You are on page 1of 15

Website: http://jurnaledukasikemenag.

org
EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, 18(2), 2020, 287-301

KIAI SEBAGAI PATRON DAN SPONSOR PRAKTIK MULTILITERASI DI


PESANTREN PADA ERA MEDIA DIGITAL
KIAI AS A PATRON AND SPONSOR FOR MULTILITERACIES PRACTICE IN
PESANTREN IN DIGITAL MEDIA ERA
Agus Iswanto
Balai Litbang Agama Semarang, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
email: agus.iswanto83@gmail.com

Naskah Diterima: 6 September 2019; Direvisi: 25 Februari 2020; Disetujui: 16 Desember 2020

Abstract
Literacy is no longer single entity; there are several aspects of literacies, especially in the era of
information technology and digital media today, so it is called multiliteracies. This article presents
the results of research on multiliteracies practice products in the form of Islamic boarding school
(pesantren) website. Applying the theoretical framework of the new literacy study approach, this
research focuses on the context, patron, or sponsorship of multiliteracy practices, and santri
responses through it. Data were collected through textual analysis, interviews, and observations at
the Nuris Pesantren in Jember. The results showed that patrons of the pesantren multiliteracies
practice that produced website were the kiai and the sons of the kiai. Literacy patrons or sponsors
always color the content and cultivation of any web or multiliteracies product. Kiai pesantren holds
positions as patron and sponsor of pesantren-based multiliteracy practices in the age of digital media
technology. The kiai’s vision and thought have an influence on the practice and products of pesantren
multiliteracies. The kiai serves as a model (patron) of literacy as well as a sponsor (supporting
element) of multiliteracy practices. The kiai remains a “filter” of values for the santri and the
community in the digital era.
Keywords: Multiliteracies, pesantren, kiai, literacy patron, literacy sponsor

Abstrak
Literasi kini tidak lagi satu, tetapi beberapa aspek, terlebih di era teknologi informasi dan media
digital, sehingga disebut dengan multiliterasi. Tulisan ini menyajikan hasil penelitian tentang produk
praktik multiliterasi yang berupa website pondok pesantren. Dengan menerapkan kerangka teoritik
pendekatan kajian literasi baru, penelitian ini memfokuskan bahasan pada konteks, patron, atau
sponsor yang membentuk produk praktik multiliterasi, serta respon santri terhadap praktik tersebut.
Data dikumpulkan dengan telaah dan analisis tekstual, wawancara, dan observasi di Pondok
Pesantren Nuris Jember. Hasil penelitian menunjukkan bahwa patron atau sponsor praktik
multiliterasi pesantren yang menghasilkan produk website adalah kiai dan putra-putra kiai. Patron
atau sponsor literasi senantiasa mewarnai konten dan penggarapan website atau produk multiliterasi
apapun. Kiai pesantren memegang posisi sebagai patron dan sponsor praktik multiliterasi berbasis
pesantren di zaman teknologi media digital. Visi kiai dan pemikirannya memberikan pengaruh pada
praktik dan produk literasi/multiliterasi pesantren. Kiai menjadi teladan (patron) literasi sekaligus
juga menjadi sponsor (unsur yang mendukung) praktik multiliterasi. Namun, kiai tetap menjadi
“penyaring” nilai bagi santri dan masyarakat di tengah revolusi teknologi digital.
Kata kunci: Multiliterasi, pesantren, kiai, patron literasi, sponsor literasi

EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, p-ISSN: 1693-6418, e-ISSN: 2580-247X
This is a open access article under CC-BY-SA license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/)
AGUS ISWANTO

PENDAHULUAN Jewitt, 2008; Abidin, Mulyati and Yunansah,


2017a; Susilo and Ramdiati, 2019).
Organisasi dunia untuk pendidikan, ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan (UNESCO) telah Studi tentang praktik multiliterasi di
menyampaikan tentang beberapa hasil studi lembaga pesantren belum banyak dilakukan.
yang menunjukkan manfaat positif literasi, baik Kesan umum yang diajukan adalah bahwa
secara individual, politik, budaya, sosial, pesantren pada dasarnya telah mempraktikan
maupun ekonomi (Burnett et al., 2006). literasi, karena sehari-sehari para santri sudah
Manfaat literasi yang terdapat di seluruh belajar dengan teks, khususnya teks-teks
kehidupan manusia tentu mengandaikan adanya keislaman yang disebut dengan “kitab kuning.”
kompleksitas keterampilan literasi. Oleh karena Jadi, sudah tentu para santri mempraktikan
itu literasi sekarang ini tidak lagi dapat literasi, khususnya literasi keagamaan.
dipahami sebatas “melek aksara” atau Penelitian lain menunjukkan bahwa tradisi
kemampuan membaca. Kemampuan literasi menulis ilmiah (salah satu bagian dari literasi)
berkembang lebih kompleks seiring dengan santri masih kurang (Murtadlo, 2019). Namun
kompleksitas perkembangan moda komunikasi bagaimana dengan praktik literasi yang tidak
dan teknologi informasi di era digital. hanya terbatas pada teks bacaan tercetak
semata, atau praktik literasi pesantren dalam
Meningkatnya kompleksitas komunikasi
dunia digital? Beberapa pondok pesantren
terkini menimbulkan sejumlah kemampuan
memang sudah dan mulai beradaptasi dengan
berbeda dan lebih kompleks yang harus dimiliki
perkembangan teknologi informasi atau
pula. Kemampuan lintas literasi ini kemudian
teknologi informasi dan komputer (Mastiyah,
disebut dengan literasi abad ke-21. Literasi abad
2018, pp. 2–32), misalnya dengan
ke-21 disebut juga ‘multiliterasi’
menghadirkan situs-situs online atau website
(multiliteracies), atau juga disebut dengan
yang memberikan informasi seputar
‘literasi baru’ (new literacy). Keterampilan
pesantrennya dan tulisan-tulisan lain dari para
multiliterasi ini meliputi literasi visual, literasi
santri sendiri sebagai media ekspresi dan
informasi, literasi budaya, dan literasi digital.
pembelajaran. Namun, hal itu luput dari
Istilah ini diajukan oleh sebuah kelompok
perhatian para peneliti di bidang kajian literasi
sarjana yang bernama The New London Group
dan multiliterasi.
(1996) sebagai respon tentang perkembangan di
abad 21 terkait dengan literasi. Kelompok Penguatan multiliterasi di lembaga
sarjana ini meyakini bahwa literasi dalam pendidikan kini mulai perlu diperhatikan
beragam bentuk (multiliterasi) sekarang ini mengingat kompleksitas permasalahan
diperlukan, baik di sekolah maupun di kehidupan yang muncul, termasuk di dalamnya
masyarakat. lembaga pendidikan pesantren yang menjadi
lembaga pendidikan Islam yang penting dan
Studi-studi literasi kini di dunia juga
khas di Indonesia. Apakah multiliterasi sudah
mulai berkembang ke arah multiliterasi.
dipraktikan di lembaga-lembaga pendidikan
Beberapa penelitian terfokus pada salah satu
Islam seperti pesantren? Jika sudah bagaimana
aspek multiliterasi, seperti literasi visual
bentuk dan polanya? Apa peluang dan
(Trumbo, 1999; Lewis, 2004; Mansyur,
tantangan praktik multiliterasi di pesantren?
Rahamma and Fatima, 2013; ‘Literasi Visual
Demikian beberapa pertanyaan yang
Tokoh Hanoman Bali dengan Pendekatan
mengemuka tentang praktik literasi dan
Augmented Reality’, 2016), praktik literasi
multiliterasi di lembaga pendidikan Islam.
digital anak-anak dan kaum muda baik di
sekolah maupun masyarakat(Mills, 2010; Artikel ini hendak menyajikan hasil
Marsh, 2011; Chassiakos et al., 2016; Masyhur, penelitian tentang praktik multiliterasi di
2016; Yanti, 2016), dan multiliterasi kompleks sebuah pondok pesantren, khususnya tentang
yang menggabungkan teks online, video games peran dan representasi kiai yang disebut sebagai
dan komputer (Pasadas, 2010; Beavis, Muspratt unsur penting dalam pesantren (Dhofier, 1994;
and Thompson, 2015). Studi praktik Lukens-Bull, 2001a). Pertanyaan-pertanyaan
multiliterasi juga dilakukan dalam konteks penelitian dalam tulisan ini adalah: bagaimana
pembelajaran di sekolah (Unsworth, 2002; praktik multiliterasi di pesantren diwujudkan?

EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, p-ISSN: 1693-6418, e-ISSN: 2580-247X | 288
KIAI SEBAGAI PATRON DAN SPONSOR PRAKTIK MULTILITERASI DI PESANTREN PADA ERA MEDIA DIGITAL

Bagaimana peran atau representasi kiai sebagai Istilah multiliterasi digunakan untuk
unsur penting pesantren dalam praktik merespon perkembangan keberagaman
multiliterasi tersebut? Aspek-aspek yang (multiplicity) saluran-saluran komunikasi
dibahas dalam artikel ini adalah mengenai informasi dan pengetahuan yang saling
bentuk praktik multiliterasi yang diwujudkan, terintegrasi dalam perubahan global
konteks praktik literasi, dan patron/sponsor kebudayaan. Keberagaman saluran komunikasi
praktik literasi. Penelitian ini mengambil fokus yang terintegrasi tampak dalam teks yang
website sebagai salah satu bentuk media digital terkait dengan aspek visual, audio, spasial,
yang dapat menampung konsep multiliterasi sikap, dan perilaku. Ketika teknologi saluran
(Dewayani, 2017). Analisis terutama komunikasi tersebut berubah cepat, maka tentu
difokuskan pada aspek konteks, patron dan sudah tidak lagi bisa dihadapi dengan satu
sponsor multiliterasi. pengetahuan dan keterampilan saja (single
literacy atau literacy), tetapi perlu dihadapi
Penelitian tentang praktik multiliterasi ini
dengan apa yang disebut dengan multiliterasi
penting untuk melihat upaya-upaya yang
(multiliteracies) (The London Group, 1996, p.
dilakukan atau tidak dilakukan oleh pesantren
64). Dengan pandangan seperti ini, literasi
sekarang ini, khususnya yang terkait dengan
melibatkan lebih dari satu pengetahuan dan
perubahan revolusi digital. Studi-studi yang ada
keterampilan yang harus dipelajari, baik melalui
tentang pesantren masih terbatas pada
format cetak atau online.
permasalahan pesantren dan kiai menghadapi
tantangan modernisasi dan globalisasi secara Adapun aspek-aspek kecakapan atau
umum (Lukens-Bull, 2000). Oleh karena itu keterampilan dalam multiliterasi sebagai
hasil penelitian ini diharapkan dapat berikut, yaitu (1) mengembangkan kecakapan
menyumbang pada pengetahuan tentang dan keterampilan penggunaan alat-alat
perubahan dan keberlanjutan pesantren dalam teknologi media digital; (2) membangun
kurun perkembangan teknologi digital. Lebih jaringan dengan orang lain untuk
khusus, hasil penelitian ini diharapkan dapat menyelesaikan masalah secara kolaboratif dan
menyumbang bagi pengetahuan dan diskusi lintas budaya; (3) mendesain dan berbagi
tentang peran kiai dalam era multiliterasi dan informasi dengan komunitas global untuk
teknologi media digital di pesantren. berbagai tujuan; (4) mengolah, menganalisis,
dan mensintesis semua informasi dalam
KAJIAN TEORI berbagai media; (5) menciptakan, mengkritik,
Studi tentang praktik literasi di pesantren menganalisis, dan mengavaluasi teks-teks
yang ada biasanya terkait dengan penggunaan multimedia; (6) bertanggungjawab secara etika
kitab-kitab dan praktik pembelajaran. Hal (Lankshear and Knobel, 2011, p. 25).
tersebut seperti yang dikemukakan oleh Dhofier
Multiliterasi mengacu pada keterampilan-
(1994) dan Lukens-Bull (Lukens-Bull, 2000,
keterampilan yang harus dikuasai seseorang,
2001b). Ada juga beberapa kajian tentang
termasuk di dalamnya pembelajar atau siswa,
pesantren yang dikaitkan dengan perkembangan
untuk menghadapi dan memenuhi kebutuhan
teknologi digital (Lubis et al., 2009; Jamaludin,
hidup sehari-sehari mereka. Keterampilan-
2012; Gazali, 2018; Halim, 2018) Kajian
keterampilan tersebut mencakup literasi dasar
tentang pesantren, terutama peran kiai dalam
dan kompetensi atau kualitas karakter. Literasi
praktik multiliterasi belum banyak diperhatikan
dasar mencakup enam aspek, yakni literasi
oleh para sarjana. Studi peran dan representasi
membaca dan menulis, numerik atau matematis,
kiai dalam praktik multiliterasi pesantren dapat
literasi sains, literasi teknologi informasi dan
dilakukan dengan pendekatan “kajian literasi
komputer, literasi finansial, literasi kewargaan
baru,” hal itu karena pendekatan ini lebih
dan literasi budaya. Keenam literasi tersebut
mempersoalkan relasi konteks, patron dan
disebut dengan literasi dasar, karena
produk literasi (The London Group, 1996).
sesungguhnya merupakan keterampilan-
Namun, sebelum menyampaikan pendekatan
keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh
tersebut, terlebih dahulu perlu penulis
seorang siswa untuk menghadapi tantang
sampaikan konsep multiliterasi hingga sampai
kemunculan pendekatan baru tersebut.

289 | EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, p-ISSN: 1693-6418, e-ISSN: 2580-247X
AGUS ISWANTO

kehidupan abad 21 (World Economic Forum, praktik literasi dari perspektif sosio-kultural.
2016). Meneliti praktik literasi dengan paradigma
sosio-kultural adalah melihat kemungkinan-
Hal tersebut juga sesuai dengan kerangka
kemungkinan orang dalam menegosiasikan
Partnership for 21st Century Skills, suatu
makna dalam praktik literasi tersebut. Negosiasi
lembaga di bawah UNESCO. Lembaga tersebut
ini melibatkan nilai-nilai, pandangan-
telah mengajukan sebuah kerangka
pandangan atau ideologi yang dianut oleh orang
pembelajaran di abad 21. Kerangka tersebut
atau komunitas yang melakukan praktik literasi
mendeskripsikan keterampilan, pengetahuan,
(Jewitt, 2008). Oleh karena itu, selain disebut
dan keahlian-keahlian yang harus dimiliki oleh
dengan pendekatan kontekstual, karena
siswa untuk menghadapi tantangan kehidupan
mempertimbangkan aspek sosio-kultural dan
di abad ke-21. Kerangka tersebut terdiri dari (1)
ideologi, maka biasa disebut juga dengan
subyek inti; (2) keterampilan pembelajaran dan
“pendekatan model ideologis dan sosio-
inovasi yang mencakup kreativitas dan inovasi,
kultural” terhadap praktik literasi. Pendekatan
berpikir kritis dan pemecahan masalah,
yang disebut terakhir biasa dibedakan dengan
komunikasi dan kolaborasi; (3) keterampilan
pendekatan model otonom, yakni memandang
teknologi informasi dan media, yang mencakup
literasi secara otonom (secara mandiri)
literasi informasi, literasi media, serta literasi
memengaruhi kognisi dan praktik sosial.
teknologi informasi dan komunikasi; (4)
Sementara itu, pendekatan model ideologis dan
keterampilan hidup dan karir yang mencakup
sosio-kultural atau kontekstual memandang
karakter fleksibilitas dan mampu beradaptasi,
bahwa literasi adalah praktik sosial, bukan
inisiatif dan mandiri, keterampilan
sekadar keterampilan teknis dan netral. Praktik
bersosialisasi dalam lintas budaya, produktifitas
literasi terkait konstruksi secara sosial, yakni
dan akuntabilitas, kepemimpinan dan
tentang cara orang mengakses pengetahuan,
tanggungjawab (The Partnership for 21st
atau cara orang membaca dan menulis yang
Century Skills, 2009).
berakar pada konsepsi pengetahuan, identitas,
Karena muncul kesadaran akan perlunya dan kenyataan (Street, 2001).
multiliterasi yang peka terhadap keberagaman
Kajian praktik multiliterasi dengan
saluran komunikasi dan keberagaman budaya
perspektif kajian literasi baru memandang
karena globalisasi, maka para sarjana di bidang
bahwa praktik literasi dibentuk oleh institusi
kajian literasi mengajukan suatu pendekatan
sosial dan relasi kekuasaan. Sebagian relasi
teoritis baru dalam meneliti praktik literasi.
dianggap lebih dominan dan berpengaruh
Pendekatan teoritis itu disebut dengan
dibandingkan literasi yang lain (Dewayani and
pendekatan “literasi baru” atau “the new
Retnaningdyah, 2017, p. 12). Karena terkait
literacy/literacies.” Pendekatan ini dapat dilihat
dengan relasi kekuasaan, kajian praktik literasi
dalam dua sisi, yakni: sisi paradigmatik dan sisi
baru juga melihat sponsor dan patron yang
ontologik (Lankshear and Knobel, 2011).
memungkinkan praktik literasi terwujud. Patron
Sisi paradigmatik kajian literasi baru, literasi adalah panutan atau figur teladan literasi
sebagaimana diajukan oleh beberapa sarjana dalam suatu komunitas (Dewayani and
(Gee, 2000; Street, 2001, pp. 1–18), mengacu Retnaningdyah, 2017, p. 44). Sedangkan
pada pendekatan sosiokultural tertentu untuk sponsor literasi adalah sesuatu atau seseorang
memahami dan meneliti literasi. “Kajian literasi yang memampukan, mendukung, mengajarkan,
baru” dapat dilihat sebagai paradigma teoretis dan menjadi model, selain juga sebagai
dan penelitian baru untuk melihat masalah pengatur praktik literasi (Brandt, 2001, p. 19).
literasi. Para pendukung kajian literasi baru Kajian praktik literasi dengan perspektif kajian
menganggap proyek mereka terdiri dari literasi baru ini juga melihat konteks dan motif
paradigma baru dan berbeda dengan pendekatan praktik literasi yang diaktualisasikan oleh
pendekatan dominan yang ada (Lankshear and patron/sponsor praktik literasi.
Knobel, 2011).
Paradigma ‘baru’ dalam kaitannya METODOLOGI
dengan literasi memandang praktik literasi Penelitian ini dilakukan dengan
sebagai fenomena sosial. Artinya, meneliti pendekatan kualitatif. Artinya, penelitian ini

EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, p-ISSN: 1693-6418, e-ISSN: 2580-247X | 290
KIAI SEBAGAI PATRON DAN SPONSOR PRAKTIK MULTILITERASI DI PESANTREN PADA ERA MEDIA DIGITAL

tidak berupaya untuk melakukan generalisasi, mempraktikan multiliterasi sebagaimana yang


tetapi mencari pola-pola praktik literasi, tampak dalam web. Unit analisis dalam analisis
khususnya terkait dengan masalah patron dan tekstual penelitian ini adalah sesuai dengan
sponsor, yang dapat dijadikan pelajaran (lesson kerangka teori di atas.
learned) bagi kasus yang sama di tempat-tempat Website digunakan sebagai obyek utama
lain. Hal ini juga yang menjadi salah satu ciri penelitian adalah karena “teks” web tersebut
khas kajian praktik literasi baru yang lebih menyediakan data yang diperlukan. Data
banyak menggunakan pendekatan kualitatif. tersebut mulai dari konteks sejarah, pemikiran,
Fokus penelitian ini adalah website yang hingga variasi genre, tema, dan menu informasi
diproduksi oleh sebuah pesantren di Kabupaten yang diperlukan untuk mengeksplorasi masalah
Jember, yakni Pesantren Nuris. Pondok penelitian. Namun, untuk melengkapi data yang
Pesantren ini terletak di Jalan Pangandaran 48, tersedia dalam web, penelitian ini juga
Antirogo, Sumbersari, Jember. Website, atau melakukan observasi dan wawancara di lokasi
web dalam bahasa Indonesia, adalah sebuah pesantren. Lokasi pesantren ini tidak jauh dari
jaringan informasi dokumen hipertuatan pusat kota kabupaten. Pondok pesantren ini
(sebuah istilah dalam teknologi digital yang dipilih karena sudah menggabungkan sistem
menunjukkan hubungan antara elemen kata, pendidikan tradisional dan modern, yakni
simbol, gambar, dalam dokumen dengan pengajian kitab kuning dan sekolah klasikal
dokumen yang sama atau berbeda; sebuah dalam satu lembaga. Selain itu, pesantren ini
istilah dalam bahasa internet), yang bisa diakses belum banyak dijadikan obyek penelitian,
dan diunduh yang terdapat dalam komputer apalagi terkait dengan praktik literasi, tidak
yang dihubungkan dengan internet. Sekarang seperti pesantren-pesantren terkenal lainnya di
ini web tidak hanya dihubungkan dengan wilayah “tapal kuda” atau Jawa Timur bagian
komputer, tetapi juga gawai pintar. timur.
Sebagaimana pengertiannya, web adalah Pengumpulan data di lokasi pesantren
kumpulan halaman-halaman yang digunakan dilakukan dengan wawancara, observasi, dan
untuk menampilkan informasi teks, gambar telaah pustaka atau dokumen. Wawancara
gerak atau diam, animasi, suara, dan atau dilakukan untuk mendapatkan data tentang
gabungan dari semuanya, baik yang sifatnya konteks sejarah perkembangan kelembagaan
statis maupun dinamis, semuanya itu dan konteks pemikiran atau ideologi.
membentuk satu rangkaian atau jaringan Wawancara dilakukan kepada para informan
bangunan yang saling terkait. Hubungan antara yang dipandang dapat memberikan data tentang
satu halaman web dengan halaman web lainnya topik yang sedang diteliti. Informan-informan
disebut hyperlink, sedangkan hubungan antara kunci yang dijadikan sasaran wawancara adalah
satu teks dengan teks lainnya dalam halaman pengasuh atau kiai, putra-putra kiai pengasuh,
web lain disebut dengan hypertext. Berdasarkan ustaz-ustaz pesantren, dan perwakilan siswa
pengertian ini saja, web sudah memenuhi unsur
atau santri. Wawancara dengan pengasuh atau
multiliterasi. Perkembangan terkini dari web kiai, putra-putra pengasuh atau kiai, dan ustaz-
adalah blog, yakni media sosial yang ustaz untuk mendapatkan tambahan data
memungkinkan penggunanya untuk tentang sejarah perkembangan lembaga
mengunggah aktivitas keseharian, saling pesantren, patron atau sponsor literasi serta
mengomentari, dan berbagi, baik berupa tautan konteks atau pemikirannya. Sedangkan
web lain maupun informasi lainnya (Nasrullah, wawancara dengan perwakilan siswa atau
2017, p. 41). santri, atau juga alumninya dimaksudkan untuk
Untuk mengumpulkan dan menganalisis mendapatkan data tentang proses dan produk
data yang terdapat dalam web, penelitian ini literasi. Santri atau siswa yang dijadikan
menggunakan metode analisis tekstual terhadap wawancara adalah mereka yang berada di
web pesantren dengan alamat jenjang menengah atas, baik Madrasah Aliyah
www.pesantrennuris.net. Tujuan analisis (MA), maupun di Sekolah Menengah Atas
tekstual dalam penelitian ini adalah untuk (SMA). Hal ini karena menurut studi awal,
mengetahui bagaimana Pesantren Nuris

291 | EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, p-ISSN: 1693-6418, e-ISSN: 2580-247X
AGUS ISWANTO

siswa atau santri yang aktif dalam praktik pengelola web bahwa pengelola dan redaksi
literasi media adalah di jenjang tersebut. web adalah para santri pesantren yang sekolah
di SMA, MA, dan SMK yang tergabung dalam
Selain dengan wawancara, pengumpulan
kelompok ekstra jurnalistik (wawancara dengan
data dilakukan dengan observasi. Observasi
F, 3/10/2018; wawancara dengan A, 4/9/2019).
dilakukan untuk mengumpulkan data konteks
sosial dan budaya pesantren yang menjadi latar Setiap tulisan yang muncul di halaman
praktik multiliterasi. Observasi diarahkan pada depan selalu diberi keterangan tulisan tersebut
aktivitas praktik literasi dan proses-proses yang masuk dalam menu apa. Halaman depan web
terjadi ketika menghasilkan produk literasi. memuncukan informasi terbaru dan terpopuler.
Observasi dilakukan tidak terbatas pada saat- Setiap tulisan diberi keterangan siapa yang
saat kegiatan pembelajaran di sekolah formal menulis baik secara lengkap maupun inisial.
maupun di pesantren, tetapi diupayakan dalam Semua tulisan juga melalui proses editing yang
semua aktivitas siswa atau santri. Observasi tampak dicantumkan dalam setiap tulisan.
tidak hanya dilakukan terhadap aktivitas santri,
tetapi juga ustaz maupun para dewan pengasuh Konteks Praktik Pembelajaran Multiliterasi
(putra-putra kiai). Konteks Sejarah Pendirian Pesantren
Setelah pengumpulan data, langkah Konteks sejarah ini disampaikan dalam
selanjutnya adalah analisis data. Analisis data website Pondok Pesantren Nuris, oleh karena
dilakukan dengan proses reduksi, penyajian, itu, penulis banyak mengacu pada website
dan penarikan simpulan (Miles dan Huberman, tersebut. Pondok Pesantren Nuris didirikan pada
1994: 10-12). Reduksi data dilakukan dengan 1981 oleh KH. Muhyuddin Abdusshomad.
menyeleksi data, memfokuskan temuan, Santri pesantren ini di awal berdirinya hanya
penyederhanaan, dan transformasi data sesuai berjumlah belasan orang. Santri-santri ini
dengan tema-tema yang diajukan dalam belajar agama secara langsung kepada sang kiai,
kerangka teoritik kajian literasi baru yang semacam “ngaji sorogan” (santri mengaji
digunakan. Setelah direduksi, peneliti langsung kepada kiai dengan membacakan
melakukan penyajian data sehingga dapat sebuah kitab tertentu dan kiai menyimak,
dilakukan penarikan simpulan. Upaya membenarkan, menjelaskan) atau
interpretasi data sebagai langkah akhir analisis “bandongan” (kiai atau guru membacakan
data dilakukan dengan melakukan kitab tertentu, sementara santri mendengarkan
perbandingan dan sintesis dengan literatur- sambil menuliskan makna dalam kitab).
literatur atau hasil-hasil penelitian lain Beberapa santri tersebut adalah juga mahasiswa
sebagaimana disarankan oleh Creswell (2016: di Universitas Jember (UNEJ).
284).
Karena langkanya sekolah formal berciri
HASIL DAN PEMBAHASAN khas Islam di lingkungan Kiai Muhyuddin,
maka pada tahun 1983, dia mendirikan Sekolah
Website Pondok Pesantren Nuris mulai Menengah Pertama (SMP) Nuris. Didirikannya
hadir pada 2016. Ada banyak menu dalam web sekolah ini selain untuk menampung lulusan
Pondok Pesantren Nuris, mulai dari halaman sekolah dasar yang ada di sekitar
depan, berita, tausiyah pengasuh, sejarah, lingkungannya, juga sebagai upaya menjadikan
prestasi, pojok alumni, kolom, Islamic studies, pesantren tidak hanya tempat belajar ilmu
bahstul masail, sastra, tokoh, wawancara, bedah agama, tetapi juga ilmu-ilmu pengetahuan yang
buku, galeri foto, fasilitas, dan hubungi kami.
lain. Jadi, sekolah formal pertama yang
Dapat dikatakan, web ini memuat hampir semua didirikan adalah SMP, bukan SD atau MI.
aktivitas pesantren dan lembaga-lembaga
pendidikan formalnya, tulisan-tulisan yang Setelah mendirikan SMP, Kiai
masuk dalam menu-menu tertentu yang ditulis Muhyiddin mendirikan SMA, yakni pada tahun
oleh para santri maupun alumni. Tidak ada 1989. Hal ini karena banyak wali santri atau
keterangan pengelola web ini, dan tidak ada murid SMP yang menginginkan anaknya untuk
susunan redaksi yang ditampilkan. Namun, tetap melanjutkan belajar di pesantren yang
menurut keterangan salah seorang ustaz dan sama. Keberadaan SMA Nuris di dalam pondok

EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, p-ISSN: 1693-6418, e-ISSN: 2580-247X | 292
KIAI SEBAGAI PATRON DAN SPONSOR PRAKTIK MULTILITERASI DI PESANTREN PADA ERA MEDIA DIGITAL

pesantren menjadi sejalan dengan tujuan awal penghafalan Alquran dengan mendirikan MHQ
didirikannya SMP, yakni menjadi tempat santri (Madrasah Huffadz al-Qur’an).
atau siswa belajar ilmu-ilmu agama dan umum Selain penguasaan ilmu-ilmu keislaman,
sekaligus. Santri belajar tentang ilmu-ilmu MA Nuris juga mengembangkan pembelajaran
keislaman di pesantren, dan belajar ilmu-ilmu sains. Oleh karena itu didirikan lembaga
pengetahuan umum di sekolah. Madrasah Sains. Pengembangan sains ini
Setelah kepulangan salah satu putra Kiai dilakukan pada sore hari setelah jam belajar
Muhyuddin, yakni Robith Qoshidi, dari pagi hari. Jadi, siswa-siwa yang aktif di
Universitas Al-Azhar Kairo Mesir pada lembaga ini diorientasikan untuk mengikuti
Desember 2007, muncul gagasan untuk lomba-lomba ilmiah seperti Kompitisi Sains
mendirikan Madrasah Tsanawiyah (MTs). Hal Madrasah (KSM).
ini dilatarbelakangi oleh keinginan Selain mempersiapkan siswa yang ahli di
menciptakan sebuah lembaga pendidikan yang bidang agama dan sains, Pondok Pesantren
memiliki keunggulan dalam bidang kitab Nuris juga berupaya menyiapkan lulusan yang
kuning dan sains sekaligus, serta teguh siap kerja. Karena itu, pada tahun 2003, Pondok
memegang prinsip Ahlusunnah Wal Jama’ah Pesantren Nuris mendirikan Sekolah Menengah
(Aswaja). Kurikulum MTs Nuris adalah Kejuruan (SMK). Hal tersebut sebagai respon
perpaduan kurikulum Al-Azhar Kairo Mesir
pengasuh atas program pemerintah yang
dan Kementerian Agama. Kurikulum ini meluncurkan program “SMK Bisa.” Ada dua
disusun agar siswa-siswa MTs memiliki jurusan di SMK Nuris, yakni jurusan Teknik
kompetensi dalam pembelajaran agama Komputer dan Jaringan (TKJ), Teknik Sepeda
berbasis kitab kuning, menguasai sains dan Motor (TSM), dan Teknik Otomotif (TO).
teknologi, dan memiliki argumentasi yang Siswa-siswa SMK Nuris pun tinggal di asrama
kokoh untuk akidah dan amaliyah Aswaja. pondok. Hal tersebut agar siswa mampu
Untuk memperkuat pengembangan kitab mengenali khazanah keilmuan Islam dan
kuning, maka dibentuklah MPKiS (Manajemen mempraktikan ilmu agama tersebut dalam
Pengembangan Kitab Kuning Santri). Lembaga kehidupan sehari-sehari.
ini didirikan untuk mengontrol perkembangan
setiap siswa agar mampu membaca kitab Pesantren Nuris dan Kesadaran
kuning. Pembelajaran Multiliterasi
Dengan berdirinya MTs, maka diperlukan Jika dilihat dengan kerangka
suatu lembaga yang mampu menampung pembelajaran abad ke-21 (Abidin, Mulyati and
lulusannya. Oleh karena itu, Kiai Muhyuddin Yunansah, 2017b, p. 8), maka lembaga
dan putranya, Robith Qoshidi, mendirikan pendidikan yang didirikan oleh Pondok
Madrasah Aliyah (MA) Nuris pada tahun 2011. Pesantren Nuris telah memenuhi beberapa
Tujuan pendirian madrasah ini adalah seperti aspek tersebut. Hal tersebut dapat dilihat
ketika mendirikan MTs, hanya saja dilakukan dengan dimulainya kesadaran untuk mendirikan
pada jejang yang lebih tinggi. Seluruh siswa lembaga sekolah formal (SMP) agar siswa tidak
MA harus tinggal di asrama pondok pesantren. saja dapat belajar agama tetapi juga memiliki
Kurikulum keagamaan MA dikelola dalam kemampuan dalam bidang ilmu pengetahuan
MPKiS. Siswa-siswa atau santri-santri MA umum. Hal tersebut juga tampak dalam
mempelajari ilmu-ilmu keislaman dengan pendirian SMA, MTs, dan MA. Bahkan,
berbasiskan kitab kuning, yakni ilmu nahwu Pondok Pesantren Nuris telah melengkapi satu
menggunakan kitab Alfiyah, ilmu fikih pengetahuan atau literasi yang tidak disebutan
menggunakan kitab Fathul Qarib, ilmu usul di atas, yakni literasi agama. Selain memenuhi
fikih menggunakan kitab Waraqat, ilmu hadis literasi dasar, Pondok Pesantren juga memenuhi
menggunakan kitab Mandumah Baiquniyah, pembelajaran dengan kecakapan hidup yang
dan Aswaja menggunakan kitab al-Hujaj al- siap bekerja, yakni dengan mendirikan SMK.
Qath’iyyah karya Kiai Muhyuddin sendiri. Dapat dikatakan bahwa Pondok Pesantren Nuris
Tidak hanya penguasaan kitab kuning, MA telah menerapkan pembejaran multilierasi
Nuris juga mengembangan program berbasis pesantren. Temuan aspek-aspek literasi

293 | EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, p-ISSN: 1693-6418, e-ISSN: 2580-247X
AGUS ISWANTO

abad 21 yang tampak dalam lembaga


pendidikan di Pondok Pesantren Nuris dapat
digambarkan dalam diagram berikut.

Kecakapan hidup dan karir


Contoh: kegiatan ekstra keterampilan di
Pesantren Nuris

Literasi Finansial. Contoh: Santri di


Pesantren Nuris diajarkan mengelola uang
kiriman dari orang tua mereka, menjadi
bendahara dalam kegiatan pondok.

Literasi Sains, Media, dan ICT. Contoh:


Pembelaran sains di madrasah, dan
pembealajaran teknologi digital

Literasi Kewargaan dan Budaya. Contoh:


Pembelajaran kewarganegaraan, kesenian, dan
muatan lokal di pesantren dan madrasah

Literasi Agama. Contoh: pengajian kitab


ilmu-ilmu keislaman, baik secara klasikal
maupun bandongan dan sorogan

Gambar 1. Pembelajaran Multiliterasi Berbasis Pesantren (Pondok Pesantren Nuris)

Penerapan gambar di atas Pondok Pesantren Nuris tidak hanya


mengilustrasikan bahwa temuan literasi awal mempraktikan literasi dasar, tetapi juga
yang diajarkan adalah literasi agama, dan itu menyediakan lembaga bagi para siswa atau
juga menjadi literasi inti dan dasar di Pesantren santri yang ingin menempa keahlian hidup dan
Nuris. Hal itu pula yang menjadi tujuan utama karir dengan mendirikan SMK, maka hal itu
berdirinya Pondok Pesantren Nuris. Setelah itu, melengkapi aspek kecakapan hidup dan karir
para santri saling belajar dengan sesamanya (kecakapan hidup/karir). Jadi, multiliterasi
yang berasal dari latar belakang sosial-budaya berbasis pesantren, sebagaimana yang
yang berbeda. Para santri belajar menjadi dipraktikan oleh Pondok Pesantren Nuris, tidak
sesama warga pesantren, warga sekolah, warga hanya mengajarkan tetapi juga mempraktikan
sesama daerah, warga sesama bangsa, dan multiliterasi.
akhirnya negara. Mereka saling belajar Praktik multiliterasi tersebut
bergotong royong baik di asrama maupun menghasilkan produk multiliterasi. Produk-
sekolah. Hal tersebut kemudian menjadi sebuah produk tersebut dapat dilihat dari serangkaian
pembelajaran literasi kewargaan dan budaya. prestasi atau hasil-hasil penelitan dalam KSM
Setelah itu, para santri di sekolah belajar (Kompetisi Sains Madrasah). Namun, tulisan
berbagai macam ilmu pengetahuan (sains) ini akan lebih mengkhususkan pembahasan
(literasi sains), mereka dikenalkan juga dengan pada produk multiliterasi yang dapat diamati
berbagai media, dan teknologi informasi dan dan dikaji dengan pendekatan kajian literasi
komunikasi (literasi media, teknologi computer baru. Produk tersebut adalah web. Produk web
dan informasi). Selain itu mereka juga belajar
ini dipilih karena merepresentasikan praktik
mengatur keuangan sendiri, selain juga belajar
multiliterasi, yakni di dalamnya terkandung
ilmu ekonomi (literasi finansial). literasi agama, literasi kewargaan, literasi

EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, p-ISSN: 1693-6418, e-ISSN: 2580-247X | 294
KIAI SEBAGAI PATRON DAN SPONSOR PRAKTIK MULTILITERASI DI PESANTREN PADA ERA MEDIA DIGITAL

budaya, dan yang paling penting literasi media istirahat malam pun para santri tidak
serta teknologi informasi dan komunikasi. diperkenankan menggunakan gawai. Meskipun
demikian untuk kepentingan pembelajaran, para
Website Pesantren Nuris
santri dibolehkan membawa laptop, tetapi
mengindikasikan adanya kesadaran tentang
laptop tersebut harus disimpan di ruang tertentu
kepentingan pembelajaran multiliterasi.
yang diawasi dan boleh digunakan saat-saat
Koordinator pengelola web mengatakan bahwa
tertentu saja, itu pun dengan izin dan digunakan
web itu didirikan atas inisiatif salah seorang
di ruang tertentu juga. Hal yang sama juga
putra Kiai Muhyiddin, yakni Robith Qoshidi
terjadi pada pembatasan akses internet Akses-
pada tahun 2016. Hal tersebut karena dia
akses internet hanya bisa dilakukan untuk
memandang kebutuhan media digital yang lebih
kepentingan pembelajaran, seperti untuk
luas jangkauan dan variasi kontennya untuk
mengerjakan tugas sekolah atau asrama. Akses
masyarakat (wawancara dengan F, 4/9/2019).
internet pun dapat diizinkan di tempat khusus
Kesadaran perlunya media digital adalah juga
sehingga dapat diawasi oleh pengurus dan
berarti kesadaran perlunya multiliterasi yang
ustaz.
teraktualisasikan dalam website.
Deskripsi konteks pendirian unit-unit Patron, Sponsor, dan Konteks Pemikiran
lembaga pendidikan di Pondok Pesantren Nuris Jelas dikemukakan bahwa inisiator web
ini sebetulnya merefleksikan kesadaran tentang ini adalah Robith Qoshidi, putra kedua dari Kiai
pembelajaran multiliterasi di abad milenial. Muhyiddin. Oleh karena itu, dapat dikatakan
Hampir semua kecakapan hidup yang bahwa dia adalah patron atau sponsor praktik
diperlukan oleh masyarakat milenial multiliterasi. Namun yang lebih penting lagi
diakomodasi oleh pengasuh, dan hal tersebut adalah patron atau sponsor yang lebih atas,
didukung oleh anak-anaknya yang kemudian yakni pengasuh dan pendiri pesantren, yakni
menjadi pengelola hampir semua lembaga
Kiai Muhyiddin. Untuk itu perlu dijelaskan
pendidikan yang ada. Multiliterasi adalah suatu bagaimana pemikiran sang sponsor ini.
keadaan yang menggambarkan tentang
keragaman literasi. Multiliterasi dirancang Kiai Muhyiddin lahir di Jember pada
berdasarkan multikompetensi (Abidin, Mulyati 1955. Lahir dari keluarga kiai di Jember yang
and Yunansah, 2017b, p. 8). berdarah Madura. Sejak kecil belajar membaca
Alquran kepada ayah dan ibunya sendiri di
Pembatasan Akses Teknologi Digital Pondok Pesantren Darussalam Jember. Kiai
Memang pesantren mendukung dan Muhyiddin mulai tahun 1966 hingga 1973
mengadakan pembelajaran teknologi informasi menjadi santri di Pondok Pesantren Raudlatul
dan digital, bahkan sampai pada menghasilkan Ulum Sumber Wringin Jember di bawah asuhan
produk web sebagai salah sarana pembelajaran KH. Umar dan KH. Khotib Umar. Selanjutnya
multilierasi dengan teknologi digital. Namun, pada tahun 1973 hingga 1980 belajar di sebuah
hal itu juga tidak berarti para santri atau siswa pondok pesantren terkenal di Pasuruan, yakni
bebas mengakses teknologi informasi digital Pondok Pesantren Sidogiri asuhan KH. Kholil
setiap saat. “Ada aturan-aturan tertentu Nawawi. Dia juga mengikuti pelatihan kader
sehingga santri tidak bebas seterusnya untuk Aswaja di pesantren ini di bawah bimbingan
mengakses gawai”, demikian yang diucapkan KH. Khoiron Husain dan KH. Bashori Alwi
oleh salah seorang putra menantu Kiai pada tahun 1975 hingga 1977. Kemudian pada
Muhyiddin (wawancara dengan Ab dan B, tahun 1995 sampai 1996 mengikuti pelatihan
2/10/2018). Program Pengembangan Wawasan Keulamaan
(PPWK) yang diselenggarakan oleh Lakpesdam
Penggunaan gawai (handphone) oleh NU. Tahun 1996 juga dia mendapatkan ijazah
santri hanya dibolehkan saat-saat tertentu saja, ilmiah amah dari Sayyid Muhammad bin Alawi
seperti saat istirahat sekolah, maupun ngaji. al-Maliki (Abdusshomad, 2015, p. 121, 2016, p.
Sedangkan pada saat belajar, baik di sekolah 395). Kiai Muhyiddin adalah salah seorang
atau asrama, mereka dilarang untuk tokoh Aswaja NU, khususnya di Kabupaten
menggunakan gawai. Semua gawai santri Jember, yang juga menjadi Rais Syuriah PCNU
dikumpulkan oleh pengurus asrama. Saat waktu Jember.

295 | EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, p-ISSN: 1693-6418, e-ISSN: 2580-247X
AGUS ISWANTO

Kiai Muhyiddin menulis beberapa buku. penulisnya dalam bagian pengantar sebagai
Hal ini pula yang menjadikannya sebagai patron berikut.
(teladan) literasi, karena kehadiran karya-karya Nawaitu penulis adalah semata-semata
tersebut menunjukkan visi dan praktik literasi untuk memantapkan keshahihan akidah,
sang kiai. Setidaknya tercatat ada sepuluh amaliah dan tradisi kaum Nahdliyyin.
karyanya: (1) “Fiqh Tradisonalis: Jawaban Karena itu, berbagai persoalan yang
Pelbagai Persoalan Keagamaan Sehari-sehari” diangkat dalam buku ini, penulis selalu
(terbit pertama kali pada 2004); (2) “Tahlil merujuk kepada sumber-sumber primer
dalam Perspektif Alquran dan Hadis (Kajian ajaran Islam; Aal-Quran dan Hadits serta
Kitab Kuning)”; (3) “Hujjah NU, Akidah- pendapat ulama yang mu’abar. Bahkan,
Amaliah-Tradisi,” (terbit pertama kali pada penulis juga menukil pendapat-pendapat
2008); (4) Al-Hujaj Al-Qath’iyyah fii Shihhah
para ulama yang menjadi panutan
al-Mu’taqadaat Wa al-‘Amaliyyaat al- kelompok yang mengingkari dan menolak
Nahdliyyah”; (5) “Stop! Kekerasan terhadap amaliah dan tradisi NU. Hal ini
Perempuan”; (6) “Aqidah Ahlussunnah Wal dimaksudkan untuk meneguhkan apa
Jama’ah, Terjemah & syarh Aqidah al-‘Awam”; yang telah diamalkan oleh kaum
(7) “Shalatlah seperti Rasulullah, Dalil Nahdliyyin itu benar-benar dapat
Keshahihan Shalat ala ASWAJA” (terbit dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
pertama kali pada 2011); (8) “Etika Pergaulan Kendati demikian, kita harus
di Tengah Gelombang Perubahan (Kajian Kitab mengembangkan sikap toleransi
Kuning)”; (9) “Penuntun Qolbu (Kiat Meraih (tasamuh), dalam arti menghormati
Kecerdasan Spiritual)”; (10) “Argumen keyakinan orang lain tanpa harus
Amaliyah di Bulan Sya’ban dan Ramadhan”. menyetujuinya (Abdusshomad, 2015, p.
Karya-karya yang penulis dapatkan hanya tiga, v).
yakni buku nomor 1, 3, dan 7.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa
Untuk kepentingan konteks pemikiran tujuan penulisan buku adalah benar-benar
atau ideologi kiai sebagai sponsor atau patron, sebagai sebuah pertahanan argumen bagi tradisi
penulis fokuskan pada karya nomor 3 (“Hujjah keagamaan yang dilakukan kalangan NU. Oleh
NU, Akidah-Amaliah-Tradisi”). Hal ini karena karena dapat dikatakan bahwa buku ini sedang
karya buku tersebut benar-benar dapat mempertahankan suatu pemikiran ideologis
mencerminkan pemikiran sang patron atau (pemikiran yang sudah menjadi keyakinan),
sponsor. Buku tersebut didesain dengan formal yakni Aswaja NU.
yang kecil dan tipis, yakni 121 halaman. Buku
ini dibagi ke dalam tujuh bagian, dan Karena sang patron atau sponsor memiliki
merupakan semacam ringkasan dari buku pada pemikiran ini, tentu itu akan tercermin dalam
nomor 1, yang berjudul “Fiqh Tradisonalis: produk-produk literasi yang dihasilkan,
Jawaban Pelbagai Persoalan Keagamaan termasuk web. “Pesan-pesan sponsor ini”
Sehari-sehari.” Tujuh bagian tersebut terdiri sendiri secara khusus muncul dalam salah satu
dari pembahasan tentang pemahaman tentang menu web, yakni tausiyah pengasuh. Menu ini
Aswaja, seputar persoalan bidah, sistem berisi berbagai pandangan-pandangan Kiai
bermazhab, seputar ritual salat, menghormati Muhyiddin—yang tentu sebagai sponsor
nabi, penghormatan jenazah, dan beberapa literasi—yang sudah pernah dituangkan dalam
persoalan lain seperti tawassul, mencium tangan buku-bukunya, termasuk dalam buku pertama
ulama dan guru, hizib serta amalan. dan ketiga yang telah dibahas, tetapi ada juga
Sebagaimana judulnya, sesungguhnya buku ini yang belum ditulis tetapi diungkapkan dalam
memberikan argument tentang berbagai suatu kesempatan. Pandangan-pandangan
keyakinan, amaliyah, dan tradisi kalangan NU. tersebut kemudian dituliskan kembali oleh
Beberapa persoalan yang tegas berbeda dengan redaksi web dan dituliskan rujukannya di bagian
beberapa kelompok lain, yakni soal bermazhab, akhir tulisan (lihat contohnya pada link berikut:
perayaan maulid Nabi dengan pembacaan kitab http://pesantrennuris.net/2018/11/30/pandanga
Barzanzi, tahlilan, tawasul, dan tarekat. Tujuan n-ahlussunnah-tentang-musibah-perselisihan-
ditulisnya buku ini dengan jelas disampaikan antara-sebagian-sahabat/).

EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, p-ISSN: 1693-6418, e-ISSN: 2580-247X | 296
KIAI SEBAGAI PATRON DAN SPONSOR PRAKTIK MULTILITERASI DI PESANTREN PADA ERA MEDIA DIGITAL

Selain dalam pandangan-pandangan yang Namun, di sisi lain, kiai juga menjadi patron dan
terkumpul dalam rubrik atau menu tausiyah sponsor praktik multiliterasi di pesantren.
pengasuh, relasi patron/sponsor dan konteks Peran kiai sebagai patron dalam praktik
pemikiran juga tampak dalam menu lainnya. multiliterasi di era digital ini, khususnya di
Contoh yang jelas adalah pada menu Islamic Pondok Pesantren Nuris, dapat dilihat dalam
Studies, terutama untuk tulisan Robith Qoshidi dua hal berikut: Pertama, kiai tetap menjadi
yang berjudul “Ahsunnah wal Jama’ah sebagai transformator perubahan, yakni kiai tetap
Kritik Sosial.” Tulisan ini jelas sekali mendukung perubahan-perubahan dan adaptasi
menggambarkan latar belakang pemikiran dalam perkembangan teknologi digital. Hal ini
sponsor/patron dari produk literasi web. ditunjukkan dengan dukungan kiai, baik moril
Jadi bisa dikatakan, bahwa patron- maupun materil, dalam penggunaan beberapa
sponsor praktik literasi dalam konteks pesantren perangkat teknologi digital pada sistem
adalah kiai sebagai pengasuh, atau keluarga pembelajaran di pesantren. Kedua, kiai sebagai
pengasuh yang dalam hal ini adalah putra-putra patron juga memberikan dasar spiritual,
kiai. Hal tersebut kemudian mengingatkan intelektual, dan ideologis, dalam praktik
tentang peran penting kiai dalam pesantren dan multiliterasi digital di pesantren, sehingga ia
masyarakat. Pendidikan pesantren tidak menjadi filter (penyaring) dalam konten-konten
mungkin bisa memisahkan pesantren dari kiai. literasi digital bagi kalangan pesantren. Dengan
Jika pesantren adalah dasar institusi masyarakat demikian, kiai sebagai patron dalam praktik
pesantren, maka kiai adalah inti sarinya. Kiai multiliterasi ini juga menunjukkan fungsi kiai
dapat membentuk identitas kolektif masyarakat dalam perkembangan teknologi digital, di satu
pesantren, baik secara langsung maupun sisi sebagai penggerak perubahan yang adaptif
sebagaimana yang tampak dalam produk dalam perkembangan teknologi digital di
multiliterasi website. Kiai tetap menjadi pialang pesantren, sehingga memunculkan praktik
budaya yang menjadi semacam penyaring multiliterasi, tetapi di sisi lain juga
budaya dari luar sekaligus menjadi “juru menunjukkan penjaga tradisi, yakni menjaga
biacara” pemikiran Islam yang dianut. Dalam nilai-nilai tradisi Aswaja sesuai latar belakang
konteks tulisan ini, kiai tetap menjadi semacam pemikiran keagamaan sang kiai.
pialang budaya yang bertransformasi menjadi
patron/sponsor praktik multiliterasi berbasis Respon Santri terhadap Pembelajaran
pesantren. Dengan demikian, kiai tetap Multiliterasi
berperan sebagai “penyaring budaya” di tengah Pembelajaran multiliterasi di Pesantren
era revolusi digital yang memerlukan Nuris direspon oleh para santri, yang dibuktikan
multiliterasi khususnya dalam masyarakat dengan semua santri atau siswa di madrasah-
pesantren. madrasah pesantren mengikuti pembelajaran
Kuatnya peran patron serta sponsor juga multiliterasi tersebut. Hanya saja, masing-
sebetulnya ditunjukkan dalam beberapa masing santri memilih sendiri untuk benar-
peraturan terkait akses teknologi digital, seperti benar menekuni bidang tertentu sehingga
aturan akses gawai pintar, komputer, dan mendapatkan porsi keikutsertaan dan perhatian
internet sebagaimana yang sudah dijelaskan lebih di kalangan para santri (wawancara
pada bagian sebelumnya. “Hal itu semua dengan Ab, 2/10/2018). Misalnya, tidak semua
dilakukan agar santri tetap fokus belajar dan santri terlibat secara penuh di ekstrakurikuler
sebisa mungkin terhindar dari sisi-sisi negatif jurnalistik madrasah dan pesantren, hanya
gawai, komputer, internet” (wawancara dengan santri-santri tertentu yang memiliki minat untuk
Ab dan B, 2/10/2018). Hal tersebut dikatakan mendalami bidang jurnalistik. Begitu juga tidak
oleh putra Kiai Muhyiddin. Jadi dari sini semua siswa yang bergabung dalam
tampak bahwa kiai dan keluarganya yang ikut ekstrakurikuler karya ilmiah remaja, tetapi
mengelola pesantren tetap memiliki peran hanya siswa tertentu saja yang ingin mendalami
penting sebagai “cultural broker” dalam bidang tersebut. Hal yang sama juga terjadi
konteks perkembangan teknologi digital. untuk kegiatan-kegiatan keterampilan yang
lain. Bidang yang diikuti semua santri dan siswa
adalah kegiatan-kegiatan yang terkait dengan

297 | EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, p-ISSN: 1693-6418, e-ISSN: 2580-247X
AGUS ISWANTO

literasi agama, karena bidang literasi ini patron dan sponsor praktik tersebut (Brandt,
menjadi inti literasi di Pesantren Nuris. 2001; Street, 2001). Figur tersebut memiliki
latar belakang intelektual dan ideologis yang
Pembelajaran multiliterasi di pesantren
mendorong dipraktikan literasi dalam situasi
tentu melibatkan infrastruktur yang diperlukan,
tertentu (Gee, 2000), yakni situasi pesantren.
seperti ketersediaan gawai, laptop, dan akses
Studi tentang praktik literasi di pesantren
wifi. Seperti yang sudah dikemukakan di atas,
biasanya terkait dengan penggunaan kitab-kitab
semua perangkat dan jaringan wifi internet
dan praktik pembelajaran (Lukens-Bull, 1970,
tersedia, meskipun dengan berbagai
2000, 2001a; Dhofier, 1994). Studi dalam
keterbatasan. Keterbatasan ini bukan karena
tulisan ini memberikan perspektif tentang peran
pesantren tidak mau memenuhinya, tetapi ingin
kiai dalam praktik literasi di tengah
pesantren tetap memiliki aturan yang mendidik
perkembangan teknologi digital.
kedisiplinan santri (wawancara dengan Ab,
2/10/2018). Beberapa santri yang sempat Tulisan ini telah membuktikan, pesantren
diwawancara juga menunjukkan respon yang tetap adaptif di tengah perkembangan teknologi
positif tentang pembatasan-pembatasan digital, yang ditunjukkan dengan praktik
penggunaan perangkat-perangkat di atas. Hal multiliterasi. Hal ini didorong oleh seorang
itu karena dalam waktu-waktu tertentu mereka figur, yakni kiai. Kiai menjadi patron dan
tetap diperbolehkan untuk menggunakan sponsor praktik multiliterasi di kalangan
perangkat-pengkat tersebut. Mereka sadar pesantren. Dengan menggunakan perspektif
bahwa pembatasan-pembatasan tersebut adalah kajian literasi baru (Street, 2003; Barton dan
salah satu cara pengasuh mendidik kedisiplinan Hamilton, 2005; Lankshear and Knobel, 2011),
dalam belajar (wawancara dengan santri A, B, yang menekankan afiliasi konteks dan ideologis
C, D, 3/10/2018). seorang patron praktik multiliterasi, tulisan ini
memberikan pengetahuan tentang peran kiai
Kiai sebagai Patron dan Sponsor Praktik dalam praktik multiliterasi belum banyak
Multiliterasi diperhatikan oleh para sarjana. Tulisan ini
Kajian tentang praktik literasi baru ini masih menerima pandangan bahawa kiai tetap
sesungguhnya ingin menempatkan konteks dan sebagai figur penting dalam tradisi pesantren,
sponsor serta patron yang menumbuhkan tetapi tulisan ini melengkapi pandangan para
praktik dan produk multiliterasi sebagaimana ahli tersebut dengan mengajukan peran kiai
yang banyak juga dijelaskan oleh para ahli lain sebagai patron dan sponsor praktik multiliterasi
(Brandt, 2001, p. 19; Dewayani and dalam pesantren.
Retnaningdyah, 2017, p. 44). Oleh karena itu,
hal yang utama dijadikan perhatian dalam PENUTUP
tulisan ini adalah aspek konteks dan Website Pesantren Nuris
patron/sponsor. Hal tersebut sesuai dengan mengindikasikan adanya kesadaran mengenai
tujuan penelitian dalam tulisan ini, yakni kepentingan pembelajaran multiliterasi.
melihat peran atau representasi kiai dalam Website Pesantren Nuris hadir karena adanya
praktik multiliterasi. Kiai di sini dipandang pandangan tentang kebutuhan media digital
sebagai patron dan sponsor dalam praktik yang dapat menjangkau pembelajaran
multiliterasi. Karena kuatnya patron dan multiliterasi karena variasi konten dan
sponsor ini, maka respon santri dan orang tua jangkauannya yang luas kepada masyarakat.
cenderung menerima praktik pembelajaran Namun, hal itu juga tidak berarti para santri atau
multiliterasi yang dilakukan. siswa bebas mengakses teknologi informasi
digital setiap saat. Terdapat aturan-aturan
Temuan-temuan yang telah dipaparkan
tertentu sehingga santri tidak bebas seterusnya
dalam tulisan ini menunjukkan bahwa praktik
untuk mengakses teknologi digital. Begitu juga
literasi bukanlah suatu yang otonom, tetapi
terdapat aturan-aturan untuk bisa mengakses
merupakan suatu praktik yang kontekstual dan
jaringan internet.
ideologis (Street, 2001; Dewayani and
Retnaningdyah, 2017). Praktik literasi, dan Hal yang mendasari itu semua adalah
multiliterasi melibatkan figur yang menjadi patron dan sponsor praktik multiliterasi. Kiai

EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, p-ISSN: 1693-6418, e-ISSN: 2580-247X | 298
KIAI SEBAGAI PATRON DAN SPONSOR PRAKTIK MULTILITERASI DI PESANTREN PADA ERA MEDIA DIGITAL

sebagai patron dan sponsor praktik multiliterasi yang telah memungkinkan jalannya penelitian
di pesantren menjadi konsep penting yang ini, baik di Pesantren Nuris Jember, Kantor
diajukan dalam tulisan ini. Patron dan sponsor Kementerian Agama Kabupaten Jember, serta
praktik multiliterasi yang menghasilkan produk pihak-pihak tertentu, baik secara kelembagaan
web adalah pengasuh dan keluarga pengasuh, maupun individu yang membuat penelitian ini
yang dalam hal ini adalah kiai dan putra-putra dapat berjalan.
kiai. Patron dan sponsor literasi senantiasa
mewarnai konten dan penggarapan web atau DAFTAR PUSTAKA
produk multiliterasi apapun. Tulisan ini Abdusshomad, M. (2015) Hujjah NU Akidah-
menunjukkan bahwa di zaman teknologi digital, Amaliah-Tradisi. Malang: Pustaka
kiai pesantren memegang posisi sebagai patron Bayan.
dan sponsor praktik multiliterasi berbasis
pesantren. Visi dan pemikiran kiai akan Abdusshomad, M. (2016) Fiqh Tradisionalis:
memberikan pengaruh pada praktik literasi dan Jawaban Pelbagai Persoalan
multiliterasi pesantren. Kiai akan menjadi Keagamaan Sehari-hari. Malang:
teladan (patron) literasi sekaligus juga menjadi Pustaka Bayan.
sponsor (unsur yang mendukung) praktik Abidin, Y., Mulyati, T. and Yunansah, H.
multiliterasi. Hal ini disebabkan oleh peran kiai (2017a) ‘Developing Literacy Learning
yang tetap menjadi sentral pada lembaga Model Based On Multi Literacy,
pendidikan pesantren meskipun di era teknologi Integrated, and Differentiated Concept At
informasi dan media digital sekarang ini. Patron Primary School’, Cakrawala Pendidikan,
kiai sebagai pengasuh yang mengarahkan 36(2), pp. 156–166. doi:
praktik pembelajaran multiliterasi direspon oleh :https://doi.org/10.21831/cp.v36i2.13283
para santri dengan kesadaran sebagai upaya .
mendidik kedisplinan dalam belajar.
Abidin, Y., Mulyati, T. and Yunansah, H.
Tulisan ini memberikan bukti tentang (2017b) Pembelajaran Literasi: Strategi
yang tetap dan yang berubah tentang peran kiai Meningkatkan Kemampuan Literasi
dalam praktik multiliterasi di tengah era Matematika, Sains, Membaca, dan
teknologi digital. Hal yang tetap, sebagaimana Menulis. Jakarta: Bumi Aksara.
pendapat para sarjana terdahulu, adalah bahwa
kiai tetap menjadi cultural broker, sebagai Barton, D. and Hamilton, M. (2005) ‘Literacy
penyaring budaya, dan penjaga tradisi pesantren practices’, in Barton, D., Hamilton, M.,
dalam praktik multiliterasi di era digital. and Ivanic, R. (eds) Situated Literacies:
Sedangkan aspek yang berubah, dan belum Theorising Reading and Writing in
banyak diulas oleh para sarjana, adalah tentang Context. London and New York:
kiai sebagai patron praktik multiliterasi di era Routledge, pp. 7–14. doi:
digital. Kecakapan multiliterasi di abad 21 10.4324/9780203984963-10.
harus dipenuhi oleh pesantren untuk Beavis, C., Muspratt, S. and Thompson, R.
menyiapkan para santri dalam menghadapi (2015) ‘“Computer games can get your
kompleksitas tantangan kehidupan di abad ini, brain working”: student experience and
dan oleh karena itu, kiai sebagai patron dan perceptions of digital games in the
sponsor, tetap diperlukan sebagai figur classroom’, Learning, Media and
mendorong praktik multiliterasi tersebut. Technology, 40(1), pp. 21–42. doi:
10.1080/17439884.2014.904339.
UCAPAN TERIMAKASIH
Tulisan ini didasarkan hasil penelitian Brandt, D. (2001) Literacy in American Lives.
yang didanai oleh DIPA Balai Litbang Agama Cambridge: Cambridge University Press.
Semarang tahun 2018. Oleh kaena itu, saya Burnett, N. et al. (2006) Education for All:
mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai Literacy for Life, UNESCO. Paris:
Litbang Agama Semarang yang mengizinkan UNESCO.
saya untuk melakukan penelitian ini. Saya juga
Chassiakos, Y. R. et al. (2016) ‘Children and
mengucapkan terima kasih kepada para pihak

299 | EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, p-ISSN: 1693-6418, e-ISSN: 2580-247X
AGUS ISWANTO

adolescents and digital media’, multicultural education and applying ICT


Pediatrics, 138(5). doi: on Pesantren in South Sulawesi,
10.1542/peds.2016-2593. Indonesia’, WSEAS Transactions on
Information Science and Applications,
Dewayani, S. (2017) Menghidupkan Literasi di
6(8), pp. 1401–1411.
Ruang Kelas. Yogyakarta: Kanisius.
Lukens-Bull, R. A. (1970) ‘Teaching Morality:
Dewayani, S. and Retnaningdyah, P. (2017)
Javanese Islamic Education in a
Suara dari Marjin: Literasi sebagai
Globalizing Era’, Journal of Arabic and
Praktik Sosial. Bandung: PT. Remaja
Islamic Studies. doi: 10.5617/jais.4554.
Rosda Karya.
Lukens-Bull, R. A. (2000) ‘The pesantren
Dhofier, Z. (1994) Tradisi Pesantren, VI,
tradition: a study of the role of the kyai in
Jakarta: LP3ES. Jakarta: LP3ES.
the maintenance of the traditional
Gazali, E. (2018) ‘Pesantren Di Antara Generasi ideology of Islam in Java’, Journal of
Alfa Dan Tantangan’, OASIS : Jurnal Asian Studies, 59(4), pp. 1091–1092.
Ilmiah Kajian Islam, 2(2), pp. 96–109. Available at: http://e-
Gee, J. P. (2000) ‘The New Literacy Studies: resources.pnri.go.id:2073/docview/23041
From “Socially Situated” to the Work of 9029/abstract.
the Social’, in Barton, D., Hamilton, M., Lukens-Bull, R. A. (2001a) ‘Two Sides of the
and Ivanic, R. (eds) Situated Literacies: Same Coin: Modernity and Tradition in
Reading and Writing in Context. London Islamic Education in Indonesia’,
and New York: Routledge. Anthropology <html_ent
Halim, W. (2018) ‘Young Islamic preachers on glyph="@amp;" ascii="&amp;"/>
Facebook: Pesantren As’adiyah and its Education Quarterly, 32(3), pp. 350–372.
engagement with social media’, doi: 10.1525/aeq.2001.32.3.350.
Indonesia and the Malay World, 46(134), Lukens-Bull, R. A. (2001b) ‘Two Sides of the
pp. 44–60. doi: Same Coin: Modernity and Tradition in
10.1080/13639811.2018.1416796. Islamic Education in Indonesia’,
Jamaludin, M. (2012) ‘Metamorfosis Pesantern Anthropology & Education Quarterly,
Di Era Globalisai’, Journal of Social and 32(3), pp. 350–372. doi:
Islamic Culture, 20(1), pp. 127–139. 10.1525/aeq.2001.32.3.350.

Jewitt, C. (2008) ‘Multimodality and literacy in Mansyur, M., Rahamma, T. and Fatima, J. M.
school classrooms’, Review of Research (2013) ‘Literacy Media Students Success
in Education, 32, pp. 241–267. doi: Learning on Information and
10.3102/0091732X07310586. Communication Technology (ICT) In
Junior High School 11 Par’, Jurnal
Lankshear, C. and Knobel, M. (2011) New Komunikasi KAREBA, 2(4), pp. 379–385.
Literacies: Everyday Practices and Social
Learning. 3rd edn. New York: Open Marsh, J. (2011) ‘Young Children’s Literacy
University Press. doi: Practices in a Virtual World: Establishing
10.1093/deafed/enj039. an Online Interaction Order’, Reading
Research Quarterly, 46(2), pp. 101–118.
Lewis, D. (2004) ‘Children Reading Pictures: doi: 10.1598/rrq.46.2.1.
Interpreting Visual Texts’, Literacy
(formerly Reading), 38(1), pp. 65–66. doi: Mastiyah, I. (2018) Pesantren, Iptek, da n
10.1111/j.0034- Multikulturalisme: Membaca Fenomena
0472.2004.03801011_1.x. Ribuan Santri Berprestasi dan Moderat.
Jakarta: UIN Jakarta Press.
‘Literasi Visual Tokoh Hanoman Bali dengan
Pendekatan Augmented Reality’ (2016) Masyhur, F. (2016) ‘The ICT Literacy
Journal Studi Kultural, II(1), pp. 42–47. Development Model for Farmers and
Fishermen Community (Model
Lubis, M. A. et al. (2009) ‘The application of Pengembangan Literasi TIK Masyarakat

EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, p-ISSN: 1693-6418, e-ISSN: 2580-247X | 300
KIAI SEBAGAI PATRON DAN SPONSOR PRAKTIK MULTILITERASI DI PESANTREN PADA ERA MEDIA DIGITAL

Tani dan Nelayan)’, Journal Pekommas, Meningkatkan Keterampilan Menulis


1(1), p. 101. doi: Karangan Persuasi Pada Mata Pelajaran
10.30818/jpkm.2016.2010110. Bahasa Indonesia Di Sekolah Dasar’,
Jurnal Cakrawala Pendas, 5(1). doi:
Mills, K. A. (2010) ‘Shrek Meets Vygotsky:
10.31949/jcp.v5i1.1199.
Rethinking Adolescents’ Multimodal
Literacy Practices in Schools’, Journal of The London Group (1996) ‘A pedagogy of
Adolescent & Adult Literacy, 54(1), pp. multiliteracies: Designing social futures’,
35–45. doi: 10.1598/jaal.54.1.4. Harvard Educational Review, 66(1), p.
60. doi:
Murtadlo, M. (2019) ‘The Development of
10.17763/haer.66.1.17370n67v22j160u.
Scientific Writing Skills in Pesantren: a
Comparative Analysis on Ma’Had Aly The Partnership for 21st Century Skills (2009)
Sukorejo Situbondo and Ma’Had Aly Framework for 21st century learning,
Manggisan Wonosobo’, Analisa: Journal P21 Partnership for 21st Century
of Social Science and Religion, 4(02), pp. Learning. Bangkok. doi:
205–224. doi: http://www.21stcenturyskills.org/docume
10.18784/analisa.v4i02.915. nts/framework_flyer_updated_jan_09_fi
nal-1.pdf.
Nasrullah, R. (2017) Media Sosial Pespektif
Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi. Trumbo, J. (1999) ‘Visual literacy and science
Bandung: Simbiosa Rekatama Media. communication’, Science
Communication, 20(4), pp. 409–425. doi:
Pasadas, U. C. (2010) ‘Multiliteracy and social
10.1177/1075547099020004004.
networks in higher education’, Revista de
Universidad y Sociedad del Unsworth, L. (2002) ‘Changing dimensions of
Conocimiento, 7(2), pp. 16–25. doi: school literacies’, Australian Journal of
10.7238/rusc.v7i2.978. Language and Literacy, 6(1).
Street, B. (2003) ‘What’s “new” in New World Economic Forum (2016) Digital Media
Literacy Studies?: Critical approaches to and Society Implications in a
literacy in theory and practice’, Current Hyperconnected Era, World Economic
Issues in Comparative Education, 5(2), Forum Shaping the Future Implications of
pp. 77–91. doi: Digital Media for Society project report.
10.1016/j.socscimed.2011.02.026. Available at:
http://trends.ifla.org/files/trends/assets/ifl
Street, B. V (2001) ‘Introduction’, in Street, B.
a-trend-report-
V (ed.) Literacy and Development:
expert_meeting_synthesis_2013-04-
Ethnographic Perspective. New York:
26.pdf.
Routledge, pp. 21–26. Available at:
http://ezproxy.lib.monash.edu.au/login?u Yanti, M. (2016) ‘Determinan literasi digital
rl=http://www.MONASH.eblib.com.au/E mahasiswa: kasus Universitas Sriwijaya
BLWeb/patron?target=patron&extendedi [Determinants of students digital literacy:
d=P_178678_0&. the case of Sriwijaya University]’, Buletin
Pos dan Telekomunikasi, 14(2), p. 79. doi:
Susilo, S. V. and Ramdiati, T. (2019)
10.17933/bpostel.2016.140202.
‘Penerapan Model Multiliterasi Untuk

301 | EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, p-ISSN: 1693-6418, e-ISSN: 2580-247X

You might also like