATTGAAAGATGGTTTC 181


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 147 ACCGGAGCTAATACCGGATAACATTTTCTCTTGCATAAGAGAAAATTGAAAGATGGTTTC 206

Query 182 GGCTATCACTTACAGATGGGCCCGCGGTGCATTAGCTAGTTGGTGAGGTAACGGCTCACC 241


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 207 GGCTATCACTTACAGATGGGCCCGCGGTGCATTAGCTAGTTGGTGAGGTAACGGCTCACC 266

Query 242 AAGGCAACGATGCATAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACACTGGGACTGAGACACGG 301


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 267 AAGGCAACGATGCATAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACACTGGGACTGAGACACGG 326

Query 302 CCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGACGAAAGTCTGACGG 361


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 327 CCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGACGAAAGTCTGACGG 386

Query 362 AGCAACGCCGCGTGAGTGATGAACGCTTTCGGGTCGTAAAACTCTGTTGTTAGGGAAGAA 421


||||||||||||||||||||||| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 387 AGCAACGCCGCGTGAGTGATGAAGGCTTTCGGGTCGTAAAACTCTGTTGTTAGGGAAGAA 446

Query 422 CAAGTACAAGAGTAACTGCTTGTACCTTGACGGTACCTAACCAGAAAGCCACGGCT 477


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 447 CAAGTACAAGAGTAACTGCTTGTACCTTGACGGTACCTAACCAGAAAGCCACGGCT 502
97

Isolat bakteri SKK 12


>ref|NR_025557.1| Bacillus aeolius strain 4-1 16S ribosomal RNA, partial
sequence
emb|AJ504797.1| Bacillus eolicus 16S rRNA gene, type strain 4-1T
Length=1403

Score = 632 bits (342), Expect = 6e-179


Identities = 439/482 (92%), Gaps = 21/482 (4%)
Strand=Plus/Plus

Query 18 ATA-ATGCAAGTCGAGCGAACTGAT-TAGAGCTTGCTTCT-ATGACGTTAGCGGCGGACG 74
||| ||||||||||||||||| ||| ||||||||| ||| ||||||||||||||||||
Sbjct 15 ATACATGCAAGTCGAGCGAACGGATGGAGAGCTTGC-TCTCCTGACGTTAGCGGCGGACG 73

Query 75 GGTGAGTAACACGTGGGCAACCTGCCTGTAAGACTGGGATAACTCCGGGAAACCGGAGCT 134


|||||||||||||||||||||||||||||||||| ||||||||| |||||||||||||||
Sbjct 74 GGTGAGTAACACGTGGGCAACCTGCCTGTAAGACCGGGATAACTTCGGGAAACCGGAGCT 133

Query 135 AATACCGGATAACAT--TTTCTCTTGCATAAGAGAAA-ATTGAAAGATGGTTTCGGCTAT 191


|||||||||||| | |||| || |||| || |||| ||||||| || ||||||| |
Sbjct 134 AATACCGGATAA-TTCCTTTC-CTCGCATGAG-GAAAGGTTGAAAGGCGGCTTCGGCTGT 190

Query 192 CACTTACAGATGGGCCCGCGGTGCATTAGCTAGTTGGTGAGGTAACGGCTCACCAAGGCA 251


||||||||||||||||||||| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 191 CACTTACAGATGGGCCCGCGGCGCATTAGCTAGTTGGTGAGGTAACGGCTCACCAAGGCG 250

Query 252 ACGATGCATAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACACTGGGACTGAGACACGGCCCAGA 311


||||||| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 251 ACGATGCGTAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACACTGGGACTGAGACACGGCCCAGA 310

Query 312 CTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGACGAAAGTCTGACGGAGCAAC 371


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 311 CTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGACGAAAGTCTGACGGAGCAAC 370

Query 372 GCCGCGTGAGTGATGAAAGG-CTTTCGGGTCGTAAAACTCTGTTGTTAGGGAAGAACAAG 430


|||||||||| |||||| || ||| ||| ||||||| |||||||||||||||||||||||
Sbjct 371 GCCGCGTGAGCGATGAA-GGTCTT-CGGATCGTAAAGCTCTGTTGTTAGGGAAGAACAAG 428

Query 431 TACAAGA--GTAACT-G-CTTGTACCTTGACGGTACCTAACCAGAAAGCCACGGCTAACT 486


||| | | || | | | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 429 TACC-GTTCG-AA-TAGGCG-GTACCTTGACGGTACCTAACCAGAAAGCCACGGCTAACT 484

Query 487 AC 488


||
Sbjct 485 AC 486
98

Isolat bakteri TFH 11


>ref|NR_025459.1| Halobacillus trueperi strain DSM 10404 16S ribosomal RNA,
complete
sequence
emb|AJ310149.1| Halobacillus trueperi 16S rRNA gene, strain DSM 10404T
Length=1536

Score = 281 bits (152), Expect = 3e-73


Identities = 275/330 (84%), Gaps = 25/330 (7%)
Strand=Plus/Plus

Query 167 AAGCTGAAAGAGT-GC-TCCGGCTATCACTTACAGATGGGCCCGCGGCG-A-CGGCTGGG 222


||| ||||||| | || || |||||||||||||||||||||||||||| | ||| |
Sbjct 198 AAGTTGAAAGA-TGGCTTCTAGCTATCACTTACAGATGGGCCCGCGGCGCATTAGCT-AG 255

Query 223 TTTGGTGAGGTAACGGCTCAAC-AGGCCACGATGCGTACCCCACCTGAGAGGGTGATCCG 281


||||||||||||||||||| | |||| |||||||||| || ||||||||||||||| ||
Sbjct 256 -TTGGTGAGGTAACGGCTCACCAAGGCGACGATGCGTAGCCGACCTGAGAGGGTGAT-CG 313

Query 282 TTC-CACTGGGACTGA-ACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCTGTAGGGAATCTTC 339


| |||||||||||| |||||||||| |||||||||||||||||| |||||||||||||
Sbjct 314 GCCACACTGGGACTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTC 373

Query 340 CGCAATGGACCGAAAGTCTGACGGACCA-CGCCGCGTTGATTGATGAAAGTTTTCGGATC 398


|||||||||| |||||||||||||| || |||||||| || |||||| || ||||||||
Sbjct 374 CGCAATGGAC-GAAAGTCTGACGGAGCAACGCCGCGT-GAACGATGAAGGTCTTCGGATC 431

Query 399 GTAAAACTTCTGTTGTCAGGGAACACCA-GTTCCC-G-GAATACCTGCCCGGGTACCTTG 455


||||| ||||||||| |||||| | || || || | ||||| || || |||||||
Sbjct 432 GTAAAG-TTCTGTTGTTAGGGAAGAACAAGTACCGTGCGAATAGA-GC--GG-TACCTTG 486

Query 456 ACCGGTACCTGACC-G-AACCCCCGGCTaa 483


|| ||||||| || | || ||||||||||
Sbjct 487 AC-GGTACCTAACGAGGAAGCCCCGGCTAA 515
99

Isolat bakteri TKK 2.3


>ref|NR_025108.1| Salinicoccus alkaliphilus strain T8 16S ribosomal RNA,
partial
sequence
gb|AF275710.1| Unidentified Hailaer soda lake bacterium T8 16S ribosomal
RNA
gene, partial sequence
Length=1459
Score = 699 bits (378), Expect = 0.0
Identities = 432/457 (95%), Gaps = 8/457 (1%)
Strand=Plus/Plus

Query 69 GGAGCTTGCTCCTGTGACG-CGAGTGGCGGACGGGTGAGTAACACGTAGGCAACCTGCCC 127


|||||||||||| ||| || |||| |||||||||||||||||||||| ||||||||||||
Sbjct 30 GGAGCTTGCTCCCGTGGCGACGAGCGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGCAACCTGCCC 89

Query 128 ATCAGACTGGGATAACCACGGGAAACCGTGGCTAATACCGGATAACCCTTTTCCACACAG 187


||||||| ||||||||| ||||||||||||||||||||||||||| |||||||||| |||
Sbjct 90 ATCAGACGGGGATAACCGCGGGAAACCGTGGCTAATACCGGATAATCCTTTTCCACGCAG 149

Query 188 GTGGGAAAGTTGAAAGGCGGTCTTTTGGCTGTCACTGATGGATGGGCCTGCGGCGCATTA 247


|||||||||||||||||||| | || ||||| | ||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 150 GTGGGAAAGTTGAAAGGCGG-C-TTCGGCTGCCGCTGATGGATGGGCCTGCGGCGCATTA 207

Query 248 GCTGGTTGGTGGGGTAACGGCCCACCAAGGCGACGATGCGTAGCCGACCTGAGAGGGTGA 307


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 208 GCTGGTTGGTGGGGTAACGGCCCACCAAGGCGACGATGCGTAGCCGACCTGAGAGGGTGA 267

Query 308 TCGGCCACACTGGG-ACTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAAT 366


|||||||||||||| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 268 TCGGCCACACTGGGGACTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAAT 327

Query 367 CTTCCGCAATGGACGAAAGTCTGACGGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGGTTTCGGC 426


||||||||||||||| |||||||||||||||||||||||||||||| |||||||||||||
Sbjct 328 CTTCCGCAATGGACGCAAGTCTGACGGAGCAACGCCGCGTGAGTGACGAAGGGTTTCGGC 387

Query 427 TCGTAAAACTCTGTTGTCAGGGAAGAACG-CCGACGGGAGTAACTGCCCGTCGG-GTGAC 484


||||||||||||||||||||||||||||| || || |||||||||| || || |||||
Sbjct 388 TCGTAAAACTCTGTTGTCAGGGAAGAACGTCCC-CGTGAGTAACTGCACGG-GGAGTGAC 445

Query 485 GGTACCTGACCAGAAAGCCACGGCTAACTACGTGCCA 521


|||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 446 GGTACCTGACCAGAAAGCCACGGCTAACTACGTGCCA 482
100

Isolat bakteri SFK 3


>ref|NR_028709.1| Bacillus siralis strain 171544 16S ribosomal RNA, partial
sequence
Length=1431

Score = 745 bits (403), Expect = 0.0


Identities = 484/521 (93%), Gaps = 14/521 (2%)
Strand=Plus/Plus

Query 28 AAGCTTGC-TTCTATGACG-TT-AGCGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGCAACCTGCC 84
|||||||| |||| || | || |||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 45 AAGCTTGCTTTCT-TGTTGCTTGAGCGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGCAACCTGCC 103

Query 85 TGTAAGACTGGGATAACTCCGGGAAACCGGAGCTAATACCGGATAACATTTTCTCTTG-- 142


| |||||||||||||||| ||||||||||||||||||||||||| | | | || |||
Sbjct 104 TATAAGACTGGGATAACTTCGGGAAACCGGAGCTAATACCGGAT-A-A--TGCTTTTGAA 159

Query 143 CATAAG--AGAAAATTGAAAGATGGTTTCGGCTATCACTTACAGATGGGCCCGCGGTGCA 200


|| | | |||| ||||||||||||||||||||||||| |||||||||||||| |||
Sbjct 160 CACATGTTCGAAAGCGGAAAGATGGTTTCGGCTATCACTTATAGATGGGCCCGCGGCGCA 219

Query 201 TTAGCTAGTTGGTGAGGTAACGGCTCACCAAGGCAACGATGCATAGCCGACCTGAGAGGG 260


|||||||||||||||||||||||||||||||||| ||||||| |||||||||||||||||
Sbjct 220 TTAGCTAGTTGGTGAGGTAACGGCTCACCAAGGCGACGATGCGTAGCCGACCTGAGAGGG 279

Query 261 TGATCGGCCACACTGGGACTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGA 320


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 280 TGATCGGCCACACTGGGACTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGA 339

Query 321 ATCTTCCGCAATGGACGAAAGTCTGACGGAGCAACGCCGCGTGAGTGATGAAGGCTTTCG 380


|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| |||||
Sbjct 340 ATCTTCCGCAATGGACGAAAGTCTGACGGAGCAACGCCGCGTGAGTGATGAAGGTTTTCG 399

Query 381 GGTCGTAAAACTCTGTTGTTAGGGAAGAACAAGTACAAGAGTAACTGCTTGTACCTTGAC 440


| |||||||||||||||||||||||||||||||||| |||||||||| ||||||||||
Sbjct 400 GATCGTAAAACTCTGTTGTTAGGGAAGAACAAGTACCGGAGTAACTGCCGGTACCTTGAC 459

Query 441 GGTACCTAACCAGAAAGCCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTG 500


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 460 GGTACCTAACCAGAAAGCCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTG 519

Query 501 GCAAGCGTTATCCGGAATTATTGGGCGTAA-GCGC-CGCAG 539


||||||||| |||||||||||||||||||| |||| |||||
Sbjct 520 GCAAGCGTTGTCCGGAATTATTGGGCGTAAAGCGCGCGCAG 560
101

Isolat bakteri SKK 2


>ref|NR_025659.1| Lentibacillus salicampi strain SF-20 16S ribosomal RNA,
partial
sequence
gb|AY057394.1| Lentibacillus salicampi 16S ribosomal RNA gene, partial
sequence
Length=1521

Score = 597 bits (323), Expect = 2e-168


Identities = 455/516 (89%), Gaps = 21/516 (4%)
Strand=Plus/Plus

Query 27 GCGGCGTGCCTAAT-CATGCAAGTCGAGCGCGGGACGCAGGCGATC-CTCTTCGGAG-GT 83
|||||||||||||| |||||||||||||||||||| |||| | | | | |||||| | ||
Sbjct 12 GCGGCGTGCCTAATACATGCAAGTCGAGCGCGGGAAGCAGACAAACGCCCTTCGGGGCGT 71

Query 84 GACGCCTGTGGAACGAGCGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGCAACCTGCCTGTAAGAC 143


| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| ||||| ||||
Sbjct 72 G-CGCCTGTGGAACGAGCGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGCAACCTACCTGTNAGAC 130

Query 144 TGGGATAACCCCG-GGACAC-CGGGGCTAATACCGGATAATACTTTTCGTTGCATAAC-G 200


||||||||| | | ||| || || | |||||||||||||| |||| | | ||||| | |
Sbjct 131 TGGGATAACTC-GTGGAAACGCGAG-CTAATACCGGATAACACTTCTGGCTGCATGGCCG 188

Query 201 AGAAGTTGAAAGGCGGCTTTTAGCTGT-CACTTACAGATGGGCCCGCGGCGCATTAGCTA 259


|| ||||||||||||| | ||||| |||| |||||||||||||||||||||||| ||
Sbjct 189 GGA-GTTGAAAGGCGGCATA-AGCTGCGCACTCACAGATGGGCCCGCGGCGCATTAGTTA 246

Query 260 GTTGGTAAGGTACG-GCTTACCAAGGCGTCGTTGCGTAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGG 318


|||||| ||||| | ||| |||||||| || ||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 247 GTTGGTGAGGTAAGAGCTCACCAAGGCCACGATGCGTAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGG 306

Query 319 CCACACTGGGACTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAATAGGGAAATCTTC 378


|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| ||||||| || ||
Sbjct 307 CCACACTGGGACTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAA-TCATC 365

Query 379 CCGCAATGGACGAAAGTCTGACGGA-CACCGCCGCGTGAGTGATGAAAGGTTTTCAGATC 437


| |||||||||||||||||||||| || |||||||||||||||||| | ||||| ||||
Sbjct 366 C-GCAATGGACGAAAGTCTGACGGTGCAACGCCGCGTGAGTGATGAA-GATTTTCGGATC 423

Query 438 GTAAAACTCTGTTGTCAGGGAA-AATACAGTGCCGTTCGAATAAGG-CGGCACCTTGACG 495


|||||||||||||||||||||| || || |||| ||||||||| || | | |||||||||
Sbjct 424 GTAAAACTCTGTTGTCAGGGAAGAACAC-GTGCTGTTCGAATA-GGACAGTACCTTGACG 481

Query 496 GTACCTGACCAAAAAGCCCCGGCTAACTACGTGCCA 531


||||||||||| ||||||||||||||||||||||||
Sbjct 482 GTACCTGACCAGAAAGCCCCGGCTAACTACGTGCCA 517
102

Isolat bakteri EKH 13


>ref|NR_024696.1| Bacillus vallismortis strain DSM11031 16S ribosomal RNA,
partial
sequence
dbj|AB021198.1| Bacillus vallismortis gene for 16S ribosomal RNA
Length=1530

Score = 652 bits (353), Expect = 0.0


Identities = 430/466 (93%), Gaps = 10/466 (2%)
Strand=Plus/Plus

Query 4 ATGCAAGTCGAGC-GATGGATTAGAGCTTGCTCTTATGAAGTTAGCGGCGGACGGGTGAG 62
||||||||||||| || ||| |||||||||| ||| ||||||||||||||||||||
Sbjct 43 ATGCAAGTCGAGCGGACAGATGGGAGCTTGCTC-CCTGATGTTAGCGGCGGACGGGTGAG 101

Query 63 TAACACGTGGGTAACCTGCCCATAAGACTGGGATAACTCCGGGAAACCGGGGCTAATACC 122


|||||||||||||||||||| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 102 TAACACGTGGGTAACCTGCCTGTAAGACTGGGATAACTCCGGGAAACCGGGGCTAATACC 161

Query 123 GGATAACAT-TTTGAACCGCATGGTTCGAAA-TTGAAAGGCGGCTTCGGCTGTCACTTAT 180


|||| | | ||||||||||||||||| ||| | ||||| |||||||||| ||||||
Sbjct 162 GGAT-GCTTGTTTGAACCGCATGGTTC-AAACATAAAAGGTGGCTTCGGCTACCACTTAC 219

Query 181 GGATGGACCCGCGTCGCATTAGCTAGTTGGTGAGGTAACGGCTCACCAAGGCAACGATGC 240


|||||||||||| |||||||||||||||||||||||| |||||||||||||||||||||
Sbjct 220 AGATGGACCCGCGGCGCATTAGCTAGTTGGTGAGGTAATGGCTCACCAAGGCAACGATGC 279

Query 241 GTAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACACTGGGACTGAGACACGGCCCAGACTCCTAC 300


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 280 GTAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACACTGGGACTGAGACACGGCCCAGACTCCTAC 339

Query 301 GGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGACGAAAGTCTGACGGAGCAACGCCGCGT 360


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 340 GGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGACGAAAGTCTGACGGAGCAACGCCGCGT 399

Query 361 GAGTGATGAAGGCTTTCGGGTCGTAAAACTCTGTTGTTAGGGAAGAACAAGTGCTAGTTG 420


|||||||||||| |||||| ||||||| |||||||||||||||||||||||||| |||
Sbjct 400 GAGTGATGAAGGTTTTCGGATCGTAAAGCTCTGTTGTTAGGGAAGAACAAGTGCC-GTTC 458

Query 421 AA-TAAG-CTGGCACCTTGACGGTACCTAACCAGAAAGCCACGGCT 464


|| || | | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 459 AAATAGGGC-GGCACCTTGACGGTACCTAACCAGAAAGCCACGGCT 503
103

Isolat bakteri EKK 8


>ref|NR_025192.1| Amphibacillus tropicus strain Z-7792 16S ribosomal RNA,
partial
sequence
gb|AF418602.1|AF418602 Amphibacillus tropicus 16S ribosomal RNA gene,
partial sequence
Length=1426

Score = 654 bits (354), Expect = 0.0


Identities = 455/500 (91%), Gaps = 21/500 (4%)
Strand=Plus/Plus

Query 20 CTAATACATGCAAGTCGAGCGCGGG-AGC-AAGCAGAT-CTCCTTCGGGAGTGACGCTTG 76
||||||||||||||||||||||||| ||| || | ||| | |||||||| |||||| | |
Sbjct 1 CTAATACATGCAAGTCGAGCGCGGGAAGCTAA-CTGATGC-CCTTCGGG-GTGACGATAG 57

Query 77 TGGAACGAGCGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGCAACCTACCTGTAAGACTGGGATAA 136


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| ||||||||||||||
Sbjct 58 TGGAACGAGCGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGCAACCTACCTATAAGACTGGGATAA 117

Query 137 CTCCGGGAAACCGGGGCTAATACCGGATGAAAC--AAAGCGTCGCATG-A-CGCAATGTT 192


|||||||||||||||||||||||||||| ||| | ||||||| | | || ||
Sbjct 118 CTCCGGGAAACCGGGGCTAATACCGGAT--AACTTTTTCCTTCGCATGAAGGGGAA--TT 173

Query 193 AAAAGGCGGCATATGCTGTCACTTACAGATGGGCCCGCGGCGCATTAGCTAGTTGGTGAG 252


|||||||||||| | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 174 AAAAGGCGGCAT-TTCTGTCACTTACAGATGGGCCCGCGGCGCATTAGCTAGTTGGTGAG 232

Query 253 GTAAAGGCTCACCAAGGCAACGATGCGTAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACACTGG 312


|||| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 233 GTAACGGCTCACCAAGGCAACGATGCGTAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACACTGG 292

Query 313 GACTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGAC 372


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 293 GACTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGAC 352

Query 373 GAAAGTCTGACGGAGCAACGCCGCGTGAGTGATGAAGGTTTTCGGATCGTAAAACTCTGT 432


|||||||||||||||||||||||||||| || |||||||||||||||||||| |||||
Sbjct 353 GAAAGTCTGACGGAGCAACGCCGCGTGAACGAAGAAGGTTTTCGGATCGTAAAGTTCTGT 412

Query 433 TGTTAGGGAAGAACAAGTGCCATTCGAATAGGTTGGCA--CCTTGACGGTACCTAACC-A 489


|||||||||||||||||| | ||||||||| | || ||||||||||||||||| |
Sbjct 413 TGTTAGGGAAGAACAAGTATGAGTCGAATAGGCT--CATGCCTTGACGGTACCTAACATA 470

Query 490 GAAAGCCCCGGCTAACTACG 509


||| ||||||||||||||||
Sbjct 471 GAA-GCCCCGGCTAACTACG 489
104

Isolat bakteri TFH 12


>ref|NR_025511.1| Bacillus luciferensis strain LMG 18422 16S ribosomal RNA,
partial
sequence
emb|AJ419629.1| Bacillus luciferensis partial 16S rRNA gene, strain LMG
18422
Length=1502

Score = 701 bits (379), Expect = 0.0


Identities = 468/511 (92%), Gaps = 8/511 (1%)
Strand=Plus/Plus

Query 4 AACACTGGGCGGCGTGCCTAAAACATGCCAGTCGAGC-GAATGGATTAGAGCTTGCTCTT 62
||| || |||||||||||||| |||||| |||||||| || | ||| ||||||||||
Sbjct 5 AACGCT-GGCGGCGTGCCTAATACATGCAAGTCGAGCGGACT-AATTGGAGCTTGCTCCA 62

Query 63 ATGAAGTTAGCGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGTAACCTGCCCATAAGACTGGGATA 122


|| |||||||||||||||||||||||||||||||| ||||| || ||||||||||||||
Sbjct 63 AT-TAGTTAGCGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGCAACCTACCTATAAGACTGGGATA 121

Query 123 ACTCCGGGAAACCGGGGCTAATACCGGATAACA-TTTTGAACCGCATGGTT-CGAAATTG 180


||| ||||||||||| ||||||||||||| ||| ||| | | | ||| | |||
Sbjct 122 ACTTCGGGAAACCGGAGCTAATACCGGATGACAYAAAGGAA-CTCCT-GTTCCTTTRTTG 179

Query 181 AAAGGCGGCTTCGGCTGTCACTTATGGATGGACCCGCGTCGCATTAGCTAGTTGGTGAGG 240


|||| |||||||||| |||||||| ||||| |||||| |||||||||||||||||||||
Sbjct 180 AAAGATGGCTTCGGCTATCACTTATAGATGGGCCCGCGGCGCATTAGCTAGTTGGTGAGG 239

Query 241 TAACGGCTCACCAAGGCAACGATGCGTAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACACTGGG 300


||||||||||||||||| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 240 TAACGGCTCACCAAGGCGACGATGCGTAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACACTGGG 299

Query 301 ACTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGACG 360


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 300 ACTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGACG 359

Query 361 AAAGTCTGACGGAGCAACGCCGCGTGAGTGATGAAGGCTTTCGGGTCGTAAAACTCTGTT 420


|||||||||||||||||||||||||||| ||||||||| ||||||||||||| |||||||
Sbjct 360 AAAGTCTGACGGAGCAACGCCGCGTGAGCGATGAAGGCCTTCGGGTCGTAAAGCTCTGTT 419

Query 421 GTTAGGGAAGAACAAGTGCTAGTTGAATAAGCTGGCACCTTGACGGTACCTAACCAGAAA 480


||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 420 GTTAGGGAAGAACAAGTGCTAGTTGAATAAGCTGGCACCTTGACGGTACCTAACCAGAAA 479

Query 481 GCCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGG 511


|||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 480 GCCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGG 510
105

Isolat bakteri TKH 6


>ref|NR_025520.1| Staphylococcus sciuri subsp. sciuri strain DSM 20345 16S
ribosomal
RNA, complete sequence
emb|AJ421446.1| Staphylococcus sciuri subsp. sciuri 16S rRNA gene, strain
DSM
20345T
Length=1528

Score = 697 bits (377), Expect = 0.0


Identities = 471/514 (92%), Gaps = 15/514 (2%)
Strand=Plus/Plus

Query 4 TGGCGGCGTGCCTAAT-CATGCAAGTCGAGCGAATGGATTAG-AGCTTGC-TCTTATGAA 60
|||||||||||||||| ||||||||||||||||| ||| || ||||||| || | |||
Sbjct 10 TGGCGGCGTGCCTAATACATGCAAGTCGAGCGAACAGATGAGAAGCTTGCTTC-TCTGAT 68

Query 61 GTTAGCGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGTAACCTGCCCATAAGACTGGGATAACTCC 120


||||||||||||||||||||||||||||||||||||| || |||||||||||||||||||
Sbjct 69 GTTAGCGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGTAACCTACCTATAAGACTGGGATAACTCC 128

Query 121 GGGAAACCGGGGCTAATACCGGATAACATTTTGAACCGCATGGTTCGAA-ATTGAAAGGC 179


|||||||||||||||||||||||||| ||||||||||||||||||| || | |||||| |
Sbjct 129 GGGAAACCGGGGCTAATACCGGATAATATTTTGAACCGCATGGTTC-AATAGTGAAAGAC 187

Query 180 GGCTTCGGCTGTCACTTATGGATGGACCCGCGTCGCATTAGCTAGTTGGTGAGGTAACGG 239


|| |||||||||||||||| |||||||||||| || |||||||||||||| |||||||||
Sbjct 188 GGTTTCGGCTGTCACTTATAGATGGACCCGCGCCGTATTAGCTAGTTGGTAAGGTAACGG 247

Query 240 CTCACCAAGGCAACGATGCGTAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACACTGGGACTGAG 299


|| |||||||| ||||| ||||||||||||||||||||||||||||||||||| ||||||
Sbjct 248 CTTACCAAGGCGACGATACGTAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACACTGGAACTGAG 307

Query 300 ACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGACGAAAGTC 359


|||||| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| |||||| |
Sbjct 308 ACACGGTCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGGCGAAAGCC 367

Query 360 TGACGGAGCAACGCCGCGTGAGTGATGAAGGCT-TTCGGGTCGTAAAACTCTGTTGTTAG 418


||||||||||||||||||||||||||||||| | ||||| ||||||||||||||||||||
Sbjct 368 TGACGGAGCAACGCCGCGTGAGTGATGAAGG-TCTTCGGATCGTAAAACTCTGTTGTTAG 426

Query 419 GGAAGAACAAGTGCTAGTTGAATAAGCTG-GC-A-CCTTGACGGTACCTAACCAGAAAGC 475


|||||||||| | | ||| | ||| ||| | | ||||||||||||||||||||||||
Sbjct 427 GGAAGAACAAAT--TTGTT-AGTAA-CTGAACAAGTCTTGACGGTACCTAACCAGAAAGC 482

Query 476 CACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATA 509


||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sbjct 483 CACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATA 516

You might also like