You are on page 1of 23

INSAN Vol. 8 No.

2, Agustus 2006

Penerimaan Keluarga Terhadap Individu


yang Mengalami Keterbelakangan Mental
Wiwin Hendriani
Ratih Handariyati
Tirta Malia Sakti
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

ABSTRACT
The aim of this study is to explore the family acceptance to the
son/daughter who is mentally retarded, as a step to help the optimalization
process of exceptional children and youth’s development. The qualitative
method is used here with three families as research subjects. Each family
has one mentally retarded child while the others children are normal.
Many informations of these families are taken by an interview procedure
with five people being as informans. The informans are the person who
understand to all condition of subject. They are consist of parents, sibling,
step sibling, and relative who lives with the family. The result of this
research show that among three cases of family, only one of them which
trully accept the mentally retarded child. The acceptance in this research
is related to several factors, such as: (1) Interaction between family
member; (2) The presence of information of child condition since prenatal
periode; (3) Level of understanding of mental retardation; (4) The
readiness to face child condition which is different from normal one; and
(5) Perception about person who is mentally retarded. This result also
show that there are several variations of family reaction to the mentally
retarded child.

dapat ditemui di berbagai tempat, dengan


Keywords: karakteristik penderitanya yang memiliki family acceptance, mental
retardation tingkat kecerdasan di bawah rata-rata (IQ
di bawah 75), dan mengalami kesulitan
100
dalam beradaptasi maupun melakukan
Tidak semua individu dilahirkan berbagai aktivitas sosial di lingkungan.
dalam keadaan normal. Beberapa di Penderita keterbelakangan mental
antaranya memiliki keterbatasan baik memiliki fungsi intelektual umum yang
secara fisik maupun psikis, yang telah secara signifikan berada di bawah rata-
dialami sejak awal masa perkembangan. rata, dan lebih lanjut kondisi tersebut
Keterbelakangan mental adalah salah akan berkaitan serta memberikan
satu bentuk gangguan yang pengaruh terhadap
©INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006 2006, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

101
Wiwin Hendriani, Ratih Handariyati, & Tirta Malia Sakti

terjadinya gangguan perilaku selama realita yang terjadi tidaklah selalu


periode perkembangan (Hallahan & demikian. Di banyak tempat, baik secara
Kauffman, langsung maupun tidak, individu
1988). Prevalensi penderita berkebutuhan khusus ini cenderung
keterbelakangan mental di Indonesia saat “disisihkan” dari lingkungannya.
ini diperkirakan telah mencapai satu Penolakan terhadap mereka tidak hanya
sampai dengan tiga persen dari jumlah dilakukan oleh individu lain di sekitar
penduduk seluruhnya (“Retadrasi tempat tinggalnya, namun beberapa
mental”, 2004), dan jumlah tersebut bahkan tidak diterima dalam keluarganya
dimungkinkan akan terus bertambah dari sendiri. Beragam perlakuan pun
tahun ke tahun. dirasakan oleh mereka. Mulai dari
Masalah keterbelakangan mental, penghindaran secara halus, penolakan
seperti dikemukakan oleh Budhiman secara langsung, sampai dengan sikap-
(dalam sikap dan perlakuan yang cenderung
Sembiring, 2002), memang perlu kurang manusiawi. Padahal apa yang
mendapatkan perhatian mengingat sebenarnya terjadi dalam diri mereka
sejumlah tulisan sejak periode 1981 telah hanyalah hambatan pada perkembangan
mengemukakan bahwa keterbelakangan intelektualnya (Werner, 1987).
atau retardasi mental merupakan masalah Anak dan remaja yang mengalami
yang cukup besar di Indonesia, meskipun retardasi mental tetap memiliki
tetap diakui tidak ada data yang lengkap kemampuan lain yang masih dapat
dan pasti tentang jumlah mereka di dikembangkan dan dioptimalkan untuk
negara ini. membantunya beraktivitas seperti orang
Ketidaklengkapan data tersebut normal, dan memberikan peran tertentu
dimungkinkan karena tidak semua di masyarakat meskipun terbatas.
penderita dapat tercatat. Selama ini Individu yang mengalami
pencatatan sebatas dilakukan pada keterbelakangan mental masih dapat
penderita yang datang berobat atau mempelajari berbagai ketrampilan hidup
memeriksakan diri, serta mereka yang apabila orang-orang di sekitarnya
terdaftar di sekolah luar biasa. memberikan kesempatan dan dukungan
Terlepas dari bagaimanapun kondisi yang dibutuhkan. Hal ini sejalan dengan
yang dialami, pada dasarnya setiap pernyataan Ismed Yusuf (dalam
manusia memiliki hak yang sama untuk Sembiring, 2002) bahwa masih ada
memperoleh kebahagiaan dalam bagian intelektual anak dengan
hidupnya. Setiap orang berhak untuk keterbelakangan mental yang dapat
tumbuh dan berkembang dalam dikembangkan dengan suatu tindakan
lingkungan yang kondusif dan suportif, atau penanganan khusus. Penanganan
termasuk bagi mereka yang mengalami khusus yang dimaksud ditujukan untuk
keterbelakangan mental. Akan tetapi mengembangkan kemampuan

102
INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006
Wiwin Hendriani, Ratih Handariyati, & Tirta Malia Sakti

intelektualnya agar dapat mencapai


kemampuan adaptasi yang juga optimal.
Keluarga dalam hal ini adalah
lingkungan terdekat dan utama dalam
kehidupan mereka. Heward (2003)
menyatakan bahwa efektivitas berbagai
program penanganan dan peningkatan
kemampuan hidup anak dan remaja yang
mengalami keterbelakangan mental akan

103
INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006
Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental

sangat tergantung pada peran serta dan mereka telah benar-benar menerima atau
dukungan penuh dari keluarga, sebab sebenarnya melakukan penolakan
pada dasarnya keberhasilan program dengan cara-cara dan perlakukan
tersebut bukan hanya merupakan tertentu. Hal ini juga akan menjelaskan
tanggung jawab dari lembaga pendidikan tentang bagaimana pola sebuah keluarga
yang terkait saja. Di samping itu, untuk dapat menyesuaikan diri dengan
dukungan dan penerimaan dari setiap keberadaan individu yang berbeda
anggota keluarga akan memberikan tersebut.
“energi” dan kepercayaan dalam diri Dengan hasil yang diperoleh,
anak dan remaja yang terbelakang peneliti berharap bahwa nantinya akan
mental untuk lebih berusaha memperoleh gambaran yang nyata
meningkatkan setiap kemampuan yang tentang sikap sosial dalam masyarakat
dimiliki, sehingga hal ini akan terhadap individu yang mengalami
membantunya untuk dapat hidup keterbelakangan mental. Hal tersebut
mandiri, lepas dari ketergantungan pada kemudian akan dijadikan dasar untuk
bantuan orang lain. Sebaliknya, merancang suatu langkah dalam
penolakan yang diterima dari orang- membantu mengoptimalisasikan
orang terdekat dalam keluarganya akan perkembangan individu yang memiliki
membuat mereka semakin rendah diri kebutuhan khusus, terutama dengan
dan menarik diri dari lingkungan, selalu menciptakan lingkungan keluarga yang
diliputi oleh ketakutan ketika berhadapan kondusif dan penuh dukungan yang
dengan orang lain maupun untuk dibutuhkan bagi kelancaran proses
melakukan sesuatu, dan pada akhirnya belajar dan aktivitas sosial mereka.
mereka benar-benar menjadi orang yang
tidak dapat berfungsi secara sosial serta METODE PENELITIAN
tergantung pada orang lain, termasuk
dalam merawat diri sendiri. Penelitian ini adalah penelitian
Terdapat dua kemungkinan sikap kualitatif yang menggunakan metode
yang akan dimunculkan oleh anggota studi kasus. Studi kasus merupakan
keluarga terhadap individu yang sebuah metode penelitian yang timbul
terbelakang mental, yaitu menerima atau dari keinginan untuk dapat memahami
menolak. Secara normatif, sebagian berbagai fenomena sosial yang bersifat
besar orang tentunya menyatakan telah kompleks, dalam konteks kehidupan
menerima keberadaan mereka, sebab yang sebenarnya (Yin, 1994). Subjek
bagaimanapun mereka telah ditakdirkan penelitian terdiri dari 3 keluarga dengan
menjadi bagian dari keluarga. anak yang mengalami keterbelakangan
Namun pada kenyataannya, respon mental, dari taraf ringan hingga berat.
“penerimaan” masing-masing individu Berbagai data tentang ketiga keluarga
tidaklah selalu sama. Respon inilah yang tersebut diperoleh dari wawancara
nantinya akan menjelaskan apakah terhadap lima orang informan, yaitu
104
INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006
Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental

mereka yang dipandang memahami


kondisi dan berbagai hal yang ada pada
masing-masing keluarga dengan baik.
Kelimanya meliputi orangtua, saudara
kandung, saudara angkat, dan kerabat
yang tinggal bersama dengan

105
INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006
Wiwin Hendriani, Ratih Handariyati, & Tirta Malia Sakti

individu terbelakang mental dalam H dipandang tidak mampu


keluarganya tersebut. Adapun melakukan apa-apa, sehingga tidak
pengumpulan data dalam penelitian ini memiliki kontribusi apapun terhadap
dilakukan dengan metode wawancara, keluarga. H yang tidak dapat bekerja
yaitu aktivitas percakapan atau tanya seperti orang normal tidak dapat
jawab yang diarahkan untuk mencapai mengambil peran untuk ikut membiayai
tujuan tertentu kebutuhan keluarga seperti saudara-
(Poerwandari, 1998). saudaranya yang lain, sehingga “seolah-
olah” ia menjadi tidak berguna. Anggota
HASIL DAN PEMBAHASAN keluarga H kemudian memandang
bahwa keberadaan H akan lebih berguna
Kasus pertama terdapat pada apabila dapat “diberdayakan” seperti
keluarga H. Ia merupakan penderita dengan mengerjakan tugas-tugas rumah
keterbelakangan mental ringan berjenis tangga. Adanya persepsi tersebut,
kelamin laki-laki. Ia anak ke-2 dari 5 disadari maupun tidak, menunjukkan
bersaudara. Sejak H kecil orangtuanya bahwa keluarga H sebenarnya tidak
tidak mengetahui bahwa H mengalami menerima kondisi H yang mengalami
keterbelakangan mental. Tidak ada keterbelakangan mental, sehingga yang
informasi yang diperoleh mengenai terjadi kemudian adalah munculnya
kemungkinan kondisi H setelah berbagai sikap dan perlakuan yang
dilahirkan, baik dari dokter maupun kurang baik terhadap H, yang tentu saja
petugas kesehatan yang merawat ibu semakin memperbesar hambatan yang
selama kehamilan hingga setelah dialami dan tidak mendukung agar
persalinan. Sehingga tentang segala perkembangannya berjalan ke arah yang
sesuatu yang terkait dengan lebih optimal.
keterbelakangan mental sendiri, kedua Kasus kedua adalah pada keluarga
orangtua H tidak memiliki pengetahuan D. Ia penderita keterbelakangan mental
dan pemahaman yang cukup. kategori sedang, berjenis kelamin
Kurangnya pemahaman ini pada perempuan, anak ke-2 dari 2 bersaudara.
akhirnya menimbulkan ketidaksiapan Kedua orangtuanya telah bercerai
bagi orangtua dan keluarga untuk sebelum ia dilahirkan, dan karena tidak
menghadapi kehadiran H dengan tahan dengan beban hidup yang dialami,
kondisinya yang berbeda. Sehingga 2 minggu setelah melahirkan ibu D pun
begitu H lahir, mengalami begitu banyak pergi meninggalkan D yang masih bayi
keterlambatan dan kekurangmampuan di tempat nenek, sehingga sejak lahir D
dalam perkembangannya, orangtua dan tinggal dan dirawat oleh neneknya.
anggota keluarga H yang lain memiliki Selama D dalam kandungan, baik
persepsi bahwa H adalah seorang yang ibu D maupun nenek tidak memiliki
bodoh dan lemah secara sosial. perhatian yang cukup terhadap

106
INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006
Wiwin Hendriani, Ratih Handariyati, & Tirta Malia Sakti

perkembangan kandungannya, sehingga


mereka tidak mengetahui informasi
tentang kondisi calon anak yang akan
dilahirkan serta tentang segala sesuatu
yang terkait dengan keterbelakangan
mental. Karena hal tersebut, mereka pun
tidak siap menghadapi

107
INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006
Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental

Sebelum Kelahiran Setelah Kelahiran

Tidak Persepsi: Tidak


mengetahui H Anak yang menerima

informasi bodoh, tidak kondisi H
tentang kondisi mampu bekerja
calon anak
Ketidak-  H tidak memiliki
siapan kontribusi
menghadapi terhadap keluarga
Tidak memiliki kondisi H Sikap &
 H akan lebih perlakuan
pengetahuan
berguna dengan yang
tentang
‘diberdayakan’ negatif
Keterbelakangan
untuk terhadap H
Mental
mengerjakan
pekerjaan rumah
tangga

Gambar 1. Alur Pola Penerimaan Keluarga H

kehadiran anak yang belum dapat berbicara


memiliki kondisi maupun berjalan.
berbeda dari anak- Melihat hal tersebut
anak lain yang dan karena ia juga
normal. mendengar
Setelah D lahir, masyarakat di
nenek D yang sekitarnya banyak
memiliki karakter beranggapan bahwa
keras dihadapkan anak dengan kelainan
pada kenyataan adalah aib dalam
bahwa anaknya (ibu keluarga, maka
D) pergi lambat laun nenek D
meninggalkan rumah menganggap
dengan tiba-tiba, keberadaan D yang
sehingga ia harus “tidak normal” hanya
merawat D seorang merepotkan dan
diri. D kemudian menjadi aib yang
tumbuh berbeda dari memalukan bagi
anak-anak lain pada keluarganya.
umumnya. Hingga Sikapnya yang tidak
umur 3 tahun ia masih menerima kondisi D
108
INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006
Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental

kemudian ditunjukkan dengan dokter yang


melalui berbagai merawat kehamilan
perlakuan negatif ibu N, kedua orangtua
terhadap D, dan hal N telah mendapatkan
ini pun diikuti oleh informasi bahwa
kerabat mereka yang kondisi calon anak
tinggal dalam rumah yang ada dalam
yang sama. kandungannya
Kasus ketiga berbeda dari anak-
terdapat pada anak lain
keluarga N. N adalah
seorang perempuan,
anak ke2 dari 3
bersaudara. Ia
mengalami
keterbelakangan
mental kategori berat,
yang sekaligus
menderita down
syndrome. Ciri
mongoloid sangat
terlihat pada
wajahnya. N lahir dan
dibesarkan dalam
keluarga yang antar
anggotanya dapat
berkomunikasi
dengan terbuka,
saling peduli satu
sama lain dan
memiliki hubungan
yang harmonis.
Pola penerimaan
yang terdapat pada
keluarga N telah
muncul sejak sebelum
N lahir. Berdasarkan
hasil konsultasi yang
secara rutin dilakukan
109
INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006
Wiwin Hendriani, Ratih Handariyati, & Tirta Malia Sakti

Sebelum Kelahiran Setelah Kelahiran

Persepsi
Keberadaan D
Tidak merepotkan
mengetahui Karakter nenek
yang keras dan memalu-
informasi kan bagi
tentang kondisi keluarga
calon anak
Ketidak-
siapan
menghadapi Pandangan Tidak
Tidak memiliki kondisi D Masyarakat: menerima
pengetahuan Anak dengan kondisi D
tentang kelainan
Keterbelakangan adalah aib
Mental dalam keluarga Sikap dan
perlakuan
yang ‘negatif’
terhadap D

Gambar 2. Alur Pola Penerimaan Keluarga D

yang normal. pun mulai


Dikatakan oleh memperdalam
dokter, pada calon pengetahuannya
anak tersebut telah mengenai down
terjadi kelainan syndrome dari
kromosom yang berbagai sumber.
menyebabkannya Mereka kemudian
mengalami down memahami bahwa
syndrome. Karena meskipun terjadi
kondisi ini, dalam hambatan
perkembangannya perkembangan dalam
setelah lahir nanti, diri calon anak yang
selain memiliki akan dilahirkan,
bentuk fisik yang namun kemampuan
khas, calon anak hidupnya masih dapat
tersebut akan dioptimalkan untuk
mengalami meminimalkan
keterbelakangan kekurangan yang
mental. Oleh sebab dimiliki.
itu, kedua orangtua N

110
INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006
Wiwin Hendriani, Ratih Handariyati, & Tirta Malia Sakti

Kedua orangtua dengan memberikan


N memiliki keyakinan pemahaman pada
yang kemudian anak-anak mereka
ditularkan pada semua yang lain serta pada
anakanaknya bahwa orang-orang di sekitar
bagaimanapun tempat tinggal mereka
keadaannya, anak bahwa apa yang
adalah titipan Tuhan. terjadi dan akan
Setiap orangtua yang tampak pada diri N
mendapatkannya adalah sesuatu yang
harus dapat merawat wajar dan dapat
dengan sebaik dialami
mungkin. Bagi
mereka, memiliki
anak yang menderita
keterbelakangan
mental bukanlah suatu
musibah yang harus
disesali atau bahkan
disikapi secara
negatif. Dengan
demikian, mereka
telah memiliki
penerimaan terhadap
kondisi N yang
membawa pada
kesiapan untuk
menghadapi
kehadiran N sejak
sebelum ia dilahirkan.
Kesiapan dalam
diri ini ditindaklanjuti
dengan menyiapkan
lingkungan yang
toleran dan
mendukung bagi
kehidupan dan
perkembangan N
nantinya, seperti
111
INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006
Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental

Sebelum Kelahiran

Pengetahuan
tentang:
- Keterbelakangan
Mental
- Kemampuan N
Kesiapan
masih dapat
Mengetahui menghadapi
dioptimalkan
informasi kehadiran N
Menerima
tentang menyiapkan
kondisi N
kondisi lingkungan yang
Persepsi:
calon anak toleran dan
- Anak adalah mendukung
titipan Tuhan
- Memiliki anak
yang menderita
keterbelakangan
mental bukan
suatu musibah

Gambar 3. Alur Pola Penerimaan Keluarga N

oleh setiap keluarga. munculnyasikap


Sehingga karenanya tidak menerima:
N tidak boleh a. Hubungan
diperlakukan dengan antar anggota
tidak baik. keluargayang
Berdasarkan kurang
hasil penelitian ini, komunikatif
keluarga H dan D b. Tidak adanya
menunjukkan sikap informasi
dan perilaku yang tentangkondisi
sama-sama tidak anak dan tidak
menerima kondisi adanya
anak yang terbelakang pemahaman
mental. Secara rinci tentang
kesamaan yang keterbelakanga
terdapat diantara n mental
keduanya adalah c. Ketidaksiapan
pada: menghadapi
1. Faktor yang kondisicalon
mempengaruhi anak

112
INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006
Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental

d. Persepsi yang Dengan kata


cenderung lain, sikap tidak
negatifterhadap menerima terhadap
anak yang individu yang
terbelakang mengalami
men- keterbelakangan
tal mental pada keluarga
2. Perlakuan H dan D memiliki
terhadap anak keterkaitan dengan
yang keenam hal di atas.
mengalamiketerbe
lakangan mental:
a. Membedakan
perlakuan
terhadapanak
yang
terbelakang
mental dengan
anak-anak lain
yang normal
dalam
keluarga.
Perlakuan yang
dimaksud
cenderung
bersifat negatif
dan tidak
mendukung
bagi
optimalisasi
perkembangan
nya
b. Adanya upaya
untuk menutupi
ataumenyembu
nyikan kondisi
anak dari
orang lain

113
INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006
Wiwin Hendriani, Ratih Handariyati, & Tirta Malia Sakti

Sebaliknya, sikap menerima perlakuan yang tepat, khususnya dalam


terhadap kondisi dan kehadiran anak mengasuh dan mendidik anak sesuai
dengan keterbelakangan mental yang dengan karakteristik kebutuhannya,
tampak pada keluarga N memiliki sehingga treatmen yang dilakukan dapat
keterkaitan dengan faktor-faktor: berjalan dengan efektif dan mencapai
1. Hubungan keluarga yang komunikatif hasil yang optimal. Sementara itu, situasi
2. Adanya informasi tentang kondisi dan kondisi keluarga H dan D yang
calonanak dan pemahaman terhadap kurang komunikatif, ditambah dengan
keterbelakangan mental adanya permasalahan sosial-ekonomi
3. Kesiapan menghadapi kondisi calon dalam keluarga yang tidak terselesaikan
anak telah menjadi faktor negatif yang tanpa
4. Persepsi positif terhadap anak disadari semakin memperburuk
yangterbelakang mental hambatan perkembangan yang dialami
Adapun perlakuan yang muncul oleh anak.
dari sikap menerima tersebut adalah: Jika penelitian Patterson & Leonard
1. Kesamaan perlakukan terhadap (1994, dalam Heward, 2003)
anakyang terbelakang mental dengan memperoleh hasil bahwa keberadaan
anakanak lain yang normal dalam anak yang memiliki hambatan
keluarga perkembangan akan membuat hubungan
2. Tidak adanya upaya untuk menutupi antar pasangan (orangtua) menjadi lebih
ataumenyembunyikan kondisi anak kuat, dan beban emosional yang
dari orang lain ditanggung juga akan mempererat
Di samping keenam faktor di atas, kebersamaan diantara anggota keluarga
sikap menerima terhadap kondisi dan yang lain, maka hasil ini memiliki
kehadiran anak yang terbelakang mental kesesuaian dengan yang terjadi pada
dalam keluarga N juga tidak lepas dari keluarga N.
adanya dukungan sosial dari keluarga Adapun faktor yang dinilai
besar. Mereka juga memiliki beberapa mempengaruhi kesesuaian tersebut tidak
variasi lain dalam perlakuan terhadap lain adalah kesiapan keluarga untuk
anak, yang seluruhnya bersifat positif menghadapi kondisi N sejak sebelum N
bagi perkembangannya. lahir. Kesiapan inilah yang tidak tampak
Keluarga yang kondusif, seperti pada keluarga H maupun D. Kesiapan
keluarga N, yang diantara dalam keluarga N menumbuhkan
anggotaanggotanya memiliki kedekatan persepsi positif yang kemudian
emosional serta sikap saling mendukung mendorong kedua orangtua untuk
satu sama lain, merupakan lingkungan berusaha membangun kebersamaan
yang dibutuhkan dalam meminimalkan dalam keluarganya, terutama dalam
hambatan perkembangan yang dialami menciptakan lingkungan yang aman,
oleh anak. Keluarga ini dapat memilih

114
INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006
Wiwin Hendriani, Ratih Handariyati, & Tirta Malia Sakti

toleran dan mendukung bagi


perkembangan N.
Hasilnya, seluruh saudara kandung N
pun mengikuti sikap dan perilaku yang
ditunjukkan oleh orangtuanya. Powell &
Gallagher (1993, dalam Hunt &
Marshall, 2005) dalam hal ini telah
mengemukakan bahwa respon-respon
saudara kandung tersebut akan
ditentukan pula oleh sikap dan

115
INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006
Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental

Tabel 1. Rangkuman Penerimaan Ketiga Keluarga Terhadap


Individu yang Mengalami Keterbelakangan Mental

Keluarga ‘H’ Keluarga ‘D’ Keluarga ‘N’

Karakteristik Keluarga: Karakteristik Keluarga:


1. Kedua orangtua Karakteristik Keluarga: 1. Hubungan Keluarga
tidakbekerja 1. Perpecahan yangKomunikatif
2. Hubungan padakeluarga inti 2. Adanya dukungan
Keluargayang Kurang 2. Hubungan darikeluarga besar
Komunikatif Keluargayang Kurang
Komunikatif

Ada informasi tentang


Tidak ada informasi tentang kondisi calon anak dan kondisi calon anak dan ada
tidak ada pemahaman tentang RM pemahaman tentang RM

Kesiapan menghadapi
Ketidaksiapan menghadapi kondisi calon anak kondisi calon anak

Persepsi: Persepsi: Persepsi:


1. Anak dengan Memiliki anak dengan 1. Anak adalah titipanTuhan
keterbelakangan mental keterbelakangan mental 2. Memiliki anak
bodoh dan tidak mampu akan merepotkan dan yangmenderita
bekerja memalukan bagi keterbelakangan mental
2. Anak dengan bukan suatu musibah
keluarga
keterbelakangan mental
tidak memiliki kontribusi
terhadap keluarga
3. Anak
denganketerbelakangan
mental akan lebih
berguna dengan
‘diberdayakan’ untuk
mengerjakan pekerjaan
rumah tangga

Tidak menerima kondisi anak Menerima kondisi anak

Perlakuan: Perlakuan: Perlakuan:


1. Membedakan 1. Membedakan perlakuan 1. Perlakuan yang
perlakuandengan anggota dengan anggota samadengan anggota
keluarga yang lain keluarga yang lain keluarga yang lain
(cenderung bersifat (cenderung bersifat 2. Tidak Menutupi
negatif) negatif) atauMenyembunyikan
2. Menutupi kondisi 2. Menyembuyikan dari
anakdari orang lain anakdari orang lain Orang Lain
3. Meminimalkantanggung 3. Mengembangkan
jawab kepercayaan diri serta
4. Membatasi mendorong bersosialisasi
interaksidengan anak dan berinteraksi

116
INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006
Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental

Tidak menerima kondisi anak Menerima kondisi anak

4. Menciptakankesempatan
untuk bersosialisasi dan
berinteraksi
5. Mengembangkankemandiria
n
6. Kesabaran
dalambekomunikasi dan
memberikan penjelasan

Hal lain:
1. Terhadap anak kandung yang
normal:
a. Memberikanpemahaman
b. Memberikan contoh
c. Membangunkebersamaan
2. Terhadap orang lain:
Memberikan pemahaman

harapan yang terlebih dahulu terhadap kehadiran individu


dimunculkan oleh orangtua, berkebutuhan khusus.
kondisi keluarga, religiusitas, Selain itu, keluarga N selalu
tingkat keparahan gangguan, mengembangkan inisiatif untuk
serta pola-pola interaksi yang mencari tahu tentang kondisi
diberlakukan dalam keluarga calon anak selama dalam
tersebut. kandungan, sehingga mereka
Berbicara mengenai pola memiliki informasi yang cukup
interaksi dalam keluarga, serta pemahaman tentang
kesiapan yang dimiliki oleh keterbelakangan mental yang
keluarga N memang tidak dapat dialami oleh anak yang akan
dilepaskan dari karakteristik dilahirkannya.
hubungan antar individu di Penelitian yang dilakukan
dalamnya yang komunikatif, oleh Blacher (1984, dalam
termasuk dengan keluarga besar Heward, 2003) menemukan
yang senantiasa memberikan adanya 3 tahap penyesuaian yang
dukungan terhadap persoalan pada umumnya ditunjukkan oleh
yang mereka hadapi. Seperti para orangtua yang menjadi
yang juga ditegaskan oleh Hunt subjek penelitian, yaitu: (1) tahap
& Marshall (2005), bahwa dimana orangtua mengalami
karakteristik keluarga akan berbagai krisis emosional, seperti
mempengaruhi reaksi keluarga shock, ketidakpercayaan, dan
117
INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006
Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental

pengingkaran terhadap kondisi


yang terjadi pada anaknya; (2)
tahap ketika rasa tidak percaya
dan pengingkaran yang terjadi
diikuti oleh perasaan-perasaan
dan sikap negatif seperti marah,
menyesal, menyalahkan diri
sendiri, malu, depresi, rendah diri
di hadapan orang lain, menolak
kehadiran anak, atau menjadi
overprotective; (3) tahap terakhir
pada saat orang tua telah
mencapai suatu kesadaran

118
INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006
Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental

terhadap situasi yang dihadapi, serta 1. Dari kasus yang terdapat pada
bersedia untuk menerima kondisi anak keluarga yang menjadi subjek
yang berbeda. penelitian, 2 keluarga (H dan D)
Terkait dengan hal tersebut, dari menunjukkan sikap dan perilaku
ketiga keluarga yang menjadi subjek yang tidak menerima kondisi
dalam penelitian ini, hanya keluarga N individu yang mengalami
yang telah mampu mencapai tahap keterbelakangan mental, dan 1
terakhir dalam proses penyesuaiannya, keluarga (N) menunjukkan sikap dan
dimana baik kedua orangtua maupun perilaku yang menerima kondisi
saudara-sadara kandung N telah keterbelakangan mental.
mencapai kesadaran akan situasi yang 2. Penerimaan terhadap individu yang
dihadapi dan bersedia untuk menerima mengalami keterbelakangan mental
kehadiran N dengan kondisinya yang memiliki keterkaitan dengan
berbeda. Sementara itu, proses beberapa faktor, yaitu: (1)
penyesuaian dalam keluarga H dan D Hubungan/interaksi antar anggota
masih terhenti pada tahap kedua, keluarga; (2) Ada tidaknya informasi
mengingat data-data yang telah tentang kondisi calon anak; (3) Ada
dipaparkan lebih mengarah pada tidaknya pemahaman tentang
pengingkaran terhadap kondisi anak keterbelakangan mental; (4) Ada
yang terbelakang mental. Tidak adanya tidaknya kesiapan menghadapi
penerimaan pada kedua keluarga ini kondisi calon anak; dan (5) Persepsi
pada akhirnya memunculkan sikap dan terhadap individu yang mengalami
perlakuan yang negatif, seperti dengan keterbelakangan mental.
menutupi atau menyembunyikan anak 3. Bentuk perlakuan terhadap individu
dari orang lain, membebani anak dengan yang mengalami keterbelakangan
banyak pekerjaan rumah tangga, mental bervariasi pada masing-
meminimalkan keterlibatan anak dalam masing keluarga. Keluarga H
berbagai aktivitas keluarga karena berusaha membedakan perlakuan
dipandang akan merepotkan, tidak terhadap anak yang terbelakang
memberikan perhatian dan perawatan mental, yaitu dengan perlakuan yang
yang semestinya, melampiaskan cenderung bersifat negatif, serta
kemarahan/ penolakan dengan menutupi kondisi anak dari orang
memberikan hukuman fisik, dan lain. Pembedaan perlakuan tersebut
sebagainya. juga tampak pada keluarga D, di
samping beberapa tindakan yang
SIMPULAN lain, yakni: (1) menyembunyikan
anak dari orang lain; (2)
Beberapa hal yang dapat meminimalkan tanggung jawab
disimpulkan dari hasil penelitian ini, dalam pengasuhan dan perawatan
yaitu:
119
INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006
Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental

anak; dan (3) membatasi interaksi


dengan anak yang terbelakang
mental tersebut. Sementara itu
bentukbentuk perlakuan pada
keluarga N terdiri dari: (1) perlakuan
yang sama (positif) dengan anggota
keluarga yang lain; (2) tidak
menutupi atau menyembunyikan
anak dari orang lain;

120
INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006
Wiwin Hendriani, Ratih Handariyati, & Tirta Malia Sakti

(3) mengembangkan kepercayaan menghadapi kehadiran anak-anak


diri serta mendorong anak untuk dengan kondisi yang berbeda
bersosialisasi dan berinteraksi; (4) tersebut.
menciptakan kesempatan untuk 4. Menghindarkan keluarga dari
bersosialisasi dan berinteraksi; (5) berbagai persepsi negatif tentang
mengembangkan kemandirian; dan keterbelakangan mental.
(6) menunjukkan kesabaran dalam
berkomunikasi serta memberikan DAFTAR PUSTAKA
penjelasan kepada anak yang
terbelakang mental. Hallahan, D.P. & Kauffman, J.M.
Sebagai tindak lanjut dari hasil (1988). Exceptional Children. New
penelitian yang telah diperoleh, maka Jersey: Prentice Hall, Inc.
peneliti menyarankan agar upaya Heward, W.L. (2003). Exceptional
mengoptimalkan perkembangan individu Children, An Introduction to
yang mengalami keterbelakangan mental Special Education. New Jersey:
dilakukan dengan: Merrill, Prentice Hall.
1. Lebih memperhatikan bahwa di Hunt, N. & Marshall, K. (2005).
kalangan masyarakat masih terdapat Exceptional Children & Youth.
keluarga-keluarga yang tidak Boston: Houghton Mifflin
menerima keberadaan mereka. Oleh Company.
karena itu, peneliti juga memandang
perlunya research action untuk Poerwandari, E.K. (1998). Pendekatan
mengubah persepsi dan sikap Kualiatif dalam Penelitian
keluarga-keluarga yang masih belum Psikologi. Jakarta: Lembaga
mampu menerima keberadaan Pengembangan Sarana Pengukuran
anggotanya yang mengalami dan Pendidikan Psikologi, Fakultas
keterbelakangan mental tersebut Psikologi
sehingga optimalisasi perkembangan Universitas Indonesia.
dapat diupayakan dengan lebih “Retardasi Mental”. (2004). www.
efektif. republika.co.id. Selasa, 6 April
2. Menciptakan hubungan yang 2004. Diakses: September 2005.
harmonis, komunikatif dan saling
Sembiring, S.A. (2002). Penataan
mendukung dalam keluarga.
Lingkungan Sosial bagi Penderita
3. Memperbanyak informasi tentang Dimensia (Pikun) dan RTA
kondisi calon anak, sehingga dengan (Retardasi Mental). Medan: USU
sedini mungkin keluarga dapat Digital Library.
mengetahui kemungkinan hambatan
perkembangan pada anak dan Werner, D. (1987). Disabled Village
karenanya menjadi lebih siap Children, A Guide for Community
121
INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006
Wiwin Hendriani, Ratih Handariyati, & Tirta Malia Sakti

Health Workers, Rehabilitation


Workers, & Families. http://
www.dinf.ne.jp/doc/english/global/
david/dwe002/dwe00234.htm).
Diakses: Oktober 2005.
Yin, R.K. (1994). Case Study Research:
Desain
& Methods. Thous& Oaks: Sage
Publications.

122
INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006

You might also like