Professional Documents
Culture Documents
Akhmad Yazidi
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Pakuan, Jl. Pakuan
Bogor, e-mail tasyrifin_karim@yahoo.co.id
Abstract
The Usage of Letters on Malay to Indonesian Language Writing. This paper discusses
the history of the Indonesian language, literacy in the writing of a variety of languages,
Malay letter in writing to the Indonesian language, and spelling in Indonesian. Of this
section may conclude that in writing the history of written language or alphabet letters
contained Paku, the letter Babylonian, Assyrian letters, letters of Ancient Persia;
Pallawa, Kawi Letter used in Sanskrit; Arabic, Kanjiin Japanese and Chinese, letters,
Jawi Premodern, Modern Java, Bali Modern: literacy Hanacaraka from Lampung,
Rencong, Karo Batak, Bugis-Makassar as well;and Latin script. Indonesian language
that comes from the Malay language has a long history, There are some developments
pase formation of the Indonesian language, namely Old Malay, Malay Market, Higher
Malay, and Bahasa Indonesian. Since the 5th century inscription has been found to be
Yupa in Kutai in East Kalimantan with a script and inscription Pallawa Tarumanegara,
and inscriptions in Old Malay inscriptions in a script that is Pallawa Towu Gutters,
Cape Inscription Land, and the inscription Limestone City. In a later development after
the Arabs came to trade missions and preaching, use Malay Arabic script known as
Jawi letters, and beginning of the 20th century the concept put forward by the Ch. A.
Dutch van Ophuysen applied linguists Latin letters into the Malay language. Ever seen
on the spelling of force, then in the Indonesian language contained van Ophuysen
Spelling, Spelling Republic, and Spelling Enhanced.
Abstrak
PENDAHULUAN
Sumpah Pemuda hasil Kongres Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928 berisi tiga
deklarasi tentang nasionalisme Indonesia, yaitu satu bangsa, satu tanah air, dan menjunjung
tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Kebermaknaan Sumpah Pemuda sebagai deklarasi
atas kebangsaan, tanah air, dan bahasa, karena kita bangsa Indonesia terdiri atas beribu-ribu
pulau (13 ribu lebih), banyak suku bangsa (652), beratus-ratus bahasa daerah (742), serta
beragam keyakinan keagamaan.
Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, namun bahasa Indonesia sangat berbeda
dengan bahasa Melayu. Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia sangat banyak menyerap
kosakata, baik bahasa asing maupun bahasa daerah. Hal ini pertanda akan vitalitas sifat bahasa
Melayu, yaitu sifat yang sangat mudah menerima perkembangan baru dalam adaptasi untuk
menjadi bahasa yang modern.
Bahasa asing yang kosakatanya diserap dalam bahasa Indonesia meliputi bahasa
Sanskerta, India, Tamil, Portugis, Parsi, China, Jepang, Belanda, Jerman, Arab, dan Inggris,
sedangkan dari bahasa daerah meliputi bahasa Jawa, Sunda, Batak, Minang, Palembang, Bugis,
Banjar, bahasa dari Papua, bahasa dari Maluku, dan lain-lain.
Pada abad ke-19 dan abad ke-20 kita ketahui bahwa mulai dari bahasa Melayu hingga
bahasa Indonesia paling tidak digunakan dua macam tulisan, yaitu huruf Arab Melayu yang
dikenal dengan huruf Jawi dan abjad Latin. Sementara bahasa Melayu sudah digunakan sejak
abad ke-5, maka pada masa-masa tersebut aksara apa yang digunakan? Tulisan ini mencoba
membahas masalah tersebut sebagai sebuah kajian pustaka. Berdasarkan tema ini, permasalahan
yang dibahas meliputi sejarah bahasa Indonesia, aksara dalam penulisan berbagai bahasa, aksara
dalam penulisan bahasa Melayu hingga bahasa Indonesia, dan ejaan dalam bahasa Indonesia.
PEMBAHASAN
Sejarah Bahasa Indonesia
Kongres II bahasa Indonesia tahun 1954 mengakui bahwa bahasa Indonesia berasal dari
bahasa Melayu. Dalam catatan bahwa bahasa Melayu memiliki sejarah yang cukup panjang. Dari
batu bertulis yang ada, seperti Kedukan Bukit, Talang Tuwo, Kota Kapur, Karang Brahi,
Gandasuli, Bogor, dan Pagaruyung, yang paling awal bertahun 683 M. Hal ini menunjukkan
bahwa sejak abad ke-7 bahasa Melayu Kuno sudah ditemukan dalam tulisan dengan aksara
Pallawa (Collins, 2009: 78; Adul, 1981: 1-3). Dari bukti ini dapat diduga bahwa secara lisan
beberapa abad sebelumnya bahasa Melayu sudah digunakan masyarakat penuturnya.
Ada 4 tahapan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional dan bahasa resmi negara.
Pertama, bahasa Melayu adalah salah satu bahasa daerah di nusantara yang digunakan oleh
masyarakat yang mendiami wilayah Riau di Sumatera. Ada 5 faktor yang mendorong
tersebarnya bahasa Melayu di nusantara. Bahasa Melayu adalah bahasa yang digunakan oleh
kerajaan Sriwijaya sebagai salah satu kerajaan maritim di nusantara yang berpusat di Sumatera
bagian Selatan dan Riau (Ophuysen, 1983). Kerajaan Sriwijaya pada masanya pernah menguasai
wilayah yang cukup luas di nusantara, sehingga bahasa Melayu sebagai bahasa kerajaan
menyebar seiring dengan meluasnya wilayah kerajaan Sriwijaya.
Faktor kedua, bahwa pusat kerajaan Sriwijaya merupakan wilayah pusat perdagangan
internasional. Di wilayah ini merupakan pusat perdagangan, terjadi pertemuan antarpedagang di
nusantara dengan pedagang yang datang dari luar. Pada pertemuan tersebut terjadi komunikasi
dengan menggunakan bahasa Melayu sehingga secara tidak langsung para pedagang dari pelosok
nusantara dan juga pedagang yang datang dari luar berkomunikasi dalam bahasa Melayu.
Sebagai faktor ketiga bahwa Palembang sebagai pusat kerajaan Sriwijaya dengan rajanya
Jayanasya menjadi pusat pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, serta pusat keagamaan
Budha pada sebuah perguruan tinggi dengan guru besar bernama Dharmapala (Adul, 1981: 2).
Sebagai pusat pembelajaran agama Budha, membuat wilayah ini didatangi oleh para pembelajar
agama Budha dari berbagai wilayah, termasuk yang berasal dari Cina, Champa, dan Kamboja
dengan bahasa pengantar bahasa Melayu Kuno. Dalam kaitan ini, terjadilah persentuhan antara
penutur bahasa Melayu dengan penutur yang berbahasa asing. Dalam kaitan ini, intensitas
hubungan berbahasa sangat kuat sehingga berdampak terhadap penguasaan dan pemakaian
bahasa Melayu.
Faktor keempat, letak geografis kerajaan Sriwijaya yang dekat dengan selat Melaka
menjadi pintu masuk para pedagang dari dan ke nusantara sehingga frekuensi dan intensitas
pertemuan dan komunikasi sangat tinggi di jalur tersebut. Faktor kelima adalah bahasa dan sastra
Melayu. Bahasa Melayu memiliki sistem bahasa yang sangat sederhana, tidak mengenal tingkat
kebahasaan, serta terbuka ,sehingga mudah dipelajari, sedangkan dari segi kesusastraan, sastra
Melayu sudah demikian tinggi yang berarti bahwa bahasa Melayu sudah mempunyai tradisi
kesusastraan yang sudah sangat baik.
Kelima faktor di atas yang membuat bahasa Melayu tersebar dan digunakan di Nusantara
ini dalam komunikasi antarsuku dan antarbangsa, bagi kepentingan perdagangan, kebudayaan,
pendidikan, dan keagamaan. Dalam kondisi ini memposisikan bahasa Melayu tidak hanya
sebagai bahasa daerah, tetapi sudah menjadi bahasa perantara ‘lingua franca’ dari berbagai suku
dan bangsa yang berbeda bahasa di nusantara ini. Bahkan oleh Ophuysen (1983) disebutnya
sebagai bahasa internasional.
Pendidikan sebagai bentuk politik etis dari pemerintah Hindia Belanda di nusantara
dengan bahasa pengantar adalah bahasa daerah yang bersifat lokal, bahasa Melayu, dan bahasa
Belanda. Pelaksanaan pendidikan ini yang dinikmati oleh rakyat di tanah air maupun oleh
segelintir rakyat di Belanda menumbuhkan benih-benih nasionalisme di masyarakat. Tumbuh
rasa hak azasi sebagai manusia yang harus merdeka dari penjajahan. Rasa nasionalisme ini
berpadu dengan rasa anti penjajahan yang dilakukan oleh berbagai gerakan pemberontakan dan
peperangan dengan berbagai tokohnya. Kristalisasi dari nasionalisme dan anti penjajahan ini
dituangkan dalam satu deklarasi nasionalisme hasil Kongres Pemuda Indonesia, 28 Oktober 1928
berupa Sumpah Pemuda.
Ketika pembahasan dalam Kongres Pemuda Indonesia dijelaskan bahwa tidak ada satu
pun peserta dari para pemuda yang berasal dari semua daerah di nusantara ini yang keberatan
dijadikannya bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan dan sebagai bahasa nasional Indonesia.
Sumpah Pemuda dengan 3 deklarasi tersebut oleh A. Teeuw disebut sebagai pentasmiahan nama
Indonesia bagi bangsa, tanah air, dan bahasa sehingga dengan peritiwa ini memposisikan bahasa
Melayu menjadi bahasa persatuan dan bahasa nasional bangsa Indonesia.
Pendirian Komisi Bacaan Rakyat tahun 1908 dan kemudian menjadi Balai Pustaka
tahun 1917 sebagai lembaga pemerintah Hindia Belanda yang menerbitkan dan menyediakan
bahan bacaan rakyat dalam berbagai sektor kehidupan dalam bahasa Melayu membuat
berkembang dan tersebarnya bahasa Melayu di seluruh nusantara. Demikian pula terbitnya
majalah Pujangga Baru oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan kawan-kawan yang berwawasan
nasionalisme dan kebudayaan modern memberi andil dalam perkembangan dan pertumbuhan
bahasa Indonesia. Masa pendudukan Jepang di wilayah ini setelah Jepang mengalahkan Belanda
merupakan masa yang amat berarti bagi perkembangan bahasa Indonesia. Jepang sebagai
penguasa baru tidak ingin segala hal yang berbau Belanda, termasuk bahasa, Jepang ingin bahasa
Jepang yang digunakan. Namun penguasaan bahasa tidak semudah menguasai suatu wilayah,
penguasaan dan penggunaan bahasa memerlukan proses yang panjang. Dalam kondisi transisi ini
maka pertimbangan yang sangat realistis adalah digunakannya bahasa pribumi, yaitu bahasa
Melayu sehingga pada masa pendudukan Jepang ini bahasa Indonesia digunakan secara resmi
sebagai bahasa pemerintahan dan pengajaran.
Perjuangan pergerakan kemerdekaan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia baik
perlawanan fisik berupa peperangan, maupun dalam bentuk politik, ditunjang pula oleh
perkembangan dan kondisi wilayah Hindia Belanda di nusantara ini, kekalahan Belanda atas
Jepang dan kemudian kekalahan Jepang atas sekutu, yang menyebabkan terjadinya kevakuman
kekuasaan di wilayah Hindia Belanda ini. Kondisi ini dimanfaatkan oleh para penjuang untuk
memproklamasikan diri menjadi negara dan bangsa yang merdeka dan berdaulat oleh Bapak
Soekarno – Hatta atas nama rakyat Indonesia pada tangal 17 Agustus 1945. Sidang PPKI pada
tangal 18 Agustus 1945 menetapkan UUD RI 1945 serta mengangkat Ir. Soekarno sebagai
presiden dan Drs. Muh. Hatta sebagai wakil presiden RI. Dalam UUD 1945 bab 15 pasal 36
ditetapkan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu
sebagai salah satu bahasa daerah di nusantara ini, kemudian berkembang menjadi bahasa
perantara ‘lingua franca’ antarmasyarakat. Kongres Pemuda Indonesia, 28 Oktober 1928
menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional bangsa Indonesia. Setelah
merdeka, bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa resmi negara.
Berkaitan dengan hal tersebut, Slametmulyana (Arifin dan Tasai, 2008: 8)
mengemukakan bahwa dipilihnya bahasa Melayu sebagai bahasa nasional Indonesia karena 4
faktor, yaitu (1) bahasa Melayu sudah merupakan lingua franca di nusantara. (2) sistem bahasa
Melayu sederhana sehingga mudah dipelajari. (3) suku Jawa, suku Sunda, dan suku lainnya
dengan suka rela menerima bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional,
dan (4) bahasa Melayu mempunyai kesanggupan untuk dipakai sebagai bahasa kebudayaan
dalam arti luas. Di samping itu, Moeliono (1981: 44) mengemukakan bahwa bahasa Melayu
bukan merupakan bahasa asing di nusantara. Bahasa Melayu merupakan bahasa dengan penutur
yang sangat kecil (4,9%) sementara bahasa Jawa digunakan oleh penutur 47% dan bahasa Sunda
digunakan oleh penutur 14.5% sehingga tidak ada perasaan kalah dan menang. Dalam hubungan
ini, Sutan Takdir Alisjahbana mengatakan sebagai mukjizat dan Sapardi Djoko Damono
menganggap sebagai keajaiban.
Gambar 1
ABJAD DARI BERBAGAI BAHASA
Dari gambar 1 di atas bisa diketahui abjad dari berbagai bahasa berupa huruf Paku dari Huruf
Babylonia, Huruf Asyyiria, dan Huruf Persia Kuno; Huruf Sanskerta Bahasa India Kuno, Huruf
Arab, Huruf Tionghoa, Huruf Jepang berupa Huruf Kata-kana, sedangkan pada Gambar 2 di
bawah ini adalah Abjad Latin.
Gambar 2
ABJAD LATIN
Gambar 3
AKSARA PALLAWA-KAWI, AKSARA DAERAH
DAN AKSARA HANACARAKA
Dari gambar 3 di atas bisa kita ketahui aksara Pallawa-Kawi terdiri atas aksara Pallawa,
Huruf Kawi Awal, Kawi Akhir I, Bali Kuno, dan Sunda Kuno, Aksara Daerah terdiri atas Kawi
Akhir II, Jawa Pramodern, Jawa Moderen, dan Bali Modern, Aksara Hanacaraka terdiri atas
Aksara Lampung, Aksara Rencong, Aksara Batak Karo, dan Aksara Bugis-Makassar.
Gambar 4
Alur Perkembangan Penggunaan Aksara di Nusantara
Dari gambar 4 di atas dapat kita ketahui alur perkembangan aksara dalam penulisan
bahasa di nusantara. Pada prasasti pertama bertahun sekitar 400 M berupa Yupa di Kutai
Kalimantan Timur dalam bahasa Sanskerta menggunakan aksara Pallawa serta prasasti
Tarumanegara di Jawa Barat bertahun 450 M dianggap sebagai Pallawa Awal. Kemudian
prasasti batu Talang Tuwo Sumatera bertahun 684 M berbahasa Melayu Kuno dan prasasti Batu
Canggal, Jawa Tengah bertahun 730 M yang dianggap sebagai Pallawa Akhir.
Pada pertengahan abad ke-8 terdapat prasasti Batu Dinoyo, Jawa Tengah, Lempeng
Tembaga Taji, Jawa Tengah bertahun 901 dan Maklumat Mpu Senduk, Jawa Timur sudah masuk
dalam aksara Kawi Awal sebagai perubahan dari aksara Pallawa Akhir. Kemudian pada prasasti
Kentongan Perunggu, Jawa Timur bertahun 1229 serta Lempeng Tembaga Waringin Pitu, Jawa
Timur bertahun 1447 sebagai aksara Kawi Akhir.
Pada tahapan berikutnya, mulai abad ke-13, setelah masuknya pedagang dari bangsa
Arab dengan misi dagang dan dakwah Islam terdapat pengaruh terhadap penulisan bahasa
Melayu dengan menggunakan aksara Arab Melayu yang dikenal dengan huruf Jawi setelah orang
Melayu memeluk agama Islam. Penggunaan huruf Jawi dalam bahasa Melayu sangat luas,
seiring dengan pesatnya perkembangan sastra Melayu. Kemudian setelah datangnya bangsa
Eropa, khususnya bangsa Belanda dengan misi dagang dan kolonialisme serta dengan alasan
politis dan pragmatis, atas gagasan Ch. A. van Ophuysen, seorang ahli bahasa Belanda,
diterapkan aksara Latin ke dalam bahasa Melayu mulai tahun 1901.
Gambar 5
Naskah dalam Huruf Jawi/Arab Melayu
Transliterasi tulisan Jawi ke dalam huruf Latin:
Gambar 10 adalah contoh teks bahasa Melayu/Indonesia dengan menggunakan huruf Arab
Melayu yang disebut huruf Jawi. Tulisan ini menggunakan huruf Arab tetapi dilafalkan dalam
bahasa Melayu/Indonesia. Permasalahan dalam huruf Jawi, pertama bahwa huruf Arab bersifat
sillabi berupa konsonan sedang vokal menggunakan harakat (fathah, kasrah, dan dhommah).
Dengan cara ini, vokal hanya terdapat dalam tiga bunyi, yaitu a, i, dan u, sementara vokal dalam
bahasa Melayu atau Indonesia adalah a, i, u, o, e, serta diftong ai, au, dan oi. Bunyi p dan f tidak
berbeda, untuk bunyi ng, ny, dan c menggunakan lambang tambahan dari huruf Arab.
Gambar 11 (di bawah) adalah contoh teks bahasa Melayu/Indonesia dengan abjad Latin
yang dirancang oleh Ch. A. van Ophuysen, ahli bahasa Belanda, sebagai awal penerapan abjad
Latin yang dikenal dengan Ejaan van Ophuysen, dan mulai berlaku sejak tahun 1901. Ciri ejaan
van Ophuysen ini adalah penggunaan oe untuk u, dj untuk j, tj untuk c, nj untuk ny, sj untuk sy,
ng, penggunaan dua titik (..) di atas akhiran i, pemberian garis (-) di atas e sebagai pembeda
antara dua fonem dalam lambang yang sama (misalnya pada kata mereka), penggunaan (‘)
sebagai tanda hamzah dan ‘ain, serta angka 2 untuk pengulangan.
Gambar 6
Naskah Aksara Latin dalam Ejaan Ch. A. van Ophuysen
Gambar 6 adalah contoh teks bahasa Indonesia dalam Ejaan Republik sebagai pengganti
Ejaan van Ophuysen yang berlaku sejak tahun 1947. Ejaan ini dinamai ejaan Republik dan juga
dikenal ejaan Suwandi, Menteri Pendidikan dan Pengajaran waktu itu. Ciri ejaan Republik
sebagai perubahan dari van Ophuysen adalah mengganti e dengan u, menghapus penggunaan dua
titik (..) di atas akhiran i, menghapus penggunaan garis (-) di atas e sebagai pembeda antara dua
fonem dalam lambang yang sama (misalnya pada kata mereka), serta mengganti (‘) untuk
hamzah dan ‘ain dengan k, misalnya rakyat dan bapak (Lubis, 1952: 227).
Gambar 7
Naskah Aksara Latin dalam Ejaan Republik
Gambar 8
Naskah Aksara Latin dalam Ejaan yang Disempurnakan
Gambar 8 adalah contoh teks bahasa Indonesia dalam Ejaan yang Disempurnakan sebagai
pengganti Ejaan Republik yang berlaku sejak tanggal 17 Agustus 1972. Salah satu ketentuan
dalam ejaan ini adalah penggunaan huruf c untuk tj, j untuk dj, kh untuk ch, ny untuk nj, sy untuk
sj, menghapus penggunaan angka 2 untuk pengulangan tetapi ditulis ulang, serta pemisahan
penulisan kata depan di dan ke pada kata yang diikuti sebagai pembeda dengan awalan di- dan
ke-.
KESIMPULAN
Sebagai penutup tulisan ini beberapa kesimpulan dapat diambil. Aksara bahasa tulis
terdapat huruf Paku, yaitu huruf Babylonia, huruf Assyiria, huruf Persia Kuno; huruf Pallawa,
huruf Kawi yang digunakan dalam bahasa Sanskerta; huruf Arab, huruf Kanji dalam bahasa
Jepang dan Cina, huruf Jawi Pramodern, Jawa Modern, Bali Modern; Aksara Hanacaraka dari
Lampung, Rencong, Batak Karo, dan Bugis-Makassar; serta aksara Latin.
Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu mempunyai sejarah yang cukup lama,
Terdapat beberapa pase perkembangan terbentuknya bahasa Indonesia, yaitu bahasa Melayu
Kuno, Melayu Pasar, Melayu Tinggi, dan Bahasa Indonesia. Sejak abad ke-5, sudah ditemukan
prasasti berupa Yupa di Kutai Kalimantan Timur dengan aksara Pallawa dan Prasasti
Tarumanegara, kemudian prasasti dalam bahasa Melayu Kuno dalam aksara Pallawa, yaitu
Prasasti Talang Towu, Prasasti Tanjung Tanah, dan Prasasti Kota Kapur.
Dalam perkembangan kemudian setelah bangsa Arab datang, digunakan aksara Arab
Melayu yang dikenal huruf Jawi. Awal abad ke-20, atas konsep yang di kemukakan oleh Ch. A.
van Ophuysen, ahli bahasa Belanda, diterapkan huruf Latin ke dalam bahasa Melayu. Dilihat
pada ejaan yang pernah berlaku, dalam bahasa Indonesia terdapat Ejaan van Ophuysen, Ejaan
Republik atau Ejaan Suwandi, dan Ejaan Yang Disempurnakan.
DAFTAR RUJUKAN
Adul, M. Asfandi. 1981. Bahasa Indonesia Baku dan Fungsi Guru dalam Pembinaan Bahasa
Indonesia. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Arifin, E. Zainal dan Tasai, S. Amran. 2008. Cermat Berbahasa Indonesia Untuk PT. Jakarta:
Akademika Pressindo.
Collins, James T. 2009. Bahasa Sanskerta dan Bahasa Melayu. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, serta EcoleFrancaise
d’Extreme-Orient.