You are on page 1of 75

PENGOMPOSAN JERAMI PADI ORGANIK MENUJU

“ZERO WASTE PRODUCTION MANAGEMENT”

NAZIF ICHWAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengomposan Jerami Padi
Organik Menuju “Zero Waste Production Management” adalah karya saya
sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011

Nazif Ichwan
NIM F451090031
ABSTRACT
NAZIF ICHWAN. Composting of Organic Rice Straw Towards “Zero Waste
Production Management”. Supervised by ARIEF SABDO YUWONO and
SATYANTO KRIDO SAPTOMO

Rice straw which is nowadays normally concerned as agricultural waste


was used in this research as raw material to produce compost. The objectives of
this research were to compost organic rice straw, to analyze the nutrient content of
compost, and to justify compost quality compared with the national standard of
compost quality (SNI 19-7030-2004), to analyze water and sludge quality, and to
develop waste-compost mass balance. Results of this research showed that the
time required to compost rice straw under aerobic condition to become compost
takes approximately 8 weeks for turned piles and aerated system, app. 5 weeks for
cylinder system, whereas under anaerobic condition takes app. 6 weeks. Under
anaerobic condition eight weeks of composting period in plastic drum was not
sufficient as indicated by unfinished biodegradation process. The compost
produced from rice straw contains macro and micro nutrients required by plants.
Implemented of organic fertilizer did not cause pollution in the bodies of water
and the nutrition organically bound so it often was used as a soil conditioning.
The waste-compost mass balance in the organic rice cultivation system was
developed where the amount of rice straw was in the order of 14.1 ton/ha and the
amount of the resulted compost was about 11.3 ton. In general, compost nutrients
content complies with the national quality standards. It can be concluded that the
rice straw composting process required approximately 5-8 weeks, and the
produced compost contains nutrients required by rice field according to national
standard.
Keywords : composting, compost quality, organic rice, rice straw, zero waste
production management
RINGKASAN
NAZIF ICHWAN. Pengomposan Jerami Padi Organik Menuju “Zero Waste
Production Management”. Dibimbing oleh ARIEF SABDO YUWONO dan
SATYANTO KRIDO SAPTOMO

Budidaya padi sawah merupakan kegiatan yang lazim dilakukan oleh


masyarakat Indonesia, terutama daerah pedesaan. Konsep yang diterapkan petani
saat ini adalah dengan memberikan kebutuhan unsur hara tanaman menggunakan
pupuk kimia sintetik menurut dosis yang telah ditentukan. Pemberian pupuk kimia
sintetik secara tidak langsung telah menyebabkan degradasi lahan pertanian dan
dalam proses produksi pupuk tersebut juga dikeluarkan emisi gas langsung ke
udara.
Budidaya padi selain menghasilkan beras, juga menghasilkan limbah
berupa jerami, sekam, dan gas metana serta non metana. Jerami merupakan
limbah potensial yang dihasilkan dari kegiatan budidaya padi dengan potensi 12-
15 ton/ha jerami segar. Pada umumnya Jerami dibakar oleh petani untuk
mereduksi volume limbah dan kegiatan ini menghasilkan emisi CO2 yang akan
meningkatkan pemanasan global sebagai gas rumah kaca dan menimbulkan
limbah baru berupa abu (ash) sisa dari pembakaran.
Penelitian ini bertujuan untuk menerapkan teknik pengomposan jerami
yang tepat yang dapat dilakukan oleh petani, menganalisis mutu kompos yang
dihasilkan dari jerami dan membandingkan kualitasnya dengan Standar Nasional
Indonesia (SNI 19-7030-2004), menganalisis pengaruh pemberian pupuk terhadap
kualitas air irigasi dan lumpur dari sawah, serta menyusun neraca massa limbah-
kompos dalam sistem budidaya padi organik.
Pengomposan jerami dapat dilakukan dengan metoda aerob dan anaerob.
Temperatur merupakan salah satu parameter penting dalam pengomposan.
Analisis kompos perlu dilakukan untuk mengukur kandungan unsur hara yang
terdapat dalam kompos.
Analisis air dan lumpur dari sawah perlu dilakukan untuk melihat
pengaruh pemberian pupuk terhadap kualitas air irigasi dan lumpur dari sawah
tersebut. Penyusunan neraca massa limbah-kompos dilakukan untuk melihat
ketersediaan kompos yang dihasilkan dengan bahan dasar jerami. Pemanfaatan
jerami menjadi kompos diharapkan dapat mengurangi timbulnya polusi dan
sekaligus sebagai salah satu upaya dalam “zero waste production management”
sehingga akan terbentuk jalur pendek mata rantai pemanfaatan limbah padi sawah.
Penelitian dilaksanakan di rumah kompos Departemen Teknik Sipil dan
Lingkungan Institut Pertanian Bogor yang terletak di Kampung Gardu Dalam,
Kec. Bogor Barat, Kota Bogor. Sawah percobaan budidaya padi organik berada
bersebelahan dengan rumah kompos. Pengujian sampel kompos dilakukan di
Balai Penelitian Tanah, Departemen Pertanian di Bogor. Pengujian kualitas air
irigasi dan lumpur dilaksanakan di Laboratorium Lingkungan Pusat Penelitian
Lingkungan Hidup (PPLH) Institut Pertanian Bogor.
Pada proses pengomposan, kematangan kompos jerami sebagai produk
akhir ditandai dengan perubahan bentuk yang menyerupai dan berbau tanah,
warna yang berubah menjadi kehitaman dan suhu yang sesuai dengan suhu
lingkungan. Pengukuran temperatur pada kompos dilakukan untuk melihat
periode biodegradasi bahan organik oleh mikroorganisme. Pengukuran temperatur
pada metoda aerobik dilakukan pada sistem tumpukan, aerasi dan silinder.
Pada umumnya, proses pengomposan dengan metoda aerobik dan
anaerobik berada pada fase mesofilik, yaitu kisaran temperatur 28-45oC. Hanya
campuran jerami dengan kotoran ayam sistem tumpukan yang mencapai fase
termofilik. Proses pengomposan metoda aerobik juga dipengaruhi oleh pemberian
air untuk mempertahankan kelembaban kompos dan juga pembalikan agar
campuran kompos lebih merata dalam mendapatkan oksigen. Kompos mengalami
dinamika perubahan temperatur dan bergerak stabil mulai hari ke-48 setelah
pengomposan pertama pada sitem tumpukan dan aerasi, setelah hari-24 pada
sistem silinder, dan setelah hari ke-35 pada pengomposan metoda anaerobik di
atas tanah serta dibungkus terpal. Grafik temperatur kompos yang telah stabil
menunjukkan bahwa kompos telah matang.
Analisis unsur hara kompos menunjukkan bahwa kompos mengandung
unsur hara makro dan mikro yang dibutuhkan oleh tanaman dengan nisbah C/N
antara 10-20. Pada umumnya kualitas kompos yang dihasilkan sesuai dengan
persyaratan SNI 19-7030-2004. Walaupun unsur C-organik pada kompos
berbahan dasar jerami dengan campuran kotoran kambing lebih rendah dari baku
mutunya, namun nisbah C/N yang dihasilkan sesuai dengan SNI 19-7030-2004.
Dapat dilihat juga unsur Mg pada kompos berbahan dasar jerami dengan
campuran kotoran ayam melebihi baku mutunya, namun angka tersebut masih
bisa diterima karena perbedaannya tidak terlalu besar. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa kompos jerami memenuhi syarat dan menunjukkan kualitas
kompos baik.
Hasil analisis kualitas air dan lumpur menjelaskan bahwa kandungan hara
yang diberikan diserap oleh tanaman padi, dan juga terjadinya dinamika air tanah
termasuk infiltrasi, perkolasi dan kapasitas air yang membawa unsur hara
(leaching), serta larut pada air irigasi. Kualitas air irigasi pada sawah percobaan
tidak menunjukkan gejala terjadinya pencemaran pada badan-badan air. Hal ini
disebabkan konsentrasinya masih berada di bawah baku mutu kualitas air. Nutrisi
pupuk terikat secara organik sehingga jauh lebih rentan terhadap pencucian hara
dari pada pupuk terlarut dan karena itu sering digunakan sebagai pengkondisian
tanah.
Dari neraca massa limbah-kompos diperoleh bahwa dengan
mengomposkan jerami 14,1 ton ditambah dengan dekomposer, baik kotoran ayam
atau kotoran kambing dengan porsi 1:1 dan berkadar air yang sama dihasilkan
kompos 11,3 ton dan 16,9 ton atau 60% dari massa kompos keluar dalam bentuk
uap air, air lindi, gas berbau, metana (CH4) dan CO2. Dari kompos yang
dihasilkan, 7 ton kompos dapat diaplikasikan kembali ke areal persawahan,
sedangkan sisa kompos dapat digunakan untuk peruntukan lainnya.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya.
Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah.
pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGOMPOSAN JERAMI PADI ORGANIK MENUJU
“ZERO WASTE PRODUCTION MANAGEMENT”

NAZIF ICHWAN

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, MS
Judul tesis : Pengomposan Jerami Padi Organik Menuju “Zero Waste
Production Management”
Nama : Nazif Ichwan
NIM : F451090031

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ir. Arief Sabdo Yuwono, M.Sc, Ph.D Dr. Satyanto K. Saptomo, S.TP, M.Si
Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Teknik Sipil dan Lingkungan

Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian: 26 Juli 2011 Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2011, dan karya tulis
ilmiah dengan judul Pengomposan Jerami Padi Organik Menuju “Zero Waste
Production Management” ini dapat diselesaikan.
Terima kasih diucapkan kepada:
1. Ir. Arief Sabdo Yuwono, M.Sc, Ph.D dan Dr. Satyanto K. Saptomo, S.TP,
M.Si selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan
dan bimbingannya.
2. Dr. Ir. M. Yanuar JP, MS selaku penguji luar komisi yang telah banyak
memberi saran.
3. Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA selaku Ketua Program Studi Teknik Sipil
dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor yang telah banyak memberikan
saran.
4. Orang tua tercinta (Alm) H. Chairul Anwar dan Hj. Zubaidah, BA, serta
seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.
5. Rekan-rekan Teknik Sipil dan Lingkungan angkatan 2009 yang telah
banyak membantu dalam menyelesaikan penelitian ini.
Disadari masih banyak kekurangan dalam penulisan ini, namun diharapkan
dapat memberi kontribusi bagi dunia akademik maupun masyarakat. Semoga
karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2011

Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 17 Februari 1985 dari pasangan
(Alm) H. Chairul Anwar dan Hj. Zubaidah, BA. Penulis merupakan putra
keempat dari lima bersaudara.
Tahun 2003 penulis lulus dari SMA Negeri 5 Medan dan pada tahun yang
sama lulus seleksi masuk Universitas Andalas pada Jurusan Teknologi Pertanian
Program Studi Teknik Pertanian melalui seleksi penerimaan mahasiswa baru
(SPMB) tahun 2003. Pendidikan sarjana diselesaikan pada tahun 2008.
Selama mengikuti S2 di Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan IPB
sejak tahun 2009, penulis menjadi Asisten Peneliti/Research Assisten (RA) pada
project Imhere B.2c IPB dengan topik penelitian “Zero Waste Production
Management”. Penulis juga aktif mengikuti seminar ilmiah diantaranya Seminar
Nasional PERTETA pada tahun 2010 di Purwokerto. Pada tahun yang sama,
penulis juga berkesempatan berpartisipasi dan mempresentasikan hasil penelitian
dengan judul “Zero Waste Production Management” dalam Bidang Pertanian:
Pengomposan Jerami Padi Organik, pada International Symposium “Asian
Consortium for Sustainable Agriculture” di Ibaraki University, Jepang. Pada
tahun 2011, penulis juga mengikuti Seminar Nasional IATPI-ITS di Surabaya dan
menyampaikan makalah dengan judul Pengomposan Jerami Padi Organik dan
Analisis Mutunya.
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ............................................................................................... x


DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xii

PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 3
1.3 Tujuan .................................................................................................... 3
1.4 Kerangka Pemikiran ............................................................................... 4

TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 5


2.1 Manajemen Limbah ............................................................................... 5
2.2 Pengelolaan Limbah Padat ..................................................................... 5
2.3 Pengomposan ......................................................................................... 6
2.4 Pertanian Organik dan Berkelanjutan .................................................... 9
2.5 Pengaruh Pupuk Organik ....................................................................... 10
2.6 Peranan Pupuk pada Padi ....................................................................... 12
2.7 Jerami ..................................................................................................... 14
2.8 Neraca massa.......................................................................................... 15

METODOLOGI PENELITIAN .......................................................................... 17


3.1 Tempat dan Waktu ................................................................................. 17
3.2 Alat dan Bahan ....................................................................................... 17
3.3 Pelaksanaan Penelitian ........................................................................... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................... 25


4.1 Kompos Jerami ...................................................................................... 26
4.2 Kandungan Unsur Hara dan Kualitas Kompos ..................................... 33
4.3 Kualitas Air Irigasi dan Lumpur ............................................................ 35
4.4 Neraca Massa Limbah-Kompos ............................................................. 38

SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................ 41


5.1 Simpulan ................................................................................................ 41
5.2 Saran ...................................................................................................... 41

UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................... 43


DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 45
LAMPIRAN ..................................................................................................... 49
DAFTAR TABEL
Halaman

1. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik dan Taraf Pupuk N


Terhadap Hasil dan Kualitas Tanaman Padi Sawah ................................. 11

2. Hasil Pengujian Pupuk Kandang pada Budidaya Padi Sawah di


Lahan Bukaan Baru .................................................................................... 13

3. Kandungan Hara Jerami ............................................................................. 14

4. Kandungan Unsur Hara Pupuk Kandang (Kotoran Kambing) .................. 25

5. Analisis Kandungan Hara dan Justifikasi Kualitas Kompos


Jerami ........................................................................................................ 34
DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian ..................................................................... 4

2. Para-para (tunnel) Aerasi .............................................................................. 18

3. Pengomposan Sistem Silinder ....................................................................... 19

4. Skema Pengomposan Aerobik ...................................................................... 20

5. Pengomposan di Dalam Tong ....................................................................... 20

6. Pengomposan di Dalam Terpal ..................................................................... 21

7. Skema Pengomposan Anaerobik .................................................................. 21

8. Skema Analisis Kompos dan Justifikasi Kualitas Kompos .......................... 22

9. Skema Penyusunan Neraca Massa Limbah-Kompos.................................... 23

10. Bagan Alir Penelitian .................................................................................... 24

11. Produktivitas Gabah dan Jerami Budidaya Padi Organik ............................. 26

12. Temperatur Sistem Tumpukan ...................................................................... 27

13. Temperatur Sistem Aerasi ............................................................................. 28

14. Temperatur Sistem Silinder .......................................................................... 29

15. Gaya Yang Dibutuhkan untuk Membalik Kompos Berbentuk Silinder ....... 30

16. Temperatur Kompos Metoda Anaerobik ...................................................... 31

17. Perubahan Massa Material Kompos Secara Anaerobik di Dalam Tong ....... 32

18. Kualitas Air Irigasi Sawah Percobaan........................................................... 36

19. Kualitas Lumpur Sawah Percobaan .............................................................. 37

20. Skema Neraca Massa Limbah-Kompos ........................................................ 38


DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Standar Nasional Indonesia Tentang Spesifikasi Kompos dari


Sampah Organik Domestik (SNI 19-7030-2004) ......................................... 49

2. Hasil Analisis Kualitas Air Irigasi dan Lumpur ............................................ 50

3. Neraca Massa Limbah-Kompos ................................................................. 51


1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Budidaya padi sawah merupakan kegiatan yang lazim dilakukan oleh


masyarakat Indonesia, terutama daerah pedesaan. Konsep yang diterapkan petani
saat ini adalah dengan memberikan kebutuhan unsur hara tanaman menggunakan
pupuk kimia sintetik menurut dosis yang telah ditentukan. Pemberian pupuk kimia
sintetik secara tidak langsung telah menyebabkan degradasi lahan pertanian
(Simanungkalit et al., 2006) dan berkontribusi mengeluarkan emisi gas rumah
kaca (GRK) dari lahan sawah 70,9% (ADB-GEF-UNDP, 1998) dari 8,05%
kontribusi pertanian secara nasional (KLH, 1999 dalam Deptan, 2007). Kondisi
ini bertentangan dengan konsep kegiatan pertanian organik dan berkelanjutan
yang sedang digalakkan oleh pemerintah.
Lahan sawah yang menggunakan pupuk kimia sintetik mengalami
degradasi sehingga kualitas tanah semakin menurun dan menyebabkan hasil
pertanian juga menurun (Sigit et al., 2007). Petani sebagai pengolah lahan
melakukan usaha perbaikan kualitas tanah sawah dengan menambah dosis
penggunaan pupuk kimia sintetik dengan harapan dapat menyuburkan tanah.
Namun hal ini menyebabkan kualitas tanah semakin menurun dan menimbulkan
polusi dari kegiatan pertanian tersebut.
Penggunaan pupuk kimia sintetik juga menimbulkan polusi dari
persawahan. Secara tidak langsung, produksi pupuk kimia sintetik menyumbang
emisi langsung ke udara karena dalam proses produksinya memerlukan energi.
Produksi pupuk urea buatan dengan aplikasi 100 kg/ha mengeluarkan emisi gas
NO sebesar 23.600 g/ha langsung ke udara per normal aplikasi (USEPA, 1998).
Hal ini cukup menjadi perhatian karena gas NOx merupakan salah satu parameter
kualitas udara ambien. Dosis pupuk yang diberikan tidak semuanya dapat diserap
oleh padi. Hal ini menyebabkan pupuk larut dalam air dan terbawa keluar
persawahan. Apabila dosis pupuk N terlarut dalam air irigasi terlalu tinggi, maka
akan menyebabkan pencemaran pada badan-badan air.
Budidaya padi menghasilkan beras dan juga menghasilkan limbah berupa
jerami dan sekam, serta menghasilkan gas metana dan non metana. Potensi jerami
2

dari budidaya padi adalah sebesar 12-15 ton jerami segar per hektar sawah (BPTP,
2010). Jerami banyak dibakar oleh petani untuk mereduksi volume atau
menghasilkan residu hasil pembakaran untuk pupuk yang akan mengemisikan
CO2 yang berhubungan dengan pemanasan global sebagai gas rumah kaca
(Rashad et al., 2010) dan menimbulkan limbah baru berupa abu (ash) sisa dari
pembakaran. Jerami memiliki kandungan Kalium yang sangat baik untuk
kesuburan tanah. Kandungan Kalium yang terdapat pada 5 ton jerami setara
dengan 50 kg pupuk KCL (Balai Penelitian Pengkajian Pertanian, 2010).
Pemberian jerami ke tanah secara terus menerus dapat memperbaiki dan
meningkatkan kesuburan tanah.
Pemanfaatan jerami bisa dilakukan dengan cara mengolah jerami menjadi
kompos. Pengomposan menjadi strategi yang berharga untuk mendaur ulang
berbagai limbah organik. Pemanfaatan kompos memungkinkan pemulihan tanah
yang terdegradasi dan pengelolaan lahan pertanian berkelanjutan (Cayuela et al.,
2009). Pengomposan jerami telah dilakukan dengan mencampur pupuk kandang
(Li et al., 2008); limbah lumpur susu (Perez et al., 2009); ampas penggilingan
zaitun dan kotoran kelinci (Canet et al., 2008); okara dengan rock fosfat dan
kotoran kerbau (Rashad et al., 2010).
Dengan demikian, jerami bisa didaur ulang menjadi sesuatu yang
bermanfaat dan menerapkan prinsip pemanfaatan kembali limbah yang ada untuk
memenuhi kebutuhan unsur hara tanaman serta mengurangi polusi udara yang
disebabkan pembakaran jerami tersebut. Pengolahan jerami menjadi kompos
menggunakan teknik pengomposan sederhana yang dapat diterapkan petani di
lapangan. Pengomposan jerami dapat dilakukan dengan metoda aerob dan anaerob
(Pichtel, 2005; Snape et al., 1995; Stoffella and Kahn, 2001). Temperatur
merupakan salah satu parameter penting dalam pengomposan (Stoffella and Kahn,
2001). Analisis kompos perlu dilakukan untuk mengukur kandungan unsur hara
yang terdapat dalam kompos.
Analisis air dan lumpur dari sawah perlu dilakukan untuk melihat
pengaruh pemberian pupuk terhadap kualitas air irigasi dan lumpur dari sawah
tersebut. Penyusunan neraca massa limbah-kompos dilakukan untuk melihat
ketersediaan kompos yang dihasilkan dengan bahan dasar jerami. Pemanfaatan
3

jerami menjadi kompos diharapkan dapat mengurangi timbulnya polusi dari


kegiatan padi sawah sekaligus sebagai upaya penerapan pendekatan “zero waste
production management” sehingga akan terbentuk jalur pendek mata rantai
pemanfaatan limbah padi sawah.

1.2 Rumusan Masalah

Dari penjelasan latar belakang diatas, maka dapat disusun rumusan


masalah sebagai berikut:
1. Budidaya padi menggunakan pupuk kimia sintetik menyebabkan terjadinya
degradasi lahan dan timbulnya emisi gas rumah kaca ke atmosfer.
2. Degradasi lahan sawah menyebabkan produktivitas padi menurun.
3. Jerami merupakan limbah potensial yang berasal dari budidaya padi sawah.
4. Pembakaran jerami menimbulkan abu (ash) dan mengeluarkan emisi ke
atmosfer.
5. Jerami memiliki kandungan Kalium yang sangat tinggi yang apabila
dikembalikan ke lahan secara terus menerus akan menyuburkan tanah.
6. Pemanfaatan jerami bisa dilakukan dengan cara pengomposan.
7. Kompos sebagai penyedia unsur hara tanaman padi.
8. Pemanfaatan kompos bisa mensubstitusi penggunaan pupuk kimia sintetik.

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :


1. Menerapkan teknik pengomposan yang tepat yang dapat dilakukan oleh
petani.
2. Menganalisis mutu kompos yang dihasilkan dari jerami dan membandingkan
kualitasnya dengan Standar Nasional Indonesia (SNI 19-7030-2004).
3. Menganalisis pengaruh pemberian pupuk terhadap kualitas air irigasi dan
lumpur dari sawah.
4. Menyusun neraca massa limbah-kompos dalam sistem budidaya padi organik.
4

1.4 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran dari penelitian ini secara skematis disampaikan pada


Gambar 1. Budidaya padi menghasilkan limbah jerami yang sangat banyak.
Jerami mengandung kalium yang sangat tinggi dan sangat baik apabila
dikembalikan ke lahan secara terus menerus. Pemanfaatan jerami sebagai pupuk
untuk memenuhi unsur hara tanaman dapat dilakukan dengan cara pengomposan
jerami tersebut. Kompos yang dihasilkan akan menjadi input bagi lahan budidaya
padi sawah organik kembali.

Jerami

Budidaya padi Pengomposan

Lahan
pertanian Kompos
(sawah)

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian


5

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Manajemen Limbah

Limbah terdiri dari tiga bentuk yaitu cair, padat, dan gas. Ketiga bentuk ini
mempunyai hubungan putaran tertutup dalam konversinya. Limbah cair dan gas
yang dihasilkan dapat berubah menjadi limbah padat, ketika pembakaran limbah
padat dapat mengakibatkan produksi limbah cair dan gas (Murarka, 2000).
Limbah cair adalah kombinasi cairan atau limbah terlarut yang timbul dari
penggunaan air tanah, air permukaan dan air sungai baik penggunaan domestik
maupun industri (Snape et al., 1995). Metcalf and Eddy (2004) juga
menambahkan air limbah dapat didefinisikan sebagai kombinasi cairan atau air
limbah yang dikeluarkan dari tempat tinggal, lembaga, atau kawasan komersil dan
industri, bersama dengan air tanah, air permukaan dan sungai.
Limbah dalam bentuk gas adalah sebagai polutan di atmosfer yang
menyebabkan polusi udara. Polusi udara adalah senyawa kimia yang ditambahkan
ke atmosfer melalui kegiatan manusia yang mengakibatkan peningkatan
konsentrasi diatas ambang batas (Krupa, 1997).
Limbah padat adalah sampah, lumpur dan bahan-bahan padat buangan
yang dihasilkan dari operasi industri komersial dan dari kegiatan masyarakat,
tidak termasuk material padat atau terlarut pada saluran domestik atau polutan
pada sumber-sumber air, seperti endapan, padatan terlarut atau mengendap pada
keluaran air limbah industri, bahan terlarut pada aliran irigasi atau polutan air
lainnya (Pitchel, 2005).

2.2 Pengelolaan Limbah Padat

Pengelolaan limbah padat adalah sistematik dari kegiatan yang


menyediakan tempat pengumpul, pemisahan dari sumber, penyimpanan,
transportasi, pemindahan, proses, dan penangan pembuangan limbah padat. Hal
ini perlu dilakukan dan ditangani oleh semua pihak, baik perorangan maupun
kelompok karena berhubungan dengan estetika, penggunaan lahan, kesehatan,
polusi air, polusi udara, dan pertimbangan ekonomi (Salvato, 1992).
Menurut sumbernya, Pichtel (2005) mengklasifikasikan sebagian besar
limbah padat sebagai berikut: perkotaan, berbahaya, industri, medis, universal,
6

konstruksi dan pembongkaran, radioaktif, pertambangan, dan pertanian. Hal


senada juga diungkapkan Murarka (2000) yang menyebutkan bahwa rumah
tangga, perdagangan, industri, pertanian, pertambangan, dan aktivitas energi yang
berhubungan dengan semua sumber limbah padat merupakan sumber limbah, dan
yang paling besar kontribusinya adalah pengeboran tambang dan pertanian.
Hirarki penanganan limbah padat terdiri dari mengurangi jumlah limbah
dan tingkat toksisitasnya, menggunakan bahan kembali, mendaur ulang bahan,
mengomposkan, pembakaran dengan pemanfaatan kembali energinya,
pembakaran tanpa pemanfaatan energi, dan penimbunan limbah padat (USEPA
dalam Pitchel, 2005).

2.3 Pengomposan

Pengomposan diartikan sebagai proses biologi oleh kegiatan


mikroorganisme dalam mengurai bahan organik menjadi bahan semacam humus
dengan bahan yang terbentuk mempunyai berat dan volume yang lebih rendah
dari bahan dasarnya, stabil, dekomposisi lambat dan sumber pupuk organik
(Sutanto, 2002). Hal senada juga diungkapkan Pichtel (2005) yang menyatakan
pengomposan adalah sebuah aktivitas biologi dengan pengontrolan secara aerobik
dari limbah organik menjadi bentuk yang lebih kompleks dan stabil dimana hasil
akhirnya mempunyai nilai ekonomis yang biasa digunakan untuk pertanian dan
pertamanan.
Pengomposan bisa terjadi karena adanya mikroorganisme aktif yang
mengontrol proses pengomposan seperti bakteri, actynomicetes, jamur dan
protozoa (Stoffella and Kahn, 2001). Mikroorganisme ini secara alami tersedia
pada bahan organik termasuk limbah makanan, tanah, dedaunan dan limbah
organik lainnya (Pichtel, 2005).
Pengomposan dapat dilakukan dengan sistem aerobik dan sistem
anaerobik (Pichtel, 2005; Snape et al., 1995; Stoffella and Kahn, 2001).
Pengomposan sistem aerobik maksudnya mikroorganisme membutuhkan oksigen
(O2). Reaksi kimianya sebagai berikut:
Bahan organik + O2 + Bakteri aerob =>
CO2 + NH3 + Produk + Energi
7

Pengomposan anaerobik tidak memerlukan oksigen. Reaksi kimianya sebagai


berikut:
Bahan organik + Bakteri anaerob =>
CO2 + NH3 + Produk + Energi + H2S + CH4
Beberapa elemen penting yang perlu diperhatikan dalam pengomposan
adalah kandungan hara seperti Carbon (C), Nitrogen (N), Fosfor (P), Sulfur (S),
dan hara lainnya. Carbon berfungsi sebagai sumber energi, sedangkan nitrogen
untuk pertumbuhan populasi mikroba. Agar efektif, C/N ratio yang tepat
diperlukan untuk pengomposan yang efisien. Apabila C/N terlalu rendah, maka
akan kehilangan amonia (NH3), sedangkan jika C/N terlalu tinggi maka
pelambatan dekomposisi terjadi (Stoffella and Kahn, 2001).
Sutanto (2005) menambahkan nisbah C/N yang tinggi menunjukkan
mikrooganisme akan aktif memanfaatkan nitrogen untuk membentuk protein yang
apabila diaplikasikan ke dalam tanah maka mikroorganisme akan tumbuh dengan
memanfaatkan N-tersedia tanah, sehingga terjadi imobilisasi N. Sedangkan
apabila nisbah C/N rendah pada awal proses pengomposan maka nitrogen akan
hilang melalui proses volatilisasi ammonium.
Penambahan bahan dengan nisbah C/N >30:1 (jerami, lumpur
penggilingan kertas) dapat menyebabkan peningkatan pesat biomassa mikroba,
dan menipisnya ketersediaan N tanah ke titik dimana kekurangan N dapat terjadi
pada banyak tanaman. Sedangkan beberapa bahan organik (biosolid, kotoran
kandang) dengan nisbah C/N yang rendah harus dikelola dengan baik untuk
menghindari kehilangan N ke bagian sensitif dari lingkungan. Pengomposan
merupakan solusi yang efekif untuk menstabilkan N (Pierzynski et al., 2005).
Menurut Djaja (2008), prinsip dasar dari pengomposan adalah mencampur
bahan organik kering yang kaya karbohidrat dengan bahan organik basah yang
banyak mengandung N. Proses pengomposan dipengaruhi oleh 7 faktor (Pichtel,
2005; Djaja, 2008) yaitu :
1. Oksigen dan aerasi
Umumnya mikroba banyak mengonsumsi oksigen, sehingga diperlukan
pemasokan oksigen kedalam timbunan kompos dengan melakukan aerasi.
8

2. C:N ratio
Mikroba menggunakan C untuk energi dan pertumbuhan, sedangkan N
dan P penting untuk protein dan reproduksi.
3. Kandungan air
Kandungan air penting untuk menunjang proses metabolik mikroba, dan
sebaiknya bahan baku kompos mengandung 40 – 65 % air.
4. Porositas, struktur, tekstur, dan ukuran partikel
Porositas berkaitan dengan ukuran ruang udara bahan baku kompos.
Struktur mencakup kekerasan partikel. Tekstur berkaitan dengan
ketersediaan permukaan untuk aktivitas mikroba.
5. pH bahan baku
pH bahan baku kompos diharapkan berkisar 6,5 – 8.
6. Temperatur
Pengomposan terjadi pada temperatur mesofilik 10 – 40o C. Pengomposan
diharapkan berlangsung pada temperatur 43 – 65o C.
7. Waktu
Waktu pengomposan bergantung pada temperatur, kelembaban, frekuensi
aerasi, dan kebutuhan konsumen. C/N ratio dan frekuensi aerasi adalah
cara memperpendek periode pengomposan.
Berdasarkan aktivitas mikroba, proses pengomposan dibagi dalam 4 fase.
Yang pertama adalah fase mesofilik, dimana bakteri yang dominan adalah bakteri
mesofilik. Hal ini menyebabkan mikroba aktif dan menimbulkan panas sehingga
tamperatur tumpukan kompos meningkat. Ketika temperatur melebihi 45oC maka
bakteri yang berperan adalah bakteri termofilik pada fase termofilik. Peningkatan
aktivitas mikroba dapat menyebabkan temperatur meningkat ke 65-70oC. Dengan
penurunan cadangan makanan, menyebabkan aktivitas bakteri berkurang dan
menurunkan temperatur tumpukan, yang disebut dengan fase mesofilik kedua.
Setelah suplai makanan habis maka temperatur akan turun sehingga sama dengan
suhu ambien, dan menandakan pengomposan sampai pada fase matang (Stoffella
and Kahn, 2001).
Pengomposan menggunakan kotoran yang sudah lama lebih lambat
dibandingkan dengan kotoran yang masih baru. Setelah hari pertama
9

pengomposan dimulai, temperatur pengomposan yang menggunakan kotoran yang


sudah lama akan naik secara perlahan, lebih lambat dari pengomposan yang
menggunakan kotoran yang masih segar (Li et al., 2008).

2.4 Pertanian Organik dan Berkelanjutan

Pertanian organik adalah teknik budidaya pertanian yang mengandalkan


bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan-bahan kimia sintetis. Tujuan utama
pertanian organik adalah menyediakan produk-produk pertanian, terutama bahan
pangan yang aman bagi kesehatan produsen dan konsumennya serta tidak
merusak lingkungan (Litbang Deptan, 2002).
Sutanto (2002) menambahkan bahwa pertanian organik diartikan sebagai
suatu sistem produksi pertanaman yang berdasarkan daur-ulang secara hayati,
dapat melalui sarana limbah tanaman ternak, serta limbah lainnya yang mampu
memperbaiki status kesuburan dan struktur tanah.
Sejalan dengan tidak merusak lingkungan, maka hal ini juga berkaitan
dengan pertanian berkelanjutan. Reijntjes et al. (1992) menyebutkan bahwa
pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya yang berhasil untuk
usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus
mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumber
daya alam.
Reijntjes et al. (1992) menyatakan bahwa pertanian bisa disimpulkan
berkelanjutan jika mencakup hal-hal sebagai berikut :
Mantap secara ekologis, yang berarti bahwa kualitas sumber daya alam
dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan
ditingkatkan.
Bisa berlanjut secara ekonomis, yang berarti bahwa petani bisa cukup
menghasilkan untuk pemenuhan kebutuhan dan/atau pendapatan sendiri,
serta mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk mengembalikan
tenaga dan biaya yang dikeluarkan.
Adil, yang berarti bahwa sumber daya dan kekuasaan didistribusikan
sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua angggota masyarakat
10

terpenuhi dan hak-hak mereka dalam penggunaan lahan, modal yang


memadai, bantuan teknis serta peluang pemasaran terjamin.
Manusiawi, yang berarti bahwa semua bentuk kehidupan (tanaman,
hewan, dan manusia) dihargai.
Luwes, yang berarti bahwa masyarakat pedesaan mampu menyesuaikan
diri dengan perubahan kondisi usahatani yang berlangsung terus, misalnya
pertambahan jumlah penduduk, kebijakan, permintaan pasar, dan lain-lain.

2.5 Pengaruh Pupuk Organik

Sifat tanah sangat dipengaruhi oleh bahan organik. Tanah yang kaya bahan
organik bersifat lebih terbuka sehingga aerasi tanah lebih baik dan tidak mudah
mengalami pemadatan, serta relatif lebih sedikit hara yang terfiksasi mineral tanah
sehingga yang tersedia bagi tanaman lebih besar (Sutanto, 2005).
Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari sisa-sisa tanaman, hewan
atau manusia seperti pupuk kandang, pupuk hijau dan kompos baik cair maupun
padat. Pupuk organik mengandung unsur hara makro dan mikro yang diperlukan
oleh tanaman, serta memiliki manfaat dapat memperbaiki kesuburan kimia, fisik
dan biologis tanah (Setyorini, 2005).
Sumber pupuk organik dapat berasal dari kotoran hewan, bahan tanaman
dan limbah, misalkan pupuk kandang (ternak besar dan kecil), hijauan tanaman
rerumputan, semak, perdu dan pohon, limbah pertanaman (jerami padi, batang
jagung, sekam padi dll), dan limbah agroindustri (Sutanto, 2002). Hal senada,
Setyorini (2005) juga menjelaskan bahwa pupuk organik dapat dibuat dari
berbagai jenis bahan, antara lain: sisa penen (jerami, brangkasan, tongkol jagung,
bagas tebu, sabut kelapa), serbuk gergaji, kotoran hewan, limbah media jamur,
limbah pasae, limbah rumah tangga, dan limbah pabrik serta pupuk hijau.
Simanungkalit et al. (2006) menyatakan bahwa bahan/ pupuk organik
sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian, baik kualitas maupun
kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan
secara berkelanjutan, serta penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang
dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi lahan.
11

Pupuk organik berupa kompos jerami dan pupuk kandang dapat


meningkatkan serapan hara N, tetapi efisiensi pemanfaatan hara N dan aktivitas
reduktase daun serta hasil gabahnya relatif lebih rendah dibandingkan pupuk
buatan. Meningkatkan takaran pupuk N sampai dengan 50 % dapat meningkatkan
komponen fisiologi dan hasil tanaman (Iqbal, 2008).
Selanjutnya Iqbal (2008) juga menjelaskan bahwa peningkatan takaran
pupuk N pada pupuk organik, pada umumnya meningkatkan jumlah gabah
pertanaman, bobot 100 butir gabah, kandungan protein dan kandungan pati dalam
gabah. Pengaruh pemberian pupuk organik dan taraf pupuk N terhadap hasil dan
kualitas tanaman padi sawah dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh pemberian pupuk organik dan taraf pupuk N terhadap hasil dan
kualitas tanaman padi sawah
Perlakuan Jumlah Bobot % Bobot Kandungan Kandungan
Gabah Gabah (g) Gabah 100 Protein (%) Pati (%)
isi Gabah (g)
Kontrol 1942,11 47,93 85,1 25,51 7,11 72,65
Jerami

0%N 723,44 15,82 87,05 24,69 7,19 73,66


25 % N 964,72 23,7 94,43 25,16 6,87 73,87
50 % N 1387,44 33,75 92,69 25,22 7,26 74,3
75 % N 1574,89 34,26 81,84 25,43 7,39 73,82
Pupuk Kandang
0%N 807,45 16,44 95,1 24,62 7,69 74,16
25 % N 1018,56 23,86 93,02 25,19 7,27 73,52
50 % N 1467,33 35,15 94,33 25,32 7,55 74,15
75 % N 1633,56 35,8 84,79 25,07 6,92 73,01
Sumber : Iqbal (2008)
Pupuk kandang yang akan diberikan pada budidaya sawah, harus terlebih
dahulu mengalami dekomposisi. Pupuk kandang disebar merata diatas permukaan
tanah sebelum pengolahan tanah, dan selanjutnya dilakukan pembajakan. Jumlah
pupuk kandang yang diberikan antara 5–10 ton/ha tergantung pada kesuburan
tanah (Souri, 2001).
Kompos merupakan produk pembusukan dari limbah tanaman dan hewan
hasil perombakan oleh fungi, aktinomiset, dan cacing tanah (Simanungkalit et al.,
12

2006). Hal ini juga dijelaskan dalam SNI 19-7030-2004 yang menyebutkan
bahwa kompos adalah bentuk akhir dari bahan-bahan organik sampah domestik
setelah mengalami dekomposisi.
Menggunakan kompos memiliki beberapa keuntungan, antara lain
meningkatkan dinamika air tanah termasuk infiltrasi, perkolasi dan kapasitas air,
sehingga hal ini dapat mengurangi kebutuhan irigasi dan potensi yang terkait
dengan pencucian unsur hara. Nutrisi secara perlahan dilepaskan dari waktu ke
waktu sehingga meningkatkan kesempatan tanaman untuk mengambil nutrisi
tersebut dan mengurangi masalah pencemaran air (US Composting Council,
2008).
Kebanyakan kompos terlalu rendah nutrisinya untuk digunakan sebagai
pupuk, tetapi karena nutrisi tersebut terikat secara organik, kompos jauh lebih
rentan terhadap pencucian hara dari pupuk terlarut dan karena itu sering
digunakan sebagai pengkondisian tanah (Snape et al., 1995).

2.6 Peranan Pupuk pada Padi

Salah satu penyebab penurunan produktivitas atau rendahnya peningkatan


produksi padi sawah disebabkan oleh rendahnya produktivitas tanah dan efisiensi
pemupukan (Mario et al., 2008). Pupuk mempunyai peranan penting terhadap
produksi dan pertumbuhan tanaman (Rauf et al., 2000) antara lain:
Peranan Unsur N
Unsur N merupakan unsur yang paling cepat kelihatan pengaruhnya terhadap
tanaman. Peran utama unsur ini adalah:
o Merangsang pertumbuhan vegetatif (batang dan daun)
o Meningkatkan jumlah anakan
o Meningkatkan jumlah bulir/ rumpun
Peranan Unsur P
Fungsi fosfor dalam tanaman adalah sebagai berikut:
o Memacu terbentuknya bunga, bulir dan malai
o Menurunkan aborsitas
o Perkembangan akar halus dan akar rambut
o Memperkuat jerami sehingga tidak mudah rebah
13

o Memperbaiki kualitas gabah


Peranan Unsur K
Peranan utama kalium dalam tanaman ialah sebagai dekomposer berbagai
enzim. Adanya kalium yang tersedia dalam tanah menyebabkan:
o Ketegaran tanaman terjamin
o Merangsang pertumbuhan akar
o Tanaman lebih tahan terhadap hama dan penyakit
o Memperbaiki kualitas bulir
o Dapat mengurangi pengaruh kematangan yang dipercepat oleh fosfor
o Mampu mengatasi kekurangan air pada tingkat tertentu
Souri (2001) menjelaskan bahwa penggunaan pupuk kandang pada lahan
bukaan baru dapat meningkatkan hasil padi. Pelaksanaan pengujian dilakukan
pada petakan sawah yang sangat porus, lapisan olah sangat tipis, dan kandungan
bahan organik yang rendah. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil pengujian pupuk kandang pada budidaya padi sawah di lahan
bukaan baru.
Takaran Pemupukan (kg/ha) Produktivitas (t/ha)
Urea SP – 36 KCL Pupuk Kandang
200 100 50 - 3,21
200 100 50 5.000 3,92
200 100 50 10.000 4,28
200 100 50 15.000 4,42
200 100 50 20.000 4,5
Percobaan Pada Lokasi Lain
200 100 50 - 3,71
200 100 50 10.000 5,35
- - - 10.000 4,53
200 - - 10.000 5,83
Sumber: Souri(2001)
14

2.7 Jerami

Jerami adalah bahan organik yang banyak tersedia dari kegiatan budidaya
padi sawah (Doberman and Fairhurst, 2002). Jerami memiliki kandungan kalium
yang sangat baik untuk kesuburan tanah. Pemberian jerami ke tanah secara terus
menerus dapat memperbaiki dan meningkatkan kesuburan tanah. Kandungan
kalium yang terdapat pada 5 ton jerami setara dengan 50 kg pupuk KCL (BPTP,
2010). Kandungan unsur hara dari jerami dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan hara jerami


Unsur hara Kandungan hara Satuan
N organik 0,957 %
C organik 49,2 %
C/N ratio 51,2
Natrium (Na) 0,028 %
Fosfor (P2O5) 2,48 %
Potasium (K20) 0,143 %
MgO 0,129 %
CaO 0,566 %
Fe 420 mg/kg
Mn 62,8 mg/kg
Cu 3,6 mg/kg
Zn 18,9 mg/kg
Cd <3 mg/kg
Ni 8,59 mg/kg
Pb <5 mg/kg
Cr 6,29 mg/kg
Sumber : Canet et al. (2008)

Sutanto (2002) menambahkan bahwa jerami merupakan sumber hara


makro yang baik karena tersedia langsung di lahan usahatani dimana 1,5 ton
jerami sama dengan 1 ton gabah kering dan mengandung 9 kg N, 2 kg P dan S, 25
kg Si, 6 kg Ca dan 2 kg Mg.
15

Untuk mempercepat hilangnya limbah jerami, petani sering membakar


jerami tersebut (BPTP, 2010), ataupun membawa jerami keluar lahan usaha untuk
dimanfaatkan sebagai bahan bakar, makanan ternak, bahan dasar biogas, media
jamur merang maupun dijual untuk bahan basah industri kertas (Sutanto, 2002).
Pembakaran jerami menyebabkan hilangnya seluruh kandungan unsur Natrium,
25 % unsur Fosfor, 20 % unsur Kalium, 5-60 % unsur Sulfur (Doberman and
Fairhurst, 2002).
Jerami banyak dibakar oleh petani untuk mereduksi volume limbah
dimana kegiatan ini akan mengemisikan gas CH4, N2O, NOx, dan CO (Deptan,
2007). Salah satu pencegahan agar petani tidak melakukan pembakaran terhadap
jerami adalah dengan cara pengomposan (Li et al., 2008; Sutanto, 2002).
Pengomposan jerami dengan pengayaan 10 % rock fosfat dan beberapa
limbah agro-industri seperti limbah kacang kedelai, bisa menjadi metode alternatif
dalam pengelolaan limbah pertanian, dan kompos yang dihasilkan dapat
digunakan pada pertanian organik (Rashad et al., 2010). Pencacahan jerami
dibutuhkan sebelum mempersiapkan campuran agar proses pengomposan berjalan
dengan baik dan menjamin kualitas kompos pada kondisi baik (Perez et al., 2009).
Jerami padi ditambah kotoran ayam ataupun kotoran kambing dapat
dijadikan kompos. Kegiatan pengelolaan limbah pertanian berupa jerami
dilakukan dengan tujuan memanfaatkan kembali produksi limbah pertanian yang
kurang bermanfaat, memperkecil biaya pengelolaan limbah pertanian, mengurangi
jarak transportasi limbah pertanian, meningkatkan nilai tambah limbah pertanian
(Yuwono et al., 2011).

2.8 Neraca Massa

Neraca massa adalah cabang keilmuwan yang mempelajari kesetimbangan


dalam sebuah sistem. Massa yang masuk ke dalam suatu sistem akan keluar
meninggalkan sistem tersebut atau terakumulasi di dalam sistem. Akumulasi
massa dapat bernilai negatif atau positif.
Pengomposan jerami merupakan suatu usaha mengubah bentuk limbah
padat menjadi pupuk yang lebih bermanfaat bagi tanaman. Massa dari jerami
dengan basis kering akan diakumulasikan dengan massa kompos yang dihasilkan.
16

Selanjutnya diperhitungkan massa kompos yang akan diaplikasikan ke sawah dan


massa kompos untuk peruntukan lain. Dari akumulasi kompos tersebut maka akan
disusun neraca massa limbah-kompos.
17

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di lokasi persawahan dan rumah kompos Dept.


Teknik Sipil dan Lingkungan IPB di Kelurahan Margajaya, Kec. Bogor Barat,
Kota Bogor. Analisis kualitas kompos dilakukan di Balai Penelitian Tanah,
Kementerian Pertanian. Pengujian kualitas air irigasi dan lumpur dilakukan di
Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) IPB. Penelitian dilaksanakan dari
bulan April 2010 sampai dengan Juni 2011.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah mesin pemotong


(chopper), moisture tester merk Crown, termometer, timbangan pegas, sekop,
cangkul, ember, spidol, karung, alat tulis, gelas takar 1 liter, botol sampel 1 liter
dan 500 ml, plastik, kertas label, sendok, seperangkat peralatan uji kandungan
hara kompos, dan seperangkat alat pengujian kualitas air irgasi dan lumpur.
Bahan yang digunakan adalah benih padi, sawah percobaan dan pupuk
organik, jerami, kotoran kambing, kotoran ayam, dan EM-4. Bahan analisis air
irigasi dan lumpur serta analisis kandungan unsur hara kompos adalah
seperangkat bahan uji kualitas air irigasi dan lumpur serta kualitas kompos.

3.3 Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilakukan dalam beberapa tahapan kerja, yaitu pengomposan


jerami, analisis kompos dan justifikasi kualitas kompos, analisis kualitas air irigasi
dan lumpur, serta penyusunan neraca massa limbah-kompos. Bagan alir penelitian
secara skematis disajikan pada Gambar 10. Masing-masing tahapan kerja tersebut
akan diuraikan sebagai berikut ini.

3.3.1 Pengomposan Jerami

Pengomposan dilakukan menggunakan jerami sebagai bahan baku dari


kompos yang dihasilkan. Hal yang pertama dilakukan adalah penyediaan jerami
dan dekomposer ke areal rumah kompos yang tersedia. Pengomposan dilakukan
18

dengan metoda aerobik dan anaerobik. Pengamatan temperatur dilakukan untuk


menentukan waktu akhir proses pengomposan.

3.3.1.1 Pengomposan jerami metoda aerobik

Pengomposan jerami menggunakan metoda aerobik dilakukan dengan


mencampurkan jerami dan dekomposer dan kemudian mengkondisikannya agar
mengalami biodegradasi dengan penambahan oksigen untuk mempercepat
prosesnya. Pengomposan metoda aerobik menggunakan sistem terbuka yaitu
tumpukan (turned piles), windrow (turned windrow), tumpukan yang diberikan
oksigen (aerasi), dan pengomposan dalam silinder.
Pada pengomposan sistem tumpukan yang diberi oksigen, pemberian
oksigen dilakukan melalui para-para (tunnel) yang diletakkan di bawah tumpukan
campuran. Pembuatan tunnel menggunakan bahan belahan bambu dengan
kerangka kayu kaso 5/7 dan dilapisi kasa aluminium halus. Para-para (tunnel)
ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Para-para (tunnel) aerasi


19

Pengomposan sistem silinder dilakukan dengan menggunakan jaring


(kasa) yang mempunyai mesh 0,5 cm dengan cara membungkus jerami dan
kotoran hewan sedemikian rupa sehingga membentuk silinder. Agar tetap
menjaga kondisi stabil dari campuran tersebut, maka silinder diikat menggunakan
tali karet. Teknik pengomposan sistem silinder dimaksudkan agar pembalikan
kompos menjadi lebih mudah dengan memanfaatkan posisi silinder yang tidak
stabil. Teknik pengomposan sistem silinder ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Pengomposan sistem silinder

Jerami yang digunakan berupa cacahan dan yang tidak dicacah.


Pencacahan menggunakan mesin pemotong (chopper) dengan ukuran 0,5-5 mm.
Beberapa cara pengomposan yang dilakukan adalah (1) sistem tumpukan (jerami
cacah tanpa campuran, jerami cacah dengan kotoran ayam, jerami cacah dengan
kotoran kambing), (2) sistem aerasi (jerami cacah dengan EM4, jerami cacah
dengan kotoran ayam, jerami cacah dengan kotoran kambing dan jerami tanpa
cacah dengan kotoran kambing), (3) sistem windrow (jerami tanpa cacah), dan (4)
sistem silinder (jerami tanpa cacah dengan kotoran kambing).
Untuk menjaga kelembaban dari campuran homogen tersebut dilakukan
penyiraman dan pembalikan untuk mendapatkan proses aerobik dari kompos
tersebut, yang dilakukan dua atau tiga hari sekali. Penyiraman dan pembalikan
20

tumpukan dilakukan secara terus menerus sampai kompos matang. Secara


skematis pengomposan aerobik disajikan pada Gambar 4.
Dekomposer
1. kot. Ayam
2. kot. Kambing
3. EM4
Pengomposan
Jerami 1. Tumpukan
Campuran Penyiraman dan
1. cacah 2. Aerasi
homogen pembalikan
2. tidak cacah 3. Windrow
4. Silinder

Kompos halus Penyaringan Kompos matang

Gambar 4. Skema pengomposan aerobik

3.3.1.2 Pengomposan jerami metoda anaerobik

Pengomposan dengan kondisi anaerobik dilakukan dengan mencampurkan


jerami yang tidak dicacah dengan kotoran kambing. Campuran lalu (1)
dimasukkan ke dalam tong yang tertutup rapat (Gambar 5), dan (2) campuran
diletakkan di atas tanah dan ditutup rapat dengan plastik terpal (Gambar 6). Pada
kedua cara ini ditentukan titik-titik pengamatan temperatur kompos. Sebelum
dimasukkan kedalam tempat pengomposan, campuran tersebut disiram dengan
sejumlah air guna menjaga kelembaban campuran. Secara skematis, pengomposan
dalam kondisi anaerobik disajikan pada Gambar 7.

Gambar 5. Pengomposan di dalam tong


21

Gambar 6. Pengomposan di dalam terpal

Campuran Pengomposan
Jerami bahan kompos 1. Di dalam Kompos matang Penyaringan
disiram tong
2. Di atas tanah
menggunakan
terpal
Kotoran
Kompos halus
kambing

Gambar 7. Skema pengomposan anaerobik

3.3.2 Analisis Unsur Hara dan Mutu Kompos

Analisis kompos yang sudah matang dilakukan untuk mendapatkan


kandungan unsur hara makro dan mikro dari pupuk kompos tersebut. Pemberian
pupuk bertujuan untuk memenuhi kebutuhan unsur hara tanaman padi pada
persawahan organik. Dengan adanya analisis tersebut, didapatkan nilai kandungan
unsur hara yang terkandung dari pupuk kompos yang dihasilkan.
Hasil analisis kandungan unsur hara kompos dibandingkan dengan kriteria
pupuk organik yang dikeluarkan oleh pemerintah, yaitu Standar Nasional
Indonesia tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik (SNI 19-
7030-2004). Hasil analisis kandungan unsur hara dari kompos yang dihasilkan
harus memenuhi nilai yang dipersyaratkan oleh SNI 19-7030-2004 (Lampiran 1).
22

Secara skematis analisis kandungan unsur hara makro dan mikro kompos serta
justifikasi kualitas kompos disajikan pada Gambar 8.
Kandungan
Analisis pupuk
Pengomposan unsur hara
kompos
pupuk

Perbandingan
dengan standar
kualitas kompos

Kualitas kompos Pupuk


memenuhi SNI? sesuai SNI
tidak ya

Gambar 8. Skema analisis kompos dan justifikasi kualitas kompos

3.3.3 Analisis Kualitas Air Irigasi dan Lumpur

Pemberian pupuk pada petakan sawah berpengaruh terhadap kualitas air


irigasi dan lumpur. Pengamatan unsur hara yang terkandung di sawah dilakukan
dengan sampling air dan lumpur pada tiga titik pengamatan, yaitu inlet, center,
dan outlet. Hal ini untuk melihat jumlah zat yang terkandung di air irigasi dan
lumpur. Pengukuran sampel air irigasi dan lumpur dilakukan 3 kali dalam satu
masa budidaya, yaitu pertama pada waktu lahan akan ditanam sebelum diberi
pupuk, kedua pada pertengahan masa budidaya (± 50 hst) dan ketiga pada akhir
masa budidaya padi (± 100 hst).
Setelah dilakukan pengujian di laboratorium didapatkan data jumlah unsur
hara yang terkandung pada air irigasi dan lumpur tersebut. Dari data-data ini
dilakukan analisis antara kandungan unsur hara kompos yang dihasilkan dengan
data kualitas air irigasi dan lumpur.

3.3.4 Penyusunan Neraca Massa Limbah-Kompos

Neraca massa limbah-kompos dilakukan untuk mengevaluasi jumlah


jerami yang digunakan untuk memproduksi kompos dan banyaknya kompos yang
dihasilkan serta pemanfaatannya. Kompos yang dihasilkan akan diaplikasikan
kembali ke sawah dan sisanya untuk peruntukan yang lain. Proses penyusunan
23

neraca massa limbah-kompos disajikan secara skematis pada Gambar 9.


Pengomposan jerami dilakukan dengan menambahkan kotoran kambing atau
kotoran ayam dengan kadar air yang sama sebagai dekomposernya dengan
perbandingan 1:1.

Massa jerami
Pengomposan Kompos
(basis kering)

Sistem
Budidaya Padi Peruntukan lain
organik

Gambar 9. Skema penyusunan neraca massa limbah-kompos


24

B
Analisis air irigasi Lahan pertanian Analisis mutu
Budidaya padi
dan lumpur (sawah) kompos

Pembandingan
Hasil analisis air
dengan baku mutu
irgasi dan lumpur Jerami
(SNI 19-7030-
2004)

Kompos
Tidak sesuai SNI
Pengomposan memenuhi
standar? Tidak

Ya

Neraca massa
Kompos Sesuai SNI
limbah-kompos

Zero Waste Production Management

aGambar 10. Bagan alir penelitian


24
25

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rumah kompos Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Institut


Pertanian Bogor terletak di Kampung Gardu Dalam, Kelurahan Margajaya, Kec.
Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa Barat. Rumah kompos berada pada ketinggian
188 mdpl dengan koordinat geografis 6°34'13.76" LS dan 106°44'55.48" BT.
Sawah percobaan yang dimanfaatkan untuk melakukan budidaya padi organik
berada bersebelahan dengan rumah kompos.
Budidaya padi organik dilakukan dengan menggunakan bibit padi varietas
Ciherang. Bibit padi disemaikan dan ditanam di areal sawah percobaan seluas
452,76 m2. Aplikasi pupuk sawah menggunakan pupuk kandang dari kotoran
kambing dengan dosis 7 ton/ha. Kandungan unsur hara pupuk kandang disajikan
pada Tabel 4.

Tabel 4. Kandungan unsur hara pupuk kandang (kotoran kambing)


No Kandungan hara Nilai kandungan hara Satuan
kotoran kambing
1 C-organik 7,33 %
2 N total 0,55 %
3 P2O5 0,44 %
4 K2O 0,32 %
5 CaO 2,00 %
6 MgO 0,44 %
7 Fe 0,77 %
8 Mn 0,053 %
9 Zn 152 ppm
10 Co 3 ppm

Budidaya padi dilakukan dengan 3 kali penanaman, yaitu April s.d. Juni
2010 (penanaman I), September s.d. Desember 2010 (penanaman II), dan Maret
s.d. Juni 2011 (penanaman III). Panen padi yang dilakukan pada 100 hari setelah
tanam (HST) menghasilkan gabah dan jerami dapat dilihat pada Gambar 11.
26

16

14

12
produktivitas (ton/ha)

10

8 Gabah

6 Jerami

0
Penanaman I Penanaman II Penanaman III

Gambar 11. Produktivitas gabah dan jerami budidaya padi organik

Dari Gambar 11 dapat dilihat hasil produksi pada penanaman I sebesar 4,8
ton/ha gabah dan 14,1 ton/ha jerami. Produksi ini termasuk tinggi pada masa itu
karena adanya pengaruh anomali cuaca yang terjadi di beberapa daerah di
Indonesia. Pada masa penanaman II produksi gabah menurun menjadi 1,6 ton/ha
dan jerami 12 ton/ha. Pada penanaman III hasil gabah menjadi 4,1 ton/ha dan
jerami 11,4 ton/ha.
Jerami dari ketiga penanaman padi menunjukkan kecenderungan menurun
dari musim tanam pertama. Hal ini dikarenakan pola penanaman benih padi yang
tidak beraturan, sehingga pada beberapa titik terlihat kosong dan ada beberapa
titik yang renggang. Produktivitas gabah yang dihasilkan juga menurun pada
penanaman kedua. Selain adanya pengaruh anomali cuaca pada waktu penanaman
tersebut, penurunan bobot gabah juga disebabkan adanya gangguan burung yang
memakan gabah padi serta adanya gabah yang kosong dan rontok pada saat
budidaya padi.

4.1 Kompos Jerami

Kematangan kompos jerami sebagai produk akhir dari pengomposan


ditandai dengan perubahan bentuk yang menyerupai dan berbau tanah, warna
yang berubah menjadi kehitaman dan suhu yang hampir sama dengan suhu
lingkungan. Pengukuran temperatur pada kompos dilakukan untuk melihat masa
27

biodegradasi bahan organik oleh mikroorganisme. Pengukuran temperatur pada


metoda aerob dilakukan pada sistem tumpukan, aerasi dan silinder. Pengukuran
temperatur pada metoda aerobik dijelaskan pada bagian berikut.
Perubahan temperatur pada sistem tumpukan (Gambar 12), jerami cacah
dengan kotoran ayam dan jerami cacah dengan kotoran kambing menunjukkan
kecenderungan penurunan dari awal pengomposan. Jerami cacah dengan kotoran
ayam mencapai temperatur maksimum 47oC sedangkan jerami cacah dengan
kotoran kambing mencapai temperatur 42oC pada awal pengomposan dan turun
pada hari berikutnya. Temperatur kemudian naik kembali pada hari ke-7, tetapi
kemudian menunjukkan kecenderungan turun sampai hari ke-48. Setelah itu
temperatur cenderung stabil.
Pada pengomposan jerami cacah tanpa campuran, temperatur awalnya
mencapai 35oC, tetapi kemudian turun pada hari ke-4 menjadi 32oC. Setelah hari
ke-20, temperatur menunjukkan kecenderungan meningkat hingga mencapai
41oC, tetapi kemudian turun kembali. Temperatur menunjukkan kecenderungan
datar (stabil) mulai hari ke-48. Sampai hari ke-58, terlihat bahwa pada
pengomposan dengan sistem tumpukan temperatur kompos sudah mulai stabil.

50 Jerami cacah tanpa


campuran
45
Jerami cacah dengan
Temperatur (oC)

kot. ayam
40
Jerami cacah dengan
kot. kambing
35

30

25
0 10 20 30 40 50 60
Waktu (hari)

Gambar 12. Temperatur sistem tumpukan

Dari Gambar 12 dapat dilihat pola perubahan temperatur antara jerami


cacah dengan kot. ayam/kambing berbeda dengan jerami cacah tanpa campuran.
Pada awal pengomposan jerami cacah dengan kot. ayam/kambing mencapai
temperatur diatas 40oC. Penambahan campuran berupa kot. ayam dan kot.
28

kambing dimana pada kedua bahan tersebut terdapat bakteri aerobik yang
membutuhkan carbon (C) sebagai bahan makanannya. Pencampuran dekomposer
dengan jerami menyebabkan bakteri yang ada pada kotoran tersebut melakukan
aktivitas mikroorganisme dengan mendegradasi bahan organik yang terdapat pada
jerami.
Aktivitas mikroorganisme menyebabkan meningkatnya temperatur dari
campuran homogen tersebut. Sedangkan pada jerami cacah tanpa campuran hanya
mengandalkan bakteri yang terdapat pada jerami, sehingga peningkatan
temperatur lebih lambat dari kedua campuran yang lainnya. Bakteri
mikroorganisme juga mendapat suplai oksigen dari proses pembalikan campuran
kompos yang dilakukan dua atau tiga hari sekali sekaligus pemberian air untuk
menjaga kelembabannya. Dengan tersedianya bahan organik, oksigen, dan bakteri
aerobik maka terjadi biodegradasi pada campuran tersebut.
Perubahan temperatur pada sistem aerasi (Gambar 13), baik untuk
campuran jerami cacah dengan kotoran ayam maupun untuk campuran jerami
cacah dengan kotoran kambing menunjukkan kecenderungan yang sama, dengan
kedua campuran tersebut pada sistem tumpukan.

45
Jerami cacah dengan EM4

40 Jerami cacah dengan kot.


ayam
Temperatur (oC)

Jerami cacah dengan kot.


35 kambing
Jerami dengan kot. kambing
30

25

20
0 10 20 30 40 50 60
Waktu (hari)
Gambar 13. Temperatur sistem aerasi

Pada Gambar 14 dapat dilihat temperatur awal jerami cacah dengan


kotoran kambing mencapai 42oC, lebih tinggi dari jerami cacah dengan kotoran
ayam yang hanya mencapai 38oC. Kemudian kedua campuran menunjukkan
kecenderungan penurunan temperatur dan mulai stabil pada hari ke-48. Pada
29

jerami cacah dengan campuran EM4, temperatur awal mencapai 34oC, kemudian
turun dan mulai menunjukkan kenaikan temperatur mencapai 36oC pada hari ke-
18. Setelah hari ke-20, grafik menunjukkan kecenderungan penurunan temperatur
dan mulai stabil pada hari ke-48. Sedangkan jerami tanpa cacah dengan kotoran
kambing menunjukkan perubahan grafik yang relatif datar dari awal
pengomposan.
Seperti halnya campuran kompos pada sistem tumpukan, dari Gambar 14
dapat dilihat bahwa campuran jerami cacah dengan kot. ayam/kambing memiliki
pola yang sama dengan campuran jerami dengan kot. ayam/kambing pada sistem
tumpukan. Pada dasarnya, tumpukan jerami memiliki panas yang mempengaruhi
peningkatan temperatur pada campuran kompos.
Tingkat kepadatan campuran homogen juga mempengaruhi temperaturnya.
Pengaruh kepadatan tumpukan dapat dilihat pada temperatur campuran jerami
tidak dicacah dengan kot. kambing menunjukkan grafik yang relatif datar dari
awal pengomposan. Kondisi campuran yang lebih renggang dari campuran
lainnya menyebabkan temperaturnya tidak mengalami peningkatan. Namun
campuran tersebut tetap menjadi kompos dikarenakan adanya proses pembalikan
dan pemberian air serta suplai oksigen dari tunnel sehingga bakteri dapat
melakukan aktivitas biodegradasi.

39
di luar naungan
37
Temperatur (oC)

35
di dalam naungan
33
31
29
27
25
0 10 20 30 40
Waktu (hari)

Gambar 14. Temperatur sistem silinder

Pada Gambar 14 dapat dilihat temperatur pengomposan campuran jerami


dengan kotoran kambing menggunakan teknik pengomposan silinder yang
30

diletakkan di dalam naungan menunjukkan perubahan temperatur yang stabil.


Pada awal pengomposan, temperatur berada pada temperatur 34oC dan naik
menjadi 35oC pada hari kedua dan stabil sampai hari kelima dan mulai
menunjukkan penurunan temperatur yang bergerak perlahan dan mulai stabil pada
hari ke-24 sampai hari ke-36.
Pada pengomposan silinder di luar naungan pada umumnya temperatur
pengomposan lebih rendah dibandingkan dengan yang berada di dalam naungan.
Pada awal pengomposan, temperatur mencapai 32oC dan naik menjadi 34oC dan
turun ke 32oC pada hari ke-4, kemudian naik ke 34,5oC dan setelah hari ke-9
menunjukkan penurunan yang tajam sampai hari ke-15, kemudian grafik
manunjukkan perubahan temperatur yang relatif datar. Hal ini dikarenakan
campuran kompos pada silinder yang di luar naungan lebih banyak mendapatkan
air dari air hujan yang turun, sehingga membuat campuran kompos menjadi lebih
lembab. Temperatur mulai bergerak stabil pada hari ke-24 sampai hari ke-36.
Pengomposan dengan bentuk silinder diharapkan untuk memperoleh
kemudahan dalam hal pembalikan kompos. Pengukuran gaya yang dibutuhkan
untuk membalik kompos dilakukan tiga kali. Hasil pengukuran gaya dapat dilihat
pada Gambar 15.

250

200
Gaya (N)

150

100 di luar naungan


di dalam naungan
50

0
23/11/10 28/11/10 03/12/10 08/12/10 13/12/10 18/12/10
Tanggal pengukuran

Gambar 15. Gaya yang dibutuhkan untuk membalik kompos berbentuk silinder

Dari Gambar 15 dapat dilihat bahwa gaya yang dibutuhkan untuk


membalik kompos menunjukkan kecenderungan peningkatan gaya dari
pengukuran gaya yang pertama. Hal ini dikarenakan pemadatan yang terjadi
31

karena proses biodegrdasi, dan permukaan bawah pengomposan silinder yang rata
dengan lantai penopangnya. Material yang digunakan dalam proses pengomposan
berubah bentuk seiring dengan proses degradasi material kompos yang ada di
dalamnya.
Hal yang berbeda terlihat pada proses pengomposan metoda anaerob.
Bahan yang digunakan pada pengomposan anaerob ini adalah jerami yag tidak
dicacah dicampur dengan kotoran kambing sebagai dekomposernya. Campuran
tersebut diletakkan pada dua tempat yang berbeda, yaitu di dalam tong tertutup
rapat dan di atas tanah terbungkus terpal. Perubahan temperatur pengomposan
dapat dilihat pada Gambar 16.

40
38 di dalam tong
36
34 di dalam terpal
Temperatur (oC)

32
30
28
26
24
22
20
0 10 20 30 40 50 60
Waktu (hari)

Gambar 16. Temperatur kompos metoda anaerobik

Dari Gambar 16 dapat dilihat bahwa campuran di dalam terpal


menunjukkan peningkatan temperatur pada awal-awal pengomposan. Pada hari
pertama pengomposan, temperatur menunjukkan 35oC dan naik mencapai 37,6oC
pada hari ke-3, kemudian kembali turun perlahan. Penurunan yang tajam terjadi
pada hari ke-11 pada temperatur 27oC kemudian kembali naik ke 32oC dan
kembali bergerak turun perlahan mencapai 30oC dan mulai bergerak stabil pada
temperatur antara 29-30oC mulai hari ke-35.
Pengomposan dengan metoda anaerob di atas tanah terbungkus terpal
membutuhkan waktu pengomposan sekitar 40 hari atau 1,5 bulan untuk mencapai
temperatur yang stabil dan menjadi kompos. Hal ini ditandai dengan grafik
temperatur setelah hari ke-35 telah menunjukkan tingkat yang stabil.
32

Namun demikian, hal yang berbeda ditunjukkan pada proses pengomposan


di dalam tong. Dari Gambar 16 dapat dilihat bahwa temperatur pada masa awal
pengomposan cenderung turun dari temperatur 35oC ke 30oC dan turun signifikan
pada hari ke-11 pada 24,5oC. Kemudian temperatur naik kembali dan bergerak
naik turun diantara temperatur 25-32oC.
Sampai hari pengomposan ke-58, grafik belum menunjukkan kondisi
stabil. Walaupun temperatur pengomposan berada pada fase mesofilik, namun
setelah 8 minggu pengomposan, campuran belum menunjukkan perubahan yang
berarti dan belum menjadi kompos. Hal ini juga ditunjukkan dengan perubahan
massa kompos yang stabil (Gambar 17) dan pengamatan secara visual juga
menunjukkan campuran belum menjadi kompos.

41
40,8
40,6
40,4
Massa (kg)

40,2
40
39,8
39,6
39,4
39,2
39
0 10 20 30 40 50 60
Waktu (hari)

Gambar 17. Perubahan massa material kompos secara anaerobik di dalam tong

Pada umumnya proses pengomposan dengan metoda aerobik dan


anaerobik berada pada fase mesofilik, yaitu kisaran temperatur 28-45oC. Hanya
campuran jerami dengan kotoran ayam sistem tumpukan yang mencapai fase
termofilik. Proses pengomposan metoda aerobik juga dipengaruhi oleh pemberian
air untuk mempertahankan kelembaban kompos dan juga pembalikan agar
campuran kompos lebih merata dalam mendapatkan oksigen.
Kompos mengalami dinamika perubahan temperatur dan bergerak stabil
mulai hari ke-48 setelah pengomposan pertama pada sitem tumpukan dan aerasi,
setelah hari-24 pada sistem silinder, dan setelah hari ke-35 pada pengomposan
anaerob di atas tanah terbungkus terpal. Grafik temperatur kompos yang telah
33

stabil menunjukkan bahwa kompos telah matang (Cayuela et al., 2009; Li et al.,
2009).
Dengan membandingkan dari beberapa teknik pengomposan yang
dilakukan, maka dapat disimpulkan teknik pengomposan yang efektif dan efisien
dilakukan dalam mengomposkan jerami adalah dengan metoda anaerobik di atas
tanah terbungkus terpal. Hal ini berdasarkan waktu pengomposan yang lebih cepat
dari teknik pengomposan lainnya dan tidak memerlukan energi yang besar dalam
pelaksanaannya.

4.2 Kandungan Unsur Hara dan Kualitas Kompos

Hasil analisis kompos yang dihasilkan dari proses pengomposan dengan


metoda aerob (sistem tumpukan, aerasi, windrow, dan silinder) dan pengomposan
anaerob (di atas tanah terbungkus terpal), serta justifikasi kualitas kompos dapat
dilihat pada Tabel 5.
Kandungan C-organik pada kompos yang dihasilkan sangat rendah,
bahkan turun dari kandungan awalnya sebesar 49,2% (Canet et al., 2008). Hal ini
menunjukkan bahwa mikroorganisme membutuhkan karbon sebagai makanan
untuk melakukan aktivitas biodegradasi bahan organik. Nisbah C/N juga
menunjukkan bahwa kompos telah matang dan siap untuk digunakan. Apabila
jerami langsung diaplikasikan ke lahan akan mengurangi kandungan unsur hara
yang ada karena nilai C/N ratio yang terlalu tinggi.
C/N ratio tidak boleh terlalu tinggi karena menyebabkan terjadinya
immobilisasi N, dan apabila terlalu rendah menyebabkan volatilisai N (Stoffella
and Kahn, 2001). Kehilangan unsur N dipengaruhi oleh unsur C selama dalam
proses pengomposan (Barrington et al., 2002). Hal ini dapat dilihat dari
kandungan C-organik dan N-organik campuran jerami cacah dengan kotoran
ayam yang lebih tinggi dari campuran lainnya.
Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa data menunjukkan pada umumnya
kualitas kompos yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan SNI 19-7030-2004.
Walaupun unsur C-organik pada kompos berbahan dasar jerami dengan campuran
kotoran kambing lebih rendah dari baku mutunya, namun nisbah C/N yang
dihasilkan sesuai dengan SNI 19-7030-2004.
34

Tabel 5. Analisis kandungan hara dan justifikasi kualitas kompos jerami


Unsur Kompos jerami
No Satuan Standar**
hara K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11
1 C-organik % 5,93* 14,68 5,52* 6,05* 13,8 6,3* 5,79* 5,54* 7,20* 6,97* 8,35* 9,8-32
2 N-total % 0,39* 1,1 0,47 0,39* 0,7 0,45 0,43 0,48 0,52 0,49 0,65 > 0,4
3 C/N 15 13 12 15 20 14 14 12 14 14 13 10-20
4 P2O5 % 0,17 1,22 0,3 0,22 2,16 0,49 0,51 0,24 0,43 0,50 0,45 > 0,1
5 K2O % 0,62 0,47 0,46 0,86 0,82 0,88 0,57 0,71 0,91 0,95 0,55 > 0,2
6 CaO % 0,48 0,74 1,37 0,46 1,34 1,61 1,37 0,31 1,57 1,7 2,57 < 25,5
7 MgO % 0,15 0,42 0,28 0,17 0,69* 0,33 0,34 0,17 0,33 0,31 0,45 < 0,6
8 Fe % 0,099 0,068 0,79 0,079 0,19 0,67 0,92 0,34 0,78 0,60 0,77 < 2,00
9 Mn % 0,032 0,024 0,050 0,029 0,036 0,042 0,051 0,025 0,066 0,043 0,040 < 0,1
10 Zn mg/kg 27 118 154 20 152 151 178 44 167 138 97 < 500
11 Co mg/kg Td Td 3 1 1 2 5 1 5 4 13 < 34
Keterangan: td : tak terdeteksi
K1: Jerami cacah (tumpukan) K6: Jerami cacah + K. kambing (aerasi) K11: Jerami + k. kambing (anaerob terpal)
K2: Jerami cacah + k. ayam (tumpukan) K7: Jerami + k. kambing (aerasi) * : Tidak sesuai SNI
K3: Jerami cacah + K. kambing (tumpukan) K8: Jerami (windrow) ** : SNI 19-7030-2004
K4: Jerami cacah + EM4 (aerasi) K9: Jerami + k. kambing (silinder dalam)
K5: Jerami cacah + k. ayam (aerasi) K10: Jerami + k. kambing (silinder luar)
34
35

Dapat dilihat juga unsur Mg pada kompos berbahan dasar jerami dengan
campuran kotoran ayam melebihi baku mutunya, namun angka tersebut masih
bisa diterima karena perbedaannya tidak terlalu besar. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa kompos jerami memenuhi syarat dan menunjukkan kualitas
kompos baik.
Perbaikan kualitas kompos yang belum memenuhi persyaratan SNI 19-
7030-2004 dapat dilakukan dengan penambahan bahan organik yang dapat
meningkatkan kandungan unsur hara yang kurang, ataupun penambahan bahan
organik lainnya yang dapat menurunkan kandungan unsur hara yang berlebih.
Perbaikan kualitas kompos yang tidak sesuai dengan persyaratan dapat dilakukan
memalui proses pengomposan kembali.

4.3 Kualitas Air Irigasi dan Lumpur


Sawah percobaan diberikan pupuk organik dengan dosis 7 ton/ha yang
diaplikasikan sebelum tanam. Dari analisis yang dilakukan terhadap air irigasi
(Gambar 18) dan lumpur (Gambar 19) dapat dilihat pengaruh pemberian pupuk
organik terhadap kualitas air irigasi dan lumpur pada sawah. Data hasil analisis
kualitas air irigasi dan lumpur dapat dilihat pada Lampiran 2.
Dari Gambar 18 dapat dilihat kandungan hara yang terlarut dalam air
irigasi juga menunjukkan hanya sedikit hara yang terlarut. Nitrogen dan unsur
hara lain yang terkandung dalam pupuk organik dilepaskan secara perlahan.
nutrisi secara perlahan dilepaskan dari waktu ke waktu sehingga meningkatkan
kesempatan tanaman untuk mengambil nutrisi tersebut dan mengurangi masalah
pencemaran air (US Composting Council, 2008). Konsentrasi hara yang keluar
dari outlet sawah tidak terlalu berbeda dengan konsentrasi di inlet, bahkan pada
unsur fosfor menunjukkan penurunan konsentrasi.
Hasil analisis kualitas air irgasi pada inlet, center, dan outlet setelah
pemberian pupuk organik ke sawah adalah 8,90 mg/L; 9,60 mg/L; dan 9,85 mg/L
pada saat sampel kedua dan 0,982 mg/L; 0,876 mg/L; dan 0,866 mg/L pada
sampel ketiga untuk N terlarut. Sedangkan P terlarut adalah 0,51 mg/L; 0,44
mg/L; dan 0,43 mg/L pada saat sampel kedua dan 0,700 mg/L; 0,293 mg/L; dan
0,193 mg/L pada saat sampel ketiga. Untuk Total Suspended Solid (TSS)
36

berurutan adalah 58,00 mg/L; 53,67 mg/L; dan 24,17 mg/L pada saat sampel
kedua dan 35,07 mg/L; 30,33 mg/L; dan 26,90 mg/L pada saat sampel ketiga.

(a) TSS terlarut (b) Nitrogen (N) terlarut

(c) Fosfor (P) terlarut (d) Kalium (K) terlarut


Gambar 18. Kualitas air irigasi sawah percobaan

Kualitas air irigasi pada sawah percobaan tidak menunjukkan gejala


terjadinya pencemaran pada badan-badan air. Hal ini dikarenakan konsentrasi
yang didapat dari analisis tersebut masih berada dibawah baku mutu kualitas air.
Menurut PP No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air menerangkan bahwa baku mutu air untuk tanaman
menunjukkan ambang batas untuk N, P dan TSS berurutan adalah 20 mg/L; 1
37

mg/L; dan 400 mg/L. Maka dapat dikatakan bahwa implementasi pupuk organik
tidak menyebabkan pencemaran pada badan-badan air.

(a) Nitrogen (N) tersedia (b) Fosfor (P) tersedia

(c) Kalium (K) tersedia


Gambar 19. Kualitas lumpur sawah percobaan

Pemberian pupuk organik dapat memperbaiki kesuburan tanah.


Kandungan nitrogen pada lumpur sawah menggambarkan bahwa pupuk organik
memperkaya kandungan hara di sawah. Kandungan fosfor dan kalium juga
menunjukkan hal yang sama dengan nitrogen. Kandungan hara bersifat residual di
lumpur sehingga pemberian pupuk organik secara terus menerus dapat
memperbaiki dan mempertahankan kesuburan tanah.
Pada akhir masa budidaya padi, konsentrasi N,P, dan K mengalami
penurunan. Hal ini menunjukkan kandungan hara yang diberikan diserap oleh
38

tanaman padi, dan juga terjadinya dinamika air tanah termasuk infiltrasi, perkolasi
dan kapasitas air yang membawa unsur hara (leaching), serta larut pada air irigasi
(US Composting Council, 2008). Nutrisi pupuk terikat secara organik sehingga
jauh lebih rentan terhadap pencucian hara dari pada pupuk terlarut dan karena itu
sering digunakan sebagai pengkondisian tanah (Snape et al., 1995).

4.4 Neraca Massa Limbah-Kompos

Neraca massa limbah-kompos ditunjukkan pada tabulasi neraca massa


limbah-kompos (Lampiran 3) dan secara skematis dijelaskan pada Gambar 20.
Dapat dilihat bahwa dengan mengomposkan jerami 14,1 ton/ha ditambah dengan
dekomposer, baik kotoran ayam atau kotoran kambing dengan perbandingan 1:1
(dengan kadar air yang sama), dengan efisiensi proses pengomposan 40 % maka
akan dihasilkan kompos 11,3 ton. Dari kompos yang dihasilkan, 7 ton kompos
dapat diaplikasikan kembali ke areal persawahan, sedangkan sisa kompos dapat
digunakan untuk peruntukan lainnya. Massa kompos mengalami pengurangan
sebesar 60% yang keluar dalam bentuk uap air, air lindi, gas berbau, metana
(CH4) dan CO2 (Yuwono, 2003).

Pengomposan
± 2 bulan

14,1 ton jerami + 16,9 ton (uap air,


11, 3 ton
14,1 ton kotoran air lindi, gas
kompos
Ayam/kambing berbau, CH4, CO2)

7 ton diberikan
4,3 ton
lagi ke sawah
peruntukan lain

Gambar 20. Skema neraca massa limbah-kompos


39

Pada Gambar 20 dapat dijelaskan bahwa jerami yang selama ini dipandang
sebagai limbah ternyata merupakan salah satu sumber potensial bahan baku
kompos. Kompos yang dihasilkan dapat dimanfaatkan kembali menjadi input bagi
budidaya padi organik dan hortikultura.
40
41

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Simpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Jerami dapat dijadikan kompos dengan menambahkan aktivator kotoran ayam
ataupun kotoran kambing, dengan rincian sebagai berikut:
a. Pengomposan metoda aerobik sistem tumpukan dan aerasi
memerlukan waktu kurang lebih 8 (delapan) minggu untuk menjadi
kompos dan pengomposan berbentuk silinder membutuhkan waktu
kurang lebih 5 (lima) minggu untuk menjadi kompos.
b. Pengomposan metoda anaerobik di atas tanah terbungkus terpal
membutuhkan waktu kurang lebih 6 (enam) minggu untuk menjadi
kompos, sedangkan di dalam tong material kompos belum terdegradasi
menjadi kompos dalam waktu 8 minggu.
2. Kompos yang dihasilkan mengandung unsur hara makro dan mikro yang
esensial bagi tanaman. Berdasarkan baku mutu kompos SNI 19-7030-2004
ternyata secara keseluruhan mutu kompos berbahan dasar jerami memenuhi
baku mutu kompos yang dipersyaratkan.
3. Implementasi pupuk organik tidak menyebabkan pencemaran pada badan air
dan nutrisi pupuk terikat secara organik sehingga dapat digunakan untuk
memperbaiki kualitas tanah.
4. Neraca massa limbah-kompos terkait dengan “Zero Waste Production
Management” dalam sistem budidaya padi organik telah tersusun dengan hasil
dari setiap hektar diperoleh jerami 14,1 ton dan hasil kompos berbasis jerami
sebesar 11,3 ton, sedangkan 60% dari massa awal keluar dalam bentuk uap air,
air lindi, gas berbau, metana (CH4) dan CO2.

5.2. Saran

Adapun saran dari penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Penelitian lanjutan sebaiknya dilakukan dalam skala yang lebih besar untuk
dapat melihat efektivitas teknik pengomposan jerami yang tepat dengan massa
pengomposan yang besar.
42

2. Pengukuran parameter seperti perubahan temperatur dan kelembaban penting


untuk dilakukan setiap hari untuk mengikuti proses pengomposan.
3. Analisis kandungan unsur hara perlu dilakukan untuk seluruh parameter yang
ada pada SNI 19-7030-2004.
4. Perlu dilakukan kajian pengaruh umur pakai kompos terhadap kualitasnya.
43

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih sebesar-besarnya disampaikan kepada para petani, analis


laboratorium dan pihak-pihak lainnya yang telah membantu dan terlibat dalam
pelaksanaan penelitian ini. Penulis juga menyampaikan penghargaan setinggi-
tingginya kepada LPPM-IPB yang telah mendukung sepenuhnya pembiayaan
penelitian melalui skema I-MHERE B.2c IPB.
44
45

DAFTAR PUSTAKA
ADB-GEF-UNDP. 1998. Asian Least-Cost Greenhouse Gas Abatement Strategy
(ALGAS) Indonesia. ADB-GEF-UNDP, Manila.
[BPTP] Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. 2010. Fermented Rice Straw As
Ruminant’s Feed. Solok, Indonesia. http://sumbar.litbang.deptan.go.id/ [12
Oktober 2010].
Barrington, S., Choiniere, D., Trigui, M., and Knight, W. 2002. Effect of Carbon
Source on Compost Nitrogen and Carbon Losses. Bioresource Technology
83:189-194.
Canet, R., Pomares, F., Cabot, B., Chaves, C., Ferrer, E., Ribo, M., and Albiach,
M.R. 2008. Composting Olive Mill Pomace and Other Residues from
Rural Southeastern Spain. Waste Management 28:2585-2592.
Cayuela, M.L., Mondini, C., Insam, H., Sinicco, T., and Franke-Whittle, I. 2009.
Plant and Animal Wastes Composting: Effects of The N Source on Process
Performance. Bioresource Technology 100:3097-3106.
[DEPTAN] Departemen Pertanian. 2007. Agenda Nasional dan Rencana Aksi
2008-2009 Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Pertanian.
Departemen Pertanian.
Djaja, W. 2008. Langkah Jitu Membuat Kompos dari Kotoran Ternak & Sampah.
AgroMedia Pustaka, Jakarta. Vi + 86 hlm.
Dobermann, A and Fairhurst, T.H. 2002. Rice Straw Mangement. Better Corps
International. Vol 16, Special Suplemen, May 2002.
Iqbal, A. 2008. Potensi Kompos dan Pupuk Kandang untuk Produksi Padi
Organik di Tanah Incepticol. Jurnal Akta Agrosia 11: 13-18.
Kruva, S.V. 1997. Air Pollution, People, and Plants. APS Press, Minnesota, USA.
Li, X,. Zhang, R., and Pang, Y. 2008. Characteristics of Dairy Manure
Composting With Rice Straw. Bioresource Technology 99: 359-367.
[LITBANG] Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2002. Prospek
Pertanian Organik Di Indonesia. Departemen Pertanian.
http://www.litbang.deptan.go.idberitaone17 [18 Mei 2010]
Mario, M.D., Zubair, A., Ahmad, A., Febrianti, T. Indah, F.S., dan Pakaya, R.
2008. Rekomendasi Pemupukan Padi Sawah Spesifik Lokasi. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo. Departemen Pertanian.
Metcalf and Eddy. 2004. Wastewater Engineering, Treatment and Reuse.
McGraw-Hill, New York.
Murarka, I.P. 2000. Solid Waste Disposal and Reuse in the United States. CRC
Press, Boca Raton, Florida.
46

Perez, L.R., Martinez, C., Marcilla, P., and Boluda, R. 2009. Composting Rice
Straw with Sewage Sludge and Compost Effects On The Soil-plant
System. Chemospere 75: 781-787.
Pichtel, J. 2005. Waste Management Practices: Municipial, Hazardous and
Industrial. CRC press, Boca Raton, Florida.
Pierzynski, G.M., Sims, J.T., and Vance, G.F. 2005. Soils and Environmental
Quality. CRC press, Boca Raton, Florida.
[PP] Peraturan Pemerintah. 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air. CV. Ekojaya, Jakarta.
Rauf, A.W., Syamsudin, T., dan Sihombing, S.R. 2000. Peranan Pupuk NPK pada
Tanaman Padi. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen
Pertanian. Irian Jaya.
Rashad, F.M., Saleh, W.D., and Moselhy, M.A. 2010. Bioconversion of Rice
Straw and Certain Agro-Industrial Wastes to Amendments for Organic
Farming System: 1. Composting, Quality, Stability, and Maturity Indices.
Bioresource Technology 101: 5952-5960
Reijntjes, C. Bertus, H. dan Waters-bayers. 1992. Pertanian Masa Depan :
Pengantar Untuk Pertanian Berkelanjutan Dengan Input Luar Rendah.
Sukoco Y, penerjemah; Fliert EVD dan Hidayat B, editor. Yogyakarta:
Kanisius. Terjemahan dari: Farming For The Future, An Introduction to
Low-External-Input and Sustainable Agriculture.
Salvato, J.A., 1992. Environmental Engineering and Sanitation. John Wiley &
Sons, Inc. New York.
Setyorini, D. 2005. Pupuk Organik Tingkatkan Produksi Pertanian. Warta
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 27 No. 6, 2005. Balai
Penelitian Tanah, Bogor.
Sigit, Anggoro, A., dan Suharjo. 2007. Analisis proses degradasi lahan dan
dampaknya terhadap produktivitas lahan pertanian di kabupaten Klaten.
Forum Geografi, 21 (2). pp. 155-173. ISSN 0852-2682.
http://eprints.ums.ac.id/726/ [12 Oktober 2010].
Simanungkalit, R.D.M., Suriadikarta, D.A., Saraswati, R., Setyorini, D., dan
Hartatik, W. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar
Penelitian Dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian. Badan
Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Snape, J.B., Dunn, I.J., Ingham, J., and Prenosil, J.E. 1995. Dynamics of
Environmental Bioprocesses. VCH, Weinheim.
Souri, S. 2001. Penggunaan Pupuk Kandang Meningkatkan Produksi Padi.
Instalasi Pengkajian dan Penelitian Teknologi Pertanian, Mataram.
47

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2004. Standar Nasional Indonesia No. 19-
7030-2004 tentang Spesifikasi Kompos Dari Sampah Organik Domestik.
Badan Standarisasi Nasional.
Stofella, P.J. and Kahn, B.A. 2001. Compost Utilization in Horticultural
Cropping Systems. CRC press, Boca Raton, Florida.
Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Kanisius, Yogyakarta.
US Composting Council. 2008. USCC Factsheet: Using Compost Can Reduce
Water Pollution. New York.
USEPA, 1998. Emission Factor Documentation for AP-42. Section 9.2.1.
Fertilizer Application. Draft Report. USEPA, North Carolina.
Yuwono, A.S. 2003. Odour Pollution in the Environmental: Detection of Biogenic
Odour Emissions Using a QCM Sensor Array – Based Instrument
[dissertation]. Rheinischen Friedrich-Wilhelms-Universität Bonn.
Yuwono, A.S., Ichwan, N., dan Saptomo, S.K. 2011. Pengomposan Jerami Padi
Organik dan Analisis Mutunya. Seminar Nasional IATPI –ITS 2011,
Surabaya 22 Juni 2011. Prosiding IATPI, in press.
48
49

Lampiran 1. Standar Nasional Indonesia tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik (SNI 19-7030-2004)
No Parameter Satuan Minimum Maksimum No Parameter Satuan Minimum Maksimum
0
1 Kadar air % C 50 17 Cobal (Co) mg/kg * 34
2 Temperatur Suhu air tanah 18 Chromium (Cr) mg/kg * 210
3 Warna Kehitaman 19 Tembaga (Cu) mg/kg * 100
4 Bau Berbau tanah 20 Merkuri (Hg) mg/kg 0,8
5 Ukuran partikel Mm 0,55 25 21 Nikel (Ni) mg/kg * 62
6 Kemampuan ikat air % 58 22 Timbal (Pb) mg/kg * 150
7 pH 6,80 7,89 23 Selenium (Se) mg/kg * 2
8 Bahan asing % * 1,5 24 Seng (Zn) mg/kg * 500
UNSUR MAKRO UNSUR LAIN
9 Bahan oganik % 27 58 25 Calsium % * 25,50
10 Nitrogen % 0,40 26 Magnesium (Mg) % * 0,60
11 Karbon % 9,80 32 27 Besi (Fe) % * 2,00
12 Phosfor (P2O5) % 0,10 28 Aluminium (Al) % 2,20
13 C/N – ratio 10 20 29 Mangan (Mn) % 0,10
14 Kalsium (K2O) % 0,20 BAKTERI
UNSUR MIKRO 30 Fecal Coli MPN/gr 1000
15 Arsen mg/kg * 13 31 Salmonella sp. MPN/4gr 3
16 Cadmium (Cd) mg/kg * 3

49
50

Lampiran 2. Hasil analisis kualitas air irigasi dan lumpur

KUALITAS AIR IRIGASI (mg/L)


TSS Inlet Center Outlet
Sampel I 61,75 86,40 64,00
Sampel II 58,00 53,67 24,17
Sampel III 35,07 30,33 26,90

N Total Inlet Center Outlet


Sampel I 12,80 9,60 11,60
Sampel II 8,90 9,60 9,85
Sampel III 0,982 0,876 0,866

P Total Inlet Center Outlet


Sampel I 0,25 0,30 0,37
Sampel II 0,51 0,44 0,43
Sampel III 0,700 0,293 0,193

Kalium Inlet Center Outlet


Sampel I 0,72 0,35 0,65
Sampel II 0,45 0,47 0,49
Sampel III 0,025 0,022 0,019

KUALITAS LUMPUR (mg/kg)


N Total Inlet Center Outlet
Sampel I 196,90 217,60 174,40
Sampel II 115,20 118,40 128,70
Sampel III 68,86 73,66 74,60

P Total Inlet Center Outlet


Sampel I 92,60 117,20 90,40
Sampel II 92,08 94,20 96,40
Sampel III 12,85 12,90 12,97

Kalium Inlet Center Outlet


Sampel I 132,80 165,20 96,30
Sampel II 96,30 98,40 108,60
Sampel III 36,70 42,95 42,98
51

Lampiran 3. Neraca massa limbah-kompos (per ha)

Spesifikasi Kuantitas Satuan


Produksi gabah 4,8 ton
Produksi jerami 14,1 ton
Kadar air rata-rata jerami 30,7 %
Input kotoran hewan untuk bahan kompos 14,1 ton
Efisiensi proses pengomposan 40 %
Kompos yang dihasilkan 11,3 ton
Dosis pemberian kompos (Rekomendasi Kementan) 7,0 ton
Sisa produksi kompos (bagi peruntukan lain) 4,3 ton

You might also like