You are on page 1of 12

Kolokium Sebranmas 2010

UPAYA PEMUKIMAN KEMBALI MASYARAKAT DI KAWASAN


BANTARAN KALI WONOKROMO SURABAYA

Nanang Rianto1, R. Pamekas2


1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Budaya dan Peran Masyarakat
Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pekerjaan Umum
Jln. Sapta Taruna Raya No. 26, Kompleks PU Ps. Jum’at, Jakarta
na2nk_coy@yahoo.com
2
Peneliti bidang Teknologi dan Manajemen Lingkungan, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Permukiman, Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum – Jalan Panyaungan, Cileunyi wetan,
Kabupaten Bandung 40393 PO Box 812 Bandung 40008
rpamekas@yahoo.com

ABSTRACT

The program implementation of emptying river bed of Kali Wonokromo Surabaya from
shelter and business building is always delayed. This delay is due to the agreement of
community to accept the options of building relocations offered by government are
changing very often. Meanwhile, the function of Kali Wonokromo river bed as a flood
control area become more and more threatened. Flood that occur at January 2009 and
again after 3 (three) months lather had flooded almost all settlement area at east and
northern part Surabaya City. This fact is awaking up the City Government for not to
postpone the implementation program to emptying the kali Wonokromo river bed even
it will lead an important impact. The research to evaluate this impact is carried out
using the qualitative approach and descriptive method. Research concluded that
although it has been intensively socialized, people still refuse the eviction. Factors
affecting these condensed include (i) socio-political factors brought about by the
campaigns of legislative candidates, (ii) loss of livelihood concerns factor / economy
where relocation is not strategic (iii) legal factors, because the community felt justified
to live in the river bed. Evictions also cause social and economic impacts for the
community. The most visible impact is the cessation of the income source for people's
daily livelihoods teachers. The place has not been prepared to accommodate the
relocation of economic activities of the former inhabitants of the river bed.

Keywords: River bed, Relocation, Building, Impact, Flood

ABSTRAK

Pelaksanaan program pengosongan bantaran kali Wonokromo Surabaya dari


bangunan tempat tinggal dan tempat usaha selalu tertunda. Penundaan tersebut
disebabkan oleh sering berubahnya kesepakatan warga terhadap pilihan pilihan
relokasi bangunan yang ditawarkan pemerintah kota. Sementara itu, fungsi bantaran
sungai kali wonokromo sebagai kawasan pengendali banjir semakin terancam. Banjir
yang terjadi pada awal Januari 2009 dan terulang kembali 3 (tiga) bulan kemudian,
telah merendam hampir seluruh kawasan permukiman di bagian utara dan timur kota
Surabaya. Fakta tersebut menyadarkan pemerintah kota untuk tidak menunda lagi
pelaksanaan program pengosongan bantaran kali Wonokromo tersebut meskipun akan
menimbulkan dampak penting. Penelitian awal untuk menilai dampak tersebut
dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan metode deskriptif. Penelitian
menyimpulkan bahwa walaupun telah disosialisasikan secara intens, masyarakat tetap
menolak penggusuran. Faktor-faktor yang kental memengaruhi hal tersebut antara lain
adalah (i) faktor sosial-politik yang ditimbulkan oleh kampanye para calon anggota
legislatif, (ii) faktor kekhawatiran hilangnya mata pencarian/ekonomi tempat relokasi

Nanang Rianto 1
Kolokium Sebranmas 2010

yang tidak strategis (iii) faktor legal, karena merasa sah tinggal di bantaran kali.
Penggusuran juga menimbulkan dampak sosial dan ekonomi bagi masyarakat.
dampak yang paling terlihat adalah berhentinya sumber penghasilan untuk
penghidupan sehari-hari masyarakat bantaran kali. Tempat relokasi yang disiapkan
belum mengakomodir kegiatan ekonomi masyarakat eks penghuni bantaran kali.

Kata kunci: Bantaran Kali, Relokasi, Bangunan, Dampak, Banjir

PENDAHULUAN
Kepadatan penduduk Surabaya sebagai ibukota propinsi Jawa Timur
meningkat pesat sejalan dengan laku urbanisasi yang bertambah setiap tahunnya.
Tingginya laju kepadatan penduduk yang tidak dibarengi oleh tersedianya sarana dan
prasarana di wilayah Surabaya, mengakibatkan terciptanya rumah hunian yang tidak
sesuai standar atau berbenturan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Pemerintah Kota.
Kawasan Kali Surabaya merupakan daerah yang padat hunian. Banyaknya
bangunan ilegal dan kurangnya kesadaran masyarakat akan peraturan-peraturan
penataan bangunan dan kawasan mengakibatkan kawasan tersebut menjadi kumuh.
Kondisi demikiian dapat ditemui pada setiap ruas Kali Surabaya. Dimulai dari Medokan
Semampir, Bratang, Gunungsari, Pulo Wonokromo, Jagir, Jambangan, Kebonsari,
Pagesangan, Kebraon, dan Karang Pilang.
Bangunan ilegal memang menjadi fenomena di sepanjang bantaran Kali
Surabaya. Tak kurang ribuan bangunan permanen dan semi permanen berdiri di
kanan dan kiri sungai. Dari tahun ke tahun tren yang terjadi adalah peningkatan jumlah
bangunan. Salah satu harian berskala nasional sempat menyebut terdapat 8000-an
bangunan di tahun 2006. Pengawasan pemerintah setempat yang longgar menambah
subur hunian di sepanjang bantaran kali. Masyarakat bahkan merasa bahwa lahan
yang ditempatinya adalah legal karena mereka mendapat KK (Kartu Keluarga) dan
KTP dari Kecamatan setempat. Selain itu, bangunan tempat tinggal dan tempat usaha
di kawasan bantaran ini telah mendapat fasilitas jaringan fasilitas dasar seperti listrik,
PDAM, dan telepon. Menurut Sosiolog Unair, seharusnya Pemkot Surabaya
melakukan pencegahan terhadap kemunculan bangunan bangunan ilegal tersebut
sejak dini. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah penggusuran bangunan dikemudian
hari (Kompas, 2009).
Penertiban dan pengosongan bangunan dari bantaran kali secara paksa sudah
berulang kali dilakukan oleh pemerintah kota Surabaya sejak tahun 2002. Penertiban
tersebut merupakan upaya menata kembali kawasan kumuh kota seraya
mengembalikan fungsi bantaran sungai sebagai kawasan pengendali banjir. Sampai
dengan tahun 2005, jumlah bangunan tempat tinggal dan warung yang telah
dikosongkan dari bantaran sungai telah mencapai lebih dari 820 unit (Kompas, 2009)
Namun upaya tersebut belum dapat dilakukan maksimal, karena tidak lama setelah
penertiban melalui pembongkaran paksa dilakukan, bangunan-bangunan ilegal berdiri
kembali di lokasi penertiban. Oleh karena itu, dilakukan perbaikan terhadap pola
penanganan masalah bantaran kali tersebut. Pemerintah kota menawarkan opsi opsi
kepada masyarakat pengguhi bangunan ilegal, dan melakukan pendampingan dalam
pelaksanaannya (Sebranmas, 2007). Namun, upaya tersebut belum dapat dilakukan
sesuai harapan. Penolakan penolakan masyarakat masih terjadi sehingga proses
pengosongan bangunan ilegal dari bantaran kali wonokromo mengalami penundaan
berulang ulang.
Meluapnya kali Wonokromo pada tahun 2009 yang merendam sebagian besar
kawasan permukiman di bagian utara dan timur kota Surabaya, memaksa pemerintah
kota untuk tidak menunda lagi pelaksanaan pengosongan bangunan dari bantaran
sungai. Menurut mantan Ketua Tim Perencanaan Penataan Kali Surabaya 2002,

Nanang Rianto 2
Kolokium Sebranmas 2010

pembongkaran paksa terhadap bangunan di bantaran kali Wonokromo, khususnya


ruas Jagir merupakan pilihan terakhir yang tidak bisa dihindari lagi. Pilihan tersebut
diperkirakan dapat menimbulkan dampak penting terhadap kondisi sosial ekonomi
masyarakat pemilik bangunan yang dibongkar paksa. Oleh karena itu, perlu dilakukan
kajian terhadap kemungkinan timbulnya dampak lanjutan pasca pembongkaran
tersebut.
Makalah ini membahas hasil kajian awal tentang dampak dampak yang timbul
sebelum, selama, dan setelah dilakukan pembongkaran bangunan secara paksa dari
bantaran kali Wonokromo Surabaya. Pembahasan dititikberatkan pada dinamika yang
terjadi di masyarakat ditilik dari aspek sosial dan ekonomi akibat pembongkaran paksa
di bantaran kali Wonokromo Surabaya. .

METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian adalah (i) lokasi penertiban di lokasi bantaran (stren) kali,
antara Pintu Air Jagir hingga Jembatan Panjang Jiwo (ii) lokasi permukiman kembali
eks warga di bangunan rusunawa Wonorejo (iii) lokasi permukiman kembali eks warga
di bangunan rusunawa Randu
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif agar dapat menggali dan memberi
rekomendasi berdasarkan temuan data di lapangan. Dengan menggali permasalahan
dari bawah dan berusaha mencari keterkaitan antar masalah satu dan yang lainnya
telah memandu membangun konsep perumusan penanganan bantaran kali pada masa
yang akan datang.
Penellitian diawali dengan merumuskan dan menetapkan ruang lingkup
batasan observasi lapangan yang akan dilaksanakan, kemudian dilanjutkan dengan
penelaahan pustaka. Data kondisi dan permasalahan yang digali mencakup persepsi,
motivasi, potensi integrasi pemilik kepentingan dan kesiapan sosial kelompok
komunitas bantaran kali dan pemangku kepentingan daerah yang dihubungkan dengan
pelaksanaan pengelolaan dan pengamanan warga Kota Surabaya dari ancaman banjir
karena menurunnya kapasitas sungai. Permasalahan yang muncul pada pasca
penertiban juga diamati.
Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan stakeholders, dan
pengamatan langsung ke lokasi pengosongan bangunan dari bantaran kali, serta
lokasi pilihan relokasi eks-warga bantaran kali yaitu lokasi bangunan rusunawa.
Wawancara dengan stakeholders dilakukan terhadap (i) unsur Pemerintah Propinsi
Jawa Timur yang terdiri dari Dinas PU Pengairan, Dinas Permukiman, PJT 1, (ii) unsur
Pemerintah Kota Surabaya yang terdiri dari Dinas Pengelolaan Tanah dan Bangunan,
dan Camat Wonokromo, (iii) Unsur Perguruan Tinggi khususnya Laboratorium
Arsitektur ITS.
Materi pokok wawancara adalah permasalahan yang timbul akibat pelaksanaan
pengosongan bangunan ilegal, terutama kondisi warga eks bantaran kali pasca
pembongkaran tempat tinggal dan tempat usahanya. Di samping itu kondisi dan
permasalahan pra penertiban termasuk upaya-upaya yang telah dilakukan juga
memengaruhi hasil penertiban. Oleh karena itu pengamatan dan pengumpulan data
dilakukan pada dua kondisi tersebut, baik pada sebelum maupun sesudah penertiban.
Data sekunder diperoleh melalui penelusuran buku laporan kegiatan instansi, media
cetak, dan browsing internet.
Kajian atau analisis diawali dengan identifikasi kinerja para pemangku
kepentingan dalam upaya penataan bantaran kali melalui penertiban tersebut di atas.
Selanjutnya dilakukan melalui identifikasi, kategorisasi, dan interpretasi guna
mengetahui sejauh mana peran stakeholders dalam mewujudkan integrasi para pelaku
kepentingan untuk keterpaduan dalam pelaksanaan penertiban, baik pada pada
sebelum maupun sesudah pelaksanannya.

Nanang Rianto 3
Kolokium Sebranmas 2010

HASIL DAN PEMBAHASAN

Opsi Pengosongan Bantaran Kali


Dalam rangka pelaksanaan program penataan kembali kawasan kumuh kota,
tim Perencanaan Penataan Kali Surabaya menawarkan 4 (empat) pilihan untuk
menata Kali Surabaya yaitu:
1. Relokasi bedol desa: memindahkan semua penghuni bangunan di sekitar
bantaran kali ke satu daerah tertentu (daerah Warugunung dan Sumur Welut);
2. Pemberian pesangon: para penghuni bantaran dipindahkan dengan diberikan
uang kerohiman;
3. Resettlement on site: pemindahan penghuni bantaran kali ke daerah sekitar yang
terdekat dengan lokasi bangunan mereka tinggal sebelumnya;
4. Relokasi ke rusun: seluruh penghuni bantaran kali dipindahkan ke rusun yang
disediakan pemerintah.
Keempat pilihan tersebut mendapat sambutan baik dari Pemkot Surabaya dan
Pemprov Jawa Timur, bahkan setelah disampaikan kepada Menteri PU, usulan
tersebut mendapat respon positif. Namun, dalam perjalanannya terdapat upaya upaya
provokasi dari pihak pihak yang tidak bertanggungjawab, dan menyebabkan
tertundanya pelaksanaan opsi tersebut. Pembiayaan menjadi krusial ketika penundaan
atas pelaksanaan opsi menjadi berkepanjangan. Akibatnya, hanya satu opsi saja yang
memungkinkan untuk dilaksanakan yaitu opsi relokasi ke rumah susun yang
disediakan pemerintah

Pendampingan Masyarakat
Kurangnya koordinasi antar sektor/instansi yang berkepentingan dengan
penataan kawasan bantaran kali, diduga menjadi penyebab tidak lancarnya proses
pelaksanaan ke empat opsi yang ditawarkan.
Atas dasar hal tersebut, pada tahun anggaran 2006-2007 dilakukan
pendampingan masyarakat melalui pemberian fasilitasi pelaksanaan koordinasi lintas
pemangku kepentingan (Sebranmas, 2007). Sinkronisasi program terpadu secara
berkelanjutan antar sektor didorong pelaksanaannya melalui proses pendampingan
masyarakat, dan menghasilkan kesepakatan program. Program program yang
disepakati dan status pelaksanaannya dirangkum pada tabel-1.

Tabel.1 Koordinasi Program dan kegiatan fisik di Bantaran Kali Surabaya

No. Instansi/sektor Rencana program Status Lokasi


1 Perum Jasa Tirta 1 Pembebasan lahan Terealisasi Pulowonokromo
Pengerukan kali Terealisasi s.d.a
Pavingisasi jalan inspeksi Terealisasi s.d.a
2 Bapekko Surabaya Bantuan tanaman untuk Belum s.d.a
taman bantaran kali
Penerangan jalan Belum s.d.a
Pengelolaan sampah Belum s.d.a
Fasos dan fasum lainnya Belum s.d.a
3 Dinas PU Permukiman Penataan kawasan Belum s.d.a
Propinsi Jawa Timur permukiman
Pembangunan drainase Belum s.d.a
Sarana pengelolaan sampah Belum s.d.a
4 Dinas PU Pengairan Pemasangan rambu-rambu Belum s.d.a
Propinsi Jawa Timur untuk sungai
Pengamanan sungai Belum s.d.a
Sumber: Sebranmas, 2007

Nanang Rianto 4
Kolokium Sebranmas 2010

Rona Awal Sebelum Penggosongan Bangunan


Bantaran kali Wonokromo terletak di lokasi yang strategis. Selain karena
berada di tepi jalan raya juga dekat dengan fasilitas umum seperti Terminal Joyoboyo,
Stasiun Kereta Api Wonokromo dan Kebun Binatang Surabaya. Tak heran kemudian
lokasi ini ramai dilewati banyak orang sehingga subur ditumbuhi berbagai jenis usaha.
Jalan Jagir Wonokromo sepanjang 3 km saat sebelum penggusuran dipadati oleh
bangunan permanen dan semi permanen. Secara lengkap dapat dilihat pada tabel 1
berikut:
Tabel 1 Jenis dan jumlah bangunan di Jagir Wonokromo sebelum penggusuran

No. Jenis Bangunan Jumlah


1. Kios pancing 18
2. Warung kopi 35
3. Rumah tangga 26
4. Jual kayu / besi 24
5. Kios isi ulang pulsa 2
6. Pedagang jamu 1
7. Rental PS 1
8. Musholah 2
9. Rosokan 4
10. Gudang bedak 1
11. Rumah potong ayam 2
JUMLAH 116
Sumber: paparan Rencana Operasi Penertiban Bangunan Liar di Jl. Jagir
Wonokromo Satpol PP Kota Surabaya
Kebanyakan bangunan yang ada selain berfungsi sebagai tempat tinggal juga
difungsikan untuk tempat usaha. Terdapat berbagai macam jenis usaha yang ada di
tempat ini seperti PKL yang menjual alat pancing, pedagang besi dan kayu, pedagang
rongsokan, hingga rumah potong ayam.
Perputaran roda ekonomi di kawasan ini pun cukup besar, klaim sebuah LSM
pendamping masyarakat di Jagir menyebutkan bahwa per tahunnya terjadi perputaran
uang hingga Rp. 2,6 Milyar (Kompas, 2009). Sebuah angka yang fantastis bila melihat
kondisi bangunan bangunan liar yang nampak seadanya. Hal tersebut nampaknya
diamini oleh pihak Kecamatan Wonokromo yang menuturkan bahwa sebagian besar
para pemilik bangunan liar di Jagir memiliki rumah di lokasi lain. Lebih lanjut masih
menurut pihak Kecamatan, bangunan usaha di Jagir sebagian besar kosong kala
malam hari karena pemiliknya kembali ke ‘rumah aslinya’.

Gambar 1 Bangunan semi permanen di Jagir sebelum ditertibkan

Nanang Rianto 5
Kolokium Sebranmas 2010

Dilihat dari komposisi penduduk, secara tertulis (lihat tabel 2) sekilas memang
didominasi oleh warga Surabaya. Namun berdasar hasil observasi dan hasil
wawancara dengan pemangku kepentingan terkait, dapat disimpulkan bahwa
kebanyakan penghuni bangunan sejatinya berasal dari luar Kota Surabaya seperti
Bangkalan dan Tuban. Jumlah KK sebanyak 350 orang dengan komposisi 250 orang
ber-KTP Surabaya dan 150 orang ber-KTP non Surabaya dan tidak memiliki KTP
Tabel 2 Komposisi penduduk Jagir menurut kepemilikan KTP

Komposisi penduduk Jagir Jumlah KK

KTP Surabaya 250

KTP non Surabaya 93

Tidak ber-KTP 57

Jumlah 350

Sumber: Kecamatan Wonokromo & Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah Kota Surabaya

Banjir tahun 2009 dan Persiapan Pengosongan Bangunan


Tanggal 31 Januari 2009 menjadi awal yang membuat urgensi penertiban di
Wonorejo meningkat. Saat itu, pemukiman warga RW 01 Kelurahan Wonorejo,
Kecamatan Rungkut tergenang banjir hampir setinggi pinggang orang dewasa.
Besarnya curah hujan membuat Pintu Air Gunung Sari dan Jagir telah melebihi
ambang volume maksimumnya. Saat banjir 31 Januari, debit air di Pintu air Jagir dan
Gunungsari mencapai 247 dan 288 m3/detik dari batasan normal di bawah 180
m3/detik (Kompas, 2009). Tanggul yang ada sudah tidak mampu menahan
peningkatan debit air Kali Wonokromo. Hal tersebut menyebabkan over topping
sehingga air meluap ke pemukiman sekitarnya dan merendam hampir seluruh
kawasan timur dan utara kota Surabaya (paparan Evaluasi Kejadian Banjir Kali
Surabaya Dan Kali Wonokromo 6 – 7 Maret 2009, Perum Jasa Tirta 1).
Awal Maret, banjir terulang di kawasan Jagir. Genangan air setinggi 30 cm
menggenangi Jalan Jagir selama 24 jam. Debit air di Pintu Air Jagir mencapai 387
m3/detik. Tanggul yang sudah tak mampu menahan limpasan air, membuat banyak
pihak khawatir akan terulangnya banjir. Peninggian tanggul dan normalisasi sungai
dengan mengurangi sedimentasi dipandang para pemangku kepentingan sebagai
salah satu cara atau solusi untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya banjir di
masa depan. Solusi tersebut mensyaratkan sempadan sungai yang bebas dari
pendudukan bangunan, agar proyek peninggian tanggul dan normalisasi sungai bisa
dilakukan. Bangunan di bantaran kali mengakibatkan daerah serapan air berkurang
sehingga sungai berkurang pula daya tampung airnya.
Pasca banjir, Pemkot Surabaya bergerak kembali untuk melakukan penertiban
bangunan liar (bangli) dan pedagang kaki lima (PKL) di sekitaran sempadan Kali
Wonokromo. Diawali dengan menyurati Camat Rungkut untuk memberikan teguran
kepada penghuni maupun pemilik bangli di bantaran kanan Kali Wonokromo Kelurahan
Wonorejo.
Gerak dari Pemkot seolah sejalan dengan keinginan masyarakat Wonorejo
yang mengirimkan petisi kepada Camat Rungkut untuk segera melakukan
pembongkaran bangli di Kali Wonokromo. Petisi warga selain dilandasi kekhawatiran
akan terulangnya banjir, juga dikarenakan kecurigaan terhadap beberapa bangli yang
ditenggarai digunakan sebagai tempat remang-remang.

Nanang Rianto 6
Kolokium Sebranmas 2010

Daerah sekitar Pintu Air Jagir juga tidak lepas dari target penertiban. Hal itu
dilakukan untuk normalisasi daerah serapan air dan peninggian tanggul. Sosialisasi
penertiban sudah dilakukan sejak lama melalui surat edaran Camat, pertemuan
dengan tokoh masyarakat. Bahkan 2 hari sebelum penertiban diadakan penyuluhan
oleh Kapolsek.
Isi sosialisasi selain penyuluhan bahwa lahan yang mereka tempati adalah
ilegal, juga berisi tentang relokasi ke rusunawa dan pembongkaran sendiri oleh
masyarakat.
Namun, nampaknya warga seakan tidak percaya Pemkot akan menggusur
mereka. Hal ini terlihat dari sedikitnya jumlah warga Jagir yang mendaftarkan diri untuk
menempati rusun. Sebagai gambaran jumlah warga yang mendaftar ke rusun pada
saat pra dan pasca pengosongan bangunan di bantaran sungai adalah sebagai
berikut:
o H-2 : 5 KK
o H-1 : 12 KK
o H : 50 KK
o H+2 : 170 KK
Formulir pendaftaran untuk pindah ke Rusunawa telah didistribusikan ke
kelurahan sejak 3 bulan sebelum pengosongan dilakukan. Namun hingga H -1 dari jadi
batas akhir pendaftaran hanya sedikit warga yang mendaftar. Pendaftaran warga yang
ingin pindah ke Rusunawa mulai ramai setelah proses pengosongan mulai dilakukan
(H +1 s/d H+7).
Kurangnya antusiasme warga untuk mengambil formulir pindah ke Rusunawa
pada saat sebelum penggusuran menyiratkan beberapa hal, pertama faktor sosial-
politik yakni ketidak-percayaan mereka pada peringatan penggusuran oleh pemerintah
kota karena yakin dibela oleh anggota DPR Kota Surabaya. Kedua adalah faktor
ekonomi, di mana kalaupun mereka percaya pada peringatan penggusuran, mereka
tetap tidak ingin dipindah ke Rusunawa karena tidak yakin di tempat baru akan sama
pendapatannya dengan saat di Jagir. Ketiga, faktor legal di mana masyarakat merasa
sah menduduki lahan tersebut karena merasa ‘diakui’ memiliki hal untuk tinggal di situ.
Tiga hal tersebut menurut penulis amat mempengaruhi dinamika yang terjadi saat
proses persiapan penggusuran.
Masyarakat penghuni bantaran kali Wonokromo di Jagir tidak percaya akan
digusur karena yakin akan dibela oleh anggota DPR Kota Surabaya. Populasi
penghuni bantaran kali (di seluruh bantaran kali di Surabaya) yang cukup potensial
didulang suaranya, dimanfaatkan oleh beberapa calon wakil rakyat di Kota Surabaya
untuk memilih mereka pada pemilihan anggota legislatif (rencana penggusuran di
kawasan Jagir berdekatan dengan pemilu legislatif 2009). Para calon anggota legislatif
tertentu yang masih menjabat menurut informasi yang diperoleh penulis cukup rajin
mengumbar janji pada masyarakat bahwa jika mereka terpilih maka daerah Jagir tidak
akan digusur. Dari hasil observasi terlihat pula bahwa kawasan tersebut ‘didominasi’
bendera dari satu partai tertentu.
Selain faktor politik, pertimbangan ekonomi juga menjadi alasan warga Jagir
untuk tidak mengambil formulir Rusunawa. Seperti telah disebutkan sebelumnya,
bahwa kawasan Jagir merupakan kawasan strategis karena berada tepat di tepi jalan
raya yang ramai dilintasi oleh banyak orang. Hal itu menyebabkan Jagir menjadi
sangat ideal sebagai tempat berusaha. Pindah ke Rusunawa yang letaknya tidak
strategis menimbulkan kekhawatiran berkurangnya pendapatan yang mereka dapat.
Letak Rusunawa Randu misalnya, terletak agak masuk ke dalam permukiman alias
jauh dari jalan raya.
Faktor ketiga yakni legalitas. Masyarakat merasa ‘berhak’ menempati kawasan
Jagir karena ‘diakui’ oleh Pemerintah. Beberapa hal yang menyebabkan hal tersebut
adalah mereka memiliki bukti-bukti legalitas beralamat Jagir atau tempat yang mereka
diami. Mulai dari KTP, KK, hingga membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) rutin.
Setiap bulannya pun mereka mengaku membayar iuran keamanan ke oknum aparat

Nanang Rianto 7
Kolokium Sebranmas 2010

tertentu. Bukti kasat mata lainnya adalah adanya jaringan listrik dan PDAM yang
masuk ke pemukiman yang dianggap liar tersebut (Wawancara dengan Camat
Wonokromo, Mei 2009).

Pelaksanaan Pengosongan Bangunan


Pihak yang terlibat dalam penertiban di Jagir adalah Camat, PJT, Polres,
Polwiltabes, Koramil, Garnisun, dan Satpol PP yang berjumlah sekitar 1500 orang
(Surya, 2009). Penggusuran di Jagir dilakukan oleh gabungan aparat berbagai instansi
seperti Satpol PP Kota dan Kecamatan, Polwiltabes, Polsek, PJT 1, Dinas PU
Pengairan, Dinas PU Binamarga (paparan Rencana Operasi Penertiban Bangunan
Liar di Jl. Jagir Wonokromo Satpol PP Kota Surabaya).
Seperti telah diprediksi, pengosongan bangunan di Jagir mendapat penolakan
dari masyarakat. Saat apel persiapan pengosongan bangunan, sekitar seratus warga
bergerombol mendekati barisan polisi kemudian duduk di tengah jalan untuk
melakukan istigotsah. Kerumunan tersebut bisa dibubarkan oleh polisi bertameng.

Gambar 2. Penutupan jalan oleh warga sesaat sebelum penertiban


Setelah kerumunan berhasil dibubarkan, empat backhoe mulai merobohkan
satu per satu bangunan di bantaran. Sebagian besar pemilik bangunan sudah
mengeluarkan barang-barangnya dari rumah. Bahkan sebagian bangunan sudah ada
yang dibongkar sendiri oleh pemiliknya.
JUMLAH PKL / BANGLI + 116 TERDIRI DARI :

• KIOS PANCING : 18

• WARUNG KOPI / PERACANGAN : 35

• RUMAH TANGGA : 26

• JUAL KAYU / BESI : 24

• KIOS ISI ULANG PULSA : 2

• PEDAGANG JAMU : 1

• RENTAL PS : 1

• MUSHOLAH : 2

• ROSOKAN : 4

• GUDANG BEDAK : 1

JUMLAH PKL : + 24 • RUMAH POTONG AYAM : 2

Gambar 3. lokasi penggusuran Jl. Jagir Wonokromo

Nanang Rianto 8
Kolokium Sebranmas 2010

Pembongkaran berhenti sementara ketika dua anggota DPRD Surabaya


datang ke lokasi dan meminta petugas menghentikan penertiban. Kehadiran dua
anggota legislatif tersebut membuat warga kembali bergerombol dan menutup jalan.
Kegiatan pengosongan bangunan kembali dilanjutkan sambil berusaha meminta
penghuni bangunan yang bertahan di tengah jalan agar segera menjauhi lokasi
kegiatan pengosongan. Karena warga berkeras bertahan, tim penertiban akhirnya
menggunakan buldoser untuk memecah kerumunan.
Untuk mengantisipasi perlawanan yang besar, petugas langsung menduduki
rumah-rumah warga yang belum dirobohkan dan meminta warga mengeluarkan
barang-barang yang masih ada di dalam rumah.

Pasca Pengosongan di Bantaran Kali Wonokromo, Jagir


Total terdapat 350 KK bantaran Jagir yang ditertibkan dengan komposisi
penduduk ber-KTP Surabaya sebanyak 250 orang dan penduduk non Surabaya/non
KTP sebanyak 100 KK. Total bangunan yang digusur sebanyak +/- 116 bangunan di
Jalan Jagir Wonokromo sepanjang 3 km.
Sebanyak 233 KK telah mengambil kunci rusunawa dan bersedia pindah.
Sedangkan sisanya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Mereka yang
kembali ke kampung halaman disediakan fasilitas 40 truk gratis oleh Pemkot dan
Dinas PU Pengairan bagi warga yang ingin kembali ke kampung halaman di sekitar
Surabaya seperti: Lamongan, Bangkalan, Tuban, Mojokerto, dsb.

Tabel 3 Jumlah KK bantaran kali dan opsi yang dipilih

Opsi yang dipilih Jumlah KK

Pindah ke rusunawa 233

Kembali ke kampung halaman 117

Jumlah 350

Sumber: Hasil Analisis

Dari total 233 warga yang pindah ke rumah susun Sebanyak 35 KK bantaran
Jagir dipindahkan ke Rusunawa Wonorejo dan 198 KK dipindahkan ke Rusunawa
Randu. Secara keseluruhan terdapat 233 KK yang sudah diberikan kunci rusun.

Tabel 4 Profil Rusunawa Yang Dialokasikan Bagi Eks Penghuni Bantaran Kali di Jagir

Sumber Jumlah Menampung


Rusunawa
pendanaan hunian/tipe warga bantaran
Wonorejo APBN Dep. PU TA 3 twin 288 unit/21 35
2004-2006
Kampung Randu APBN Dep. PU TA 3 twin/21 198
2006-2007

Sumber: Dinas PU Permukiman Propinsi Jatim dan Dinas Pengelolaan Tanah dan Bangunan
Pemkot Surabaya

Nanang Rianto 9
Kolokium Sebranmas 2010

Saat tim menyusuri Jl. Jagir, masih berserakan puing-puing material bangunan
sisa penertiban tanggal 4 Mei 2009. Terdapat beberapa tenda yang dipasangi spanduk
bertuliskan nama sebuah LSM. Bentuk tenda hanya berupa terpal di bagian atas tanpa
pembatas di bagian sampingnya. Hanya tampak beberapa orang bercengkerama.

Kondisi Rusunawa Randu dan Wonorejo


Dari observasi tim ke rusunawa Kampung Randu, dapat dilihat rusunawa ini
sedang dalam masa penyelesaian akhir. Sudah terdapat beberapa penghuni yang
menempati. Listrik dan air masih disokong oleh genset milik Pemkot.

Gambar 4 Kondisi warga eks bantaran kali di Rusunawa Randu (Radar Surabaya, 2009)
Para penghuni rusunawa hingga saat ini belum dikenakan tarif sewa karena
sedang menunggu peraturan yang digodok oleh Biro Hukum Pemkot. Kisaran tarif
sewa direncanakan tidak melebihi 1/3 Upah Minimum Kota (UMK). Kisaran UMK tahun
2009 berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Timur No 188/403/KPTS/013/2008
tentang Penetapan Minimum Upah Kabupaten/Kota di Jawa Timur Tahun 2009 adalah
sebesar Rp. 948.500, 00 (http://www.jatimprov.go.id/, tgl pencarian 30 April 2010)

Gambar 5 Rusunawa Randu ( Radar Surabaya, 2009)


Warga yang memiliki anak SD diprioritaskan untuk pindah ke Rusunawa
Wonorejo yang lokasinya tidak terlalu jauh (4 Km) dari lokasi yang ditertibkan. Hal
tersebut sesuai kebijakan Walikota, mantan penghuni Jagir boleh menghuni rusunawa
baik itu penduduk Surabaya maupun non-Surabaya. Bagi warga yang memiliki anak
SD langsung bisa pindah dan diterima oleh SD terdekat dengan rusunawa.

Nanang Rianto 10
Kolokium Sebranmas 2010

Identifikasi Dampak Sosial Ekonomi


Menurut salah satu LSM yang mendampingi warga bantaran kali di Jagir,
masyarakat setidaknya kehilangan pendapatan dari perputaran usaha sebesar 29,6
miliar per tahun (Kompas, 2009). Rusunawa yang disediakan saat ini belum
menyediakan lahan untuk menampung kegiatan ekonomi warga korban penggusuran.
Hal ini diamini oleh Camat Wonokromo yang mengemukakan bahwa kegiatan ekonomi
warga eks bantaran kali belum berjalan seperti sediakala karena desain dan lokasi
rusunawa tidak memungkinkan untuk dipenuhi PKL maupun usaha lain seperti
sebelum penertiban.
Lebih lanjut, Camat Wonokromo mengemukakan bahwa belum semua warga
yang sudah mendapatkan kunci menempati rusunawa yang disediakan. Beberapa
alasan yang mengemuka adalah minimnya fasilitas dasar seperti listrik dan air. Hingga
saat ini rusun fasilitas air bersih dan listrik yang ada berasal dari genset milik Pemkot.
Masalah lain yang muncul adalah pengadministrasian penduduk bantaran kali yang
akan dipindahkan ke rusun. Ada beberapa kasus penduduk yang namanya sudah
terdaftar untuk menempati rusun, saat pengambilan kunci namanya tidak ada atau
tercoret (Radar Surabaya, 2009) Selain material bangunan, beberapa warga juga
mengalami trauma psikis pada perempuan dan anak-anak. Beberapa warga yang
sudah ingin pindah ke rusunawa, menunda kepindahan dikarenakan lingkungan
rusunawa yang masih sepi. Perasaan tercerabut dari keseharian dapat dilihat pada
kondisi tersebut. Kehidupan bertetangga yang sudah ada sejak bertahun-tahun tiba-
tiba hilang pasca penggusuran.

Pembinaan pasca huni/masa transisi


Program non fisik atau pembinaan pasca penertiban yang telah dilakukan
meliputi (i) pembagian nasi bungkus selama 3 hari oleh bidang Kesra Propinsi (ii)
penyiagaan Puskesmas keliling gratis (iii) sewa rusunawa selama 3 bulan ditanggung
propinsi

Gambar 6 Pembagian nasi bungkus oleh satpol PP

Program fisik pasca penertiban yang akan dilakukan adalah (i) pelebaran jalan
oleh Dinas PU Bina Marga (ii) pembuatan tanggul permanen oleh BBWS Brantas (iii)
pemagaran oleh PJT (iv) pembuatan sentra PKL di lokasi terdekat dengan rusunawa
(v) Dinas Kebersihan dan Pertamanan melakukan pembersihan dan penanaman
pohon (paparan Rencana Operasi Penertiban Bangunan Liar di Jl. Jagir Wonokromo
Satpol PP Kota Surabaya).
Dari program yang disebutkan sangat kentara kesemuanya menyebutkan
pembangunan sarana dan prasarana pengendali sungai. Menyiratkan bahwa
pendekatan pembangunan fisik amat kental terasa. Sesuatu hal yang tidak
sepenuhnya salah, namun perspektif demikianlah yang penulis rasa menimbulkan
mengkristalnya penolakan dari masyarakat penghuni bantaran kali di Jagir. Karakter
masyarakat penghuni bantaran kali di Jagir yang sebagian besar adalah pedagang

Nanang Rianto 11
Kolokium Sebranmas 2010

kurang menjadi perhatian dalam skenario relokasi. Memang jalan keluar terkait rumah
tinggal para warga yang digusur telah diperhatikan, namun kelanjutan hidup mereka
terkait ekonomi belum ada yang tahu bagaimana rimbanya.
Dalam gambaran pasca pengosongan, didapatkan gambaran mengenai kondisi
Rusunawa yang menampung warga eks bantaran kali masih seadanya. Selain belum
menjami pemenuhan kebutuhan dasar untuk hidup seperti air dan listrik, lingkungan
Rusunawa juga belum mengakomodir kelanjutan usaha/mata pencarian.

KESIMPULAN
Dari hasil serta pembahasan, berikut adalah kesimpulan yang dapat diambil:
 Pada fase persiapan terjadi penolakan yang dilakukan masyarakat walaupun
telah disosialisasikan secara intens. Faktor-faktor yang kental memengaruhi hal
tersebut antara lain adalah (i) faktor sosial-politik yang ditimbulkan oleh
kampanye para calon anggota legislatif, (ii) faktor kekhawatiran hilangnya mata
pencarian/ekonomi tempat relokasi yang tidak strategis (iii) faktor legal, karena
merasa sah tinggal di bantaran kali.
 Penertiban menimbulkan dampak sosial dan ekonomi bagi masyarakat.
dampak yang paling terlihat adalah berhentinya sumber penghasilan untuk
penghidupan sehari-hari masyarakat bantaran kali. Tempat relokasi yang
disiapkan belum mengakomodir kegiatan ekonomi masyarakat eks penghuni
bantaran kali.

REKOMENDASI
 Perlu adanya perbaikan mekanisme yang bersifat integral dan menyeluruh
dalam setiap rencana pengosongan bangunan/penggusuran yang melihat
relokasi bukan sekedar memindahkan orang belaka, namun juga mengenai
keberlanjutan hajat hidup seseorang.
 Mengacu pada keadaan pasca huni, maka secepatnya diperlukan langkah-
langkah konkrit untuk memutar kembali roda perekonomian warga eks
penghuni bantaran kali Wonokromo yang saat ini tinggal di rusunawa.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2009, Rencana Operasi Penertiban Bangunan Liar di Jl. Jagir Wonokromo,
Surabaya. Satpol PP Kota Surabaya
Surat Kabar
Koran Kompas 11 Mei 2009, Edisi Jawa Timur, hlm A
Radar Surabaya edisi 13 Mei 2009
Situs Web
http://kompas.co.id/read/xml/2009/01/27/20004330/pembangunan.di.bantaran.kali.
surabaya tak.terkendali (diakses tgl 18 Mei 2009)
http://kompas.co.id/read/xml/2009/02/01/20282839/luapan.kali.surabaya.mulai.surut.
(diakses tgl 18 Mei 2009)
http://www.surya.co.id/2009/05/05/penggusuran-rumah-rata-tanah-ibu-ibu-menjerit-
sampai-pingsan.html (diakses tgl 18 Mei 2009)
http://regional.kompas.com/read/xml/2009/02/25/20565490/tanggul.penahan.banjir.kali.
surabaya.segera.dibangun (diakses tgl 18 Mei 2009)
(http://www.jatimprov.go.id/, tgl pencarian 30 April 2010)
Wawancara
Wawancara dengan Kasubdiv Jasa Asa IV/2 Perum Jasa Tirta 1 tanggal 13 Mei 2009
Wawancara dengan Camat Wonokromo pada 12 Mei 2009
Wawancara dengan Ketua Tim Perencanaan Penataan Kali Surabaya 2002 tanggal 12
Mei 2009
Wawancara dengan Kasubid Pemanfaatan Bangunan Dinas pengelolaan tanah dan
bangunan Pemkot Surabaya pada 12 Mei 2009

Nanang Rianto 12

You might also like