You are on page 1of 10

FAKTOR-FAKTOR SOSIAL BUDAYA YANG MELATARBELAKANGI

RENDAHNYA CAKUPAN PENDERITA TUBERKULOSIS (TB) PARU DI


PUSKESMAS PADANG KANDIS, KECAMATAN GUGUK KABUPATEN 50
KOTA (PROVINSI SUMATERA BARAT)

Yulfrra Media

Peneliti Bappeda Provinsi Sumatera Barat

Abstract.
Tuberculosis (TB) Pulmonary is still one of the major health problems in Indonesia, and
included in the province of West Sumatra. Many efforts has been conducted to outcome the
problem, one of them is the DOTS strategy. From the results of countermeasures that have been
implemented was the scope of the discovery of the TB patients are expected to 70% in Year 2009
in West Sumatra Province can only be achieved 48.8%. The study of socio-cultural factors
underlying the low coverage of the discovery of pulmonary TB patients have been conducted in
the region of Padang Kandis health centers, Guguk Subdistrict, District 50 City. This study uses
a qualitative approach, and data collection techniques used were Focus Group Discussions
(FGD) and in-depth interviews. The results showed that some socio-cultural aspects that are
considered related to the low coverage of the discovery of patients with pulmonary TB are the
economic aspects, education/knowledge, perceptions, habits and beliefs as well as access to
health services. Knowledge and awareness in the prevention of pulmonary TB disease is still
lacking. Some people still have the perception that the diseases associated with pulmonary TB
supernatural power, and includes diseases that are considered shameful.

Key word: socio-cultural, discovery of patients, tuberculosis

Abstrak
Tuberkulosis (TB) paru masih merupakan salah satu masalah kesehatan utama di Indonesia,
dan termasuk di Provinsi Sumatera Barat. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi
masalah ini, salah satunya adalah strategi DOTS. Dari hasil penanggulangan yang telah
dilaksanakan adalah ruang lingkup penemuan pasien TB diharapkan menjadi 70% pada Tahun
2009 di Propinsi Sumatera Barat hanya dapat dicapai 48,8%. Studi tentang faktor
sosial-budaya yang mendasari rendahnya cakupan penemuan pasien TB paru telah dilakukan
di wilayah Padang Kandis pusat kesehatan, Guguk Kecamatan, Kabupaten 50 Kota. Penelitian
ini menggunakan pendekatan kualitati[, dan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa beberapa aspek sosial-budaya yang dianggap berkaitan dengan rendahnya cakupan
penemuan pasien dengan TB paru adalah aspek ekonomi, pendidikan/pengetahuan, persepsi,
kebiasaan dan keyakinan serta akses ke layanan kesehatan. Pengetahuan dan kesadaran dalam
pencegahan penyakit TB paru masih kurang. Beberapa orang masih memiliki persepsi bahwa
penyakit yang berhubungan dengan kekuatan supranatural TB paru, dan termasuk penyakit
yang dianggap memalukan.

Kata kunci: sosial-budaya, penemuan pasien, TBC

Submit: 25-7-2011 Review: 27 -7-2011 Review: 22-8-2011 revisi: 19-9-2011

11
9
Bul. Penelit. Kesehat, Vol. 39, No.3, 2011: 119 - 128

PENDAHULUAN tercapainya penemuan pasien baru TB BTA


Penyakit tuberkulosis (TB) Paru positif paling sedikit 70 % dari perkiraan dan
merupakan penyakit menular yang masih menyembuhkan 85 % dari semua pasien
menjadi masalah utama kesehatan masyarakat tersebut. Target ini diharapkan dapat
menurunkan prevalensi dan kematian akibat
Indonesia. Laporan WHO (2006),
TB hingga separuhnya pada tahun 2010
menempatkan Indonesia sebagai penyumbang
dibanding tahun 1990, dan mencapai tujuan
penderita TB terbesar ke-3 di dunia setelah
millenium development goals (MDGs) pada
India dan Cina dengan jumlah kasus baru
tahun 2015. (I)
sekitar 539.000 dan jumlah kematian sekitar
101.000 per tahun. (I) Berdasarkan hasil Survei Kabupaten 50 Kota merupakan salah
Prevalensi Tuberkulosis di Indonesia tahun satu kabupaten di Provinsi Sumatera Barat
2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi yang termasuk rendah dalam jumlah cakupan
TB Paru berdasarkan mikroskopis BTA po- penemuan penderita TB Paru yaitu sebesar
sitif: 110/100.000 penduduk.i'! Selanjutnya 32,6 %. ('/)
hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun Salah satu upaya yang telah dilakukan
2010 menunjukkan bahwa prevalensi TB untuk menanggulangi penyakit TB Paru di
berdasarkan pengakuan responden yang Indonesia adalah dengan melaksanakan
diagnosis tenaga kesehatan secara nasional strategi DOTS (semenjak tahun 1995).
sebesar 0.7 persen, dan dalam hal ini terjadi Strategi DOTS sendiri diimplementasikan
peningkatan Angka Prevalensi dibandingkan dengan adanya komitmen po litis dari
dengan Riskesdas 2007 (0,4%). (2) penentu kebijakan termasuk dukungan dana,
Penyakit TB Paru juga merupakan dilakukannya diagnosis dengan pemeriksaan
masalah bagi masyarakat di Provinsi dahak secara mikroskopik, digunakannya
Sumatera Barat. Jumlah kasus BT A positif di obat panduan jangka pendek yang ampuh
Sumatera Barat pada tahun 2007 adalah 3.693 diberikan dengan pengawasan PMO
orang.r" Jumlah ini meningkat jika (Pengawas Minum Obat), jaminan
dibandingkan dengan data tahun 2005 yaitu kesinambungan persediaan obat jangka
3.084 orang (4) dan tahun 2006 sebanyak 3.410 pendek untuk penderita, serta pencatatan dan
orang (Dinkes, 2006).(5) Jika dilihat dari pelaporan secara baku untuk mempermudah
cakupan penemuan penderita TB BTA+ atau pemantauan dan evaluasi program
CDR tahun 2008 adalah 45,8%, angka ini penanggulangan tuberkulosis. (8)
sedikit menurun jika dibandingkan dengan Masalah angka kesakitan dan ke-
pencapaian tahun 2007 yaitu sebesar 48,0 %. matian penyakit TB Paru serta rendahnya
Selanjutnya dari hasil penanggulangan yang angka cakupan penemuan penderita TB
sudah dilaksanakan ternyata cakupan adalah masalah kesehatan yang komplek
penemuan penderita TB yang diharapkan 70 yang dipengaruhi banyak faktor, yaitu faktor
%, pada tahun 2009 baru dapat dicapai 48,8% internal dan eksternal. Faktor internal yang
dengan angka sukses rate mencapai 88,9 %. (6) menentukan kesehatan seseorang, kelompok,
Jika kita melihat target program yaitu perilaku. Sedangkan faktor eksternal
penanggulangan TB di Indonesia adalah adalah lingkungan, baik lingkungan fisik
maupun non fisik seperti so sial budaya,
ekonomi, politik. (9)

120
Faktor-Faktor Sosial Budaya ..................... (Yulfrra)

Salah satu penyebab rendahnya Tulisan ini merupakan bag ian dari
cakupan penemuan penderita TB Pam ter- Kajian Pengembangan Model Penang-
sebut adalah masih rendahnya kesadaran gulangan Penyakit Tuberkulosis Pam, yang
penderita dalam menjalani proses pengobatan dilakukan di kabupaten 50 Kota, Propinsi
dan penyembuhan. Penularan penyakit TB Sumatera Barat. Alasan pemilihan lokasi
Pam juga tidak terlepas dari faktor sosial penelitian adalah berdasarkan pertimbangan
budaya, terutama berkaitan dengan angka cakupan penemuan penderita TB Pam
pengetahuan, sikap dan perilaku dari yang termasuk rendah di lokasi tersebut,
masyarakat setempat. (10) dimana angka cakupan penemuan TB Pam
pada tahun 2009 di Kabupaten 50 Kota adalah
Sehubungan dengan hal tersebut,
sebesar 32,6 %. (7) Selanjutnya karena
maka tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan
pertimbangan waktu dan biaya, maka diambil
faktor-faktor so sial budaya yang
satu satu puskesmas yang angka cakupan
melatarbekalangi rendahnya cakupan pen-
penemuan TB Pam termasuk rendah di
derita TB Pam.
Kabupaten 50
Kota, yaitu Puskesmas Padang Kandis
BAHAN DAN CARA (Kecamatan Guguk) dengan cakupan
penemuan TB Pam 6,7 % (Tabel 1). (7)
Penelitian dilaksanakan pada tahun 2010.
Tabel. 1. Jumlah Cakupan Penemuan Kasus Penderita TB.Paru Menurut Masing-Masing Puskesmas di
Kab.Lima Puluh Kota 2009

No. Nama Puskesmas Jumlah cakupan


(%)
1. Rimbo Datar 80
2. Pangkalan 61,5
3. Situjuh 54,8
4. Halaban
5. Taram 50
6. Mungo 45,8
7. Kt Barn 40,1
8. Bj. Laweh 34
9. Br. Gunung 33,
10. Kapur IX 3
11. Bt. Hampar 33,
12. Mungka 3
13. Tj. Pati 33,
14. Gn. Malintang
3
15. Dangung2
16. Piladang 32,
17. Kt.Tinggi 1
18. Mahat 27
19. Suliki 23,
20. Padang Kandis 3
23,
3
21,
Kabupaten 50 Kota 1
32,6
15,
4
15
14,
3
13,
6 121
6,7
Bul. Penelit. Kesehat, Vol. 39, No.3, 2011: 119 - 128

Penelitian ini merupakan penelitian Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)


lapangan yang berbentuk deskriptif-inter- dan Sekolah Lanjutan Atas (SLTA).
pretatif, yang menggunakan pendekatan Peserta FGD dari kelompok tokoh
kualitatif. Teknik pengumpulan data di- masyarakat lebih banyak terdapat pada
lakukan dengan Fokus Grup Diskusi (FGD) kelompok umur 30 - 65 tahun, dengan latar
dan wawancara mendalam (indepth belakang pendidikan terbanyak adalah adalah
interview). Informan untuk wawancara SL T A dan Perguruan Tinggi. Dari segi
mendalam terdiri dari penderita TB Paru pekerjaan, adalah bervariasi, pensiunan, guru,
(yang sedang menjalani pengobatan, suspek wiraswasta, dan ibu rumah tangga. Sedangkan
dan mantan penderita), Tokoh masyarakat untuk peserta FGD dari kelompok kader
(TOMA), dan pengo bat tradisional (Batra). kesehatan, banyak yang berada pada
Jumlah informan adalah berdasarkan kelompok umur 30 - 45 tahun, dengan latar
kecukupan informasi. Fokus Grup Diskusi belakang pendidikan adalah SLTP dan SLTA,
(FGD) dilakukan kepada kelompok kader dan pada umumnya adalah ibu rumah tangga.
kesehatan dan kelompok tokoh masyarakat.
Masing-masing kelompok FGD terdiri dari 6 B.Faktor-faktor So sial Budaya
peserta. Penyebab Rendahnya Cakupan Pen
emu an Penderita TB Paru
Pengolahan dan analisis data dilakukan
secara manual oleh peneliti dengan Beberapa aspek sosial budaya yang
pendekatan kualitatif. melatarbelakangi pertimbangan masyarakat
dalam upaya pencarian pengobatan dan
HASIL
dianggap berkaitan dengan rendahnya
A. Karakteristik Informan cakupan penemuan TB Paru adalah masalah
ekonomi, pendidikan/pengetahuan dan
Hasil wawancara mendalam dengan
persepsi, kebiasaan/adat istiadat dan
informan tokoh masyarakat diketahui bahwa
kepercayaan serta stigma sosial, dan aksesl
umur dari tokoh masyarakat yang terbanyak
jangkauan pelayanan kesehatan.
berada pada kelompok umur 60 - 65 tahun,
dengan latar belakang pendidikan adalah
Sekolah Lanjutan Atas (SLTA) dan
Perguruan Tinggi, dan pekerjaan adalah
1. Ekonomi
Pensiunan/Pegawai Negeri. Sedangkan umur
penderita yang terbanyak berada pada Kondisi ekonomi masyarakat cen-
kelompok usia yang masih produktif 30 - 60 derung memp eng aruhi masyarakat dalam
tahun, dengan latar belakang pendidikan pemilihan pengobatan. Sulitnya akses menuju
Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan puskesmas dan sulitnya transportasi
Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah Lanjutan menyebabkan masyarakat kesulitan untuk
Atas (SLTA), dan mempunyai pekerjaan mengeluarkan biaya transportasi karena
sebagai wiraswasta, ibu rumah tangga dan kemampuan ekonomi yang relatif terbatas.
petani. Selanjutnya umur dari pengobat Pada penelitian ini diketahui bahwa sebagian
tradisional (Batra) atau dukun kampung lebih besar penderita TB Paru di lokasi penelitian
banyak berada pada kelompok umur yang menurut informan tokoh masyarakat dan
relatiftua (50 - 60 tahun). Sedangkan dari segi kader kesehatan berasal dari golongan
pendidikan, cukup banyak yang mempunyai ekonomi relatif rendah, sehingga dari segi
latar belakang pendidikan biaya transportasi mereka mengalami sedikit
kendala untuk mencari pengo batan ke
puskesmas, dan

122
Faktor-Faktor Sosial Budaya ..................... (Yulfrra)

apalagi pengobatan TB Paru harus dilakukan yang kanai panyakik itu akan maraso malu,
berulang-ulang sampai lebih kurang 6 (enam) dan labiah baiak barubek ka dukun
bulan. kampuang sajo, supayo urang lain indak
tahu, dan takuik dikatokan TBC sarato
Sementara itu, bagi sebagian kecil
pangobatannyo labiah capek" (Penyakit TB
penderita yang relatif cukup baik dari segi
merupakan penyakit keturunan, dianggap
kemampuan ekonomi cenderung memilih
hina dan dianggap aib oleh masyarakat,
pengobatan ke dokter praktek swasta. Hal ini
sehingga bila ada anggota keluarga yang
seperti yang diungkapkan informan sebagai
terkena penyakit TB, lebih baik berobat ke
berikut: "Kalau saandainyo lai ado piti labiah
dukun kampung saja, supaya orang lain tidak
baik barubek ka dokter praktek swasta karano
tahu, dan takut dikatakan TB, serta
di dokter swasta bisa capek ditangani, ndak
pengobatannya lebih cepat).
lama antri, palayanannyo sarato ubeknya
labiah rancak/paten, sadangkan kalau di
puskesmas palayannyo lamo" (Seandainya Selanjutnya sebagian masyarakat
memiliki kemampuan keuangan yang relatif juga beranggapan bahwa penyakit TB Paru
baik, maka lebih baik melakukan pengobatan atau batuk darah adalah karena perbuatan
kepada dokter praktek swasta, karena lebih manusia atau setan. Hal ini didukung oleh
cepat ditangai, tidak berlama-lama ngantri, pemyataan sebagian informan sebagai
pelayanan serta obatnya juga relatif lebih berikut:
baik, sedangkan di Puskesmas pelayanannya
lebih lama). "Kalau ado tando-tando batuak darah, angok
sasak, mako panduduak disiko langsuang
2. Pendidikan/pengetahuan, Persepsi mampunyai anggapan bahwasanyo itu
dan Stigma Masyarakat adolah panyakik nan diakibatkan oleh
Pendidikan sebagian masyarakat di kiriman urang lain atau digaduah dek setan"
lokasi penelitian masih tergolong relatif (Bila ada tanda-tanda seperti batuk berdarah,
rendah. Dengan kondisi pendidikan yang nafas sesak, maka penduduk di sini lang sung
relatif rendah, maka pengetahuan masyarakat beranggapan bahwa penyakit tersebut adalah
terhadap penyakit TB Paru juga terbatas. Hal penyakit yang diakibatkan oleh perbuatan
ini tampak dari persepsi masyarakat terhadap manusia atau gangguan setan).
penyakit TB Paru, dimana sebagian Penyuluhan tentang TB Paru yang
masyarakat masih beranggapan bahwa secara khusus dan lang sung kepada
penyakit TB Paru adalah penyakit keturunan, masyarakat menurut sebagian besar informan
memalukan dan dianggap tabu oleh belum pemah dilakukan. Walaupun demikian,
masyarakat. Kondisi adanya stigma di penyampaian informasi tentang kesehatan
masyarakat seperti inilah yang menyebabkan (berkaitan dengan penyakit TB Paru) sudah
sebagian masyarakat malu untuk pemah dilakukan di posyandu, dimana
memeriksakan kesehatan atau penyakitnya ke kegiatannya ditumpangkan pada promosi
pelayanan kesehatan, dan cenderung memilih kesehatan (promkes) dan kesehatan
pengo batan tradisional. Hal ini seperti yang lingkungan (kesling) , tetapi kegiatan tersebut
diungkapkan informan sebagai berikut: tidak secara rutin dilakukan. Begitu juga
"Panyakik TBC ko panyakik katurunan, dengan penyampaian informasi oleh tenaga
dianggap hino dan aib oleh masyarakat, kesehatan kepada pasien yang berobat ke
sahinggo kalau ado anggota kaluarga puskesmas juga sudah diberikan.

12
3
Bul. Penelit. Kesehat, Vol. 39, No.3, 2011: 119 - 128

3. Kebiasaan dan Kepercayaan Masya- kannya, serta pelayanannya lebih bersifat


rakat kekeluargaan),
Sebagian besar masyarakat biasanya 4. Akses/jangkauan Pelayanan Ke-
cenderung untuk membeli obat warung ketika sehatan
merasakan adanya gejala batuk, sedangkan
Pencapaian cakupan penemuan TB
sebagian lagi lang sung berobat dan
Paru menurut informan memang tidak sesuai
mempercayakan kesembuhannya pada tenaga
dengan apa yang diharapkan. Kondisi
kesehatan. Alasan mereka membeli obat
keterbatasan jangkauan pelayanan dan
warung karena masih tergolong penyakit
kebijakan-kebijakan itu sendiri juga
ringan, dan memilih ke puskesmas karena
berpengaruh terhadap pencapaian cakupan
gejala batuknya sudah termasuk penyakit
penemuan penderita. Kondisi sulitnya
berbahaya, menular, dan hanya bisa
masyarakat untuk mencapai akses pelayanan
disembuhkan melalui pengobatan medis
kesehatan (puskesmas) karena jarak yang
dengan melakukan pengobatan/minum obat
relative jauh dan beratnya biaya transposrtasi)
selama jangka waktu 6 bulan. Sedangkan
adalah menjadi pertimbangan masyarakat
sebagian kecil lainnya mempercayakan
dalam upaya pencarian pengobatan.
kesembuhannya melalui bantuan tenaga
Sebagaimana yang diungkapkan informan:
pengobat tradisional, karena mereka
"Kok pai baubek ka puskesmas, jaraknyo agak
beranggapan bahwa penyakit batuk/TBC
jauh dari rumah dan harus mangaluakan
tersebut hanya bisa dan cepat disembuhkan
pitih untuk pambayia ojek, dan itu taraso
melalui pengobatan tradisional karena
sangek mabarekkan" (Untuk mendapatkan
penyakit tersebut berkaitan dengan kekuatan
pelayanan pengobatan di puskesmas,
ghaib. Kondisi seperti ini antara lain
jaraknya relatif jauh dari tempat tinggal
dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya
sehingga memerlukan biaya yang cukup besar
karena kebiasaan keluarga yang turun
untuk biaya transportasi) ,
temurun, dan keyakinan mereka kepada
pengobat tradisional karena pelayanan yang 5. Persepsi terhadap Pelayanan Ke-
diberikan oleh tenaga pengobat tradisional sehatan
lebih bersifat kekeluargaan. Hal ini seperti Persepsi masyarakat terhadap
yang diungkapkan informan: pelayanan kesehatan seperti puskesmas
"Panyakik TBe ko ado kaitannya jo menurut informan sudah positif. Perilaku
perbuatan makhluk gaib, untuak itu labiah petugas, cara pelayanan, obat-obatan yang
rancak barubek ka dukun kampuang, karano tersedia dirasakan informan sudah relatif
labiah capek cegaknya, salain itu dari bagus. Namun, ada sedikit hambatan untuk
nenek-nenek dulunyo alah tabiaso barubek ka mencapai pelayanan kesehatan, dan jam
dukun tu dan picayo dukun tu dapek pelayanan yang terbatas, seperti pada
maubeknyo, palayanannyopun labiah basipek hari/libur puskesmas tutup. Di samping itu,
kakaluargaan" (Penyakit TB berkaitan sebagian masyarakat beranggapan bahwa
dengan perbuatan makhluk gaib, oleh sebab pengo batan yang dilakukan di puskesmas dan
itu pengobatannya lebih baik dilakukan oleh rumah sakit dilaksanakan secara
dukun kampung karena lebih cepat berulang-ulang, penyembuhan relatif lebih
sembuhnya, selain itu bero bat ke dukun lama serta 0 bat mengandung zat kimia
kampung sudah merupakan kebiasaan dengan efek samping jantung berdebar.
turun-temurun dan diyakini dukun tersebut
bisa menyembuh-

124
Faktor-Faktor Sosial Budaya ..................... (Yulfrra)

"Barubek di puskesmas sangek lama dan gejala lainnya, seperti ekonomi, so sial, religi
harus baulang-ulang, salin tu bilo acok bahkan kekerabatan. Dengan demikian,
mamakan ubek dari puskesmas bisa sistem kesehatan tidak lain adalah sistem
manyababkan jantuang badebar-debar budaya, sehingga akan menjadi sukar
karano ubek tu manganduang zat kimia" melakukan pemahaman suatu sistem
(Bero bat di puskesmas memakan waktu yang medis/kesehatan, tanpa memahami konteks
cukup lama dan dilakukan secara budaya yang melingkarinya.
berulang-ulang, selain itu dengan meng-
Dari hasil penelitian diketahui bahwa
konsumsi obat dari puskesmas dapat meng-
sebagian besar masyarakat yang mengalami
akibatkan j antung berde bar karena pengaruh
penyakit TB Paru adalah berasal dari
zat kimia yang terdapat dalam kandungan
golongan ekonomi yang kurang mampu.
obat tersebut)
Dengan kondisi keterbatasan ekonomi,
Adanya persepsi dari masyarakat walaupun biaya pengobatan di puskesmas
tersebut juga dianggap turut mempengaruhi gratis, namun biaya transportasi apalagi
pilihan masyarakat ke pengobatan tradisional. pengobatan penyakit TB Paru dilakukan
selama lebih kurang 6 (enam) bulan menjadi
hambatan dan pertimbangan masyarakat
dalam mencari upaya pengobatan. Dalam hal
PEMBAHASAN ini tampaknya sebagian masyarakat
cenderung memilih pengobatan dengan biaya
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
yang relatif murah seperti ke dukun.
cakupan penemuan penderita TB Paru di
Sehubungan dengan pola pengambilan
Puskesmas Padang Kandis sangat rendah
keputusan untuk memilih temp at pelayanan
yaitu 6,7 %. Padahal Penemuan penderita
kesehatan ini sedikit banyak juga dipengaruhi
untuk program penanggulangan TB di
oleh referensi yang ada dalam pengetahuan
Indonesia ditargetkan minimal adalah 70%.0)
budayanya. Atau dengan kata lain
Kondisi rendahnya angka cakupan tersebut
kebudayaan adalah sebuah blueprint atau
dilatabelakangi oleh beberapa faktor sosial
pedoman baku dan menyeluruh bagi
budaya yang menjadi pertimbangan
kehidupan sebuah masyarakat yang memiliki
masyarakat dalam upaya pencarian pengo
kebudayaan tersebut. (8)
batan dan dianggap berkartan dengan
rendahnya cakupan penemuan TB Paru Hasil penelitian mengungkapkan
adalah masalah ekonomi, bahwa sebagian besar pendidikan masyarakat
pendidikan/pengetahuan dan persepsi, di lokasi penelitian masih tergolong relatif
kebiasaan/adat istiadat dan kepercayaan serta rendah. Dengan kondisi pendidikan yang
stigma so sial, dan aksesl jangkauan relatif rendah, maka pengetahuan dan
pelayanan kesehatan. kesadaran sebagian masyarakat dalam
penanggulangan penyakit TB Paru juga relatif
Keberadaan suatu penyakit di suatu
kurang. Hal ini tampak dari adanya persepsi
wilayah menurut Foster (11) merupakan suatu
sebagian masyarakat bahwa penyakit TB Paru
fenomena yang tergabung secara holistik
berkaitan dengan kekuatan ghaib, karena
dengan berbagai aspek yang
keturunan, penyakit yang memalukan, bukan
mempengaruhinya. Artinya suatu pema-
penyakit berbahaya dan hanya penyakit batuk
haman terhadap suatu gejala, yaitu aspek
biasa. Di samping
kesehatan pada suatu masyarakat tidak dapat
dilihat sebagai suatu gejala yang berdiri
sendiri, melainkan terkait dengan

125
Bul. Penelit. Kesehat, Vol. 39, No.3, 2011: 119 - 128

itu, adanya stigma masyarakat bahwa pelayanan kesehatan, puskesmas dan rumah
penyakit TB Paru adalah penyakit yang sakit. Selanjutnya sikap mental ini menjadi
memalukan, dan kepercayaaan masyarakat motivasi psikologis di samping motivasi lain
bahwa penyakit TB Paru tidak dapat seperti so sial ekonomi, atau keyakinan
disembuhkan oleh kedokteran, juga dianggap religi/magis, mendorong keputusan orang
menjadi penyebab masyarakat malu untuk untuk mempergunakan atau tidak
bero bat ke puskesmas serta takut divonis TB mempergunakan sistem pelayanan kesehatan
Paru. Kondisi ini juga ditambah dengan modern. Sikap mental dimaksud adalah suatu
keinginan masyarakat yang cenderung ingin deposisi atau keadaan mental di dalam jiwa
cepat sembuh, dan tidak mau berlama-lama dan diri seseorang individu untuk beraksi
melakukan pengobatan di puskesmas. terhadap lingkungannya, baik lingkungan
alamiahnya maupun lingkung an fisiknya. (13)
Berkaitan dengan pendidikan dan pe-
ngetahuan masyarakat tersebut, maka akan Sebagian masyarakat di lokasi pene lit
dapat digambarkan perilaku seseorang dalam ian mengatakan bahwa kualitas pelayanan di
bidang kesehatan. Semakin rendah tingkat puskesmas sudah cukup baik. Namun dari
pendidikannya maka asumsinya adalah segi jadwal pengobatan, dianggap masyarakat
pengetahuan di bidang kesehatan kurang, baik masih terbatas. Kondisi jadwal pengobatan di
yang menyangkut pengaturan asupan makan, puskesmas yang relatif terbatas, ditambah
penanganan keluarga yang menderita sakit dengan pengo batan yang harus dilaksanakan
dan usaha-usaha prevent if lainnya. (12) berulang-ulang, penyembuhan relatif lebih
lama serta 0 bat mengandung zat kimia
Dari hasil penelitian juga diketahui
dengan efek samping jantung berdebar,
bahwa keputusan untuk memilih pencarian
dianggap menjadi salah satu aspek yang
pengobatan juga dipengaruhi oleh kebiasaan
melatarbelakangi pilihan masyarakat untuk
dan istiadat setempat, dimana segala
memilih pengobatan tradisional. Pilihan
sesuatunya lebih baik diselesaikan dengan
pengo batan tradisional juga dianggap
musyawarah keluarga. Peran serta masyarakat
berkaitan dengan kurangnya penyampaian
dalam upaya penanggulangan penyakit TB
informasi atau penyuluhan lang sung yang
Paru masih kurang, dimana sebagian
dilakukan tenaga kesehatan kepada
masyarakat hanya mau berobat jika kondisi
masyarakat. Sehubungan dengan hal ini
kesehatannya benar-benar terganggu dan
Fahrudda menyatakan bahwa permasalahan
sudah tidak dapat melaksanakan aktifitasnya
rendahnya cakupan penemuan penderita TB
sehari-hari. Padahal peran serta masyarakat
Paru, selain disebabkan oleh kurangnya
dalam upaya penanggulangan penyakit TB
jejaring pengobatan atau kerjasama di sektor
Paru sangat dibutuhkan. Dalam hal ini
kesehatan sendiri khususnya pemberi
Koentjaraningrat (13) melihat bahwa respon
pelayanan kesehatan atau unit pelayanan
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan
kesehatan (UPK), juga disebabkan masih
ditentukan oleh pengetahuan tertentu
kurangnya sosialisasi program pada
mengenai organisme manusia tentang sakit
masyarakat. (14)
dan sehat, tentang obat-obatan baik yang
tradisional maupun modern. Faktor-faktor Faktor aksebilitas atau keter-
tersebut memp eng aruhi sikap mental mereka jangkauan pelayanan juga turut mem-
terhadap dokter dan para karyawan pengaruhi masyarakat dalam mencari upaya
pengobatan, karena hal ini berkaitan

126
Faktor-Faktor Sosial Budaya ..................... (Yulfrra)

dengan relatif mahalnya biaya transportasi serta masyarakat dalam upaya penang-
dengan menggunakan ojek untuk mencapai gulangan penyakit TB Paru juga perlu
lokasi pelayanan kesehatan. Disamping itu, ditingkatkan, diantaranya dapat dilakukan
sebagian besar penderita berasal dari dengan me lib atkan tokoh masyarakat dalam
kelompok yang kemampuan ekonominya penyuluhan kesehatan terutama mengenai
relatif rendah. penyakit TB Paru.
Diharapkan adanya penerapan
KESIMPULAN model intervensi peningkatan peran serta
masyarakat dan kemitraan dalam upaya
Beberapa aspek yang dianggap turut peningkatan cakupan penemuan penderita TB
melatarbelakangi rendahnya cakupan Paru.
penemuan penderita TB Paru di wilayah kerja
Puskesmas Padang Kandis adalah aspek
ekonomi, pendidikan/pengetahuan, persepsi, UCAPAN TERIMA KASIH
kebiasaan dan kepercayaan masyarakat serta Penulis mengucapkan terima kasih
akses ke pelayanan kesehatan. kepada Kepala Badan Perencanaan
Pengetahuan dan kesadaran Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi
sebagian masyarakat dalam penanggulangan Sumatera Barat, Kepala Bidang Penelitian
penyakit TB Paru masih kurang. Sebagian dan Pengembangan Bappeda Provinsi
masyarakat masih mempunyai persepsi Sumatera Barat beserta Kasubid serta
bahwa penyakit TB Paru berkaitan dengan ternan-ternan yang terlibat dalam penelitian
kekuatan ghaib, dan termasuk penyakit yang ini. U capan terima kasih disampaikan kepada
dianggap memalukan. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten 50 Kota
dan Kepala Puskesmas Padang Kandis.
Sebagian masyarakat masih mempunyai
kebiasaan untuk mencari upaya pengobatan
dengan membeli obat di toko o bat/warung DAFTAR RUJUKAN
dengan alasan bahwa batuk yang dialaminya
adalah batuk biasa yang tidak perlu mencari 1. Departemen Kesehatan. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2, cetakan
pengobatan ke fasilitas kesehatan. pertama 2007.
Selanjutnya sebagian masyarakat juga
2. Departemen Kesehatan. Laporan Hasil Riset
beranggapan bahwa pengobatan di puskesmas
Kesehatan Dasar tahun 2010.
dan rumah sakit dilaksanakan secara
berulang-ulang, dan penyembuhan relatif 3. Dinas Kesehatan. Profil Kesehatan Tahun
Sumatera Barat 2007. Dinas Kesehatan Provinsi
lebih lama serta obat mengandung zat kimia
Sumatera Barat 2007.
dengan efek samping jantung berdebar,
sehingga mengakibatkan masyarakat 4. Dinas Kesehatan. Profil Kesehatan Provinsi
Sumatera Barat Tahun 2005. Dinas Kesehatan
cenderung memilih pengobatan tradisional. Provinsi Sumatera Barat 2005.
5. Dinas Kesehatan. Profil Kesehatan Tahun
Sumatera Barat 2006. Dinas Kesehatan Provinsi
Sumatera Barat 2006.
SARAN
6. Dinas Kesehatan. Kebijakan Dinas Kesehatan
Perlu adanya peningkatan sosialisasi Provinsi Sumatera Barat Dalam Penanggulangan
atau penyuluhan tentang penyakit Penyakit TB. 2009
tuberkulosis (TB) Paru secara lang sung dan
berkala kepada masyarakat. Peran

12
7
Bul. Penelit. Kesehat, Vol. 39, No.3, 2011: 119 - 128

7. Dinas Kesehatan Kabupaten 50 Kota. Profil Priyanti Pakan S. dan Meutia F. Hatta. Jakarta ill
Kesehatan Kabupaten 50 Kota Tahun 2008. Dinas Press 1986.
Kesehatan Kabupaten 50 Kota. 2008.
12. Widodo, Eddy. Upaya Peningkatan Peran
8. E1femi, Ni1da. Aspek Sosia1 Ku1tura1 Da1am Masyarakat dan Tenaga Kesehatan da1am Pem-
Perawatan Kesehatan, di Kabupaten Ciamis, Jawa berantasan Tuberku1osis. Maka1ah pribadi
Barat. Tesis pada Program Pasca Sarjana Faku1tas Pengantar Fa1safah Sains. Seko1ah Pasca Sarjana
Ilmu Sosia1 dan Ilmu Politik Universitas Institut Pertanian Bogor. 2004.
Indonesia. 2003.
13. Koentjaraningrat. Peranan Ilmu- Ilmu Sosia1
9.Notoatmodjo, Soekidjo. Ilmu Kesehatan da1am Upaya Peningkatan Kesehatan, Balit-
Masyarakat. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 1997. bangkes Depkes RI 1982.
10. Departemen Kesehatan. Studi Preva1ensi dan 14. Fahrudda, dkk. Pendekatan Kemitraan Berbasis
Faktor Resiko Penyakit Tuberkulosis (TB) Paru di Masyarakat da1am Program Penanggu1angan
Sumatera Barat. Poli Teknik Kesehatan Padang. Tuberku1osis. Artike1 Kebijakan Kemitraan pada
2006. Imp1ementasi DOTS di Jawa Timur. Dinas
11. Foster, George M. dan Anderson, B. G .. Kesehatan Provinsi Jawa Timur. 2005.
Antropo1ogi Kesehatan (Terjemahan oleh

128

You might also like