You are on page 1of 54

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/267203286

ANALISIS KERAGAMAN DAN STABILITAS GENETIK TEMULAWAK (Curcuma


xanthorrhiza Roxb.) INDONESIA

Thesis · February 2009

CITATIONS READS

2 1,458

1 author:

Lukita Devy
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
14 PUBLICATIONS   13 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Lukita Devy on 22 November 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


ANALISIS KERAGAMAN DAN STABILITAS
GENETIK TEMULAWAK (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) INDONESIA

LUKITA DEVY

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Keragaman dan Stabilitas
Genetik Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Indonesia adalah karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.

Bogor, Januari 2009

Lukita Devy
NRP A151060191

i
ABSTRACT
LUKITA DEVY. Genetic Variability and Stability Analysis of Indonesian
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Under the direction of SOBIR and
DODO RUSNANDA SASTRA.

This study consists of two experiments. The first was multilocations test in
dryland and the second was multiseasons test under two sunlight intensities (45%
and 100%). Fourteen temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) accessions were
used in both experiments. The first experiment was conducted to determine
genetic parameters in two locations (Serpong and Bogor) from December 2006 to
August 2007. Direct and indirect effects of vegetative components to rhizome
fresh weight through path analysis were also investigated. The observed traits in
this experiment consist of vegetative, yield and secondary metabolite components.
The second experiment was conducted to determine genetic parameters, genetic
stability and path analysis under two sunlight intensities for three seasons
(October 2004 to August 2007). Grouping of accessions tolerancy to different
sunlight intensities was also investigated. The observed traits consist of
vegetative and yield components.
There were no differences among tested accessions based on the analysis of
variance in the multilocations experiment, except for tiller number and leaf
length/width ratio. The heritability of these traits were high (h2bs=73.7% and
h2bs=61.8%, respectively). However, their genetic variabilities were narrow (σ2g <
2 σσ2g). Differences among tested accessions in two sunlight intensities showed
by 8 traits in the first season, 2 traits in the second season and 1 trait in the third
season. High heritability and wide genetic variability showed by leaf length, plant
height and leaf length/width ratio.
Full sunlight intensity tolerant accessions were T12 (Imogiri-Yogyakarta),
T4 (Majenang-Central Java), T11 (Gunung Kidul-Yogyakarta) and T7
(Majalengka-West Java). Shading (sunlight intensity 45%) tolerant accessions
were T11, T16 (Pasir Gaok 3-West Java), T4 and T12. Accessions T11 and T16
were stabil (bi= 1.0) in various conditions under 45% sunlight intensity while T4
and T12 were stabil under optimum condition (bi< 1.0) based on Finlay-
Wilkinson stability test. Those accessions showed high rhizome fresh weight
(above their yield mean µ> 391.4 g/plant).
The correlation between vegetative traits and rhizome fresh weight were
also analyzed. Tiller number could be used as selection criteria for rhizome fresh
weight in dryland under full sunlight, while leaf width could be used in shaded
area. These traits were chosen as selection criteria because of their high
heritability (h2bs-tiller number= 73.7%, h2bs-leaf width = 54.2%), high direct effect (P tiller
number= 0.64, P leaf width = 2.27) and high significant correlation with rhizome fresh
weight (r tiller number = 0.89, r leaf width = 0.90).

Keywords: genetic parameters, indirect selection, genetic stability, yield

ii
RINGKASAN

LUKITA DEVY. Analisis Keragaman dan Stabilitas Genetik Temulawak


(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Indonesia. Dibimbing oleh SOBIR dan DODO
RUSNANDA SASTRA.

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman obat yang


potensial untuk dijadikan komoditas unggulan Indonesia karena secara tradisional
telah banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia sejak lama. Saat ini berbagai
manfaat farmakologis temulawak semakin terungkap dengan adanya kemajuan
teknologi.
Tantangan yang dihadapi dalam pengembangan temulawak adalah
rendahnya tingkat produktivitas. Produktivitas temulawak masih berada di bawah
potensinya (20 ton/ha). Upaya untuk mengatasi hal ini adalah melalui
penggunaan varietas unggul dan intensifikasi, namun varietas unggul temulawak
di Indonesia belum tersedia. Perakitan varietas unggul dapat dilakukan sebagai
salah satu solusi untuk meningkatkan produksi temulawak.
Temulawak merupakan tanaman yang toleran terhadap intensitas cahaya
penuh sampai sedang sehingga cukup baik bila ditanam di bawah tegakan pohon
yang jarak tanamnya cukup lebar. Kondisi tersebut mendukung perluasan area
tanam temulawak ke lahan-lahan marjinal. Indonesia memiliki potensi lahan
marjinal yang cukup tinggi untuk dijadikan sebagai daerah pengembangan
temulawak. Lahan-lahan marjinal yang dapat dimanfaatkan mencakup lahan
kering di bawah intensitas cahaya matahari penuh dan lahan kering ternaungi,
oleh karena itu kegiatan pemuliaan untuk perakitan varietas unggul temulawak
perlu dilakukan pada kedua kondisi lahan tersebut. Sebagai tujuan akhir
diharapkan akan dihasilkan varietas unggul temulawak yang toleran terhadap
kondisi lahan kering di bawah intensitas cahaya matahari penuh dan lahan kering
ternaungi.
Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan pemuliaan yang diperlukan
dalam perakitan varietas unggul temulawak pada lahan kering di bawah intensitas
cahaya matahari penuh dan lahan kering ternaungi. Dua percobaan dilakukan
untuk memenuhi hal tersebut. Percobaan pertama adalah pengujian antar lokasi
pada lahan kering di bawah intensitas cahaya matahari penuh sedangkan
percobaan kedua adalah pengujian antar musim pada lahan kering dengan
intensitas cahaya matahari 45% dan intensitas cahaya matahari penuh (100%)
selama tiga musim.
Pengujian antar lokasi lahan kering dilaksanakan di Kawasan Puspiptek
Serpong, Kabupaten Tangerang (70 m dpl) dan Kawasan Agromedika Hambaro,
Kabupaten Bogor (400 m dpl) dari bulan Desember 2006-Agustus 2007.
Percobaan antar musim pada dua intensitas cahaya matahari dilaksanakan di
Kawasan Puspiptek Serpong, Kabupaten Tangerang. Penanaman musim ke-1
dilakukan pada bulan Oktober 2004-Juli 2005, musim ke-2 pada bulan November
2005-Agustus 2006 dan musim ke-3 pada bulan Desember 2006-Agustus 2007.
Pengamatan pada percobaan antar lokasi lahan kering di bawah intensitas cahaya
matahari penuh dilakukan terhadap karakter morfologi, vegetatif, hasil, komponen
hasil dan bahan aktif. Sedangkan pada percobaan antar musim di dua intensitas

iii
cahaya matahari tidak dilakukan pengamatan bahan aktif. Pengamatan terhadap
kondisi cuaca dan tanah dilakukan pada kedua percobaan.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pada percobaan antar lokasi lahan
kering, hanya karakter jumlah anakan/rumpun dan rasio panjang/lebar daun yang
menunjukkan adanya perbedaan antar aksesi. Sedangkan pada percobaan antar
intensitas cahaya matahari selama tiga musim, ditunjukkan oleh 8 karakter pada
musim pertama, 2 karakter pada musim kedua dan 1 karakter pada musim ketiga.
Karakter-karakter tersebut adalah jumlah anakan, panjang daun, tinggi tajuk,
panjang tangkai daun, rasio panjang/lebar daun, panjang rimpang sekunder,
jumlah rimpang tersier, bobot ubi akar, jumlah ubi akar, panjang ruas rimpang
primer dan panjang ruas rimpang tersier. Pada pengujian gabungan tiga musim
tidak ada karakter yang menunjukkan perbedaan antar aksesi maupun interaksi
antara aksesi dan lingkungan.
Aksesi-aksesi yang menunjukkan perbedaan antar karakter cenderung
memiliki nilai heritabilitas yang tinggi (hbs > 50%). Nilai heritabilitas yang tinggi
tidak selalu diikuti oleh keragaman genetik yang luas (σ2g > 2 σσ2g). Hal ini
ditunjukkan oleh karakter jumlah anakan/rumpun dan rasio panjang/lebar daun
(h2bs-jumlah anakan/rumpun= 73.7% and h2bs-rasio panjang/lebar daun= 61.8%) pada pengujian
antar lokasi lahan kering serta tujuh karakter pada pengujian antar intensitas
cahaya matahri selama tiga musim (62.40 < hbs < 81.55).
Karakter yang memiliki nilai heritabilitas tinggi dengan keragaman genetik
luas adalah panjang daun, tinggi tajuk dan rasio panjang/lebar daun. Karakter-
karakter ini potensial untuk dijadikan kriteria seleksi.
Aksesi-aksesi yang memiliki stabilitas genetik (bi= 1.0) pada intensitas
cahaya matahari 45% dengan hasil bobot basah rimpang di atas rata-rata (> 391.4
g/rumpun) adalah T11 (Gunung Kidul-Yogyakarta) dan T16 (Pasir Gaok 3-Jawa
Barat). Aksesi-aksesi ini mampu beradaptasi terhadap berbagai kondisi
lingkungan pada lahan dengan intensitas cahaya matahari 45%.
Aksesi-aksesi yang memiliki stabilitas genetik di atas rata-rata pada
intensitas cahaya matahari 45% (bi> 1.0) dengan hasil di atas rata-rata adalah T4
(Majenang-Jawa Tengah), T5 (Cikijing-Jawa Barat), T6 (Ciporang-Jawa Barat),
T7 (Majalengka-Jawa Barat), T12 (Imogiri-Yogyakarta) dan T14 (Pasir Gaok 1-
Jawa Barat). Aksesi-aksesi ini cenderung mampu beradaptasi terhadap kondisi
lingkungan yang kurang optimum pada intensitas cahaya matahari 45%.
Aksesi-aksesi yang toleran terhadap intensitas cahaya matahari 45% adalah
T11, T16, T4 dan T12. Aksesi-aksesi ini potensial untuk dikembangkan secara
polikultur di lahan bernaungan seperti di bawah tegakan pohon buah-buahan atau
perkebunan.
Aksesi-aksesi yang toleran terhadap intensitas cahaya matahari 100% adalah
T12, T4, T11 dan T7. Aksesi-aksesi ini potensial untuk dikembangkan secara
monokultur pada intensitas cahaya penuh.
Aksesi-aksesi yang toleran pada kondisi ternaungi maupun tanpa naungan
adalah T4 dan T12. Aksesi-aksesi ini mampu berproduksi baik pada dua
lingkungan tersebut.
Karakter-karakter yang terpengaruh dengan adanya perbedaan intensitas
cahaya matahari adalah panjang daun, tinggi tajuk, rasio panjang lebar/daun dan
panjang rimpang primer. Hal ini ditunjukkan dengan adanya interaksi antara
aksesi dengan intensitas cahaya matahari. Penurunan intensitas cahaya matahari

iv
menyebabkan peningkatan panjang daun, tinggi tajuk, rasio panjang/lebar daun
dan panjang rimpang primer menjadi lebih dari 100%.
Berdasarkan pengujian sidik lintas antar karakter vegetatif dengan bobot
basah rimpang, maka karakter yang dapat digunakan sebagai kriteria seleksi di
lahan kering di bawah intensitas cahaya matahari penuh adalah jumlah
anakan/rumpun. Kriteria seleksi pada lahan kering bernaungan (intensitas cahaya
matahari 45%) adalah lebar daun. Kedua karakter ini terpilih karena memiliki
nilai heritabilitas tinggi (h2bs-jumlah anakan/rumpun= 73.7%, h2bs-lebar daun= 54.2%),
pengaruh langsung yang tinggi (P jumlah anakan/rumpun = 0.64, P lebar daun = 2.27) dan
korelasi yang sangat tinggi dengan bobot basah rimpang (r jumlah anakan/rumpun =0.89,
r lebar daun = 0.90).

Kata kunci: parameter genetik, seleksi tidak langsung, stabilitas genetik, hasil

v
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009
Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini
Tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar
IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian
atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin
IPB

vi
ANALISIS KERAGAMAN DAN STABILITAS
GENETIK TEMULAWAK (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) INDONESIA

LUKITA DEVY

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

vii
Judul Tesis : Analisis Keragaman dan Stabilitas Genetik Temulawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Indonesia
Nama : Lukita Devy
NRP : A151060191

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sobir, MSi. Dr. Ir. Dodo Rusnanda Sastra, MSi.
Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian: 20 Januari 2009 Tanggal Lulus:

viii
PRAKATA

Segala puji bagi Allah Yang Maha Suci dan Maha Agung atas rahmah dan
ridho-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat berhasil diselesaikan. Karya ilmiah ini
mengulas tentang temulawak dengan judul Analisis Keragaman dan Stabilitas
Genetik Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Indonesia. Penelitian yang
dilaksanakan merupakan bagian dari kegiatan “Penerapan Teknologi Budidaya
Tanaman Temulawak Melalui Kaidah Good Agricultural Practices” Bidang
Teknologi Produksi Tanaman Pangan dan Hortikultura, Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT).
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sobir, MSi dan Dr. Ir.
Dodo Rusnanda Sastra MSi selaku komisi pembimbing serta Dr. Desta Wirnas, SP,
MSi. selaku dosen penguji. Penghargaan disampaikan kepada Direktur Pusat
Teknologi Produksi Pertanian BPPT beserta jajarannya, rekan-rekan di Kebun
Percobaan Puspiptek Serpong dan Kawasan Agromedika Hambaro atas bantuannya
selama penelitian berlangsung serta kepada Pusbindiklat BPPT yang telah
mendanai studi penulis.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada rekan-rekan di Program Studi
Agronomi Angkatan 2006 atas kebersamaannya. Tak lupa penghargaan pun
penulis sampaikan kepada keluarga Gunadi dan keluarga Subagio atas do’a dan
dukungannya. Ungkapan terimakasih tak terhingga penulis sampaikan kepada
suami dan ananda tersayang atas do’a, dukungan, pengorbanan dan pengertiannya
selama penulis menjalani studi.
Akhir kata, penulis berharap semoga karya tulis ini dapat bermanfaat dan
dapat menjadi amal ibadah bagi penulis di sisi Allah SWT.

Bogor, Januari 2009

Lukita Devy

ix
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 8 Oktober 1976 dari bapak Gunadi
dan ibu Suhaeni. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Penulis
menikah dengan Andy Rahady dan dikaruniai satu orang putra bernama
Muhammad Fauzan.
Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 5 Bogor dan pada tahun yang
sama lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) di Institut Pertanian
Bogor (IPB). Penulis diterima di Program Studi Hortikultura, Jurusan Budidaya
Pertanian, Fakultas Pertanian dan lulus pada tahun 2000. Selama menempuh
pendidikan S1, penulis mendapatkan beasiswa dari Yayasan Beasiswa Supersemar
dan “The International Community Activity Center”. Penulis diterima di Program
Studi Agronomi, Sekolah Pascasarjana IPB pada tahun 2006. Kesempatan untuk
melanjutkan studi ke program magister tersebut didapatkan setelah memperoleh
Beasiswa Program Peningkatan Keterampilan dan Pendidikan dari tempat bekerja
penulis di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Penulis sejak tahun 2002 bekerja di Pusat Teknologi Produksi Pertanian
BPPT dan ditempatkan di Jakarta. Bidang penelitian yang menjadi tanggungjawab
penulis adalah budidaya dan pemuliaan tanaman. Sebelumnya pada tahun 2000-
2002 penulis bekerja di FORDA-Komatsu Project, Bogor.
Selama mengikuti program S2, penulis telah menyajikan karya ilmiah
berjudul “Correlation and path analysis among growth and yield components to
essential oil yield of temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)” pada “The First
International Symposium on Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)” di Bogor
pada bulan Mei 2008. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S2
penulis.

x
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL............................................................................................ xii

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv

DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xv

PENDAHULUAN
Latar Belakang ........................................................................................... 1
Perumusan Masalah ................................................................................... 3
Tujuan Penelitian ....................................................................................... 4

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Temulawak ..................................................................... 5
Syarat Tumbuh Temulawak ....................................................................... 7
Kandungan Zat Kimia Temulawak ............................................................ 8
Pemuliaan Temulawak ............................................................................... 9
Keragaman Genetik dan Heritabilitas ........................................................ 10
Stabilitas Genetik ....................................................................................... 11
Fisiologi Naungan ...................................................................................... 12

BAHAN DAN METODE


Waktu dan Tempat ..................................................................................... 17
Bahan dan Alat........................................................................................... 17
Metode ....................................................................................................... 17
Pelaksanaan ................................................................................................ 20
Pengamatan ................................................................................................ 22
Analisis Data .............................................................................................. 26

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kondisi Umum ........................................................................................... 33
Karakter Kualitatif ..................................................................................... 36
Pengujian Antar Lokasi di Lahan Kering pada Intensitas Cahaya
Matahari 100% ........................................................................................... 41
Pengujian Antar Musim pada Intensitas Cahaya Matahari 45% dan
100% .......................................................................................................... 47
Toleransi Aksesi terhadap Intensitas Cahaya Matahari 45% dan 100%.... 59
Pembahasan................................................................................................ 61

KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................ 71

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 73

LAMPIRAN..................................................................................................... 79

xi
DAFTAR TABEL
Halaman

1. Analisis ragam percobaan antar lokasi di Hambaro dan Serpong.............. 28


2. Analisis ragam percobaan dua naungan selama tiga musim di Serpong ... 29
3. Analisis ragam percobaan antar naungan per musim di Serpong .............. 30
4. Tekstur, pH, kandungan bahan organik, nitrogen, fosfor dan kalium
tanah di Serpong dan Hambaro tahun 2007 ............................................... 35
5. Kation tanah di Serpong dan Hambaro tahun 2007 ................................... 36
6. Keragaan karakter morfologi batang semu dan warna daun temulawak
di Hambaro................................................................................................. 37
7. Keragaan karakter morfologi batang semu dan warna daun temulawak
pada intensitas cahaya matahari 45% di Serpong ...................................... 38
8. Keragaan karakter morfologi batang semu dan warna daun temulawak
pada intensitas cahaya matahari 100% di Serpong .................................... 39
9. Keragaan karakter rimpang temulawak di Hambaro ................................. 40
10. Rekapitulasi analisis ragam karakter pertumbuhan vegetatif beberapa
aksesi temulawak di dua lokasi .................................................................. 42
11. Rekapitulasi analisis ragam karakter kandungan dan produksi bahan
aktif beberapa aksesi temulawak di dua lokasi .......................................... 42
12. Rekapitulasi analisis ragam karakter hasil dan komponen hasil beberapa
aksesi temulawak di dua lokasi .................................................................. 42
13. Parameter genetik rasio panjang/lebar daun serta jumlah anakan/rumpun
pada percobaan antar lokasi ....................................................................... 44
14. Nilai koefisien korelasi antar karakter vegetatif terhadap bobot basah
rimpang temulawak di Hambaro dan Serpong........................................... 45
15. Pengaruh langsung dan tidak langsung karakter vegetatif terhadap bobot
basah rimpang temulawak pada dua lahan kering...................................... 46
16. Rekapitulasi analisis ragam jumlah anakan/rumpun dan bobot basah
rimpang total selama tiga musim di Serpong............................................. 47
17. Rekapitulasi analisis ragam pada musim ke-1 di Serpong......................... 48
18. Rekapitulasi analisis ragam pada musim ke-2 di Serpong......................... 49
19. Rekapitulasi analisis ragam pada musim ke-3 di Serpong......................... 49
20. Pengaruh perbedaan intensitas cahaya matahari terhadap tinggi tajuk,
panjang daun dan rasio panjang/lebar daun ............................................... 50
21. Pengaruh perbedaan intensitas cahaya matahari terhadap panjang
rimpang primer temulawak ........................................................................ 51
22. Parameter genetik karakter vegetatif dan hasil pada percobaan antar
intensitas cahaya matahari selama tiga musim........................................... 53
23. Stabilitas bobot basah rimpang temulawak pada intensitas cahaya
matahari 45% selama tiga musim di Serpong ............................................ 55
24. Koefisien korelasi antara karakter vegetatif dan bobot basah rimpang 14
aksesi temulawak pada intensitas cahaya matahari 45% di Serpong
musim ke-3................................................................................................. 58
25. Pengaruh langsung dan tidak langsung karakter vegetatif terhadap bobot
basah rimpang temulawak pada intensitas cahaya matahari 45% di
Serpong musim ke-3 .................................................................................. 58

xii
DAFTAR TABEL
Halaman

26. Bobot basah rimpang temulawak pada intensitas cahaya matahari 45%
di Serpong .................................................................................................. 59
27. Jumlah anakan dan bobot basah rimpang temulawak pada intensitas
cahaya matahari 100 % di Hambaro dan Serpong ..................................... 61

xiii
DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Tanaman temulawak dan bunga temulawak ......................................... 6


2. Struktur kimia kurkumin I (diferuloyl methane)................................... 8
3. Diagram alur percobaan ........................................................................ 18
4. Suhu maksimum dan minimum di Serpong selama tiga musim dan di
Hambaro pada musim ke-3 ................................................................... 33
5. Curah hujan di Serpong selama tiga musim dan di Hambaro pada
musim ke-3............................................................................................ 34
6. Intensitas cahaya di Serpong pada perlakuan intensitas cahaya
matahari 45%, 100% dan di Hambaro .................................................. 34
7. Warna daun temulawak pada kondisi intensitas cahaya matahari
100% dan intensitas cahaya matahari 45% di Serpong......................... 37
8. Warna pita ungu ibu tulang daun temulawak........................................ 38
9. Bentuk rimpang primer temulawak....................................................... 40
10. Hubungan antara bobot basah rimpang dengan curah hujan pada
intensitas cahaya 45% selama tiga tahun .............................................. 55
11. Hubungan antara rata-rata bobot basah rimpang aksesi temulawak
pada intensitas cahaya matahari 45% selama tiga musim dengan
koefisien regresi dari tiap aksesi ........................................................... 56

xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman

1. Tabel hasil uji kehomogenan ragam karakter vegetatif antar lokasi....... 80


2. Tabel hasil uji kehomogenan ragam karakter bahan aktif antar lokasi... 80
3. Tabel hasil uji kehomogenan ragam karakter hasil dan komponen hasil
antar lokasi .............................................................................................. 81
4. Tabel hasil uji kehomogenan ragam karakter vegetatif selama tiga
musim pada dua intensitas cahaya matahari di Serpong......................... 83
5. Tabel hasil uji kehomogenan ragam karakter panen selama tiga musim
pada dua intensitas cahaya matahari di Serpong..................................... 84
6. Tabel hasil uji kehomogenan ragam karakter vegetatif dan panen pada
dua intensitas cahaya matahari musim ke-1 di Serpong ......................... 85
7. Tabel hasil uji kehomogenan ragam karakter vegetatif dan panen pada
dua intensitas cahaya matahari musim ke-2 di Serpong ......................... 86
8. Tabel hasil uji kehomogenan ragam karakter vegetatif dan panen pada
dua intensitas cahaya matahari musim ke-3 di Serpong ......................... 87
9. Tabel koefisien korelasi antara karakter vegetatif dan bobot basah
rimpang pada 14 aksesi temulawak di Serpong musim ke-1 .................. 88
10. Tabel koefisien korelasi antara karakter vegetatif dan bobot basah
rimpang pada 14 aksesi temulawak di Serpong musim ke-2 .................. 88
11. Tabel koefisien korelasi antara karakter vegetatif dan bobot basah
rimpang pada 14 aksesi temulawak di Serpong musim ke-3 .................. 88
12. Tabel rekapitulasi sidik ragam karakter vegetatif dan bobot basah
rimpang temulawak pada intensitas cahaya matahari 100% musim ke-3
di Serpong ............................................................................................... 89
13. Tabel rekapitulasi sidik ragam karakter vegetatif dan bobot basah
rimpang temulawak pada intensitas cahaya matahari 45% musim ke-3
di Serpong ............................................................................................... 89
14. Tabel hasil uji kehomogenan ragam bobot basah rimpang temulawak
selama tiga musim pada masing-masing intensitas cahaya matahari...... 89
15. Tabel rekapitulasi sidik ragam bobot basah rimpang temulawak selama
tiga musim pada masing-masing intensitas cahaya matahari.................. 90

xv
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan salah satu tanaman obat
berkhasiat yang secara tradisional telah lama digunakan di Indonesia. Tanaman ini
tersebar di Jawa, Bali dan Maluku (Wardini & Prakoso 1999). Manfaat temulawak
bagi kesehatan berhubungan dengan kandungan bahan aktifnya, yang terdiri dari
kurkuminoid, minyak atsiri dan pati. Kurkuminoid berfungsi sebagai anti inflamasi,
anti kanker, anti bakteri, anti fungi, anti parasit, anti imunodefisiensi, anti virus (virus
flu burung) dan anti oksidan (Priosoeryanto et al. 2008; Chattopadhyay et al. 2004;
Lin & Lin-Shiau 2001; Araújo & Leon 2001). Komponen minyak atsiri temulawak
terdiri dari 5 senyawa mayor dan 8 senyawa minor (Agusta & Chairul 1996). Salah
satu senyawa mayor tersebut adalah xanthorrhizol. Xanthorrhizol memiliki fungsi
sebagai obat anti fungi spektrum luas, anti bakteri, anti metastasis sel tumor dan
pencegah efek samping kemoterapi (Kim et al. 2008; Rukayadi et al. 2008; Choi et
al. 2004; Kim et al. 2005; Rukayadi et al. 2006).
Ekstrak temulawak potensial untuk dijadikan sebagai produk industri perawatan
gigi, jerawat dan ketombe (Hwang et al. 2008). Pengembangan temulawak dapat le-
bih diperluas ke berbagai kategori industri, seperti pangan fungsional maupun kos-
metika. Mengingat banyaknya manfaat yang dimiliki temulawak dan secara turun
temurun telah menjadi budaya bangsa Indonesia maka tanaman ini cocok ditetapkan
sebagai tanaman obat unggulan khas Indonesia seperti halnya ginseng dari Korea.
Tantangan yang dihadapi dalam pengembangan temulawak adalah masih ren-
dahnya tingkat produktivitas. Produktivitas tanaman temulawak pada tahun 2005 di
Indonesia adalah 13.62 ton/ha (Deptan 2006) sedangkan potensinya dapat mencapai
20 ton/ha (Wardini & Prakoso 1999). Umumnya nilai produktivitas yang rendah
disebabkan oleh belum tersedianya varietas unggul, belum adanya standardisasi bibit
bermutu dan belum dilakukannya teknik budidaya anjuran meskipun temulawak telah
tersebar di berbagai daerah (Syukur et al. 2006).
2

Usaha peningkatan produksi temulawak dapat dilakukan melalui dua pendekat-


an yaitu peningkatan produktivitas dan perluasan areal penanaman. Produksi temu-
lawak pada tahun 2005 adalah 22 582 ton (Deptan 2006). Nilai produksi ini masih
dapat ditingkatkan melalui penggunaan varietas unggul temulawak dan teknik budi-
daya berdasarkan kaidah good agricultural practices (GAP).
Luas panen temulawak Indonesia pada tahun 2005 adalah 1 657.4 ha (Deptan
2006). Pengembangan areal penanaman dapat dilakukan dengan memanfaatkan la-
han-lahan marjinal. Lahan tersebut banyak tersedia di Indonesia, seperti lahan lahan
kering di bawah intensitas cahaya matahari penuh atau lahan kering ternaungi. Lahan
ternaungi yang potensial untuk pengembangan temulawak di Indonesia adalah lahan
perkebunan sekitar 19.6 juta ha (BPS 2005/2006). Selain itu terdapat juga lahan
kering berupa tegal/kebun/ladang/huma seluas 14.9 juta ha serta lahan yang semen-
tara tidak diusahakan seluas 1.2 juta ha (BPS 2005/2006). Pemanfaatan lahan-lahan
tersebut akan sangat mendukung peningkatan produksi temulawak Indonesia.
Perakitan varietas unggul temulawak yang toleran terhadap lahan kering ter-
naungi dan lahan kering di bawah intensitas cahaya matahari penuh menjadi hal yang
penting untuk dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan produksi temulawak In-
donesia. Perakitan varietas unggul ini dilakukan melalui kegiatan pemuliaan tana-
man. Kegiatan pemuliaan dapat terlaksana jika tersedia keragaman genetik dalam
suatu populasi yang akan diseleksi. Ketersediaan materi genetik yang beragam dan
kemampuan mengidentifikasikannya merupakan kunci keberhasilan dalam pemuliaan
tanaman (Welsh 1981).
Aspek penting lain yang perlu mendapat perhatian dalam pemuliaan tanaman
adalah stabilitas genetik dan korelasi antar karakter. Stabilitas genetik bermanfaat
untuk mengetahui respon suatu genotipe terhadap berbagai kondisi lingkungan, se-
hingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi genotipe unggul. Korelasi antar
karakter dapat digunakan untuk menentukan kriteria seleksi terhadap karakter utama
sehingga proses seleksi akan berjalan lebih efisien. Korelasi sederhana tidak dapat
menggambarkan hubungan antara karakter seleksi dengan karakter utama secara jelas
3

sehingga perlu dilakukan sidik lintas yang dapat mengurai korelasi menjadi pengaruh
langsung dan tidak langsung (Singh & Chaudhary 1979).
Pendugaan keragaman, stabilitas genetik dan sidik lintas temulawak belum ba-
nyak dilaporkan hingga saat ini. Hal ini menyebabkan perlunya dilakukan studi ter-
hadap ketiga komponen tersebut sebagai dasar dari perakitan varietas unggul temula-
wak.

Perumusan Masalah
Rendahnya tingkat produktivitas temulawak pada lahan-lahan marjinal disebab-
kan oleh belum tersedianya varietas unggul temulawak yang toleran. Perakitan
varietas unggul temulawak yang toleran terhadap lahan-lahan marjinal merupakan
solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Kegiatan pe-
muliaan temulawak yang mencakup karakterisasi keragaman, uji stabilitas hasil dan
pendugaan kriteria seleksi perlu dilakukan sebagai dasar dari perakitan varietas ung-
gul temulawak.
Kondisi lahan marjinal yang potensial untuk dijadikan wilayah pengembangan
temulawak adalah lahan kering di bawah intensitas cahaya matahari penuh dan lahan
kering ternaungi. Pengembangan temulawak di lahan kering ternaungi memerlukan
varietas yang toleran terhadap naungan. Sedangkan untuk pengembangan budidaya
secara monokultur di lahan kering memerlukan varietas yang toleran terhadap inten-
sitas cahaya matahari penuh. Oleh karena itu perlu dilakukan studi keragaman, sta-
bilitas dan pendugaan kriteria seleksi pada dua kondisi lahan tersebut. Hasil studi ini
diharapkan mampu mengakomodasi kebutuhan varietas unggul temulawak yang to-
leran terhadap lahan kering di bawah intensitas cahaya matahari penuh dan lahan
kering ternaungi. Berdasarkan kebutuhan penyediaan varietas unggul temulawak
pada lahan kering di bawah intensitas cahaya matahari penuh dan lahan kering ter-
naungi maka dilakukan dua pengujian pada penelitian ini, yang terdiri dari (1) pengu-
jian antar lokasi pada dua lahan kering di bawah intensitas cahaya matahari penuh
selama satu musim tanam serta (2) pengujian antar musim tanam (3 tahun) pada lahan
kering dengan dua intensitas cahaya matahari (100% dan 45%). Pengujian pertama
4

dilakukan di Kebun Percobaan Puspiptek Serpong, Kabupaten Tangerang, sedangkan


pengujian kedua dilakukan di Kebun Percobaan Puspiptek Serpong, Kabupaten
Tangerang dan Kawasan Agromedika Hambaro, Kabupaten Bogor.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang:
1. Keragaman genetik temulawak antar musim pada intensitas cahaya matahari pe-
nuh dan ternaungi serta antar lokasi lahan kering pada intensitas cahaya matahari
penuh.
2. Stabilitas genetik temulawak antar musim pada lahan kering dengan intensitas
cahaya matahari penuh dan ternaungi.
3. Karakter seleksi daya hasil (bobot basah rimpang) temulawak pada lahan kering
dengan intensitas cahaya matahari penuh dan naungan.
4. Respon aksesi temulawak terhadap perbedaan intensitas cahaya matahari.
5

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Temulawak


Tanaman temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) termasuk ke dalam Divisi
Spermatophyta, Sub-divisi Angiospermae, Kelas Monocotyledonae, Ordo Zingiber-
ales, Famili Zingiberaceae, Genus Curcuma, Sub-genus Eucurcuma pada Seksi
Exantha yang menunjukkan bahwa tanaman ini menghasilkan bunga majemuk lateral.
Bibit spesies yang dipakai untuk pertelaan oleh Roxburgh pada tahun 1820 berasal
dari Maluku. Secara morfologi, tanaman ini merupakan yang terbesar di go-
longannya, baik itu dari penampakan tajuk (ukuran batang semu, daun dan bunga)
maupun bagian bawah tanah (rimpang) (Prana 2008; Djakamihardja et al. 1985).
Secara alami, tumbuhan ini banyak ditemukan di bawah tegakan hutan jati, di
padang alang-alang dan tanah kering lainnya (Djakamihardja et al. 1985). Wilayah
pengembangan temulawak di Indonesia pada tahun 2004 meliputi 15 provinsi dan
pada tahun 2005 meliputi 27 provinsi, sedangkan sentra produksi tingkat kabupaten
masih didominasi oleh DI Yogyakarta dan Jawa Tengah (Deptan 2006).
Temulawak merupakan tanaman terna tahunan yang tumbuh merumpun dengan
tinggi 1.5-2.0 m. Batang semu temulawak tersusun dari upih-upih daun berwarna
hijau atau coklat. Temulawak memiliki jumlah daun 2-9per batang, bentuk helai
daun jorong agak melonjong (oblong elliptic) dengan ukuran 31-84 cm dan lebar 10-
18 cm. Bagian sisi kiri dan kanan ibu tulang daun temulawak biasanya ditutupi se-
macam pita memanjang berwarna merah keunguan (Prana 1985; Djakamihardja et al.
1985).
Bunga majemuk temulawak muncul langsung dari rimpang (exantha) dengan
panjang 9-23 cm dan lebar 4-6 cm. Bagian atas bunga majemuk terdiri atas daun-
daun pelindung yang membentuk kantung-kantung. Daun-daun pelindung pada
ujung bunga mejemuk berwarna merah lembayung dan mandul (tidak ada bunga) se-
dangkan pada bagian yang lebih bawah terdapat 3-5 kuntum bunga berwarna kuning
yang mekar satu per satu (Prana 1985; Djakamihardja et al. 1985).
6

Temulawak membentuk rimpang induk bulat panjang dengan anak rimpang 3-7
buah. Permukaan luar rimpang berkerut dan berwarna coklat kuning sampai coklat
sedangkan bidang irisannya berwarna coklat kuning buram, melengkung tidak bera-
turan, seringkali dengan tonjolan melingkar pada batas antara silinder pusat dengan
korteks (Djakamihardja et al. 1985).

(a) (b)

Gambar 1. Tanaman temulawak (a) dan bunga temulawak (b)

Umumnya tanaman temulawak tidak membentuk buah atau biji. Hal ini diduga
karena temulawak merupakan tanaman triploid dengan jumlah kromosom yang besar
2n = 3x = 63 sehingga menimbulkan banyak gangguan dalam proses meiosis. Aki-
batnya terlihat pada ukuran dan bentuk serbuk sari yang sangat beragam. Sebagian di
antaranya adalah serbuk sari abortif yang berdinding sangat tipis dan sangat mudah
pecah dengan kesuburan sangat rendah (0-2%). Hal tersebut menyebabkan temula-
wak berkembang biak secara vegetatif melalui pembentukan tunas yang tumbuh dari
mata tunas rimpang (Islam 2004; Prana 1985).
7

Syarat Tumbuh Temulawak


Temulawak dapat tumbuh baik pada dataran rendah hingga 1 500 m di atas
permukaan laut (dpl) dengan curah hujan 1 500-4 000 mm/tahun atau di daerah de-
ngan tipe iklim A, B dan C menurut Schmidt-Ferguson. Tanaman temulawak dapat
mengalami pengeringan daun dan batang semu dengan cepat pada daerah tipe C dise-
babkan oleh musim hujan yang relatif pendek (Sudiarto & Affandi 1989; Wahid &
Sudiarto 1985). Produksi rimpang segar dan kadar pati temulawak pada dataran ren-
dah-sedang (240-450 m dpl) lebih tinggi daripada di dataran tinggi sedangkan kadar
minyak atsiri lebih banyak pada dataran tinggi (Wahid & Sudiarto 1985).
Toleransi suhu untuk pertumbuhan temulawak adalah 19-35 oC. Intensitas ca-
haya yang dibutuhkan adalah penuh-sedang dengan jenis tanah ringan agak berpasir
dan bahan organik cukup hingga tinggi (Sudiarto & Affandi 1989; Wahid & Sudiarto
1985).
Penanaman dilakukan pada awal musim hujan dengan kebutuhan bibit 2 ton/ha
jika menggunakan rimpang induk dan 0.5-0.7 ton/ha jika menggunakan rimpang ca-
bang. Penunasan dilakukan 1-2 minggu dan kemudian dilanjutkan dengan penana-
man menggunakan jarak tanam 50 x 50 cm, 50 x 60 cm atau 60 cm x 60 cm.
Pemupukan dilakukan menggunakan pupuk organik dan pupuk buatan. Pupuk
organik diberikan sebanyak 10-20 ton/ha. Pupuk buatan yang diberikan adalah urea
200 kg/ha, SP-36 100 kg/ha dan KCl 100 kg/ha untuk monokultur dan 200 kg/ha un-
tuk tumpangsari. Pupuk SP-36 dan KCl diberikan saat tanam sedangkan urea diberi-
kan tiga kali pada umur 1, 2 dan 3 bulan (Rahardjo & Rostiana 2005).
Pemanenan dilakukan pada saat tanaman berumur 10-12 bulan dengan cara di-
garpu. Pemanenan dapat pula dilakukan pada saat tanaman berumur 20-24 bulan.
Tanaman siap panen jika sudah memiliki daun dan tanaman yang menguning atau
mengering, memiliki rimpang besar dan berwarna kuning kecoklatan. Potensi pro-
duktivitas temulawak adalah 10-20 ton/ha (Warintek 2006; Rahardjo & Rostiana
2005; Sudiarto & Affandi 1989).
8

Kandungan Zat Kimia Temulawak


Rimpang temulawak segar mengandung sekitar 75% air. Kandungan zat kimia
temulawak memberi arti bagi penggunannya sebagai sumber obat maupun bahan
pangan dan minuman (LP Unpad 1985). Secara garis besar kandungan temulawak
terbagi atas fraksi kurkuminoid, minyak atsiri dan pati.
Fraksi kurkuminoid terdiri dari curcumin (diferuloyl methane atau kurkumin I)
dan turunannya yaitu desmethoxy-curcumin (feruloyl-p-hydroxy-cinnamoyl methane
atau kurkumin II) dan bis-desmethoxy-curcumin (bis-(p-hydroxycinnamoyl)-methane
atau kurkumin III) (Wardini & Prakoso 1999). Kurkumin dapat digunakan untuk
pewarna makanan, minuman dan kosmetika.

Gambar 2. Struktur kimia kurkumin I (diferuloyl methane)

Berdasarkan manfaat medis, kurkumin berpotensi besar dalam aktivitas farma-


kologi yaitu sebagai anti inflamasi, anti imunodefisiensi, anti virus (virus flu burung),
anti bakteri, anti fungi, anti oksidan, anti karsinogenik, anti infeksi, anti kanker, kar-
diovaskular, stroke, reumatik, penurun kadar lipid darah dan meluruhkan plak pada
otak penderita penyakit Alzheimer (Kristina et al. 2007; Bermawie et al. 2006;
Chattopadhyay et al. 2004). Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa kurkumin
aman dan tidak toksik bila dikonsumsi oleh manusia. Jumlah kurkumin yang aman
dikonsumsi oleh manusia adalah 100 mg/hari (Commandeur & Vermeulen 1996).
Kandungan kurkuminoid temulawak adalah 1-2% (Sidik 2008). Kadar
kurkumin pada temulawak hasil kultur in vitro lebih tinggi daripada hasil penanaman
di lapangan (Syahid & Poentyanti, diacu dalam Kristina et al. 2007). Waktu panen
9

yang menghasilkan kadar kurkuminoid dan xanthorrhizol tertinggi adalah pada tana-
man berumur 9 bulan (Ghulamahdi et al. 2008).
Fraksi selanjutnya adalah minyak atsiri. Minyak atsiri terdiri dari senyawa tu-
runan sesquiterpenoid keton. Minyak atsiri dan kurkuminoid bekerja secara sinergis
dalam menghasilkan manfaat farmakologis. Minyak atsiri memiliki daya kolekinetik,
kolereik, koleretik serta anti bakteri yang baik (LP Unpad 1985).
Kandungan minyak atsiri pada temulawak adalah sekitar 3-12% (Sidik 2008).
Menurut Agusta dan Chairul (1996) komponen minyak atsiri pada temulawak terdiri
dari lima senyawa mayor dan delapan senyawa minor. Salah satu senyawa mayor
tersebut adalah xanthorrhizol. Xanthorrhizol memiliki fungsi sebagai obat anti fungi
spektrum luas, anti bakteri, anti metastasis sel tumor dan pencegah efek samping ke-
moterapi (Kim et al. 2008; Rukayadi et al. 2008; Rukayadi et al. 2006; Kim et al.
2005; Choi et al. 2004). Sebagai produk industri, ekstrak temulawak berpotensi un-
tuk perawatan gigi, jerawat dan ketombe (Hwang et al. 2008).
Fraksi pati merupakan komponen utama dengan kandungan yang relatif tinggi
sekitar 30-40% bobot kering. Pati temulawak dapat dikembangkan menjadi makanan
dan minuman (LP Unpad 1985).

Pemuliaan Temulawak
Pemuliaan tanaman rimpang-rimpangan belum dilakukan seintensif pemuliaan
untuk tanaman pangan. Komoditas rimpang-rimpangan yang telah dimuliakan di In-
donesia adalah jahe (Zingiber officinale), kunyit (Curcuma domestica), temulawak
dan kencur (Kaempferia angustifolia).
Karakterisasi pada temulawak telah dilakukan terhadap komponen pertumbuhan
vegetatif, komponen hasil, hasil dan kandungan bahan aktif. Balai Penelitian Tana-
man Obat dan Aromatika telah mempunyai 10 nomor harapan temulawak yang
memiliki potensi produksi 20-40 ton/ha, kadar minyak atsiri 6.2-10.6% dan kadar
kurkumin 2.0-3.3% (Rahardjo & Rostiana 2005). Setiyono dan Ajijah (2002) telah
melakukan karakterisasi sifat agronomis temulawak. Sifat yang diperoleh dari
karakterisasi tersebut adalah tinggi tanaman 97-184 cm, jumlah anakan 3.0-7.1, jum-
10

lah daun 6.6-8.7, panjang daun 55.1-101 cm, lebar daun 16.5-25.2 cm, diameter
batang 7.8-13.9 mm.
Penelitian lain yang telah dilakukan adalah pendugaan kriteria seleksi untuk
bobot basah rimpang temulawak/rumpun dan produksi minyak atsiri/rumpun. Seleksi
untuk bobot basah rimpang dapat dilakukan melalui karakter tinggi tanaman, jumlah
rimpang dan lebar rimpang (Ajijah et al. 2005). Devy et al. (2008) menyatakan
bahwa kriteria seleksi untuk produksi minyak atsiri/rumpun dapat dilakukan melalui
bobot kering rimpang, kadar minyak atsiri dan panjang daun.
Pengujian parameter genetik pada temulawak di Indonesia belum pernah dila-
porkan. Pengujian parameter genetik di India telah banyak dilakukan untuk genus
Curcuma terutama kunyit (Chaudhary et al. 2006; Rao et al. 2004; Singh et al. 2003;
Pathania et al. 1988).

Keragaman Genetik dan Heritabilitas


Keragaman genetik dalam suatu populasi yang akan diseleksi merupakan hal
yang harus diperhatikan dalam pemuliaan tanaman. Selain itu kemampuan meng-
identifikasikannya merupakan kunci keberhasilan dalam pemuliaan tanaman (Welsh
1981). Pembandingan keragaman antara dua atau lebih populasi dinyatakan dengan
koefisien keragaman genetik yang diperoleh dari nisbah antara akar kuadrat dari
ragam genetik dengan nilai tengah karakter yang diuji (Poehlman & Sleeper 1996).
Untuk menentukan kriteria keragaman genetik dapat dilakukan dengan membanding-
kan nilai ragam genetik dengan simpangan dari ragam genetiknya (Hallauer &
Miranda 1988).
Sifat yang terlihat pada suatu tanaman adalah fenotipe (P). Fenotipe dikontri-
busi oleh faktor genetik (G) dan lingkungan (E) dimana P = G + E. Ragam fenotipe
dalam suatu populasi digunakan untuk menseleksi sifat kuantitatif tanaman. Ragam
fenotipe (σ2P) terdiri dari ragam genetik (σ2G), ragam lingkungan (σ2E) dan interaksi
antara ragam genetik dan lingkungan (σ2GxE). Ragam genetik terdiri dari ragam ge-
netik dominan (σ2D), ragam genetik aditif (σ2A) dan ragam genetik epistasis (σ2I) (Fal-
coner 1960).
11

Ragam yang berperan dalam pewarisan sifat dari tetua kepada turunannya
adalah ragam genetik. Sejauh mana terjadinya pewarisan dapat diduga melalui nis-
bah antara ragam genotipe dengan ragam fenotipenya. Nisbah ini disebut heritabilitas
(Roy 2000). Menurut Poehlman dan Sleeper (1996) kegunaan dasar dari nilai herita-
bilitas adalah untuk menentukan pengaruh faktor genetik penting yang dapat diwaris-
kan dari tetua pada turunannya, menentukan metode seleksi yang tepat untuk mem-
perbaiki suatu karakter dan memprediksi kemajuan genetik.
Heritabilitas dapat diduga dari komponen ragam atau regresi (Poehlman &
Sleeper 1996). Sedangkan dari jenisnya, heritabilitas terbagi menjadi heritabilitas arti
luas (broad sense) dan arti sempit (narrow sense). Kalkulasi heritabilitas arti luas
dilakukan dengan menghitung nisbah antara ragam genotipe dengan ragam fenotipe.
Kalkulasi heritabilitas arti sempit dilakukan dengan menghitung nisbah antara ragam
aditif dengan ragam fenotipe (Roy 2000).
Heritabilitas beberapa karakter penting seperti hasil panen, kualitas dan be-
berapa tipe ketahanan terhadap penyakit seringkali bernilai rendah. Hal ini sangat
disayangkan karena menunjukkan pengaruh lingkungan cukup besar sehingga
perolehan genetik (genetic gain) menjadi berkurang. Nilai heritabilitas yang rendah
tidak menjadi masalah selama terdapat keragaman genetik. Keragaman genetik ma-
sih mampu mendukung terjadinya kemajuan seleksi yang diharapkan (Welsh 1981).

Stabilitas Genetik
Stabilitas genotipe pada berbagai lingkungan didefinisikan sebagai tampilan
konsisten sebuah karakter dari sebuah genotipe pada berbagai lingkungan dan atau
waktu. Perhitungan interaksi genotipe dan lingkungan dengan menggunakan statistik
stabilitas perlu dilakukan untuk mengidentifikasi genotipe yang stabil (Fernandez
1991). Genotipe yang stabil menurut Eberhart dan Russell (1966), diacu dalam Bea-
ver dan Johnson (1980) adalah genotipe yang keragaan responnya di berbagai tingkat
produktivitas lingkungan berada pada nilai rata-rata dan regresinya memiliki simpa-
ngan minimum. Lin et al. (1986) menyatakan bahwa suatu genotipe dikatakan stabil
jika: (1) keragaman antar lingkungan bernilai kecil, (2) respon terhadap lingkungan
12

paralel dengan rata-rata respon dari semua genotipe dalam percobaan dan (3) residu
kuadrat tengah dari model regresi pada indeks lingkungan bernilai kecil.
Pengaruh lingkungan terhadap tampilan genotipe suatu tanaman membuat se-
leksi genotipe tidak mungkin dilakukan pada satu lingkungan (waktu maupun lokasi).
Hal ini mendasari dilakukannya salah satu tahap terakhir dari kegiatan pemuliaan
yaitu uji multilokasi, yang bertujuan untuk mengevaluasi nilai genetik dan stabilitas
dari masing-masing genotipe yang diuji (Robert 1997; Ortiz & Izquierdo 1994).
Klasifikasi genotipe cenderung beragam tergantung pada lingkungan tempat uji
multilokasi. Varietas yang spesifik lokasi atau yang beradaptasi tinggi dengan ling-
kungan tertentu harus memiliki interaksi yang sangat nyata dengan lingkungan. Se-
baliknya jika dikehendaki varietas yang stabil atau beradaptasi luas maka harus dida-
patkan genotipe yang tidak atau kurang berinteraksi dengan lingkungan (Satoto &
Suprohatno 1996). Umumnya genotipe dengan hasil yang konsisten pada berbagai
lingkungan lebih disukai daripada yang berproduksi tinggi pada lingkungan tertentu
(Ortiz & Izquierdo 1994).
Selain uji multilokasi, perlu juga dilakukan uji antar musim. Pengkajian sta-
bilitas hasil menggunakan nilai tengah genotipe sebagai kombinasi musim x lokasi
dapat dilakukan pada kondisi demikian (Robert 1997). Pengujian di beberapa lokasi
selama beberapa musim sangat penting untuk mengetahui daya adaptasi dan stabilitas
hasil suatu genotipe (Suwarso et al. 2004). Stabilitas hasil merupakan hal penting.
Jalan terbaik dalam memuliakan genotipe stabil yang beradaptasi luas adalah melalui
seleksi tanaman pada berbagai lingkungan tumbuh (Romagosa & Fox 1993; Ntare &
Aken’ova 1985).

Fisiologi Naungan
Cahaya merupakan faktor yang penting bagi proses fisiologis tanaman seperti
fotosintesis, respirasi, penutupan dan pembukaan stomata serta perkecambahan (Taiz
& Zeiger 1991). Tanaman tidak dapat tumbuh tanpa energi radiasi sehingga cahaya
dianggap sebagai faktor pembatas produksi dan penyebab perbedaan produksi antar
tahun (Monteith 1981).
13

Menurut Monteith (1981) spektrum cahaya yang dibutuhkan tanaman berkisar


antara 400-700 nm yang biasa disebut photosynthetically active radiation (PAR). Ra-
diasi matahari mempengaruhi laju transpirasi secara tidak langsung yaitu melalui
pengaruhnya terhadap pembukaan stomata dan suhu udara. Radiasi yang tinggi akan
meningkatkan suhu udara. Suhu udara akan mempengaruhi laju transpirasi karena
besarnya penguapan dari permukaan sel. Transpirasi yang terlalu tinggi akan meng-
akibatkan kandungan air dalam sel berkurang secara drastis dan menurunkan proses
fotosintesis karena sirkulasi CO2 terhambat akibat menutupnya stomata (Baharsjah et
al. 1985).
Kondisi lingkungan bernaungan yang kurang optimum akan memicu tanaman
untuk melakukan adaptasi. Smith (1981) menyatakan bahwa respon tanaman yang
toleran dan peka terhadap naungan lebih merupakan strategi untuk bertahan hidup
daripada untuk meningkatkan produksi. Efek paling cepat dari naungan adalah me-
nyebabkan pengurangan kandungan karbohidrat yang diikuti oleh perubahan metabo-
lisme lain (Hale & Orcutt 1987).
Adaptasi tanaman terhadap naungan dapat terjadi melalui (1) peningkatan luas
daun sebagai cara untuk mengurangi penggunaan metabolit dan (2) mengurangi jum-
lah cahaya yang ditransmisikan dan direfleksikan (Hale & Orcutt 1987). Fitter &
Hay (1981) menambahkan bahwa respon tanaman terhadap cekaman naungan meli-
puti (1) pengurangan laju respirasi, (2) peningkatan luas daun untuk mendapatkan
permukaan absorbsi cahaya yang lebih luas dan (3) peningkatan efesiensi fotosintesis.
Adaptasi tanaman terhadap naungan dapat dicapai melalui mekanisme (1)
penghindaran (avoidance) yang berkaitan dengan perubahan anatomi dan morfologi
daun untuk efisiensi fotosintesis dan (b) toleransi (tolerance) yang berkaitan dengan
penurunan titik kompensasi cahaya serta efisiensi respirasi (Levitt 1980). Secara le-
bih jauh Smith (1981) menyatakan ada dua mekanisme adaptasi yang dilakukan
adalah melalui (1) penghindaran cahaya (shade avoidance) dengan cara memicu per-
tumbuhan lebih cepat pada batang dan tangkai daun, mengurangi percabangan atau
memicu dominansi apikal, mengurangi luas daun, mengurangi ketebalan daun, me-
ningkatkan luas daun spesifik akibat berkurangnya ketebalan daun dan (2) toleransi
14

terhadap cahaya (shade tolerance) dengan cara mengurangi kecepatan pertumbuhan,


meningkatkan luas daun, meningkatkan ketebalan daun, meningkatkan luas daun spe-
sifik akibat peningkatan luas daun, meningkatkan kandungan klorofil, meningkatkan
kompleksitas dan komponen fotosintesis.
Besarnya daya adaptasi tanaman terhadap naungan tidak terlepas dari kemam-
puan tanaman untuk mengubah sifat morfologis maupun fisiologis antara lain dengan
memperpanjang tanaman, memperluas permukaan daun dan memperbanyak klorofil.
Peningkatan naungan dapat meningkatkan panjang daun, tinggi tanaman, jumlah
daun, luas daun, kandungan klorofil dan ketebalan daun (Maftuh et al. 2005; Sukarjo
2004; Marjenah 2001; Bahmani et al. 2000). Peningkatan panjang daun disebabkan
oleh terpicunya kerja auksin pada kondisi ternaungi (Gardner et al. 1985).
Daun tanaman toleran naungan memiliki struktur sel-sel palisade yang kecil dan
ukurannya tidak jauh berbeda dengan sel-sel bunga karang sehingga daun lebih tipis.
Struktur tersebut akan lebih berongga menambah efisiensi penangkapan energi radiasi
cahaya untuk fotosintesis (Taiz & Zeiger 1991). Ukuran daun akan lebih tipis tapi
luas permukaannya lebih lebar (Hale & Orcutt 1987).
Rasio daun dan biomasa tajuk menurun dengan adanya naungan (Ephrath et al.
1993). Peningkatan naungan akan menghasilkan sistem perakaran yang lebih pendek
karena fotosintat yang dihasilkan banyak didistribusikan untuk perpanjangan batang
tanaman, perluasan daun dan pertumbuhan rimpang (Sukarjo 2004).
Peningkatan taraf naungan akan menurunkan jumlah anakan pada tanaman te-
mulawak (Maftuh et al. 2005), temu kunci (Randriani et al. 2001) dan ryegrass
(Bahmani et al. 2000). Penurunan jumlah anakan dapat menurunkan hasil panen.
Penurunan intensitas cahaya di bawah taraf jenuh untuk fotosintesis akan me-
ngurangi bobot kering panen (Bos & Neuteboom 1998). Penurunan hasil panen akibat
penurunan intensitas cahaya dilaporkan terjadi pada tanaman temulawak (Maftuh et
al. 2005), talas (Djukri & Purwoko 2003) dan jahe (Januwati & Muhammad 1988).
Hal ini terjadi akibat adanya penurunan kandungan karbohidrat terutama fruktosa dan
sukrosa akibat penurunan laju fotosintesis (Kephart et al. 1992). Tanaman temula-
wak masih dapat menghasilkan bobot basah dan bobot kering rimpang tertinggi
15

hingga taraf naungan 30% (Sukarjo 2004). Selain itu peningkatan naungan dapat
mengurangi kandungan triterpenoid pada pegagan (Rachmawaty 2005).
Penurunan intensitas cahaya akan menyebabkan warna daun menjadi lebih hi-
jau. Hal ini disebabkan oleh pengumpulan kloroplas pada dua sisi dinding sel ter-
dekat dan terjauh dari cahaya (Salisbury & Ross 1992). Peningkatan kloroplas ber-
banding lurus dengan peningkatan klorofil a dan b.
Peningkatan klorofil a dan b akan menyebabkan kemampuan penangkapan
energi radiasi cahaya lebih tinggi. Klorofil a dan b berperan dalam fotosintesis tana-
man. Klorofil b berfungsi sebagai antena fotosintetik yang mengumpulkan cahaya.
Peningkatan kandungan klorofil b pada kondisi ternaungi berkaitan dengan pening-
katan klorofil sehingga akan meningkatkan efisiensi fungsi antenna fotosintetik pada
Light Harvesting Complex II. Penyesuaian tanaman terhadap radiasi rendah dicirikan
dengan membesarnya antena untuk fotosistem II. Membesarnya antena untuk foto-
sistem II akan meningkatkan efisiensi pemanenan cahaya (Hidema et al. 1992).
Kandungan klorofil daun yang cenderung tinggi pada kondisi ternaungi tidak diiringi
dengan meningkatnya laju fotosintesis. Hal ini sering dihubungkan dengan tingginya
resistensi stomata dan rendahnya aktivitas Ribulose bifosfat (RuBP).
Djukri dan Purwoko (2003) melakukan percobaan perbedaan intensitas naungan
pada talas. Hasil percobaan menunjukkan bahwa kandungan nitrogen talas yang peka
terhadap naungan cenderung menurun. Penggunaan nitrogen pada klon toleran lebih
diarahkan pada sintesis klorofl a dan b sehingga kadar klorofil a dan b meningkat le-
bih banyak daripada klon peka. Penurunan kadar nitrogen daun tanaman akan ber-
pengaruh terhadap fotosintesis melalui penurunan kandungan klorofil maupun enzim
fotosintetik sehingga fotosintat yang terbentuk akan berkurang dan selanjutnya terjadi
penurunan bobot umbi.
Perubahan kandungan klorofil dan enzim fotosintetik akibat naungan tercermin
pada perubahan kandungan nitrogen daun, kandungan rubisco dan aktivitasnya.
Rubisco adalah enzim yang memegang peranan penting dalam fotosintesis yaitu
mengikat CO2 dan RuBP dalam siklus Calvin untuk menghasilkan 3-PGA. Aktivitas
16

rubisco pada kondisi naungan akan berkurang (Makino et al. 1984), selain itu aktivi-
tas karboksilase dan RuBP akan menurun (Thorne & Koller 1974).
17

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat


Percobaan ini dilaksanakan pada dua lokasi penanaman yaitu di Kebun Perco-
baan Puspiptek Serpong, Kabupaten Tangerang (70 m dpl) dan di Kawasan
Agromedika Hambaro Leuwiliang, Kabupaten Bogor (400 m dpl). Penanaman di
Serpong dilakukan selama tiga musim (tiga tahun), sedangkan di Hambaro sebanyak
satu musim (tahun ke-3). Penanaman musim ke-1 dilakukan pada bulan Oktober
2004-Juli 2005, musim ke-2 pada bulan November 2005-Agustus 2006 sedangkan
musim ke-3 pada bulan Desember 2006-Agustus 2007.

Bahan dan Alat


Bahan genetik yang digunakan adalah aksesi temulawak (Curcuma xanthor-
rhiza Roxb.) hasil eksplorasi tahun 2004 yang diambil dari beberapa daerah di Indo-
nesia. Aksesi yang digunakan diberi nama berdasarkan daerah asalnya. Aksesi-aksesi
tersebut adalah T1 (Pagar Alam-Sumatera Selatan), T3 (Manna-Bengkulu), T4 (Ma-
jenang-Jawa Tengah), T5 (Cikijing-Jawa Barat), T6 (Ciporang-Jawa Barat), T7 (Ma-
jalengka-Jawa Barat), T8 (Citangtu-Jawa Barat), T9 (Sleman-Yogyakarta), T10
(Bantul-Yogyakarta), T11 (Gunung Kidul-Yogyakarta), T12 (Imogiri-Yogyakarta),
T13 (Kalibawang-Yogyakarta), T14 (Pasir Gaok 1-Jawa Barat) dan T16 (Pasir Gaok
3-Jawa Barat). Bahan penelitian yang digunakan adalah naungan berupa screen
house paranet 55%, kertas merang untuk persiapan pembibitan serta bahan untuk
penanaman yang terdiri dari pupuk kandang, Urea, SP-36, KCl dan dolomit. Alat
yang digunakan adalah polybag untuk pembibitan, timbangan, pisau, alat-alat perta-
nian, alat-alat tulis, jangka sorong, meteran, lightmeter, thermohigrometer, om-
brometer dan Munsell Color Chart for Plant Tissue.

Metode
Penelitian untuk menguji keragaman dan stabilitas genetik temulawak ini terdiri
dari dua bagian percobaan yaitu (1) Pengujian keragaman genetik antar lokasi di la-
18

han kering pada intensitas cahaya matahari penuh dan (2) Pengujian keragaman dan
stabilitas genetik antar intensitas cahaya matahari di lahan kering selama tiga musim.
Gambar 3 menunjukkan diagram alur percobaan.

Gambar 3. Diagram alur percobaan

Percobaan 1. Pengujian antar lokasi lahan kering di bawah intensitas cahaya


matahari penuh
Percobaan dilaksanakan menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak
(Randomized Complete Block Design). Sebagai faktor pertama adalah lokasi
penanaman yang terdiri dari dua taraf yaitu di Kebun Percobaan Puspiptek Serpong
19

dan di Kawasan Agromedika Hambaro Leuwiliang Bogor. Sebagai faktor kedua


adalah aksesi temulawak yang terdiri dari 14 nomor yaitu T1, T3, T4, T5, T6, T7, T8,
T9, T10, T11, T12, T13, T14 dan T16. Percobaan dilakukan sebanyak tiga ulangan
sehingga secara keseluruhan terdapat 84 satuan percobaan. Setiap satu satuan perco-
baan terdiri dari 10 tanaman dan diambil 5 tanaman sebagai contoh sehingga secara
keseluruhan terdapat 420 tanaman yang diamati.

Model linear aditif dari rancangan ini adalah:

Yijr = µ + Lj + β r/j + Gi + (GL)ij + εijr

(i= 1,2,...,14; j= 1,2; r= 1,2,3)

Keterangan:
Yijk = Respon aksesi ke-i, lokasi ke-j dan ulangan ke-r
µ = Rataan umum
Lj = Pengaruh perlakuan lokasi ke-j
βr/j = Galat ulangan ke-r dalam lokasi ke-j
Gi = Pengaruh perlakuan aksesi ke-i
(GL)ij = Pengaruh interaksi antara lokasi ke-i dan aksesi ke-j
εijr = Galat percobaan pada lokasi ke-j, aksesi ke-i dan ulangan ke-r

Percobaan 2. Pengujian antar intensitas cahaya matahari di lahan kering selama


tiga musim
Percobaan dilaksanakan menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak
(Randomized Complete Block Design). Sebagai faktor pertama adalah intensitas ca-
haya matahari yang terdiri dari dua taraf yaitu 100% (cahaya matahari penuh) dan
45% (di bawah naungan paranet 55%). Sebagai faktor kedua adalah aksesi temula-
wak yang terdiri dari 14 nomor yaitu T1, T3, T4, T5, T6, T7, T8, T9, T10, T11, T12,
T13, T14 dan T16. Sebagai faktor ketiga adalah musim tanam yang terdiri dari 3 ta-
20

raf yaitu musim tanam ke-1, ke-2 dan ke-3. Percobaan dilakukan sebanyak 3 ulangan
sehingga secara keseluruhan terdapat 252 satuan percobaan. Setiap 1 satuan perco-
baan terdiri dari 10 tanaman dan diambil 5 tanaman sebagai contoh sehingga terdapat
1 260 tanaman. Percobaan ini dilakukan selama 3 musim tanam sehingga secara ke-
seluruhan pengamatan dilakukan terhadap 3 780 tanaman.
Model linear aditif dari rancangan ini adalah:

Yijkl = µ + Sk + Lj + (SL)jk + β r/kj + Gi + (GS)ik + (GL)ij + (GSL)ijk + εijkr

(i= 1,2,...,14; j= 1,2; k= 1,2,3; r= 1,2,3)

Keterangan:
Yijkl = Respon naungan ke-j, aksesi ke-i, musim ke-k dan ulangan ke-r
µ = Rataan umum
Sk = Pengaruh perlakuan musim ke-k
Lj = Pengaruh perlakuan intensitas cahaya matahari ke-j
(SL)jk = Pengaruh interaksi antara musim ke-k dan intensitas cahaya matahari ke-j
β r/kj = Galat ulangan ke-r dalam musim ke-k dan intensitas cahaya matahari ke-j
Gi = Pengaruh perlakuan aksesi ke-i
(GS)ik = Pengaruh interaksi antara aksesi ke-i dan musim ke-k
(GL)ij = Pengaruh interaksi antara aksesi ke-i dan intensitas cahaya matahari ke-j
(GSL)ijk = Pengaruh interaksi antara aksesi ke-i, musim ke-k dan intensitas cahaya
matahari ke-j
εijkl = Galat percobaan pada intensitas cahaya matahari ke-j, aksesi ke-i, musim
ke-k dan ulangan ke-r

Pelaksanaan
Percobaan ini diawali dengan melakukan eksplorasi aksesi temulawak dari be-
berapa habitat. Eksplorasi ini berupa pengambilan contoh aksesi temulawak yang
memiliki ciri morfologi berbeda atau yang tumbuh pada habitat dan ekosistem ber-
21

beda yang diduga merupakan ekotipe. Langkah selanjutnya adalah melakukan ana-
lisis keragaman dan stabilitas.
Analisis keragaman dan stabilitas dilakukan pada kondisi lingkungan tumbuh
yang berbeda sehingga terdapat dua pengujian yaitu: (1) evaluasi antar lokasi di lahan
kering pada intensitas cahaya matahari penuh dan (2) evaluasi antar intensitas cahaya
matahari di lahan kering selama tiga musim. Secara umum tahapan pelaksanaan per-
cobaan terdiri dari pembibitan, persiapan lahan, penanaman dan pemanenan.
Kegiatan pembibitan diawali dengan pembersihan rimpang pada air mengalir
yang kemudian dikeringanginkan. Rimpang tersebut lalu disemai pada keranjang
plastik yang dialasi dan ditutupi kertas merang basah dan dijaga kelembabannya di
atas rak dalam ruang penunasan. Setelah mata tunas muncul maka dilakukan pemo-
tongan rimpang berukuran 20-40 gram. Rimpang yang telah dipotong tersebut dipin-
dahkan ke polybag berukuran 20 cm x 10 cm untuk ditempatkan di screenhouse
pembibitan dengan naungan paranet 55%. Bibit ditanam di lapang setelah memiliki
tinggi tunas sekitar 5-10 cm.
Persiapan lahan dilaksanakan dengan mengolah tanah. Pengapuran dengan
dolomit dilakukan pada musim tanam pertama. Pemberian pupuk kandang dilakukan
sebanyak 1 kg/lubang tanam. Naungan paranet dibuat sebanyak 3 buah, masing-
masing berukuran 20 m x 8 m x 2.5 m. Petakan penelitian berupa guludan dibuat
dengan ukuran 7.2 m x 0.7 m.x 0.25 m. Jarak tanam yang digunakan adalah 70 cm
x 60 cm.
Penanaman dilaksanakan pada pagi hari dan bibit yang telah siap kemudian di-
tanam dan diberi mulsa alang-alang untuk mengurangi evapotranspirasi. Pemupukan
saat tanam dilakukan dengan 5 gram SP-36/tanaman + 4 gram KCl/tanaman sedang-
kan 5 gram Urea/tanaman diberikan pada 1 Bulan Setelah Tanam (BST). Kegiatan
pemeliharaan yang dilakukan meliputi pencabutan gulma dan pembumbunan.
Panen dilaksanakan pada saat tanaman berumur 9 BST dengan cara menggali
dan mengangkat rimpang secara keseluruhan. Rimpang tersebut dicuci dari tanah dan
kotoran lalu dikeringanginkan. Kegiatan dalam teknik budidaya temulawak mengacu
22

pada Standard Operation Procedures (SOP) menurut Rahardjo dan Rostiana (2005)
dengan sedikit modifikasi.
Pengamatan
Komponen pengamatan yang digunakan mengacu pada deskriptor untuk tana-
man temulawak menurut Ajijah et al. (2006) dan tambahan lain. Komponen-kompo-
nen tersebut adalah:

Komponen Pertumbuhan

1. Batang semu
a. Tinggi batang semu. Pengamatan dilakukan sepuluh hari sekali sampai
pertumbuhan maksimum (4 BST). Tinggi batang semu diukur dari permu-
kaan tanah sampai ujung daun.
b. Diameter batang semu. Pengamatan dilakukan pada saat pertumbuhan mak-
simum (4 BST). Diameter batang semu diukur pada ketinggian 15 cm dari
permukaan tanah dengan menggunakan jangka sorong.
c. Jumlah anakan per rumpun. Pengamatan dilakukan sepuluh hari sekali sampai
pertumbuhan maksimum (4 BST).
d. Warna pangkal batang semu. Pengamatan dilakukan pada ketinggian 15 cm di
atas permukaan tanah menggunakan Munsell Color Chart for Plant Tissue.
Pengamatan dilakukan pada saat pertumbuhan maksimum (4 BST).
e. Bentuk batang semu. Pengamatan dilakukan terhadap bentuk batang semu
yaitu bulat, membulat atau pipih. Pengamatan dilakukan pada saat pertumbu-
han maksimum (4 BST).
f. Arah pertumbuhan. Pengamatan dilakukan terhadap arah pertumbuhan batang
semu yaitu erek, semi erek atau menyebar. Pengamatan dilakukan pada saat
pertumbuhan maksimum (4 BST).
23

2. Daun
a. Jumlah daun per batang. Pengamatan dilakukan sepuluh hari sekali sampai
pertumbuhan maksimum (4 BST). Jumlah daun yang dihitung adalah pada
batang utama.
b. Lebar daun. Pengamatan dilakukan sepuluh hari sekali sampai pertumbuhan
maksimum (4 BST). Pengukuran dilakukan pada daun terbesar, diukur dari
ujung kiri sampai ujung kanan daun pada bagian terlebarnya.
c. Panjang daun. Pengamatan dilakukan sepuluh hari sekali sampai pertumbuhan
maksimum (4 BST). Pengukuran dilakukan pada daun terbesar, diukur dari
pangkal sampai ujung daun.
d. Rasio panjang/lebar daun. Rasio dihitung berdasarkan hasil pengukuran pan-
jang dan lebar daun dengan rumus: Rasio = panjang daun/lebar daun.
e. Panjang tangkai daun. Pengamatan dilakukan sepuluh hari sekali sampai per-
tumbuhan maksimum (4 BST). Pengukuran dilakukan pada daun terbesar,
diukur dari batang semu sampai pangkal daun.
f. Warna daun dan tangkai daun. Pengamatan warna daun dan tangkai daun dila-
kukan terhadap daun ke-3 dari atas pada pada saat pertumbuhan maksimum
dengan menggunakan Munsell Color Chart for Plant Tissue. Pengamatan di-
lakukan pada saat pertumbuhan maksimum (4 BST)
g. Pita ungu ibu tulang daun. Pengamatan pita ungu pada ibu tulang daun
dilakukan pada daun ke-3 dari atas yang terdiri dari sangat jelas jika > 75%
ibu tulang daun tetutup pita ungu, jelas jika antara 50% hingga 75% ibu tulang
daun tertutup pita ungu, kurang jelas jika 25% hingga 50% ibu tulang daun
tertutup pita ungu dan tidak jelas jika tidak terdapat pita ungu pada ibu tulang
daun. Pengamatan dilakukan pada saat pertumbuhan maksimum (4 BST).
h. Bentuk daun. Bentuk daun diamati pada daun ke-3 dari atas yaitu elips, ob-
long, oblong lanceolate. Pengamatan dilakukan pada saat pertumbuhan mak-
simum (4 BST).
24

i. Bentuk pangkal daun. Bentuk pangkal daun diamati pada daun ke-3 dari atas
yaitu runcing, meruncing. Pengamatan dilakukan pada saat pertumbuhan
maksimum (4 BST).
j. Bentuk ujung daun. Bentuk ujung daun diamati pada daun ke-3 dari atas yaitu
runcing, meruncing. Pengamatan dilakukan pada saat pertumbuhan mak-
simum (4 BST).
k. Bentuk pertulangan daun. Bentuk pertulangan daun diamati pada daun ke-3
dari atas yaitu menyirip, menjari. Pengamatan dilakukan pada saat pertumbu-
han maksimum (4 BST).

Komponen Produksi
1. Bunga
Pengamatan dilakukan pada saat bunga muncul, meliputi:
a. Warna, bentuk dan ukuran kelopak pelindung (bractea).
b. Warna, bentuk dan ukuran kelopak.
c. Warna, bentuk dan ukuran mahkota.
d. Ukuran tandan bunga.
e. Waktu munculnya bunga.
f. Jumlah bunga per rumpun.

2. Rimpang
Pengamatan rimpang dilakukan pada saat panen yaitu 9 BST, meliputi:
a. Bobot basah gabungan rimpang, akar dan ubi akar; rimpang total; akar; rim-
pang primer; rimpang sekunder; rimpang tersier dan ubi akar. Pengamatan
dilakukan dengan menimbang bahan segar.
b. Bobot kering rimpang total, rimpang primer, rimpang sekunder dan rimpang
tersier. Pengamatan dilakukan setelah dioven selama 48 jam dengan suhu 40
o
C.
c. Panjang rimpang primer, rimpang sekunder, rimpang tersier, ruas rimpang
primer, ruas rimpang sekunder, ruas rimpang tersier dan akar terpanjang.
25

d. Lebar rimpang primer, rimpang sekunder dan rimpang tersier.


e. Jumlah rimpang primer, rimpang sekunder, rimpang tersier, ruas rimpang
primer, ruas rimpang sekunder, ruas rimpang tersier, ubi akar, mata tunas rim-
pang primer dan mata tunas rimpang sekunder.
f. Bentuk rimpang induk. Pengamatan dilakukan terhadap bentuk rimpang in-
duk yaitu oval, jorong, kerucut atau lainnya.
g. Bentuk rimpang sekunder. Pengamatan dilakukan terhadap bentuk rimpang
sekunder yaitu bulat, pipih atau lainnya.
h. Warna daging rimpang, kulit rimpang dan mata tunas. Pengamatan dilakukan
menggunakan Munsell Color Chart for Plant Tissue.
i. Tekstur permukaan. Pengamatan dilakukan terhadap rimpang primer yaitu ha-
lus atau kasar.

Komponen Kandungan Bahan Aktif


Komponen bahan aktif yang diamati adalah kadar kurkumin, kadar minyak at-
siri, produksi kurkumin/rumpun dan produksi minyak atsiri/rumpun. Produksi bahan
aktif dihitung melalui perkalian antara kadar bahan aktif dan bobot kering rim-
pang/rumpun. Analisis kandungan bahan aktif ini dilakukan di Balai Penelitian
Tanaman Obat dan Aromatika, Departemen Pertanian RI, Bogor. Kadar kurkumin
diukur menggunakan metode GC-MS sedangkan kadar minyak atsiri dengan destilasi
menggunakan protokol dari SNI.

Komponen Lingkungan
Komponen pengamatan lingkungan terdiri dari cuaca dan tanah. Karakter
yang diamati adalah:
1. Curah hujan (mm/hari). Pengamatan dilakukan setiap hari mulai saat tanam
hingga panen pada dua lokasi penanaman dengan menggunakan ombrometer.
2. Suhu (oC). Pengamatan dilakukan setiap hari mulai saat tanam hingga panen
pada pukul 08.00 WIB, 13.30 WIB dan 17.00 WIB.
26

3. RH (%). Pengamatan dilakukan setiap hari mulai saat tanam hingga panen
pada pukul 08.00 WIB, 13.30 WIB dan 17.00 WIB.
4. Intensitas cahaya (lux). Pengamatan dilakukan sebanyak tiga hari berturut-tu-
rut pada intensitas cahaya matahari 100% di Hambaro dan Serpong serta pada
intensitas cahaya matahari 45% di Serpong. Pengamatan dilakukan pukul
08.00 WIB, 13.30 WIB dan 17.00 WIB.
5. Tanah. Pengamatan kondisi tanah dilakukan terhadap terhadap 5 contoh yaitu
masing-masing ulangan pada lokasi Hambaro, komposit dari 3 ulangan pada
kondisi ternaungi dan komposit dari 3 ulangan pada kondisi tak ternaungi
pada lokasi Serpong. Peubah yang diamati terdiri dari tekstur tanah; pH;
kandungan hara: C, N, P-tersedia, K-tersedia; Kapasitas Tukar Kation (KTK);
Kejenuhan Basa (KB); kation dapat ditukar (K, Na, Ca, Mg-dd), kemasaman
dapat ditukar (Al dan H-dd). Analisis tanah ini dilakukan di Balai Penelitian
Tanah, Departemen Pertanian RI, Bogor.

Analisis Data

1. Analisis korelasi antar sifat dan sidik lintas


Analisis sidik lintas dilakukan terhadap karakter vegetatif sebagai peubah bebas
dan bobot basah rimpang/rumpun sebagai peubah tak bebas. Hubungan keeratan
antara peubah X (karakter vegetatif) dan Y (bobot basah rimpang/rumpun) dihi-
tung dengan korelasi Pearson sebagai berikut:

rxy = n ∑ x1 y 1 − ( ∑ x1)( ∑ y 1)
n ∑ x 1 2 − ( ∑ x 1) 2 ( n ∑ y 1 2 − ( ∑ y 1) 2 )

kemudian analisis dilanjutkan dengan sidik lintas berdasarkan persamaan sebagai


berikut (Singh & Chaudhary 1979):
27

⎡r11 r12 ... r1p ⎤ ⎡C1⎤ ⎡r1y ⎤


⎢r21 r22 ... r2 p⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥
⎢ ⎥ ⎢C2⎥ ⎢r 2 y⎥
⎢... ... ... ... ⎥ ⎢ ...⎥ = ⎢ ... ⎥
⎢ ⎥⎢ ⎥ ⎢ ⎥
⎢... ... ... ... ⎥ ⎢ ...⎥ ⎢ ... ⎥
⎢⎣rp1 rp2 ... rpp ⎥⎦ ⎣⎢Cp⎦⎥ ⎣⎢ rpy ⎦⎥

Rx C Ry
dimana C = Rx-1Ry

Keterangan:
Rx = matriks korelasi antar peubah bebas ; Rx-1 = invers matriks Rx; C = vektor koefisien
lintasan yang menunjukkan pengaruh langsung setiap peubah bebas terhadap peubah tak
bebas; Ry = vektor koefisien korelasi antara peubah bebas Xi (i = 1, 2, …, p) dengan
peubah tak bebas Y.

2. Analisis ragam dan pendugaan parameter genetik


Pengujian analisis ragam dan parameter genetik dilakukan pada kedua percobaan.
Parameter yang diamati meliputi:

a. Heritabilitas dalam arti luas (h2bs)


Pendugaan heritabilitas dilakukan dengan metode komponen ragam (Osborne &
Paterson 1952, diacu dalam Adie 1992). Pendugaan komponen ragam genetik,
ragam interaksi genotipe dengan lingkungan, ragam galat dan ragam fenotipe
untuk percobaan antar lahan kering pada intensitas cahaya matahari penuh di
Serpong dan Hambaro dilakukan berdasarkan pada nilai harapan kuadrat tengah
analisis ragam Tabel 1. Karakter yang diperbolehkan untuk dianalisis meng-
gunakan model tersebut adalah yang memiliki ragam homogen antar lokasi
(Gomez & Gomez 1984) berdasarkan uji Bartlett (uji homogenitas ragam).
M4 − M5
Ragam genotipe x lokasi (σ2 gl) = , ragam galat (σ2e) = M5, ragam ge-
r
M3 − M4
netik (σ2g) = , ragam fenotipe = σ2g + (σ2e/lr) + (σ2gl/l) sehingga
lr
28

σ g2 σ g2
heritabilitas = (Osborne & Paterson 1952, diacu dalam
σ p2 σ g2 + σ e2 / lr + σ gl2 / l

Adie 1992).

Tabel 1. Analisis ragam percobaan antar lokasi di Hambaro dan Serpong


Kuadrat Harapan Kuadrat
Sumber Derajat
Tengah Tengah F Hitung
Keragaman Bebas (db)
(KT) E (KT)
Lokasi (L) l-1 M1 σ e + rσ gl + gσ2e + grσ2l
2 2
M1/M4
2 2
Ulangan/L l (r-1) M2 σ e + gσ e -
2 2 2
Aksesi (G) (g-1) M3 σ e + rσ gl + lrσ g M3/M4
2 2
GxL (g-1) (l-1) M4 σ e + rσ gl M4/M5
2
Galat l (g-1) (r-1) M5 σ e -
Keterangan: l=jumlah lokasi; r=jumlah ulangan; g=jumlah aksesi

Tabel 2 merupakan model yang digunakan pada pengujian antar intensitas ca-
haya matahari selama tiga musim di Serpong. Karakter yang diperbolehkan
untuk dianalisis menggunakan model ini adalah yang memiliki ragam homogen
antara musim dan intensitas cahya matahari.
Ragam interaksi aksesi x musim x intensitas cahaya matahari (σ2 gyl) =
M4 − M5
, ragam interaksi antara aksesi x intensitas cahaya matahari (σ2gl) =
r
M3 − M4
, ragam interaksi antara aksesi x musim (σ2gs) = M 2 − M 4 , ragam ge-
rs rl

(M 1 + M 4 ) − (M 2 + M 3 )
netik (σ2g) = dan ragam galat (σ2e) = M5. Nilai
rsl
σ g2 σ g2
heritabilitas 2 = 2 (Baihaki 2000).
σp σ g + (σ gl2 / l ) + (σ gs2 / s) + (σ gsl
2
/ sl ) + (σ e2 / rsl )
29

Tabel 2. Analisis ragam percobaan dua intensitas cahaya matahari selama tiga
musim di Serpong
Kuadrat
Sumber Derajat Harapan Kuadrat Tengah F
Tengah
Keragaman Bebas (db) E (KT) Hitung
(KT)
Musim (S) s-1 -
Intensitas -
cahaya l-1
matahari (L)
SxL (s-1) (l-1) -
Ulangan/SL sl (r-1) -
Aksesi (G) g-1 M1 σ2e + rσ2gsl+ rlσ2gs + rsσ2gl + rslσ2g ***
GxS (g-1) (s-1) M2 σ2e + rσ2gsl+ rlσ2gs M2/M4
2 2 2
GxL (g-1) (l-1) M3 σ e + rσ gsl+ rsσ gl M3/M4
2 2
GxSxL (g-1) (s-1) (l-1) M4 σ e + rσ gsl M4/M5
2
Galat (r-1) (g-1) ls M5 σe -
Total rgs-1 -
Keterangan: s = jumlah musim tanam; r= jumlah ulangan; l= jumlah intensitas cahaya matahari; g=
jumlah aksesi; ***= perhitungan menggunakan quasi nisbah F.

Perhitungan quasi nisbah F:


M1 + M 4 M r+... + M s
F p,q = ada ketentuan bila F p,q =
M2 + M3 M m+... + M n
dimana Mi=kuadrat tengah dari sumber keragaman ke-i, maka derajat bebas efek-
tif:
( M r + ... + M s ) 2 ( M m + ... + M n ) 2
p= , q=
⎛ M r2 M s2 ⎞ ⎛ M m2 M n2 ⎞
⎜⎜ + ... + ) ⎟⎟ ⎜⎜ + ... + ⎟⎟
⎝ f r f s ⎠ ⎝ f m f n ⎠
dimana fi= derajat bebas sumber keragaman ke-i (Satterthwaite 1946).

Selain itu pada pengujian antar intensitas cahaya matahari selama tiga musim dila-
kukan juga pendugaan parameter genetik terhadap masing-masing musim perco-
baan. Analisis hanya dilakukan terhadap karakter yang memiliki ragam homogen
antar intensitas cahaya matahari. Tabel 3 merupakan model yang digunakan seba-
gai dasar kalkulasi parameter genetik tersebut. Penghitungan nilai heritabilitas
30

dilakukan menggunakan metode yang sama dengan percobaan antar lokasi di


Hambaro dan Serpong.

Tabel 3. Analisis ragam percobaan dua intensitas cahaya matahari per musim di
Serpong
Kuadrat Harapan Kuadrat
Sumber Derajat F
Tengah Tengah
Keragaman Bebas (db) Hitung
(KT) E (KT)
Intensitas cahaya
l-1 M1 σ2e + rσ2gl + gσ2 + grσ2l M1/M4
matahari (L)
Ulangan/L l (r-1) M2 σ2e + gσ2e -
2 2 2
Aksesi (G) (g-1) M3 σ e + rσ gl + lrσ g M3/M4
2 2
GxL (g-1) (l-1) M4 σ e + rσ gl M4/M5
2
Galat l (g-1) (r-1) M5 σe -
Keterangan: l=jumlah naungan; r=jumlah ulangan; g=jumlah aksesi

Kriteria heritabilitas terbagi atas rendah: 0%-20%, sedang: 20%-50% dan tinggi
>50% (Stansfield 1983, diacu dalam Zen 1995).

b. Koefisien keragaman genetik (KKG) dan fenotipe (KKP)


Pendugaan koefisien keragaman genetik dan fenotipe dilakukan menggunakan
data komponen ragam dari analisis ragam. Menurut Poehlman dan Sleeper (1996)
rumus yang digunakan adalah:

σ g2
Koefisien keragaman genetik (KKG) = x100%
x

σ p2
Koefisien keragaman fenotipe (KKP) = x100%
x
Keterangan:
σ2g = ragam genetik, σ2p = ragam fenotipe, x = rataan umum.

c. Simpangan dari ragam genetik


Penghitungan simpangan dari ragam genetik dilakukan sebagai salah satu pa-
rameter yang akan menentukan luas atau sempitnya nilai keragaman genetik suatu
31

karakter. Rumus yang digunakan adalah untuk beberapa lokasi dalam satu musim
menurut Hallauer dan Miranda (1988) sebagai berikut:

2 ⎛ M 32 M 22 ⎞⎟
σ σ2g = ⎜ +
(rl ) 2 ⎜ db + 2 db + 2 ⎟
⎝ g gl ⎠

Keterangan:
σ σ2g = simpangan ragam genetik
r = jumlah ulangan
l = jumlah lingkungan (lokasi atau intensitas cahaya matahari)
M3 = kuadrat tengah aksesi (genotipe)
M2 = kuadrat tengah genotipe x lingkungan (G x L)
dbg = derajat bebas genotipe
dbgl = derajat bebas G x L

Jika ragam genetik lebih besar daripada dua kali standar deviasi ragam genetik (σ2g
> 2 σσ2g ) maka keragaman genetiknya luas sedangkan jika σ2g < 2 σσ2g maka ke-
ragaman genetiknya sempit (Anderson & Bancroft 1952, diacu dalam Ruchjani-
ningsih 2000).

3. Uji stabilitas
Uji stabilitas ini hanya dilakukan terhadap percobaan antar musim tanam pada
dua intensitas cahaya matahari. Nilai stabilitas suatu aksesi dihitung mengguna-
kan metode Finlay dan Wilkinson (1963) dengan model linear sebagai berikut:
Yij = µi + biJj + δij
(i = 1,2,3……,14; j = 1,2,3)

Keterangan:
Yij = Nilai tengah aksesi ke-i dalam musim ke-j
µi = Nilai tengah semua aksesi pada semua lingkungan
bi = Koefisien regresi aksesi ke-i pada indeks lingkungan yang mengukur re-
spon aksesi pada lingkungan beragam
Ij = Indeks lingkungan karena deviasi nilai tengah untuk semua varietas
δij = Deviasi dari regresi untuk aksesi ke-i pada musim ke-j
32

bi =
∑ YIj ij j
, Ij =
∑ i Yij
-
∑∑
i j Yij
∑ I j
2
j t t.s

Keterangan:

∑ j Yij I j = Jumlah hasil kali

∑ j I2j = Jumlah kuadrat

Pengujian dilakukan menggunakan SAS ver 6.12 dan Minitab rel 14.
33

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum
Secara umum kondisi pertanaman di lokasi penelitian menunjukkan pertum-
buhan dan perkembangan temulawak yang optimal dan proporsional. Penyiangan
gulma dilakukan setiap pekan sehingga tingkat pertumbuhan gulma dapat diken-
dalikan. Serangan hama dan penyakit tidak terlalu mempengaruhi pertumbuhan
tanaman.
Kondisi suhu udara maksimum dan minimum terendah pada penanaman di Ser-
pong terjadi pada musim ke-2 sedangkan yang tertinggi pada musim ke-1 (Gambar
4). Secara umum suhu udara di Serpong lebih rendah daripada di Hambaro. Hal ini
tidak sejalan dengan kondisi curah hujan. Curah hujan di Hambaro lebih tinggi dari-
pada di Serpong (Gambar 5).

38
35.48
36
32.84 32.63 32.78
34
Suhu ( C)

32
o

30
28
24.81
26 23.95 23.86 24.07
24
22
20
Serpong Thn 1 Serpong Thn 2 Serpong Thn 3 Hambaro Thn 3

Lokasi
Maksimum Minimum

Gambar 4. Suhu maksimum dan minimum di Serpong selama tiga musim dan
di Hambaro pada musim ke-3

Intensitas cahaya di Hambaro pada pagi hari cenderung lebih rendah daripada
di Serpong pada intensitas cahaya matahari 45% maupun 100% (Gambar 6). Inten-
34

sitas cahaya tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan intensitas cahaya matahari 100% di
Serpong pada siang hari.

2561.50
2500
2233.50
Curah hujan (mm/tahun)

1981.30
2000
1707.00

1500

1000

500

0
Serpong Thn 1 Serpong Thn 2 Serpong Thn 3 Hambaro Thn 3

Lokasi

Gambar 5. Curah hujan di Serpong selama tiga musim dan di Hambaro pada
musim ke-3

90000
80866.67
Intensitas cahaya (lux)

75000 70366.67

60000
50366.67

45000
31666.67
30000
18133.33
13016.67
15000 3056.67
800.33 2085.33
0
08.00 13.30 17.00
Waktu pengamatan (WIB)
Serpong, intensitas cahaya matahari 45% Serpong, intensitas cahaya matahari 100%
Hamb aro

Gambar 6. Intensitas cahaya di Serpong pada perlakuan intensitas cahaya


matahari 45%, 100% dan di Hambaro
35

Klasifikasi yang digunakan untuk menilai kategori sifat tanah pada tulisan ini
adalah berdasarkan Cottenic (1980), diacu dalam Hermanto dan Emmyzar (1997).
Berdasarkan nilai pH (Tabel 4), kondisi tanah di Serpong pada intensitas cahaya
matahari 45% bersifat agak masam (5.6-6.5) sedangkan pada intensitas cahaya
matahari 100% dan di Hambaro bersifat masam (4.5-5.5). Kandungan C tanah di
ketiga lokasi cenderung rendah (1-2), N cenderung rendah (0.1-0.2) dan C/N
cenderung sedang (10.1-15.0). Kadar P tanah di Serpong intensitas cahaya matahari
45% termasuk sangat tinggi (P-Olsen > 25 ppm) sedangkan di Serpong pada inten-
sitas cahaya matahari 100% dan di Hambaro termasuk tinggi (P-Bray > 20 ppm).
Berdasarkan sifat fisik, tekstur tanah di Serpong dan Hambaro tidak terlalu berbeda.

Tabel 4. Tekstur, pH, kandungan bahan organik, nitrogen, fosfor dan kalium
tanah di Serpong dan Hambaro tahun 2007
Tekstur
Lokasi Pasir Debu Liat pH C N C/N P2O5a) K2O
…..............%................ ........%........ ...ppm…
Serpong pada
intensitas ca-
haya matahari
45% 7 49 45 6.0 1.37 0.11 12 74.0 15
Serpong pada
intensitas ca-
haya matahari
100% 2 43 55 4.6 1.40 0.11 13 46.0 9
Hambaro 5 46 50 4.9 1.39 0.11 13 38.8 12
a)
Keterangan: Kadar P2O5 di Serpong pada intensitas cahaya matahari 45% diuji dengan metode Ol-
sen sedangkan di Serpong pada intensitas cahaya matahari 100% dan di Hambaro diuji
dengan metode Bray.

Nilai kapasitas tukar kation di ketiga lokasi termasuk sedang (12-25 me/100 g
tanah, Tabel 5). Kejenuhan basa di Serpong pada intensitas cahaya matahari 45%
termasuk sangat tinggi (80-100%), sedangkan di Serpong dalam pada intensitas ca-
haya matahari 100% dan di Hambaro termasuk sedang (40-60%).
36

Tabel 5. Kation tanah di Serpong dan Hambaro tahun 2007


Nilai tukar kation (NH4-acetat 1N, pH 7)
Lokasi Ca Mg K Na Jumlah KTK KB Al3+ H+
……….…..….me/100 g ………………….. % .. me/100 g..
Serpong pada
intensitas cahaya
matahari 45% 13.37 1.95 0.14 0.05 15.51 16.77 92 0.01 0.12
Serpong pada
intensitas cahaya
matahari 100% 5.32 1.86 0.08 0.02 7.28 13.55 54 0.82 0.29
Hambaro 9.53 2.55 0.09 0.07 12.23 21.50 57 1.35 0.30

Karakter Kualitatif
Hasil pengamatan karakter kualitatif berupa morfologi tajuk dan rimpang
menunjukkan tidak terdapat perbedaan tipe pertumbuhan batang semu dan bentuk
daun di Hambaro dan Serpong. Tipe pertumbuhan batang semu di kedua lokasi ini
adalah tegak, bentuk daun oblong lanceolate, bentuk pangkal daun meruncing, bentuk
ujung daun meruncing, bentuk sisi daun rata dan bentuk pertulangan daun menyirip.
Sebagian besar batang semu di Hambaro berbentuk membulat (Tabel 6). Hal
ini juga terjadi di Serpong pada intensitas cahaya matahari 45% (Tabel 7), sedangkan
pada intensitas cahaya matahari 100% cenderung seimbang antara pipih dan membu-
lat (Tabel 8).
Warna batang semu, daun dan tangkai daun di Hambaro cenderung tidak ber-
beda dan sebagian besar memiliki warna pita ungu tulang daun yang jelas (Tabel 9).
Warna batang semu, daun dan tangkai daun pada dua intensitas cahaya matahari di
Serpong pun cenderung mirip, sedangkan warna pita ungu tulang daun pada intensitas
cahaya matahari 45% tampak kurang jelas sedangkan pada intensitas cahaya matahari
100% sebagian besar tampak jelas (Tabel 10 & 11).
37

Tabel 6. Keragaan karakter morfologi batang semu dan warna daun temula-
wak di Hambaro
Warna
Bentuk
Aksesi Pita ungu
batang semu Batang Daun Tangkai daun
tulang daun
T1 Membulat 7.5 GY 7/6 7.5 GY 7/6 7.5 GY 6/8 Kurang jelas
T3 Pipih 7.5 GY 7/6 7.5 GY 5/6 7.5 GY 6/8 Kurang jelas
T4 Membulat 7.5 GY 7/8 7.5 GY 6/6 7.5 GY 6/8 Kurang jelas
T5 Membulat 7.5 GY 7/8 7.5 GY 7/6 7.5 GY 6/8 Jelas
T6 Pipih 7.5 GY 7/8 7.5 GY 6/6 7.5 GY 6/8 Jelas
T7 Pipih 7.5 GY 7/8 7.5 GY 6/6 7.5 GY 6/8 Jelas
T8 Membulat 7.5 GY 7/8 7.5 GY 5/6 7.5 GY 7/8 Jelas
T9 Membulat 7.5 GY 7/8 7.5 GY 6/6 7.5 GY 7/8 Kurang jelas
T10 Membulat 7.5 GY 6/8 7.5 GY 5/6 7.5 GY 7/8 Kurang jelas
T11 Pipih 7.5 GY 7/6 7.5 GY 7/6 7.5 GY 7/6 Kurang jelas
T12 Membulat 7.5 GY 7/6 7.5 GY 7/6 7.5 GY 7/6 Jelas
T13 Membulat 5 GY 6/8 7.5 GY 5/6 7.5 GY 7/6 Jelas
T14 Membulat 7.5 GY 7/8 7.5 GY 6/6 7.5 GY 7/6 Jelas
T16 Membulat 7.5 GY 7/8 7.5 GY 7/8 7.5 GY 7/6 Jelas

(a) (b)

Gambar 7. Warna daun temulawak pada kondisi (a) intensitas cahaya matahari
100% dan (b) intensitas cahaya matahari 45% di Serpong

View publication stats

You might also like