You are on page 1of 26

TIPOGRAFI ARAB PEGON DALAM PRAKTIK BERBAHASA MADURA

DI TENGAH DINAMIKA KEBUDAYAAN


YANG DIUSUNG HURUF LATIN

Naufan Noordyanto

Mahasiswa Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Minat Studi Desain Komunikasi Visual
Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta
noordbita@gmail.com

Abstract. Arabic pegon script or pegon script is the term of a few Hijaiyah/Arabic letters that is generally
modified and used to write in Malay and Javanese. In Madura, East Java, Pegon script is used for the writing
in the language of Madura and other languages, such as Java language. Unfortunately, practices of writing
with Arabic typography Pegon in everyday life today, especially in the area of Madura, still as though vague,
because the practice of typography around the world still dominated by "regimes" in Latin script. Pegon script
as the focus of typography, is seen as an instrument to realize the visual language. Visuality of language in the
form of Pegon script involving practices of language (Madura language). Pegon script actually is the result of
"hard work" of efforts to "reconcile" the letter of the culture that was at first considered foreign (Arab-Islamic)
with the local culture, especially the language of the local/indigenous (vernacular language). Now, practices of
Pegon script can be said of a shift in usage habits. The practice Pegon script initially suspected rolling as a
means of spread and transmission of Islamic knowledge, then it took place as an instrument of islamic
education (literacy) in islamic students (santri) society, then it also turned increasingly popular and wider
scope in the practice for the daily communications. However, in this era of Latin script, pegon script can be
said to be marginalized in the corner of the specific socio-cultural environment, and has failed to return “to
play” in the global arena, and tend to be replaced with Latin letters that dominate the world of typography
practices.
Keywords: pegon, scripts, letter, Latin, Arabic, Madura, Islam, culture

PENDAHULUAN bahasa Melayu dan Jawa (dahulu Jawa Kuno)

Latar Belakang Masalah (Sanusi, 2010: 65). Orang Melayu seringkali

Jika umumnya masyarakat mengetahui menyebutnya dengan “tulisan Jawi”, “huruf

penggunaan Arab Pegon untuk menuliskan Jawi”, atau “Arab Melayu” (Pemkab

kata dalam bahasa Melayu (Indonesia lama) Pamekasan dan FIB UGM, 2010: 37). Bedanya

dan Jawa, maka di Madura, Jawa Timur, huruf dengan huruf Hijaiyah original yaitu merujuk

Arab Pegon juga berperan penting dalam pada typeface (rupa huruf) huruf Arab yang

perkembangan budaya literasi dan digubah dengan mengadakomodasi huruf dan

intelektualitas masyarakat Madura. Arab pelafalan bahasa lokal, misalnya Melayu, Jawa,

Pegon merupakan sebutan untuk huruf atau Madura.

Hijaiyah/Arab yang digunakan untuk menulis

28 JURNAL DEKAVE VOL.9, NO.2, 2016


Naufan Noordyanto

Dalam tulisan Hisyam (2006: 490-491) Menulis dengan Arab Pegon berbahasa
tentang Arab Pegon, khususnya untuk bahasa Madura berarti menuliskan huruf hijaiyah
Jawa, Arab Pegon merupakan hasil yang telah dimodifikasi tersebut dengan ejaan
mengasimilasikan fonem huruf Hijaiyah ke kata dan pelafalan bahasa Madura. Bentuk
dalam bahasa lokal. Dalam sumber yang sama modifikasi rupa huruf Arab menjadi huruf
pula, istilah pegon secara etimologi berasal dari Pegon menghasilkan tujuh karakter huruf
kata bahasa Jawa “pego” yang berarti “tidak (simbol fonem) baru dan teralienasi dari huruf
biasa” yang merujuk pada beberapa huruf Hijaiyah original, di antaranya: cha, dha, tha,
gubahan dari huruf Hijaiyah tersebut. nga, pa, ga, nya, (Hisyam, 2006: 490). Karakter
Di Madura, Arab Pegon dipakai untuk huruf “cha” dimodifikasi dengan
menuliskan bahasa Madura maupun bahasa menambahkan dua titik pada huruf “jim”;
lainnya, misalnya bahasa Jawa. Dalam huruf “dha” dimodifikasi dengan
keseharian, secara pribadi penulis menambahkan tiga titik pada huruf “dal”;
menyebutnya “Arab Madhurâ’ân” huruf “tha” dimodifikasi dengan
(terminologi Madura, baca: Arab Madhure- menambahkan tiga titik pada huruf “tho”;
en) yaitu sebutan khusus untuk huruf Arab huruf “nga” dimodifikasi dengan
(bergaya/corak) bahasa Madura. Lantaran menambahkan tiga titik pada huruf “ain”;
berdasarkan pengamatan penulis, terkadang huruf “pa” dimodifikasi dengan
penyebutan istilah “pegon” bisa dibilang tidak menambahkan dua titik pada huruf “fa”; huruf
terlalu familiar di beberapa orang Madura “ga” dimodifikasi dengan menambahkan satu
(khususnya masyarakat umum), namun jika titik pada huruf “kaf”; huruf “nya”
disebutkan dengan istilah Arab Madhurà’àn, dimodifikasi dengan menambahkan tiga titik
aksara yang dimaksud bisa dipahami. pada huruf “ya”; (lihat gambar 1). Teknik
penulisan sama dengan penulisan huruf Arab
lazimnya, serta ditulis dan dibaca dari kanan
ke kiri.
Sayangnya, praktik-praktik tipografi
Arab Pegon di keseharian saat ini, khususnya
di lingkup Madura, masih seolah-olah samar
(tidak nampak), mengingat praktik tipografi
Gambar 1 Tabel daftar huruf Arab Pegon dalam
deretan huruf Hijaiyah original dunia masih dikuasai “rezim” huruf Latin.
Sumber: koleksi penulis

JURNAL DEKAVE VOL.9, NO.2, 2016 29


TIPOGRAFI ARAB PEGON DALAM PRAKTIK BERBAHASA MADURA DI TENGAH DINAMIKA KEBUDAYAAN
YANG DIUSUNG HURUF LATIN

Praktisi tipografi Arab Pegon dalam dan motif dalam praktik tipografi Arab Pegon,
penggunaan dan kreativitasnya tentunya di mana praktik tipografi tersebut mampu
dipengaruhi paradigma dari konteks sosial berkontribusi dalam interaksi sosial.
budaya yang mempengaruhi. Untuk Penelitian tentang huruf Pegon
memahami fenomena tersebut, studi ini umumnya terkait daerahnya di Jawa serta
bermaksud menelusuri pelbagai praktik perkembangan di kalangan santri di Jawa,
tipografi Arab Pegon dihubungkan dengan misalnya yang ditemukan pada tulisan
konteks sosial budaya yang Muhamad Hisyam berjudul “Pegon Script,
melatarbelakanginya dalam lingkup Identity and the Change of Santri Society”
masyarakat Madura, Propinsi Jawa Timur. dalam buku Archaelogy: Indonesian
Perspective, terbitan LIPI Press, Jakarta, 2006.
Rumusan Masalah
Sementara penelitian dan kajian khusus
Bagaimanakah fungsi dan perkembangan
tentang praktik dan perkembangan huruf
praktik tipografi Arab Pegon berbahasa
Pegon di Madura sangat minim. Sekelumit
Madura di Madura dan di tengah dinamika
penelitian tentang bukti praktik literasi
kebudayaan yang diusung huruf Latin?
tipografi Pegon, serta dugaan asal usul Pegon
Batasan dan Tujuan Penelitian khususnya di kabupaten Pamekasan, Madura,
Tulisan ini sebagai hasil kajian tersebut, hanya dibahas sepintas dan singkat sekitar dua
berupaya mengurai fungsi dan dinamika halaman kurang (halaman 37-39) dan
praktik tipografi tersebut dalam kadar yang (halaman 177-179) dalam buku Ensiklopedi
“ringan”. Penelusuran praktik-praktik Pamekasan: Alam, Masyarakat, dan Budaya
tipografi Arab Pegon di masa lampau dan yang ditulis Pemerintah Kabupaten (Pemkab)
masa sekarang dikaji dalam kerangka Desain Pamekasan dan Fakultas Ilmu Budaya
Komunikasi Visual (DKV). Lebih tepatnya Universitas Gadjah Mada (FIB UGM)
dalam perspektif tipografi atau ilmu tentang Yogyakarta pada 2010. Sementara kitab-kitab
huruf. Huruf Arab Pegon sebagai perhatian keagamaan di kalangan pesantren sudah
tipografi, dipandang sebagai instumen untuk umum yang memakai huruf Pegon berbahasa
mewujudkan bahasa secara visual. Visualitas Madura, namun bukan membahas praktik
bahasa dalam bentuk huruf Arab Pegon tipografi Pegon berbahasa Madura itu sendiri.
melibatkan praktik-praktik berbahasa Kendati demikian, perkembangan praktik
(Madura). Bahasa dianggap sebagai modus tipografi Pegon di kalangan santri inilah

30 JURNAL DEKAVE VOL.9, NO.2, 2016


Naufan Noordyanto

kemudian menjadi referensi penting untuk tipografi Arab Pegon yang digunakan dalam
menelusuri perkembangannya lebih lanjut menuliskan bahasa Madura dan wacana yang
melalui penelitian ini. terkait dengannya, khususnya dalam konteks
sosio-kultural.
Metode dan Pendekatan Penelitian
Istilah langue (language: bahasa)
Selain kajian pustaka, dalam rangka
merujuk pada bahasa secara umum, yakni
menelusuri perkembangan praktik dan
tanda-tanda linguistik yang biasanya bersifat
wacana tipografi Arab Pegon dalam konteks
kolektif dan sistematik, atau bisa dibilang
dewasa ini, penulis berupaya mendapatkan
merujuk pada kondisi tekstual (Ricoeur, 2012:
sumber lisan dengan memilih beberapa
21-27 dan 32). Menurut Ricoeur (2012: 52),
informan, terutama pemuda lulusan pesantren
“memaknai ‘teks’ adalah apa yang diinginkan
atau madrasah yang dianggap mewakili
(dilakukan) oleh pengarang, yang
generasi terkini dan yang pernah
mendudukan penafsir untuk berupaya
mengalami/menjalani kondisi lingkungan
memahami kandungan
pesantren, serta pernah menggeluti praktik
proporsional/obyektif”. Kaitannya dengan
tipografi tersebut.
penelitian, praktik tipografi Arab Pegon di
Kajian ini dilakukan dengan analisis
lingkungan Madura diperlakukan sebagai
kualitatif deksriptif. Sebelumnya, perlu
“teks” yang bisa “dibaca” secara “gramatikal”
dipahami bahwa kajian ini bersifat multi
untuk dipandang dari perspektif perawat
paradigma. Artinya dalam upaya analisis
tradisi (pencetus secara warisan kebiasaan)
interpretatif, penulis tidak hanya
yang ada dan berlangsung, maka di sinilah
memposisikan diri di dalam area obyek
yang dimaksud penulis sebagai fokus obyektif
penelitian atau membatasi perhatian pada
penelitian.
ranah DKV terkait praktik tipografi Arab
Sedangkan discourse (wacana) menurut
Pegon di lingkungan Madura. Tetapi juga
Ricoeur (2012: 17-18) dimaknai sebagai tata
memasukan nilai-nilai subyektifitas dalam
bahasa yang dibentuk dari kalimat sebagai
format analitis atas fakta-fakta yang dikaji.
satuan partikular pembentuk sistemnya.
Maka, sebagai pendekatan, penulis meminjam
Namun, untuk membedakannya dengan
kode-kode hermeneutika“langue” dan
bahasa, lokus wacana menekankan pada
“discourse” dari Paul Ricoeur dalam studi
dialektika dua kutub, yaitu wacana sebagai
analisis kualitatif-interpretatif terkait praktik
peristiwa dan makna (meaning).

JURNAL DEKAVE VOL.9, NO.2, 2016 31


TIPOGRAFI ARAB PEGON DALAM PRAKTIK BERBAHASA MADURA DI TENGAH DINAMIKA KEBUDAYAAN
YANG DIUSUNG HURUF LATIN

Fashri (2014: 34-36) me-resume tentang penulis. Maka jelas, dalam studi terkait praktik
dialektika dua kutub wacana tersebut. tipografi Arab Pegon di lingkungan Madura
Pertama, wacana sebagai peristiwa: “wacana ditelusuri maknanya melalui penafsiran atas
dalam ujaran kalimat bukan hanya sebagai wacana sosio-kultural yang melingkupinya.
rangkaian kata-kata yang bersifat gramatikal, Mengingat pada teks (selanjutnya
tapi terkait tempat dan waktu (bersifat disebut huruf/tipografi Arab Pegon yang
historis), memiliki subyek, menunjuk pada dimaksud) terjadi problem “distansiasi”, yaitu
sesuatu (reference), dan berlangsung pada “jarak (kejadian spasial atau jarak temporal)
praktik komunikasi”. Relevansinya dengan yang terjadi karena kesenjangan antara dunia
karya yang diulas penulis, bahwa tipografi perawat tradisi tipografi yang “dibaca” oleh
Arab Pegon yang digunakan untuk penafsir dengan dunia penyaji tipografi.
menuliskan Madura dianggap sebagai “teks” Sejalan dengan distansiasi, juga muncul
yang tidak hanya bisa “dibaca” secara “apropriasi” yaitu “menjadikan apa yang asing
“gramatikal”, tapi harus dihubungkan dengan menjadi milik penafsir” (Ricoeur, 2012: 95).
peristiwa dan gejala sosio-kultural yang Maka sebagai konsekuensi hermeneutika,
melingkupinya. Sebab berbicara tentang adanya distansiasi, karya (tipografi) menjadi
praktik tipografi Arab Pegon di lingkungan otonom atau dapat lepas dari horizon penyaji
Madura itu sendiri, sekaligus juga wacana yang (perawat tradisi). Sehingga penulis dapat
muncul dari fenomena praktiknya. mengambil jarak (distansiasi) dari sisi obyektif
Kedua, wacana sebagai makna praktik tipografi yang dimaksud perawat
(meaning): “makna muncul dari proses tradisi tipografi, tetapi juga memungkinkan
pemahaman atas wacana ketika direalisasikan untuk melakukan apropriasi atau penelusuran
menjadi peristiwa, atau wacana tidak hanya makna (kontekstual) secara mandiri
dianggap sebagai peristiwa saja, namun (subyektif) dan kreatif melalui penafsiran atas
dimengerti dan dipahami maknanya”. Dengan wacana sosio-kultural yang melingkupinya
kata lain, di dalam wacanalah (bukan bahasa), (Ricoeur, 2012: 95 dan Fashri, 2014: 36-38).
makna ditemukan, karena wacana sebagai Baik distansiasi maupun apropriasi
peristiwa bertranformasi (dipahami) sebagai merupakan instrumen penting yang dipakai
makna. Upaya menafsirkan makna dari dalam hermeneutik.
konteksnya (pendekatan) wacana sosio- Sebagai pendukung kajian terhadap
kultural inilah menekankan sisi-sisi subyektif wacana, penulis juga memakai pelbagai teori

32 JURNAL DEKAVE VOL.9, NO.2, 2016


Naufan Noordyanto

pendukung lain kaitannya dengan praktik berasal dari Jawa, menurut Hisyam (2006:
sosio-kultural, agar menjadi dasar analisis dan 491), penggunaan, diaspora, perkembangan
terbentuk jalinan makna yang bersambung. Arab Pegon tidak terlepas dari peran
Dengan demikian, penulis selaku penafsir kelompok masyarakat Jawa yang terpengaruh
tidak hanya berusaha menelusuri makna dan kuat oleh kebudayaan Islam yang berasal dari
menginterpretasi tradisi praktik tipografi Arab Arab. Karena kesulitan menerjemahkan kata-
Pegon di lingkungan Madura (sebagai “teks”). kata dan konsep-konsep Islam dan Arab secara
Justru penulis berupaya manjaga keterbukaan spesifik ke dalam bahasa Jawa, akhirnya
karya atas studi beragam interpretasi lain diupayakan mengadopsi bunyi/fonem asli dari
dengan konteks dan pendekatan yang bahasa Jawa yang ditulis dengan Arab Pegon.
berbeda-beda, serta secara mandiri Perkembangan Arab Pegon di Jawa diduga
memberikan makna (meaning) atas fenomena telah berlangsung sejak abad XIII, yaitu sejak
sosio-kultural tersebut. Upaya memahami masuknya pengaruh Islam di Jawa (Pemkab
“teks” dan “konteks” ini kemudian dianalisis Pamekasan dan FIB UGM, 2010: 38).
terintegrasi. Sementara huruf Hijaiyah sendiri mulai
digunakan seiring berdirinya kerajaan-
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
kerajaan Islam dan persebaran Islam di
Arab Pegon di Madura dalam pendekatan
Nusantara sejak abad VIII (Sanusi, 2010: 65).
kultur-historis (masa awal persebaran
Islam) Praktik tipografi Arab Pegon dalam
Pendekatan kultur-historis sangat membantu tradisi baca tulis di Madura diduga
dalam memahami praktik-praktik dan wacana berhubungan erat dengan aktivitas syiar Islam
tipografi Arab Pegon di Madura, khususnya di oleh ulama-ulama Jawa. Masa awal islamisasi
masa lampau hingga masa kini. Perbincangan di Madura berlangsung karena peran salah
tentang praktik-praktik tipografi Arab Pegon seorang wali sanga atau sembilan wali
di Madura tidak terlepas dari keberhasilan penyebar Islam di Nusantara, yang dikenal
penetrasi kebudayaan Islam pada masyarakat sebagai Sunan Giri dari Gresik, Jawa Timur,
etnik Madura. Meskipun tidak diketahui dan merupakan murid dari Sunan Ampel
secara pasti, distribusi penggunaan huruf Arab Surabaya, serta peran para saudagar Islam dari
Pegon di Madura diperkirakan karena Gujarat yang singgah di pelabuhan Madura,
pengaruh islamisasi dari Jawa. Mengingat salah satunya di Kalianget, kabupaten
perkembangan awal Arab Pegon sendiri Sumenep (Abdurrachman, 1971: 16-17).

JURNAL DEKAVE VOL.9, NO.2, 2016 33


TIPOGRAFI ARAB PEGON DALAM PRAKTIK BERBAHASA MADURA DI TENGAH DINAMIKA KEBUDAYAAN
YANG DIUSUNG HURUF LATIN

Disebutkan pula, seorang penyiar Islam dan Moelyono, dkk., 1984: 42). Artinya,
datang ke Sumenep, yang kemudian kesohor pengaruh kebudayaan Islam dan Arab
dengan sebutan Sunan Padusan. Dalam Babad memberi ruang yang kondusif untuk lahirnya
Madura alih bahasa Madura karangan kecenderungan adaptasi kesenian “baru”
Werdisastra (1996: 123-124) disebutkan khususnya dalam konteks seni pertunjukan di
bahwa Sunan Padusan adalah keturunan Madura, termasuk pelafalannya dengan kata-
Sunan Ampel dan Maulana Malik Ibrahim. kata dan lirik Arab.
Dalam Abdurrachman (1971: 16), sebutan Imbasnya, terlepas dari aspek
“Padusan” disematkan masyarakat lantaran instrumental dan musiknya, baik untuk
kebiasaan Sunan tersebut yang sering kepentingan religius maupun profan, yaitu
memandikan (edus: mandi) orang yang masuk sekaligus memberikan ruang transmisi
Islam atau dipandang mampu untuk penggunaan bahasa Arab baik lisan maupun
menjalankan syariat (aturan dan hukum tertulis dengan huruf Hijaiyah dalam lirik-lirik
Islam). Melihat Islam semakin diterima pujian Islami seni pertunjukan tersebut, misal
masyarakat luas, khususnya rakyat Sumenep, salah satunya bersumber dari kitab Barzanji
Raden Jokotole atau Arya Jaranpanole yang sebagaimana yang penulis ketahui, dan sama
bergelar Pangeran Secadiningrat III (1415- halnya yang pernah dicatat oleh Bouvier (2002:
1460), penguasa Sumenep (Madura Timur) di 84 dan 86). Sehingga bisa dimungkinkan
bawah kekuasaan Majapahit masa itu, tradisi tulis huruf Arab untuk pembelajaran
menyatakan tertarik dan memeluk Islam, kesenian tersebut telah berlangsung, selain
bahkan Sunan Padusan dijadikannya menantu pembelajaran tentang syiar dan hukum Islam
untuk putrinya. sendiri. Mengingat kesenian-kesenian tersebut
Dengan semakin meluas dan umumnya dilafalkan dengan (dominasi)
berkembangnya penetrasi Islam di Madura, bahasa Arab untuk urusan religius maupun
maka kebudayaan Arab ikut terbawa sampai profan (terkadang campur berbagai bahasa,
ke pelosok Madura, termasuk seni termasuk bahasa lokal), meskipun belum bisa
pertunjukan bercorak Arab seperti hadrah, dipastikan bahwa masyarakat berkomunikasi
zamrah, dan gambus, menjadi kesenian rakyat secara tertulis dengan huruf Arab Pegon.
atau menjadi bagian kebudayaan Madura Di samping itu, semakin merosotnya
dengan corak tersendiri (Departemen Majapahit (Trowulan, Mojokerto) serta
Pendidikan dan Kebudayaan R.I., 1979: 101 pengaruh kesultanan-kesultanan Pesisir Utara

34 JURNAL DEKAVE VOL.9, NO.2, 2016


Naufan Noordyanto

bertolak dari kesultanan Demak yang makin kuatnya pengaruh Arab sebagai simbol-simbol
kuat, pengaruh kebudayaan Islam Jawa Islam. Beberapa bukti naskah diketahui ditulis
semakin jelas sejak Sumenep (Madura Timur) sekitar abad XVI-XVII dari kerajaan Demak,
berada di bawah pemerintahan Raden Banten, Mataram, Surakarta Pakualaman,
Tumenggung Kanduruan, Putra Raden Patah Mangkunegara, Cirebon, Melayu, Lambi,
(Sultan Demak) menjabat sebagai adipati Mempawah, Makassar, Maluku.
Sumenep di bawah kekuasaan kesultanan Dari fenomena tersebut dapat
Demak (1559-1562). Pasca pemerintahan dimengerti bahwa selain agama Islam itu
kesultanan Demak, Madura berada di bawah sendiri, praktik tipografi Arab Pegon sebagai
kekuasaan Mataram Islam (1568-1672), kurun produk akulturasi kebudayaan menjadi
pemerintahan dari Sutawijaya hingga instrumen legitimasi “persatuan” untuk
Amangkurat II (Departemen Pendidikan dan membentuk masyarakat pribumi
Kebudayaan R.I., 1979: 122). Sehingga Madura berkebudayaan Islam di Nusantara sebagai
sebagai wilayah “taklukan” bagian komunitas tersendiri membedakan
pemerintahan kerajaan Islam tersebut, kebudayaan lain yang hidup di sekitarnya,
tentunya mengikuti dan berorientasi pada sekaligus meningkatkan aware terhadap
pusat pemerintahan di Jawa. Bahkan menurut kebudayaan Islam dan Arab itu sendiri. Rupa
Pigeaud (1967, I:136) dalam Bouvier (2002: (visual) huruf (typeface) Arab Pegon
22), “pada abad XVI-XVII, daerah Madura di dikehendaki semakin memasyarakat dan
bawah pimpinan sultan-sultan yang mungkin populer, agar masyarakat dapat belajar
keturunan campuran Jawa-Madura, kadang- sekaligus menulis dan membaca dengan huruf
kadang memainkan peran penting dalam tersebut. Sebab, jika tradisi tulis didominasi
urusan politik Jawa”. dengan tuntutan penggunaan huruf Arab
Sementara, dalam Sanusi (2010: 63-65) Pegon, maka generasi pembelajar selanjutnya
sekitar abad XVI mulai berkembang sastra secara tradisional akan mengikut generasi
Melayu dan Jawa Islam, ketika Islam sebelumnya untuk belajar dan membiasakan
menstimulan Jawa dan membangun pondasi diri dengan huruf tersebut. Kecenderungan ini
politik sebagai alat pemersatu kerajaan Banten, berpengaruh pada familiarity huruf sehingga
Cirebon, Demak, bahkan Mataram. Tradisi masyarakat semakin akrab/familiar yang
tulis kerajaan Islam Nusantara menghendaki tentunya dapat meningkatkan daya
penulisan dengan huruf Arab Pegon, karena kenal/keterbacaan (legibility) huruf.

JURNAL DEKAVE VOL.9, NO.2, 2016 35


TIPOGRAFI ARAB PEGON DALAM PRAKTIK BERBAHASA MADURA DI TENGAH DINAMIKA KEBUDAYAAN
YANG DIUSUNG HURUF LATIN

Arab Pegon sebagai identitas santri dalam perkembangan huruf Arab Pegon itu sendiri
pendekatan kultur-historis
dari Jawa dan disebarluaskan masyarakat
Kehadiran Islam di tanah Jawa menyebabkan
santri, maka dimungkinkan pula bahwa
pertemuan dua kebudayaan, yaitu kebudayaan
praktik penggunaan Arab Pegon di Madura
Islam (Arab) dan Jawa. Meskipun Jawa di
juga tidak dapat dipisahkan dengan aktivitas
bawah pengaruh Islam, penetrasi Islam tidak
penyelenggaraan pendidikan di lingkungan
menyentuh seluruh lapisan masyarakat dan
pesantren (Pemkab Pamekasan dan FIB UGM,
kebudayaan. Pengaruh kebudayaan Islam
2010: 37). Penulis setuju dengan asumsi
yang kuat dan semakin diterima masyarakat
tersebut, mengingat tradisi menulis dengan
luas sekitar abad XV-XVI, menyebabkan
huruf Arab Pegon masih berlangsung hingga
masyarakat Jawa Islam membentuk identitas
saat ini di lingkungan sekolah Islam bercorak
tersendiri. Pada perkembangannya, pengaruh
Nusantara tersebut. Menurut informasi yang
islam kemudian membentuk kelompok
didapatkan dari salah seorang guru agama dan
masyarakat dengan segmentasi tertentu yang
alumni pesantren, Mas’udi Eko Diansyah,
terpengaruh relatif kuat oleh Islam, namun
terungkap bahwa praktik tipografi di dalam
tidak meninggalkan kebudayaan Jawanya,
pesantren, yaitu digunakan dalam proses
yaitu kelompok masyarakat santri. Hal
belajar dan mengajar, terutama penerjemahan
tersebut membedakan dari corak masyarakat
berbagai kitab berbahasa dan beraksara Arab.
Jawa yang masih memegang teguh tradisi
Tipografi Arab Pegon juga digunakan untuk
keagamaan pra Islam atau disebut masyarakat
komunikasi tertulis berbahasa Madura antar
kejawen atau kelompok Jawa Islam yang masih
civitas pesantren, misalnya melalui memo
mempertahankan tradisi pra Islam (Islam
tertulis dari kiai atau ustadz terhadap
sinkretis) yang disebut Islam kejawen atau
sesamanya, maupun terhadap santri untuk
abangan. Oleh karena itu, menurut Hisyam
menyampaikan pesan tertentu. Dari sini,
(2006: 491-492), masyarakat santri lebih
diketahui bahwa bahasa dianggap sebagai
memilih, menggunakan, dan mempopulerkan
modus dan motif dalam praktik tipografi Arab
huruf Arab Pegon sebagai simbol kebudayaan
Pegon, di mana praktik tipografi tersebut
Islam yang kuat mempengaruhinya.
mampu berkontribusi dalam interaksi sosial.
Begitu pula di Madura, mengingat
Selain itu, bahasa Madura sendiri,
terdapat asumsi terkait persebaran Arab Pegon
khususnya bahasa tingkat halus (èngghi-
ke Madura akibat islamisasi dari Jawa dan
bhunten), juga umumnya menjadi bahasa

36 JURNAL DEKAVE VOL.9, NO.2, 2016


Naufan Noordyanto

komunikasi pengantar keseharian baik kepada dan santri-santri tidak hanya dari Madura,
pihak yang lebih tua atau sepantaran (baik pengajarannya tetap menggunakan pengantar
antar kiyai, kiyai dan santri, sesama santri, bahasa Madura. Namun, berdasarkan
atau warga pesantren dengan warga pengetahuannya pula, kebijakan terkait
masyarakat umum), maupun bahasa penggunaan bahasa demikian bergantung
pengantar pendidikan di lingkungan pada otoritas pesantren yang berbeda-beda
pesantren, baik pesantren di Pulau Madura tiap pesantren, terutama dalam penggunaan
maupun di luar Madura (daerah “Tapal Kuda” bahasa. Dalam konteks ini, penulis melihat
Jawa Timur: Lumajang, Pasuruan, bahwa kondisi ini mempraktikan praktik
Probolinggo, Jember, dll). Dengan kata lain, dominasi dan minoritas, dengan kiai yang
dalam konteks perawatan tradisi pesantren memiliki kekuatan politis yang mendominasi
merupakan “benteng pertahanan” yang secara otonom dan memberikan pengaruh dan
merawat, menjaga, dan melindungi tumbuh diaspora kebudayaan Arab dan Madura
suburnya tradisi baca tulis huruf Arab Pegon kepada pihak minoritas santri.
dengan bahasa Madura sekaligus pelestarian Apalagi, di Madura sendiri, misalnya di
bahasa Madura itu sendiri sebagai bahasa ibu. Pamekasan, telah berdiri beberapa pondok
Menurut Mas’udi, praktik tipografi Arab pesantren sejak abad XVI yang masih eksis
Pegon untuk menuliskan terjemahan kitab hingga sekarang. Di antaranya Pondok
dalam bahasa Madura adalah berdasarkan Pesantren (PP) Miftahul Ulum Bèrè Lèkè di
tradisi penerus sebelumnya, terutama oleh Kampung Toronan, Desa Larangan Badung,
perawat kebijakan tradisi dalam pesantren Kecamatan Palengaan, yang didirikan Syekh
yaitu para kiai atau guru yang memberikan Abdurrahman sejak 1500-an M merupakan
pengajaran. Diketahui para santri saat itu tidak pondok pesantren tertua di Pamekasan, dan
mengerti motif penggunaan tipografi Arab PP Sumberanyar Az-Zubair di Desa Larangan
Pegon di pembelajaran, lebih-lebih dengan Tokol, kecamatan Tlanakan, Pamekasan, yang
bahasa Madura. Hal ini besar kemungkinan, didirikan oleh Kiyai Zubair sekitar 1515 M
santri-santri hanya patuh dan tunduk pada (Pemkab Pamekasan dan FIB UGM, 2010: 271
gurunya sebagai junjungan yang disegani. dan 279). Bahkan Syeh Abdurrahman tersebut
Sementara kalangan guru atau kiai tersebut pernah menjadi santri di Ponpes Candenah,
adalah asli etnis Madura. Meskipun pesantren Kwanyar, Bangkalan (Madura Barat), yang
yang ia masuki berada di kalangan tanah Jawa, artinya besar kemungkinan sebelum Ponpes

JURNAL DEKAVE VOL.9, NO.2, 2016 37


TIPOGRAFI ARAB PEGON DALAM PRAKTIK BERBAHASA MADURA DI TENGAH DINAMIKA KEBUDAYAAN
YANG DIUSUNG HURUF LATIN

Miftahul Ulum Bèrè Lèkè didirikan di Materi kitab kuning biasanya menjadi
Pamekasan, tradisi pendidikan pesantren bahan ajaran dan rujukan para santri dalam
sudah hadir di Madura (Pemkab Pamekasan mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan
dan FIB UGM, 2010: 279). Dengan begitu, masalah keagamaan Islam, fiqih (hukum-
menurut penulis, tidak tertutup kemungkinan hukum Islam), tauhid (ilmu mengesakan
budaya literasi dan sosialisasi rupa huruf Arab Tuhan), tata bahasa Arab (nahwu),
Pegon melalui kegiatan belajar mengajar ushuluddin, aqidah (keyakinan), hadits
maupun kajian kitab-kitab di kalangan santri (sumber hukum Islam dari Nabi Muhammad),
Madura sudah hadir sejak Abad XV-XVI. tafsir Quran, dan lain-lain. Semakin
Sama halnya di Jawa, huruf Arab Pegon banyaknya kitab karangan ulama-ulama Jawa
lebih familiar dan populer di kalangan maupun terjemahan kitab-kitab ulama Timur
pesantren di Madura atau pesantren di Jawa Tengah oleh ulama Madura dengan huruf
(khususnya Jawa Timur) yang bercorak Arab Pegon berbahasa Madura yang dipelajari
Madura, terutama dipakai untuk menuliskan para santri, juga liner dengan diaspora dan
komentar, penjelasan, atau keterangan penggunaan tipografi Arab Pegon (lihat
tambahan tulisan pada kètab konèng gambar 2).
(terminologi Madura) atau kitab kuning. Penguasaan materi kitab kuning atau
Penyebutan “kuning” merujuk pada warna kitab-kitab lainnya umumnya merupakan skill
kertasnya yang memang khas berwarna wajib dan menjadi corak klasik tradisi
kuning. Kitab kuning biasanya ditulis dengan pesantren salaf atau tradisional. Karakteristik
huruf Hijaiyah berbahasa Arab tanpa harakat pembelajaran dan kajian kitab kuning di
atau tanda pelafalan bunyi pada huruf, kalangan pesantren salaf adalah dengan
sehingga orang Madura menyebutnya kètab metode sorogan dan bandongan. Berdasarkan
ghundul atau kitab gundul. Begitu juga Pemkab Pamekasan dan FIB UGM (2010:
penulisan Arab Pegon umumnya tanpa 272), metode sorogan merupakan “metode
harakat, sehingga seringkali sebut disebut menyimak, mendengarkan, memperhatikan
Arab ghundul atau Arab gundul, meskipun ada baik-baik, meninjau, memeriksa, sekaligus
praktik-praktik penulisan Arab Pegon dengan mempelajari dengan tetliti, perihal yang
harakat dengan tujuan untuk memudahkan disampaikan guru atau kiyai terkait konten
pembaca, terutama bagi pemula. materi kitab kuning, kemudian dituliskan oleh
santri pada kitab kuning masing-masing”.

38 JURNAL DEKAVE VOL.9, NO.2, 2016


Naufan Noordyanto

Sedangkan bandongan merupakan “metode Secara teknikal, tulisan Arab Pegon di


pembelajaran dengan cara santri meniru kitab kuning adalah hasil dari goresan tangan
pembacaan materi oleh guru secara bersama- (handwriting) santri sehingga karakter estetik
sama melalui kitab yang disimaknya”. Di desain huruf tergantung pada skill masing-
Madura, misalnya di Pamekasan, metode masing santri sebagai “desainer” dalam
sorogan dan bandongan sejak awal dipakai menuliskannya. Aspek estetik huruf dilihat
oleh PP Sumberanyar di Desa Larangan Tokol dari karakter goresan yang luwes dan dinamis.
Pamekasan, yang kemudian bertransformasi Lantara secara anatomis, stroke atau tubuh
mengikuti kurikulum formal sejak 1950-an, huruf Hijaiyah didominasi karakter garis
begitu juga PP Darul Ulum Banyuanyar, melengkung (curve stroke), mirip seperti bowl
kecamatan Palengaan, Pamekasan sejak (stroke melengkung) pada huruf latin, atau
didirikan 1785 M meskipun sekarang sudah spine (tulang punggung yang melengkung
modern, dan ponpes-ponpes lainnya (Pemkab pada huruf “S”) pada huruf Latin. Serta ditulis
Pamekasan dan FIB UGM, 2010: 276 dan 281). bersambung sebagaimana huruf Arab
lazimnya menyerupai penulisan huruf Latin
jenis script (tulisan dengan huruf latin
bersambung), sehingga menurut Hisyam
(2006: 490-498), Arab Pegon dalam istilah
Inggris disebut Pegon Script.
Penjelasan isi kitab dengan huruf Arab
Pegon tersebut, ditulis di bawah atau di
samping redaksi aslinya. Penataan yang
1 2 3 4 5 demikian memberikan tata artistik yang khas.
Beberapa kitab kuning umumnya disajikan
Gambar 2 Potongan tulisan berbahasa Arab dalam
kitab berjudul Safinatun Najah bab urusan jenazah, dengan layout yang khusus dengan blank space
karangan Syeh Salim bin Syeih Samir Hadhri (ditulis atau kolom kosong untuk fitur komentar,
horizontal), dan terjemahan bahasa Madura dengan
Arab Pegon (ditulis diagonal) oleh Ustadz Umar penjelasan, maupun keterangan yang
Faruq, ulama Bangkalan, Madura. Pelafalan
terjemahan Madura dari tulisan Arab Pegon tersebut: dituliskan dengan Arab Pegon. Sehingga
1) kaangghuy (bahasa Indonesia: untuk), 2) adua’
(berdoa), 3) paneka (tersebut), 4) mendem mayyit antara rupa huruf redaksi tulisan asli (huruf
(menguburkan mayat), 5) paling sakone’na (paling
sedikitnya). Hijaiyah) dan rupa huruf Arab Pegon nampak
Sumber: Kontribusi Mas’udi Eko Diansyah, S.Pd.I, satu kesatuan (unity) meski berbeda bahasa.
2015

JURNAL DEKAVE VOL.9, NO.2, 2016 39


TIPOGRAFI ARAB PEGON DALAM PRAKTIK BERBAHASA MADURA DI TENGAH DINAMIKA KEBUDAYAAN
YANG DIUSUNG HURUF LATIN

Pertama, benteng pertahanan


(mempertahankan) tradisi keislaman, baik itu
agar fasih menulis huruf Arab, atau
mempertahankan unity atau keseragaman
tulisan (rupa huruf) kitab itu sendiri. Kedua,
tradisi tulis Arab Pegon justru menjadi
benteng (atau dibentengi?) sebagai upaya agar

Gambar 3 Potongan tulisan berbahasa Arab pada “tidak tersentuh” oleh kebudayaan lain (misal
kitab kuning Bulughul Maram yang dikarang oleh Al
Hafdz Ibnu Hajar Al Asqalani, beserta goresan
kebudayaan Barat/Eropa dengan instrumen
keterangan berbahasa Madura yang ditulis dalam kebudayaannya berupa huruf Latin) karena
Arab Pegon. Kitab ini berisi tuntunan ibadah.
Sumber: Kontribusi Mas’udi Eko Diansyah, S.Pd.I, alasan mempertahankan tradisi salaf
2015
terdahulu.

Arab Pegon sebagai instrumen tulis pasaran


Dalam terminologi Madura, santri disebut
Gambar 4 Salinan tulisan tangan hasil terjemah dan santrè (baca: santreh), dan orang yang
keterangan dalam bahasa Madura dari kitab kuning
Bulughul Maram pasal 677, jika ditulis dalam huruf menamatkan pendidikan di ponpes disebut
Latin: “Hadits tentang anodhuwaghi da’ omomma
“bhindârâ” (baca: bhindhereh) yang
aniat pasa e dalem bakto malem, bagus pasa fardhu,
sonnat, otaba nadzar” (artinya: Hadits tentang diperlakukan seperti kèyaè (baca: kiyaeh) atau
tuntunan umum niat berpuasa di malam hari, baik
puasa wajib, sunnah, maupun nadzar/janji) kiyai (pemuka agama Islam) namun tidak
Sumber: Kontribusi Mas’udi Eko Diansyah, S.Pd.I,
2015 setingkat atau lebih tinggi dari kiyai. Pondok
atau “pondhuk” (bahasa Madura) atau
Dalam konteks kebudayaan, mengamati lengkapnya pondok pesantren (ponpes) yang
fenomena homogenitas rupa huruf ini (sama- dimaksud yaitu merujuk pada tempat santri
sama huruf Hijaiyah, baik huruf Arab maupun atau murid-murid belajar dan mendalami
Arab pegon), menurut penulis, sebagai simbol agama Islam, biasanya menjadi tempat
kebudayaan Islam, praktik tipografi Arab bermukim (mondok) santri-santri tersebut.
Pegon pada penulisan kitab kuning yang Tidak jarang pesantren dahulunya hanya
demikian mengisyaratkan seolah-olah terbentuk dari langghâr (baca: langgher, atau
menjadi perangkat “benteng pertahanan” yang langgar dalam bahasa Jawa) yaitu tempat
mendua (seperti dialektika dua kutub). pengajian anak-anak belajar Al-quran dan

40 JURNAL DEKAVE VOL.9, NO.2, 2016


Naufan Noordyanto

pelbagai ilmu agama Islam yang umumnya tersebar di kabupaten Sumenep (http://
diasuh kiyai. Misalnya PP Sumber Anyar Az- moslemwiki.com/
Zubair Pamekasan tempat Panembahan Pesantren_di_Kota_Sumenep), 278 ponpes di
Ranggasukawati, Raja Pamekasan yang kabupaten Pamekasan (http://moslemwiki
pertama, PP Nurul Hikmah di Pamekasan .com/Pesantren_di_Kota_Pamekasan), 159
yang didirikan semasa pemerintahan ponpes di kabupaten Sampang (Error!
Panembahan Ranggasukawati, dan masih Hyperlink reference not valid.
banyak yang lain (Pemkab Pamekasan dan FIB Pesantren_di_Kota_ Sampang), dan 179
UGM, 2010: 279). ponpes di kabupaten Bangkalan
Keberadaan pesantren pun (http://moslemwiki.com/ Pesantren_ di_Kota_
sesungguhnya mengindikasikan bentuk- Bangkalan). Lulusan pesantren Madura yang
bentuk pemribumian teologi (upaya tersebar di berbagai penjuru, tidak jarang
peresapan Islam dalam masyarakat) yang tercatat menjadi aktor dalam sejarah
ditempuh penyiar Islam dengan mendirikan perkembangan Islam di Nusantara.
lembaga pendidikan memakai metode Keadaan sosial budaya masyarakat
pengajaran (kebudayaan) Islam (sebagai Madura menentukan dalam diaspora dan
kebudayaan asing) yang disesuaikan dengan penggunaan huruf Arab Pegon. Budaya
keperibadian lokal pribumi. Pendidikan dan pesantren, bhindârâ, dan kiyai
pengajaran Islam merupakan jantung mengindikasikan perkembangan ilmu
kehidupan dan eksistensi pesantren. Kegiatan pengetahuan dan kebudayaan Islam di tengah-
mencerdaskan pribumi dalam wadah tengah masyarakat Madura yang kemudian
pesantren kemudian menjadi ciri pendidikan mewarnai corak masyarakat dan tersublimasi
Nusantara yang khas. menjadi kebudayaannya. Tidak hanya di
Hingga saat ini, ponpes tradisional/salaf pesantren, bhindârâ dan kiyai di tengah-
maupun modern di Madura jumlahnya tengah masyarakat sejak dahulu dapat
menjamur. Berdasarkan laman Wiki Aswaja dimungkinkan memberikan peran penting
yang dikelola Persaudaraan Profesional dalam diaspora dan perkembangan
Muslim Aswaja (PPMA), organisasi afiliasi penggunaan huruf Arab (asli) maupun Arab
organisasi islam Nahdlatul Ulama (NU), yang Pegon di tengah-tengah masyarakat etnik
merilis daftar pesantren di Madura beserta Madura. Hal ini didasarkan pada peran orang
alamat lengkap, diketahui sekitar 258 ponpes dengan status sosial tersebut umumnya

JURNAL DEKAVE VOL.9, NO.2, 2016 41


TIPOGRAFI ARAB PEGON DALAM PRAKTIK BERBAHASA MADURA DI TENGAH DINAMIKA KEBUDAYAAN
YANG DIUSUNG HURUF LATIN

sebagai ghuru (baca: ghuruh) atau guru yang relasi tersebut, penulis menduga, melalui
memberikan pendidikan agama di tengah- pengajaran Islam oleh kiyai di tengah-tengah
tengah masyarakat. Apalagi pola lapisan sosial masyarakat luas yang demikian, sejak dahulu
masyarakat Madura yang menempatkan memberikan andil dalam pendistribusian dan
bhindârâ dan kiyai sebagai tokoh yang penggunaan huruf Arab Pegon menjadi huruf
disegani dan “berkedudukan” tinggi. pasaran atau instrumen baca tulis keseharian,
Bahkan kristalisasi nilai-nilai lokal khususnya dalam bahasa Madura.
tersebut dikukuhkan dalam ungkapan Sebagaimana yang penulis dapati dewasa
tradisional Madura yang senantiasa ini, bahwa generasi lawas atau kaum tua (50-
ditanamkan sejak dahulu (termasuk pada 60-an tahun) terutama di desa-desa Madura,
penulis), yaitu: bhuppa’, babu, ghuru, rato, fasih membaca tulis Arab Pegon daripada
(secara berurutan artinya: ibu, bapak, guru, huruf Latin. Misalnya keluarga Mukhlis (21
raja/pemerintah). Ungkapan tersebut tahun), warga yang pernah penulis kunjungi di
bermakna hierarki kepatuhan terhadap “figur” desa Proppo, Pamekasan, hari ketujuh pasca
dalam masyarakat etnik Madura umumnya. Idul Fitri 2015. Mukhlis mengaku bahwa
Dalam konteks tersebut, kiyai dan bhindârâ dirinya, ibu (60-an tahun), dan bibinya belajar
yang umumnya sebagai figur guru masyarakat Arab Pegon dari Ma’ Kaèh (baca: Mak Kaeh,
Madura, didudukkan dalam posisi yang artinya kiyai lokal) pengajar madrasah,
mendapatkan penghormatan (“bahkan langgar atau surau-surau tempat mengaji
dikultuskan”) setelah ibu dan ayah. Apalagi Alquran di desanya.
jika figur kiyai dan bhindârâ tersebut memiliki Sudah menjadi hal umum di Madura
darah bangsawan atau garis keturunan sejak dahulu, pendidikan agama lebih
keluarga kraton/kerajaan di Madura. diutamakan meskipun tidak dalam nuansa
Dipandang dari perspektif kultural- pendidikan formal. Bahkan anak kecil jenjang
historis, bisa dikatakan hal itu merupakan taman kanak-kanak sudah diserahkan kepada
dampak pergeseran dan memudarnya tata guru ngaji untuk belajar agama, adapula
nilai dan budaya dari pengaruh feodalisme anjuran lebih baik melanjutkan studi ke
masyarakat yang berpusat pada raja-raja atau ponpes daripada sekolah umum. Di Proppo
bangsawan kraton, yang kemudian lebih sendiri saat ini sudah tersebar 40-an lebih
berorientasi pada agama Islam, yaitu kiyai ponpes (http://moslemwiki.com/
sebagai tokoh sentralnya. Mengamati pola Pesantren_di_Kota_Pamekasan), lain pula

42 JURNAL DEKAVE VOL.9, NO.2, 2016


Naufan Noordyanto

tempat-tempat ngaji di surau-surau, langgar, Madura, misalnya bahasa Jawa bahkan bahasa
maupun masjid. Bahkan menurut Mukhlis, Indonesia sekalipun.
Ibu dan Bibi Mukhlis tidak pandai baca tulis Bisa jadi, hal tersebut juga karena akses
huruf Latin, namun terbiasa menulis Arab pendidikan (khususnya keberaksaraan)
Pegon bahasa Madura. Bahkan keduanya tidak masyarakat bawah tidak segemilang, tidak
bisa dan tidak mengerti berkomunikasi dalam sevariatif, atau bahkan tidak semudah yang
bahasa Indonesia, sehingga komunikasi yang didapatkan golongan atas, selain karena
dipakai adalah bahasa Madura ketika ditemui masyarakat lebih mengenal huruf Arab
penulis. Dahulu ketika komunikasi tak terlebih dahulu daripada huruf Latin.
semudah sekarang, keluarga Mukhlis yang Mengingat hingga tahun 90-an, pendidikan
sedang berpisah jarak, seringkali saling umum di Madura masih menjadi barang
menulis surat dengan huruf Pegon bahasa mewah. Apalagi jika dibandingkan dengan
Madura. masa yang lebih lampau. Seperti halnya
Melihat realitas yang terjadi pada contoh Sartono Kartodirdjo dalam Soekiman (2011:
masyarakat Madura tersebut, tentunya 12) menempatkan “orang kecil” di urutan
merupakan hasil pendidikan (keberaksaraan) terbawah daripada golongan Indo dan
di masa lampau. Dengan demikian, diaspora Belanda, priyayi, elite birokrasi Eropa maupun
huruf Arab Pegon bahasa Madura juga Indo, di antara masyarakat Hindia Belanda.
tumbuh dan berkembang menjadi huruf Sebagai contoh dapat dilihat pengalaman
pasaran terutama bagi golongan “masyarakat golongan atas Madura, seperti kegemilangan
bawah” atau orèng kènè’ (baca: oreng kenik) pendidikan (keberaksaraan) Pangeran
sebagai hasil transmisi pengajaran dari Abdurrachman Pakunataningrat atau sering
golongan intelektual (bhindârâ dan kiyai). dikenal Sultan Sumenep (Penguasa Sumenep
Karena besar kemungkinan bahasa Madura pada 1811-1854) yang dapat menguasai bahasa
adalah bahasa Ibu yang hanya dimengerti dan Madura, Jawa, Kawi, Sansekerta, Melayu,
dibiasakan masyarakat untuk belajar Belanda, Inggris, dan bahasa Arab. Bahkan
memahami dunia dan lingkungan sekitarnya. Sultan mendapat gelar Doktor kehormatan
Mengingat beberapa orang desa di Madura dalam kesusasteraan dari pemerintah Inggris
terlebih para kaum tua yang penulis ketahui karena membantu Letnan Gubernur Jenderal
dewasa ini, masih tidak mengerti selain bahasa Sir Thomas Stamfford Raffles dalam
menerjemahkan salah satu prasasti Sansekerta

JURNAL DEKAVE VOL.9, NO.2, 2016 43


TIPOGRAFI ARAB PEGON DALAM PRAKTIK BERBAHASA MADURA DI TENGAH DINAMIKA KEBUDAYAAN
YANG DIUSUNG HURUF LATIN

sebagai data penulisan buku History of Java Kitab-kitab tersebut tidak diketahui siapa
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan penulisnya, namun menjadi koleksi salah
R.I., 1979: 110-111 dan Moelyono, 1984: 47- seorang warga di Pamekasan (Pemkab
48). Pamekasan dan FIB UGM, 2010: 178-179).
Pada perkembangan selanjutnya, dalam
Arab pegon dan isu tipografi dewasa ini
Pemkab Pamekasan dan FIB UGM (2010: 38),
Sebagaimana kebudayaan sebelumnya, yaitu
karena pengaruh konteks sosial masyarakat
sosialisasi dan penyebaran agama Hindu-
pada umumnya, yaitu lingkungan relijius yang
Budha yang begitu kuatnya ditunjukkan
sangat kental, menyebabkan terjadi
melalui sisa-sisa peninggalan kebudayaan.
peningkatan orang Madura yang naik haji atau
Keberadaan huruf Arab Pegon juga
studi di Timur Tengah pada abad XX. Kontak
mengindikasikan realitas budaya dan agama
dan komunikasi dengan dunia Arab yang
terakulturasi begitu berhasilnya dan menjadi
demikian, ditengarai pula membawa angin
salah satu indeks atau jejak kejayaan
segar terhadap perkembangan intelektualitas
kebudayaan Islam di bumi Madura, yaitu
masyarakat Pamekasan, yang berimbas pada
huruf Arab Pegon. Maka sebagai produk dari
tradisi tulis Arab Pegon.
akulturasi atau pertemuan dua kebudayaan,
Pada abad XX pula, perkembangan
huruf Arab Pegon sebagai simbol pengaruh
penulisan huruf Arab Pegon semakin terang
kerajaan Islam di Nusantara, dapat dikatakan
benderang karena ditemukan bukti tertulis.
merupakan hasil upaya dan siasat cerdik
Misalnya kitab Atmorogo berisi petunjuk dan
pemribumian teologi, “lokalisasi”, atau
ajaran budi pekerti, saling menghormati, dan
kontekstualisasi kebudayaan Islam-Arab
bercorak sufi, yang ditengarai ajarannya
melalui tipografi. Keberhasilan perpaduan
mendapat pengaruh dari Jawa; kitab Nurbuat
kebudayaan melalui huruf Arab Pegon, tidak
berisi cerita dan ajaran ketauladanan, doa-doa
hanya berdampak pada munculnya
nurbuwat, dll; kitab Patmorogo yang berisi
kesinambungan budaya dan agama, tapi juga
ajaran sufistik, diperkirakan sezaman dengan
berdampak pada munculnya kestabilan
kitab Atmorogo, dan diduga terkait persebaran
ideologi, politik, dan sosial, sebagaimana yang
ajaran sufi dan tarekat di Madura; serta kitab
telah diurai sebelumnya.
Tantraningrat berisi cerita dan perjalanan
Tipografi Arab Pegon pada dasarnya
hidup Nabi Muhammad SAW, serta suri
mempertemukan kode aksara dan kode bahasa
tauladan dan ajaran tentang kemanusiaan.

44 JURNAL DEKAVE VOL.9, NO.2, 2016


Naufan Noordyanto

lain untuk “dipinjam-pakai”. Huruf Arab atau dinamika kebudayaan hingga muncul
Pegon sejatinya adalah hasil “jerih payah” dari variasi huruf Arab untuk penulisan bahasa
upaya “mendamaikan” huruf dari kebudayaan lokal, yaitu Arab Pegon.
yang semula dianggap asing (Arab-Islam) Berpijak dari pengertian bahasa
dengan kebudayaan lokal, yaitu bahasa menurut Koentjaraningrat (2009: 261) sebagai
lokal/pribumi (vernacular language). Bisa sistem perlambangan manusia yang lisan
dibilang tujuh huruf baru sebagai simbol maupun tertulis untuk berkomunikasi satu
fonem hasil modifikasi tersebut semacam dengan yang lain. Maka sebagai instrumen
praktik apropriasi. Maksudnya, huruf Arab bahasa khususnya dalam konteks Madura,
“yang asing” digubah, disesuaikan, dihasilkan huruf Arab Pegon didesain sebagai sistem
produk beberapa simbol fonem baru perlambangan untuk menjembatani
kemudian dijadikan milik sendiri komunikasi dan transfer/pertukaran
(kebudayaan lokal), karena tentunya deretan kebudayaan Islam, Arab, dan Madura.
huruf gubahan tersebut tidak masuk daftar Visualitas dan rupa huruf Arab Pegon
huruf Hijaiyah yang original. sekaligus menjadi bahasa universal yang saling
Artinya proses akulturasi dalam konteks bisa dipahami.
Arab Pegon, memungkinkan penyesuaian diri Sebagaimana telah disebutkan di awal
(adaptasi) kebudayaan Islam dalam kehidupan tulisan ini, bahwa huruf Arab Pegon
sosial untuk mendukung bahasa dan simbol- berkembang disinyalir karena adanya
simbol komunikasi lokal dengan cara “damai”, kesulitan menerjemahkan kata-kata dan
luwes, dan dapat diterima masyarakat luas. Hal konsep-konsep Islam dan Arab secara spesifik
ini menunjukkan sifat huruf Arab yang ke dalam bahasa lokal, akhirnya bunyi/fonem
dinamis, mengacu pada konsep dinamika asli dari bahasa diadopsi dan ditulis dengan
huruf yang ditulis Sanusi (2010: 61), bahwa Arab Pegon. Begitu juga dari segi universalitas
“sifat aksara/huruf sebagai indeks dari dan familiaritas bahasa rupa (desain) huruf
kebudayaan yang selalu dinamis atau Arab Pegon dalam komunikasi, melalui
menyesuaikan dengan warna kebudayaan pendidikan keberaksaraan, masyarakat
lokal tempat di mana huruf itu hidup”. Madura dapat membaca tulisan Arab Pegon,
Awalnya huruf Arab digunakan di Nusantara sementara orang atau ulama Islam daerah lain
sebagai bagian dari kebudayaan Islam-Arab yang berinteraksi di Madura dapat mengerti
(original), kemudian mengalami “pergeseran” pelafalan/pengucapan fonem bahasa Madura

JURNAL DEKAVE VOL.9, NO.2, 2016 45


TIPOGRAFI ARAB PEGON DALAM PRAKTIK BERBAHASA MADURA DI TENGAH DINAMIKA KEBUDAYAAN
YANG DIUSUNG HURUF LATIN

melalui tulisan Arab yang sudah familiar dalam kelompok huruf Latin, tanda bisat
baginya, meski sudah dimodifikasi menjadi dituliskan dengan satu karakter tanda baca,
huruf Arab Pegon, sehingga tercapai maksud yaitu tanda petik/kutip satu (‘).
yang dikomunikasikan.
Uniknya, selain akomodatif untuk kata
serapan dalam bahasa Arab, huruf Arab Pegon
bisa dianggap lebih akomodatif untuk
menuliskan kata-kata dengan punctuation
mark atau tanda baca “bisat” dalam beberapa
kata dalam bahasa Madura, daripada
menggunakan huruf latin untuk menuliskan
kata-kata dengan tanda bisat. Istilah tanda
Gambar 5 Kata sakone’na (baca: sakonekna) (kanan
baca bisat merujuk pada tanda baca dalam
bawah) ditulis dalam Arab Pegon. Tanda bisat
bahasa Madura yang digunakan untuk diakomodasi dengan huruf Hijaiyah hamzah
Sumber: Kontribusi Mas’udi Eko Diansyah, S.Pd.I,
memberikan bunyi konsonan “k” (sama 2015

halnya bunyi “k” di dalam bahasa Indonesia),


namun seperti pelafalan bunyi “k” pada kata
“tidak”; bukan seperti pelafalan pada kata
“skak”; “produk”; “makhluk”, dan lain-lain.
Gambar 6 Kata ma’na (baca: makna) (kanan
Tanda bisat dilafalkan mengikuti bunyi vokal
bawah) ditulis dalam Arab Pegon. Tanda bisat
dari suku kata sebelum tanda bisat diakomodasi dengan huruf Hijaiyah ‘ain
Sumber: Kontribusi Mas’udi Eko Diansyah, S.Pd.I,
dibubuhkan. Sebagai contoh: kata lonca’ 2015

dibaca loncak (dalam bahasa Indonesia:


“loncat/lompat”); sakè dibaca sakek (dalam Dari perspektif tipografi, pada kasus di
bahasa Indonesia: “sakit”); atau sakonè’na atas, perwujudan satu karakter huruf dalam
dibaca sakoneknah, (dalam bahasa Indonesia: huruf Arab Pegon bisa dianggap lebih legible
“sedikitnya”). Dalam Arab Pegon, tanda bisat (mudah dikenal; terbaca jelas) daripada
diwujudkan dalam satu karakter huruf perwujudan satu karakter tanda baca, atau

Hijaiyah yang disebut hamzah ( ‫( ) ﺀ‬lihat faktor lain: seperti bisa terlewatkan jika mata

gambar 5) atau beberapa kata khusus memakai tidak teliti. Tentu saja, hal itu berlaku bagi

huruf ‘ain ( ‫( ) ع‬lihat gambar 6), sedangkan siapa saja yang dapat membaca huruf Arab,

46 JURNAL DEKAVE VOL.9, NO.2, 2016


Naufan Noordyanto

sementara kata dalam huruf latin format di lingkungan masyarakat santri, kemudian
bahasa Madura yang dituliskan dengan tanda juga berubah luas cakupannya dalam praktik
bisat, belum tentu dibaca/dilafalkan dengan untuk komunikasi pasar. Namun, di era huruf
bunyi yang dikehendaki. Artinya, pengalaman Latin ini, Arab Pegon dapat dikatakan “mati
visual terhadap huruf berpengaruh pada suri” jika bukan berada di “lingkungan
familiaritas. Sebagai ilustrasi, kata “makna” hidupnya” dan cenderung tergantikan dengan
dalam bahasa Madura ditulis ma’na (baca: huruf Latin yang menguasai praktik-praktik
makna), dalam huruf Arab Pegon ditulis ‫ﻣﻌﻦ‬ tipografi dunia. Dalam konteks kebudayaan,
atau َ‫( ﻣَﻌَْﻦ‬lihat gambar 6), atau kata sakonè’na budaya Arab di Madura “luntur” dari sisi
(baca: sakoneknah), dalam huruf Arab Pegon tipografis, tergantikan dengan kebudayaan
ditulis ‫ ﺳﻜﻮﻧﯩﻨﮫ‬atau ‫( ﺳَﻜُﻮْﻧِﯩ ٔ◌ﻨَﮫ‬dalam bahasa modern yang diusung tipografi huruf Latin.
Indonesia: “sedikitnya”). Jika orang tidak Tipografi dewasa ini seringkali
familiar dengan bahasa Madura, maka kata diidentikkan dengan huruf huruf Latin karena
ma’na akan dibaca ”mana” saja, begitu pula kuasa dan dominasinya dalam diaspora
kata sakonè’na akan dibaca sakonena. informasi, komunikasi, serta seni dan desain.
Sementara, orang yang tidak mengerti bahasa Padahal tipografi tidak melulu tentang huruf
Madura namun dapat membaca huruf Arab, Latin, tetapi meliputi semua jenis huruf yang
dengan bantuan tulisan Arab Pegon ada. Di samping itu, huruf Latin seringkali
dimungkinkan dapat membaca kata-kata diasosiasikan dengan kebudayaan
dalam bahasa Madura dengan benar. Hal Barat/Eropa. Mengingat secara historis, cikal
inilah menurut penulis, keunggulan tipografi bakal huruf Latin yang dipakai hingga kini
Arab Pegon dalam mengakomodasi karakter dipercaya berasal dari Barat, yang dirintis oleh
huruf untuk legibilitas penulisan tanda bisat bangsa Romawi. Sebagaimana yang dikenal
untuk kata dalam bahasa Madura. sekarang, bangsa Romawi menulis angka
Praktik-praktik tipografi Arab Pegon dengan simbol dari huruf kapital mereka,
dewasa ini, dapat dikatakan mengalami seperti huruf “I”, “V”, “X”, “L”, “C”, “D”, dan
pergeseran budaya. Sebagaimana dijelaskan “M” (Sihombing, 2003: 46). Salah satu
sebelumnya, praktik Arab Pegon bergulir kontribusi orang Romawi pada masa sistem
sebagai alat sebar dan transmisi pengetahuan tulisan awal adalah penciptaan bentuk
Islam, selanjutnya berlangsung sebagai karakter huruf Trajan Column berangka tahun
instrumen pendidikan (keberaksaraan) Islam 114 M sebagai salah satu huruf yang paling

JURNAL DEKAVE VOL.9, NO.2, 2016 47


TIPOGRAFI ARAB PEGON DALAM PRAKTIK BERBAHASA MADURA DI TENGAH DINAMIKA KEBUDAYAAN
YANG DIUSUNG HURUF LATIN

terkenal dan terbaik mencirikan identitas Apalagi di era digital ini, baik teknologi
Romawi, dengan karakter klasik, elegan, informasi dan internet kian mendukung
kombinasi yang seimbang dari bentuk, persebaran huruf. Setiap orang dengan
proporsi, dan kesederhanaan, yang mudahnya mengakses dan memakai beragam
menginspirasi desainer huruf di seluruh dunia variasi font digital. Selain itu, penyedia
(Strizver, 2006: 17). Karena itulah huruf Latin informasi di internet pun demikan,
sering disebut huruf Roman atau huruf “milik menyajikan pelbagai informasi melalui
orang Roma” (roman letterform). beragam tipografi huruf Latin, baik yang
Begitu pula di Indonesia, perkembangan bertujuan untuk komunikasi maupun
dan diaspora huruf Latin tidak terlepas dari menyangkut aspek estetik huruf. Kesadaran
praktik kolonialisme dan tentunya akan pentingnya huruf digital kemudian
disatupaketkan dengan kebudayaan Barat menciptakan upaya kesinambungan dalam
yang dibawa atau kerja pembaratan yang penciptaan desain huruf-huruf digital, baik
dijalankan. Kolonialisme yang paling masif Latin maupun huruf lain.
adalah yang dipraktikan Belanda di Nusantara Beralih kembali ke huruf Arab Pegon,
sejak abad XVI. Sebelum itu, sejak lama bangsa bahkan di lingkungan “hidupnya sendiri”,
asing seperti India, Cina, Arab, dan Portugis misalnya lembaga pendidikan Islam bercorak
telah hadir di Pulau Jawa (Soekiman, 2011: 1). seperti madrasah, umumnya hanya memiliki
Artinya, bersamaan dengan perkembangan jatah minim proses belajar mengajar dengan
Belanda di Nusantara, bisa dikatakan huruf huruf Arab Pegon. Madrasah sendiri lebih
Latin di Indonesia berkembang belakangan, dominan menggunakan huruf Latin dalam
tetapi kini menjadi paling banyak dan sering proses pembelajaran. Hal ini sebagaimana
digunakan. diungkapkan oleh seorang informan Mas’udi
Dewasa ini, Surat kabar dan media Eko Diansyah, seorang ustadz atau pengajar di
massa lainnya baik yang terdistribusi di Madrasah Tsanawiyah Al-Amien Branta
Madura atau Indonesia ramai-ramai Pesisir, Pamekasan, Madura, bahwa proses
menggunakan huruf Latin. Hal ini karena pembelajaran dengan huruf Arap Pegon pada
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional saat tertentu saja, misalnya pada pembelajaran
dilegitimasikan, diasosiasikan, dan bahasa Arab, Tajwid (tata aturan dan metode
diidentikkan dengan tulisan huruf Latin membaca Alquran), dan lain-lain, serta tidak
(bukan aksara lokal atau Arab Pegon). selalu menggunakan bahasa Indonesia,

48 JURNAL DEKAVE VOL.9, NO.2, 2016


Naufan Noordyanto

mengingat lembaga tersebut mengikuti masih berlangsung. Artinya huruf Arab Pegon
kurikulum pusat (Departemen Agama). kini hanya menjadi instrumen literasi
Menurut Hisyam (2006: 497), adanya pendidikan yang terbatas ruang lingkupnya,
madrasah dianggap sebagai perkembangan bukan instrumen komunikasi pasar secara
sistem pendidikan Islam yang modern, luas. Artinya, secara sendirinya tradisi literasi
sehingga corak metode pembelajarannya dan kepustakaan oleh masyarakat santri di
mengadopsi Barat dan huruf Latin. Hal ini dalam lingkungan pesantren menjadi penjaga
terjadi sejak abad XX. Istilah“madrasah” eksistensi keberlangsungan huruf Arab Pegon.
(bahasa Arab) yang merujuk sekolah atau Untuk menelusuri praktik tipografi ini
perguruan Islam. Di dalam perkembangannya, di luar pesantren, informasi dari informan
ponpes secara administratif umumnya alumni pesantren sangat penting. Menurut
memiliki lembaga pendidikan formal berupa Nasiruddin, pasca lama lulus dari pesantren, ia
madrasah atau bersifat madrasiyah, misalnya jarang menulis Arab Pegon dalam keseharian,
jenjang Madrasah Diniyah/MD (setara karena sudah tergantikan dan terbiasakan
Pendidikan Usia Dini/PAUD), Madrasah menggunakan huruf Latin. Begitu juga
Ibtidaiyah/MI (setara Sekolah Dasar/SD), Mukhlis, menulis dengan huruf Arab Pegon
Madrasah Tsanawiyah/MTs (setara Sekolah hanya dipakai jika terdapat keperluan tertentu
Menengah Pertama/SMP), Madrasah Aliyah saja, misalnya untuk memberikan informasi
/MA (setara Sekolah Menengah Atas/SMA), kepada orangtuanya yang tidak mengerti
hingga perguruan tinggi. Pesantren tradisional huruf Latin. Sementara menurut Masudi,
yang tidak memiliki kurikulum madrasiyah dirinya masih tetap mengkaji kitab-kitab dan
pendidikan formal juga masih ada, sehingga komentar dengan huruf Arab Pegon terutama
menghendaki santri yang juga ingin menjalani untuk kepentingan pendalaman materi dan
pendidikan formal untuk sekolah di lembaga pengajaran terkait ilmu seputar Islam kepada
lain. Begitu juga, pada perkembangannya masyarakat dan di sekolah tempat ia mengajar.
madrasah berdiri sebagai lembaga pendidikan Selain itu membaca dan menulis huruf Arab
mandiri yang tidak memungkinkan murid- Pegon untuk menuliskan materi ceramah dan
murid atau santri bermukim, baik dengan khutbah untuk pengajian Islam.
kurikulum formal maupun nonformal. Senada dengan Masudi, penulis juga
Namun, di lingkungan pesantren sering mendapati do’a-doa berbahasa Madura
tradisional, praktik tipografi Arab Pegon untuk orang meninggal yang dibaca ustadz

JURNAL DEKAVE VOL.9, NO.2, 2016 49


TIPOGRAFI ARAB PEGON DALAM PRAKTIK BERBAHASA MADURA DI TENGAH DINAMIKA KEBUDAYAAN
YANG DIUSUNG HURUF LATIN

atau kiyai atau tokoh masyarakat seringkali praktik resmi di lingkungan pemerintahan,
dituliskan dalam huruf Arab Pegon berbahasa baik di Madura maupun di Indonesia.
Madura, yang kemudian diteruskan dari Sanusi (2006: 76-77) melihat gejala
pelbagai do’a bahasa Arab. Hal ini acapkali huruf Latin yang mengglobal melalui berbagai
ditemui ketika mengantarkan jenazah ke asumsi terhadap sikap intelektual pribumi atas
kubur. Praktik ini juga seringkali dilakukan penerimaan huruf Latin, sebagai berikut:
oleh kiyai ketika “dimintai” doa-doa tertentu pertama, sikap rela menerima huruf Latin
untuk keperluan tertentu pula. Arab pegon sebagai huruf masa depan dan modern, apalagi
juga seringkali digunakan untuk menuliskan jika dikaitkan karir pendidikan intelektual
nama-nama seseorang bercorak Nusantara, pribumi tidak terlepas pendidikan yang
baik untuk doa-doa atau untuk goresan seni ditransmisikan melalui huruf Latin; kedua,
kaligrafi sebagai benda display di rumah. kalangan pengguna huruf Latin dianggap
Dengan demikian, kini praktik Arab Pegon sebagai golongan cerdik pandai yang telah
hanya “lestari” saat kondisi tertentu saja, mencoba mengimbangi dominasi huruf Latin,
khususnya dalam lingkungan pendidikan namun kalah dukungan dari segi budaya dan
Islam dan keperluan ritual, tetapi jarang politik, serta dianggap lebih mumpuni dalam
dipraktikan dalam komunikasi oleh perguliran wacana, ketimbang masyarakat
masyarakat umum. daerah yang hanya bisa dan membaca huruf
Melihat fenomena tersebut, jika boleh lokal atau yang telah dibiasakan. Selain itu,
diidentifikasikan lewat dikotomi kelas, ia menurut penulis, sebab lainnya adalah
disamakan halnya sebagai bentuk resistensi penerimaan akibat tidak ada pilihan lain dan
dan perjuangan melawan penjajah tempo penetrasi yang terlalu masif, sebagai upaya
dahulu. Huruf Arab Pegon sebagai manifestasi menyesuaikan kondisi lingkungan dan gairah
kebudayaan Islam yang telah lama menjadi zaman. Sehingga jika tidak melazimkan
milik lokal juga sedang dalam pergulatan penggunaan huruf Latin, masyarakat dalam
(pertarungan instrumen visual bahasa) suatu kebudayaan tidak bisa berkembang
mengimbangi kuasa huruf global yang dibawa sesuai dengan keadaan global. Huruf Latin
rezim kolonial, yaitu huruf Latin. Apalagi saat disamakan sebagai patokan “kurs” yang
ini huruf Latin kian dikukuhkan sebagai diterima sebagian besar pihak, apalagi
aksara yang lazim dipakai dalam praktik- perkembangannya didukung media digital.

50 JURNAL DEKAVE VOL.9, NO.2, 2016


Naufan Noordyanto

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa beradaptasi di habitat mana pun dan
penggunaan, distribusi, serta pelestarian cenderung mendominasi kontestasi dalam
huruf, khususnya huruf Arab Pegon, tidak dinamika kebudayaan. Dibandingkan dengan
terlepas dari berbagai faktor sosial budaya huruf Arab Pegon yang kini tersisih di sudut
yang melingkupinya. Nasib “hidup” dan lingkungan sosial budaya tertentu dan “telah
eksistensi huruf berkaitan dengan gagal” kembali bermain di kancah global,
kecenderungan pola dan sikap masyarakat setelah sekian lama berperan penting dalam
untuk melestarikan dan mengenalkannya peradaban dan kebudayaan Madura.
kepada kebudayaan lain yang ada. Sebab upaya
KESIMPULAN
yang demikian sangat menentukan kelestarian
Huruf Arab Pegon khususnya yang dipakai
bersama kebudayaan yang diwakilinya atau
untuk menuliskan dalam bahasa Madura,
justru tersingkir di tengah dinamika
merupakan produk akulturasi dari
kebudayaan.
kebudayaan Islam-Arab, Jawa, dan Madura
Praktik ini sejalan dengan konsep
(dari segi struktur penggunaan bahasa). Huruf
globalisasi yang menghendaki kontestasi
Arab Pegon sejatinya adalah hasil “jerih
global antar huruf melalui berbagai medium
payah” dari upaya “mendamaikan” huruf dari
pendukung, yaitu melalui perpustakaan, surat
kebudayaan yang semula dianggap asing
kabar, dan media digital. Keberhasilan
(Arab-Islam) dengan kebudayaan lokal, yaitu
penetrasi yang kemudian mendominasi dunia
bahasa lokal/pribumi (vernacular language).
global melalui relasi pelbagai medium
Kini, praktik-praktik tipografi Arab Pegon
tersebut, menyebabkan (bahasa visual) huruf
dapat dikatakan mengalami pergeseran
dapat menembus sekat-sekat budaya, ruang
budaya. Praktik Arab Pegon mula-mula
dan waktu, sebagaimana dicontohkan pada
diduga bergulir sebagai alat sebar dan
huruf Latin yang juga dilibatkan termasuk
transmisi pengetahuan Islam, selanjutnya
dalam praktik pendidikan Islam.
berlangsung sebagai instrumen pendidikan
Dari sini penulis melihat, ada semacam
(keberaksaraan) Islam di lingkungan
upaya bahwa huruf Latin sekaligus dijadikan
masyarakat santri, kemudian juga berubah
sebagai perangkat kesempatan untuk
luas cakupannya dalam praktik untuk
mengakses kebudayaan di mana saja, di masa
komunikasi pasar. Namun, di era huruf Latin
kini dan depan. Dipersonifikasikan sebagai
ini, huruf Arab Pegon dapat dikatakan tersisih
makhluk hidup, huruf Latin dianggap mampu
di sudut lingkungan sosial budaya tertentu dan

JURNAL DEKAVE VOL.9, NO.2, 2016 51


TIPOGRAFI ARAB PEGON DALAM PRAKTIK BERBAHASA MADURA DI TENGAH DINAMIKA KEBUDAYAAN
YANG DIUSUNG HURUF LATIN

telah gagal kembali bermain di kancah global,


dan cenderung tergantikan dengan huruf
Latin yang menguasai praktik-praktik
tipografi dunia.

DAFTAR INFORMAN
Gambar 7 Peneliti (kiri) dan Narasumber (kanan)
1. Mas’udi Eko Diansyah, S.Pd.I, seorang Sumber: Naufan Noordyanto, 2016
ustadz atau pengajar di Madrasah
Tsanawiyah Al-Amien Branta Pesisir,
Pamekasan, Madura. Ia memperoleh DAFTAR PUSTAKA
Sarjana Pendidikan Islam di Sekolah
[1] Abdurrachman. 1971. Sejarah Madura
Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Selayang Pandang. Sumenep
Pamekasan, serta alumni Pondok
[2] Bouvier, Hélène. 2002. Lèbur: Seni Musik
Pesantren Miftahul Ulum Banyu Putih
dan Pertunjukan dalam Masyarakat
Kidul Lumajang (bercorak Madura), Jawa
Madura. Jakarta: Forum Jakarta-Paris,
Timur. Ia bertempat tinggal di Desa Branta
École française d’Extrême-Orient,
Pesisir, kecamatan Tlanakan, kabupaten
Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan, Yayasan
Pamekasan, Madura.
Obor Indonesia
2. Mukhlis, aktif mengajar mengaji Alquran,
[3] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
asal Desa Proppo, Pamekasan, Madura.
RI. 1979. Madura III: Kumpulan
Pernah belajar baca tulis Arab Pegon
Makalah-Makalah Seminar 1979, Proyek
untuk kajian kitab kuning selama
Penelitian Madura dalam Rangka Kerja
menempuh pendidikan Madrasah
Sama Indonesia-Belanda untuk
Ibtidaiyah di desanya. Sekarang menjadi
Pengembangan Studi Indonesia 1979.
abdi negara di kantor keuangan negara
Jakarta: Departemen Pendidikan dan
daerah Papua.
Kebudayaan R.I
3. Nashiruddin, alumni Universitas Islam
[4] Fashri, Fauzi. 2014. Pierre Bourdieu:
Negeri (UIN) Surabaya, asal Desa
Menyingkap Kuasa Simbol. Yogyakarta:
Larangan Tokol, Pamekasan, Madura.
Jalasutra.
Pernah belajar baca tulis Arab Pegon
[5] Festschrift, R.P. Soejono. Simanjuntak.
untuk kajian kitab kuning selama di
Hisyam, M. Prasetyo, Bagyo. Nastiti, Titi
Madrasah Ibtidaiyah dan menjadi santri
Surti (Ed). 2006. Archaelogy: Indonesian
nyulog atau santri tidak bermukim di
Perspective. Jakarta: LIPI Press
Pondok Pesantren Az-Zubair Sumber
[6] Harris, David. 1995. The Art of
Anyar, Tlanakan, Pamekasan.
Calligraphy. London: Dorling Kindersley
Book
[7] Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu
Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta
[8] Kuntowijoyo. 2002. Perubahan Sosial
Masyarakat Agraris Madura. Yogyakarta:
Matabangsa
[9] Melalatoa, M. Junus. 1995. Ensiklopedi
Suku Bangsa di Indonesia. Jilid L-Z, Bab

52 JURNAL DEKAVE VOL.9, NO.2, 2016


Naufan Noordyanto

Madura, hal. 493-498. Departemen Internet


Pendidikan dan Kebudayaan RI [1] Wiki Aswaja. Pesantren di Kota
[10] Misrawi, Zuhairi. 2009. Kota Suci, Bangkalan.
Kekuasaan, dan Teladan Ibrahim. http://moslemwiki.com/Pesantren_di_K
Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara ota_Bangkalan. Diakses pada 10
[11] Moelyono, dkk. 1984. Mengenal Desember 2015, pukul 6.06 WIB
Sekelumit kebudayaan Orang Madura di [2] Wiki Aswaja. Pesantren di Kota
Sumenep. Yogyakarta: Departemen Pamekasan
Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat http://moslemwiki.com/Pesantren_di_K
Jenderal Kebudayaan, Balai Kajian ota_Pamekasan. Diakses pada 10
Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta. Desember 2015, pukul 6.05 WIB
[12] Nadjib, Emha Ainun. 2007. Folklore [3] Wiki Aswaja. Pesantren di Kota Sampang.
Madura. Yogyakarta: Progress http://moslemwiki.com/Pesantren_di_K
[13] Pemerintah Kabupaten (Pemkab) ota_Sampang. Diakses pada 10 Desember
Pamekasan dan Fakultas Ilmu Budaya 2015, pukul 6.10 WIB
Universitas Gadjah Mada (FIB UGM) [4] Wiki Aswaja. Pesantren di Kota
Yogyakarta. 2010. Ensiklopedi Sumenep.
Pamekasan: Alam, Masyarakat, dan http://moslemwiki.com/Pesantren_di_K
Budaya. Yogyakarta: PT. Intan Sejati, ota_Sumenep. Diakses pada 10 Desember
Klaten 2015, pukul 6.08 WIB
[14] Ricoeur, Paul. 2012. Teori Interpretasi.
Yogyakarta: IRCiSoD
[15] Rustan, Surianto, S.Sn. 2011. Font &
Tipografi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
[16] Setiono, Benny G. 2007. Tionghoa dalam
Pusaran Politik. Jakarta
[17] Sihombing, Danton. 2003. Tipografi
dalam Desain Grafis. Jakarta: Gramedia
[18] Soekiman, Djoko. 2011. Kebudayaan
Indis: Dari Zaman Kompeni Sampai
Revolusi. Depok: Komunitas Bambu
[19] Strizver, Ilene. 2006. Type rules!: The
Designer’s Guide To Professional
Typograph. United States of America:
John Wiley & Sons, Inc.
[20] Werdisastra, Raden. Hadi, Moh. Toha
(alih bahasa). 1996. Babad Sumenep.
Pasuruan: PT. Garoeda Buana Indah
[21] Widiatmoko, FX., Sanusi, M., Lumenta,
Hasti N., Sungatno. 2010. Aksara-Aksara
Nusantara. Yogyakarta: ZAT Publishing

JURNAL DEKAVE VOL.9, NO.2, 2016 53

You might also like