You are on page 1of 24

TUGAS

KEPERAWATAN BENCANA

2 JURNAL YANG BERKAITAN DENGAN KEPERAWATAN BENCANA

Dosen Pengampu :

Ns. Olvin Manengkey. S.Kep,M.Kes

Oleh:

FIKE TAMATOMPO

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA


MANADO
2021
JURNAL 1

Jurnal Ilmu Kebencanaan (JIKA) ISSN 2355-3324 Pascasarjana Universitas Syiah Kuala 6 Pages pp. 53-
58

Volume 4, No. 2, Mei 2017 53

HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP BENCANA DAN KETERAMPILAN BASIC LIFE


SUPPORT DENGAN KESIAPSIAGAAN BENCANA GEMPA
BUMI PADA MAHASISWA KEPERAWATAN POLTEKKES BANDA ACEH
Budimanto1, Mudatsir2, Teuku Tahlil 3
1Magister Ilmu Kebencanaan ProgramPascasarjana Universitas Syiah Kuala Banda Aceh
2Program StudiKedokteranUniversitas Syiah Kuala Banda Aceh
3Program StudiKeperawatanUniversitas Syiah Kuala Banda Aceh
Koresponden : mudatsir@unsyiah.ac.id

ABSTRACT
Aceh is a region that is highly prone to natural disasters, such as earthquakes. One of them was the 6.2
magnitude earthquake that struck Aceh Tengah and Bener Meriah Regencies and killed 42 people in
2013. Basic Life Support is a level of medical care which is used for victims of natural disasters with or
without trauma. The objective of this research was to correlate knowledge, attitude, and Basic Life
Support skill of nursing students in Aceh Health Polytechnic to their earthquake preparedness. The
research was conducted by employing quantitative method with cross-sectional study approach. The data
were collected by using questionnaires and observation sheets and were then analyzed by using Chi-
square test. There were eighty seven samples chosen. Sixty one samples were female while the others
were male aged 19-21. It was found that the knowledge of most of the samples was in good category
(51,7%), their attitude was mostly in poor category (75,9%), and their Basic Life Support skill was in fair
category (60%). Moreover, the bivariate analysis indicated that the knowledge of most of the samples was
in good category (63,9%), their attitude was also in good category (71,4%), and their skill was in fair
category (61,1%). Hence, it can be concluded that the knowledge and attitude of the nursing students in
Aceh Health Polytechnic were significantly correlated to the students’ preparedness (p=0,005) while their
Basic Life Support skill was not (p=0,594).
Keywords: Knowledge, Attitude, Basic Life Support Skill
ABSTRAK
Daerah Aceh merupakan wilayah yang sangat rawan bencana gempa bumi sebagaimana pada tahun 2013
terjadi gempa bumi dengan kekuatan 6,2 SR di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah yang
menyebabkan 42 orang meninggal dunia. Pertolongan pertama sesaat setelah gempa bumi terhadap korban
trauma maupun non trauma yang mengakibatkan adanya gangguan kegawatan yaitu salah satunya dengan
tindakan Basic Life Support. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan, sikap
bencana dan keterampilan Basic Life Support dengan kesiapsiagaan bencana gempa bumi pada mahasiswa
Keperawatan Poltekkes Banda Aceh. Desain penelitian ini mengunakan pendekatan kuantitatif Cross
Sectional dengan mengunakan instrumen kuesioner dan lembar observasi, analisis data mengunakan uji
Chi-square. Jumlah sampel sebanyak 87 orang yang terdiri atas jenis kelamin perempuan sebanyak 61
orang dan laki-laki sebanyak 26 orang dengan karakteristik umur responden mayoritas berumur 19 – 21
tahun . Hasil penelitian berdasarkan tingkat pengetahuan bencana menunjukkan bahwa mayoritas kategori
sedang (51,7%), berdasarkan sikap terhadap bencana berada kategori kurang (75,9%) dan berdasarkan
keterampilan Basic Life Support dengan kategori cukup (60%). Analisis bivariat terdapat (63,9%)
berpengetahuan baik, (71,4%) bersikap baik dan (61,1%) memiliki keterampilan cukup, maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan bermakna (p=0,005) antara variabel pengetahuan bencana dengan
kesiapsiagaan dan antara variabel sikap dengan kesiapsiagaan serta tidak terdapat hubungan bermakna
(p=0,594) variabel keterampilan Basic Life Support dengan kesiapsiagaan bencana gempa bumi pada
mahasiswa Keperawatan Poltekkes Banda Aceh.
Kata kunci : Pengetahuan, Sikap, Keterampilan Basic Life Support

brought to you by CORE View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk

provided by Jurnal Ilmu Kebencanaan : Program Pascasarjana UnsyiahJurnal Magister Ilmu


Kebencanaan (JIKA) Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
54 Volume 4, No. 2, Mei 2017
PENDAHULUAN
Gempa bumi merupakan salah satu bencana alam yang dapat mengakibatkan terjadinya kematian pada saat
gempa terjadi, korban luka-luka serta kerusakan lainnyadengan kasus kematian terbesar didunia mencapai
780.000 orang atau sekitar 60 % terjadi akibat bencana alam(Bartel,2011).Pada tahun 2013, Gempa bumi
dengan kekuatan 6,2 SR yang terjadi di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah menyebabkan 42
orang meninggal dunia yang terdiri atas 34 orang dari Kabupaten Aceh Tengah dan 8 orang dari
Kabupaten Bener Meriah (BNPB, 2013).
Kegiatan pertolongan pertamaBasic Life Supportdalam keadaan siap siaga bencana dapat dilakukan oleh
tenaga kesehatan atau masyarakat yang terlatih BLS,tentunya perawat dituntut mampu dan mumpuni
dengan berbekal pengetahuan, sikap dan keterampilanyang didapatkan selama dalam proses pembelajaran
di Institusi pendidikan keperawatan. Dengan demikian,seorang perawat disaat masa purna pembelajaran
mampu melakukan tindakan Basic Life Supportkapanpun dan dimanapun (Pro Emergency, 2012).
Menurut Rakhmat (2012), perawat sebagaisalah satu ujung tombak untuk peningkatan derajat kesehatan,
idealnya lebih meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan BLS untuk menunjang
kesiapsiagaandalam menghadapi bencana.Salah satu upaya untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan
keterampilanperawat adalah dengan pendidikan.Perawat mendapatkan pengetahuan, pembentukan sikap
dan keterampilan tentang pendidikan kebencanaan khususnya basic life supportdi institusi pendidikan.
Melihat betapa besarnya peran perawat dalam menghadapi suatu peristiwa bencana serta peran dari
institusi pendidikan dalam hal ini Jurusan Keperawatan Politeknik KesehatanBanda Aceh untuk
menghasilkan perawat yang memiliki kemampuan memberikan bantuan hidup dasaryang baik pasca
bencana.
METODE PENELITIAN
Di dalam artikel ini, pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif dengan desain
crossectional. Dalam penelitian kuantitatif ini, peneliti akan mengukur hubungan pengetahuan, sikap
bencana dan keterampilan basic life support dengan kesiapsiagaan bencana gempa bumi pada mahasiswa
keperawatan poltekkes Banda Aceh. Data dalam penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder,
dan data yang dikumpulkan adalah data primer. Penelitian ini telah dilakukan di kampus Jurusan
Keperawatan Politeknik Kesehatan Banda Aceh mulai bulan Januari s/d Agustus 2017.
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa jurusan keperawatan politeknik kesehatan Banda
Aceh yang berjumlah 274 orang terdiri dari tingkat satu sebanyak 81 orang, tingkat dua sebanyak 106
orang dan tingkat tiga sebanyak 87 orang. Pemilihan mahasiswa tingkat tiga sebagai sampel penelitian
dikarenakan peneliti mempunyai pertimbangan-pertimbangan tertentu diantaranya:
1) mahasiswa tingkat tiga yang di pilih sebagai responden berdasarkan kelas tersebut karena pada tingkat
tiga mahasiswa sudah melalui tahapan pembelajaran mata kuliah keperawatan bencana.
2) mahasiswa tingkat tiga sudah lebih memahami mata kuliah terkait dengan keperawatan bencana yang
didapatkan pada tingkat dua sebagai kriteria inklusi adalah para mahasiswa telah lulus mata kuliah
keperawatan bencana.
Jurnal Magister Ilmu Kebencanaan (JIKA) Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 4, No. 2, Mei 2017 55
HASIL DAN PEMBAHASAN kesiapsiagaan bencana gempa bumi oleh perawat
1) Hubungan Pengetahuan Bencana dengan pelaksana di Rumah Sakit Ibu dan Anak
Kesiapsiagaan Bencana Gempa Bumi Pemerintah Acehhasil penelitianmenunjukkan
bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
Hubungan pengetahuan dengan kesiapsiagaan pengetahuan dengan kesiapsiagaan atau terdapat
terhadap bencana gempa bumi didapatkan dari uji 86,3% perawat dengan pengetahuan baikdan siap
statistik. Hasil analisis tersebut dapat dilihatpada dalam menghadapi bencana gempa bumi, 52,2%
Tabel 1. berpegetahuan kurang dan kurang siap dalam
Tabel 1Hubungan PengetahuanBencanadengan menghadapi bencana gempa bumi.
Kesiapsiagaan Bencana GempaBumi Menurut LIPI-UNESCO/ISDR (2006),
pada Mahasiswa Keperawatan Poltekkes Banda pengetahuan merupakan faktor utama kunci
Aceh (n=87) kesiapsiagaan. Pengetahuan yang harus dimiliki
Sumber : Data Primer (diolah) tahun 2017 individu dan rumah tangga mengenai bencana
Berdasarkan hasil penelitianTabel 1 menunjukkan gempa bumi yaitu pemahaman tentang bencana
bahwa dari 36 responden yang berpengetahuan gempa bumi dan pemahaman tentang kesiapsiagaan
baik terdapat (63,9%) yangsiap menghadapi menghadapi bencana tersebut, meliputi pemahaman
bencana gempa bumi;dari 45 responden yang mengenai tindakan penyelamatan diri yang tepat
berpengetahuan sedang terdapat (46,7%) hampir saat bencana terjadi serta tindakan dan peralatan
siap menghadapi bencana dan dari 6responden yang perlu disiapkan sebelum terjadi bencana.
yang berpengetahuan kurang terdapat (66,6%) 2) Hubungan Sikap Bencana dengan
yang berada pada kategori hampir siap dalam Kesiapsiagaan Bencana Gempa Bumi
menghadapi bencana gempa bumi. Berdasarkan
hasil uji chi-square dengan taraf signifikan 5% Hubungan sikap bencana dengan kesiapsiagaan
(0,05) diperoleh bahwa p value = 0,005 yang terhadap bencana gempa bumi didapatkan dari uji
berarti p value = <0,05 makaada hubungan yang statistik. Hasil analisis tersebutdapat dilihat pada
bermakna antara pengetahuan dengan Tabel 2.
kesiapsiagaan mahasiswa dalam menghadapi Tabel 2Hubungan SikapBencana dengan
bencana gempa bumipada mahasiswa keperawatan Kesiapsiagaan Bencana Gempa Bumi pada
Poltekkes Banda Aceh. Mahasiswa Keperawatan Poltekkes Banda Aceh
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang (n=87)
dilakukan oleh Ajmain (2013) di wilayah kerja Sumber : Data Primer (diolah) tahun 2017
dinaskesehatan Kabupaten Aceh Tamiangterkait Berdasarkan hasil penelitianTabel 2 menunjukkan
pengetahuan kesiapsiagaan perawat dalam bahwa dari 21 responden yang bersikap baik
memberikan pelayanan kegawatdaruratan pada 40 terdapat (71,4%) yangsiap menghadapi bencana
orang perawat menunjukkan bahwa 65,0% gempa bumi, dari 66 Jurnal Magister Ilmu
respondenmempunyaipengetahuanpada Kebencanaan (JIKA) Pascasarjana Universitas
kategoribaik. Syiah Kuala
Penelitian yang sama dilakukan oleh Bukhari 56 Volume 4, No. 2, Mei 2017
(2013), tentang hubungan pengetahuan dengan
responden yang bersikap kurang terdapat (47%) seseorang. Sikap yang positif diharapkan menjadi
hampir siap menghadapi bencana gempa motivasi yang kuat dalam usaha melakukan
bumi.Berdasarkan hasil uji chi-squaredengan taraf pendokumentasian asuhan keperawatan.
signifikan 5% (0,05) diperoleh bahwa p value = 3) Hubungan Keterampilan Basic Life Support
0,005 yang berarti p value = <0,05 makaada (BLS) dengan Kesiapsiagaan terhadap Bencana
hubungan yang bermakna antara sikapdengan Gempa Bumi
kesiapsiagaan mahasiswa dalam menghadapi
bencana gempa bumipada mahasiswa keperawatan Untuk mengetahui hubungan keterampilan Basic
Poltekkes Banda Aceh. Life Supportdengan kesiapsiagaan bencana gempa
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan bumi dilakukan uji statistik. Hasil uji statistik
oleh Juliandi (2012),tentang hubungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3sebagai berikut :
pengetahuan dan sikap terhadap kesiapsiagaan Tabel 3Hubungan KeterampilanBasic Life Support
masyarakat dalam menghadapi bencana di wilayah (BLS)dengan Kesiapsiagaan Bencana Gempa Bumi
Kecamatan Medan Tuntungan menunjukkan pada Mahasiswa Keperawatan Poltekkes Banda
bahwa variabel yang mempunyai hubungan dengan Aceh (n=30)
kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi Sumber : Data Primer (diolah) tahun 2017
bencana yaitu sikap (p=0,018). Berdasarkan hasil penelitianTabel 3 menunjukkan
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang bahwa dari 18 responden yang memiliki
dilakukan oleh Bukhari (2013), tentang hubungan keterampilanBasic Life Supportcukupternyata
sikap dengan kesiapsiagaan bencana gempa bumi (61,1%) diantaranya hampir siap menghadapi
oleh perawat pelaksana di Rumah Sakit Ibu dan bencana gempa bumi, dari 12 responden yang
Anak Pemerintah Aceh menunjukkan bahwa keterampilan Basic Life Supportkurang ternyata
terdapat hubungan yang bermakna antara sikap (75%) hampir siap menghadapi bencana gempa
dengan kesiapsiagaan dimana terdapat 90,9% bumi.Berdasarkan hasil uji chi-squaredengan taraf
perawat memiliki sikap baik, 53,3% memiliki sikap signifikan 5% (0,05) diperoleh bahwa p value =
kurang dan siap dalam menghadapi bencana gempa 0,594 yang berarti p value = > 0,05 maka tidak ada
bumi. hubungan yang bermakna antara keterampilan
MenurutNotoatmodjo (2003),sikap merupakan Basic Life Supportdengan kesiapsiagaan dalam
kesiapan atau kesedian untuk bertindak dan bukan menghadapi bencana gempa bumipada mahasiswa
merupakan pelaksanaan motif tertentu. Dalam kata keperawatan Poltekkes Banda Aceh.
lain fungsi sikap belum merupakan tindakan (reaksi Chapman (2008), menyatakan bahwa 80% perawat
terbuka) atau aktifitas, akan tetapi merupakan yang menjadi relawan bencana tidak mempunyai
predisposisi perilaku (tindakan) atau reaksi pengalaman dan keterampilan dalam tanggap
tertutup. Sikap merupakan reaksi atau respon yang bencana serta 23% perawat hanya pernah
masih tetap dari seseorang terhadap sesuatu mendapatkan pendidikan kesiapsiagaan bencana
stimulus atau objek. Sikap menentukan perilaku dasar dan tidak ada pendidikan kelanjutannya.
Menurut Hasibuan(2000) dikutip dari Yanuardi(2013), keterampilan merupakan Jurnal Magister Ilmu
Kebencanaan (JIKA) Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 4, No. 2, Mei 2017 57
kemampuan sesorang dalam menyelesaikan tugas yang ditugaskan kepadanya. Keterampilan disini
mencakup technical skill, human skill, conceptual skill, seperti kecakapan untuk memanfaatkan
kesempatan, kecermatan, menggunakan peralatan yang dimiliki dalam mencapai tujuan.
KESIMPULAN
Berdasarkanhasilpenelitian, makadapatdiambilkesimpulanpenelitianiniadalahsebagaiberikut:
1) Terdapat hubungan bermakna antara pengetahuan bencana mahasiwa keperawatan Poltekkes Banda
Aceh dengan kesiapsiagaan bencana gempa bumi.
2) Terdapat hubungan bermakna antara sikap mahasiswa keperawatan Poltekkes Banda Aceh dengan
kesiapsiagaan bencana gempa bumi.
3) Tidak terdapat hubungan bermakna antara keterampilan Basic Life Support mahasiswa keperawatan
Poltekkes Banda Aceh dengan kesiapsiagaan bencana gempa bumi.

SARAN
1) Diharapkan perlu adanya pelatihan kesiapsiagaan bencana gempa bumi yang terencana untuk
meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menghadapi bencana gempa bumi meliputi peningkatan
keterampilan Basic Life Support.
2) Perlu adanya peningkatan dukungan Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Banda Aceh dan
instansi terkait untuk bersama-sama lebih tanggap mewaspadai bencana gempa bumi yaitu dengan
peningkatan pengetahuan dan sikap tentang bencana, menyusun rencana tanggap darurat, adanya sistem
peringatan bencana dan memobilisasi sumber daya tenaga
perawat yang siap dan tanggap terhadap bencana.
3) Bagi responden dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai bahan masukan dalam peningkatan
pengetahuan, sikap bencana dan keterampilan Basic Life Support dengan kesiapsiagaan menghadapi
bencana gempa bumi pada mahasiswa Keperawatan Politeknik Kesehatan Banda Aceh.
4) Bagi peneliti dapat dijadikan sebagai ilmu pengetahuan untuk terus belajar, dimana peneliti menyadari
masih terdapat kekurangan dan kesempurnaan serta diharapkan ada upaya perbaikan-perbaikan
dikemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA
American Heart Association. (2010). Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) and
Emergency Cardiovaskular Care (ECC) of Pediatric and Neonatal Patient; Pediatric Advanced Life
Support. Dallas. Texas.
Ajmain. (2013). Analisis Kesiapsiagaan Perawat dalam Pemberian Pelayanan Kegawatdaruratan Sistem
Pernafasan Akibat Bencana Alam di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Tamiang. Jurnal
Ilmiah Kesehatan Masyarakat USU. Medan.
Bartel, S. (2011). Earthquakes have a bigger health toll than other disasters. Journal of Harvard
Humanitarian Initiative in Boston.
BNPB. (2013). Gempa Bumi Aceh Tengah dan Bener Meriah. Propinsi Aceh: Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB).
Bukhari, M. S. (2013). Hubungan Sikap tentang Regulasi, Pengetahuan dan Sikap Perawat Terhadap
Kesiapsiagaan Jurnal Magister Ilmu Kebencanaan (JIKA) Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
58 Volume 4, No. 2, Mei 2017
Bencana Gempa Bumi di Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Ibu dan Anak Pemerintah Aceh.
Jurnal Ilmu Kebencanaan Universitas Syiah Kuala, 2, 58-66.
Chapman. (2008). Disaster Preparedness in The Acute Setting. Australasian Emergency Nursing Journal.
Hermawati, D. (2010). Tingkat Pengetahuan dan Keterampilan Perawat dalam Kesiapsiagaan
(preparedness). Jurnal Kesehatan Indonesia. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Kemenkes. (2007). Pendidikan dan Promosi Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
LIPI-UNESCO/ISDR. (2006). Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Menghadapi Ancaman Bencana
Alam. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
P2KK. (2007). Buku Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Rakhmat, J. (2012). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sterz, F. (2008). Safety, Feasibility, and Hemodynamic and Blood Flow Effects of Active Compreeion-
Decompression of Thorax and Abdomen In Patients with Cardiac Arrest. Journal Pulmed. Medical
University of Vienna: Austria.
Yanuardi. (2013). Pengaruh Keterampilan Kerja dan Pengetahuan Administrasi terhadap Kinerja Pegawai
Administrasi Fakultas Ekonomi. Ejournal Universitas Negeri Padang: Sumatera Barat.

JURNAL 2

PENGALAMAN PERAWAT DALAM MELAKUKAN PENILAIAN CEPAT KESEHATAN


KEJADIAN BENCANA PADA TANGGAP DARURAT BENCANA ERUPSI
GUNUNG KELUD TAHUN 2014 DI KABUPATEN MALANG
(STUDI FENOMENOLOGI)
Yati Nur Azizah1, Retty Ratnawati2, Setyoadi3
1DInas Kesehatan Kabupaten Malang
2,3Program Studi Magister Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
ABSTRAK
Rapid Health Assessment (RHA) sangat diperlukan dalam kondisi bencana, dimana bencana merupakan
kejadian yang sering terjadi akibat pengaruh alam yang dapat menimpa kehidupan manusia dan
mengancam lingkungan. RHA sangat dibutuhkan untuk mengumpulkan data, memberikan informasi yang
obyektif sehingga mampu memecahkan masalah selama tanggap darurat bencana sampai dengan
pemulihan pasca bencana. Tujuan umum penelitian ini adalah mengidentifikasi makna pengalaman
perawat dalam melakukan Rapid Health Assessment / RHA pada tanggap darurat bencana erupsi Gunung
Kelud tahun 2014 di Kabupaten Malang. Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif dengan
pendekatan fenomenologi interpretif. Partisipan yang ikut serta dalam penelitian ini sebanyak lima orang
perawat yang terdiri dari tiga orang perawat yang bekerja di Dinas Kesehatan Kabupaten Malang dan dua
orang perawat yang bekerja di Puskesmas Ngantang. Hasil analisis didapatkan delapan tema yang
didapatkan dari delapan tujuan khusus penelitian. Tema yang di dapat antara lain : perawat tidak siap
dalam pengisian RHA, perawat merasakan kurangnya kerjasama tim, perawat merasa kurang memahami
dalam pengisian format, perawat mengalami permasalahan dalam pengumpulan data, perawat
mengalami kendala dalam koordinasi rujukan antar wilayah, perawat mengalami hambatan dalam
melakukan penilaian dan perawat merasakan adanya konflik tugas dalam pengisian RHA, serta harapan
perawat untuk optimalisasi RHA. Perencanaan yang jelas dalam manajemen bencana akan meningkatkan
pelayanan kesehatan dan koordinasi antar wilayah. Kesiapan lain yang harus dimiliki oleh perawat adalah
peningkatan kompetensi baik melalui pelatihan-pelatihan seperti managemen bencana, adanya petunjuk
teknis, sarana dan prasarana serta pengalaman perawat itu sendiri dalam menangani masalah
bencana.Kurang optimalnya perawat dalam proses penilaian cepat kesehatan dalam bencana baik dilihat
dari segi persiapan perawat, kerjasama tim maupun pada saat pengumpulan data serta kurangnya
koordinasi baik lintas program, lintas sektor maupun antar wilayah maka perawat memiliki harapan untuk
peningkatan dalam optimalisasi RHA dengan melakukan pelatihan-pelatihan dan peningkatan kompetensi
perawat
Kata Kunci : penilaian cepat kesehatan kejadian bencana, tanggap darurat bencana, pengalaman
perawat, fenomenologi
ABSTRACT
Rapid Health Assessment (RHA) is actually needed within disaster event especially due to natural disaster
which it could bring an adverse impact to human life and environmental as well. RHA is strongly required
to collecting data, providing objective information to solve its problem during disaster emergency
response and post emergency disaster. The purpose of the study was to examine nurse’s experience
towards RHA in Disaster Event: Study of Phenomenology at Mount Kelud Eruption in Malang County 2014.
Method used in this study was a qualitative design with phenomenology approach interpretive. The study
participants were five nurses including three nurses who work at Local Health Office, District of Malang
while two other nurses at Community Health Center. Study result was obtained eight themes, which are
nurses were not ready to filling in RHA; less of team cooperation among nurses; less of understanding to
filling in RHA format; nurses had problem to collecting data; nurses exposed challenges to perform
referral within region; nurses had obstacle to perform assessment; nurses had conflict within RHA
implementation; and nurses hope to optimize RHA. Defined planning in disaster management will improve
health care services and coordination within regions. Other one that should be owned by nurses was
about nurse’s competency in disaster management performed, technical guidelines, infrastructure and
nurses experience to address disaster. Less than optimal when performing RHA and it could be seen as
nurses readiness, less of team work to execute data collection and coordination within cross program,
cross sector and within regions. That could, hence, nurses had new hope to improve RHA implementation
during disaster event by conducting trainings and improving the competence of nurses
Keywords: rapid health assessment, disaster emergency response, nurses experience, phenomenology
approach
Jurnal Ilmu Keperawatan, Vol: 3, No. 2, November 2015; Korespondensi: Yati Nur Azizah, Dinas Kesehatan
Kab. Malang. Jl. Panji No.120 Kepanjen Malang. Email:yatinurazizah@gmail.com. Telp: 082140155005
www.jik.ub.ac.id
PENDAHULUAN
Penilaian cepat kesehatan kejadian bencana atau Rapid Health Assessment (RHA) sangat diperlukan
dalam kondisi bencana, dimana bencana merupakan kejadian yang sering terjadi akibat pengaruh alam
yang dapat menimpa kehidupan manusia dan mengancam lingkungan (Khankeh HR, dkk., 2007). Dampak
yang ditimbulkan mengakibatkan dampak fisik pada manusia seperti kesakitan dan kematian serta
dampak lingkungan yaitu kerusakan infrastruktur, kerusakan area pertanian serta menyebabkan
gangguan kesehatan. Abu vulkanik yang dikeluarkan oleh Gunung Kelud mengakibatkan
terkontaminasinya air bersih, tersumbatnya saluran air, serta rusaknya fasilitas air bersih. Dampak
terhadap gangguan kesehatan secara umum abu vulkanik menyebabkan masalah kesehatan khususnya
menyebabkan iritasi pada paru-paru, kulit dan mata.(Suryani, 2014). RHA berisi data tentang jenis
bencana, lokasi bencana, dampak bencana, kondisi korban, kondisi sanitasi lingkungan penampungan,
upaya yang telah dilakukan, kemungkinan KLB yang akan terjadi serta kesiapan logistik dan bantuan yang
mungkin segera diperlukan. RHA juga mengidentifikasi angka morbiditas dan mortalitas pada penduduk
yang mengalami bencana terutama masyarakat khusus seperti anak-anak dibawah 5 tahun, orang tua, ibu
hamil dan wanita menyusui (Depoortere & Brown, 2006, Kemenkes, 2013).
Pengambilan data RHA pada saat terjadi bencana erupsi Gunung Kelud di Kabupaten Malang belum
berjalan secara optimal, hal ini dibuktikan dengan masih ditemukannya lembar RHA yang tidak terisi
secara penuh karena adanya keterbatasan perawat dalam pengisian RHA dan adanya informasi yang tidak
jelas mengenai kondisi bencana serta kurangnya koordinasi dengan anggota tim kesehatan lain (Dinas
Kesehatan Kabupaten Malang, 2014). Perawat dalam menangani bencana harus mempunyai
pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan dalam menghadapi kedaruratan bencana (Cut,dkk.,2011).
Bencana erupsi Gunung Kelud yang terjadi pada tanggal 14 Februari 2014 dari hasil pengamatan peneliti,
semua unsur pelayanan kesehatan terjun langsung ke tempat kejadian namun RHA baru dapat
dilaksanakan 1 hari setelahnya karena kondisi dari bencana tersebut. Hasil studi pendahuluan yang
dilakukan dengan wawancara pada salah satu perawat yang melakukan RHA dan mengalami erupsi
Gunung Kelud menyebutkan bahwa RHA dilakukan oleh tim dari Puskesmas dan Dinas Kesehatan yang
terdiri dari dokter, perawat, petugas surveilans, petugas gizi dan sanitarian namun tidak terkoordinasi
dengan baik dan format RHA tidak di isi keseluruhan karena belum sepenuhnya menguasai dokumentasi
RHA.
Keperawatan bencana bertujuan untuk memastikan bahwa perawat mampu untuk mengidentifikasi,
mengadvokasi dan merawat dampak dari semua fase bencana termasuk didalamnya adalah berpartisipasi
aktif dalam perencanaan dan kesiapsiagaan bencana. Perawat harus mempunyai ketrampilan teknis dan
pengetahui tentang epidemiologi, fisiologi, farmakologi, struktur budaya dan social serta masalah
psikososial sehingga dapat membantu dalam kesiapsiagaan bencana dan selama bencana sampai dengan
tahap pemulihan (ICN,2009). Perawat bersama dengan dokter merupakan ujung tombak kesehatan pada
saat bencana terjadi selama dalam kondisi kritis dan gawat darurat (Zarea, dkk.,2014). Perawat dapat
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat baik yang bersifat kegawat daruratan maupun
berkelanjutan seperti perawatan neonatal, pendidikan dan penyuluhan kepada masyarakat,
mengidentifikasi penyakit dan imunisasi serta “...terus terang kami sudah tidak ingat untuk
intervensi pada saat kesiapsiagaan dan tanggap membawa format ini…”(P4)
darurat bencana (Savage & Kub, 2009). “saya hanya melakukan wawancara dengan
METODE masyarakat yang kemudian saya catat di catatan
Penelitian ini menggunakan desain penelitian kecil saya hehehehe….” (P2)
kualitatif dengan pendekatan fenomenologi “…..jadi yang kita punya adalah catatan-catatan
interpretif. Partisipan yang ikut serta dalam kecil…”(P3)
penelitian ini sebanyak lima orang perawat yang Perawat merasakan kurangnya kerjasama tim
terdiri dari tiga orang perawat yang bekerja di Kurangnya kerjasama tim disebabkan karena
Dinas Kesehatan Kabupaten Malang dan dua orang perawat banyak melakukan tupoksi orang lain dan
perawat yang bekerja di Puskesmas Ngantang perawat sering bekerja sendirian tanpa adanya tim
dengan kualifikasi pendidikan keperawatan satu lain dalam melakukan pengkajian serta kurangnya
orang SPK, dua orang berpendidikan Diploma Tiga koordinasi antar anggota tim. Hal ini seperti yang
Keperawatan, satu orang berpendidikan Diploma diungkapkan oleh partisipan sebagai berikut :
Empat Kesehatan Jiwa dan satu orang “…mungkin seharusnya tidak dikerjakan oleh
berpendidikan Sarjana Keperawatan dengan masa perawat ya….namun harusnya tim…”(P1)
kerja berkisar antara enam sampai dengan tiga “namun banyak masalah-masalah lain yang
puluh dua tahun. Tehnik pengambilan data melalui sebenarnya bukan tugas kita”(P2)
wawancara yang berkisar antara 30 – 50 menit Perawat juga bekerja tanpa tim lain dalam
dengan menggunakan alat perekam berbasis melakukan pengisian data. Perawat bekerja sendiri
android. Tempat wawancara dilakukan di rumah dalam melakukan pengkajian, seperti yang
dan kantor partisipan sesuai dengan kesepakatan diungkapkan oleh partisipan berikut ini :
yang telah dibuat. Hasil analisis dianalisis “selama ini juga yang melakukan RHA adalah
menggunakan tabel analisis yang berisi kata kunci, perawat itu sendiri dalam pengisian
analisis reflektif, kategori, sub-sub tema, sub tema datanya...”(P1)
dan tema. “…tapi biasanya semua perawat sih yang
HASIL melakukan...”(P3)
Perawat tidak siap dalam pengisian RHA “malah perawat yang lebih banyak melakukan
Persiapan yang harus disiapkan adalah format dan pengkajian itu sendiri….(P2)
pencatatannya, namun partisipan tidak siap akan “...pengkajian RHA itu banyak yang melakukan
format yang dibawanya, tidak ingat untuk perawat….”(P3)
membawa format maupun pencatatan yang apa “Mohon maaf ya mbak…selama ini menurut
adanya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh pandangan saya…kita bekerja sendiri-sendiri…”(P2)
partisipan Perawat banyak melakukan pengkajian sendiri
“...dan itu dan itupun tidak membawa sehingga dalam menilai pekerjaan perawatpun
format….karena ya itu….tidak sempat…”(P5) tidak dilakukan oleh suatu tim, namun
dilakukan oleh perawat itu sendiri. Hal ini seperti “untuk mengisi ceklis hanya mengisi saja
yang diungkapkan oleh partisipan berikut : sih…..tanpa tahu itu untuk
“...jadi masing-masing program menilai dengan apa….heheheheee…”(P3)
cara kerjanya masing-masing”(P1) “….terutama yang punya program lain….karena
“Bagaimana ya…(diam, berfikir)…kayaknya lebih saya kurang paham juga…”(P2)
banyak yang mengerjakan RHA itu malah justru “….juga karena kita tidak memahami apa yang
perawatnya sih…”(P1) perlu ditulis”.(P1)
Pengkajian yang dilakukan oleh perawat sendiri, “kemungkinan untuk bisa mengisi bisa….namun…
maka dalam koordinasi antar tim pun kurang, hal untuk untuk melihat kebutuhan…kayaknya masih
ini seperti yang diungkapkan oleh partisipan belum mengerti….”(P3)
berikut : Partisipan lain mengungkapkan keraguannya
“malah perawat yang lebih banyak melakukan dalam pengisi data karena tidak adanya informasi
pengkajian itu sendiri….jadi istilahnya apa yang jelas dari masyarakat. Berikut adalah
ya….kurang koordinasi lah….dalam melakukan ungkapan partisipan tentang keraguannya :
pengkajian RHA itu..jadi untuk kerja timnya masih “..bahwasanya bahwa kurangnya informasi dari
terasa kurang terkoordinasi” (P2) masyarakat sehingga juga merasa ragu untuk
Perawat merasa kurang memahami dalam mengisi data.”(P5).
pengisian format Perawat mengalami permasalahan dalam
Kurang pemahaman dalam pengisian format RHA, pengumpulan data
menyebabkan kesulitan dan kebingungan dalam Pengkajian dilakukan untuk mengumpulkan data
pengisian format karena tidak sama dengan teori- dan informasi tentang kesehatan didalam bencana.
teori yang diterima. Hal ini seperti yang Di dalam pengkajian ditemukan ketidakjelasan
diungkapkan oleh partisipan berikut : data dimana didapati data yang tidak pasti, data
“Juga kadang bingung mengisinya…..karena yang terekam ulang, data yang hanya sebuah
datanya simpang siur…terutama adalah jumlah estimasi sampai dengan informasi yang tidak jelas
korban, jumlah penduduk rawan…itu…itu…”(P2) mengenai keadaan kesehatan selama bencana
“…saat gunung meletus saat kejadian ya bingung erupsi Gunung Kelud tahun 2014.
mesti ada…..karena selama ini kan teori-teori saja Data yang tidak pasti ditemukan dengan adanya
yang kami terima .”(P5) data yang simpang siur, seperti yang dikemukakan
Partisipan juga mengemukakan bahwa kurang oleh partisipan berikut :
mengetahui kegunaan format yang diisi, mereka “Nah….itulah...kadang kita mendapatkan data
hanya mengisi saja sesuai dengan format yang ada. yang simpang siur…”(P1)
Hal ini diungkapkan oleh partisipan sebagai berikut “...karena datanya simpang siur…terutama adalah
: jumlah korban, jumlah penduduk rawan…”(P2)
“jadi kami tidak bisa mengidentifikasi terlalu
simpang siur datanya”(P3)(P4) “karena kita belum mendapat informasi yang
Data yang tidak pasti juga dikarenakan data yang jelas…seperti berapa jumlah korban, kebutuhan
tidak sinkron, data yang tidak pasti, data yang kesehatan apa yang diperlukan…”(P1)
belum jelas, terjadi krodit nominal, serta data yang “…tidak mendapatkan informasi apapun dari lintas
tidak siap sebagaimana yang diungkapkan oleh sector”(P3)
partisipan berikut : “...kayaknya seperti diagnose keperawatan….apa
“memang ada beberapa yang tidak bisa ya ..kurang informasi..”(P5)
sinkron…”(P3) Perawat mengalami kendala dalam koordinasi
“sehingga data yang kita peroleh datanya tidak rujukan antar wilayah
sinkron”(P3) Rujukan antar wilayah ini terkendala pada masalah
“karena belum didapatkan data yang pasti…”(P2) koordinasi yang lama, misal ditingkat kebijakan
“…jumlah penduduk rawan…itu…itu…datanya terutama adalah koordinasi untuk rujukan
belum jelas…sehingga untuk mengisi format RHA pelayanan kesehatan antar wilayah. Hal ini
itu menjadi ragu-ragu.”(P2) diungkapkan oleh partisipan sebagai berikut :
“Kroditnya pada nominal jumlah pengungsi yang “Kalau dalam pelayanan kesehatan kita memang
berubah-ubah….”(P2) terkendala dalam masalah
“namun data kebutuhannya belum kami siapkan
saat itu”(P5)
Ketidakjelasan data itu juga disebabkan karena
adanya data yang terekam ulang karena adanya
double data, hal ini seperti yang diungkapkan
partisipan berikut :
“Yaa….dari data sehingga kadang ada double
data…”(P2)
“…jadi terjadi kemungkinan double data”(P3)
“kadang data yang sudah ada di pos 1 terekam
kembali di pos 2”(P2)
Partisipan juga mengungkapkan data yang
ditemukan merupakan sebuah data estimasi saja,
seperti pernyataan berikut :
“karena belum didapatkan data yang pasti…hanya
sebuah estimasi saja..”(P1).
Data hasil pengkajian didapatkan juga perpedaan
selisih data serta adanya data yang tidak sama
antara data primer maupun data sekunder. Hal ini
dikemukakan oleh partisipan dengan pernyataan
berikut :
“….namun ada data yang perbedaan
selisih..misalnya hari ini dilaporkan 400 yang
terkena bencana namun ternyata di data yang lain
misal ada 600.”(P3)
“...kadang jumlah datanya tidak sama”(P1)
“…data dari sekunder jumlah
sekian...eee...ternyata data primer sekian…”(P1)
Ketidakjelasan data juga dikarenakan banyaknya
data yang tidak diisi seperti yang diungkapkan oleh
partisipan :
“Ya…kemungkinan data yang diisi banyak
ya…”(P5)
Informasi yang tidak jelas dan kurangnya informasi
juga menjadikan ketidakjelasan data, hal ini
diungkapkan oleh partisipan :
rujukannya karena yang kejadian Kelud kemarin “….karena belum ada koordinasi….nah ini
itu….wilayah kita apa ya istilahnya….terbelah”(P1) sebenarnya adanya mis ditingkat kebijakan”(P5).
“nahhh…inilah yang menjadikan koordinasinya
lama…sehingga rujukannya juga lama”(P1)
Perawat mengalami hambatan dalam melakukan penilaian
Hambatan yang terjadi banyak disebabkan karena adanya jalur komunikasi yang terputus, gangguan alat
komunikasi, gangguan alat penerangan, serta gangguan transportasi. Kendala koordinasi juga menjadi
hambatan dalam melakukan pengkajian.
Komunikasi yang putus menjadi kendala dalam komunikasi sehingga tidak adanya jalur komunikasi baik
sms yang lama maupun komunikasi yang tidak langsung tersambung. Hal ini diungkapkan oleh partisipan
berikut :
“karena terkendala komunikasi sempat terputus sampai H+2”(P1)
“tidak ada 1 alat komunikasipun yang berfungsi ….”(P3)
“sudah tidak adanya jalur komunikasi, sms pun nyampainya lama”(P2)
“….tapi kita walaupun ya…tidak langsung bisa tersambung….”(P5)
Hambatan lain dalam melakukan pengkajian adalah gangguan dari alat komunikasi itu sendiri seperti
telepon mati, HP yang tidak ada signal sampai dengan HT yang tidak berfungsi sampai dengan gangguan
alat penerangan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh partisipan sebagai berikut :
“dimana telepon mati…hp tidak ada sinyal…listrik juga mati…jadi susah sekali untuk berkomunikasi
dengan teman-teman yang lain.” (P1)
“mau koordinasi bagaimana wong sinyal hp juga ikutan mati”(P2)
“telepon sudah tidak bisa lagi sambungannya…. HT juga tidak berfungsi…”(P3)
“signal hp tidak ada…. batre low bat”(P4)
“….komunikasi baik hp sampai ht mati…”(P5)
”Sudah itu listrik padam semua…”(P1)(P2)(P4)
Hambatan lain yang terjadi adalah gangguan transportasi dimana ambulance tidak dapat digunakan dan
transportasi yang tidak memadai, hal ini diungkapkan oleh partisipan sebagai berikut :
“….ambulance yang kami pakai, masuk ke dalam kubangan abu, sehingga kami meninggalkan ambulance
karena tidak bisa jalan.”(P1)
“…walaupun seperti ambulance kami yang tidak bisa kami ambil sampai beberapa hari karena terbenam
lumpur itu.”(P5)
“…untuk transportasi tidak memadai…..untuk ambulance memang tidak bisa karena memang model
ambulannya yang memang susah untuk menerobos daerah yang ada.”(P3)
Hambatan lain yang diungkapkan oleh partisipan adalah kesulitan koordinasi, baik koordinasi dengan
BPBD, koordinasi yang rumit maupun prosedur dan birokrasi yang rumit. Hal ini diungkapkan oleh
partisipan dengan pernyataan sebagai berikut :
“….yang terutama adalah fungsi koordinasi…jadi pada saat kejadian memang case kita yang memang
bergerak Kabupaten Malang yang bergerak total all out….jadi yang dilakukan hambatan pada koordinasi
adalah
dengan pihak BPBD”(P1)
“Terus pernah juga terkendala koordinasi…..ada desa yang saat itu tidak tercukupi kebutuhan logistic
makanan…..saat itu saya koordinasi dg pak D ….pak D telp perangkat desa yang kemudian koordinasinya
rumitttt…..”(P3)
“….jadi kami kaya orang kebingungan juga….ribet pos-pos kesehatan yang ada. Hal ini diungkapkan
untuk koordinasi saat itu….”(P4) oleh partisipan dengan ungkapan berikut :
“para perangkat datang ke sana…prosedurnya “….kerjanya perawat juga sebagai tim kesehatan”
dan birokrasinya sangat rumit sekali….”(P4) (P2)
Perawat merasakan adanya konflik tugas dalam “kami menjadi tulang punggung dalam melakukan
pengisian RHA pelayanan kesehatan.”(P4)
Perawat merasakan adanya konflik tugas dalam Mengevakuasi korban, mengangkut penduduk
pengisian RHA diartikan bahwa perawat beresiko tinggi seperti anak-anak, ibu hamil, balita,
mengerjakan tugas selain sebagai tim RHA. Tugas lansia dan orang sakit serta menolong dan
lain yang dikerjakan oleh perawat ada di semua lini membantu korban juga merupakan bagian dari
dimana selain perawat melakukan rapid health tugas perawat. Pernyataan ini diungkapkan oleh
assessment perawat juga melakukan rapid partisipan sebagai berikut :
assessment mulai dari assessment awal sampai “..yang kami angkut pertama adalah, bayi ada
dengan perencanaan, mengurusi pengungsi, bayi umur 2 hari, balita dan ibu hamil,
bertugas mengganti tugas sanitarian maupun
surveilans. Hal ini diungkapkan seperti pernyataan
partisipan :
“...namun menurut saya perawat itu bisa ada di
semua lini...”(P1)
“sepertinya RHA itu kayak semuanya punya kita ya
(tertawa)……sebenarnya ini bukan hanya masalah
kesehatan, namun banyak masalah-masalah lain
yang sebenarnya bukan tugas kita ada semuanya
ada disini”(P3)
“kamilah yang melakukan tugasnya semua…(P4)
Partisipan juga mempunyai pekerjaan lain sehingga
perawat melakukan double job dan kerja perawat
juga semakin banyak seperti yang diungkapkan
oleh partisipan berikut :
“yahhhh karena banyak sekali faktornya….ya…
karena double job….heheheeee….”(P1)
perawat juga sebagai tim kesehatan, sehingga
kerjanya perawat itu juga banyak…”(P2)
Partisipan juga bekerja mengurusi pengungsi
seperti yang diungkapkan oleh partisipan berikut
ini :
“...karena kita masih mengurusi pengungsi…”(P4)
Partisipan juga bertugas mengganti tugas
sanitarian maupun surveilans. Hal ini diungkapkan
oleh partisipan dengan pernyataan :
“Dan kami juga terlibat dalam pengisian RHA itu
baik itu mengisi kepunyaan sanitarian maupun
surveilans. “(P3)
“….nah seperti puskesmas sendiri tidak
mempunyai sanitarian, sehingga kita juga yang
mengerjakan.”(P3)
Partisipan mengungkapkan bahwa perawat
merupakan tulang punggung dari tim kesehatan
dan pelayanan kesehatan. Tim kesehatan secara
umum juga melakukan pelayanan kesehatan pada
anak-anak yang kami angkut setelah itu lansia
serta orang-orang yang sakit”(P3)
“perawat berusaha untuk membantu semua korban…”(P2)
Harapan perawat untuk optimalisasi RHA
Perawat mempunyai harapan untuk terwujudnya optimalisasi dalam pelaksanaan penilaian RHA, seperti
yang diungkapkan oleh partisipan sebagai berikut :
“ kalau misal memungkinkan ya adanya pelatihan khusus tentang RHA sih….maksudnya biar semua
perawat tahu apa yang mesti dilakukan dengan RHA bila desanya terjadi bencana” (P3)
“…sesekali dilakukan penyegaran atau apalah dalam pengisian RHA”(P5)
“Yang perlu ditekankan juga adalah kerjasama antar tim…jadi kira tidak bekerja dengan
sendirinya..namun kita bisa istilahnya berkolaborasi dengan anggota tim yang lain.”(P2)
PEMBAHASAN
Perawat tidak siap dalam pengisian RHA
Format RHA merupakan suatu metode penilaian cepat diperlukan untuk mengumpulkan informasi yang
terpercaya, obyektif yang digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan. (Roorda, dkk,. 2004).
Format RHA digunakan sebagai alat kajian cepat untuk melihat adanya keadaan yang darurat dengan
mengumpulkan informasi penting status kesehatan sehingga memberikan intervensi kesehatan yang
diprioritaskan. Adanya suatu format penilaian cepat sangat penting untuk mengumpulkan informasi
dalam waktu yang cepat. (Bradt & Drummond, 2002)
Menurut penelitian Korteweg dan Bokhoven (2010), bahwa versi digital dari format meningkatkan
rapidness dari penilaian, namun tidak bisa menarik kesimpulan apakah format dalam bentuk kertas atau
versi digital berpengaruh pada hasil dari penilaian.
Pencatatan yang apa adanya merupakan ketidaksiapan lain yang dialami oleh perawat pada saat akan
melakukan pengkajian. Menurut Jevon dan Ewens (2009), pencatatan yang baik adalah sebagai sumber
penyebaran informasi dan sarana komunikasi sesama anggota tim yang professional. Dokumentasi pada
saat bencana harus dilakukan pelaporan oleh anggota tim yang melaksanakan pendokumentasian.
Kurangnya pedoman lapangan juga akan menjadi hambatan tehnis dalam pelaksanaaan pengumpulan
data (Johnson, 2006).
Perawat merasakan kurangnya kerjasama tim
Kurangnya kerjasama tim disebabkan karena perawat banyak melakukan tupoksi orang lain dan perawat
sering bekerja sendirian tanpa adanya tim lain. Hal ini senada dari hasil penelitian Anam (2013), bahwa
Kebijakan dalam pelibatan tim penanggulangan bencana didapatkan hasil 61,4 persen perawat belum
pernah terlibat dalam tim penanggulangan bencana Gunung Kelud.
Secara konsep disebutkan bahwa dalam suatu bencana, perawat harus dapat berkolaborasi dengan
lingkungannya baik itu dengan epidemiologi, laboratorium, biostatistik, dokter maupun petugas yang lain
unutk meningkatkan kerjasama dalam kondisi bencana. (Magnaye, 2011). Menurut Nicola, (2012), bahwa
RHA harus diselesaikan sesegera mungkin berikut darurat dan dilakukan oleh tim multidisiplin personil
yang berkualitas, dengan kisaran yang tepat keahlian.
Anggota tim sebaiknya memiliki pengalaman dan pengetahuan di bidangnya, memiliki
integritas dan mampu bekerja dalam situasi Tim, 2011). Keterampilan dan berfikir kritis sangat
bencana. Apabila dampak bencana sangat luas, perlu untuk perawat dalam mengevaluasi data,
dapat dibentuk beberapa tim. (Kemenkes, 2011). mengidentifikasi kebutuhan, memberikan
Hal senada diungkapkan Wibowo (2009), bahwa alternatif dan memahami kebutuhan dalam
tim bencana termasuk didalamnya adalah perawat keadaan bencana (Alfaro, 2006). Berfikir kritis akan
diseleksi berdasarkan keahlian dan kebutuhan yang mendapatkan obyektifitas dan tanggap terhadap
diperlukan. Menurut Daily (2009), mengatakan apa yang terjadi (Lipe & Beasley, 2004).
bahwa kompetensi suatu tim mudah dipengaruhi Menurut Notoatmodjo (2007), kemampuan untuk
oleh profesi kesehatan lain. menginterpretasikan dan memahami suatu objek
Kurangnya koordinasi anggota tim dalam materi harus mempunyai suatu kemampuan
melakukan pengkajian sehingga dalam melakukan dalam menjelaskan, memberikan contoh dan
penilaian dilakukan sendiri oleh perawat tanpa menyimpulkan suatu objek sehingga
adanya evaluasi dari tim. Firth & Cozen (2011), membutuhkan ketrampilan.
berpendapat bahwa suatu organisasi dan tim Magnaye (2011), dalam penelitiannya pada 250
merupakan suatu budaya yang sangat penting perawat di Philipina bahwa pengetahuan harus
untuk mendukung keberhasilan pembelajaran. dipersiapkan sebelum kejadian bencana untuk
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa meningkatkan kompetensi perawat saat bencana
kerjasama tim sering menimbulkan konflik dan terjadi. Persiapan perawat meliputi training,
ambiguitas karena adanya otonomi professional. workshop, seminar tentang keperawatan bencana.
(Finn, 2008). Menurut penelitian Kerr (2009), International Council Nurse (2007), menyatakan
disebutkan bahwa tim yang berkomunikasi dan bahwa faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan
berkoordinasi satu sama lain akan memantau perawat diantaranya adalah kemampuan kognitif
kinerja masing-masing dan memberikan umpan disamping sikap (affektif) dan psikomotor (skill)
balik dan memiliki solusi dalam keadaan salah. dalam disaster manajemen.
Koordinasi tim juga akan meningkatkan Penelitian yang dilakukan oleh Kija dan Paul
pengetahuan, komunikasi dan dukungan bagi (2008), mengatakan bahwa dalam managemen
anggota tim yang kurang berpengalaman. bencana yang meliputi kesiapsiagaan bencana,
Perawat merasa kurang memahami dalam tanggap bencana dan pemulihan setelah bencana
pengisian format pengetahuan perawat masih kurang dan 80 %
Kurang pemahaman dalam pengisian format RHA, perawat yang menjadi tim bencana tidak
menyebabkan kesulitan dan kebingungan dalam mempunyai pengalaman dalam tanggap darurat
pengisian format karena tidak sama dengan teori- bencana serta sebagian kecil yaitu 23% perawat
teori yang diterima merupakan perasaan yang mendapatkan pelatihan dasar kesiapsiagaan tanpa
diungkapkan oleh perawat dalam pengisian format disertai dengan pelatihan lanjutan. Hal ini juga
RHA. senada dari hasil penelitian Fung (2008), bahwa
Secara konsep bahwa berfikir kritis akan lebih sebagian besar perawat yaitu 97% tidak
meningkatkan kemampuan mereka terhadap mempunyai persiapan dalam penanggulangan
tanggap bencana dan respon bencana (Juli & bencana.
www.jik.ub.ac.id
Perawat mengalami permasalahan dalam pengumpulan data
Pengkajian dilakukan untuk mengumpulkan data akibat tsunami hanya mampu menyelesaikan 250
dan informasi tentang kesehatan didalam catatan karena adanya tekanan publik dan politik.
bencana. Di dalam pengkajian ditemukan Menurut penelitian Englande, dkk., (2008), di
ketidakjelasan data dimana didapati data yang Thailand juga terjadi ketidakjelasan dalam
tidak pasti, data yang terekam ulang, data yang pengumpulan data sanitasi dan air paska tsunami
hanya sebuah estimasi sampai dengan informasi dimana tidak adanya indikator yang dibuat oleh
yang tidak jelas mengenai keadaan kesehatan publik.
selama bencana erupsi Gunung Kelud tahun 2014. Ketidakjelasan data terjadi hampir pada saat
Secara konsep kejadian bencana menunjukkan terjadinya bencana, tidak hanya pada saat erupsi
peningkatan kejadian bencana dari tahun ke Gunung Kelud, namun terjadi juga pada bencana
tahun. Pencatatan data bencana yang sistematis yang lain seperti tsunami maupun gempa bumi.
akan mempermudah dalam pengolahan data Perawat mengalami kendala dalam koordinasi
bencana, membantu dalam perencanaan rujukan antar wilayah
pengurangan risiko bencana serta program Proses rujukan terjadi karena kapasitas,
rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana ke kemampuan dan keahlian di tempat pelayanan
depannya. Terdapat perbedaan format pelaporan kesehatan yang tidak merata (Dudley, dkk., 2000).
data antara provinsi/kabupaten/kota yang satu Rujukan dapat dilakukan ke rumah sakit dalam satu
dengan yang lain. Format yang berbeda tersebut wilayah, rujukan ke daerah atau propinsi lain atau
menyebabkan kesulitan dalam membuat bahkan ke negera lain bila korban bencana
rekapitulasi data bencana secara nasional (BNPB, membutuhkan perawatan lebih lanjut ataupun
2011). Informasi yang diterima saat terjadi daya tampung rumah sakit terdekat terlampaui
bencana harus akurat dan factual sehingga dapat (Kemenkes, 2011). Undang-undang Nomor 44
memberikan informasi dengan konteks yang tepat. Tahun 2009 tentang Rumah Sakit tentang system
Perawat dapat mengumpulkan data secara rujukan Rumah Sakit dimana pelimpahan tugas dan
langsung dalam lingkup bencana, sehingga tanggung jawab rujukan bisa secara vertikal
memungkinkan perawat untuk menilai dampak maupun horizontal ataupun struktur dan
bencana (Melinda, 2011). fungsional terhadap masalah kesehatan, hal ini
Menurut penelitian CDC (2005), di Indonesia juga sesuai dengan hasil penelitia Martono (2014),
miskin pencatatan kesehatan setelah terjadi yang mengatakan bahwa perawat melakukan
gempa bumi dan atau tsunami yang rujukan pasien ke fasilitas pelayanan yang lebih
mengakibatkan kesulitan dalam menentukan efek lengkap tertuang dalam Peraturan Gubernur DIY
dan problem kesehatan. Ketidakjelasan data juga No. 59 tahun 2012 pasal 2, sedangkan perawat dari
terjadi di Sri Lanka menurut penelitian Rohan, dkk RS Roemani Semarang melakukan proses rujukan
(2009), menyebutkan bahwa tim pengumpul data berkoordinasi dengan Pimpinan Cabang
kematian di Sri Lanka menghadapi tantangan Muhammadiyah dengan jalur rujukan ke RS Aisiyah
politik dimana tim forensic yang seharusnya Muntilan.
mengidentifikasi dan merekam 1.500 kematian
Koordinasi antar wilayah pada saat bencana erupsi dan system transportasi yang terganggu akan
Gunung Kelud terjadi kendala di dalam koordinasi menimbulkan bahaya yang signifikan bagi anggota
antar pengambil kebijakan daerah, sehingga sangat tim tanggap bencana. Hambatan bahasa dan
mempengaruhi proses rujukan dan menjadikan budaya local juga menghambat dalam
rujukan menjadi lama. Menurut Jones (2008), pengumpulan data (Morton, 2011).
proses pengambilan keputusan di dalam rujukan Informasi kurang memadai yang diakibatkan
terjadi secara konsensus, akomodasi maupun karena kerusakan infrastruktur yang ditandai
defakto. Pengambilan keputusan dengan adanya dengan putusnya jalur komunikasi harus direspon
negoisasi untuk mendapatkan semua persetujuan sebagai tanda peringatan bahaya sehingga Tim
dari semua pihak yang terlibat. Hal ini juga Reaksi Cepat (TRC) dapat disiapkan untuk segera
ditegaskan oleh Bech dan Schmidt (2013), bahwa dikirim ke lokasi bersama dengan Tim RHA.
komunikasi dalam rujukan dilakukan untuk oleh (Kemenkes, 2011).
tempat yang merujuk ke tujuan rujukan sehingga Perawat merasakan adanya konflik tugas dalam
memberikan informasi yang diperlukan sehingga pengisian RHA
memerlukan mekanisme rujukan dengan adanya Kompetensi perawat sebagai tim penanggulangan
interaksi awal. Setiap rujukan memerlukan bencana ini yaitu dapat menjelaskan arti tanggap
komunikasi dan dukukangan informasi baik secara darurat bencana terhadap masyarakat,
verbal maupun tertulis sehingga meningkatkan mengumpulkan data cedera dan penyakit yang
koordinasi antar wilayah yang merujuk dan dirujuk diperlukan, mengevaluasi kebutuhan kesehatan
(Blais, dkk., 2012). dan sumber daya yang tersedia untuk memenuhi
Perawat mengalami hambatan dalam melakukan kebutuhan dasar manusia, kolaborasi dengan tim
penilaian penanggulangan bencana untuk mengurangi
Hambatan yang terjadi banyak disebabkan karena bahaya dan resiko bencana, memprioritaskan
adanya jalur komunikasi yang terputus, gangguan masalah kesehatan, berpartisipasi dalam
alat komunikasi, gangguan alat penerangan, serta penanggulangan kejadian luarbiasa dengan
gangguan transportasi. Kendala koordinasi juga kegiatan seperti imunisasi, mengevaluasi dari
menjadi hambatan dalam melakukan pengkajian intervensi yang telah dilakukan berbasis pada hasil
Pengkajian awal harus dilakukan tepat waktu untuk RHA (ICN, 2009, Hassmiller & Stanley, 2010).
menginformasikan keadaaan darurat dan segera, Pengumpulan data pada saat tanggap darurat
sehingga pengambil kebijakan dapat melakukan bencana meliputi pengumpulan data angka
penilaian cepat dengan melihat kebutuhan dan kesakitan dan kematian, kebutuhan kesehatan
sumber daya, layanan kedaruratan yang diperlukan termasuk kebutuhan psikologi, kebutuhan
(International Federation of Red Cross, 2000). infrastruktur, nutrisi dan tempat mengungsi
Pengumpulan data yang cepat merupakan kunci (Morton, 2011).
yang sangat penting untuk memastikan suatu Perawat merupakan tulang punggung dari tim
bencana, namun lingkungan sekitar yang tidak kesehatan dan pelayanan kesehatan sebagai tim
kondusif adanya beberapa bahaya seperti kesehatan secara umum. Mengevakuasi
kerusakan infrastruktur, akses jalan yang hancur
korban, mengangkut penduduk beresiko tinggi seperti anak-anak, ibu hamil, balita, lansia dan orang sakit
serta menolong dan membantu korban juga merupakan bagian dari tugas perawat. . Perawat yang
mempunyai tugas banyak akan menimbulkan perubahan peran, hubungan, identitas, kemampuan dan
perilaku seseorang sehingga menimbulkan beban kerja yang lebih berat yang dilakukan oleh perawat
(Marquis, 2012). Perubahan peran akan memberikan pengalaman tersendiri dalam menentukan
penyelesaian pekerjaannya sehingga perubahan peran memerlukan pengetahuan dan ketrampilan
(Pearson & Care, 2002). Terlalu banyak kompetensi dan kompleksitas tugas dalam bencana
menggambarkan kompleksitas kompetensi keperawatan, namun keterlibatan keperawatannya harus
bekerja sesuai dengan tugasnya sebagai seorang perawat dan harus mempertimbangkan dengan
pertanyaan “kompetensi untuk apa?”, “siapa yang menetapkan kompetensi?” (Daily, 2009).
Keterbatasan waktu, pekerjaan dan tugas yang banyak, kemalasan, pengetahuan dan ketrampilan
perawat yang kurang akan menjadikan suatu hambatan dalam penyelesaian pelayanan kesehatan
(Sumiati, 2006), hal ini sesuai dengan penelitian Arlinta (2015), yang mengatakan bahwa keterbatasan
dalam jumlah sumber daya dan luasnya wilayah cakupan kerja Puskesmas menjadi beban ganda yang
menghambat implementasi peran perawat.
Harapan perawat untuk optimalisasi RHA
Perencanaan yang jelas dalam manajemen bencana akan meningkatkan pelayanan kesehatan dan
koordinasi antar wilayah (Bella, 2011). Kesiapan lain yang harus dimiliki oleh perawat adalah peningkatan
kompetensi baik melalui pelatihan-pelatihan seperti managemen bencana, adanya petunjuk teknis,
sarana dan prasarana serta pengalaman perawat itu sendiri dalam menangani masalah bencana (Arbon,
2006). Perawat berkeinginan untuk meningkatkan pengetahuan dan kompetensinya dalam penilaian RHA.
Perawat dapat mengikuti pendidikan maupun pelatihan tentang RHA. Program peningkatan pengetahuan
ini harus didukung dengan upaya kebijakan pemerintah terutama oleh Dinas Kesehatan dengan
memberikan dukungan kepada perawat dalam meningkatkan wawasan dan kompetensinya.
KESIMPULAN
Kurang optimalnya perawat dalam proses penilaian cepat kesehatan dalam bencana baik dilihat dari segi
persiapan perawat, kerjasama tim maupun pada saat pengumpulan data serta kurangnya koordinasi baik
lintas program, lintas sektor maupun antar wilayah maka perawat memiliki harapan untuk peningkatan
dalam optimalisasi RHA dengan melakukan pelatihan-pelatihan dan peningkatan kompetensi perawat

DAFTAR PUSTAKA
Alfaro-LeFevre R. Applying Nursing Process: A Tool for Critical Thinking. Ed. 6. Philadelphia, PA: Lippincott,
Williams, & Wilkins; 2006.
Anam, Agus (2013) Kesiapan Perawat Dalam Managemen Bencana Dan Faktor Yang Mempengaruhi
Kesiapan Perawat Dalam Penanggulangan Bencana Gunung Kelud di Kabupaten Blitar
Arlinta, A. (2015). "Pengaruh Kompetensi terhadap Workshop on 22 October 2009 Melbourne,
Kinerja Perawat dalam Kesiapsiagaan Triase dan Australia,
Kegawatdaruratan pada Korban Bencana Massal di Depoortere, E. and Brown V (2006). Rapid
Puskesmas Langsa Baro Tahun Assessment of Refugee or Displaced Population,
2013."http://repository.usu.ac.id/handle/1234567 UNHCR.
89/47959(3-Jul-2015). Dinas Kesehatan Kab. Malang (2014). Laporan
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2010. Angka Kesakitan Dan Kematian Akibat Erupsi
Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010- Gunung Kelud.
2014. BNPB, Jakarta. Dudley, R., K. Johansen, (2000). "Selective Refferal
Bech, C. and T. Schmidt (2013). "Reporting Vital To High Volume Hospitals : Estimating Potentially
Parameters Upon Refferal of Patient to the Avoidable Death." JAMA 283: 159-66.
Emergency Departement Needs to be Improved." Finn, R. (2008). The language of teamwork:
Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and reproducing professional divisions in the operating
Emergency Medicine theatre. Human Relations, 61(1), 103–130
Blais, K., J. Hayes, (2012). Praktek Keperawatan Firth-Cozens, J. (2001). Cultures for improving
Profesional Konsep dan Perspektif. Jakarta, EGC. patient safety through learning: the role of
Bradt DA, Drummond CM. Rapid epidemiological teamwork. Quality and Safety in Health Care, 10,
assessment of health status in displaced 26–31
populations--an evolution toward standardized Hassmiller, B. and A. Stanley (2010). Public Health
minimum, essential data sets. Prehosp Disaster Nursing and the Disaster Management Cycle,
Med. 2002;17:178–185 Elsevier.
Centers for Disase Control and Prevention (CDC): International Council Nursing (ICN), Center of
Assessment of health-related needs after tsunami Excellence (COE); Nursing Emergency
and earthquake—three districts, Aceh Province, Preparedness Education Coalition (NEPEC) :
Indonesia, July-August 2005.MMWR 2006;4:93–97. Position Statement. Nurses and Disaster
Cut Husna, M., Urai Hatthakit, PhD, RNb, Aranya Preparedness. Available at www.icn.ch/
Chaowalit, PhD, RNb. (2011). Do knowledge and psdisasterprep01.htm. Accessed 07 March 2009
clinical experience have specific roles in perceived International Federation of Red Cross and Red
clinical skills for tsunami care among nurses in Crescent Sociaties (2000). Disaster Emergency
Banda Aceh, Indonesia? Australasian Emergency Needs Assessment. Disaster Preparedbess Training
Nursing Journal, 14, 95 - 102. Programme
Daily, E. (2009). Disaster Nursing Competency Jevon, P. and B. Ewens (2009). Pemantauan Pasien
Development. In Paper presented at the Disaster Kritis. Seri Keterampilan Klinis untuk Perawat.
Nursing in Oceania: Key Issuesand Challenge Jakarta, Erlangga
Medical Series. Magnaye, B., S. L. Munoz, (2011). "The Role
Johnson LJ, Travis AR: Trimodal death and the Preparedness And Management Of Nurses During
injuries of survivors in Krabi Province, Thailand, Disaster." E-International Scientific Research
post-tsunami. ANZ J Surg 2006;5:288–289. Journal III(4).
Jones, M. P. (2008). "Nursing Expertise : A Loot at Marquis, N. L., & Huston, C. J. (2012). Leadership
Theory and LNCC Certification Exam." Journal of Roles and Management Function in Nursing;
Legal Nursing Consulting 18(2): 12-15. Seventh Edition. Philadelphia: Lippincott Williams
Julie Ann Bulson, M., RN, M. Tim Bulson, et al. & Wilkins.
(2011). "Nursing Process And Critical Thinking Martono, S. (2014). "Pengalaman Perawat Dalam
Linked To Disaster Preparedness." J Emerg Nurs Vol Pelayanan Kesehatan Pada Tanggap Darurat
37 (ISSUE 5). Bencana Erupsi Gunung Merapi di Jawa Tengah."
Kemenkes RI (2011). Pedoman Penanggulangan Melinda Morton, M., MPH and M. J. Lee Levy, MSc
Krisis Kesehatan Akibat Bencana. (2011). "Challenges in Disaster Data Collection
Kerr, A. (2009). "A problem shared? Teamwork, during " Prehospital and Disaster Medicine Vol.
autonomy and error in assisted conception " Social 26(No. 3).
Science & Medicine 69: 1741–1749 Morton, M. and L. Levy (2011). "Challenges In
Khankeh HR, Mohammadi R, Ahmadi F. Health care Disaster Data Collection During Recent Disasters."
services at time of natural disasters: a qualitative Journal Prehospital and Disaster Medicine Vol. 6
study. Iran journal of nursing (IJN). 2007; No. 3.
20(51):85-96 Notoatmodjo, Soekidjo.2007. Kesehatan
Kija Chapman, B., BN, RN and A. Paul Arbon, BSc, Masyarakat Ilmu Dan Seni. Jakarta : Rineka Cipta.
DipEd, GradDipHealthEd, MEdStudies, PhD (2008). Pearson, C., & Care, W. (2002). Meeting the
"Are nurses ready? Disaster preparedness in the continuing education needs of rural nurse in role
acute setting." Australasian Emergency Nursing transition. Journal of continuing in nursing 33(4),
Journal 11: 135—144 174-179.
Korteweg, H., I. Bokhoven, (2010). "Rapid Health Roorda J, van Stiphout WA, Huijsman-Rubingh RR.
and Need Assessment after Disaster : A Systematic Post-disaster health effects: strategies for
Review." BMC Public Health 10: 295. investigation and data collection. Experiences from
Lipe SK, Beasley S. Critical Thinking in Nursing: A the Enschede firework disaster. J Epidemiol
Cognitive Skills Workbook. Philadelphia, PA: Community Health. 2004;58:982–987.
Lippincott, Williams, & Wilkins; 2004 Savage, C., & Kub, J. (2009). Public health and
Jurnal Ilmu Keperawatan – Volume 3, No. 2, nursing: A natural partnership. International
November 2015 Journal of Environmental Research and Public
Health, 6, 2843-
2848. Soebroto, A. C. (2010). Workshop
BAPPENAS. Kedudukan
HukumPeraturan/Kebijakan Dibawah Peraturan
Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala BAPPENAS. Jakarta. Sumiati.
(2006). Analisis faktor-faktor yang berhubungan
dengan kinerja kepala ruang rawat inap di rumah
sakit dokter Kariadi Semarang. Semarang: Tesis
Pasca Sarjana Undip.
Suryani, A. S. (2014). "Dampak Negatif Abu
Vulkanik Terhadap Lingkungan dan Kesehatan."
Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi
Vol. VI, No. 04/II/P3DI/Februari/2014.
Zarea, K., S. Beiranvand, et al. (2014). "Disaster
Nursing in Iran : Challenges and Opportunities."
Elsevier: 7.

You might also like