Professional Documents
Culture Documents
KEGAWATDARURATAN THT-KL
DAFTAR ISI
HALAMAN
LEMBAH PENGESAHAN……………………………………………......... ii
KATA PENGANTAR………………………………………………………. iii
DAFTAR ISI……………………………………………............................... iv
DAFTAR GAMBAR…………………………………………….................. vi
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………….. 5
2.1 Anatomi leher…………………………………………………….. 5
2.2 Abses perintosilar………………………………………………… 7
2.2.1 Anatomi ruang peritonsilar………………………………… 7
2.2.2 Definisi…………………………………………………...... 8
2.2.3 Epidemiologi………………………………………………. 8
2.2.4 Etiologi…….………………………………………………. 8
2.2.5 Patogenesis...………………………………………………. 9
2.2.6 Gejala klinis..………………………………………………. 9
2.2.7 Diagnosis…..……………………………………………..... 9
2.2.8 Diagnosis banding………………………………………..... 10
2.2.9 Tatalaksana………………………………………………… 10
2.2.10 Komplikasi……………………………………………...... 11
2.2.11 Prognosis………………………………………………..... 11
2.3 Abses submandibula..…………………………………………….. 12
2.3.1 Anatomi ruang submandibula……………………………… 12
2.3.2 Definisi…………………………………………………….. 12
ii
2.3.3 Epidemiologi………………………………………………. 12
2.3.4 Etiologi…………………………………………………….. 13
2.3.5 Patogenesis………………………………………………… 13
2.3.6 Gejala klinis………………………………………………... 13
2.3.7 Diagnosis…………………………………………………… 13
2.3.8 Tatalaksana…………………………………………………. 14
2.3.9 Komplikasi…………………………………………………. 14
2.4 Abses Angina Ludovici…………………………………………… 14
2.4.1 Definisi……………………………………………………... 14
2.4.2 Epidemiologi……………………………………………….. 14
iii
2.4.3 Etiologi……………………………………………………… 15
2.4.4 Patofisiologi………………………………………………… 15
2.4.5 Gejala klinis………………………………………………… 15
2.4.6 Diagnosis…………………………………………………… 16
2.4.7 Tatalaksana…………………………………………………. 16
2.4.8 Komplikasi…………………………………………………. 17
2.5. Abses Retrofaring………………………………………………… 17
2.5.1 Anatomi ruang retrofaring………………………………….. 17
2.5.2 Definisi…………………………………………………….. 18
2.5.3 Epidemiologi……………………………………………….. 18
2.5.4 Etiologi……………………………………………………... 18
2.5.5 Gejala klinis………………………………………………… 19
2.5.6 Diagnosis……………………………………………………. 19
2.5.7 Diagnosis banding……………………………………….….. 20
2.5.8 Tatalaksana………………………………………………….. 20
2.5.9 Komplikasi………………………………………………….. 21
2.6 Abses Parafaring………………………….……………………….. 22
2.6.1 Anatomi ruang parafaring…………………………………... 22
2.6.2 Definisi……………………………………………………… 24
2.6.3 Epidemiologi………………………………………………… 24
2.6.4 Etiologi...…………………………………………………….. 24
2.6.5 Patogenesis…………………………………………………... 12
2.6.6 Gejala klinis…………………………………………………. 12
2.6.7 Diagnosis…………………………………………………….. 12
2.6.8 Tatalaksana…………………………………………………... 12
2.6.9 Komplikasi…………………………………………………… 28
2.6.10 Prognosis…………………………………………………… 28
BAB III KESIMPULAN……………………………………………………. 29
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………… 30
iv
DAFTAR GAMBAR
v
BAB I
PENDAHULUAN
Obstruksi saluran napas juga dapat terjadi akibat adanya benda asing pada saluran
napas. Benda asing pada saluran nafas merupakan keadaan emergensi yang
memerlukan penanganan segera. Keterlambatan penanganan dapat meningkatkan
terjadinya komplikasi bahkan kematian.(20) Aspirasi benda asing di bronkus sering
vi
menyebabkan gangguan pernafasan dan merupakan penyebab morbiditas dan
mortalitas karena dapat mengakibatkan gangguan nafas akut, penyakit paru kronis
dan bahkan kematian. Umumnya terjadi pada anak usia antara 6 bulan sampai 4 tahun
dengan puncaknya pada umur 1-2 tahun. Diperkirakan aspirasi benda asing
bertanggung jawab terhadap 7% kematian mendadak pada anak dibawah usia 4 tahun.
Di Amerika Serikat, pada tahun 2006 terdapat 4100 kasus (1.4 per 100.000) kematian
anak yang disebabkan aspirasi benda asing di jalan nafas.(21)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epistaksis
vii
nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri beberapa pasang tulang
rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, dan sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago alar mayor dan 3.tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan
dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi di bagian depan disebut nares
anteriordan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan
kavum nasi dengan nasofaring. Dinding medial hidung disebut sebagai septum nasi.
Septum di bentuk oleh tulang dan tulang rawan.Bagian tulangnya adalah 1.lamina
perpendikularis, 2.vomer, 3.krista nasalis os maksila dan 4.krista nasalis os palatina.
Bagian tulang rawannya adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan
kolumela. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan terletak
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media,
lebih kecil lagi ialah konka superior.(2)
viii
Pembuluh darah utama di hidung berasal dari arteri karotis interna (AKI) dan
karotis eksterna (AKE). Arteri optalmika, yang merupakan cabang dari AKI,
bercabang dua menjadi arteri ethmoidalis anterior dan posterior. Cabang anterior
lebih besar dibanding cabang posterior dan pada bagian medial akan melintasi
atap rongga hidung, untuk mendarahi bagian superior dari septum nasi dan
dinding lateral hidung. AKE bercabang menjadi arteri fasialis dan arteri
maksilaris interna. Arteri fasialis memperdarahi bagian anterior hidung melalui
arteri labialis superior. Arteri maksilaris interna di fossa pterigopalatina
bercabang menjadi arteri sfenopalatina, arteri nasalis posterior dan arteri palatina
mayor. Arteri sfenopalatina memasuki rongga hidung pada bagian posterior
konka media, memperdarahi daerah septum dan sebagian dinding lateral hidung.
Pada bagian anterior septum, anastomosis dari arteri sfenopalatina, palatina
mayor, ethmoidalis anterior dan labialis superior (cabang dari arteri fasialis),
membentuk plexus Kiesselbach atau Little’s area. Pada posterior dinding lateral
hidung, bagian akhir dari konka media terdapat plexus Woodruff yang
merupakan anastomosis dari arteri sfenopalatina, nasalis posterior dan faringeal
asendens. Epistaksis anterior sering mengenai daerah plexus Kiesselbach.
Epistaksis anterior lebih mudah terlihat sumber perdarahannya sehingga mudah
diatasi dibandingkan epistaksis posterior. Batas yang membagi antara epistaksis
anterior dan epistaksis posterior adalah ostium sinus maksilaris .(b)
ix
Gambar 2. Pendarahan Hidung(b)
2.1.2 Prevalensi
Epistaksis merupakan salah satu kasus yang sering dijumpai, 10 - 12% dari
populasi dimana 10% diantaranya memerlukan tindakan. Sekalipun kebanyakan
kasus sembuh sendiri, beberapa kasus membutuhkan intervensi. Insidens epistaksis
sedikit lebih sering pada laki laki. Hampir 90 % adalah epistaksis anterior, oleh
karena perdarahan di bagian depan septum, pleksus Kiesselbach, umumnya dapat
diatasi. Perdarahan dari bagian posterior kavum nasi disebut epistakis posterior
berkisar antara 5 -10%, tampon hidung 48 – 83% kurang berhasil, sehingga dilakukan
penanganan melalui tindakan bedah endoskopi. Epistaksis sering ditemukan pada
anak – anak, tetapi jarang di bawah umur dua tahun. 30% anak usia 0-5 tahun, 56%
usia 6-10 tahun dan 64% usia 11-15 tahun setidaknya mengalami epistaksis satu kali
disepanjang hidupya (Petruson,1979), sementara 56% dewasa yang mengalami
epistaksis berulang mengalami masalah pada masa kecil mereka ( Beram 1986 ).
Pada umumnya epistaksis pada anak-anak berhenti spontan, tetapi epistaksis pada
anak yang berat atau berulang mungkin membutuhkan perawatan di rumah sakit.
Pada tahun 1979 Petruson di Swedia memerkirakan sejumlah anak-anak dikonsulkan
ke bagain THT oleh karena episaksis per 1000 anak per tahun. Insidens epistaksis
idiopatik pada semua usia cenderung meningkat pada musim dingin di negara barat,
dimana infeksi saluran pernapasasn atas lebih sering terjadi dan saat kelembapan
dalam rumah menurun. (4)
2.1.3 Etiologi(5)
- Trauma : Seperti mengorek hidung, benturan ringan, bersin atau
mengeluarkan ingus terlalu keras, jatuh kecelakaan, benda tajam
x
- Infeksi local : Biasa terjadi pada infeksi sinus paranasal seperti rhinitis atau
sinusitis.
- Tumor : Dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma
- Penyakit kardiovaskular : Pada hipertensi, biasanya terjadi epistaksis berat
dan berakibat fatal
- Kelainan pembuluh darah : Pada kongenital seperti pembuluh darah tipis,
lebar, jaringan ikat yang sedikit.
2.1.4 Patofisiologi
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan lanjut,
terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan
kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan
yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya
kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga
mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda,
pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan
area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh
iskemia lokal atau trauma (Watkinson, 1997). Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat
dibagi atas beberapa bagian, yaitu:(6)
1. Epistaksis Anterior
Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada anak-anak
dan biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan pada lokasi ini bersumber
dari pleksus Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari beberapa
pembuluh darah di septum bagian anterior tepat di ujung postero superior vestibulum
nasi. Perdarahan juga dapat berasal dari bagian depan konkha inferior. Mukosa pada
daerah ini sangat rapuh dan melekat erat pada tulang rawan dibawahnya. Daerah ini
terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi
xi
ulkus, ruptur atau kondisi patologik lainnya dan selanjutnya akan menimbulkan
perdarahan.
2. Epistaksis Posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid posterior.
Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering
ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan
penyakit kardiovaskuler. Thornton (2005) melaporkan 81% epistaksis posterior
berasal dari dinding nasal lateral
xii
Gambar 4. Epistaksis Posterior(6)
2.1.5 Diagnosis(8)
Pada sebagian besar kasus, penyebab epistaksis sudah dapat ditentukan
melalui anamnesis dan pemeriksaan fisis. Bila tidak dijumpai kehilangan darah yang
berat, tidak ada kecurigaan faktor sistemik dan lokasi perdarahan anterior telah dapat
ditentukan, tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium. Perlu diingat bahwa
seringkali penyebab perdarahan ringan berulang merupakan idiopatik. Namun pada
penderita yang sumber perdarahan atau kelainan lokal tidak jelas dapat dinyatakan
xiii
idiopatik jika pendekatan untuk mencari kelainan primer telah dilakukan dan tidak
didapati kelainan.
Pada anamnesis harus ditanyakan tentang awal terjadinya perdarahan, riwayat
perdarahan sebelumnya, penyakit penyerta, pemakaian obat-obatan seperti aspirin
atau warfarin, serta riwayat kelainan darah atau leukemia dalam keluarga.
Kebanyakan perdarahan dari hidung diakibatkan oleh trauma ringan pada septum nasi
anterior, oleh karena itu anamnesis harus mencakup kemungkinan tersebut. Riwayat
perdarahan hidung yang sering berulang, disertai bagian tubuh lain yang mudah
memar, atau perdarahan lainnya memberikan kecurigaan terhadap penyebab sistemik
dan dianjurkan pemeriksaan hematologis.
Penderita dengan epistaksis sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari
bagian depan atau belakang hidung. Sebagai pemeriksa, yang harus diperhatikan
tertuju pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada bagian
hidung yang paling banyak mengeluarkan darah.
Pada pemeriksaan fisik, setelah memeriksa keadaan umum penderita dan memastikan
tanda vital stabil, perhatian diarahkan pada hidung. Hidung harus diperiksa dengan
teliti untuk menentukan lokasi dan penyebab perdarahan. Untuk mendapatkan
visualisasi yang baik diharuskan menggunakan peralatan THT yang cukup lengkap.
(8)
xiv
Gambar 5. Alat-alat(8)
xv
Gambar 6. Lampu Kepala(f8
1) Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior.
Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konka
inferior harus diperiksa dengan cermat,
2) Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan menggunakan cermin nasofaring pada penderita
dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronis yang bercampur darah
penting untuk menyingkirkan adanya neoplasma.
3) Nasoendoskopi
Nasoendoskopi dilakukan untuk evaluasi bagian kavum nasi dan muara sinus
secara langsung menggunakan tampilan berkualitas tinggi. Ini adalah prosedur
yang biasa dilakukan di bagian THT dan berfungsi sebagai alat diagnostik
objektif dalam mengevaluasi mukosa hidung, anatomi sinonasal, dan patologi
hidung. Nasoendoskopi dapat dilakukan dengan menggunakan teleskop serat
optik atau teleskop kaku.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan penunjang hanya dikerjakan pada kasus dengan kecurigaan
koagulopati atau adanya perdarahan masif.
2. Laboratorium darah lengkap dan profil hemostasis (waktu perdarahan, PT,
aPTT dan INR).
3. Pencitraan radiologis; MRI atau CT-Scan untuk pasien dangan kecurigaan
keganasan atau benda asing yang sulit dilihat dengan pemeriksaan fisik.
2.1.7 Tatalaksana
xvi
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.
A. Epistaksis Anterior
1. Kauterisasi
2. Tampon Anterior
Apabila kauter tidak dapat mengontrol epistaksis atau bila sumber perdarahan tidak
menggunakan kapas atau kain kassa yang diberi vaselin atau salap antibiotik.
Tampon
xvii
ini dipertahankan selama 3 – 4 hari dan kepada pasien diberikan antibiotik spektrum
luas. V aghela (2005) menggunakan swimmer’ s nose clip untuk penanggulangan
epistaksis anterior.(11)
B. Epistaksis Posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan
1. Tampon Posterior
Prosedur ini menimbulkan rasa nyeri dan memerlukan anestesi umum atau
setidaknya dengan anestesi lokal yang adekuat. Prinsipnya tampon dapat menutup
koana dan terfiksasi di nasofaring untuk menghindari mengalirnya darah ke
nasofaring. Kemudian dilakukan pemasangan tampon anterior. Tekhnik ini pertama
sekali diperkenalkan oleh Bellocq, dengan menggunakan tampon yang diikat dengan
tiga pita (band). Masukkan kateter karet kecil melalui hidung kedalam faring,
kemudian ujungnya dipegang dengan cunam dan dikeluarkan dari mulut agar dapat
diikat pada kedua ujung pita yang telah disediakan. Kateter ditarik kembali melalui
rongga hidung sehingga tampon tertarik ke dalam koana melalui nasofaring. Bantuan
jari untuk memasukkan tampon kedalam nasofaring akan mempermudah tindakan ini.
Apabila masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula
dimasukkan tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua pita yang keluar dari nares
anterior kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kasa didepan lubang hidung,
supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak. Pita yang terdapat di
xviii
rongga mulut dilekatkan pada pipi pasien. Gunanya untuk menarik tampon keluar
melalui mulut setelah 2 – 3 hari.(12)
2. Tampon Balon
Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan
pemasangan tampon posterior konvensional tetapi kurang berhasil dalam mengontrol
epistaksis posterior. Ada dua jenis tampon balon, yaitu: kateter Foley dan tampon
balon yang dirancang khusus. Setelah bekuan darah dari hidung dibersihkan, tentukan
asal perdarahan. Kemudian lakukan anestesi topikal yang ditambahkan
vasokonstriktor. Kateter Foley no. 12 - 16 F diletakkan disepanjang dasar hidung
sampai balon terlihat di nasofaring. Kemudian balon diisi dengan 10 -20 cc larutan
salin dan kateter Foley ditarik kearah anterior sehingga balon menutup rongga hidung
posterior. Jika dorongan terlalu kuat pada palatum mole atau bila terasa sakit yang
mengganggu, kurangi tekanan pada balon. Selanjutnya dipasang tampon anterior dan
kateter difiksasi dengan mengunakan kain kasa yang dilekatkan pada cuping hidung.
Apabila tampon balon ini gagal mengontrol perdarahan, maka dilakukan pemasangan
tampon posterior.(11)
melindungi suplai darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis eksterna.12
Tindakan ini dapat dilakukan dibawah anestesi lokal. Dibuat insisi horizontal sekitar
dua jari dibawah batas mandibula yang menyilang pinggir anterior m.
sternokleidomastoideus. Setelah flap subplatisma dielevasi, m. sternokleido-
mastoideus di retraksi ke posterior dan diseksi diteruskan ke arah bawah menuju
selubung karotis. Lakukan identifikasi bifurkasio karotis kemudian a. karotis eksterna
dipisahkan. Dianjurkan untuk melakukan ligasi dibawah a. faringeal asendens,
xix
terutama apabila epistaksis berasal dari bagian posterior hidung atau nasofaring.
Arteri karotis eksterna diligasi dengan benang 3/0 silk atau linen.(12)
1. Hidung
2. Faring
Menurut letaknya, faring dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu nasopharynx,
oropharynx, dan laryngopharynx. Faring berfungsi sebagai penyalur udara dari
rongga hidung ke laring atau makanan dari rongga mulut ke esophagus.
2. Laring
xx
Laring merupakan sebuah struktur yang berguna untuk menyalurkan udara
pernapasan dari faring menuju ke trachea. Selain itu, pada laring terdapat
kotak suara berbentuk segitiga yang berfungsi sebagai penghsail suara manusia.(15)
2.2.2 Definisi
Obstruksi saluran napas adalah kegagalan sistem pernapasan dalam memenuhi
kebutuhan metabolik tubuh akibat sumbatan saluran napas bagian atas. Obstruksi
saluran napas atas merupakan salah satu keadaan kegawatdaruratan yang dihadapi
dokter pada kondisi kritis. Obstruksi saluran napas atas dapat ditemukan mulai dari
hidung atau mulut hingga karina utama. Obstruksi saluran napas atas dapat bersifat
fungsional atau anatomi dan dapat berkembang akut atau subakut.(13)
2.2.3 Etiologi
xxi
Obstruksi saluran napas bagian atas disebabkan oleh trauma, tumor, infeksi
akut, kelainan kongenital hidung atau laring, difteri, paralysis satu atau kedua plika
vokalis, pangkal lidah jatuh ke belakang pada penderita yang tidak sadar karena
penyakit, cedera, atau narkose maupun karena benda asing.(13)
a. Obstruksi Nasal
Merupakan tersumbatnya perjalanan udara melalui nostril oleh deviasi septum
nasi, hipertrofi tulang torbinat / tekanan polip yang dapat mengakibatkan
episode nasofaringitis infeksi.
b. Obstruksi Laring
Terdapat adanya penyumbatan pada ruang sempit pita suara yang berupa
pembengkakanmembran mukosa laring, dapat menutup jalan dengan rapat
mengarah pada astiksia.
2.2.3 Gejala
Gejala dan tanda sumbatan laring ialah:(5)
xxii
- Stridor (nafas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi
- Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di
suprasternal,epigastrium,supraklavikula dan interkostal.Cekungan ini terjadi
sebagai upayadari otot-otot pernafasan untuk mendapatkan oksigen yang
adekuat.
- Gelisah karena haus udara. (air hunger)
- Wajah tampak pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia.
a. Stadium 1
- Cekungan tampak pada waktu inspirasi di suprasternal
- Stridor pada waktu inspirasi
- Pasien masih tampak tenang
b. Stadium 2
- Cekungan pada waktu inspirasi didaerah suprasternal maikn dalam
- Cekungan di daerah epigastrium
- Stridor terdengar pada waktu inspirasi
- Pasien mulai tampak gelisah.c.
c. Stadium 3
- Cekungan selain di suprasternal, epigastrium juga terdapat di infraklvikula
dandisela-sela iga.
xxiii
- Stridor terdengar pada waktu inspirasi dan ekspirasi
- Pasien sangat gelisah dan dispnea.
d. Stadium 4
- Cekungan-cekungan diatas bertambah jelas,pasien sangat gelisah, tampak
sangat ketakutan dan sianosis.
- Pasien dapat kehabisan tenaga,pusat perafasan paralitik karena hiperkapnea.
- Pasien lemah dan tertidur, akhirnya meninggal karena asfiksia.
2.2.5 Tatalaksana
Prinsip penanggulangan sumbatan laring ialah dengan menghilangkan
penyebab sumbatan dengan cepat atau membuat jalan napas baru yang menjamin
ventilasi udara berjalan baik.
Tindakan Konservatif(5)
Untuk stadium 1 dapat diberikan obat antihistamin seperti cetirizine 10mg/hari (1x
sehari), antibiotic seperti cefixime 50-100 mg/x (2x sehari) dan pemberian oksigen.
Tindakan Operatif :
Stadium 2 dan 3 dapat dilakukan intubasi endotrakea dan trakeostomi. Stadium 4
dapat dilakukan krikotiroidetomi.
Untuk mengatasi gangguan pernapasan bagian atas ada tiga cara, yaitu :
1.Intubasi(15)
xxiv
Indikasi intubasi endotrakea adalah
- Untuk mengatasi obstruksi saluran napas bagian atas
- Membantu ventilasi
- Memudahkan mengisap sekret dari traktus trakeobronkial
- Mencegah aspirasi sekret yang ada di rongga mulut atau berasal dari lambung
xxv
Laringoskop dengan spatel yang lurus dipegang dengan tangan kiri dan dimasukkan
mengikuti dinding faring posterior dan epiglottis diangkat horizontal ketas bersama-
sama sehingga laring jelas terlihat. Pipa endotrakea dipegang dengan tangan kanan
dan dimasukkan melalui celah pita suara sampai di trakea. Kemudian balon diisi
udara dan pipa endotrakea difiksasi dengan plester.(16)
Laringotomi dilakukan dengan membuat lubang pada membran tirokrikoid
atau krikotirotomi. Krikotiromi merupakan tindakan penyelamat pada pasien dalam
keadaangawat napas. Bahayanya besar tetapi mudah dikerjakan, dan harus
dikerjakancepat walaupun persiapannya darurat. Krikotirotomi merupakan
kontraindikasi pada anak di bawah usia 12 tahun, demikian juga pada tumor laring
xxvi
yang sudah meluas ke subglotik dan terdapat laringitis. Bila kanul dibiarkan terlalu
lama maka akan timbul stenosis subglotik karena kanul yang letaknya tinggi akan
mengiritasi jaringan-jaringan di sekitar subglotis, sehingga terbentuk jaringan
granulasi dan sebaiknya diganti dengan trakeostomi dalam waktu 48 jam.(16)
Teknik krikotirotomi(16)
- Pasien tidur telentang dengan kepala ekstensi pada artikulasi atlanto
oksipitalis.
- Puncak tulang rawan tiroid mudah diidentifikasi difiksasi dengan jari tangan
kiri.
- Dengan telunjuk jari tangan kanan tulang rawan tiroid diraba ke bawah
sampai ditemukan kartilago krikoid. Membran krikotiroid terletak di antara
kedua tulang rawan ini. Daerah ini diinfiltrasi dengan anestetikum kemudian
dibuat sayatan horizontal pada kulit.
- Jaringan di bawah sayatan dipisahkan tepat pada garis tengah.
- Setelah tepi bawah kartilago terlihat, tusukkan pisau dengan arah ke bawah
- Kemudian masukkan kanul bila tersedia. Jika tidak, dapat dipakai pipa lastic
untuk sementara.
xxvii
Gambar 9. Krikotirotomi yang dilakukan pada obstruksi laring stadium IV(5)
3. Trakeostomi
Trakeostomi adalah suatu tindakan bedah dengan mengiris atau membuat
lubang sehingga terjadi hubungan langsung lumen trakea dengan dunia luar untuk
mengatasi gangguan pernapasan bagian atas.(17)
xxviii
- Dapat dipakai dalam waktu lama.
- Trauma saluran napas tidak ada.
- Penderita masih dapat berbicara sehingga kelumpuhan otot laring dapat
dihindari.
- Penderita merasa enak dan perawatan lebih muda
- Penderita dapat makan seperti biasa.
- Menghindari aspirasi, menghisap sekret bronkus.
- Jalan napas lancar, meringankan kerja paru.
xxix
Jangan tersumbat oleh sekret, dianjurkan disuksion ½-1 jam pada 24 jam
pertama dan tidak boleh terlalu lama setiap suksion, biasanya 10-15detik. Bila
lama penderita bisa sesak atau hipoksia atau cardiac arrest. Lakukanlah
berkali-kali sampai bersih.
3. Anak: kanul dibersihkan setiap hari kemudian pasang kembali.
Komplikasi trakeostomi:
- Waktu operasi: Perdarahan, lesi organ sekitarnya, apnea dan shock.
- Pasca operasi: Infeksi, sumbatan, kanul lepas, erosi ujung kanul atau desakan
cuff pada pembuluh darah, fistel trakeokutan, sumbatan subglotis dan trakea,
disfagia,granulasi.
Teknik trakeostomi(19)
1. Penderita tidur telentang dengan kaki lebih rendah 30˚ untuk
menurunkantekanan vena di daerah leher. Punggung diberi ganjalan sehingga
terjadiekstensi. Leher harus lurus, tidak boleh laterofleksi atau rotasi.
Dilakukan desinfektan daerah operasi dengan betadin atau alkohol.
Anestesi lokal subkutan, prokain 2% atau silokain dicampur denganepinefrin
atau adrenalin 1/100.000. Anestesi lokal atau infiltrasi ini tetapdiberikan
meskipun trakeostomi dilakukan secara anestesi umum.
2. Dilakukan insisi
- Insisi vertikal: dimulai dari batas bawah krikoid sampai fossa
suprasternum,insisi ini lebih mudah dan alir sekret lebih mudah.
xxx
- Insisi horizontal: dilakukan setinggi pertengahan krikoid dan fossa
sternum,membentang antara kedua tepi depan dan medial
m.sternokleidomastoid, panjang irisan 4-5 cm.
3. Irisan mulai dari kulit, subkutis, platisma sampai fasia colli superfisialsecara
tumpul. Bila tampak ismus, maka ismus disisikan ke atas atau ke bawah. Bila
mengalami kesukaran dan tidak memungkinkan, potong saja.
4. Bila sudah tampak trakea maka difiksasi dengan kain tajam. Kemudian di
suntikkan anestesi lokal kedalam trakea sehingga tidak timbul batuk pada
waktu memasang kanul.
5. Stoma dibuat pada cincin trakea 2-3 bagian depan, setelah dipastikan trakea
yaitu dengan menusukkan jarum suntik dan letakkan benang kapas tersebut.
6. Kemudian kanul dimasukkan dengan bantuan dilator.
7. Kanul difksasi dengan pita melingkar leher, jahitan kulit sebaiknya
jahitanlonggar agar udara ekspirasi tidak masuk ke jaringan dibawah kulit.
xxxi
Gambar 10. Trakeostomi yang dilakukan pada obstruksi laringstadium II dan III(5)
xxxii
2.3 Benda Asing pada Saluran Napas
2.3.1 Definisi
Merupakan masuknya benda yang berasal dari luar tubuh atau dari dalam
2.3.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi(5)
xxxiii
d. Proses menelan yang bel surgikal, misal pada tindakan bedah, ekstraksigigi, dan
gigi molar yang belum tumbuh pada anak umur < 4 tahun.
e. Faktor kejiwaan, misal emosi dan gangguan psikis.
f. Faktor ukuran dan bentuk serta sifat benda asing.
g. Faktor kecerobohan, seperti meletakkan benda asing di mulut, persiapanmakan
yang kurang baik, makan dan minum yang tergesa-gesa, makansambil bermain pada anak-
anak, dan memberikan kacang atau permenpada anak yang gigi molarnya belum
lengkap.
2.3.3 Patogenesis
Bila benda asing telah masuk ke dalam trakea atau bronkus, kadang-kadang
terjadi fase asimtomatik selama 24 jam atau lebih, kemudian diikuti oleh fas
pulmonum dengan gejala yang tergantung pada derajat sumbatan bronkus Benda
asing organik, seperti kacang-kacangan, mempunyai sifat higroskopik, mudah
menjadi lunak dan mengembang oleh air, serta menyebabkan iritasi pada mukosa.
Mukosa bronkus menjadi edema, dan meradang, serta dapat pula terjadi jaringan
granulasi di kitar benda asing, sehingga gejala sumbatan bronkus makin menghebat.
xxxiv
Akibatnya timbul gejala laringotrakeobronkitis, toksemia, batuk dan demam yang
tidak terus menerus (irreguler).(22)
Gejala sumbatan jalan napas tergantung pada lokasi benda asing, derajat
sumbatan, bentuk dan ukuran benda asing. Seseorang yang mengalami aspurasi benda
asing akan mengalami 3 stadium. Stadium pertama merupakan gejala awal yang
dapat berupa batuk-batuk secara tiba-tiba (violent paroxysms of coughing), rasa
tercekik, rasa tersumbat di tenggorok, bicara gagap sehingga obstruksi jalan napas
dapat terjadi segera. Pada stadium kedua, gejala stadium permulaan dikuti interval
asimtomatik. Hal ini karena benda asing tersebut tersangkut, refleks-refleks akan
melemah dan gejala rangsangan akut menghilang. Stadium ini berbahaya, sering
menyebabkan keterlambatan diagnosis atau cenderung mengabaikan kemungkinan
aspirasi benda asing karena gejala dan tanda tidak jelas. Pada stadium ketiga, telah
terjadi gejala komplikasi dengan obstruksi, erosi atau infeksi sebagai akibat reaksi
terhadap benda asing, sehingga hemoptisis, pnemonia, dan abses paru.(5)
2.3.6 Diagnosis
xxxv
2.3.7 Tatalaksana
xxxvi
Gambar 11. Pertolongan tersedak pada bayi
Cara lain untuk mengeluarkan benda asing yang menyumbat laring secara total
ialah dengan cara perasat dari Heimlich (Heimlich maneuver), dapat dilakukan pada
anak maupun orang dewasa. Menurut teori Heimlich, benda asing masuk ke dalam
laring ialah pada waktu inspirasi. Dengan demikian paru penuh oleh udara,
diibaratkan sebagai botol plastic yang tertutup, dengan menekan botol itu, maka
sumbatannya akan terlempar ke luar.
Dengan perasat Heimlich, dilakukan penekanan pada paru. Caranya ialah, bila
pasien masih dapat berdiri, maka penolong berdiri di belakang pasien,kepalan tangan
kanan penolong diletakkan di atas prisesus xifoid, sedangkan tangan kirinya
diletakkan di atasnya. Kemudian dilakukan penekanan ke belakang dan ke arah paru
beberapa kali, sehingga diharapkan benda asing akan terlempar ke luar dari mulut
pasien.
xxxvii
Gambar 12. Heimlich Manuver
Bila pasien sudah terbaring karena pingsan, maka penolong bersetumpu pada
lututnya di kedua sisi pasien, kepalan tangan diletakkan di bawah prosesus xifoid,
kemudian dilakukan penekanan ke bawah dan ke arah paru pasien beberapa kali,
sehingga benda asing akan terlempar ke luar mulut. Pada tindakan ini posisi muka
harus lurus, leher jangan ditekuk ke samping, supaya jalan napas merupakan garis
lurus.(24,5)
xxxviii
Benda asing di trakea dapat dikeluarkan dengan bronkoskopi. Tindakan ini
merupakan tindakan yang harus segera dilakukan, dengan pasien tidur terlentang
posisi Tendelenburg, supaya benda asing tidak turun ke dalam bronkus. Pada waktu
bronkoskopi, benda asing dipegang dengan cunam yang sesuai dengan benda asing
itu, dan ketika dikeluarkan melalui laring diusahakan sumbu panjang benda
asing segaris dengan sumbu panjang trakea, jadi pada sumbu vertical, untuk
memudahkan pengeluaran benda asing itu melaluirima glottis.(25)
BAB III
KESIMPULAN
xxxix
Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus,
Staphylococcus, kuman anaerob Bacterioides atau kuman campuran. Abses leher
dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring dan abses
submandibular dan angina Ludovici (Ludwig’s Angina).
Secara umum penatalaksanaan abses leher dalam adalah berupa terapi
medikamentosa dan terapi bedah. Terapi medikamentosa dilakukan dengan
pemberian antibiotika kemudian dilakukan terapi bedah dengan menginsisi abses.
Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa jika disertai
dengan komplikasi. Obstruksi jalan nafas dan asfiksia merupakan komplikasi yang
potensial terjadi pada abses leher dalam. Dengan demikian kita harus waspada
terhadap tanda-tanda komplikasi yang muncul, yang mungkin sangat berbahaya.
DAFTAR PUSTAKA
xl
5. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Telinga
Hidung Tenggorok. Jakarta:FKUI. 2012. 130-5
6. Thornton MA, Mahest BN, Lang J. Posterior epistaxix: Identification of common bleeding
sites. Laryngodcope, 2005. Vol. 115 (4): 588 – 90
7. Evans JA. Epistaxis: Treatment & Medication. eMedicines Specialities 2007
Nov 28. Accesed by 25 Mei 2019 Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/764719-treatment
8. Punagi, AQ. Epistaksis (Diagnosis dan penatalaksanaan terkini). Makassar:
Digi Pustaka 2017; 15-20 ISBN 978-602-17126-2-7
9. Anias CR. Epistaxis. Otorrhinolaryngology. Accesed by 23 Mei 2019
Available at :http://www.medstudents.com.br/otor/otor3.htm
10. Vaghela HM. Foley catheter posterior nasal packing. Clin Otolaryngol, 2005.
Vol. 30 (2): 209 – 10
11. Vaghela HM. Using a swimmer’s nose clip in the treatment of epistaksis in
the A&E departement. Accing Emerg Nurs, 2005. 13(4): 261 – 3.
12. Shah AG, Stachler RJ, Krouse JH. Endoscopic ligation of the sphenopalatine
artery as a primary management of severe posterior epistaxis in patiens with
coagulopathy. Ear Nose Throat J. 2005. 84 (5): 296 – 7
13. Jose C, Atul C. Upper Airway Obstruction. in: American College of
Physicians: Manual of Critical Care. Raoof S, editor. USA: McGraw-Hill, Inc;
2009;388-96
14. Riyanto, Bambang Sigit, Barmawi Hisyam,dkk. Obstruksi Saluran Pernapasan
Akut. Dalam Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. Edisi 4. Jakarta:
Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia. 2006. Hal 978-87
15. Rudraraju P, Eisen LA. Confirmation of endotracheal tube position: a
narrative review. J Intens Care Med. 2009;24(5):283– 92.
16. Sharma K, Varshney M, Kumar R. Tracheal tube fixation: the effect on depth
of insertion of midline fixation compared to the angle of the mouth.
Anaesthesia. 2009;64(1):383–6
17. Lawson Lawson G. Tracheotomy in Surgery of larynx and trachea. Springer-
Verlag Berlin Heidelberg 2010 ;159-169
18. Hadiwikarta A, Rusmarjono, dan Soepardi EA. Penanggulangan Sumbatan
Laring. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007; 243-53
19. Sitorus RP, Fuadi I, Redjeki I. Gambaran dan tata cara ventilasi mekanik di
RS Hasan Sadikin Bandung. JAP. 2016; 145-8
20. Zuleika P, Ghanie A. Penatalaksanaan Enam Kasus Aspirasi Benda Asing
Tajam di Saluran Trakheobronkial. Palembang: JURNAL KEDOKTERAN
DAN KESEHATAN. 2016; 3(1): 361-70
xli
21. Ragab A, Ebied OM, Zalat S. Scarf pins sharp metallic tracheobronchial
foreign bodies: presentation and management. 2007; 71(5): 769–773
22. Salih AM, Alfaki M. Airway Foreign Bodies. World J Emerg Med.
2016;7(1)5-9
23. Hewlett JC, Rickamn OB, Lentz RJ. Foreign body aspiration in adult airways.
J Thorac Dis 2017;9(9):3399-405
25. Karpman C, Midthun DE, Mullon JJ. A distal airway foreign body removed
with electromagnetic navigation bronchoscopy. J Bronchology Interv
Pulmonol 2014;21:170-2.
26. Hsu AA. Endoscopic intervention of lower airway foreign matter in adults-a
different perspective. J Thorac Dis 2015;7:1870-7
xlii