You are on page 1of 13

HUBUNGAN KEBIASAAN MAKAN MAKANAN

RENDAH SERAT DENGAN KEJADIAN


APENDISITIS AKUT
Di RS Dustira Cimahi dan RS Cibabat Cimahi Periode September
2016 - Januari 2017

MAKALAH
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memeroleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh
Dewi Wulandari
NIM 4111131031

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
MARET 2017
HUBUNGAN KEBIASAAN MAKAN MAKANAN RENDAH SERAT
DENGAN KEJADIAN APENDISITIS AKUT
Di RS Dustira Cimahi dan RS Cibabat Cimahi Periode September 2016 -
Januari 2017

Dewi Wulandari1, Endah Hamidah 2, Priatna3


1
Fakultas Kedokteran UNJANI, 2Bagian Laboratorium Patologi Anatomi
Fakultas Kedokteran UNJANI, 3Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran UNJANI

ABSTRACT

Acute appendicitis is the most common digestive tract disease and the most frequent
cause of acute abdominal complaint. The incidence of acute appendicitis in
Indonesia ranks highest among acute abdominal emergency cases. The cause of
acute appendicitis related to many factors such as age, sex, and low fiber dietary.
This study aimed to obtain correlation between low fiber dietary with acute
apendicitis at Dustira Cimahi Hospital and Cibabat Cimahi Hospital in the period
of September 2016 – January 2017. This was analytical design research with cross-
sectional study. Subject in this study was acute appendicities patients who
diagnosed by a doctor and had surgery as well as histopathology examination.
Object in this study was secondary data from medical records of acute
appendicities patients. The result showed that there were 77 acute appendicitis
patients approved as inclusion criteria. Acute appendicitis was found as the most
common between the ages of 11-20 years that is 24 cases (31.2%). Woman was
more likely to have acute appendicitis than man with comparation 1,2:1. Acute
appendicitis patients were more likely low fiber dietary than high fiber dietary.
Acute appendicitis patients who low fiber dietary were found as the most common
between the ages of 11-20 years that is 14 cases (26.4%). Woman who have acute
appendicitis was more likely low fiber dietary than man. Analytical test result
showed that there was a significant correlation between low-fiber diet with acute
appendicitis incidence (95% CI; p = 0,009; PR = 7,7).

Keywords: acute appendicitis, low fiber dietary, histopathology examination

ABSTRAK

Apendisitis akut merupakan salah satu penyakit saluran pencernaan yang paling
umum ditemukan dan yang paling sering memberikan keluhan abdomen akut.
Insidensi apendisitis akut di Indonesia menempati urutan tertinggi diantara kasus
kegawatan abdomen akut. Insidensi apendisitis akut berkaitan dengan beberapa
faktor seperti usia, jenis kelamin, dan kebiasaan makan makanan rendah serat.

1
2

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kebiasaan makan makanan


rendah serat dengan kejadian apendisitis akut di RS Dustira Cimahi dan RS Cibabat
Cimahi periode September 2016 – Januari 2017. Penelitian ini menggunakan desain
analitik dengan rancangan cross sectional. Subjek pada penelitian ini adalah pasien
apendisitis akut yang telah didiagnosis oleh dokter dan dilakukan operasi serta
pemeriksaan histopatologi. Objek pada penelitian ini adalah catatan rekam medik
dari semua pasien apendisitis akut. Pada penelitian ini didapatkan jumlah kasus
apendisitis akut yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 77 sampel. Apendisitis
akut paling banyak ditemukan pada usia 11-20 tahun yaitu sebanyak 24 kasus
(31,2%). Perempuan lebih banyak mengalami apendisitis akut dibandingkan laki-
laki dengan perbandingan 1,2:1. Pasien apendisitis akut yang mengonsumsi rendah
serat lebih banyak dibandingkan yang mengonsumsi tinggi serat yaitu sebanyak 53
kasus (68,8%). Pasien apendisitis akut yang mengonsumsi rendah serat terbanyak
pada usia 11-20 tahun yaitu sebanyak 14 kasus (26,4%). Perempuan yang
mengalami apendisitis akut lebih banyak mengonsumsi rendah serat dibandingkan
laki-laki. Hasil uji analitik menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara
kebiasaan mengonsumsi makanan rendah serat dengan kejadian apendisitis akut
(95% CI; p = 0,009; PR = 7,7).

Kata kunci: apendisitis akut, makanan rendah serat, pemeriksaan histopatologi

PENDAHULUAN
Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks vermiformis, yaitu suatu
struktur tubular rudimenter yang berhubungan dengan sekum di sebelah kaudal
ileosekal. Apendisitis dibedakan menjadi akut dan kronis berdasarkan waktu
perkembangan penyakit. Apendisitis akut merupakan salah satu penyakit saluran
pencernaan yang paling umum ditemukan dan yang paling sering memberikan
keluhan abdomen akut dengan batasan durasi tidak lebih dari 48 jam disertai
keluhan gejala yang lebih khas dan jelas, sebaliknya apendisitis kronis merupakan
kasus yang jarang terjadi dan menunjukkan perjalanan penyakit yang lebih lambat
serta gejala yang lebih ringan dibandingkan apendisitis akut. Apendisitis akut
merupakan penyakit abdomen akut tersering yang ditangani oleh dokter bedah.1,2
Insidensi apendisitis akut di negara maju lebih tinggi dibandingkan negara
berkembang. Di Amerika terdapat 250.000 kasus apendisitis akut yang dilaporkan
tiap tahunnya yang mencangkup 7% populasi dengan insidensi 1,1 kasus per 1000
orang per tahun. Data yang dirilis oleh Departemen Kesehatan RI pada tahun 2008
mencatat jumlah penderita apendisitis akut di Indonesia mencapai 591.819 orang
3

dan meningkat pada tahun 2009 sebesar 596.132 orang serta insidensi apendisitis
akut menempati urutan tertinggi di antara kasus kegawatan abdomen lainnya. Pada
tahun 2013, jumlah penyakit sepuluh besar terbanyak pada pasien rawat inap
ditempati oleh penyakit apendisitis akut yang berada pada urutan kesembilan.3,4
Apendisitis akut dapat ditemukan pada semua usia, tetapi pada anak kurang dari
satu tahun jarang dilaporkan. Hal tersebut akibat struktur anatomi apendiks pada
anak kurang dari satu tahun yang berbentuk seperti kerucut yaitu melebar pada
bagian proksimal dan menyempit pada bagian distal sehingga menurunkan
terjadinya obstruksi pada lumen apendiks. 5-7
Insidensi apendisitis akut tertinggi pada kelompok usia 20-30 tahun. Hal
tersebut akibat hiperplasia limfoid yang sering terjadi pada usia ini. Insidensi pada
lelaki dan perempuan umumnya sama, kecuali pada usia 20-30 tahun dimana
insidensi pada lelaki lebih tinggi dibandingkan perempuan yaitu dengan ratio 1,5:1.
5-7

Apendisitis akut dapat disebabkan oleh berbagai hal, namun sumbatan


(obstruksi) pada lumen apendiks merupakan faktor utama sebagai penyebabnya.
Faktor risiko terjadinya penyumbatan lumen apendiks ialah adanya fekalit (tinja
yang mengeras) akibat gaya hidup dan kebiasaan sehari-hari yang tidak sehat
seperti kurangnya mengonsumsi makanan berserat dalam menu sehari-hari.5-9
Di Asia dan Afrika, insidensi apendisitis akut lebih rendah diduga akibat
kebiasaan penggunaan makanan tinggi serat oleh setiap penduduknya. Insidensi
apendisitis lebih rendah terjadi pada masyarakat dengan kebiasaan makan makanan
tinggi serat dalam menu sehari-hari. Makanan tinggi serat dapat menurunkan
viskositas feses, menurunkan waktu transit di usus, dan meminimalisir
terbentuknya fekalit. Semua ini dapat menurunkan terjadinya sumbatan pada lumen
apendiks.2,5,10
Menurut Hwang dan Khumbhaar proporsi jaringan limfoid pada laki-laki lebih
banyak dibandingkan perempuan. Proporsi jaringan limfoid dan hiperplasia limfoid
terutama ditemukan pada usia 20-30 tahun. Menurut Evi (2009) pada usia remaja
dan dewasa muda terjadi kecenderungan terhadap pola makan yang tidak sehat
yaitu kurangnya mengonsumsi makanan berserat dalam menu sehari-hari. Semua
4

faktor tersebut mempermudah terjadinya obstruksi pada lumen apendiks yang dapat
menyebabkan apendisitis akut.5-7,10
Penelitian Damanik (2015) mengenai hubungan kejadian apendisitis dengan
kebiasaan makan makanan rendah serat pada anak di RS H. Adam Malik didapatkan
hasil hubungan yang signifikan antara kebiasaan makan makanan rendah serat
dengan kejadian apendisitis akut.10
Penelitian mengenai hubungan kebiasaan makan makanan rendah serat dengan
kejadian apendisitis akut belum pernah dilakukan di RS Dustira Cimahi dan RS
Cibabat Cimahi. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai
hubungan kebiasaan makan makanan rendah serat dengan kejadian apendisitis akut
di RS Dustira Cimahi dan RS Cibabat Cimahi periode September 2016 – Januari
2017.

SUBJEK, OBJEK, DAN METODE


Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan rancangan cross sectional
yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data primer dan data sekunder di
Bagian Bedah RS Dustira Cimahi dan RS Cibabat Cimahi periode September 2016
– Januari 2017. Subjek pada penelitian ini adalah pasien apendisitis akut yang telah
didiagnosis oleh dokter dan dilakukan operasi serta pemeriksaan histopatologi.
Objek pada penelitian ini adalah data sekunder berupa catatan rekam medik dari
semua pasien apendisitis akut.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penelitian yang telah dilakukan di Bagian Bedah RS Dustira Cimahi dan RS
Cibabat Cimahi periode September 2016 sampai Januari 2017 didapatkan jumlah
seluruh kasus apendisitis akut sebanyak 228 kasus, namun yang termasuk kedalam
kriteria inklusi sebanyak 86 sampel. Sedangkan, sebanyak 142 sampel tidak
memenuhi kriteria inklusi karena tidak ada hasil pemeriksaan histopatologi.
Rincian sampel yang memenuhi kriteria inklusi yaitu dari RS Dustira Cimahi
sebanyak 40 sampel, sedangkan dari RS Cibabat Cimahi sebanyak 46 sampel.
Jumlah kasus apendisitis akut yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 77 sampel,
5

sedangkan yang bukan apendisitis akut sebanyak 9 sampel. Pemilihan sampel


apendisitis akut yaitu pasien yang telah didiagnosis apendisitis akut oleh dokter
berdasarkan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan histopatologi. Dari hasil
pemeriksaan histopatologi yang termasuk kedalam apendisitis akut pada penelitian
ini adalah apendisitis akut, apendisitis akut dengan nekrosis luas, apendisitis
perforasi, apendisitis infiltrat, dan apendisitis kronis eksaserbasi akut. Seluruh
sampel tersebut diperoleh dari hasil rekam medik yang memenuhi kriteria inklusi
dan dari kuesioner mengenai kebiasaan makan makanan rendah serat dan tinggi
serat.

Gambaran Apendisitis Akut Berdasarkan Usia


Gambaran apendisitis akut berdasarkan usia dikelompokan dengan interval 10
tahun dimulai dari usia 0 tahun. Rincian hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 menunjukkan bahwa kasus apendisitis akut berdasarkan usia paling banyak
ditemukan pada pasien remaja hingga dewasa muda yang berusia 11-20 tahun yaitu
sebanyak 24 kasus (31,2%) dan paling sedikit ditemukan pada usia lebih dari 60
tahun yaitu sebanyak 2 kasus (2,6%). Dengan rincian usia terendah pada usia 3
tahun dan usia tertinggi pada usia 64 tahun.

Tabel 1 Gambaran Apendisitis Akut Berdasarkan Usia


Usia Frekuensi Persentase %
0 - 10 tahun 8 10,4
11 - 20 tahun 24 31,2
21 - 30 tahun 13 16,9
31 - 40 tahun 13 16,9
41 - 50 tahun 9 11,7
50 - 60 tahun 8 10,4
> 60 tahun 2 2,6
Total 77 100
6

Menurut data epidemiologi, apendisitis akut jarang terjadi pada balita,


meningkat pada pubertas, dan mencapai puncaknya pada saat remaja akhir,
sedangkan angka ini menurun pada usia lanjut.5,6,11
Menurut Sjamsuhidajat (2010) hal tersebut akibat adanya hiperplasia limfoid
yang merupakan salah satu etiologi dari obstruksi apendiks. Hiperplasia limfoid ini
berhubungan dengan infeksi saluran napas atas, mononucleosis, gastroenteritis,
ataupun infeksi parasit. Hiperplasia limfoid pada orang dewasa lebih sering terjadi
dibandingkan anak-anak sehingga kejadian apendisitis akut pun sering ditemukan
pada usia ini. Selain itu, tingginya kejadian apendisitis akut pada usia ini dapat
terjadi karena kebiasaan mengonsumsi makanan rendah serat lebih tinggi pada usia
ini. Konsumsi biji-bijian dari sayuran dan buah segar yang cukup banyak juga
merupakan tempat dan sarana bagi pembentukan fekalit. Apendisitis akut jarang
terjadi pada anak-anak dibawah satu tahun. Hal tersebut kemungkinan akibat
stuktur apendiks yang berbentuk seperti kerucut yaitu lebar di bagian proksimal dan
sempit di bagian distal sehingga menurunkan risiko terjadinya obstruksi pada
apendiks.3,5,7

Gambaran Apendisitis Akut Berdasarkan Jenis Kelamin


Gambaran pasien apendisitis akut berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada
Tabel 2. Dari Tabel 2 didapatkan bahwa perempuan (54,5%) lebih banyak
mengalami apendisitis akut dibandingkan laki-laki (45,5%) dengan perbandingan
1,2 : 1.

Tabel 2 Gambaran Apendisitis Akut Berdasarkan Jenis Kelamin


Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)
Laki-laki 35 45,5
Perempuan 42 54,5
Total 77 100

Menurut Sjamsuhidajat (2010) dikatakan bahwa laki-laki dan perempuan


umumnya memiliki kesempatan yang sama untuk menderita apendisitis akut,
7

kecuali pada usia 20 sampai 30 tahun dimana insidensi pada laki-laki lebih tinggi
dibandingkan perempuan yaitu dengan ratio 1,5:1. Menurut penelitian yang
dilakukan Hwang dan Khumbhaar (1940), proporsi jaringan limfoid pada laki-laki
lebih banyak dibandingkan perempuan, namun tidak ada konfirmasi lebih lanjut
mengenai hal ini. Menurut Lee J (2009), Inflamasi pada apendiks lebih umum
ditemukan pada laki-laki diduga karena adanya perubahan anatomis.5,11,12

Gambaran Apendisitis Akut Berdasarkan Konsumsi Serat


Kebiasaan mengonsumsi sumber serat responden pada penelitian ini dilihat dari
kebiasaan responden dalam mengonsumsi sayuran, buah-buahan, serta kacang-
kacangan dalam 30 hari terakhir sebelum responden menderita apendisitis akut
dengan menggunakan Food Frequency Questionaire (FFQ). Untuk memudahkan
dalam analisis data, peneliti membagi kebiasaan mengonsumsi serat dalam 2
kategori, yaitu rendah serat dan tinggi serat.
Gambaran apendisitis akut berdasarkan konsumsi serat dapat dilihat pada Tabel
3. Dari Tabel 3 ditemukan bahwa pasien apendisitis akut yang mengonsumsi rendah
serat sebanyak 53 kasus dengan persentase 68,8%, sedangkan hanya 24 kasus
dengan persentase 31,2% yang mengonsumsi tinggi serat.

Tabel 3 Gambaran Apendisitis Akut Berdasarkan Konsumsi Serat


Konsumsi serat Frekuensi Persentase (%)
Rendah serat 53 68,8
Tinggi serat 24 31,2
Total 77 100

Perubahan gaya pola hidup masyarakat Indonesia yang menuju ke pola hidup
tidak sehat seperti kurang makan makanan berserat menyebabkan angka kejadian
apendisitis akut tinggi. Hal tersebut akibat makanan rendah serat akan
mempermudah terjadinya konstipasi. Konstipasi akan menaikan tekanan intrasekal
yang berakibat timbulnya obstruksi pada lumen apendiks dan meningkatkan
8

pertumbuhan kuman flora normal di kolon sehingga mempermudah timbulnya


apendisitis akut.5,13-14

Gambaran Usia Pasien Apendisitis Akut yang Mengonsumsi Rendah Serat


Gambaran usia pasien apendisitis akut yang mengonsumsi rendah serat dapat
dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Gambaran Usia Pasien Apendisitis Akut yang Mengonsumsi Rendah Serat
Usia Frekuensi Rendah Serat Persentase (%)
0-10 6 11,3
11-20 14 26,4
21-30 12 22,7
31-40 9 17
41-50 7 13,2
51-60 4 7,5
>60 1 1,9

Total 53 100

Berdasarkan Tabel 4 dapat dijelaskan bahwa pasien apendisitis akut yang


mengonsumsi rendah serat terbanyak pada pasien remaja hingga dewasa muda yang
berusia 11-20 tahun yaitu sebanyak 14 kasus (26,4%) dan paling sedikit pada usia
lebih dari 60 tahun yaitu sebanyak 1 kasus (1,9%).
Diet remaja saat ini cenderung kurang mengonsumsi serat. Dalam laporan
Riskesdas tahun 2007 disebutkan bahwa terdapat 93,8% pada kelompok usia 15-24
tahun yang kurang mengonsumsi serat, sedangkan pada remaja awal yang berusia
10-14 tahun di Indonesia hanya 6,4% yang mengonsumsi cukup serat. Di Provinsi
Jawa Barat konsumsi serat pada remaja awal lebih rendah dari persentase nasional
yaitu sebanyak 4,5%. Hasil Riskesdas tahun 2010-2013 menunjukkan bahwa secara
nasional perilaku penduduk usia lebih dari 10 tahun yang kurang mengonsumsi
serat masih diatas 90%. Kondisi ini sejalan dengan temuan hasil Survei Konsumsi
Makanan Individu (SKMI) dalam Studi Diet Total (SDT) tahun 2014 bahwa
9

konsumsi penduduk terhadap sayur dan olahannya serta buah dan olahannya masih
rendah.15,16
Masa remaja saat ini cenderung menggemari fast food yang tinggi akan kalori,
lemak, dan natrium, namun kurang akan serat. Selain itu, rendahnya konsumsi serat
pada remaja juga ada kaitannya dengan masih rendahnya pengetahuan mereka
tentang manfaat serat. Menurut Bahria dan Triyanti (2010) pengaruh rekan atau
kelompok sebaya pada masa remaja juga sangat berkaitan dimana pemilihan
makanan mereka berdasarkan penerimaan oleh teman sebanyanya. Kebiasaan
dalam mengonsumsi rendah serat pada remaja tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya obstruksi pada lumen apendiks sehingga mempermudah terjadinya
apendisitis akut.15,16

Gambaran Jenis Kelamin Pasien Apendisitis Akut yang Mengonsumsi Rendah


Serat
Gambaran jenis kelamin pasien apendisitis akut yang mengonsumsi rendah
serat dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5 didapatkan bahwa dari 53
pasien apendisitis akut yang mengonsumsi rendah serat, perempuan lebih banyak
mengonsumsi rendah serat yaitu sebanyak 28 kasus (53%) dibandingkan laki-laki
yaitu sebanyak 25 kasus (47%).

Tabel 5 Gambaran Jenis Kelamin Pasien Apendisitis Akut yang Mengonsumsi


Rendah Serat
Jenis Kelamin Frekuensi Rendah Serat Persentase (%)
Laki-laki 25 47
Perempuan 28 53
Total 53 100

Dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, hasil penelitian ini hampir sama


dengan penelitian yang dilakukan oleh Evi Heryanti (2009) bahwa perempuan lebih
banyak mengonsumsi rendah serat (67%) dibandingkan laki-laki (33%), namun
berdasarkan hasil uji statistik disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna
10

antara jenis kelamin dengan frekuensi kebiasaan makan makanan rendah serat (p-
value=1,000).
Berbeda halnya dengan penelitian Farida (2010) bahwa jenis kelamin
berpengaruh terhadap konsumsi buah dan sayur dengan risk estimate sebesar 1,096
pada laki-laki. Hal tersebut diartikan bahwa secara umum laki-laki lebih banyak
mengonsumsi makanan yang tinggi kalori, tetapi lebih sedikit mengonsumsi buah
dan sayur dibandingkan perempuan karena adanya perbedaan jenis kegiatan serta
besar dan susunan tubuhnya sehingga kebutuhan konsumsinya berbeda. Perbedaan
jenis kelamin juga berperan dalam menentukan kebutuhan gizi masing-masing,
biasanya kebutuhan gizi lebih besar pada laki-laki dibandingkan perempuan
sehingga laki-laki cenderung tidak menyukai makanan yang tidak mengenyangkan/
makanan ringan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, perempuan lebih
memperhatikan body image (citra tubuh) dibandingkan laki-laki sehingga
mengurangi konsumsi makanan tinggi lemak dan karbohidrat serta lebih memilih
mengonsumsi buah dan sayur agar berat badannya tetap ideal.16,17

Hubungan Kebiasaan Makan Makanan Rendah Serat dengan Kejadian


Apendisitis Akut
Hasil penelitian mengenai hubungan kebiasaan makan makanan rendah serat
dengan kejadian apendisitis akut dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 menunjukkan
bahwa sebanyak 68,8% pasien apendisitis akut mengonsumsi makanan rendah serat
dan hanya 31,2% yang mengonsumsi tinggi serat sebelum mengalami kejadian
apendisitis akut.

Tabel 6 Hubungan Kebiasaan Makan Makanan Rendah Serat dengan Kejadian


Apendisitis Akut
Apendisitis akut
Konsumsi
Ya Tidak P value PR
serat
N % N %
Rendah serat 53 68,8 2 22,2
Tinggi serat 24 31,2 7 77,8 0,009 7,7
Total 77 100 9 100
11

Berdasarkan hasil statistik dengan menggunakan uji Chi-square didapatkan


bahwa nilai p-value sebesar 0,009 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara kebiasaan mengonsumsi makanan rendah serat
dengan kejadian apendisitis akut. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Boyke Damanik dkk. di RSUP H. Adam Malik tahun 2016 yaitu ada hubungan
yang signifikan antara kebiasaan makan makanan rendah serat dengan kejadian
apendisitis pada anak (p-value = 0,0001).18
Perhitungan risiko relatif dilakukan dengan menggunakan nilai prevalensi ratio
(PR). Nilai PR didapatkan sebesar 7,7. Hasil ini menunjukkan bahwa kebiasaan
makan makanan rendah serat meningkatkan atau memperbesar kejadian apendisitis
akut sebesar 7,7 kali.
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah
serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Pengaruh nyata yang
telah dibuktikan dari makanan tinggi serat adalah bertambahnya volume feses,
melunaknya konsistensi feses, dan memperpendek waktu transit feses di usus.
Makanan tinggi serat memiliki kemampuan mengikat air di dalam kolon sehingga
membuat volume feses menjadi lebih besar dan merangsang saraf pada rektum yang
menimbulkan keinginan untuk defekasi dan feses lebih mudah dieliminasi. Dengan
demikian, makanan tinggi serat akan menurunkan terjadinya obstruksi pada lumen
apendiks. Berbeda halnya dengan makanan rendah serat yang akan mempermudah
terjadinya konstipasi. Konstipasi akan menaikan tekanan intrasekal yang berakibat
timbulnya obstruksi pada lumen apendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman
flora normal di kolon sehingga mempermudah timbulnya apendisitis akut. 5,13-14,18

SIMPULAN
Pada penelitian yang telah dilakukan di Bagian Bedah RS Dustira Cimahi dan
RS Cibabat Cimahi periode September 2016 - Januari 2017 dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Gambaran usia, jenis kelamin, dan konsumsi serat pasien apendisitis akut antara
lain:
12

a. Pasien apendisitis akut paling banyak ditemukan pada usia 11-20 tahun
yaitu sebanyak 24 kasus (31,2%) dan paling sedikit pada usia lebih dari 60
tahun yaitu sebanyak 2 kasus (2,6%).
b. Perempuan yaitu sebanyak 42 kasus (54,5%) lebih banyak mengalami
apendisitis akut dibandingkan laki-laki yaitu sebanyak 35 kasus (45,5%).
c. Pasien apendisitis akut yang mengonsumsi rendah serat yaitu sebanyak 53
kasus (68,8%), sedangkan yang mengonsumsi tinggi serat hanya 24 kasus
(31,2%).
2. Gambaran usia pasien apendisitis akut yang mengonsumsi rendah serat
terbanyak pada usia 11-20 tahun yaitu sebanyak 26,4% dan paling sedikit pada
usia lebih dari 60 tahun yaitu sebanyak 1,9%.
3. Perempuan yang mengalami apendisitis akut lebih banyak mengonsumsi
rendah serat yaitu sebanyak 53% dibandingkan laki-laki yaitu sebanyak 47%.
4. Terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan mengonsumsi makanan
rendah serat dengan kejadian apendisitis akut (95% CI; p = 0,009; PR = 7,7).

SARAN
1. Disarankan kepada pihak rumah sakit (RS Dustira Cimahi & RS Cibabat
Cimahi) untuk memperbaiki sistem pencatatan dan penyimpanan rekam medik
agar rekam medik tidak ada yang hilang atau tidak lengkap khususnya yaitu
berupa hasil pemeriksaan histopatologi.
2. Disarankan kepada dokter yang terkait agar melakukan pemeriksaan
histopatologi kepada setiap pasien apendisitis akut sebagai pemeriksaan gold
standard.
3. Disarankan kepada instansi terkait agar mengadakan penyuluhan tentang faktor
risiko penyebab apendisitis akut serta upaya pencegahan apendisitis akut
sehingga kejadian apendisitis akut dapat diturunkan.

You might also like