You are on page 1of 27

INTERNALISASI NILAI EMPATI SEBAGAI UPAYA

MENCEGAH UJARAN KEBENCIAN DALAM MEDIA SOSIAL


(STUDI PADA PEMBELAJARAN PPKN DI SMA BATIK 2 SURAKARTA)

ARTIKEL JURNAL
Oleh:
PURNOMO CAHYO AJI
K6415043

Pembimbing I : Dr. Moh. Mochtarom, S.Ag., M.Si.


Pembimbing II : Dr. Winarno, S.Pd., M.Si.

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
November 2019
INTERNALISASI NILAI EMPATI SEBAGAI UPAYA MENCEGAH
UJARAN KEBENCIAN DALAM MEDIA SOSIAL
(STUDI PADA PEMBELAJARAN PPKN DI SMA BATIK 2 SURAKARTA)
Purnomo Cahyo Aji1, Moh. Mochtarom2, Winarno3
Program Studi PPKn FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta
e-mail: purnomocahyoaji@student.uns.ac.id

ABSTRACT
The purpose of this research is to 1) Find out how the implementation of the
internalization of empathy values as an effort to prevent the hate speech among
students of Batik 2 th Surakarta senior high school and 2) Find out how the obstacles
of internalizing the value of empathy in Batik 2 th Surakarta senior high school as an
effort to prevent the hate speech in social media.
This research uses a qualitative method. The sampling technique used was
purposive sampling with data collection techniques namely interviews, observation,
and document analysis. Data validity was obtained by source triangulation and
technique triangulation. Data analysis used the Miles and Huberman model
techniques, namely 1) data reduction, 2) display, 3) drawing conclusions and then
verifying.
The results showed that 1) The internalization of the value of empathy as an
effort to prevent hate speech in integrated social media with the implementation of
civic education learning includes learning planning by preparing lesson plans,
learning methods of hate speech speech lectures, learning approaches with empathy
value approaches, learning strategies with affective strategies and CTL strategy,
learning assessment through attitude observation, and learning evaluation in the
form of internal evaluation, 2) There are obstacles, in the form of constraints from
within which come from the ability of each different student, the classroom learning
atmosphere is sometimes not conducive, the explanation of hate speech in the
textbook is still minimal, and civic education teachers feel a little difficulty in
formulating indicators and learning objectives in the lesson plan to suit aspects of
empathy. Obstacles from outside there is no program from the school in the form of
socialization to students use social media wisely to avoid the act of hate speech.
Suggestions put forward in this study in the form of if the school needs to conduct
socialization to students to use social media wisely considering the development of
technology and communication in the modern era is now increasingly rapid.

Keywords: value, empathy, hate speech.

1
Mahasiswa PPKn FKIP UNS Angkatan 2015
2
Dosen PPKn FKIP UNS
3
Dosen PPKn FKIP UNS
ABSTRAK
Purnomo Cahyo Aji. K6415043. INTERNALISASI NILAI EMPATI SEBAGAI
UPAYA MENCEGAH UJARAN KEBENCIAN DALAM MEDIA SOSIAL
(STUDI PADA PEMBELAJARAN PPKN DI SMA BATIK 2 SURAKARTA).
Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas
Maret Surakarta, Oktober 2019.
Tujuan penelitian ini untuk 1) Mengetahui pelaksanaan internalisasi nilai
empati sebagai upaya mencegah ujaran kebencian di kalangan siswa SMA BATIK 2
Surakarta dan 2) Mengetahui kendala dari pelaksanaan internalisasi nilai empati di
SMA BATIK 2 Surakarta sebagai upaya mencegah ujaran kebencian dalam media
sosial.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Teknik sampling yang
digunakan adalah purposive sampling dengan teknik pengumpulan data wawancara,
observasi, dan analisis dokumen. Validitas data diperoleh dengan triangulasi sumber
dan triangulasi teknik. Analisis data menggunakan teknik model Miles dan Huberman
yaitu 1) reduksi data, 2) display, 3) mengambil simpulan lalu diverifikasi.
Hasil penelitian menunjukan bahwa 1) Pelaksanaan internalisasi nilai empati
sebagai upaya mencegah ujaran kebencian dalam media sosial terintegrasi dengan
pelaksanaan pembelajaran PPKn meliputi, metode pembelajaran ceramah perilaku
ujaran kebencian, pendekatan pembelajaran dengan pendekatan nilai empati, strategi
pembelajaran dengan strategi afektif dan strategi CTL, penilaian pembelajaran
melalui pengamatan sikap, serta evaluasi pembelajaran berupa evaluasi internal, 2)
Terdapat kendala, berupa kendala dari dalam yaitu berasal dari kemampuan tiap
peserta didik yang berbeda, suasana pembelajaran kelas terkadang tidak kondusif,
penjelasan ujaran kebencian di buku ajar masih minim, dan guru PPKn merasa sedikit
kesulitan merumuskan indikator maupun tujuan pembelajaran dalam RPP agar sesuai
dengan aspek-aspek empati. Kendala dari luar belum adanya program dari sekolah
berupa sosialisasi terhadap peserta didiknya untuk menggunakan media sosial secara
bijak agar terhindar dari tindakan ujaran kebencian. Saran yang dikemukakan pada
penelitian ini berupa sekiranya pihak sekolah perlu menyelenggarakan sosialisasi
terhadap peserta didiknya untuk menggunakan media sosial secara bijak mengingat
perkembangan teknologi dan komunikasi di era modern kini semakin pesat.

Kata kunci: nilai, empati, ujaran kebencian.


PENDAHULUAN

Pesatnya perkembangan teknologi internet mampu menyatukan orang-orang


dari belahan dunia manapun, mampu bersatu dalam sebuah sistem yang besar dan
seolah tanpa batas yang berbasis suatu aplikasi media sosial. Seiring kemajuan
teknologi kini media sosial mulai beragam jenisnya yang terdapat di internet, mampu
diakses melalui aplikasi pada perangkat smartphone, laptop dan komputer.
Konsekuensi atas kehadiran internet yaitu“terkoneksinya seluruh masyarakat
ke dalam ranah maya, atau dalam istilah Christakis dan Flower dalam Fahrimal
(2018: 69) dikenal sebagai hyper-connected, yaitu, hubungan yang dibangun dalam
mencerminkan relasi yang saling terikat. Orang-orang dari berbagai latar belakang
demografi dan geografi dapat saling bertukar informasi, mengetahui perkembangan
terkini politik luar negeri serta melakukan transaksi jual beli.”
Di media sosial khalayak bisa memposting gambar atau video, menampilkan
status, dengan bebas sesuai dengan keinginan. Media sosial juga bisa diotak-atik
sesuai dengan keinginan pemiliknya, disetting sedemikian rupa, untuk memengaruhi
persepsi dan membentuk opini publik. Di satu sisi, media sosial bisa menjadi arena
bagi kebebasan berekspresi untuk menyampaikan aspirasi, tetapi di sisi lain, media
sosial dimanfaatkan oleh individu atau kelompok yang memiliki kepentingan tertentu.
Selain dampak positif adanya media sosial terdapat dampak negatif melalui
penyalahgunaan informasi dari media sosial sebagai tujuan kejahatan. Karena
terkadang pengguna media sosial tanpa sadar memposting informasi dari akun media
sosialnya yang dapat memicu perbuatan tidak baik dari orang lain. Terdapat pula
fenomena maraknya akun-akun tak bertuan atau akun palsu di media sosial. Akun
tersebut seringkali dijadikan alat propaganda hingga penyebar fitnah. Bahkan tak
jarang akun itu melancarkan hate speech (ujaran kebencian) kepada lawan-lawannya,
baik itu berbentuk tulisan maupun gambar.
Dengan adanya fenomena ujaran kebencian yang umumnya terdapat pada
media sosial maka Kapolri menerbitkan surat edaran guna menangani kasus ujaran
kebencian. Menurut Surat Edaran (SE) Kapolri No SE/06/X/2015 tentang
penanganan ujaran kebencian menyebutkan bahwa:
Mengenai (hate speech) di ranah publik, ada tujuh bentuk ujaran kebencian
disebut dalam SE, yaitu penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan,
perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan menyebarkan
berita bohong. Semua tindakan ini memiliki tujuan atau berdampak pada
tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial.

Tindakan ujaran kebencian seyogyanya dapat dicegah dari instansi pendidikan


yaitu di sekolah, melalui upaya penanaman nilai, pembinaan dan penguatan
kepribadian dan karakter sejak dini yang dilakukan secara terpadu oleh guru. Sekolah
adalah sarana mendidik anak salah satunya melalui pemberian mata pelajaran PKn
yang diajarkan di seluruh kelas mulai kelas X hingga kelas XII, dimana anak tersebut
akan mempunyai tanggung jawab dengan mengerti pedoman baik atau buruknya
sesuatu hal sehingga tidak bertentangan dengan norma ataupun hukum, memberi nilai
moral, nilai empati serta membangun karakter yang baik. Senada dengan yang
diungkapkan Durkheim (Doni, 2012: 26) secara eksplisit, menyebutkan bahwa fungsi
pendidikan adalah untuk integrasi sosial melalui pembentukan warga negara yang
dewasa dan bertanggung jawab.
Somantri dalam Winarno (2014: 61) mengungkapkan bahan ajar PKn ada 3
hal yaitu formal content, informal content dan respons siswa. Formal content ialah
bahan ajar yang diambil dari disiplin ilmu PKn. Format content tampak di rumusan
SK dan KD. Formal content PKn terdapat dalam Standar Isi bermuara pada
keilmuan politik, hukum, dan filsafat moral. Guru PKn tidak hanya handal
menyampaikan formal content, tapi juga harus mampu menyajikan informal content
dalam kelas. Informal content adalah bahan yang diambil dari lingkungan
masyarakat, misalnya kejadian, isu, berita penting, polemik di masyarakat, dan
sebagainya (Winarno, 2014: 61).
Berdasarkan apa yang diutarakan oleh Winarno mengenai informal content
dalam PKn, hal itu dapat dijadikan sumber bahan ajar PKn untuk memberikan
deskripsi dan dampak dari perilaku ujaran kebencian yang kini makin marak dalam
media sosial.
Tiga komponen utama Pendidikan Kewarganegaraan yang mendasar dan
dapat membentuk karakter yang baik (good character) yaitu pengetahuan
kewarganegaraan (civic knowledge), keterampilan kewarganegaraan (civic skills), dan
sikap kewarganegaraan (civic disposition) (Winarno, 2014: 26). Apabila seseorang
memiliki karakter yang baik maka mempengaruhi pula karakter publik orang tersebut
sehingga membentuk perilaku dalam bermedia sosial, terutama mampu mengontrol
emosi saat bermedia sosial, dapat menghargai orang lain di suatu platform media
sosial dan membangun interaksi di media sosial sesuai koridor sopan santun.
Dalam fungsi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan ada tendensi
mendidik karakter terutama moral sebagai tanggung jawab pendidik, Sebagaimana
pendapat Thomas Lickona (2012: 13) “karakter adalah kepemilikan hal-hal yang baik
sebagai orang tua dan pendidik, tugas kita adalah mengajar anak-anak karakter adalah
apa yang termuat dalam pengajaran kita”. Melalui moral mampu membangun rasa
empati dan saling menghormati terhadap orang lain sehingga menimbulkan sikap
saling menghargai sehingga mampu meminimalisir keinginan melakukan ujaran
kebencian dalam dunia maya khususnya di media sosial. Karena apabila seseorang
memiliki rasa empati, otomatis juga memiliki kemampuan menempatkan diri sendiri
pada keadaan secara mental serta memahami emosi dan perasaanya, hal ini mampu
mencegah ucapan atau sikap yang menjurus ke dalam ujaran kebencian karena ia juga
akan membayangkan apa yang dirasakan san korban yang mendapat perilaku ujaran
kebencian tersebut. Nancy Eisenberg (Chasiyah, 2009: 140) juga berpendapat empati
sebagai sebuah tanggapan afektif yang timbul dari penangkapan atau pemahaman
keadaan atau kondisi emosional orang lain, sebagaimana yang orang lain rasakan atau
yang diharapkan untuk dirasakan.
Nilai empati merupakan suatu “kemampuan seseorang untuk mengenali,
mempresepsi dan merasakan perasaan orang lain. Artinya perasaan dimana ikut
merasakan serta memahami orang lain karena empati berhubungan erat dengan nilai
kemanusiaan seseorang. Empati mendorong untuk lebih sabar dan teliti dalam
mengobservasi sesuatu sehingga kualitas keputusan yang diambil sebisa mungkin
tidak mengorbankan kepentingan ataupun menyakiti perasaan orang lain.”
Berdasarkan observasi awal di SMA BATIK 2 Surakarta mayoritas peserta
didik memiliki akun media sosial seperti Facebook, Twitter dan Instagram, Dari
beberapa yang telah diwawancara ada beberapa siswa menggunakan waktu luangnya
untuk berselancar di dunia maya dengan menggunakan media sosial untuk sekedar
mencari informasi dan berinteraksi dengan orang lain. Namun demikian
penggunanaan media sosial tersebut memiliki potensi untuk mendorong perilaku
ujaran kebencian atau hate speech,
Penelitian ini mengambil lokasi di SMA BATIK 2 Surakarta karena sekolah
tersebut terdapat pendidikan karakter melalui guru mata pelajaran PPKn dengan
menanamkan nilai empati kepada para peserta didik khususnya untuk menghindari
tindakan yang melanggar UU ITE berupa perilaku melakukan ujaran kebencian (hate
speech). Sedangkan tujuan dari penelitian ini berupa dapat mengetahui pelaksanaan
internalisasi nilai empati sebagai upaya mencegah ujaran kebencian di kalangan siswa
SMA BATIK 2 Surakarta dan mengetahui kendala dari pelaksanaan internalisasi nilai
empati di SMA BATIK 2 Surakarta sebagai upaya mencegah ujaran kebencian dalam
media sosial.

METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.
Pentingnya suatu penelitian kualitatif adalah untuk menjelaskan data-data yang
berbentuk lisan dan tulisan, peneliti dapat memahami lebih mendalam tentang
fenomena atau peristiwa setting sosial yang berhubungan dengan fokus masalah”
yang diteliti (Iskandar, 2013: 189). Tidak jauh berbeda dengan pandangan Zainal
Arifin (2011: 141) yang menyatakan kajian “penelitian kualitatif adalah fenomena
atau kejadian yang berlangsung dalam situasi sosial tertentu, peneliti terjun langsung
ke lapangan, untuk membaca, memahami dan mempelajari situasi. Kegiatan peneliti
adalah mengamati, mencatat, bertanya dan menggali sumber yang erat hubungannya
dengan peristiwa yang sedang terjadi saat itu.” Sedangkan Berg dalam Satori (2009:
191) menjelaskan “Qualitative Research (QR) thus refers to the meaning, concepts,
definitions, characteristics, methapors, simbols, and descriptions of things”. Artinya
adalah penekanan penelitian kualitatif lebih menekankan terhadap makna, konsep,
definisi, karakteristik, metafora, simbol, dan deskripsi hal-hal yang dikaji dalam
penelitian.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa informasi yang
didapat dari informan, observasi, dokumen, tempat dan peristiwa. Teknik
pengambilan sampel dalam penelitian ini yaitu dengan teknik purposive sampling
(sampel bertujuan) karena dengan pertimbangan sampel yang diambil merupakan
orang yang menerapkan pelaksanaan internalisasi nilai empati sebagai upaya
mencegah ujaran kebencian dalam media sosial yaitu guru mata pelajaran PPKn serta
orang yang merasakan dampak dari pelaksanaan tersebut yaitu peserta didik kelas XI
di SMA Batik 2 Surakarta.
Data pada penelitian ini dikumpulkan melalui teknik wawancara, observasi,
dan studi dokumen. Wawancara dilakukan dengan Wakil Kepala Sekolah Bagian
Kurikulum, Guru PPKn, serta peserta didik kelas XI SMA Batik 2 Surakarta.
Observasi dilakukan ketika proses pembelajaran PPKn di dalam kelas, serta studi
dokumen dilakukan dengan menganalisis Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
yang dirancang oleh Guru Mata Pelajaran PPKn.
Teknik uji validitas yang digunakan pada penelitian ini adalah trianggulasi
metode dan trianggulasi data. Menggunakan trianggulasi data karena pengumpulan
data dilakukan dengan berbagai jenis data dan tentunya dengan data dengan jenis
yang sama namun dengan beberapa sumber yang berbeda. Sedangkan digunakannya
trianggulasi metode yaitu data yang telah terkumpul di dapat dengan menggunakan
metode yang berbeda yaitu observasi, wawancara dan analisis dokumen.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


1. Pelaksanaan Internalisasi Nilai Empati Sebagai Upaya Mencegah Ujaran
Kebencian Dalam Media Sosial di SMA Batik 2 Surakarta.
Sekolah melalui guru dipandang memiliki kapasitas kemampuan untuk
meningkatkan kualitas hidup peserta didiknya, dimana peserta didik tidak serta
merta dilatih untuk membaca atau menghitung saja, namun juga dituntut untuk
memiliki karakter serta pola pikir untuk menganalisa fenomena dan persoalan
dalam kehidupan sehingga peserta didik akan memiliki tanggung jawab pula
mengenai setiap keputusan yang mereka lakukan, termasuk perilaku dalam
bermedia sosial mengedapankan noma dan etika saat berkomunikasi dengan
orang lain sehingga kecil kemungkinan timbulnya ujaran kebencian saat
menemukan hal-hal yang tidak disukai pada konten media sosial maka peserta
didik akan lebih mengontrol enosinya.
Proses pelaksanaan internalisasi nilai empati sebagai upaya mencegah
ujaran kebencian di media sosial yang terintegrasi dengan pembelajaran PPKn
terdapat strategi tertentu saat pelaksanaanya, strategi tersebut tidak terlepas dari
tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Pertama, merupakan tahap perencanaan berupa perancangan dan
penyusunan RPP. Diketahui informan guru PPKn SMA Batik 2 Surakarta dalam
merancang RPP, telah mencantumkan muatan pendidikan karakter berupa nilai
cinta damai dengan cara menyisipkan nilai empati yang dianggap dapat memberi
perspektif terhadap peserta didik agar tidak melakukan ujaran kebencian yang
dapat memperkeruh kedamaian. Adanya suatu nilai memang seharusnya ada
dalam proses pendidikan merujuk pendapat Kneller yaitu:
Nilai merupakan istilah yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, nilai
selain ditempatkan sebagai inti dari proses dan tujuan pembelajaran,
setiap huruf yang terkandung dalam kata value dirasionalisasikannya
sebagai tindakan-tindakan pendidikan (Dedi Supriadi, 2004: 103).

Dalam dokumen RPP yang telah peneliti telaah terdapat secara tersirat
pada materi pokok Persatuan dan kesatuan dalam wadah NKRI dengan KD 2.6
yaitu bersikap proaktif dalam menerapkan nilai-nilai persatuan dan kesatuan
bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia serta materi yang tercantum
berupa Faktor pendorong dan penghambat persatuan dan kesatuan Bangsa
Indonesia. Sedangkan implementasi proses pembelajaran guru informan
melakukan pengembangan tersendiri namun tetap mengacu RPP yang telah
dirancang. RPP menjadi acuan atau pedoman guru dalam melaksanakan proses
pembelajaran sesuai topik tertentuk yang akan dikaji berupa ujaran kebencian
adalah salah satu faktor pemicu konflik yang dapat mengancam persatuan dan
kesatuan dalam bingkai NKRI.
Kedua, yaitu tahap pelaksanaan berupa serangkaian proses pembelajaran
yang dilakukan dalam kelas yang meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti,
dan kegiatan penutup. Berdasarkan hasil wawancara, observasi serta studi
dokumen diketahui bahwa guru dalam melaksanakan pembelajaran PPKn
mendukung untuk mengimplementasikan internalisasi nilai empati dan
mengintegrasikan proses internalisasi nilai empati tersebut guna mencegah ujaran
kebencian di media sosial dalam pembelajaran PPKn. Hal tersebut secara tidak
langsung menuntun peserta didik menjadi insan yang memahami nilai dan
moralitas dalam kehidupannya sesuai dengan salah satu misi sosio-kultural pada
PKn menurut Winataputra dalam Winarno (2014: 12) yaitu:
Misi sosio-kultural adalah memfasilitasi perwujudan cita-cita, sistem
nilai, konsep, prinsip, dan praksis demokrasi dalam konteks
pembangunan masyarakat madani Indonesia melalui pengembangan
partisipasi warga negara secara cerdas dan bertanggung jawab dalam
kegiatan sosio-kultural secara kreatif demi tumbuh kembangnya
komitmen moral dan sosial kewarganegaraan.

Pemilihan metode pembelajaran yang dilakukan oleh guru dengan metode


ceramah dan tanya jawab dapat menimbulkan susasana komunikatif saat
pembelajaran selain itu pula dengan tanya jawab peserta didik dapat menangkap
penjelasan tentang topik ujaran kebencian karena beberapa peserta didik masih
ada yang belum memahami konsep dan definisi dari bentuk ujaran kebencian.
Dalam hal ini guru berperan memberi wawasan dengan memberi arahan
dan mengenai kemajuan teknologi serta hal-hal yang dianggap melanggar norma
dan hukum atas penyalahgunaan teknologi informasi agar peserta didik
mengetahui mengenai perilaku ujaran kebencian dalam media sosial kemudian
mampu menggunakan media sosialnya secara bijak wawasan mengenai ujaran
kebencian dan dampak dari perilaku ujaran kebencian yang dapat memicu
konflik atau mengancam persatuan dan kesatuan NKRI seperti yang tercantum
dalam pembelajaran bab 6 materi persatuan dan kesatuan dalam wadah NKRI,
karena ujaran kebencian umumnya menjurus penghinaan ataupun hujatan dengan
latar belakang SARA.
Strategi pembelajaran yang diterapkan guru dalam pembelajaran adalah
strategi afektif bertujuan tidak hanya memajukan aspek pengetahuan peserta
didik saja, namun aspek sikap juga turut serta akan berkembang seiring
pengetahuan peserta didik tersebut bertambah dengan suatu nilai-nilai yang
diperoleh setelah kegiatan pembelajaran dan strategi Contextual Teaching and
Learning (CTL) berupa melibatkan peserta didik untuk aktif memahami masalah
atau fenomena di dunia nyata contohnya ujaran kebencian dalam media sosial
sehingga peserta didik akan terbangun pengetahuan melalui fakta-fakta yang
terjadi di lingkungan kehidupannya.
Pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam proses internalisasi nilai
empati guna mencegah perilaku ujaran kebencian adalah dengan pendekatan
analisis nilai dan pendekatan saintifik. Melalui pendekatan analisis nilai, peserta
didik dilatih untuk membedakan baik atau buruknya sesuatu dan berperilaku,
nilai yang ditekankan oleh guru adalah nilai empati. Sedangkan pendekatan
saintifik melatih peserta didik agar aktif dan tidak pasif selama pembelajaran
berlangsung Melalui pendekatan saintifik guru sebagai fasilitator dan motivator
saat pembelajaran berperan menanamkan nilai empati kepada para peserta didik
agar ketika peserta didik menemukan konten ataupun hal lain yang berkategori
memiliki muatan ujaran kebencian maka peserta didik tersebut akan memiliki
sikap dengan tidak turut serta menyebarkan dan tidak ikut berkomentar yang
bernada ujaran kebencian dalam konten dalam media sosial karena sisi emosional
dan ego peserta didik akan lebih terkontrol. Meninjau pendekatan tersebut sesuai
dengan pendekatan nilai dalam pengembangan pembelajaran PKn akan selalu
mendasarkan pada nilai-nilai dasar Pancasila dan UUD 1945, karena PKn tidak
menganut pendekatan bebas nilai (Winarno, 2014: 97).
Ketiga, yaitu tahap evaluasi pembelajaran. Diketahui proses evaluasi
pembelajaran yang dilaksanakan dua guru informan selama pelaksanaan
pembelajaran sebagai proses internalisai nilai empati sebagai upaya mencegah
ujaran kebencian selain aspek pengetahuan juga mengevaluasi aspek sikap
peserta didik melalui metode pengamatan guru saat kegiatan pembelajaran
berlangsung.
Berkaitan dengan peran guru tersebut dalam internalisasi nilai empati
guna mencegah ujaran kebencian dalam media sosial proses yang terintegrasi
pada pembelajaran PPKn sesuai dengan National Educational Technology
Standards (NETS) dalam Mike Ribble & Gerald Bailey (2004: 7) yang
mengungkapkan 3 bidang utama yang perlu dilakukan tenaga pendidik guna
membimbing murid untuk dapat menggunakan teknologi internet secara bijak,
hal tersebut diantaranya:
1) Siswa dapat memahami etika, masalah budaya, dan sosial yang terkait untuk
teknologi internet.
2) Siswa mampu mempraktikan penggunaan bertanggung jawab atas sistem
teknologi, informasi, dan perangkat lunak.
3) Siswa mengembangkan sikap positif menuju aplikasi teknologi yang
mendukung pembelajaran seumur hidup, kolaborasi, kegiatan pribadi, dan
produktifitas.
Lebih lanjut membahas internalisasi, Kneller dalam Dedi Supriadi (2004:
105) menampilkan lima tahapan internalisasi nilai sesuai dengan jumlah huruf
yang terkandung dalam kata VALUE. Berdasarkan hasil temuan wawancara,
observasi dan studi dokumen yang dilakukan jika dikaitkan dengan tahapan ini
dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Value Identification (identifikasi nilai). Pada tahap ini, nilai yang menjadi
target pembelajaran perlu diketahui oleh setiap peserta didik. Diketahui saat
observasi pembelajaran PPKn, guru saat mengawali pembelajaran
melakukan orientasi dan apersepsi menjelaskan singkat esensi nilai empati
melalui ceramah, sehingga peserta didik akan dapat memahami terlebih
dahulu apa itu nilai empati.
2) Activity (kegiatan). Pada tahap ini peserta didik dibimbing untuk melakukan
tindakan yang diarahkan pada penyadaran nilai yang menjadi target
pembelajaran. Berdasarkan hasil temuan penelitian, diketahui guru
menanamkan nilai empati sebagai dasar kontrol diri kepada peserta didik
terutama dalam penggunaan media sosial yang bijak dengan tidak
melakukan hal yang menjerumus ke arah ujaran kebencian yang terintegrasi
dalam kegiatan pembelajaran PPKn.
3) Learning aids (alat bantu belajar). Alat bantu adalah benda yang dapat
memperlancar proses belajar nilai. Diketahui saat proses pembelajaran, guru
menggunakan media elektronik berupa proyektor dan laptop untuk
menunjang materi tambahan berupa memperlihatkan kasus-kasus
pelanggaran ujaran kebencian kepada peserta didik.
4) Unit Interaction (interaksi kesatuan). Tahapan ini melanjutkan tahapan
kegiatan dengan semakin memperbanyak strategi atau cara yang dapat
menyadarkan peserta didik terhadap nilai. Diketahui dalam serangkaian
proses pembelajaran dengan penerapan strategi pembelajaran CTL dan
pendekatan analisis nilai dan pendekatan saintifik dalam pembelajaran.
5) Evaluation segment (bagian penilaian). Tahapan ini diperlukan untuk
memeriksa kemajuan belajar nilai melalui penggunaan beragam teknik
evaluasi nilai. Diketahui guru PPKn melaksanakan evaluasi pembelajaran
dari hasil kerja individu saat ulangan dan hasil kerja kelompok saat
berdiskusi hal-hal pemicu konflik yang mengancam persatuan dan kesatuan
NKRI dimana ujaran kebencian menjadi salah satu faktornya dan pemicunya
adalah tidak adanya empati yang dimiliki pelaku yang melakukan ujaran
kebencian di media sosial dengan kesengajaan maupun tanpa disengaja.

Nilai sangat erat eksistensinya dalam proses pendidikan. seperti yang


diungkapkan Dedi Supriadi (2004: 103) yaitu “pendidikan sebagai wahana untuk
memanusiakan manusia terikat oleh dua misi penting, yaitu hominisasi dan
humanisasi. Sebagai proses hominisasi, pendidikan berkepentingan untuk
memposisikan manusia sebagai mahkluk yang memiliki keserasian dengan
habitat ekologinya, manusia diarahkan untuk mampu memenuhi kebutuhan-
kebutuhan biologis dengan baik dan benar. Pendidikan sebagai proses
humanisasi mengarahkan manusia untuk hidup sesuai dengan kaidah moral,
moral manusia berkaitan dengan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan.”
Aktualisasi nilai empati tergolong dalam kategori humanisasi.
Secara umum “hubungan antara nilai dengan pendidikan dapat dilihat
dalam tujuan pendidikan itu sendiri. Seperti yang terdapat dalam tujuan
Pendidikan Nasional. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa:”
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.

Dari fungsi Pendidikan Nasional itu terlihat bahwa sebagian besar


kandungan nilai yang hendak dikembangkan didominasi oleh nilai-nilai moral
atau akhlak peserta didik guna mewujudkan warga negara yang baik termasuk
melalui generasi yang berkarakter baik melalui suatu tindakan dalam pendidikan.
Nilai adalah “keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar
pilihannya. Goldon Allport mendefinisikan nilai terjadi pada wilayah psikologis
yang disebut keyakinan, karena itu keputusan benar-salah ataupun baik-buruk,
yang merupakan hasil dari serentetan proses psikologis yang kemudian
mengarahkan individu pada tindakan dan perbuatan yang sesuai dengan” nilai
pilihannya (Dedi Supriadi, 2004: 9). Definisi ini memiliki tekanan utama pada
suatu nilai sebagai faktor yang mempengaruhi perilaku manusia.
Fokus kajian penelitian ini adalah internalisasi nilai empati sebagai
pencegahan perilaku ujaran kebencian dalam media sosial yang terintegrasi
dalam proses pembelajaran PPKn. Gagne & Briggs mendefinisikan pembelajaran
sebagai suatu rangkaian events (kondisi, peristiwa, kejadian, dsb) yang secara
sengaja dirancang guna memengaruhi pembelajar, sehingga proses belajarnya
dapat berlangsung mudah (Winarno, 2014: 72). Sedangkan proses pembelajaran
pendidikan kewarganegaraan di sekolah dipandang memiliki peran penting untuk
menginternalisasi suatu nilai, seperti yang diungkapkan Kaelan dalam Winarno
(2014: 186), yaitu:
Pendidikan kewarganegaraan adalah suatu pendidikan nilai dalam hal ini
adalah nilai moral, dalam klasifikasi filsafat nilai dibedakan atas nilai
logika, nilai estetika, dan nilai etika (moral), melalui pendekatan filsafat
dikatakan bahwa Pancasila adalah suatu sistem etika, sebuah sistem nilai.
Nilai yang diinternalisasi oleh guru PKn berupa nilai empati, karena
dengan empati dapat membangun perasaan peserta didik untuk seolah merasakan
apa yang dialami orang lain sehingga peserta didik akan lebih hati-hati dalam
memperlakukan orang lain termasuk dalam konteks ujaran kebencian dalam
media sosial, hal tersebut sejalan dengan yang diuraikan Thomas Lickona (2013:
83) yaitu “nilai empati adalah kemampuan mengenali, atau merasakan, keadaan
yang tengah dialami orang lain, empati merupakan sisi emosional dari
pengambilan perspektif.” Artinya perasaan dimana ikut merasakan serta
memahami orang lain karena empati berhubungan erat dengan nilai kemanusiaan
seseorang. Empati mendorong untuk lebih sabar dan teliti dalam
mengobservasi sesuatu sehingga kualitas keputusan yang diambil sebisa
mungkin tidak mengorbankan kepentingan ataupun menyakiti perasaan orang
lain.
Berdasarkan hasil penelitian pelaksanaan proses pembelajaran yang
dilakukan guru dalam internalisasi nilai empati, pada dasarnya fokus tujuan guru
dalam menanamkan nilai empati memiliki dua aspek, yaitu aspek pola pikir
empati dan aspek sikap empati yang dikaitkan dalam konteks peserta didik dalam
penggunaan media sosialnya. Hal tersebut sesuai dengan yang dinyatakan Davis
dalam David Howe (2015: 24) berupa Indikator empati dibedakan meliputi
perspective taking dan emotional concern yang masing-masing mewakili
komponen kognitif dan afektif.
Empati kognitif “didasarkan pada kemampuan melihat, membayangkan
dan memikirkan sebuah situasi dari sudut pandang orang lain. Ia melibatkan
sebuah proses reflektif yang lebih berbasis kognitif untuk memahami perspektif
orang lain.” Sedangkan empati secara afektif merupakan “empati bukan hanya
mengetahui apa yang sedang dirasakan dan merasakan apa yang sedang
dirasakan orang lain, tetapi juga mengkomunikasikan, dengan cara dan sikap
yang baik, pengetahuan dan pemahaman tentang pengalaman emosional orang”
lain tersebut (David Howe, 2015: 24).
Konsep kewarganegaraan dalam praktiknya juga terdapat dalam ranah
digital yang disebut sebagai Digital Citizenship yang berkaitan dengan etika,
moral dan hukum untuk para warga negara sebagai pengguna teknologi internet,
hal ini telah ditunjukan guru dalam pembelajaran PPKn dengan memberi
wawasan terhadap peserta didik tentang bahaya perilaku ujaran kebencian dalam
media sosial serta mengarahkan penggunaan media sosial yang beretika.
Digital Citizenship dapat didefinisikan sebagai segenap aturan atau norma
yang menuntun suatu perilaku seseorang sebagai warga negara yang berkaitan
dengan penggunaan terhadap teknologi internet dengan kata lain tanggung jawab
seorang warga negara sebagai pengguna teknologi internet (Mike Ribble &
Gerald Bailey, 2004: 7).
Peran guru PPKn dalam memberikan arahan penggunaan media sosial
yang bijak melalui internalisasi nilai empati agar tidak menjerumus ke perilaku
ujaran kebencian selaras dengan salah satu dari 9 elemen pedoman Digital
Citizenship yaitu elemen Etiket Digital serta Hak dan Tanggung Jawab Digital.
Etiket Digital secara singkat adalah pedoman untuk warga digital agar selalu
memperhatikan etika dan norma ketika menjalin interaksi di suatu media sosial.
Hal ini sangat penting guna menjaga perasaan dan kenyamanan pengguna media
sosial lainnya (Mike Ribble & Gerald Bailey, 2004: 7). Sedangkan Hak dan
Tanggung Jawab Digital, warga negara memiliki hak untuk menggunakan
teknologi digital, adanya hak tersebut menimbulkan suatu tanggung jawab,
dimana tanggung jawab tersebut berupa mampu menanggung apa yang telah
dilakukannya dalam dunia digital. Parameter dari tanggung jawab terwujud dari
suatu hukum, atau aturan kebijakan tertentu (Mike Ribble & Gerald Bailey,
2004: 7).
Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan, dapat disimpulkan bahwa
pelaksanaan internalisasi nilai empati sebagai upaya mencegah ujaran kebencian
pada media sosial di SMA Batik 2 Surakarta yang dilakukan oleh guru PPKn
terlaksana melalui serangkaian kegiatan pembelajaran PPKn, yang dipandang
memiliki relevansi antara nilai empati dengan pola perilaku peserta didik dalam
menggunakan media sosial untuk berinteraksi dengan orang lain pada jejaring
internet. Nilai empati dapat membangun pemahaman untuk mengerti,
membayangkan, memaknai dan memprediksi perasaan emosional orang lain
sehingga akan lebih hati-hati dalam berkomunikasi tidak serta merta menghina,
mengancam dan menghujat orang lain walaupun itu hanya dalam media sosial.

2. Kendala Pelaksanaan Internalisasi Nilai Empati Sebagai Upaya Mencegah


Dari Ujaran Kebencian di SMA Batik 2 Surakarta
Dalam pelaksanaan internalisasi nilai empati sebagai upaya mencegah
ujaran kebencian pada media sosial di SMA Batik 2 Surakarta terdapat beberapa
kendala, kendala tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Kendala dari dalam meliputi:
a) Berasal dari kemampuan tiap peserta didik yang berbeda-beda dalam
menangkap intisari hal ujaran kebencian dalam media sosial yang
dijelaskan oleh guru.
b) Suasana pembelajaran kelas terkadang tidak kondusif dengan ditunjukan
beberapa peserta didik enggan memperhatikan materi pembelajaran.
c) Penjelasan ujaran kebencian di buku ajar masih minim, sehingga guru
dan murid perlu memperluas bahan literasi.
d) Guru PPKn merasa sedikit kesulitan merumuskan indikator maupun
tujuan pembelajaran dalam RPP agar sesuai dengan aspek-aspek empati.
2) Kendala dari luar yaitu, belum adanya program dari sekolah berupa
sosialisasi terhadap peserta didiknya untuk menggunakan media sosial
secara bijak agar terhindar dari tindakan ujaran kebencian.

Apabila dikaitkan terhadap aspek empati Batson & Coke dalam


Rahmawati (2014 : 388) bahwa seseorang dikatakan berempati jika memiliki dan
sadar terhadap empat aspek utama atau nilai dari empati yaitu: (1) aspek
kehangatan, (2) aspek kelembutan, (3) aspek peduli dan, (4) aspek kasihan. Maka
keempat aspek tersebut belum sepenuhnya terinternalisasi secara maksimal yang
dilakukan guru, mengingat dokumen RPP yang peneliti telaah belum sepenuhnya
mencantumkan muatan aspek-aspek empati tersebut.
Internalisasi memiliki kendala dari beberapa aspek terutama dalam
bentuk nilai yang mana setiap nilai mempunyai makna yang berbeda beda.
Kendala internalisasi nilai ataupun penghalang lahirnya sikap empati yang
tentunya menghambat proses internalisasi pada seseorang yaitu: 1) Egoisme, 2)
Prasangka negatif, 3) Puas diri, 4) Sikap menutup diri, 5) Kesombongan, dan 6)
Sikap tidak peduli pada orang lain (Muwafik Saleh, 2012: 233-234).
Internalisasi nilai-nilai dapat diajarkan dalam pembelajaran PPKn,
dimana dalam pembelajaran internalisasi nilai-nilai tersebut terdapat beberapa
kendala seperti yang diutarakan oleh Dasim Budiansyah (2010: 142-143) berupa
kendala internal atau kendala dari dalam, yaitu:
a) Proses pembelajaran dan penilaian dalam PPKn lebih menekankan kepada
dampak intruksional yang terbatas pada dimensi kognitif saja, sedangkan
dimensi afektif dan psikomotorik belum dapat penekananan yang lebih.
b) Pengalaman belajar siswa di dalam maupun di luar kelas belum
dikembangkan secara maksimal karena pengelolaan kelas yang belum mampu
menciptakan suasana kondusif dan produktif
c) Pelaksaan ekstrakurikuler belum mampu memberikan kontrubusi yang
signifikanuntuk menyeimbangkan antara penguasaan teori dan praktek
pembiasan.

Dasim Budimansyah (2010: 143-144) mengatakan selain menghadapi


kendala internal PPkn juga menghadapi kendala eksternal yaitu:

PKn juga menghadapi kendala eksternal yaitu kritikan dan tuntutan dari
berbagai lapisan masyarakat berkaitan dengan semangat demokratisasi yang
semakin meningkat dengan segala eksesnya…. Kendala eksternal lainnya
yaitu pendidikan Indonesia dihadapkan pada berbagai persoalan dan situasi
global yang berkembang cepat sestiap waktu baik yang bermuatan positif
maupun yang bermuatan negative atau bertentang dengan kerpibadian bangsa
Indonesia.

Kendala yang ditemukan dari hasil penelitian berupa kendala dari luar serta
kendala dari dalam yang telah disebutkan dapat mencerminkan bahwa
pelaksanaan internalisasi nilai empati sebagai upaya mencegah ujaran kebencian
pada media sosial yang terintegrasi dalam pembelajaran PPKn belum sepenuhnya
optimal.

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan data hasil penelitian yang telah diperoleh kemudian telah


dianalisis oleh peneliti maka dapat ditarik kesimpulan untuk menjawab
perumusan masalah yang ada. Adapun kesimpulan penelitian sebagai berikut:

1. Pelaksanaan internalisasi nilai empati sebagai upaya mencegah dari ujaran


kebencian dalam media sosial di SMA BATIK 2 Surakarta, yaitu:
1) Implementasi internalisasi nilai empati sebagai upaya mencegah ujaran
kebencian dalam media sosial terintegrasi dalam pembelajaran PPKn
yang mencakup:
a) Metode pembelajaran, melalui ceramah dengan penjelasan dampak
dari perilaku ujaran kebencian yang dapat memicu konflik dan
mengancam persatuan dan kesatuan NKRI.
b) Pendekatan pembelajaran, menggunakan pendekatan analisis nilai.
Melalui pendekatan analisis nilai, peserta didik dilatih untuk
membedakan baik atau buruknya sesuatu dan berperilaku, nilai
yang ditekankan oleh guru adalah nilai empati dengan aspek utama
empati yaitu: (1) aspek kehangatan, (2) aspek kelembutan, (3) aspek
peduli dan, (4) aspek kasihan. Dari nilai empati tersebut peserta
didik diajarkan untuk bisa merasakan pula kondisi dan perasaan
orang lain dalam media sosial ketika menjadi sasaran ujaran
kebencian oleh orang lain, sehingga rasa ingin melakukan hal yang
menjurus ke ujaran kebencian dapat dihindari.
c) Strategi pembelajaran, dengan strategi afektif dan strategi CTL.
Melalui strategi afektif bertujuan tidak hanya memajukan aspek
pengetahuan peserta didik saja, namun aspek sikap juga turut serta
akan berkembang seiring pengetahuan peserta didik tersebut
bertambah dengan suatu nilai-nilai yang diperoleh setelah kegiatan
pembelajaran. Sedangkan strategi CTL melibatkan peserta didik
untuk aktif memahami masalah atau fenomena di dunia nyata
contohnya ujaran kebencian dalam media sosial sehingga peserta
didik akan terbangun pengetahuan melalui fakta-fakta yang terjadi
di lingkungan kehidupannya
d) Evaluasi pembelajaran dengan pengamatan sikap dan tugas peserta
didik oleh guru ketika mengikuti kegiatan pembelajaran PPKn.
2. Pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan guru terdapat pengembangan
tersendiri terkait materi pemberian wawasan tentang fenomena ujaran
kebencian yang dapat memicu konflik yang ditunjang materi tentang
Kewarganegaraan Digital atau Digital Citizenship dimana salah satu
poin pokoknya adalah etika digital dengan memperhatikan norma dan
hukum dalam bermedia sosial. Walaupun guru melakukan
pengembangan materi dalam pembelajaran namun tetap berpedoman
pada RPP pada materi pokok Persatuan dan Kesatuan dalam wadah
NKRI dengan KD 2.6 yaitu bersikap proaktif dalam menerapkan nilai-
nilai persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2. Kendala pelaksanaan internalisasi nilai empati sebagai upaya mencegah dari
ujaran kebencian di SMA BATIK 2 Surakarta, yaitu:
1) Kendala dari dalam meliputi:
a) Berasal dari kemampuan tiap peserta didik yang berbeda-beda
dalam menangkap intisari hal ujaran kebencian dalam media sosial
yang dijelaskan oleh guru.
b) Suasana pembelajaran kelas terkadang tidak kondusif dengan
ditunjukan beberapa peserta didik enggan memperhatikan materi
pembelajaran.
c) Penjelasan ujaran kebencian di buku ajar masih minim, sehingga
guru dan murid perlu memperluas bahan literasi.
d) Guru PPKn merasa sedikit kesulitan merumuskan indikator maupun
tujuan pembelajaran dalam RPP agar sesuai dengan aspek-aspek
empati.
2) Kendala dari luar yaitu, belum adanya program dari sekolah berupa
sosialisasi terhadap peserta didiknya untuk menggunakan media sosial
secara bijak agar terhindar dari tindakan ujaran kebencian.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan dan implikasi dari penelitian ini, maka peneliti
dapat mengemukakan saran-saran sebagai berikut:
1. Untuk Sekolah
Mengingat perkembangan teknologi dan komunikasi di era modern
kini semakin pesat sekiranya perlu diadakan sosialisasi terhadap peserta
didiknya untuk menggunakan media sosial secara bijak agar terhindar dari
tindakan ujaran kebencian di internet terutama pada media sosial karena hal
tersebut bertentangan dengan hukum.
2. Untuk Guru
a. Dalam menghadapi perkembangan teknologi informasi digital
hendaknya guru dapat lebih kreatif dan inovatif dalam pelaksanaan
pembelajaran terutama untuk membentuk karakter peserta didik sebagai
warga negara digital (Digital Citizenship) yang baik.
b. Hendaknya guru dapat lebih mengembangkan materi yang berkaitan
dengan isu-isu di sekitar kehidupan peserta didik akibat dari
perkembangan teknologi informasi digital.
c. Hendaknya guru dapat mengembangkan serta mengoptimalkan pola
internalisasi nilai empati ataupun nilai-nilai lainnya untuk mencegah
hal-hal yang menyimpang dari peserta didik dalam penggunaan media
sosialnya.
3. Untuk Peserta Didik
a. Peserta didik harus selalu menjunjung etika dan norma dalam
menggunakan internet terutama media sosial agar tidak melakukan hal-
hal yang berunsur melanggar hukum ITE seperti ujaran kebencian.
b. Peserta didik harus dapat mengontrol emosi ketika menemukan konten
dalam media sosial yang tidak sesuai dengan pemikirannya, sehingga
dapat mencerminkan sebagai pengguna media sosial yang bijak.
4. Untuk Wali Peserta Didik
Memberi masukan, pengawasan dan pendampingan untuk
mengarahkan anaknya menggunakan media sosial secara baik dan bijaksana,
sehingga tidak memicu perilaku ujaran kebencian dalam akun media
sosialnya.
5. Untuk Peneliti Lain
a. Dalam pelaksanaan penelitian ini tidak luput dari keterbatasan yaitu
responden dalam penelitian ini hanya peserta didik pada kelas XI, hal ini
menyebabkan hasil penelitian kurang dapat mewakili peserta didik
dalam sekolah secara keseluruhan. Penelitian selanjutnya sebaiknya
lebih memperluas responden mulai kelas X, XI, dan XII agar hasil
penelitian dapat lebih mewakili peserta didik secara keseluruhan.
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan perbandingan dan
referensi penelitian serta dapat dijadikan pertimbangan untuk
memperdalam penelitian serupa.
c. Sebagai bahan referensi penelitian di sektor kemasyarakatan, karena
penelitian ini dilakukan di sektor instansi sekolah.
d. Apabila terdapat peneliti lain yang hendak melakukan penelitian searah
dengan topik penelitian penulis, hendaknya dapat lebih mendalami
kajian bentuk pelanggaran UU ITE lainnya selain pelanggaran ujaran
kebencian.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Zainal. (2011). Penelitian Pendidikan Metode dan Paradigma Baru.


Bandung: Rodakarya Offset.

Budimansyah. Dasim (2010). Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan Untuk


Membangun Karakter Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.

Fahrimal, Yuhdi. (2018). Netiquette: Etika Jejaring Sosial Generasi Milenial Dalam
Media Sosial. Jurnal Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIPOL, Universitas
Teuku Umar.

Haiti, Badrodin. (2015). “Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech)”. Surat


Edaran Kapolri bernomor SE/6/X/2015.

Howe, David. (2015). Empati Makna dan Pentingnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Iskandar. (2013). Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial. Jakarta: Referensi.

Lickona, Thomas. (2012). Character Matters: Persoalan Karakter Bagaimana


Membantu Anak Mengembangkan Penilaian Yang Baik, Integritas, dan
Kebajikann penting lainnya. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Lickona, Thomas. (2014). Pendidikan Karakter: Panduan Lengkap Mendidik Siswa
Menjadi Pintar dan Baik. Bandung: Nusa Media.

Mulyana, Rohmat & Supriadi, Dedi. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai.


Bandung: Alfabeta.

Ribble, Mike & Bailey, Gerald. (2004). Digital Citizenship Addressing Appropriate
Technology Behavior. US & Canada: ISTE (International Society for
Technology in Education. (Vol. 32), No. 1.

Satori, D., Komariah, A. (2013). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:


Alfabeta.

Winarno. (2014). Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan: Isi, Strategi dan


Penilaian. Jakarta: Bumi Aksara.

You might also like