You are on page 1of 9

KORELASI ANTARA FAKTOR CURAH HUJAN DENGAN KEJADIAN DBD

TAHUN 2010-2014 DI KABUPATEN KARANGANYAR

Correlation Between Rainfall Factors and DHF Events in 2010-2014 in


Karanganyar Regency

Arifatun Nisaa
Program Studi Perekam dan Informasi Kesehatan, FKM Univet BANTARA Sukoharjo
email: arifatun.nisaa@gmail.com

Abstract

Dengue hemorrhagic fever is still a public health problem and the incidence of the case was
up and down erratically. One of the causes of DHF incidence is rainfall. Based on geographic
location and topography, Karanganyar Regency has temperature temperature between 180-
310C, the lowest temperature is in Tawangmangu Subdistrict when rainy season is 180C,
while in Gondangrejo and Colomadu District reaches 310C. Aedes aegypti mosquitoes can
survive at a temperature of 22 - 240C. In the rainy season, usually the incidence of dengue
cases tends to increase. Based on data from 6 measuring stations in Karanganyar District,
the number of rainy days during the year was 115.6 days with an average of 7,231.4 mm
rainfall, where the highest rainfall occurred in February to April, while the lowest was at
August and September. This study was an observational analytic study with multiple
temporal analyzes. Data used in this research are secondary data of DBD case and rainfall
factor data. Dengue fever spreads in residential areas. The strength of rainfall correlation
with dengue is strong (r = 0.62).There is no significant correlation between rainfall factor
and DHF. This may be due to the lack of duration of data taken, incomplete physical factor
data and the influence of other dominant factors.

Keywords: DHF, environmental dynamics, multi temporal analysis, spatial, GIS

Abstrak

Demam berdarah dengue masih jadi masalah kesehatan masyarakat dan kejadian
kasusnya pun naik turun tak menentu. Salah satu penyebab kejadian DBD adalah curah
hujan. Berdasarkan letak geografi dan topografi, Kabupaten Karanganyar memiliki
temperatur suhu antara 180-310C, Suhu terendah berada di wilayah Kecamatan
Tawangmangu bila musim penghujan, yaitu 180C, sedangkan di wilayah Kecamatan
Gondangrejo dan Kecamatan Colomadu mencapai suhu 310C. Nyamuk Aedes aegypti
mampu bertahan pada suhu 22 - 240C. Pada musim hujan, biasanya kejadian kasus DBD
cenderung meningkat. Berdasarkan data dari 6 stasiun pengukur yang ada di Kabupaten
Karanganyar, banyaknya hari hujan selama setahun adalah 115,6 hari dengan rata-rata
curah hujan 7.231,4 mm, dimana curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Februari sampai
dengan bulan April, sedangkan yang terendah pada bulan Agustus dan bulan September.
Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan multi temporal
analisis. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder kasus DBD dan
Arifatun Nisaa adalah Program Studi Perekam dan Informasi Kesehatan, FKM Univet
BANTARA Sukoharjo

25
26 Jurnal IKESMA Volume 14 Nomor 1 Maret 2018

data faktor curah hujan. Sebaran kasus DBD mengelompok di wilayah pemukiman.
Kekuatan korelasi curah hujan dengan DBD adalah kuat (r= 0,62). Tidak ada korelasi yang
signifikan antara faktor curah hujan dengan DBD. Hal ini mungkin disebabkan oleh,
kurang lamanya durasi data yang diambil, kurang lengkapnya data faktor fisik yang
diperoleh dan adanya pengaruh dari faktor-faktor lain yang lebih dominan.

Kata kunci: DBD, dinamika lingkungan, multi temporal analisis, spasial, GIS

PENDAHULUAN penaruhan barang-barang bekas tersebut


biasanya tempat terbuka, seperti lahan-
Indonesia merupakan salah satu lahan kosong atau lahan tidur yang ada di
negara yang beriklim tropis. iklim tropis daerah perkotaan maupun di daerah
ini hanya memiliki dua musim yaitu perdesaan. Ketika cuaca berubah dari
musim penghujan dan juga musim musim kemarau ke musim hujan sebagian
kemarau. Disaat pergantian musim besar permukaan tanah dan barang bekas
kemarau ke musim penghujan merupakan itu menjadi sarana penampung air hujan.
waktu dimana terjadinya Bila di antara tempat atau barang bekas
perkembangbiakan nyamuk. itu berisi telur hibernasi maka dalam
Pemberantasan penyakit ini terus waktu singkat akan menetas menjadi larva
menerus diupayakan untuk mengurangi Aedes aegypti yang dalam waktu (9-12
angka kematian. Namun, kejadian kasus hari) menjadi imago. Fenomena lahan
DBD naik turun tak menentu dari tahun ke kosong sering menjadi tempat
tahun. pembuangan sampah rumah tangga
Menurut Barera et al. (2006), termasuk barang kaleng yang potensial
faktor lingkungan yang berpengaruh sebagai tempat pembiakan
terhadap kehidupan vektor adalah faktor nyamuk(Tavares, A.O., Mario Monteiro.,
abiotik dan biotik. Faktor abiotik seperti M.A. Vargas., 2014).
curah hujan, temperatur, dan evaporasi Curah hujan dapat menambah
dapat mempengaruhi kegagalan telur, jumlah tempat perkembangbiakan vektor
larva dan pupa nyamuk menjadi imago. (breeding places) atau dapat pula
Keberhasilan itu juga ditentukan oleh menghilangkan tempat perindukan. Curah
kandungan air kontainer seperti bahan hujan dapat juga berpengaruh terhadap
organik, komunitas mikroba, dan serangga suhu dan kelembaban nisbi udara.
air yang ada dalam kontainer itu. Selain Menurut Cahyati (2006) bahwa curah
itu, bentuk, ukuran dan letak kontainer hujan 140 mm/minggu dapat
(ada atau tidaknya penaung dari kanopi menghambat berkembangbiaknya
pohon atau terbuka kena sinar matahari nyamuk. Curah hujan yang lebat
langsung juga mempengaruhi menyebabkan bersihnya tempat
kualitas(Barera R., 2006). Faktor curah perindukan vektor oleh karena hanyut
hujan mempunyai hubungan erat dengan terbawa aliran air yang menyebabkan
laju peningkatan populasi Aedes aegypti. matinya larva/jentik nyamuk. Suhu
Pada musim kemarau banyak barang mempengaruhi menetasnya larva Aedes
bekas seperti kaleng, gelas plastik, ban aegypti menjadi pupa dan dewasa. Suhu
bekas, dan sejenisnya yang dibuang atau yang terbaik menetaskan larva menjadi
ditaruh tidak teratur di sembarang dewasa antara suhu 26◦C –32◦C, bila suhu
tempat. Sasaran pembuangan atau terlalu ekstrim dibawah 26◦C atau di atas
Arifatun Nisaa : Korelasi Antara Faktor Curah Hujan ..... 27

32◦C maka daya penetasan larva menjadi dilengkapi sarana pengadaan dan
dewasa akan menurun (Cahyati, 2006). penyimpanan air untuk keperluan sehari-
Walaupun pada suhu 10◦C larva. Aedes hari. Terdapat keterkaitan antara
aegypti akan menetas tapi tidak begitu pola/tata letak permukiman dengan
sempurna. Faktor suhu akan dipengaruhi perkembangan nyamuk Aedes aegypti,
oleh curah hujan pada suatu daerah, asumsinya bahwa pada daerah yang
sehingga faktor iklim (curah hujan, suhu permukimannya padat dan tidak teratur
dan kelembaban udara) menjadi penting menyebabkan kendala seperti saluran
dalam penentuan pengendalian DBD pembuangan limbah dan saluran air hujan
(Brunkard et al., 2007). Berbagai faktor yang tidak memadai, banyak rumah yang
iklim terhadap DBD, dimana nyamuk asal membangun sehingga tidak terdapat
dapat bertahan hidup pada suhu rendah cukup cahaya masuk. Hal ini
tetapi metabolismenya menurun atau mengakibatkan kelembaban udara tinggi
bahkan terhenti bila suhu udara turun yang mempermudah perkembangbiakan
sampai di bawah suhu kritis. Pada suhu nyamuk Aedes aegypti.
yang lebih tinggi dari 32◦C juga dapat Berdasarkan Profil Kesehatan Jawa
mempengaruhi proses fisiologis, rata-rata Tengah tahun 2013, Angka kesakitan
suhu optimum untuk pertumbuhan ((Incidence Rate (IR)) DBD di Provinsi
nyamuk adalah 26◦C-32◦C. Pertumbuhan Jawa Tengah sebesar 45,52/100.000
nyamuk akan terhenti sama sekali bila penduduk, pada tahun 2012 sebesar
suhu kurang dari 10◦C atau lebih dari 19,29/100.000 penduduk, meningkat bila
40◦C, sedangkan untuk pertumbuhan dibandingkan tahun 2011 (15,27/100.000
jentik diperlukan suhu udara berkisar penduduk). Angka kematian ((Case
26◦C-32◦C. Kelembaban udara merupakan Fatality Rate (CFR)) DBD tahun 2013
faktor penting dalam pertumbuhan sebesar 1,21%, tahun 2012 sebesar
nyamuk. Kelembaban optimal yang 1,52%, lebih tinggi dibandingkan dengan
diperlukan untuk pertumbuhan nyamuk target nasional (<1%) (Dinas Kesehatan
berkisar antara 60-80%. Umur nyamuk Provinsi Jawa Tengah, 2014). Data
Aedes aegypti betina rata-rata mencapai rekapitulasi mingguan penyakit DBD di
10 hari. Namun, dengan keadaan suhu Dinas Kesehatan Kabupaten Karanganyar,
udara dan kelembaban yang optimal umur jumlah kasus penderita penyakit DBD di
nyamuk dapat mencapai lebih dari 1 Karanganyar melonjak pada tahun 2013
(satu) bulan. Secara tidak langsung menjadi 300 kasus dan dapat dikatakan
kelembaban dapat berpengaruh terhadap KLB (Kejadian Luar Biasa) dibanding
umur nyamuk dalam kesempatannya tahun 2012 sejumlah 76 kasus. Pada tahun
untuk menjadi vektor. Pada kelembaban 2014 kejadian DBD di Kabupaten
yang tinggi menyebabkan nyamuk cepat Karanganyar naik menjadi 520 kasus
lemah dan dapat menyebabkan kematian. dengan 97 desa terjangkit dan jumlah desa
Pada kelembaban kurang dari 60% umur terjangkit tertinggi terjadi pada bulan
nyamuk akan menjadi pendek sehingga januari yaitu 26 desa, meskipun jumlah
tidak cukup untuk siklus pertumbuhan kejadian DBD tertinggi terjadi pada bulan
virus dalam tubuh nyamuk (Bouzid et al., juni sejumlah 92 kasus dengan 8 desa
2014). terjangkit. Kecamatan Colomadu menjadi
Penyebaran populasi Aedes aegypti kecamatan yang memiliki jumlah kejadian
erat kaitannya dengan perkembangan DBD tertinggi yaitu 93 kasus, dengan 55
permukiman penduduk akibat kasus tercatat di puskesmas Colomadu I
didirikannya rumah-rumah baru yang dan 38 kasus di puskesmas Colomadu II
28 Jurnal IKESMA Volume 14 Nomor 1 Maret 2018

sedangkan Gondangrejo 88 kasus diikuti analitik dengan cara multi temporal


dengan Tasikmadu dan Karanganyar analysis, yaitu memperoleh dan
sebesar 74 kasus dan 68 kasus. Kecamatan menganalisis data penginderaan jauh
Colomadu memiliki 11 desa. Kejadian DBD dengan memanfaatkan waktu perekaman
tertinggi terjadi di desa Malangjiwan yang berbeda. Obyek yang tergambar
dengan jumlah 22 kasus dan desa dalam citra menggambarkan kondisi dan
Gawanan 16 kasus. Kecamatan Colomadu waktu perekaman yang berbeda-beda.
termasuk daerah yang endemis DBD Dalam penelitian ini, rentang waktu
dengan 3 tahun berturut-turut memiliki kejadian DBD dan klimatologi yang
jumlah kejadian DBD tertinggi dianalisis adalah tahun 2010-2014.
dibandingkan dengan kecamatan lain Penelitian ini menggunakan uji statistik
(Dinas Kesehatan Kabupaten regresi dengan data kejadian DBD yang
Karanganyar, 2015). berasal dari Dinas kesehatan & BPS
Colomadu merupakan wilayah Kabupaten Karanganyar dan data
yang endemis DBD. Faktanya, dalam 3 klimatologi (curah hujan) berasal dari
tahun terakhir Kecamatan Colomadu BMKG Semarang dan Stasiun Pemantau
memiliki jumlah kejadian DBD tertinggi Adi Soemarmo.
dibandingkan dengan kecamatan lain di
Kabupaten Karanganyar. Penelitian terkait
unsur klimatologi dan penggunaan lahan HASIL
dengan DBD sudah banyak dilakukan. 1. Perkembangan Kejadian DBD di
Namun, di Colomadu belum pernah Kecamatan Colomadu, Kabupaten
dilakukan dan ini penting sebagai upaya Karanganyar
kewaspadaan dini kemungkinan adanya Kasus DBD di Kecamatan
KLB DBD. Oleh karena itu dilakukan Colomadu Minggu ke-1 hingga Minggu ke-
analisis korelasi faktor curah hujan 52, tertinggi berada pada tahun 2013 yaitu
dengan kejadian DBD berbasis sistem 167 kasus, diantaranya 74 kasus di
informasi geografis untuk mengkaji faktor Puskesmas Colomadu I dan 93 kasus di
curah hujan terhadap kejadian DBD tahun Puskesmas Colomadu II. Terdapat 3 desa
2010-2014 di Kabupaten Karanganyar. yang paling banyak terjangkit kasus DBD
yaitu Baturan sejumlah 30 kasus,
Malangjiwan sejumlah 24 kasus dan
BAHAN DAN METODE Blulukan sejumlah 22 kasus. Berikut grafik
jumlah kejadian DBD per desa di
Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Colomadu, Kabupaten
Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar dalam 5 tahun.
Arifatun Nisaa
Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah dan : Korelasi Antara Faktor Curah Hujan ..... 29
merupakan penelitian observasional
Gambar 1. Grafik Distribusi Kasus DBD per desa di Kecamatan
Colomadu, Kabupaten Karanganyar

2. Kondisi Lingkungan Fisik terjadi hujan. Curah hujan rata-rata


Curah Hujan terendah terjadi pada tahun 2014 yaitu
Curah hujan di Kecamatan 141,92 mm. Sedangkan rata-rata curah
Colomadu pada bulan agustus tahun 2012 hujan tertinggi terjadi pada tahun 2012
mengalami peningkatan yang signifikan yaitu 321,67mm. Gambaran curah hujan di
yaitu 655,8 mm dibandingkan pada bulan Kecamatan Colomadu, Kabupaten
sebelumnya yang hanya 0,2 mm. Pada Karanganyar pada periode waktu 2010-
bulan September tahun 2011-2014 tidak 2014 ditunjukkan pada grafik berikut.
Curah Hujan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tahun 2010 591 398,4 365,7 310,5 407 94,4 14 122 296 274 204,3 400,4
Tahun 2011 382,7 348,5 388 459,7 178 10,5 108 0 0 139 210 324,4
Tahun 2012 744,1 688,9 290 534 57,9 70,8 0,2 655,8 0 92,2 309,2 416,9
Tahun 2013 437 369 179,6 342 232,5 183,6 99,3 4,3 0 205,2 222 341,1
Tahun 2014 255,1 206,8 212,6 221,7 152,5 136,6 74,8 1,5 0 7 128,5 306
Gambar 3. Grafik Curah Hujan di Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar

3. Korelasi Curah Hujan dengan 30


hasil Jurnal
uji regresi diperoleh
IKESMA nilai
Volume 14 constant
Nomor 1 Maret 2018
Kejadian DBD (nilai a) sebesar 16,727 dan nilai b= 0,131,
Hasil uji korelasi variabel curah sehingga persamaan regresinya Kasus
hujan menunjukkan nilai r sebesar 0,131 DBD= 16,727 + 0.131 (curah hujan), dapat
yang berarti mempunyai kekuatan digunakan untuk memprediksi kejadian
korelasi yang sangat lemah dan DBD, atau dengan kata lain, tidak ada
mempunyai arah korelasi yang positif. korelasi antara curah hujan dengan
Artinya, jumlah kejadian DBD meningkat kejadian DBD. Peningkatan curah hujan
ketika curah hujan tinggi dan kejadian sebanding dengan peningkatan
DBD menurun sejalan dengan menurunan pertumbuhan jentik nyamuk DBD.
curah hujan. Nilai signifikan (p)= 0,78 Berdasarkan persamaan tersebut
sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak menunjukkan bahwa setiap peningkatan
ada korelasi yang bermakna antara curah 1mm curah hujan dapat memberikan
hujan selama periode tahun 2010-2014 perubahan peluang peningkatan kasus
dengan kejadian DBD, karena nilai p lebih DBD sebesar 0,131 kasus.
besar dari α (0,05). Dari analisis variansi
(uji F), diperoleh nilai F (hitung) sebesar
0,08 dengan probabilitas 0,78 lebih besar PEMBAHASAN
dari 0,05, yang menunjukkan tidak
terdapat korelasi yang signifikan. Dari
1. Perkembangan Kejadian DBD di terbuka (7,5%) dan padang rumput
Kecamatan Colomadu, Kabupaten (6,7%) (Cheong, Leitao and Lakes, 2014).
Karanganyar
Kasus DBD merupakan salah satu penyakit 2. Kondisi Lingkungan Fisik
yang setiap musim penghujan (menjelang, Curah Hujan
sedang dan setelah) menjadi faktor Musim hujan dan musim kemarau
munculnya DBD akibat lingkungan yang memiliki pengaruh pada tingkat suhu
mendukung perkembangan jentik Aedes lingkungan. Pengaruh ini cenderung
aegypti sebagai penyebab DBD. Perubahan bersifat lokal dengan periode waktu
iklim menyebabkan perubahan curah tertentu. Hal ini dikarenakan tingkat suhu
hujan sehingga berefek terhadap dan kelembaban lebih kompleks dan
ekosistem daratan dan lautan serta dipengaruhi oleh fenomena global,
berpengaruh terhadap kesehatan regional dan topografi serta vegetasi. Saat
terutama terhadap perkembangbiakan pergantian musim penghujan ke musim
vektor penyakit seperti nyamuk Aedes, kemarau, kondisi suhu berkisar 23◦C-31◦C.
malaria dan lainnyabaik menjelang musim Nyamuk Aedes aegypti bisa hidup pada
maupun setelah musim hujan (Gubler, suhu rendah tetapi metabolismenya
2010). menurun, bahkan terhenti bila suhu turun
Penularan penyakit DBD sampai dibawah suhu kritis, sebaliknya
dipengaruhi oleh interaksi yang kompleks pada suhu lebih tinggi dari 35°C dapat
antara vektor, host dan virus. Penggunaan mempengaruhi proses fsiologis, suhu
lahan seperti bendungan air atau praktek maksimum untuk pertumbuhan nyamuk
pertanian tertentu telah diidentifikasi 25° C-30° C (WHO, 2005).
sebagai faktor risiko demam berdarah Faktor curah hujan menjadi
karena penyediaan habitat yang cocok perhatian pada penelitian ini, dimana
untuk vektor. Banyak penelitian telah setiap musim hujan kejadian DBD akan
difokuskan pada faktor penggunaan lahan menjadi permasalahan yang dihadapi
dan tingginya jumlah vektor dengue di masyarakat. Jika curah hujan tinggi dan
daerah kecil tapi belum mempelajari akhirnya terjadi banjir, maka setiap selesai
hubungan antara faktor-faktor kejadian banjir diikuti dengan wabah DBD.
penggunaan lahan dan kasus demam Namun, jika curah hujan kecil dan dalam
berdarah dengue untuk daerah besar. waktu yang lama akan menambah tempat
Penelitian Cheong et al., (2014) bertujuan perindukan nyamuk dan meningkatkan
untuk menjelaskan jika penggunaan lahan populasi nyamuk. Seperti penyakit
selain faktor pemukiman manusia, berbasis vektor lainnya, DBD
misalnya berbagai jenis penggunaan lahan menunjukkan pola yang berkaitan dengan
pertanian, bendungan air dan hutan juga iklim terutama curah hujan karena
terkait dengan kasus demam berdarah mempengaruhi penyebaran vektor
dengue dilaporkan 2008-2010 di negara nyamuk dan kemungkinan menularkan
bagian Selangor, Malaysia. Dari study virus dari satu manusia ke manusia
korelatif menghasilkan peta resiko lain(Yussanti, 2010). Curah hujan yang
prediksi. Hasil menunjukkan bahwa faktor tinggi dan berlangsung dalam waktu yang
penggunaan lahan yang paling lama dapat menyebabkan banjir sehingga
berpengaruh adalah pemukiman manusia dapat menghilangkan tempat perindukan
(39,2%), diikuti oleh badan air (16,1%), nyamuk Aedes aegyptiyang biasanya hidup
hortikultura campuran (8,7%), lahan di air bersih. Akibatnya jumlah
perindukan nyamuk akan berkurang
sehingga populasi nyamuk akan hujan dengan kejadian DBD. Peningkatan
berkurang(Dini, A.M.V, 2010). curah hujan sebanding dengan
peningkatan pertumbuhan jentik nyamuk
3. Korelasi Curah Hujan dengan DBD. Berdasarkan persamaan tersebut
Kejadian DBD menunjukkan bahwa setiap peningkatan
Hasil analisis dalam penelitian ini 1mm curah hujan dapat memberikan
sejalan dengan penelitian Adrianto (2009) perubahan peluang peningkatan kasus
tentang hubungan antara unsur iklim DBD sebesar 0.131 kasus. Hasil penelitian
dengan kejadian penyakit demam ini sejalan dengan penelitian lain, bahwa
berdarah dengue di kota semarang 1999- tidak ada korelasi antara faktor curah
2008, yang dilaksanakan pada bulan April hujan dengan kejadian DBD, diduga
2009 dengan rancangan studi ekologi. karena faktor lain yang lebih besar
Hasil uji statistik didapatkan tidak peranannya. Adanya curah hujan yang
hubungan antara suhu dengan kejadian tinggi, memungkinkan banyak
penyakit demam berdarah dengue bermunculan tempat perindukan nyamuk.
(p=0,437)(Adrianto, 2009). Penelitian Namun, curah hujan tersebut dapat
tersebut sejalan, diduga terjadi akibat menyapu tempat perindukan nyamuk
adanya pengaruh faktor lain yang lebih tersebut secara alami maupun artificial
dominan seperti adanya media (buatan). Kondisi hujan dan panas yang
perindukan nyamuk yang banyak dan berseling pada pergantian musim lebih
perilaku masyarakat yang kurang berpengaruh positif terhadap populasi
berorientasi pada kesehatan. nyamuk dikarenakan air hujan tidak
Hasil uji korelasi variabel curah mengalir dan menggenang di beberapa
hujan menunjukkan nilai koefisien tempat. Peningkatan jumlah media
korelasi sebesar 0.131 yang berarti perindukan nyamuk dan semakin
mempunyai kekuatan korelasi yang sangat menurunnya daya dukung lingkungan,
lemah dan mempunyai arah korelasi yang diduga menjadi salah satu penyebab
positif. Artinya, jumlah kejadian DBD terjadinya hubungan yang tidak bermakna
meningkat ketika curah hujan tinggi dan tersebut.
kejadian DBD menurun sejalan dengan Sebagai upaya kewaspadaan dini
menurunan curah hujan. Nilai signifikan terhadap kemungkinan adanya KLB DBD
(p)= 0.78 sehingga dapat disimpulkan dalam tahun-tahun berikutnya, sebaiknya
bahwa tidak ada korelasi yang bermakna dilakukan pencegahan dengan cara
antara curah hujan selama periode tahun melepaskan nyamuk Aedes aegypti yang
2010-2014 dengan kejadian DBD, karena mengandung bakteri Wolbachia. Seperti
nilai p lebih besar dari α (0.05). Dari diketahui, wolbachia adalah bakteri alami
analisis variansi (uji F), diperoleh nilai F yang terdapat pada sel tubuh serangga
(hitung) sebesar 0.08 dengan probabilitas dan ditemukan di 60 persen spesies
0.78 lebih besar dari 0.05, yang serangga seperti rengat, lalat buah,
menunjukkan tidak terdapat korelasi yang capung, kumbang, hingga nyamuk. Namun
signifikan. Dari hasil uji regresi diperoleh bakteri ini tidak ada pada nyamuk Aedes
nilai constant (nilai a) sebesar 16.727 dan aegypti yang selama ini dikenal sebagai
nilai b= 0.131, sehingga persamaan vektor penular virus dengue. Dengan
regresinya Kasus DBD= 16.727 + 0.131 menyuntikkan bakteri wolbachia ke tubuh
(curah hujan), dapat digunakan untuk nyamuk, dan menyebarkan nyamuk
memprediksi kejadian DBD, atau dengan tersebut ke daerah yang sering ditemukan
kata lain, tidak ada korelasi antara curah kasus DBD. Harapannya dengan
penyebaran nyamuk wolbachia ini,
nyamuk penular virus dengue akan
berkurang. Di sejumlah kecamatan seperti DAFTAR RUJUKAN
yang telah diterapkan oleh Eliminate
Dengue Project (EDP) sejak 2014 lalu. [1] Adrianto, M. (2009) Hubungan
Penelitian laboratorium menunjukkan antara Unsur Iklim dengan Kejadian
keberadaan bakteri ini mampu Penyakit DBD di Kota Semarang
menghambat pertumbuhan virus dengue 1999-2008. Universitas Diponegoro.
dalam tubuh nyamuk. Dengan demikian, [2] Barera R., M. A. dan G. G. C. (2006)
dapat mengurangi secara signifikan ‘Ecological Factors Influencing
nyamuk yang dapat menyebabkan DBD. Aedes aegypti (Diptera: Culicidae)
Metode ini sudah diteliti dengan Productivity in Artificial Containers
melepaskan ribuan nyamuk berwolbachia in Salinas, Puerto Rico’, Med.
di dua padukuhan, Kronggahan dan Entomology, 43(3), pp. 484–492.
Nogotirto, Sleman. Setelah adanya [3] Bouzid, M. et al. (2014) ‘Climate
pelepasan ribuan nyamuk berbakteri change and the emergence of vector-
wolbachia, di padukuhan Kronggahan dan borne diseases in Europe: case study
Nogotirto tidak ditemukan masyarakat of dengue fever.’, BMC public health,
yang terkena DBD. 14, p. 781. doi: 10.1186/1471-2458-
14-781.
[4] Brunkard, J. M. et al. (2007) ‘Dengue
SIMPULAN Fever Seroprevalence and Risk
Factors , Texas – Mexico’, Emerging
1. Salah satu penyebab kejadian DDB Infectious Diseases, 13(10), pp.
adalah faktor curah hujan 1477–1483.
2. Kejadian DBD tertinggi terjadi di Desa [5] Cahyati, W. H. (2006) ‘Dinamika
Baturan dengan jumlah 80 kasus. Suhu Aedes Aegypti sebagai Vektor
rata-rata di Kecamatan Colomadu Penyakit Kesehatan Masyarakat’, 2,
27,70◦C, Rata-rata kecepatan angin 5,9 pp. 40–50.
km/jam, Kelembababan rata-rata [6] Arifatun
Cheong, Y. L., Leitao, Nisaa
P. J. and : Korelasi Antara Fak
Lakes,
75,47%, Curah hujan rata-rata T. (2014) ‘Assessment of Land Use
236,75mm, dan penggunaan lahan Factors Associated With Dengue
sebesar untuk tanah sawah 509 Ha Cases in Malaysia Using Boosted
dan penggunaan tanah kering 1.055,17 Regression Trees.’, Spatial and
Ha. spatio-temporal epidemiology.
3. Terdapat korelasi yang bermakna kuat Elsevier Ltd, 10, pp. 75–84. doi:
dengan arah positif antara curah hujan 10.1016/j.sste.2014.05.002.
dengan kejadian DBD (p= 0.56 dan [7] Dinas Kesehatan Kabupaten
r=0.62 ). Karanganyar (2015) Profil Dinas
4. Tidak ada korelasi yang signifikan Kesehatan Kabupaten Karanganyar
antara faktor curah hujan dengan DBD 2012-2014. Karanganyar: Dinkes
mungkin disebabkan karena kurang Kab. Karanganyar.
lamanya durasi data yang diambil, [8] Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
kurang lengkapnya data faktor fisik Tengah (2014) Profil Dinas
yang diperoleh dan adanya pengaruh Kesehatan Provinsi Jawa Tengah
dari faktor-faktor lain yang lebih 2012 & 2013. Semarang: Dinkes
dominan. Prov. Jawa Tengah.
[9] Dini, A.M.V, R. N. F. dan R. A. W. Planning Framework’, Applied
(2010) ‘Faktor Iklim dan Angka Geography, 52, pp. 153–171. doi:
Insiden Demam Berdarah Dengue di 10.1016/j.apgeog.2014.05.008.
Kabupaten Serang’, Jurnal [12] WHO (2005) Panduan Lengkap
Kesehatan, 14(1). Pencegahan dan Pengendalian
[10] Gubler (2010) The Global Threat Of Demam Berdarah Dengue. 1th Editio.
Emergent/re-emergen Vector-borne Edited by P. Widyastuti. Jakarta:
Diseases. In : Atkinson. Vector Bio. Buku Kedokteran EGC.
New York: Springer. [13] Yussanti, N. (2010) Pemodelan
[11] Tavares, A.O., Mario Monteiro., M.A. Wabah DBD di Jawa Timur
Vargas., R. S. (2014) ‘Land Use Berdasarkan Faktor Iklim dan Sosio
Change and Forest Routing in a Ekonomi dengan Pendekatan Regresi
Rural Context: The Relevance of The Panel Semi Parametrik. Institut
Community-Based Management and Teknologi Surabaya.

You might also like