Professional Documents
Culture Documents
Bab : Al-
Qur’an
www.almanhaj.or.id
By kupumpulan-fatwa.blogspot.com
DAFTAR ISI
PENYELEWENGAN TERHADAP AYAT : (INGATLAH) SUATU HARI (YANG PADA HARI ITU) KAMI
PANGGIL TIAP UMAT DENGAN PEMIMPINNYA.. ................................................................................ 63
HUKUM MEMBACA AL-QUR’AN BAGI ORANG JUNUB, WANITA HAID DAN NIFAS .......................... 137
HUKUM MENYENTUH ATAU MEMEGANG AL-QUR’AN BAGI ORANG JUNUB, WANITA HAID DAN
NIFAS ................................................................................................................................................. 143
MEMBACA AL-QUR’AN ATAU MEMUTAR KASET BACAAN AL-QUR’AN MELALUI PENGERAS SUARA
SEBELUM SHALAT JUM’AT ................................................................................................................. 150
MANHAJ AL-QUR'AN DALAM MENETAPKAN WUJUD DAN KEESAAN AL-KHALIQ ............................ 157
TIDAK MENGAPA MEMBACA AL-QUR’AN DENGAN MEMBACA MUSHAF KETIKA SHALAT TARAWIH
RAMADHAN ....................................................................................................................................... 162
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 2
kumkum
HUKUM MENGGANTUNGKAN AYAT-AYAT AL-QUR’AN DI DINDING ................................................ 178
HUKUM SHALAT BERMAKMUM KEPADA ORANG YANG MEMBACA AYAT AL-QUR'AN TANPA
MEMAKAI TAJWID ............................................................................................................................. 186
HUKUM SHALAT DI BELAKANG IMAM YANG BERTALHIN DALAM BACAAN AL-QUR'AN 188
KAMI MEWASIATKAN KEPADA SETIAP ORANG (MUSLIM) AGAR MENDIDIK ANAK-ANAKNYA UNTUK
MENGHAFAL AL-QUR’AN .................................................................................................................. 236
DIANTARA CARA MENGHAFAL AL-QUR'AN ADALAH MENGULANG-ULANG DAN MENJAGANYA .... 241
ORANG YANG MAHIR MEMBACA AL-QUR’AN BERSAMA PARA MALAIKAT YANG MULIA ............... 242
BILA ENGKAU HENDAK MEMBACA AL-QUR’AN MINTALAH PERLINDUNGAN KEPADA ALLAH DARI
GODAAN SETAN YANG TERKUTUK .................................................................................................... 244
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 3
kumkum
AL-QUR'AN BUKAN UNTUK ORANG MATI
Oleh
Adalah kebiasaan di beberapa daerah, orang membaca kitab suci al-Qur'ân –atau membaca
surat Yâsin- kemudian pahalanya dihadiahkan untuk orang yang telah mati. Bahkan sebagian
orang, ada menyewa atau membayar seseorang atau sekelompok orang untuk membaca al-
Qur'ân dan menghadiahkan pahalanya kepada keluarganya yang telah meninggal dunia.
Pembacaan al-Qur'ân ini terkadang dilakukan di rumah duka, di kuburan atau lainnya.
Benarkah perbuatan mereka itu menurut syari'at Islam?
Membaca al-Qur'ân untuk orang mati tidak dibenarkan dalam agama Islam dengan alasan-
alasan sebagai berikut :
1. Membaca al-Qur'ân lalu menghadiahkan pahalanya untuk orang yang telah mati tidak
pernah dikerjakan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , para sahabat dan
para tabi'in. Sementara kewajiban kita dalam beragama adalah mengikuti petunjuk, bukan
membuat perkara baru. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
Katakanlah, "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allâh, ikutilah aku, niscaya Allâh mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu." [Ali 'Imrân/3:31]
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 4
kumkum
Sesungguhnya pada (diri) Rasûlullâh itu telah ada suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allâh. [Al-Ahzâb/33:21]
ِّي َحرَّ َم إِ َّن َما ْل ُق َ اإل ْث َم َب َط َن َو َما ِم ْن َھا َظ َھ َر َما ْال َف َواح
َ ِش َرب َ ِ َّ َوأَنْ س ُْل َطا ًنا ِب ِه ُي َن ِّز ْل َل ْم َما ِب
ِ ْ ُت ْش ِر ُكوا َوأنْ ْال َح ِّق ِبغَ ي ِْر َو ْال َب ْغ َي َو4ا
َع َلى َت ُقولُوا ِ َّ ُون َال َما
َ َتعْ َلم
Katakanlah, "Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, yang nampak maupun
yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,
(mengharamkan) mempersekutukan Allâh dengan sesuatu yang Allâh tidak menurunkan
hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allâh apa saja yang tidak
kamu ketahui (berbicara tentang Allâh tanpa ilmu)" [al-A’râf/7:33]
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullâh bin Bâz rahimahullah mengatakan, “Berbicara tentang Allâh
tanpa ilmu termasuk perkara terbesar yang diharamkan Allâh. Bahkan itu lebih tinggi dari
perbuatan syirik. Karena dalam ayat tersebut Allah Azza wa Jalla mengurutkan perkara-
perkara yang diharamkan mulai dari yang paling rendah ke yang paling tinggi. Berbicara
tentang Allâh tanpa ilmu, meliputi berbicara (tanpa ilmu) tentang hukum-hukum Allah,
syari’at-Nya dan agamaNya. Termasuk berbicara tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah
Azza wa Jalla . Ini lebih besar dosanya daripada berbicara (tanpa ilmu) tentang syari’at dan
agama Allah Azza wa Jalla .”[1]
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 5
kumkum
ش َر َكا ُء َل ُھ ْم أَ ْم ْ َّ ◌ۚ ِين َوإِنَّ ۗ◌ َب ْي َن ُھ ْم َل ُقضِ َي ْال َفصْ ِل َك ِل َم ُة َو َل ْو َال َّ أَلِي ٌم َع َذابٌ َل ُھ ْم
ِ ُ ِب ِه َيأ َذنْ َل ْم َما ال ِّد
ُ ين م َِن َل ُھ ْم َش َرعُوا َ الظا ِلم
Seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. [an-Najm/53: 38-39]
Dan semisal riwayat tentang syafa'at para Nabi dan Malaikat untuk para hamba, doa orang
hidup untuk orang-orang yang telah mati dan semacamnya. Orang yang mengatakan bahwa
ayat ini mansûkh (hukumnya dihapus) dengan perkara-perkara tadi adalah perkataan yang
tidak benar. Karena dalil yang khusus tidak menghapus dalil yang umum, namun hanya
mengkhususkannya (mempersempit keumuman maknanya). Sehingga semua dalil yang
menunjukkan bahwa manusia bisa mendapatkan manfaat dari selain usahanya sendiri itu
adalah dalil yang mengkhususkan keumuman ayat di atas." (Fathul Qadir, tafsir surat an-
Najm ayat 39)
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 6
kumkum
Adapun membaca al-Qur'ân lalu pahalanya dihadiahkan buat orang yang telah mati, tidak
ada dalil yang menuntunkannya.
5. Allah Azza wa Jalla menurunkan al-Qur'ân sebagai hidayah (petunjuk) bagi manusia.
Sehingga orang hidup bisa memanfaatkannya, mengikuti petunjuknya di dunia ini dan
mengamalkannya. Di akhirat, orang-orang yang seperti ini akan dituntun oleh al-Qur'ân
menuju surga.
Sedangkan orang yang telah mati, maka amalannya telah terputus, dia tidak mampu
menambahi atau mengurangi amalannya.
Perbuatan sebagian orang di zaman ini berlawanan dengan kondisi di atas. Ketika masih
hidup, mereka meninggalkan al-Qur’ân, enggan membaca atau mendengarkannya. Mereka
lebih suka menyanyi, mendengar musik, menonton film dan hal-hal lain yang tidak
bermanfaat di akhirat. Jika ada orang mati, mereka membacakan al-Qur'ân buat jenazah
tersebut pada acara pemakamannya atau di kuburnya.
Mereka ini ibarat orang mogok makan sampai mati kelaparan. Setelah dia mati, orang-orang
mendatanginya membawakan makanan agar dia memakannya. Al-Qur'ân hanya bermanfaat
bagi orang yang hidup selama masih berada di dunia, ladang beramal. Adapun setelah mati,
maka dia telah pindah dari fase beramal menuju fase pembalasan amal. Pada waktu itu al-
Qur'ân tidak bermanfaat baginya, karena ketika hidup dia meninggalkan al-Qur'ân, padahal
dia mampu mengambil manfaat darinya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
Al-Qur'ân itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan. Supaya dia
(Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup dan supaya pastilah
(ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir. [Yâsîn/36:69-70]
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 7
kumkum
ْك َع َن ُقصُّ َك ٰ َذل َِك َ اء ِمنْ َلي ِ اك َو َق ْد ۚ◌ َس َبقَ َق ْد َما أَ ْن َب َ ِين ِو ْزرً ا ْال ِق َيا َم ِة َي ْو َم َيحْ ِم ُل َفإِ َّن ُه َع ْن ُه أَعْ َر
َ ض َمنْ ذ ِْكرً ا َل ُد َّنا ِمنْ آ َت ْي َن َ ۖ◌ فِي ِه َخا ِلد
ِحمْ ًال ْال ِق َيا َم ِة َي ْو َم َل ُھ ْم َو َسا َء
"Demikianlah Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah umat yang telah lalu,
dan sesungguhnya telah Kami berikan kepadamu dari sisi Kami suatu peringatan (al-Qur'ân).
Barangsiapa berpaling dari al-Qur'ân, maka sesungguhnya ia akan memikul dosa yang besar
di hari kiamat. Mereka kekal di dalam keadaan itu dan amat buruklah dosa itu sebagai
beban bagi mereka di hari kiamat." [Thâha/20:99-101]
6. Membaca al-Qur'ân adalah ibadah dan ibadah itu tauqifiyyah, artinya harus mengikuti
tuntunan. Jika seseorang beribadah tanpa tuntunan, berarti dia beribadah kepada Allâh
semaunya sendiri, padahal Allâh Azza wa Jalla berfirman :
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya !
Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya ?,Atau apakah kamu mengira bahwa
kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu). [al-
Furqân/25:43-44]
7. Pahala suatu amal belum tentu diraih oleh orang yang mengamalkannya. Bagaimana
mungkin ia menghadiahkan sesuatu yang belum pasti kepada orang lain. Karena amalan
akan diterima dengan beberapa syarat :
1. Iman
2. Ikhlas
4. Bersih dari hal-hal yang membatalkan amal, seperti riyâ’, ‘ujub dan lainnya.
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 8
kumkum
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma pernah berkata,
“Jika aku tahu shalatku diterima (oleh Allâh), maka aku benar-benar mengharapkan
kematian, karena Allâh Azza wa Jalla berfirman :
َّ ِين م َِن
ُ ُل َي َت َق َّب إِ َّن َما َ ْال ُم َّتق
Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang
bertakwa. [al-Mâidah/5:27]
8. Membaca al-Qur'ân pada acara kematian atau di depan jenazah atau di kuburan
merupakan perkara baru dalam agama, sedangkan semua perkara baru dalam agama adalah
bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertaqwa kepada Allâh; mendengar dan taat (kepada
penguasa kaum muslimin), walaupun seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya
barangsiapa hidup setelahku, dia akan melihat perselishan yang banyak. Maka wajib kamu
berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan
lurus. Peganglah dan giggitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam
agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah
sesat. [HR. Abu Dawud no: 4607; Tirmidzi 2676; Ad-Darimi; Ahmad; dan lainnya dari al-
‘Irbâdh bin Sâriyah]
Perbuatan tersebut tidak ada tuntunan dari Nabi, dari Khulafaur rasyidin, dari para sahabat,
dari tabi’in dan dari tabi’ut tabi’in, sehingga hukumnya bid’ah dan sesat.
9. Kalau kita tahu bahwa hal itu bid’ah, maka pasti tidak ada pahalanya, sebaliknya yang ada
adalah dosa. Jika demikian keadaannya, maka menghadiahkan pahala merupakan perkataan
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 9
kumkum
dan perbuatan sia-sia. Ini ibarat orang yang menggenggam tangannya yang kosong, lalu dia
berkata kepada orang lain yang membutuhkan bantuan, “Ambillah!”, padahal tangannya
kosong.
10. Sesungguhnya semua orang sangat butuh kepada amalannya. Pada hari kiamat nanti,
semua orang akan sangat mengkhawatirkan dirinya, akankah amalannya bisa
menyelamatkannya ?! Masing-masing akan lebih mementingkan dirinya daripada
saudaranya atau ibunya atau bapaknya. Jika demikian, berarti orang yang menghadiahkan
amalannya seakan dia sudah memastikan bahwa dirinya dijamin aman, tidak rugi dan
seakan tidak butuh karunia Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman :
َّ صا ِح َب ِت ِه َوأَ ِبي ِه َوأ ُ ِّم ِه أَخِي ِه ِمنْ ْال َمرْ ُء َيفِرُّ َي ْو َم الص
ِ َّاخ ُة َجا َء
ت َفإِ َذا ٍ ي ُْغنِي ِه َشأْنٌ َي ْو َم ِئ ٍذ ِم ْن ُھ ْم امْ ِر
َ ئ ِل ُك ِّل َو َبنِي ِه َو
Dan apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua), pada hari
ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya.
Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.
[‘Abasa/80:33-37]
Demikianlah uraian singkat tentang beberapa poin penting berkaitan dengan bacaan al-
Qur'ân yang dihadiahkan pahalanya buat orang yang sudah meninggal. Ada sebagian orang
yang berkilah bahwa apa yang dia lakukan itu adalah tradisi atau adat. Namun itu hanya
alasan saja, karena yang menjadi tujuannya adalah pahala, sementara yang namanya tradisi
atau adat, pelaksanaannya bukan untuk mencari pahala. Kalau tujuannya mencari pahala,
berarti itu adalah ibadah. Dan ibadah harus sesuai dengan tuntunan syari'at.
Semoga uraian singkat ini bisa bermanfaat dan menggugah kesadaran kita untuk lebih
semangat dan waspada dalam melaksanakan ibadah.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XIV/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 10
kumkum
[1]. Catatan kaki kitab at-Tanbihatul Lathîfah ‘Ala Ma Ihtawat ‘alaihi al-‘aqidatul Wasithiyah,
hlm. 34, tahqiq Syaikh Ali bin Hasan, penerbit Dar Ibnil Qayyim
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 11
kumkum
AL-QUR'AN MENURUT PANDANGAN LIMA FIRQAH
Oleh
Ahli Sunnah wal Jama'ah meyakini, al Qur`an adalah Kalamullah. Berasal dari Allah, berupa
perkataan tanpa dapat diketahui caranya. Al Qur`an diturunkan kepada Rasul-Nya sebagai
wahyu. Sebagai Kalamullah, maka al Qur`an bukan makhluk, tidak seperti halnya ucapan
manusia. Barangsiapa mendengar al Qur`an dan menyangkanya sebagai perkataan manusia,
sungguh ia telah kafir. [1]
Ahli Sunnah wal Jama'ah menjadikan Kitabullah dan wahyu dari-Nya sebagai landasan
utama dalam menetapkan 'aqidah dan dalam pengambilan dalil. Tidak ada masalah 'aqidah
atau masalah lain yang mempunyai dalil dari Kitabullah, kecuali mereka menyampaikannya,
mengutamakan di atas segalanya, dengan mengagungkan Kalamullah dan bergantung
kepadanya. Tidak bertumpu kepada manusia yang lemah. Sebagaimana Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman,
Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 12
kumkum
mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata. [al Ahzab/33:36].
Aspek lain yang membuat mereka memberi perhatian sangat besar kepada al Qur`an,
karena Allah telah memudahkan al Qur`an untuk dipahami. Tidak ada ayat-ayat yang sulit
dipahami. Juga tidak ada ungkapan yang janggal di dalamnya. Al Qur`an tidak memuat
sesuatu yang ditolak oleh akal dan pikiran yang sehat. Tidaklah mustahil siapa pun dapat
menguasainya, karena kandungan al Qur`an dapat dijangkau kemampuan akal manusia.
Tidak menjadi monopoli segelintir orang, atau strata tertentu saja. Di dalam al Qur`an tidak
ada kata-kata yang mengandung teka-teki atau rahasia. Setiap orang dapat menguasai
sesuai dengan kemampuannya.
Ini berbeda dengan kebohongan yang digulirkan ahli bid'ah. Mereka beranggapan, adanya
kontradiksi antara akal dengan naql. Berkaitan dengan kedudukan al Qur`an ini, berikut
kami paparkan pandangan beberapa firqah dalam menempatkan al Qur`an pada diri
mereka. Tulisan ini bersumber dari Tanaqudhi Ahlil-Ahwa wal-Bida'i fil 'Aqidah, karya Dr.
'Afaf binti Hasan bin Muhammad Mukhtar, Cetakan I, Th. 1421H/ 2000M, Penerbit
Maktabah Rusyd, Riyadh.
GOLONGAN KHAWARIJ
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan, dasar pemikiran mereka adalah mengagungkan
al Qur`an dan ingin mengikutinya. Hanya saja, mereka keluar dari lingkaran Ahli Sunnah wal-
Jama'ah. Mereka tidak mengikuti Sunnah yang dianggap menyelisihi al Qur`an. Misalnya,
seperti hukum rajam dan nishab pencurian".
Mereka mengakui keberadaan al Qur`an dan hujjahnya, tetapi tidak memahami layaknya
generasi Salafush-Shalih. Dari sinilah kesesatan mereka bermula. Mereka, seperti
diungkapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, mengikuti ayat-ayat mutasyabih dan
mentakwilkannya, padahal tidak mengerti maknanya, tidak memiliki ilmu yang luas, tidak
mengikuti Sunnah, dan juga tidak mengikuti pemahaman Salafush-Shalih dalam memahami
al Qur`an.
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 13
kumkum
Sangat jelaslah pendirian mereka, yaitu tidak menjadikan al Qur`an sebagai hujjah
sebagaimana menurut cara yang shahih (dibenarkan). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah memberitahukan tentang keberadaan mereka: "(Mereka) membaca al Qur`an, tetapi
tidak melewati kerongkongan mereka. Keluar dari Islam, seperti melesatnya anak panah
(menembus) sasaran".
Hadits ini menjelaskan, mereka membaca al Qur`an, namun tidak mengamalkan ajaran-
ajarannya.
GOLONGAN SYI'AH
Pendirian Syi'ah terhadap al Qur`an sudah diketahui, yaitu meyakini bahwa al Qur`an telah
mengalami tahrif (perubahan), baik dengan penambahan ataupun pengurangan. Oleh
karenanya, mereka tidak memandang al Qur`an sebagai hujjah.
Bukit-bukti yang menunjukkan pandangan mereka seperti itu, dapat disaksikan dalam kitab-
kitab karangan para ulama penganut Syi'ah. Misal, coretan dalam kitab al Kafi, yang mereka
angkat selevel dengan Shahih Bukhari.
Kaum Syi'ah menukil pernyataan yang dinisbatkan kepada Ja'far ash Shadiq:[2] "Kami
mempunyai Mush-haf Fathimah[3] . Apa yang mereka ketahui tentang Mush-haf Fathimah?
Mush-haf Fathimah, (besarnya) seperti al Qur`an kalian tiga kali lipat. Tidak ada satu huruf
pun dari al Qur`an kalian yang ada di sana".[4]
Jadi menurut Syi'ah, al Qur`an yang berada di tangan kaum Muslimin saat ini, sudah tidak
otentik lagi, kecuali yang berasal dari riwayat imam-imam mereka. Bahkan untuk
menguatkan klaim, mereka pun membuat periwayatan untuk menyokong kedustaan yang
mereka buat.
Misalnya, diriwayatkan dari Jabir,[5] ia berkata: Aku mendengar Abu Ja'far al Baqir 'alaihis
salam berkata: "Tidak ada seorang pun yang mengaku telah menghimpun al Qur`an secara
keseluruhan sebagaimana diturunkan, selain ia seorang pendusta. Tidak ada seorang yang
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 14
kumkum
berhasil menghimpun dan memeliharanya sebagaimana diturunkan oleh Allah, kecuali Ali
bin Abi Thalib 'alaihis salam dan para imam sepeninggalnya".[6]
Secara global, kalangan Qadariyah memasukkan al Qur`an sebagai bagian dari dalil-dalil
prinsip mereka. Hanya saja, mereka memandang kepastian hukum dan petunjuk yang
akurat, lebih menggunakan akal. Menurut pemikiran Qadariyah, akal sajalah yang
mengantarkan seseorang menjadi memiliki keyakinan dan hasil yang shahih.
Salah seorang tokoh Qadariyah, yaitu al Jahizh[7] berkata: "Tidak ada hukum yang pasti,
melainkan milik akal. Dan tidak ada penjelasan yang shahih, selain milik akal."[8]
Oleh karena itu, mereka mempunyai empat jenis pegangan, yaitu akal, al Qur`an, Sunnah
dan Ijma'. Dalam hal ini, mereka lebih mendahulukan nalar (akal) ketimbang al Qur`an dan
Sunnah. Ini merupakan bukti kepuasaan mereka dengan kaidah yang mengatakan,
bergantung kepada akal pikiran lebih kuat dan utama daripada berlandaskan syari'at, yang
nash-nashnya tidak menghasilkan keyakinan dan ilmu yang pasti. Mereka mendewakan akal
pikiran dan meyakini, bahwa manusia dapat mengenal Allah dan hikmah-Nya melalui akal
semata. Bahkan Ibrahim Nazhzham, salah seorang pentolan Mu'tazilah berkata:
"Sesungguhnya kekuatan hujjah akal terkadang dapat menghapuskan nash-nash
(hukum)".[9]
Dengan demikian, dapat diketahui apresiasi mereka dalam menempatkan al Qur`an. Yaitu,
mereka mendahulukan akal sebagai rujukan utama, setelah itu menempatkan al Qur`an
sebagai sumber berikutnya.
KELOMPOK MURJI'AH
Murji'ah juga menduhulukan akal ketimbang nash (naql). Menurut mereka, akal menjadi
sumber untuk mengetahui dalam masalah 'aqidah. Ringkasnya, mereka menggantungkan
kepada apa yang dihasilkan oleh akal pikiran, dan antipati dengan al Qur`an dan Sunnah.
Atau memaksakan al Qur`an dan Sunnah untuk tunduk dengan argumentasi yang mereka
bawa.
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 15
kumkum
Pandangan seperti ini, telah mendorong mereka untuk menetapkan akal sebagai tumpuan
memahami nash-nash syari'at. Padahal, mereka hanya menerjemahkannya sebatas
kemampuan yang dimiliki akal mereka, namun tetap menjadikannya sebagai dasar hukum
pada segala aspek.
Apabila terjadi kontradiksi antara dalil syar'i dengan akal, maka mereka memenangkan akal.
Akhirnya, mereka melakukan takwil yang kemudian menjadi ciri khas kelompok Murji'ah ini.
Ibnu Qutaibah rahimahullah mengatakan, bahwa para ahli kalam memegangi pandangan-
pandangan yang mereka yakini dengan dasar akal mereka. Setelah itu baru membaca-baca
al Qur`an. Jika (kandungan ayat) bertentangan dengan qiyas atau bertolak belakang dengan
kaidah yang sudah mereka bakukan, maka mereka pun mencari-cari takwil yang tidak etis,
lagi sangat jauh dari maksud yang benar. [10]
KELOMPOK JAHMIYAH
Sikap Jahmiyah sama dengan kelompok Murji'ah dalam memandang al Qur`an, yaitu lebih
mendahulukan akal daripada naql. Akal dijadikan sebagai asas dan landasan utama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan, Jahmiyah dan orang-orang yang berpikiran
seperti mereka dari kalangan Asy'ariyah dan lainnya, mengatakan tidak sah beristidlal
(berdalil) dengan al Qur`an mengenai ilmu Allah, kekuasaan-Nya, beribadah kepada-Nya,
dan tentang Allah beristiwa di atas Arsy.[11]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun X/1428/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Syarhul-'Aqidatith-Thahawiyah.
[2]. Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, adalah
seorang dari kalangan Tabi'in. Kaum Rafidhah (Syi'ah) mencatutnya sebagai salah satu dari
imam dua belas mereka. Banyak ucapan kotor dan kufur yang dialamatkan kepadanya oleh
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 16
kumkum
Syi'ah. Padahal, beliau sangat murka dan membuka kedok kebusukan mereka. Biografi
ringkasnya pernah kami angkat dalam Majalah As-Sunnah, Edisi 05/Tahun IX/ Rubrik
Syakhshiyah, dengan judul Imam Ja'far ash Shadiq, Imam Ahli Sunnah, Bukan Milik Syi'ah.
[5]. Jabir bin Yazid al Ju'fi Abu Abdillah al Kufi dari kalangan ulama Syi'ah Rafidhah. Dia
termasuk pembohong besar. Syi'ah menganggapnya seorang perawi terkenal di kalangan
mereka. Para ulama hadits dari Ahli Sunnah tidak menoleh kepada riwayat-riwayatnya,
karena adanya faktor kedustaan yang melekat pada dirinya. Lihat Taqribut-Tahdzib, hlm.
137.
[7]. Dia adalah 'Amr bin Mahmub Abu Utsman al Jahizh al Bashri al Mu'tazili. Para
pengagumnya tertipu dengan kepiawaiannya dalam sastra Arab, sehingga kesesatannya
tertutup dari pandangan mereka.
[9]. Syarhul-Ushilil-Khamsah.
[10]. Lihat penjelasan ini di dalam kitab al Ikhtilaf fil-Lafzhi war-Raddi 'alal-Jahmiyah wal-
Musyabbihah, karya Ibnu Qutaibah, hlm. 15.
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 17
kumkum
KEDUDUKAN AL-QUR’AN BAGI MANUSIA
Oleh
Allah Azza wa Jalla telah menurunkan al-Qur’ân sebagai petunjuk bagi manusia. Dengan al-
Qur`ân Allah Azza wa Jalla membukakan hati yang tertutup, mata yang buta, dan telinga
yang tuli.
Keajaiban-keajaiban al-Qur’ân tidak pernah habis, tidak pernah usang walaupun sering
diulang sepanjang siang dan malam.
Tadabbur (memperhatikan) al-Qur’ân akan melahirkan ilmu yang banyak dan bermanfaat.
Dengannya akan dibedakan antara kebenaran dengan kebatilan, iman dengan kekafiran,
manfaat dengan madharat, kebahagiaan semu dengan kebahagiaan hakiki, calon penghuni
surga dengan penghuni neraka, dan sebagainya. Oleh karena itulah Allah Azza wa Jalla
memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk mentadabburi ayat-ayat-Nya. Dia Azza wa Jalla
berfirman:
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya
mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya orang-orang yang mempunyai fikiran
mendapat pelajaran. [Shâd/38:29]
Imam Ibnu Jarîr ath-Thabari rahimahullah berkata, “Allah Azza wa Jalla berkata kepada Nabi-
Nya (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam), ‘Al-Qur’ân ini ini adalah sebuah kitab yang
Kami turunkan kepadamu, wahai Muhammad, penuh dengan berkah supaya mereka
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 18
kumkum
memperhatikan ayat-ayat-Nya, agar mereka memperhatikan hujjah-hujjah Allah Azza wa
Jalla serta syari’at-syari’at yang ditetapkan di dalamnya, kemudian mereka mendapat
pelajaran dan mengamalkannya’”. [Tafsîr ath-Thabari, 21/190]
Barangsiapa mengikuti al-Qur’ân, Allah Azza wa Jalla telah menjanjikan petunjuk dan
keamanan, sebaliknya orang yang berpaling darinya akan tersesat dan celaka. Allah Azza wa
Jalla berfirman:
Allah berfirman: "Turunlah kamu berdua (Adam dan Iblis) dari surga bersama-sama,
sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka, jika datang kepadamu
petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan
tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya
baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat
dalam keadaan buta". [Thâhâ/20:123-124]
Pada ayat di atas Allah Azza wa Jalla berfirman kepada Adam, Hawa dan Iblis, “Turunlah
kamu semua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang
lain”, maksudnya Adam dan keturunannya akan menjadi musuh Iblis dengan keturunannya.
Firman Allah Azza wa Jalla , “Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku”,
maksudnya para nabi, para rasul, dan penjelasan. Firman Allah Azza wa Jalla , “Lalu
barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka”,
maksudnya tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat. Firman Allah Azza wa
Jalla , “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku”, maksudnya menyelisihi perintah-Ku
dan perintah yang Aku turunkan kepada rasul-Ku dengan berpaling darinya, melupakannya,
dan mengikuti petunjuk selainnya, “Maka sesungguhnya baginya penghidupan yang
sempit”, maksudnya di dunia, dia tidak memperoleh ketenangan dan kelapangan dada,
dadanya menjadi sempit, sesak karena kesesatannya; walaupun dia bersenang-senang
secara lahiriyah, berpakaian, makan, dan tinggal sekehendaknya. Namun, selama hatinya
tidak mencapai keyakinan dan petunjuk, maka dia selalu berada di dalam kegelisahan,
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 19
kumkum
kebingungan, dan keraguan. Ini termasuk kesempitan hidup. Demikian juga termasuk
penghidupan yang sempit adalah siksa kubur.
Firman Allah Azza wa Jalla , “Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam
keadaan buta”, maksudnya tidak tidak punya hujjah di hadapan Allah Azza wa Jalla , atau dia
akan dibangkitkaan dan digiring menuju neraka dalam keadaan buta mata dan hatinya.
[Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr, Surat Thâhâ, ayat 123-124]
Kebahagiaan hakiki akan diraih oleh orang-orang yang mengikuti al-Qur’ân. Sebaliknya,
orang yang mengingkarinya, Allah Azza wa Jalla mengancamnya dengan neraka, dan neraka
adalah seburuk-buruk tempat menetap. Allah Azza wa Jalla berfirman:
Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang mempunyai bukti yang nyata
(al-Qur`ân) dari rabb-Nya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari-Nya dan
sebelum al-Qur`ân itu telah ada kitab Mûsâ yang menjadi pedoman dan rahmat? Mereka itu
beriman kepada al-Qur`ân. Dan barangsiapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan
sekutu-sekutunya yang kafir kepada al-Qur`ân, maka nerakalah tempat yang diancamkan
baginya, karena itu janganlah kamu ragu-ragu terhadap al-Qur`ân itu. Sesungguhnya (al-
Qur`ân) itu benar-benar dari rabbmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman.
[Hûd/11:17]
Imam al-Baghawi rahimahullah berkata, “Firman Allah Azza wa Jalla , “Dan barangsiapa kafir
kepadanya”, maksudnya kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada juga yang
mengatakan kepada al-Qur’ân, “Dan sekutu-sekutunya”, yaitu dari kalangan orang-orang
kafir dari semua pemeluk agama, “Maka nerakalah tempat yang diancamkan baginya”.
[Tafsîr al-Baghawi 4/167]
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 20
kumkum
Allah Azza wa Jalla menyerupakan orang-orang kafir yang berpaling dari al-Qur’ân seperti
keledai yang berpaling dan kabur dari seekor singa! Alangkah buruknya permisalan bagi
mereka itu!! Allah Azza wa Jalla berfirman:
Maka mengapa mereka (orang-orang kafir) berpaling dari peringatan (Allah)? seakan-akan
mereka itu keledai liar yang lari terkejut, lari dari singa. [ al-Muddatsir/74:48-50]
Maksudnya, mengapa orang-orang kafir yang berada di hadapanmu berpaling dari apa yang
engkau seru dan peringatkan kepada mereka, “Seakan-akan mereka itu keledai liar yang lari
terkejut, lari dari singa”, maksudnya, lari dan berpalingnya mereka dari kebenaran seolah-
olah keledai liar yang lari dari singa yang akan memburunya atau dari seorang pemburu.
[Lihat Imam Ibnu Katsîr pada tafsir ayat ini; Muqaddimah Tafsîr Adhwâul Bayân]
Allah Azza wa Jalla juga menjelaskan bahwa orang yang berpaling dari al-Qur`ân, maka dia
akan memikul beban yang dia sangat berat. Allah Azza wa Jalla berfirman:
Sesungguhnya telah Kami berikan kepadamu dari sisi Kami suatu peringatan (al-Qur`ân).
Barangsiapa berpaling dari al-Qur'ân, maka sesungguhnya ia akan memikul dosa yang besar
di hari kiamat. Mereka kekal di dalam keadaan itu, dan amat buruklah dosa itu sebagai
beban bagi mereka di hari kiamat. [Thâhâ/20:100-101]
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memuliakan sebagian manusia dengan al-Qur’ân dan
merendahkan sebagian yang lain. Allah Azza wa Jalla berfirman:
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 21
kumkum
Maka serahkanlah (wahai Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan
perkataan ini (al-Qur`ân). Kelak, Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke
arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui. Dan aku memberi tangguh kepada
mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amatlah kuat. [al-Qalam/68:44-45]
Al-Qur’ân adalah kitab yang sempurna. Kitab dari langit yang terakhir turun dari Rabb
semesta alam. Sesungguhnya seluruh kebaikan adalah dengan mengikuti al-Qur’ân dan
seluruh keburukan adalah dengan berpaling darinya. Al-Qur’ân dapat menjadi hujjah yang
akan membela seorang hamba. Namun, juga dapat menjadi penghujat baginya. Maka
berbahagialah orang yang pertama itu, dan alangkah celakanya orang yang kedua. Di dalam
al-Qur`ân, terdapat janji kebaikan yang besar bagi orang yang taat, dan ancaman keras bagi
orang yang maksiat. Allah Azza wa Jalla berfirman:
ت َل ْو َال َل َقالُوا أَعْ َج ِم ًّيا ُقرْ آ ًنا ْل َناهُ َج َع َو َل ْوْ ص َل ِّ ِين ھ َُو ُق ْل ۗ◌ َو َع َر ِبيٌّ أَأَعْ َجمِيٌّ ۖ◌ آ َيا ُت ُه ُف
َ ِين ۖ◌ َوشِ َفا ٌء ھ ًُدى آ َم ُنوا ِللَّذ
َ ون َال َوالَّذ
َ ي ُْؤ ِم ُن
ِك ۚ◌ َعمًى َع َلي ِْھ ْم َوھ َُو َو ْق ٌر َآذان ِِھ ْم فِي َ ادَو َن أُو ٰ َلئ
ْ ان ِمنْ ُي َن ٍ َبعِي ٍد َم َك
Dan seandainya Kami jadikan al-Qur`ân itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah
mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?" Apakah (patut al-Qur`ân)
dalam bahasa asing sedang (Rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: "Al-Qur`ân itu adalah
petunjuk dan penawar bagi orang-orang Mukmin. Dan orang-orang yang tidak beriman,
pada telinga mereka ada sumbatan, sedang al-Qur`ân itu suatu kegelapan bagi mereka.
Mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh". [Fushshilat/41:44]
KEADAAN UMAT
Walaupun kedudukan al-Qur’ân begitu agung, namun mayoritas umat Islam di seluruh
penjuru dunia di zaman ini berpaling dari tadabbur terhadap kitab mulia ini, tidak peduli
terhadap perkataan Pencipta mereka, tidak mengambil adab dengan adab-adab yang
diajarkan di dalam al-Qur’ân, dan tidak berakhlak dengan akhlak mulia ajaran al-Qur’ân.
Mereka mencari hukum-hukum di dalam undang-undang sesat yang menyelisihi al-Qur’ân.
Bahkan orang-orang yang berusaha mengamalkan adab dan akhlak al-Qur’ân direndahkan
dan dihinakan.
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 22
kumkum
Maka wahai saudaraku, jangan sampai banyaknya orang yang menjauhi kitab Allah Azza wa
Jalla itu menjauhkanmu darinya, dan jangan sampai banyaknya orang-orang yang mencela
orang yang mengamalkan al-Qur’ân itu menjadikanmu terhina. Ketahuilah, sesungguhnya
seorang yang berakal lagi cerdas itu tidak akan peduli terhadap kritikan orang-orang gila.
Maka majulah menuju kitab Allah, bacalah, fahamilah dengan bimbingan para Ulama Ahlus
Sunnah. Semoga tempat kembalimu adalah Jannah. Amîn.
(Lihat: Muqaddimah Tafsîr Adhwâul Bayân, karya Syaikh Muhammad al-Amîn asy-Syinqîthi)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIII/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-858197 Fax 0271-858196]
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 23
kumkum
ADAB TERHADAP AL-QUR’AN
Oleh
Seorang Mukmin meyakini bahwa al-Qur’ân adalah kalâm (perkataan; ucapan) Allah Azza wa
Jalla . Huruf dan maknanya bukanlah makhluk, serta diturunkan oleh malaikat Jibril kepada
Nabi Muhammad n . Al-Qur’ân adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman. Al-Qur’ân adalah sebaik-baik dan sebenar-benar perkataan,
tidak ada kedustaan padanya, baik pada saat diturunkan maupun sesudahnya. Barangsiapa
berkata berdasarkan al-Qur’ân, maka perkataannya benar; dan barangsiapa menghukumi
dengannya, maka hukumnya adil. Barangsiapa mengikutinya, ia akan menuntun menuju
surga, dan barangsiapa membelakanginya, ia akan menyeretnya menuju neraka.
Oleh karena itu, seorang Muslim yang baik selalu beradab terhadap al-Qur’ân dengan adab-
adab yang utama, di antaranya:
Ini adalah adab dan kewajiban terbesar. Beriman kepada al-Qur’ân artinya meyakini segala
beritanya, mentaati segala perintahnya, dan meninggalkan segala larangannya. Allah Azza
wa Jalla berfirman:
ِين أَ ُّي َھا َياَ آ ِم ُنوا آ َم ُنوا الَّذ4ا ِ َّ ب َو َرسُو ِل ِه ِبِ َي ْك ُفرْ َو َمنْ ۚ◌ َق ْب ُل ِمنْ أَ ْن َز َل الَّذِي َو ْال ِك َتابِ َرسُو ِل ِه َع َل ٰى َن َّز َل الَّذِي َو ْال ِك َتا4ا
ِ َّ َو َم َال ِئ َك ِت ِه ِب
ض َّل َف َق ْد ْاآلخ ِِر َو ْال َي ْو ِم َو ُر ُس ِل ِه َو ُك ُت ِب ِه
َ ض َال ًال
َ ِيدا ً َبع
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada
kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.
Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 24
kumkum
Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. [an-
Nisâ’/4:136]
Ini adalah perintah Allah Azza wa Jalla kepada orang-orang yang beriman untuk meluruskan
iman mereka, yaitu dengan keikhlasan dan kejujuran iman, menjauhi perkara-perkara yang
merusakkan iman, dan bertaubat dari perkara-perkara yang mengurangi nilai iman.
Demikian juga agar mereka meningkatkan ilmu dan amalan keimanan. Karena, setiap nash
yang tertuju kepada seorang Mukmin, lalu dia memahami dan meyakininya, maka itu
termasuk iman yang wajib. Demikian juga seluruh amalan yang lahir dan batin termasuk
iman, sebagaimana ditunjukkan oleh nash-nash yang banyak dan disepakati oleh Salafush
Shalih.
Di sini terdapat perintah untuk beriman kepada Allah Azza wa Jalla , Rasul-Nya, al-Qur’ân,
dan kitab-kitab terdahulu. Beriman kepada hal-hal di atas hukumnya wajib dan seorang
hamba tidak menjadi orang yang beriman kecuali dengannya, yaitu beriman secara
menyeluruh dalam perkara yang perinciannya tidak sampai kepadanya, dan secara rinci
dalam perkara yang perinciannya sudah sampai kepadanya. Maka barangsiapa beriman
dengan keimanan ini, dia telah mengikuti petunjuk dan sukses.[1]
Sesungguhnya membaca al-Qur’ân merupakan salah satu bentuk ibadah yang agung. Banyak
sekali ayat-ayat dan hadits-hadits shahîh yang menunjukkan hal ini. Namun sayang, banyak
umat Islam di zaman ini yang lalai dengan ibadah ini, baik karena sibuk dengan urusan
dunia, karena lupa, atau lainnya. Ketika seseorang mendapatkan kiriman surat dari
saudaranya, kawannya, keluarganya, atau kekasihnya, dia akan bersegera membukanya
karena ingin mengetahui isinya. Namun, bagaimana bisa seorang Muslim tidak tergerak
untuk membaca surat-surat al-Qur’ân yang datang dari penciptanya, padahal surat-surat al-
Qur'ân itu semata-mata untuk kebaikannya?
Sebagian orang membaca al-Qur’ân, tetapi dengan tergesa-gesa atau dengan cara yang
cepat, seolah-olah sedang diburu musuh! Padahal Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan
kita agar membaca al-Qur’ân dengan tartîl (perlahan-lahan). Allah Azza wa Jalla berfirman:
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 25
kumkum
Dan bacalah al-Qur`ân itu dengan perlahan-lahan. [al-Muzammil/73:4]
Selain itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendorong umatnya untuk giat
membaca al-Qur’ân dan menerangkan besarnya pahalanya. Maka, siapakah yang akan
menyambutnya? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Barangsiapa membaca satu huruf dari kitab Allah, maka dia mendapatkan satu kebaikan
dengannya. Dan satu kebaikan itu (dibalas) sepuluh lipatnya. Aku tidak mengatakan alif lâm
mîm satu huruf. Tetapi alif satu huruf, lâm satu huruf, dan mîm satu huruf.” [2]
Mungkin banyak di antara kita telah mengetahui pahala membaca al-Qur’ân ini. Namun,
siapa di antara kita yang selalu berusaha mengamalkannya? Karena tujuan belajar, bukan
hanya untuk pengetahuan saja, akan tetapi tujuannya yang tertinggi adalah untuk
diamalkan.
Demikian juga dianjurkan untuk membaca al-Qur’ân dengan berjama’ah, yaitu satu orang
membaca sedangkan yang lain mendengarkan, sebagaimana kebiasaan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Tidaklah ada sekelompok orang yang berkumpul di dalam satu rumah di antara rumah-
rumah Allah, mereka membaca kitab Allah dan belajar bersama di antara mereka,
melainkan ketenangan turun kepada mereka, rahmat meliputi mereka, malaikat
mengelilingi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan (para malaikat) di
hadapanNya”. [3]
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 26
kumkum
3. MEMPELAJARI DAN TADABBBUR (MEMPERHATIKAN)
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menurunkan al-Qur’ân antara lain dengan hikmah agar
manusia memperhatikan ayat-ayatnya, menyimpulkan ilmunya, dan merenungkan
rahasianya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
Ini adalah sebuah kitab yang penuh dengan berkah, Kami turunkan kepadamu supaya
mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang
mempunyai fikiran. [Shâd/38:29]
Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata: “Ini menunjukkan bahwa seukuran fikiran dan akal
seseorang, dia akan medapatkan pelajaran dan manfaat dengan kitab (al-Qur’ân) ini”.[4]
Bahkan Allah Azza wa Jalla menantang orang-orang kafir untuk mencari-cari kesalahan al-
Qur’ân, jika mereka meragukan bahwa al-Qur’ân datang dari sisi Allah Azza wa Jalla !
Maka, apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur`ân? kalau kiranya al-Qur`ân itu bukan
dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [an-
Nisâ’/4:82]
Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa sebaik-baik orang
dari umat ini adalah orang yang mempelajari al-Qur’ân dan mengajarkannya. Sebagaimana
disebutkan di dalam hadits di bawah ini:
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 27
kumkum
Dari Utsman, Nabi bersabda: “Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari al-Qur’ân
dan mengajarkannya”.[5]
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata: “Ini adalah sifat orang-orang Mukmin yang
mengikuti para Rasul. Mereka adalah orang-orang yang sempurna pada diri mereka dan
menyempurnakan orang lain. Dan itu menggabungkan kebaikan untuk diri sendiri dan untuk
orang lain. Ini kebalikan sifat orang-orang kafir yang banyak berbuat kezhaliman. Mereka
tidak memberikan manfaat kepada orang lain dan tidak membiarkan orang lain
mendapatkan manfaat. Mereka melarang manusia mengikuti al-Qur’ân dan mereka sendiri
mendustakan dan menjauhinya.”[6]
4. ITTIBA’ (MENGIKUTI)
Setiap orang sangat membutuhkan rahmat Allah Azza wa Jalla . Namun, apa sarana untuk
meraih rahmat-Nya? Mengikuti al-Qur’ân itulah cara mendapatkan rahmat Allah Azza wa
Jalla , sebagaimana firman-Nya:
ك أَ ْن َز ْل َناهُ ِك َتابٌ َو ٰ َھ َذا َ ُون َل َعلَّ ُك ْم َوا َّت ُقوا َفا َّت ِبعُو ُه ُم َب
ٌ ار َ ُترْ َحم
Dan al-Qur`ân itu adalah kitab yang Kami turunkan, yang diberkati, maka ikutilah ia dan
bertakwalah agar kamu diberi rahmat. [al-An’âm/6:155]
Allah Azza wa Jalla telah menjanjikan kebaikan yang besar bagi orang yang mengikuti kitab-
Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
Allah berfirman: "Jika datang kepada kamu petunjuk dari-Ku, maka barangsiapa mengikut
petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. [Thâha/20: 123]
Sebaliknya, Allah Azza wa Jalla juga memberi ancaman berat bagi orang yang berpaling dari
kitab-Nya:
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 28
kumkum
ْض َو َمنَ ض ْن ًكا َمعِي َش ًة َل ُه َفإِنَّ ذ ِْك ِري َعنْ أَعْ َر َ ش ُر ُه ُ ْت َو َق ْد أَعْ َم ٰى َح َشرْ َتنِي ِل َم َربِّ َقا َل أَعْ َم ٰى ْال ِق َيا َم ِة َي ْو َم َو َنح ُ َقا َل بَصِ يرً ا ُك ْن
َ ٰ َ َ ٰ ْ َ ٰ
ف َمنْ َنجْ ِزي َو َكذل َِك ُت ْن َس ٰى ال َي ْو َم َو َكذل َِك ۖ◌ َف َنسِ ي َت َھا آ َيا ُت َنا أ َت ْت َك َكذل َِك َ َوأَ ْب َق ٰى أَ َش ُّد اآلخ َِر ِة َو َل َعذابُ ۚ◌ َر ِّب ِه ِبآيَاتِ ي ُْؤ ِمنْ َو َل ْم أسْ َر
َ َ ْ
Sesungguhnya kewajiban pemimpin umat adalah menghukumi rakyat dengan hukum Allah
Azza wa Jalla , yaitu berdasarkan al-Qur’ân dan Sunnah. Dan kewajiban rakyat adalah
berhukum kepada hukum Allah Azza wa Jalla . Oleh karena itulah Allah Azza wa Jalla
mencela dengan keras orang-orang yang ingin berhakim kepada thâghût (hukum yang
bertentangan dengan hukum Allah). Allah Azza wa Jalla berfirman:
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman
kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu?
Mereka hendak berhakim kepada thâghût, padahal mereka telah diperintah mengingkari
thâghût itu, dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-
jauhnya. [an-Nisâ’/4:60]
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 29
kumkum
Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah
menurunkan kitab (al-Qur'ân) kepada kamu dengan terperinci. Orang-orang yang telah Kami
datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa al-Qur'ân itu diturunkan dari
Rabbmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-
ragu. [al-An’âm/6:114]
ْ ت َو َتم
َّت َ ْال َعلِي ُم ال َّسمِيعُ َوھ َُو ۚ◌ ِل َك ِل َما ِت ِه ُم َب ِّد َل َال ۚ◌ َو َع ْد ًال صِ ْد ًقا َرب
ُ ِّك َك ِل َم
Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (al-Qur'ân), sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak
ada yang dapat merubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha
mengetahui. [al-An’âm/6:115]
Firman Allah ”yang benar”, yaitu di dalam berita-beritanya, ” dan adil”, yaitu di dalam
hukum-hukumnya. Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi oang-orang yang yakin? [al-Mâidah/5:50]
Allah Azza wa Jalla yang menurunkan kitab al-Qur’ân, memiliki sifat-sifat sempurna. Oleh
karena itu, kitab suci-Nya juga sempurna, sehingga cukup di jadikan sebagai pedoman untuk
meraih kebaikan-kebaikan di dunia dan akhirat. Demikian juga al-Qur’ân cukup sebagai bukti
kebenaran Nabi Muhammad n sebagai utusan Allah Azza wa Jalla kepada seluruh manusia
dan jin. Allah Azza wa Jalla berfirman:
ْك أَ ْن َز ْل َنا أَ َّنا َي ْكف ِِھ ْم َل ْمأَ َو َ ون ِل َق ْو ٍم َوذ ِْك َر ٰى َل َرحْ َم ًة ٰ َذ ِل
َ ك فِي إِنَّ ۚ◌ َع َلي ِْھ ْم ُي ْت َل ٰى ْال ِك َت
َ اب َع َلي َ ي ُْؤمِ ُن
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 30
kumkum
Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu al-
kitab (al –Qur`ân) sedang ia (al-Qur'ân) dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (al-
Qur`ân) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman. [al-
‘Ankabût/29: 51]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Tidakkah mencukupi bagi mereka sebuah ayat
(tanda kebenaran) bahwa Kami telah menurunkan kepadamu (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ) sebuah kitab yang agung, yang di dalamnya terdapat berita orang-orang sebelum
mereka, berita orang-orang setelah mereka, dan hukum apa yang ada di antara mereka,
padahal engkau adalah seorang laki-laki yang ummi (buta huruf), tidak dapat membaca dan
menulis, juga tidak pernah bergaul dengan seorang pun dari ahli kitab, kemudian engkau
datang kepada mereka dengan membawa berita-berita yang ada di dalam lembaran-
lembaran suci zaman dahulu, dengan menjelaskan kebenaran dari apa yang mereka
perselisihkan padanya, dan dengan membawa kebenaran yang nyata, gamblang, dan
terang?.” [7]
Karena wahyu Allah Azza wa Jalla sudah mencukupi sebagai pedoman, maka Allah Azza wa
Jalla melarang manusia mengikuti pemimpin-pemimpin yang bertentangan dengan wahyu-
Nya, Dia berfirman:
ِيال ۗ◌ أَ ْو ِل َيا َء ُدو ِن ِه ِمنْ َت َّت ِبعُوا َو َال َر ِّب ُك ْم ِمنْ إِ َل ْي ُك ْم أ ُ ْن ِز َل َما ا َّت ِبعُوا
ً ُون َما َقل
َ َت َذ َّكر
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari rabbmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).
[al-A’râf/7:3]
Oleh karena itulah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur dengan keras kepada Umar
bin al-Khaththâb Radhiyallahu anhu , ketika dia datang membawa naskah kitab Taurat dan
membacanya di hadapan beliau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 31
kumkum
Demi (Allah) yang jiwaku di tangan-Nya. Seandainya Musa muncul kepada kamu, lalu kamu
mengikutinya, dan kamu meninggalkan aku, sungguh kamu tersesat dari jalan yang lurus.
Seandainya Musa hidup dan mendapati kenabianku, dia pasti mengikuti aku. [HR. Ad-
Dârimi, no. 435; semakna dengan hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad, al-Baihaqi, dan
Ibnu Abi ‘Ashim. Syaikh al-Albâni menghasankannya di dalam Irwâ`ul Ghalîl, no. 1589]
Inilah di antara adab-adab orang beriman terhadap kitab suci al-Qur'ân. Semoga Allah Azza
wa Jalla selalu membimbing kita untuk meraih ilmu yang bermanfaat dan mampu
mengamalkannya. Al-hamdulillâhi rabbil ‘âlamîn.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Tafsir Taisîr Karîmir Rahmân, surat an-Nisâ’ ayat 136, karya Syaikh `Abdurrahmân
bin Nâshir as-Sa’di
[2]. HR. Tirmidzi no: 2910, dari `Abdullâh bin Mas’ûd. Dishahîhkan Syaikh Sâlim al-Hilâli
dalam Bahjatun Nâzhirîn 2/229
[3]. HR. Muslim no: 2699; Abu Dâwud no: 3643; Tirmidzi no: 2646; Ibnu Mâjah no: 225; dan
lainnya.
[4]. Tafsir Taisîr Karîmir Rahmân, surat Shâd ayat 29, karya Syaikh `Abdurrahmân bin Nâshir
as-Sa’di
[5]. HR. Bukhâri, no. 5027; Abu Dâwud, no. 1452; Tirmidzi, no. 2907; dll. Lihat 205.
[6]. Kitab Fadhâilul-Qur’ân, hlm. 206, karya Imam Ibnu Katsîr, dengan penelitian dan takrîj
hadits Syaikh Abu Ishâk al-Huwaini, penerbit. Maktabah Ibnu Taimiyah, Kairo.
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 32
kumkum
TABARRUK DENGAN MEMBACA AL-QUR-AN AL-
KARIM
Oleh
Pada awal bab yang lalu, telah dijelaskan keutamaan al-Qur-an dan keberkahannya, dan
sekarang saya akan lebih menspesifikan pembahasan hanya kepada persoalan-persoalan at-
Tabarruk bi Tilaa-watil Qur-aanil Kariim, yaitu mengharap berkah dengan membaca al-Qur-
anul Karim, dan berbagai hal lainnya yang memiliki hubungan dengannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar membaca kitab-Nya al-Karim dalam firman-
Nya:
“Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Rabb-mu (al-Qur-an). Tidak
ada (seorang pun) yang dapat merubah kalimat-kalimat-Nya...” [Al-Kahfi: 27]
َ ْ◌ألَصْ َح ِاب ِه َش ِفيْعً ا ْال ِق َيا َم ِة َي ْو َم َيأْتِي َفإِ َّن ُه ْال ُقر."
" ُئ ْوا ِا ْق َر،آن ِ
“Bacalah al-Qur-an, karena ia akan datang sebagai pemberi syafa’at bagi para pembacanya
di hari Kiamat nanti.” [1]
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 33
kumkum
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Umamah al-Bahili Radhiyallahu anhu.[2]
َ ون الَّذ
َِّين إِن َ ُاب َي ْتل َ ِك َتِ َّ ُون َو َع َال ِن َي ًة سِ ًّرا َر َز ْق َنا ُھ ْم ِممَّا َوأَ ْن َف ُقوا الص ََّال َة َوأَ َقامُوا
َ ار ًة َيرْ ج َ َو َي ِزي َد ُھ ْم أُج
َ ُور ُھ ْم ِلي َُو ِّف َي ُھ ْم َتب
َ ُور َلنْ ت َِج
َْش ُكو ٌر غَ ُفو ٌر إِ َّن ُه ۚ◌ َفضْ لِ ِه ِمن
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan
menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam
dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar
Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari
karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahamensyukuri.” [Faathir: 29-30]
"َ إِ َلى أَ َح ُد ُك ْم َي ْغ ُدو أَ َفال،ِْن َي ْق َرأ ُ أَ ْو َف َيعْ َل ُم ْال َمسْ ِجد ِ ، ِمنْ َل ُه َخ ْي ٌر،ْن
ِ ِك َتابِ ِمنْ آ َي َتي ٌ َ ِمنْ َل ُه َخ ْي ٌر َو َثال،ٍَل ُه َخ ْي ٌر َوأَرْ َب ٌع َثالَث
ِ ث َنا َق َتي
ْ ِمن،إل ِب ِل م َِن أَعْ دَا ِدھِنَّ َو ِمنْ أَرْ َب ٍع ِ ْا."
“Tidakkah salah seorang di antara kalian pada pagi hari bersegera ke masjid, kemudian ia
mengajar atau membaca dua ayat dari Kitabullah, (maka hal itu) adalah lebih baik daripada
dua ekor unta, dan (jika) tiga ayat (maka hal itu) lebih baik dari tiga unta, dan (jika) empat
ayat (maka hal itu) lebih baik dari empat unta, dan begitu seterusnya perbandingan
jumlahnya dengan jumlah untanya.”[4]
Juga diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang terdapat di dalam Shahih
Muslim, Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
" اجْ َت َم َع َو َما،ت ِفيْ َق ْو ٌم ٍ ُبيُوتِ ِمنْ َب ْي ِ ون َ ُاب َي ْتل
َ ِك َت
ِ ارس ُْو َن ُه ْ َع َلي ِْھ ُم َن َز َل، َوغَ شِ َي ْت ُھ ُم ال َّس ِك ْي َن ُة،الرَّ حْ َم ُة
َ َو َي َت َد،ت إِالَّ َب ْي َن ُھ ْم
َو َح َّف ْت ُھ ُم،عِ ْندَ ُه ِف ْي َمنْ ل ُهال َو َذ َك َر ُھ ُم ْال َمالَ ِئ َك ُة."
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 34
kumkum
“Tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu rumah Allah (masjid), sedang mereka
membaca kitab Allah (al-Qur-an) dan mempelajarinya di antara mereka, kecuali akan turun
kete-nangan atas mereka, dan mereka diliputi rahmat Allah, serta para Malaikat
mengelilingi mereka, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menyebut-nyebut
(membanggakan) mereka pada (para Malaikat) yang ada di dekat-Nya.”[5]
At-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari al-Qur-an, maka baginya satu kebajikan, dan
satu kebajikan tersebut dilipat-gandakan menjadi 10 kali lipatnya, aku tidak mengatakan Alif
Lam Mim itu satu huruf, namun Alif satu huruf, Lam satu huruf dan Mim satu huruf.”[7]
Yang terakhir, saya mengangkat sebuah perumpamaan yang diberikan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi siapa saja yang membaca al-Qur-an atau meninggalkannya,
baik dia adalah seorang mukmin maupun seorang munafiq, sebagaimana yang diriwayatkan
oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu, ia berkata,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"ِن َم َث ُل ُ
ِ آن َي ْق َرأ الَّذِي ْالم ُْؤم َ ْ َك َم َث ِل ْال ُقر،ِطيِّبٌ َو َطعْ ُم َھا َطيِّبٌ ِر ْي ُح َھا األ ُ ْترُجَّ ة، ُ
ِ آن َي ْق َرأ الَ الَّذِي ْالم ُْؤم
َ ِن َو َم َث ُل َ ْ َك َم َث ِل ْال ُقر،ِالَ ال َّتمْ َرة
َ َو َطعْ ُم َھا َل َھا ِر، ٌآن َي ْق َرأ ُ الَّذِي ْال ُم َناف ِِق َو َم َث ُل ح ُْلو
يح َ ْ َم َث ُل ْال ُقر،ِ َو َطعْ ُم َھا َطيِّبٌ ِري ُح َھا الرَّ ي َْحا َنة، ٌَّي ْق َرأ ُ الَ الَّذِي ْال ُم َناف ِِق َو َم َث ُل مُر
َ ْْس ْال َح ْن َظ َل ِة َك َم َث ِل ْال ُقر
آن َ مُرٌّ َو َطعْ ُم َھا ِري ٌح َل َھا َلي."
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 35
kumkum
seorang mukmin yang tidak membaca al-Qur-an bagaikan kurma yang tidak berbau namun
rasanya manis. Dan perumpamaan seorang munafik yang membaca al-Qur-an, bagaikan
raihaanah (semacam kemangi-pent) baunya sedap dan rasanya pahit. Perumpamaan
seorang munafik yang tidak membaca al-Qur-an, bagaikan hanzhalah (semacam pare-pent)
tidak mempunyai bau dan pahit rasanya.”[9]
Demikianlah gambaran secara global mengenai keutamaan dan keberkahan ukhrawi dalam
membaca al-Qur-an.
Demikianlah keutamaan dan keberkahan duniawi dan ukhrawi tersebut, sebagaimana yang
telah diterangkan sebelumnya, dan banyak lagi yang lainnya yang telah disediakan oleh
Allah dalam bentuk berbagai kebaikan yang agung dan ganjaran yang besar bagi para
pembaca al-Qur-an.
Dan ada beberapa surat atau pun ayat yang dikhususkan dan dijelaskan keutamaannya oleh
hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang telah kita ketahui bersama
seperti surat al-Fatihah, yang mana kewajiban shalat tidak akan sah kecuali dengan
membacanya, juga dua surat al-Baqarah dan Ali ‘Imran, yang mana Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda tentang keduanya, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
ْ
"ْن ا ْق َر ُئوا َّ ُور َة ْال َب َق َر َة
ِ الزھْ َر َاوي َ آل َوسِ ،ان ِ َي ْو َم أ ِت َي،ِ َكأ َ َّن ُھ َما ْال ِق َيا َمة،ان
َ ان َت َفإِ َّن ُھ َما عِ مْ َر ِ َكأ َ َّن ُھ َما أَ ْو غَ َما َم َت،ان
ِ ان َكأ َ َّن ُھ َما أَ ْو غَ َيا َي َت
ِ ِفرْ َق
ْ َطي ٍْر ِمن، َّص َواف َ انِ َّأَصْ َح ِاب ِھ َما َعنْ ُت َحاج."
“Bacalah az-Zahraawain [10] (dua hal yang bercahaya), yaitu surat al-Baqarah dan Ali
‘Imraan, karena sesungguhnya kedua surat tersebut akan datang pada hari Kiamat nanti,
seperti dua awan yang tebal, atau seperti naungan yang menaungi,[11] atau seperti dua
kelompok burung yang mengembangkan sayapnya di udara, yang akan menolong para
pembaca kedua surat tersebut.
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 36
kumkum
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda tentang surat al-Baqarah ini:
َ س،ِ أَ ْخ َذ َھا َفإِنَّ ْال َب َق َرة، َو َترْ َك َھا َب َر َك ٌة،ٌال َب َط َل ُة َتسْ َتطِ ْي ُع َھا َوالَ َحسْ َرة."
"ُور َة ا ْق َرء ُْوا ْ
Dan dari keberkahan surat al-Baqarah lainnya, bahwa syaitan lari dari rumah yang dibaca di
dalamnya surat al-Baqarah, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadits Nabi
Shallallahu a’alaihi wa sallam.[14] Di dalam surat ini pula, ada ayat kursi yang mana ia
merupakan ayat yang teragung dalam al-Qur-an, dan berisi keberkahan dan keutamaan-
keutamaan, khususnya di dunia maupun di Akhirat.[15] Dan juga dua ayat terakhir dari surat
al-Baqarah ini pun memiliki keuta-maan yang besar.
Adapun surat yang juga dikhususkan memiliki keutamaan adalah surat al-Ikhlas, an-Naas, al-
Falaq dan selainnya.[16]
Setelah kita mengetahui apa yang dikandung dalam membaca al-Qur-an dari keberkahan
yang besar dan keutamaan-keutamaan yang luhur, maka saya akan membahas adab-adab
terpenting me-nurut syari’at ketika akan membaca al-Qur-an, sehingga kita dapat
memperoleh keberkahan dan keutamaan tersebut, dan sempurna-lah tujuan kita dengan
izin Allah Subhanahu wa Ta’ala dan taufik-Nya, dan agar kita tidak gagal dalam meraihnya.
Sesungguhnya yang termasuk adab-adab terpenting dalam membaca al-Qur-an adalah niat
ikhlas hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, seperti firman-Nya:
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 37
kumkum
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama ...” [Al-Bayyinah: 5][17]
Membaca al-Qur-an merupakan ibadah yang mulia seperti yang telah kita ketahui.
Dari Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu
berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‘Sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung dari niatnya, dan setiap orang akan
mendapatkan sesuai dengan yang diniatkannya...’”[18]
Dan di antara adab-adab terpenting ketika akan membaca al-Qur-an adalah menghadirkan
maknanya dalam hati (tadabbur), ikut sertanya hati dan kekhusyu’an. Yang jelas bahwa
perkara yang perlu diperhatikan oleh pembaca al-Qur-an pada saat ia membacanya, bahwa
ia harus menghadirkan makna-makna ayat yang dibacanya dalam hati, memahaminya serta
merenungkannya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan al-Qur-an untuk
direnungkan dan diambil pelajaran di dalamnya, seperti firman-Nya:
“Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya
mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang
mempunyai pikiran.” [Shad: 29]
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 38
kumkum
Pembaca mengikuti tema al-Qur-an; melaksanakan jika ada perintah, menjauh bila ada
larangan, takut pada ayat-ayat yang mengancam, mengharap pada ayat-ayat harapan,
memohon ampunan di saat ayat-ayat ampunan, mengambil pelajaran saat ayat-ayat yang
mengkisahkan orang-orang terdahulu yang shalih maupun yang kafir, meyakini dan
mengimani ayat-ayat yang menerangkan keimanan dan ‘aqidah.[20] Oleh karena itulah,
Salafush Shalih mengamalkan hal-hal tersebut, mereka mempelajari al-Qur-an, meyakininya
dan melaksanakan hukum-hukumnya secara menyeluruh dengan dasar ‘aqidah yang
kuat.[21]
Ada adab-adab lain dalam membaca al-Qur-an yang telah diketahui dan juga sama
pentingnya seperti membaca dengan tartil (perlahan, tidak tergesa-gesa dan menurut
hukum tajwid-pent), memperindah suara, membaca ta’awwudz di awal bacaan dan lain-
lain.[22]
Setelah menyebutkan beberapa contoh ketika para Salafus Shalih mengkhatamkan al-Qur-
an, Imam an-Nawawi berkata: “Pendapat yang terpilih bahwa hal tersebut harus disesuaikan
dengan kondisi pembacanya masing-masing, dan akan berbeda pada setiap orang.
Barangsiapa yang melihat bahwa dengan cara renungan yang mendalam dan wawasan yang
luas dan hal itu menjadi prioritasnya dalam berinteraksi dengan al-Qur-an, maka baginya
cukup dengan apa yang ia sanggup dalam menyelesaikan bacaan al-Qur-annya sehingga ia
dapat memahami apa yang dibacanya. Demikian pula bagi yang sibuk dengan berdakwah
atau hal lainnya yang penting dalam persoalan-persoalan agama dan kebaikan kaum
Muslimin pada umumnya, maka baginya cukup standar ukuran waktu khatam yang dapat
dipenuhinya, dan bagi siapa yang tidak termasuk kelompok orang-orang yang disebutkan di
atas, maka perbanyaklah sesuai sesuai dengan kemampuannya, tanpa melewati batas
kebosanan atau kejenuhan dalam membaca al-Qur-an.[25] Ini merupakan perincian yang
cukup baik menurut saya.
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 39
kumkum
Lalu saya ingin mengingatkan atas bahaya berpaling dari membaca al-Qur-an atau
menolaknya atau lupa akan sebagian ayat-ayatnya atau menggantinya dengan membaca
koran, majalah atau semacamnya, apalagi akhir-akhir ini telah banyak cara yang mudah
untuk belajar al-Qur-an dan mengajarkannya -segala puji bagi Allah atas itu semua-, dan
siapa yang tidak mampu membaca al-Qur-an dengan mush-haf oleh sebab-sebab tertentu,
maka hendaklah ia mendengarkannya dari selainnya secara langsung atau lewat kaset-kaset
al-Qur-an yang telah beredar.
Kita memohon kepada Allah l agar memberikan karunia-Nya kepada kita, yaitu membaca al-
Qur-an dengan bacaan yang benar dan menjadikan kita orang-orang yang menjaga batasan-
batasannya, dan huruf-hurufnya serta memudahkan kita mendapat-kan keberkahannya di
dunia dan akhirat, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala Mahamendengar lagi
Mahamengabulkan do’a.
[Disalin dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, Judul dalam Bahasa Indonesia
Amalan Dan Waktu Yang Diberkahi, Penulis Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-
Juda’i, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Diriwayatkan oleh Muslim (I/553) Kitaabush Shalaatil Musaafir bab Fadhlu Qiraa-atil
Qur-aan wa Suuratil Baqarah.
[2]. Beliau adalah Sudiu bin Ajlan bin Harits Abu ‘Umamah al-Bahili ash-Shahami. Beliau
termasuk dari Sahabat yang banyak meriwayatkan hadits, beliau menetap di Mesir
kemudian pindah ke Himsh dan wafat di sana pada tahun 81 H, dikatakan juga pada tahun
86 h.
[3]. Beliau ‘Uqbah bin ‘Amir bin ‘Abbas al-Juhani, beliau banyak meriwayatkan hadits-hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat dan Tabi’in yang meriwayatkan
darinya. Beliau termasuk kelompok Ahlush Shuffah. Beliau pun seorang penghafal, pandai
dalam ilmu Fara-idh dan Fiqih, sangat fasih berbahasa, seorang penyair dan beliau adalah
salah seorang pengumpul al-Qur-an, ia ikut andil dalam peperangan di Syam, wafat pada
masa Khalifah Mu’awiyah. Lihat Hilyatul Auliyaa’ (I/8), Asaadul Ghaabah (III/550), al-
Ishaabah (II/482) dan Tahdziibut Tahdziib (VIII/242)
[4]. Shahih Muslim (I/553) Kitabush Shalaatil Musaafiriin bab Fadhlul Qiraa-atil Qur-aana fish
Shalaati wa Ta’allumihi.
[5]. Bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, telah disebutkan takhrijnya.
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 40
kumkum
[6]. Lihat Shahih al-Bukhari (VI/106) Kitaab Fadhaa-ilul Qur-aan bab Nuzuulus Sakiinatu wal
Malaaikatu ‘inda Qiraa-atil Qur-aan dan Shahih Muslim (I/548) Kitaabush Shalaatul
Musaafiriin bab Nuzuulus Sakiinatu li Qiraa-atil Qur-aan.
[7]. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (V/175) Kitaab Fadhaa-ilil Qur-aan bab Maa Jaa-a fii Man
Qara-a Harfan minal Qur-aan Maa Lahu minal Ajr, dan beliau berkata, “Hadits ini hasan
shahih.” Diriwayatkan juga oleh ad-Darimi dalam Sunannya secara mauquf (II/429) Kitaab
Fadhaa-ilil Qur-aan. Hadits ini di-shahihkan oleh al-Albani, lihat Shahiih Jami’-ush Shagiir
(V/340).
[8]. Lihat apa yang disebutkan sebagian ulama tentang hikmah dari perumpamaan buah
utrujah tersebut secara khusus, tanpa buah-buah lainnya yang juga harum baunya dan enak
rasanya seperti buah apel, di dalam kitab Fat-hul Baari (IX/66-67) oleh Ibnu Hajar.
[9]. Shahih al-Bukhari (VI/115) Kitaab Fadhaa-ilil Qur-aan bab Itsmu Man Raa’-ya bi Qiraa-atil
Qur-aan au Ta-akkala bihi au Fakhara bihi dan Shahih Muslim (I/549) Kitaabush Shalaatil
Musaafiirin bab Fadhilatu Haafizhil Qur-aan, lafazh hadits ini dari riwayat Muslim.
[10]. Yang bersinar. Asal katanya zahraa’, yaitu putih yang bersinar, dari kitab an-Nihaayah
(II/231) Ibnul Atsir, dengan sedikit perubahan.
[11]. Setiap sesuatu yang dapat menaungi manusia di atas kepalanya seperti awan atau
semisalnya, lihat an-Nihaayah (III/403) oleh Ibnul Atsir.
[12]. Dari Shahih Muslim setelah akhir hadits disebutkan: Mu’awiyah Radhiyallahu anhu
berkata, “Beliau merupakan salah satu perawi hadits tersebut, telah sampai kepadaku
bahwa al-Bathalah adalah penyihir...”
[13]. Bagian dari hadits Abu Umamah al-Bahili Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim dalam Shahihnya (I/553) Kitaabush Shalaatil Musaafiirin wa Qashriha bab
Fadhlu Qiraa-atil Qur-aan wa Suuratil Baqarah.
[14]. Lihat Shahih Muslim (I/539) Kitabush Shalaatil Musaafiir bab Istihbaabu Shaa-latin
Naafilah fii Baitihi wa Jawaazuha fil Masjid.
[15]. Dari kitab-kitab yang khusus membahas ayat ini adalah apa yang dinukil oleh Yusuf al-
Badry dari Tafsiir as-Suyuthi cet. I, ad-Duurrul Mantsur dengan judul Aayatul Kursi,
Ma’aniiha wa Fadhaa-iluha, yang disertai pengantar dan tahqiq.
[16]. Untuk mengetahui hal-hal yang menyangkut surat maupun ayat yang me-miliki
keutamaan lebih secara khusus, lihat kitab Syarhus Sunnah (IV/444-480) oleh Imam al-
Baghawi, Tuhfatudz Dzaakirin (hal. 263-277) oleh asy-Syaukani dan akan dijelaskan lagi pada
pembahasan selanjutnya.
[17]. Dari kitab at-Tibyaan fii Aadabi Hamalatil Qur-aan (hal. 15) oleh Imam an-Nawawi,
dengan sedikit perubahan.
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 41
kumkum
[18]. Shahih al-Bukhari (I/2) Kitaab Bad-ul Wahyi bab Kaifa Kaana Bad-ul Wahyi ilaa
Rasuulillaah j dan Shahih Muslim (III/1515) Kitaabul Imaarah bab Qauluhu, “Innamal A’malu
bin Niyyah.”
[19]. Dari kitab at-Tibyaan fii Aadabi Hamalatil Qur-aan (hal. 18) oleh an-Nawawi.
[20]. Dari kitab Tilaawatil Quraanil Majiid: Keutamaannya, Adabnya, Karak-teristiknya (hal.
76-78) ‘Abdullah Sirajuddin, dengan sedikit perubahan.
[21]. Dari buku Majaalisy Syahri Ramadhaan (hal. 54) oleh Ibnu Taimiyyah.
[22]. Untuk lebih jelasnya dalam masalah ini, lihat kitab at-Tibyaan fii Aadabi Tilaawatil Qur-
aan oleh Imam Nawawi dan buku at-Tadzakkur fii Afdhaalil Adzkaar oleh al-Qurthubi dan
kitab yang semacamnya.
[23]. Ibnul Qayyim menuturkannya dalam kitabnya, al-Waabilush Shayyib (hal. 196-199)
dalam pasal tersendiri dengan membandingkan antara membaca al-Qur-an, dzikir dan do’a,
ini merupakan pembahasan yang sangat bagus.
[24]. Al-Adzkaar (hal. 85) oleh Imam an-Nawawi, dengan sedikit perubahan.
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 42
kumkum
KUBURAN BUKAN TEMPAT MEMBACA AL-
QUR'AN
Oleh
ْ َرس ُْو َل أَنَّ ھ َُري َْر َة أَ ِبيْ َعن َ ُ َقا َل َو َسلَّ َم َع َل ْي ِه: َم َق ِاب َر ُبي ُْو َت ُك ْم َتجْ َعلُ ْوا َال، َّان إِن
ِ صلَّى َ ِف ْي ِه ْق َرأُ ُت الَّ ِذيْ ْال َب ْيتِ م َِن َي ْنفِرُ ال َّشي
َ ْط
ُْال َب َق َر ِة س ُْو َرة
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan, karena sesungguhnya syaithan akan
lari dari rumah yang dibaca surat al-Baqarah di dalamnya.”
TAKHRIJ HADITS
SYARAH HADITS
Hadits ini dengan sangat gamblang menerangkan bahwa kuburan menurut syariat Islam
bukanlah tempat untuk membaca al-Qur'ân. Tempat untuk membaca al-Qur'ân adalah di
rumah atau di masjid. Syariat Islam melarang keras menjadikan rumah seperti kuburan, kita
dianjurkan untuk membaca al-Qur'ân dan melakukan shalat-shalat sunnah di rumah.
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 43
kumkum
Jumhur ulama salaf seperti Imam Abu Hanifah rahimahullah, Imam Mâlik rahimahullah, dan
imam-imam lainnya melarang membaca al-Qur-an di kuburan. Berikut ini nukilan pendapat
mereka.
Imam Ahmad rahimahullah berpendapat bahwa membaca al-Qur'an di kuburan tidak boleh.
Pendapat ini dibawakan oleh Imam Abu Dawud rahimahullah dalam kitab Masâil Imam
Ahmad. Imam Abu Daud rahimahullah mengatakan, “Aku mendengar Imam Ahmad
rahimahullah ketika beliau ditanya tentang membaca al-Qur'ân di kuburan ? Beliau
menjawab, “Tidak boleh.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Dari Imam asy-Syâfi’i rahimahullah
sendiri tidak ada perkataan tentang masalah ini. Ini menunjukkan bahwa (baca al-Qur'ân di
kuburan) menurut beliau adalah bid'ah. Imam Mâlik rahimahullah berkata, “Tidak aku
dapati seorang shahabat pun juga tabi’in yang melakukan hal itu !” [1]
Yang wajib diperhatikan oleh seorang Muslim yaitu tidak boleh beribadah di sisi kuburan
dengan melakukan shalat, berdoa, menyembelih binatang, bernadzar atau membaca al-
Qur'ân dan ibadah lainnya. Tidak ada satupun keterangan yang sah dari Rasûlullâh
Shallallahu 'alaihi wa sallam maupun para Sahabatnya yang mengisyaratkan mereka
melakukan ibadah di sisi kubur. Sebaliknya, yang ada adalah ancaman keras bagi orang yang
melakukan ibadah di sisi kuburan orang shalih, baik dia seorang wali ataupun seorang nabi,
apalagi (jika tempat dia melakukan ibadah itu) bukan (kuburan) orang shalih.[2]
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan ancaman keras bagi orang
yang menjadikan kubur sebagai tempat ibadah. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
Allâh melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani (karena) mereka menjadikan kuburan para
nabi mereka sebagai masjis (tempat ibadah).[3]
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 44
kumkum
Semua kuburan itu sama, tidak ada satupun kuburan yang keramat dan barakah. Dari sini
kita ketahui bahwa orang yang sengaja mendatangi kuburan tertentu untuk mencari
karamat dan barakah, berarti dia telah jatuh ke dalam perbuatan bid’ah atau syirik. Dalam
Islam, tidak dibenarkan untuk sengaja melakukan safar (perjalanan) dalam rangka ziarah ke
kubur-kubur tertentu (dengan tujuan ibadah), seperti, kuburan wali, kyai, habib dan lainnya
dengan niat mencari keramat dan barakah dan melakukan ibadah di sana. Perbuatan seperti
ini terlarang dan tidak dibenarkan dalam Islam. Semua ini termasuk bid’ah dan bisa menjadi
celah yang menggiring sang pelaku ke perbuatan syirik.
َ ْاألَ ْق
َم َسا ِجدَ َث َال َث ِة إِ َلى َّإال الرِّ َحا ُل ُت َش ُّد َال: ْ َمسْ ِج ِدي، َو ْالـ َمسْ ِج ِد َھ َذا،صى َو ْالـ َمسْ ِج ِد ْال َح َر ِام
Tidak boleh mengadakan safar (perjalanan dengan tujuan beribadah) kecuali menuju tiga
masjid, yaitu masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjidil Haram, dam Masjidil Aqsha.[4]
Adapun adab ziarah kubur, kaum Muslimin dianjurkan ziarah ke pemakaman kaum Muslimin
dengan mengucapkan salam dan mendo’akan agar dosa-dosa mereka diampuni dan
diberikan rahmat oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
Di antara faedah lain yang terdapat dalam hadits di atas (“Janganlah kalian jadikan rumah
kalian seperti kuburan…”), yaitu seseorang tidak boleh dikubur di rumahnya. Dia dikuburkan
di pemakaman kaum Muslimin. Karena jika ia dikubur di rumahnya, akan terjadi beberapa
hal berikut :
3. Terhalang dari do’a kaum muslimin yang mendoakan ampunan kepada orang-orang
Muslim yang sudah meninggal ketika mereka ziarah kubur,
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 45
kumkum
4. Akan menyusahkan ahli waris, membuat mereka bosan dan tidak senang, dan jika mereka
ingin menjual rumah tersebut, maka tidak ada harganya (harganya murah).
5. Dan akan tejadi juga di sisi kuburan tersebut hiruk pikuk, senda gurau, hal yang tidak
bermanfaat, dan perbuatan-perbuatan yang haram yang bertentangan dengan syari’at.
Padahal Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berziarah kuburlah, karena itu
akan membuatmu mengingat akhirat.” [5]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XV/Syaban 1432/2011M. Penerbit Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Iqtidhâ’ Shirâtil Mustaqîm (II/264) dan Ahkâmul Janâiz (hlm. 241-242).
[2]. Fat-hul Majîd, Syarh Kitâbut Tauhîd, (Bab 18): “Sebab anak Adam kufur dan
meninggalkan agama adalah karena ghuluw (berlebih-lebihan) kepada orang-orang shalih.”
Dan bab 19: “Ancaman keras bagi orang yang beribadah kepada Allâh di sisi kubur orang
yang shalih, lalu bagaimana jika ia menyembahnya?!” ditulis oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin
Hasan Alu Syaikh, tahqiq: Dr. Walid bin ‘Abdurrahman bin Muhammad Alu Furayyan.
[3]. HR. al-Bukhâri (no. 435, 1330, 1390, 3453, 4441), Muslim (no. 531), dan Ahmad (I/218,
VI/21, 34, 80, 255), dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
[4]. HR. al-Bukhâri (no. 1189) dan Muslim (no. 1397 (511)) dari Abu Hurairah Radhiyallahu
anhu dan diriwayatkan juga oleh al-Bukhâri (no. 1197, 1864, 199) dan Muslim (no. 827) dari
Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu. Derajatnya mutawatir. Lihat Irwâ-ul Ghalîl (III/226,
no. 773).
[5]. Al-Qaulul Mufîd ‘ala Kitâbit Tauhîd (I/445), Syarh Syaikh Muhammad bin Shalih al-
‘Utsaimin rahimahullah
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 46
kumkum
HINDARI KORAN, TADABBURI AL-QUR'AN
Oleh
Sekarang ini membaca koran sudah menjadi rutinitas yang nyaris tidak bisa ditinggalkan
oleh manusia. Dimana-mana tersedia bacaan yang satu ini, di rumah, kantor, restoran,
warung, bahkan sebagian orang ada yang menyempatkan diri membaca koran di toilet.
Seakan koran sudah seperti bacaan wajib bagi mereka. Sikap yang berbeda mereka tujukan
untuk al-Qur’ân, sebuah kitab yang menjadi pedoman hidup. Al-Qur'ân nyaris tidak
tersentuh, apalagi diperhatikan. Mereka lebih hafal nama koran, atau tokoh-tokoh dalam
koran daripada nama surat-surat al-Qur’ân. Bahkan lebih ironinya lagi, banyak dari mereka
yang tampak tekun memelototi koran, ternyata tidak bisa baca al-Qur’ân. Sebegitu
pentingkah berbagai sajian koran bagi mereka ? Sehingga rela meluangkan waktu ditengah
kesibukannya untuk membaca dan mengikuti buah tangan para wartawan.
Allâh Azza wa Jalla telah menyediakan bacaan bagi orang-orang yang beriman. Bacaan yang
sangat berkualitas, berisi hidayah yang menunjukkan hal-hal terbaik bagi mereka.
Membacanya adalah ibadah yang berbuah pahala, bahkan pada setiap huruf dihitung satu
pahala.
ِ َّ َحرْ فٌ َومِي ٌم َحرْ فٌ َو َال ٌم َحرْ فٌ أَ ِلفٌ َو َل ِكنْ َحرْ فٌ آلــم أَ ُقو ُل َال أَمْ َثا ِل َھا ِب َع ْش ِر َو ْال َح َس َن ُة َح َس َن ٌة ِب ِه َف َل ُه
ْا ِك َتابِ ِمنْ َحرْ ًفا َق َرأَ َمن4
"Barangsiapa membaca satu huruf dari kitabullah, maka ia akan mendapatkan satu
kebaikan, dan satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan
alif laam miim adalah satu huruf, tetapi alif itu satu huruf, laam itu satu huruf, dan miim itu
satu huruf" [1]
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 47
kumkum
Al-Qur'an adalah bacaan yang tidak ada kebohongan dan kebatilan di dalamnya, dari depan
maupun dari belakang. Sebuah bacaan yang akan mendatangkan ketenangan jiwa dan
kekhusyukan hati. Itulah al-Qur’ânul Karîm, Kalâmullâh yang diturunkan kepada Nabi-Nya
yang terakhir, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Membaca al-Qur'ân adalah ibadah yang tidak selayaknya diremehkan apalagi ditinggalkan
oleh seorang Muslim. Membaca al-Qur'ân termasuk dzikrullâh yang sangat agung. Allâh
Subhanahu wa Ta'ala telah menjanjikan pahala dan keutamaan yang sangat besar bagi
orang yang senantiasa membaca dan mempelajari al-Qur’ân.
"Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allâh dan mendirikan shalat dan
menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam
dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar
Allâh menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari
karuniaNya. Sesungguhnya Allâh Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri". [Fâthir/35:29-
30]
Dan Allâh Azza wa Jalla telah memerintahkan kita supaya membacanya dengan tartil dan
sungguh-sungguh.
َ اب آ َت ْي َنا ُھ ُم ذ
ِين َ ون أُو ٰ َلئ
َ ِك ت َِال َو ِت ِه َح َّق َي ْتلُو َن ُه ْال ِك َت َ ُون ُھ ُم َفأُو ٰ َلئ
َ ِك ِب ِه َي ْك ُفرْ َو َمن ۗ◌ ِب ِه ي ُْؤ ِم ُن َ ْال َخاسِ ر
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 48
kumkum
"Orang-orang yang telah Kami berikan al kitab kepadanya, mereka membacanya dengan
bacaan yang sebenar-benarnya". [al-Baqarah/2:121]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah menganjurkan kita untuk senantiasa membaca,
mentadabburi, mempelajari, mengajarkan dan memperhatikannya.
ُ
آن ْال َما ِھ ُر
ِ ْآن َي ْق َرأ َوالَّذِى ْال َب َر َر ِة ْالك َِر ِام ال َّس َف َر ِة َم َع ِب ْال ُقر
َ ْاق َع َل ْي ِه َوھ َُو فِي ِه َو َي َت َتعْ َتعُ ْال ُقر ِ أَجْ َر
ٌّ ان َل ُه َش
"Orang yang mahir membaca al-Qur'ân akan bersama rombongan Malaikat yang mulia lagi
terpuji. Dan orang yang terbata-bata dan sulit membacanya akan mendapatkan dua
pahala". [3]
Dan dengan membaca al-Qur'ân, seorang mukmin akan terbedakan dengan fasik, Rasûlullâh
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 49
kumkum
ُ َ َْل َھا ري َح َو َال َطيِّبٌ َطعْ ُم َھا َكال َّتمْ َر ِة َي ْق َرأ ُ َال الَّذِي َو َم َث ُل َطيِّبٌ َوري ُح َھا َطيِّبٌ َطعْ ُم َھا َك ْاأل ُ ْترُجَّ ِة ْال ُقر
ِن َم َث ُل ِ آن ْق َرأ َي الَّذِي ْالم ُْؤم ِ ِ
آن َي ْق َرأ ُ الَّذِي ْال َفا ِج ِر َو َم َث ُل
َ ْآن َي ْق َرأ ُ َال الَّذِي ْال َفا ِج ِر َو َم َث ُل مُرٌّ َو َطعْ ُم َھا َطيِّبٌ ِري ُح َھا الرَّ ي َْحا َن ِة َك َم َث ِل ْال ُقر
َ َْطعْ ُم َھا ْال َح ْن َظ َل ِة َك َم َث ِل ْال ُقر
ٌّيح َو َال مُرَ َل َھا ِر
"Perumpamaan seorang mukmin yang membaca al-Qur'ân adalah seperti al-utrujjah (sejenis
jeruk), aromanya harum dan rasanya enak. Dan perumpamaan seorang mukmin yang tidak
membaca al-Qur'ân adalah seperti buah kurma yang tidak memiliki aroma tapi manis
rasanya. Perumpamaan seorang fasiq yang membaca al-Qur'ân seperti ar-raihaanah,
aromanya wangi tapi rasanya pahit dan perumpamaan seorang fasiq yang tidak membaca
al-Qur'ân seperti al-hanzhalah, rasanya pahit dan tidak memiliki aroma".[4]
Disamping itu, al-Qur'ân juga akan menjadi pemberi syafa'at baginya pada hari Kiamat.
Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
َ ْألَصْ َح ِاب ِه َش ِفيعً ا ْال ِق َيا َم ِة َي ْو َم َي ِجي ُء َفإِ َّن ُه ْال ُقر
آن ا ْق َرؤُ وا
"Bacalah Al-Qur’an, karena ia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at bagi
pembacanya". [5]
Setiap kali membaca al-Qur'ân, seorang Mukmin akan naik derajatnya satu tingkatan.
Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
َ ض َربِّ َيا َي ُقو ُل ُث َّم ْال َك َرا َم ِة ُحلَّ َة َفي ُْل َبسُ ِز ْدهُ َربِّ َيا َي ُقو ُل ُث َّم ْال َك َرا َم ِة َت
اج َفي ُْل َبسُ َحلِّ ِه َربِّ َيا َف َي ُقو ُل ْال ِق َيا َم ِة َي ْو َم ْال ُقرْ آنُ َي ِجي ُء َ ْار
ْضى َعن ُه ْ ْ ْ ُ ُ ً
َ َْح َس َنة آ َي ٍة ِبك ِّل َوت َزا ُد َوارْ قَ اق َرأ َل ُه َف ُي َقا ُل َعن ُه َف َير
"Al-Qur’an akan datang pada hari kiamat seraya berkata, “Wahai Rabbku, hiasilah ia
(penghafal al-Qur’ân).” Maka iapun dipakaikan mahkota kemuliaan. Lalu al-Qur'ân berkata,
“Wahai Rabbku, tambahkanlah untuknya.” Maka iapun dipakaikan jubah kemuliaan. Lalu al-
Qur'ân berkata, “Wahai Rabbku, ridhailah ia.” Maka Allâh pun meridhainya. Kemudian
dikatakan kepadanya (penghafal al-Qur’an), “Bacalah dan naiklah, untuk tiap-tiap ayat akan
ditambahkan bagimu satu pahala.". [6]
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 50
kumkum
Dan masih banyak lagi keutamaan yang disebutkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
tentang keutamaan membaca al-Qur'ân. Lalu pantaskah kita ganti yang lebih utama ini
dengan sesuatu yang rendah ?
Bukankah menyibukkan diri dengan tilâwah al-Qur'ân dan menghafalnya lebih utama
daripada menyibukkan diri membaca koran ?
Mengabaikan al-Qur'ân dan beralih kepada koran akan menyebabkan kekosongan hati dan
kehampaan pikiran. Sebagian orang jahil apabila sedang kosong, ia sibuk menelaah.
Menelaah apa? Menelaah majalah, koran dan tabloid. Bukankah lebih baik mengisi
kekosongan waktu dengan membaca atau menghafal al-Qur'ân ? Terlebih bagi seorang
penuntut ilmu. Bahkan salah satu penyebab seorang penuntut ilmu itu mengalami future
(sindrom) adalah beralih dari al-Qur'ân ke koran.
Termasuk bentuk fitnah pada hari ini adalah promosi-promosi terselubung yang banyak
sebarkan oleh orang-orang kafir dan fasik melalui berbagi media audio visual maupun cetak,
melalui program-program radio dan televisi, majalah, koran, buku dan selebaran-selebaran.
Orang-orang jahil kembali menjadi korban dengan mengkonsumsi barang-barang itu.
Merekapun percaya, meyakini kebenarannya, menggandrunginya dan akhirnya terpedaya.
Tanpa sadar mereka mengagumi keyakinan dan ibadah orang-orang kafir. Orang-orang
awam akan melahap semua yang ada di koran-koran itu.
Ini merupakan bahaya besar yang dapat menerkam setiap orang jahil yang tidak punya
tameng ilmu untuk menangkis syubhat-syubhat tersebut. Sebagian orang yang merasa
berilmu beralasan bahwa kesibukannya membaca koran adalah untuk mengetahui fiqhul
waqi’, mengetahui perkembangan terkini. Inilah syubhat mereka. Sehingga membaca koran
menjadi kegiatan utama sementara membaca al-Qur'ân menjadi kegiatan nomor sekian
bahkan tidak masuk agenda sama sekali.
Syaikh Abdul Mâlik ar-Ramadhâni hafizhahullâh telah membantah syubhat seperti ini. Beliau
hafizhahullâh mengatakan, “Alangkah besar kejahatan para pendidik itu! Karena mereka
telah memalingkan umat dari penyakit sesungguhnya! Lalu bagaimana umat bisa
mendapatkan obatnya?! Betapa besar musibah ini! Musibah yang memalingkan umat dari
jalan Allâh Azza wa Jalla ! Memalingkan umat dari ilmu al-Qur'ân dan as-Sunnah, dari
mengangungkan keduanya dan berkumpul di majelis-majelis Ulama kepada ilmu politik
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 51
kumkum
terkini dan berkumpul mendengarkannya dari media-media informasi politik audio maupun
visual (radio dan televisi), koran-koran maupun majalah! Yang mana kejujuran adalah suatu
hal yang tabu! Bahkan berlalu tanpa acuh di hadapan para pengikut al-Qur'ân dan as-
Sunnah! Hobbi mereka adalah melihat video (film) dan membaca majalah al-Bayân dan as-
Sunnah [7]. Setiap hari, setiap pekan bahkan setiap bulan tidak ada waktu dan
kecenderungan mendengarkan ayat al-Qur'ân! Silakan tanya sendiri, sudah berapa lama
kitab shahîhain (Shahih Bukhâri dan Muslim) nyaris tidak tersentuh sementara tidak
sesaatpun mereka lepas dari koran yang menghidangkan berita-berita terkini dan berita-
berita lalu! Semua urusan terpulang kepada Allâh!
Jangan buru-buru menyanggah! Karena yang saya paparkan tadi bukanlah ilmu hingga perlu
dibahas, itu hanyalah kabar tentang realita yang terjadi!
Abu Nu'aim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab al-Hilyah [8] dengan sanadnya dari
seorang lelaki dari Bani Asyja' ia berkata, "Orang-orang mendengar berita kedatangan
Salman al-Fârisi di masjid. Merekapun ramai-ramai mendatangi beliau Radhiyallahu 'anhu
dan berkumpul di hadapannya, jumlah yang hadir ketika itu mencapai ribuan orang.
Ia melanjutkan, "Salman pun bangkit dan berkata, "Duduklah, duduklah! Setelah semua
hadirin duduk, beliau Radhiyallahu 'anhu membuka majelis dengan membacakan surat
Yûsuf. Seketika saja mereka bubar dan meninggalkan majelis hingga hanya sekitar seratusan
saja yang tersisa. Melihat itu Salmân Radhiyallahu 'anhu marah. Beliau Radhiyallahu 'anhu
berkata, "Apakah kata-kata manis penuh tipuan yang kalian inginkan ? Aku bacakan ayat-
ayat Allâh kepada kalian lalu kalian bubar?!"
Barangkali Salman al-Fârisi Radhiyallahu 'anhu sengaja memilih surat Yûsuf karena di
dalamnya terkandung anjuran qanâ'ah (mencukupkan diri) dengan kisah-kisah yang tersebut
dalam Kitâbullâh, bukan dengan kisah-kisah dan hikayat-hikayat yang digandrungi orang
banyak. Itulah yang disebutkan Allâh Azza wa Jalla :
َ ص أَحْ َس َن َع َلي
ُْك َن ُقصُّ َنحْ ن َ ْال َق
ِ ص
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 52
kumkum
Dan karena mengikuti sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam diminta membacakan kisah-kisah, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
membacakan kepada mereka ayat-ayat yang diturunkan Allâh Subhanahu wa Ta'ala kepada
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam surat Yûsuf ini.
Seperti itu pulalah yang dilakukan oleh Umar Radhiyallahu 'anhu ketika melihat orang-orang
lebih suka membaca kitab yang bercerita tentang keajaiban-keajaiban umat terdahulu.[9]
Semoga Allâh meridhai para Salaf ! Betapa besar kesungguhan mereka dalam mengikuti
sunnah nabi!”
Kemudian beliau melanjutkan, “Umar bin al-Khathtab Radhiyallahu 'anhu serta para sahabat
lainnya telah mendengar desas-desus bahwa raja Ghassân hendak menyerang mereka.
Namun hal itu tidak menghalangi mereka untuk menuntut ilmu dengan alasan mengikuti
perkembangan ! Sangat disayangkan sekali, bila Anda memasuki perpustakaan-
perpustakaan umum yang biasa dikunjungi oleh para pelajar, akan Anda lihat mereka lebih
banyak berkumpul di bagian majalah dan koran-koran sedang asyik mengulas berita.
Padahal perpustakaan itu dipenuhi dengan koleksi kitab-kitab tauhid, tafsir dan hadits.
Jarang sekali Anda lihat mereka menjamah kitab-kitab tersebut kecuali bila terpaksa,
misalnya untuk menulis makalah untuk meraih gelar atau untuk mencari sesuap nasi.
Kecuali segelintir pelajar saja yang memang benar-benar berminat menimba ilmu agama!
Sungguh aneh memang! Berapa banyak diantara mereka yang tidak memiliki buku doa
harian dan dzikir nabawi. Wajar saja karena dzikir dan wirid mereka bersama siaran-siaran
radio dan televisi serta berita-berita koran ! Wallâhul Musta'ân.
Syaikh al-Albâni rahimahullah mengkritik perkataan Nashir al-Umar tentang referensi fiqih
wâqi' yang mengatakan, "Berita politik dan informasi dari media massa merupakan referensi
terpenting sekarang ini. Dalam bentuk media cetak (koran dan majalah) maupun audio
visual (radio dan televisi). Sebagai contoh : koran, majalah, tabloid, bulletin, informasi dari
sejumlah kantor berita internasional, siaran radio dan televisi, kaset, piagam dan beberapa
media informasi modern lainnya"
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 53
kumkum
"Itu musibah! Kita semua tahu bahwa berita yang disebarkan oleh orang kafir ke negara-
negara Islam hanyalah untuk memperdaya kaum Muslimin. Lalu bagaimana mungkin berita-
berita seperti itu digunakan untuk mengetahui situasi dan kondisi ? Sebagai konsekuensinya,
harus dibentuk tim wartawan atau reporter Muslim yang tugasnya khusus mempelajari
berita-berita itu menurut kode etik aqidah dan agama. Tim ini harus independen, tidak
boleh bergantung kepada pihak lain sebagaimana yang Anda singgung tadi. Sumber berita
yang Anda sebutkan tadi tentu tidak sama dengan konsekuensi yang saya sebutkan ini !"
Nashir al-Umar berusaha membela diri, ia mengklaim telah memberi batasan-batasan dan
pantangan-pantangan, ia menyebutkan diantaranya :
"Pertama, memegang teguh kaedah-kaedah dasar syariat, pedoman ilmiah dan logika dalam
menganalisa berita, memprediksi kemungkinan dan meramalkan masa depan.
Kedua, mengecek kebenaran berita dan teliti dalam menyampaikannya. Saya telah
menjelaskan masalah ini sebagai berikut : Tindakan yang tepat, menjauhi bahaya dan
kesalahan serta memperhatikan batasan-batasan tersebut dalam menerima berita."
Syaikh al-Albâni rahimahullah berkata: "Akan tetapi hal itu tidak mungkin diwujudkan. Anda
meletakkan kaedah yang teoritis dan cuma berlaku di atas kertas saja! Hal itu tidak mungkin
diwujudkan kecuali dengan konsekuensi yang saya sebutkan tadi. Dan itu merupakan
tanggung jawab pemerintah, bukan tanggung jawab kelompok tertentu apalagi orang-
perorang. Sebagaimana yang kami ketahui, saluran radio BBC London bukanlah milik
pemerintah, namun milik perusahaan swasta.
Syaikh rahimahullah melanjutkan: "Jadi harus ada lembaga atau badan yang didirikan atas
kesepakatan negara-negara Islam untuk melaksanakan fardhu kifâyah ini dalam rangka
membantu memahami berita-berita tersebut. Jika pemerintah tidak sanggup -–dalam hal ini
pemerintahlah yang paling berhak dan paling kuasa melaksanakan fardhu kifayah tersebut--
barulah badan-badan swasta yang ditangani oleh kaum Muslimin yang punya kepedulian
dalam masalah ini yang melaksanakannya. Mereka harus menugaskan pekerja-pekerjanya
untuk menukil berita-berita itu, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang kafir. Jika hal
itu terlaksana barulah kita tidak lagi bergantung kepada pihak lain dalam mengolah berita
musuh dan seteru kita. Kemudian barulah kita coba menerapkan batasan-batasan yang
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 54
kumkum
Anda sebutkan tadi. Sebab, tidak seorangpun dapat memastikan kebenaran berita-berita itu
selama masih bersumber dari orang-orang kafir. Sama halnya bila kita ingin memastikan
kebenaran sejumlah berita dalam Taurat dan Injil, manakah yang benar dan mana yang
salah. Hal itu hanya dapat dilakukan setelah membandingkannya dengan berita orang yang
terpercaya lagi tsiqah.....Jika mereka itu tidak ada, maka putuslah mata rantai orang-orang
yang ingin menyelami fiqh waqi' dan hanya bersandar kepada berita-berita yang datang dari
negera kafir dan sesat serta berita-berita dari orang fasik dan jahat. Maka tidaklah mungkin
merealisasikan gagasan-gagasan Anda itu. Oleh sebab itu, fiqh waqi' seperti yang Anda
sebutkan itu hanyalah teori belaka, tidak mungkin diwujudkan di alam nyata. Kecuali dengan
mendirikan suatu badan yang menugaskan beberapa orang untuk menukil berita lewat jalur
terpercaya sebagaimana halnya proses pengolahan berita yang tertuang dalam ilmu
mushtalah hadits."
al-Umar berkata, "Bagaimana jika kita menunggu sampai hal itu ada, wahai Syaikh?"
al-Umar berkata, "Bukankah kita boleh mengambil faedah dari sebagian orang, wahai
Syaikh...."
Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata, "Apa sandaran fiqih yang mereka
sebut fiqh waqi' itu ? Apakah koran, majalah dan siaran-siaran radio ? Bukankah berita-
berita koran, majalah dan radio itu banyak bohongnya ? Media-media informasi cetak
maupun eletronik sekarang ini tidak bisa dijadikan sandaran. Boleh jadi beberapa rancangan
terdahulu sudah basi karena keadaan ternyata berubah! Bilamana seorang yang berakal
memperhatikan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu dua puluh tahun
terakhir ini tentu ia dapat mengetahui bahwa seluruh prediksi yang mereka sebutkan itu
tidak lagi riil. Oleh sebab itu menurut kami memalingkan para pemuda dari menuntut ilmu
agama dan mengalihkannya kepada berita-berita fiqih waqi' itu, membolak-balik majalah,
koran dan mendengar siaran-siaran berita merupakan penyimpangan manhaj!"[11]
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 55
kumkum
Itulah nasihat dari para ulama rabbani kepada umat khususnya kepada para pemuda dan
kalangan penuntut ilmu. Janganlah terpedaya dengan syubhat-syubhat yang menyesatkan,
sehingga kita terpalingkan dari kebenaran dan hidayah, wallahul musta’ân.
_______
Footnote
[1]. HR at-Tirmidzi dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, dan dishahihkan oleh al-
Albâni rahimahullah dalam Silsilah Shahihah (3327).
[6]. HR Tirmidzi dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dan dihasankan oleh al-Albâni dalam
Shahihul Jâmi’ (8030).
[7]. Majalah al-Bayân dan as-Sunnah yang diterbitkan oleh Yayasan Muntada Islami
Birmingham London UK yang dikepalai oleh Muhammad Surur! Bukan majalah as-Sunnah
kita ini, seperti yang dikira oleh sebagian penyebar fitnah berusaha melakukan kebohongan
publik dan fitnah keji, wallahul musta’aan.
[9]. Diriwayatkan oleh Ibnul Dharis dalam Fadhâilul Qur'ân (88) dan al-Khathib dalam al-
Jâmi' (1490), dicantumkan juga oleh Ibnul Jauji dalam kitab Tarikh Umar, hlm. 145.
[10]. Dinukil dari kaset Silsilatul Huda wan Nûr bertajuk Fiqhul Waqi', berisi rekaman dialog
antara Syaikh al-Albâni rahimahullah dengan Nashir al-Umar pada tahun 1412 H.
[11]. Dinukil dari kaset bertajuk: "Dialog Syeikh Abul Hasan Al-Ma'ribi dengan Syeikh Ibnu
Baz dan Ibnu Utsaimin"
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 56
kumkum
ADAKAH AYAT AL-QUR'AN YANG MANSUKH?
Soal:
Ringkasan pertanyaan:
4. Benarkah pendapat “tidak ada nasikh mansukh dalam Al-Qur’an” adalah pendapat
golongan Mu’tazilah?
Jawaban.
Nasikh dan mansukh dalam Al Qur’an itu ada. Dan untuk melengkapi jawaban ini, silahkan
simak Rubrik Fiqih edisi 3 ini.
Jawab:
Ayat 27 surat Al-Kahfi yang dimaksudkan berbunyi: َِل َك ِل َما ِت ِه ُم َب ِّد َل ال
Tidak ada (seorangpun) yang dapat merobah kalimat-kalimat-Nya. [Al Kahfi :27]
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 57
kumkum
Yaitu kalimat-kalimat Allah yang ada dalam Al-Qur’an tidak akan ada seorangpun yang dapat
merobahnya dan menggantinya. Dan begitulah kenyataannya. Semenjak Al-Qur’an
diturunkan oleh Allah Azza wa Jalla, tidak ada siapapun yang dapat merubahnya dan
menggantinya, kecuali Allah sendiri secara langsung atau lewat rasulNya berdasarkan wahyu
Allah. Dan ayat ini sama sekali tidak menolak adanya ayat Al-Qur’an yang mansukh
sebagaimana telah kami jelaskan di atas.
Adapun perkataan Ustadz Abdul Qadir Hassan rahimahullah tentang ayat ini (beliau
berpendapat “tidak ada ayat mansukh dalam Al-Qur’an”): “Menurut ayat ini, nyata tidak
seorangpun dapat atau berhak merobah firman-firman Allah. Maka tidak patut kita
mengatakan “ini mansukh” “itu mansukh”, kalau tidak ada keterangan dari yang mempunyai
firman itu”. [1]
Benar bahwa kalau tidak ada keterangan dari Alloh yang mempunyai firman itu tidak
seorangpun berhak merobah firman-firmanNya. Oleh karena itulah banyak ulama ushul fiqih
yang menyatakan bahwa Naasikh (Yang menghapuskan hukum) pada hakekatnya adalah
Alloh. Sehingga yang menjadi naasikh adalah dalil Al-Kitab dan As-Sunnah. Adapun ijma’
atau qiyas tidak menjadi nasikh.
Dan telah datang keterangan dari Alloh yang mempunyai firman itu, atau dari Rasulnya, atau
penjelasan para sahabat –yang mereka adalah manusia terbaik setelah para nabi- tentang
mansukhnya sebagian ayat Al-Qur’an. Sebagaimana hal itu disebutkan oleh para ulama ahli
ushul fiqih. Dan adanya ayat Al-Qur’an yang mansukh oleh ayat lainnya dalam Al-Qur’an
telah terjadi ijma’ padanya, sebagaimana akan kami sampaikan insya Alloh. Sedangkan ijma’
adalah haq, karena umat Islam tidak akan bersatu di atas kebatilan.
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 58
kumkum
Kebatilan tidak akan datang kepadanya (al-Qur'an) baik dari depan maupun dari
belakangnya, yang diturunkan dari (Rabb) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. [Al-
Fushilat :42]
Ayat ini dipakai dalil oleh Abu Muslim Al-Ashfahani, seorang Mu’tazilah, tentang tidak
adanya naskh dalam Al-Qur’an, karena dia menganggap naskh merupakan kebatilan. Namun
pemahaman tersebut tidak benar!
Tentang maksud ayat ini, Syeikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata:
“Yaitu: Syaithon dari kalangan syaithon-syaithon jin dan manusia tidak akan mendekatinya,
baik dengan mencuri (dengar-red), memasukkan sesuatu yang bukan darinya kepadanya,
menambah, ataupun mengurangi. Maka Al-Qur’an itu terjaga di saat turunnya, terjaga
lafazh-lafazhnya dan makna-maknanya. (Alloh) Yang telah menurunkannya telah menjamin
penjagaannya, sebagaimana Dia berfirman: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-
Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.[Al Hijr:9] [2]
Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi berkata: “Sisi pertama: Sesungguhnya yang
dimaksudkan dengan firman Allah: “Kebatilan tidak akan datang kepadanya (al-Qur'an)”,
mungkin kebatilan (dalam ayat ini) maknanya adalah kedustaan. Yaitu: kedustaan tidak akan
menyusulnya. Atau, kemungkinan yang dimaksudkan adalah bahwa kitab (Al-Qur’an) ini
tidak didahului oleh kitab Allah Ta’ala yang membatalkannya, dan tidak akan datang
setelahnya (kitab) yang akan membatalkannya. Sisi kedua: Kita menerima bahwa naskh
adalah membatalkan hukum, sedangkan kebatilan (artinya) bukanlah membatalkan.
Kebatilan adalah kebalikan dari al-haq, sedangkan naskh adalah haq, tidak ada sisi kebatilan
padanya. Dan kita mungkin menambahkan sisi yang ketiga: yaitu bahwa yang dimaksudkan
dengan kebatilan adalah perobahan dan penggantian sebagaimana terjadi pada kitab-kitab
dahulu. Maka kebatilan dengan makna ini tertolak sama sekali dari Al-Qur’an. [Araul
Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal: 428-429, Syeikh Dr. Ali bin Sa’id bin Sholih Adh-Dhuweihi]
Maka ayat ini sama sekali tidak menolak adanya ayat Al-Qur’an yang mansukh, karena
adanya ayat yang masukh bukanlah kebatilan, bahkan itu adalah haq, dan telah terjadi ijma’
tentang hal itu.
3. Bagaimana ucapan Abu Muslim Al-Ashfahani: “Di dalam Al-Qur’an tidak ayat yang
mansukh!”.
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 59
kumkum
Jawaban:
Menangapi perkataan Abu Muslim di atas, para ahli ushul berbeda pandangan, menjadi
beberapa kelompok:
1. Bahwa Abu Muslim menolak adanya naskh di dalam syari’at, namun dia membolehkannya
menurut akal.
Al-Amidi rahimahullah berkata: “Pengikut syari’at-syari’at telah sepakat atas bolehnya naskh
secara akal dan terjadinya secara syari’at, dan tidak ada yang menyelisihi di antara umat
Islam dalam hal itu kecuali Abu Muslim Al-Ashfahani. Dia menolak hal itu secara syara’ dan
membolehkannya secara akal ”. [3]
Bahwa Abu Muslim menolak adanya naskh (yang mansukh) dalam ayat Al-Qur’an, menurut
akal, namun dia mengakui adanya di dalam syari’at.
Muhammad bin Umar bin Al-Husain Ar-Roozi (wafat 606 H) berkata: “Umat telah sepakat
atas bolehnya naskh (di dalam) Al-Qur’an. Namun Abu Muslim Al-Ashfahani mengatakan:
“Tidak boleh”. [4]
Jika memang kemungkinan 1 atau 2 ini pendapat Abu Muslim Al-Ashfahani, maka
pendapatnya tertolak dengan ijma’ dan dalil-dalil lainnya yang telah kami sampaikan.
2. Bahwa Abu Muslim tidak menolak adanya naskh, namun dia menamakannya dengan
“takhshiish zamaniy”. Yaitu bahwa hukum itu berlaku pada waktu yang dikhususkan
sebelum turunnya naasikh. Jika memang ini pendapat Abu Muslim Al-Ashfahani, maka dia
hanyalah menyelisihi penamaan, bukan menyelisihi hakekat adanya naskh. Ini berarti tidak
ada satu orangpun di kalangan ulama’ umat Islam yang mengingkari naskh dalam Al-Qur’an!
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 60
kumkum
(nampaknya sesuatu terhadap Alloh yang sebelumnya samar). Demikian juga adanya naskh
nyata secara syara’, dalilnya adalah firman Allah.
نس ْخ َما
َ َءا َي ٍة ِمنْ َن
Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya. [An
Nahl :101]
Dan pengingkaran Abu Muslim Al-Ashfahani (dia ini seorang Mu’tazilah!) terhadap naskh,
maknanya adalah bahwa dia condong kepada (pendapat) bahwa naskh adalah
pengkhususan pada zaman, bukan menghilangkan hukum, sebagaimana telah terdahulu
penjelasannya”. [Mudzakiroh, hal: 126-127]
Bagaimanapun juga, maka pendapat Abu Muslim di atas adalah pendapat yang sangat ganjil
di kalangan ulama Islam. Abul Husein Al-Bashri berkata: “Umat Islam telah sepakat tentang
bagusnya naskh syari’at-syari’at, kecuali satu hikayat ganjil dari sebagian umat Islam, bahwa
naskh itu tidak bagus”. [Al-Mu’tamad 1/370]
Imam Asy-Syaukani berkata: “Naskh boleh secara akal dan terjadi secara sam’ (agama).
Tidak ada perselisihan dalam hal ini di antara umat Islam, kecuali yang diriwayatkan dari Abu
Muslim Al-Ashfahani, dia mengatakan bahwa naskh boleh (secara akal) namun tidak terjadi
(secara syari’at). Jika (perkataan) ini benar darinya, maka ini dalil bahwa dia adalah seorang
yang bodoh terhadap syari’at Nabi Muhammad dengan kebodohan yang sangat buruk. Dan
lebih mengherankan lagi daripada kebodohannya adalah hikayat orang yang
menghikayatkan darinya: adanya perselisihan di dalam kitab-kitab agama. Karena
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 61
kumkum
sesungguhnya yang dianggap (perselisihan) adalah perselisihan ahli ijtihad, bukan dengan
perselisihan orang yang kebodohannya telah sampai pada puncak ini”. [5]
4. Benarkah pendapat “tidak ada nasikh mansukh dalam Al-Qur’an” adalah pendapat
golongan Mu’tazilah?
Jawaban:
Itu bukan pendapat Mu'tazilah. Karena orang-orang Mu’tazilah, seperti Al-Qodhi Abdul
Jabbar, Abul Husein Al-Bashri, mengakui adanya naskh. Pendapat di atas adalah pendapat
ganjil dari Abu Muslim Al-Ashfahani, seorang Mu’tazilah.[6]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VIII/1425H/2004. Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp.
0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Ushul Fiqih, hal: 60, penerbit: Fa. Al-Muslimun Bangil, cet: 2, th: 1964
[3]. Al-Ihkam 3/115, dinukil dari Aroul Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal: 427, Syeikh Dr. Ali bin
Sa’id bin Sholih Adh-Dhuweihi
[5]. Irsyadul Fuhul, hal: 185, dinukil dari Aroul Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal: 426, Syeikh Dr.
Ali bin Sa’id bin Sholih Adh-Dhuweihi
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 62
kumkum
PENYELEWENGAN TERHADAP AYAT : (INGATLAH)
SUATU HARI (YANG PADA HARI ITU) KAMI PANGGIL
TIAP UMAT DENGAN PEMIMPINNYA..
Oleh
(Ingatlah) suatu hari (yang pada hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya..[al-
Isra : 71]
Sebagian kelompok, dengan sengaja melakukan penafsiran yang dipaksakan atas ayat
tersebut, berkaitan dengan penyebutan kata "imam". Mereka melakukan penyelewengan
terhadap makna ayat. Ini dilakukan untuk mendukung kepentingan golongan atau
kelompoknya supaya bisa tetap eksis, dan para tokohnya teropini sebagai sosok yang hebat,
lantaran akan dipanggil oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala saat hari Kiamat kelak. Para
pengikutnya pun dibuat tercengang dengan tafsiran tersebut.
Di antara golongan yang "memanfaatkan" ayat ini ialah Islam Jama'ah, yang kini bernama
Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Kelompok yang sudah berulang kali berganti nama
ini memelintir kandungan ayat di atas. Mereka memberi penafsiran, yang isinya diarahkan
kepada pemimpin LDII, yaitu Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol). Berdasarkan
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 63
kumkum
penuturannya dalam "tafsir manqul" miliknya, ia berkata: "Pada hari kami panggil setiap
manusia dengan imam mereka, sehingga yang tidak punya amir, maka akan masuk neraka".
Penyebutan kata "imam" yang dimaksud oleh LDII ialah amir mereka, yaitu Nur Hasan.
Keterangan ini dituturkan oleh mantan tokoh besar LDII yang telah sadar, yaitu Ustadz
Hâsyim Rifâ'i yang pernah berguru selama 17 tahun kepada Nur Hasan 'Ubaidah Lubis,
pendiri LDII.[1]
Kalangan lainnya, yaitu Sufi, juga berkepentingan memegangi ayat ini untuk
mempropagandakan thariqat-thariqat yang sebenarnya tidak pernah dicetuskan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kalangan Sufi menggiring jamaah-jamaahnya untuk taat
kepada para syuyûkh (guru) penggagasnya secara mutlak. Padahal dari ayat tersebut tidak
ada muatan sedikit pun yang bisa mendukung klaim mereka. Hal ini akan menjadi jelas dari
dua sisi.[2]
Pertama : Para ulama besar dari kalangan ahli tafsir tidak ada satu pun dari mereka yang
memaknai kata "imam" dengan makna "syaikh-syaikh tarikat". Orang-orang yang ahli dalam
bidang tafsir pada masa lalu, seperti Ibnu 'Abbâs, al-Hasan al-Bashri, Mujâhid, Qatâdah, adh-
Dhahhâk, mereka memberi penafsiran kata "imam" dengan makna kitab yang berisi amalan-
amalan. Demikian pula Imam al-Qurthubi rahimahullah dan Imam Ibnu Katsir rahimahullah
merajihkan pengertian ini dengan merujuk firman Allah pada surat Yâsîn/36 ayat 12.
Menurut al-Qâsimi rahimahullah, yang dirajihkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah itulah
pendapat yang benar. Karena Al-Qur`ân menjelaskan sebagian ayatnya dengan sebagian
lainnya. Dan yang pertama kali perlu diperhatikan dalam memahami makna-makna ayat-
ayat Al-Qur`ân, yaitu dengan mengacu pada ayat-ayat yang semakna.
Kedua : Seandainya yang dimaksud dengan "imam" adalah syaikh thariqah –sebagaimana
klaim kalangan Sufi–, maka pernyataan ini tidak bisa dijadikan dalil untuk menunjukkan
tingginya kedudukan syaikh atau keharusan untuk memuliakannya. Sebab, panggilan
dengan namanya tidak mesti menunjukkan keutamaan diri seseorang.
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 64
kumkum
Seperti sudah diketahui, sejumlah orang mudah mengekor setiap penyeru dan menyambut
setiap ajakan. Tidak aneh jika mereka menyambut para tokoh kesesatan pula. Karena itu,
diriwayatkan dari sejumlah ulama tafsir dari Ibnu 'Abbas, berkata tentang tafsir kata "imam
mereka" dalam ayat, yaitu "imam dalam hidayah dan imam dalam kesesatan".[3]
Keterangan ini juga telah disinggung oleh Ibnu Katsir. Kata beliau: "Mungkin saja pengertian
dari "imam mereka", maksudnya ialah setiap kaum (dipanggil) dengan orang yang mereka
ikuti. Orang-orang beriman akan mengikuti para nabi, dan orang-orang kafir akan mengikuti
para tokoh mereka. Allah telah berfirman, yang artinya: Dan Kami jadikan mereka
pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka …. (al-Qashash/28:41).
Mujahid berkata,"Imam, ialah orang yang diikuti. Maka nanti akan dipanggil, datangkanlah
para pengikut Nabi Ibrahim, datangkanlah para pengikut Musa, datangkanlah para pengikut
setan, datangkanlah para pengikut berhala-berhala. Orang-orang yang berada di atas al haq,
akan mengambil kitab (amalan) mereka dengan tangan kanan. Dan para penganut kebatilan
akan mengambil kitab (amalan) mereka dengan tangan kiri".
Apabila telah jelas bahwa "imam" itu bisa bermakna panutan dalam hidayah atau panutan
dalam kesesatan; bisa juga seorang nabi, setan yang terkutuk, maupun berhala dan para
pemuja (penganut)nya akan dihimpun di bawah panji sang panutan, baik ia panutan dalam
kebaikan maupun dalam kejelekan, jika telah jelas hakikat ini; maka status seorang syaikh
thariqat sebagai imam bagi para jamaahnya, tidak otomatis mengindikasikan
keutamaannya. Bahkan tetap saja, penilaian terhadap diri syaikh thariqat ini tergantung
kepada amalan-amalan, ucapan-ucapan dan ajaran-ajarannya yang ditimbang dengan ajaran
Rasulullah, sehingga ia pun menjadi panutan dalam hidayah jika bertumpu pada ajaran-
ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebaliknya, bisa jadi ia menjadi panutan
dalam kesesatan seiring dengan penyelewengannya dari Al-Qur`ân dan as-Sunnah.
Seandainya yang menjadi "imam" mereka al-Kitab dan as Sunnah, niscaya mereka tidak
membutuhkan penerapan berbagai ibadah yang tidak pernah diajarkan dalam al-Kitab dan
as-Sunnah
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 65
kumkum
Al-Fûti berkata: "Pada hari Allah memanggil manusia dengan nama syaikh mereka dan
memanggil mereka untuk mendekati syaikh mereka di atas kedudukannya … kalau para
jamaah dipanggil dengan nama-nama syaikh (thariqah) mereka dan Allah memanggil para
ahli thariqat untuk menuju tempat syaikh mereka dan menempatkannya pada derajat
syaikh, maka menjadi jelas dengan sedikit pencermatan saja, bahwa para penganut penutup
para wali (Ahmad at-Tijani) yang bergantung kepadanya, selalu konsisten dengan wirid-wirid
dan dzikir-dzikirnya, sehingga tidak ada orang lain yang mampu menyamai derajat mereka,
kendatipun mereka itu ahli ma'rifah, shiddiqîn dan para aghwâts, selain para sahabat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari sini, kalangan awam tarikat Tijaniyyah lebih
afdhol daripada yang lainnya". Lihat ar-Rimâh, 2/29.
Al-Fûti kian menampakkan rasa percaya diri terhadap kehebatan thariqatnya, dengan
perkataannya: "Sungguh, seluruh wali akan memasuki kelompok kita, akan mengambil
wirid-wirid kita, dan konsisten dengan thariqat kita, (wali-wali Allah) dari zaman pertama
kali muncul kehidupan sampai hari Kiamat. Bahkan bila Imam Mahdi telah bangkit di akhir
zaman, ia akan mengambil (ajaran) dari kita dan masuk kelompok kita". Lihat ar-Rimâh,
2/29.
Ini sebuah klaim yang membutuhkan burhân (petunjuk) dan dalil yang kuat. Bagaimana
mungkin orang-orang yang telah meninggal sebelum Ahmad at-Tijâni dilahirkan itu
bergabung dengan thariqatnya? Sungguh suatu anggapan aneh yang sangat nyata.
Di bagian lain al-Fûti mengomentari orang-orang yang berada di luar thariqatnya. Dia
berkata: "Adapun orang-orang yang masih berada dalam kegelapan, kebodohan, kesesatan
dan kezhaliman (maksudnya, orang-orang yang belum mengikuti Tijâniyyah), tidak ada
penghalang bagi mereka untuk bersandar dengan syaikh kami Ahmad at-Tijâni, padahal
telah begitu nampak kemuliaan dan keutamaan thariqatnya, serta keistimewaan para
pengikutnya; seperti terangnya sinar matahari siang hari di musim panas, kecuali mereka
akan tercampakkan dari rahmat Allah Ta'ala, terhambat dari kebaikan, mendapat laknat,
kecelakaan dan kerugian". Lihat ar-Rimâh, 2/44.
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 66
kumkum
Seorang dai Tijâni bernama Ibrahîm Nayyâs, ia berkata: "Berdasarkan sebagian pengertian
yang dikandung oleh ayat-ayat ini, engkau bisa mengetahui bahwa orang yang memperoleh
taufik dari Allah untuk bergabung dengan thariqat kami, niscaya kebahagiaannya di dunia
dan akhirat sempurna, dan ia termasuk orang yang dicintai dan diterima di sisi Allah, walau
bagaimanapun kondisinya". Lihat as-Sirrul-Akbar wan-Nûrul-Abhar, hlm. 416).
Begitu pula salah seorang dari kalangan thariqat Rifâ'iyyah. Setelah menunjukkan
kemampuan syaikhnya yang luar biasa, seperti menempuh jarak sejauh perjalanan 100
tahun hanya dengan satu langkah saja, mengetahui bahasa-bahasa burung, dan lain-lain, ia
berkata: "Pegangilah ujung-ujung pakaiannya. Jadilah engkau orang yang duduk di
majlisnya. Jangan sekali-kali menjauh dari kehidupannya dan mintalah syafaat dengan
namanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak akan
menolak permohonan syafaatmu melalui namanya. Karena ia termasuk ahli bait yang mulia.
Sungguh orang-orang besar, tokoh-tokoh …, mereka semua telah mengetahui bahwa
tarikatnya merupakan jalan keselamatan dan keamanan. Kecintaan terhadapnya termasuk
faktor paling efektif untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka
mengharuskan diri dan keluarga mereka untuk berpegang dengan janjinya, dan komitmen
dengan thariqatnya" Lihat ar-Rimâh, 2/25, 1/349-350.
Oleh karena itu, setiap kaum Muslimin harus waspada. Jalan selamat dalam beragama ialah
dengan mengikuti pemahaman generasi Salaf, yaitu jalan yang penuh hikmah dan
berdasarkan ilmu.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XI/1428H/2008. Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-761016]
_______
Footnote
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 67
kumkum
TILAWAH Al-QUR’AN DAN ADAB-ADABNYA
Seorang muslim meyakini kesucian dan keutamaan kalamullah, kalam yang paling utama
dan sempurna; tidak ada cela dan kebatilan sedikitpun padanya. Al-Qur`an merupakan
sebaik-baik dan sebenar-benarnya kalam, barangsiapa yang berhukum dengan Al-Qur`an
pasti ia akan berada di atas keadilan dan jauh dari kezhaliman. Dan barangsiapa yang
berpegang teguh dengan Al-Qur`an (dan Al-Hadits) sebagai jalan hidupnya dalam segala
aspek kehidupanya maka -dengan idzin Allah Ta'ala- hidupnya akan sukses di dunia hingga di
akhirat kelak. Namun hal itu tidak akan bisa tercapai kecuali jika kita mempelajari dan
melaksakannya dalam kehidupan sehari-hari. Maka kita -sebagai seorang muslim- tidaklah
pantas melupakan Al-Qur`an dan mengambil hukum lain dalam menyelesaikan
permasalahan hidup. Dengan tilawah (membaca) dan memahami Al-Qur`an terus menerus,
sedikit demi sedikit, Insya`Allah akan kita dapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan yang
menambah keimanan kita.
Sebelum memasuki pembahasan inti (Tilawah Al-Qur`an & adab-adabnya) sebaiknya kita
ketahui terlebih dahulu tentang makna Al-Qur`an, keutamaan – keutamaannya dan
kewajiban-kewajiban yang bertautan dengannya, agar menambah semangat dalam Tilawah
dan menjaga adab-adab terhadapnya.
MAKNA AL-QUR'AN
Al-Qur`an ( )القـــرآنadalah bentuk masdar dari kata ( ) قــرأ وقرآنا ً يقــــرأyang memiliki dua
makna: (“ )تـــالTalaa” atau (“ )جمعJama`a”. Maka ma`nanya:
• ( )جمعmenjadi mashdar, maka ma`nanya menjadi Isim Fa`il atau Kumpulan dari berbagai
macam khabar-khabar dan hukum-hukum.
2. Secara syari`at
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 68
kumkum
Al-Qur`an adalah kalamullah Ta`ala yang diturunkan kepada rasul-Nya dan penutup para
nabi, yaitu Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diawali dengan surat Al-Fatihah
dan diakhiri dengan surat An-Nas.
Allah Ta'ala telah menjamin Al-Qur`an yang agung ini dari perubahan; penambahan dan
pengurangan ataupun pergantian. Dia berfirman:
Telah berlalu masa yang cukup lama semenjak Al-Qur`an diturunkan ( kurang lebih 15 abad)
namun kitab yang suci ini tidak mengalami perubahan, penambahan, pengurangan atau
penggantian ini semua menunjukan kebenaran janji Allah Ta'ala . [Lihat: Kitab Al-Ushul fit-
Tafsir oleh: Syaikh Al-Utsaimin, hal: 10]
Seorang hamba yang telah menyatakan dirinya muslim dan beriman kepada Allah, Malaikat-
Nya, Kitab-kitab-Nya dan rukun iman lainnya, maka ia mempunyai kewajiban terhadap Al-
Qur`an, yang merupakan salah satu dari kitab-kitab Allah Ta'ala. Kewajiban-kewajiban itu
antara lain:
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 69
kumkum
1. Beriman terhadap Al-Qur`an. Konsekwensi pertama keimanan seorang mu`min terhadap
Al-Qur`an adalah mempelajarinya, membacanya sekaligus mentadabburinya untuk
mendapatkan nasehat dan pelajaran yang ada di dalamnya. Sebagaimana salah satu sifat Al-
Qur`an adalah sebagai mau’izhah (nasehat; pelajaran). Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
رَّ ِّب ُك ْم مِّن م َّْوعِ َظ ٌة َجآ َء ْت ُكم َق ْد ال َّناسُ َيآأَ ُّي َھا
Hai sekalian manusia telah datang kepada kalian mau’izhah dari Rabb kalian. [Yunus : 57]
َ أَ ْق َو ُم ھ
َ ِي ِللَّتِي َي ْھدِي ْال ُقرْ َء
َّان َھ َذا إِن
Sesungguhnya al-Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus. [Al-
Isra`:9]
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 70
kumkum
1. Orang yang mempelajari, mengajarkan, dan mengamalkan Al-Qur`an termasuk insan yang
terbaik, bahkan ia akan menjadi Ahlullah (keluarga Allah). Rasulullah Shallallahu 'alihi wa
sallam bersabda.
Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkanya” [HR Bukhari]
[HR. An-Nasa`i, Ibnu Majah, Al-Hakim. Lihat: Kitab Minhajul Muslim. hal. 70]
َ ِْألَصْ َح ِاب ِه َش ِفيعً ا ِة ْال ِق َيا َم َي ْو َم َيأْتِي َفإِ َّن ُه ْال ُقر
آن ا ْق َرءُوا
Bacalah Al-Qur`an, sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat memberikan syafaat bagi
pembacanya”.[1] [HR. Muslim, dari Abu Umamah Al-Bahili]
ْ ُ
ب ُي َقا ُل
ِ ِصا ِح ِ َْت ْق َرأ َھا آ َي ٍة آخ ِِر عِ ْندَ َم ْن ِز َل َت َك َفإِنَّ ال ُّد ْن َيا فِي ُت َر ِّت ُل ُك ْنتَ َك َما َو َر ِّت ْل َوارْ َت ِق ا ْق َرأ ْال ُقر
َ آن ل
Dikatakan kepada Shahibul Qur`an (di akhirat): “Bacalah Al-Qur`an dan naiklah ke surga
serta tartilkanlah (bacaanmu) sebagai mana engkau tartilkan sewaktu di dunia.
Sesungguhnya kedudukan dan tempat tinggalmu (di surga) berdasarkan akhir ayat yang
engkau baca”. [HR. Imam Tirmidzi, Abu Dawud, dari Abdillah bin Amru bin Ash Radhiyallahu
'anhuma] [2]
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 71
kumkum
4. Orang yang membaca Al-Qur`an akan mendapatkan pahala yang berlipat-lipat.
َ ون الَّذ
َِّين إِن َ ُاب َي ْتل ِ صالَ َة َوأَ َقامُوا
َ ِك َت َّ ُون َو َعالَ ِن َي ًة سِ ًّرا َر َز ْق َنا ُھ ْم ِممَّا َوأَن َف ُقوا ال َ ُور لَّن ت َِج
َ ار ًة َيرْ ج َ ُمو أُج
َ َتب. ُور ُھ ْم ِلي َُو ِّف َي ُھ ْم َ َي ِزيدَ ھ
َفضْ لِ ِه مِّن
Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan
menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-
diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi,
agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka
dari karuniaNya. [Al-Fathir:29-30]
Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Kitabullah (Al-Qur`an) maka dia akan
memperoleh satu kebaikan dan satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang
semisalnya. Saya tidak mengatakan ( )الــمitu satu huruf, akan tetapi ( )اsatu huruf dan ( )لsatu
huruf seta ( )مsatu huruf”. [HR. At-Tirmidzi, Ad-Darimi dan lainya; dari Abdullah bin Mas`ud
Radhiyallahu 'anhu] [3].
ُ
آن ْال َما ِھ ُر
ِ ْآن َي ْق َرأ َوالَّذِي ْال َب َر َر ِة ْالك َِر ِام ال َّس َف َر ِة َم َع ِب ْال ُقر
َ ْاق َع َل ْي ِه َوھ َُو فِي ِه َو َي َت َتعْ َتعُ ْال ُقر ِ أَجْ َر
ٌّ ان َل ُه َش
Orang yang Mahir membaca Al-Qur`an akan bersama para Malaikat yang Mulia, sedangkan
orang yang membaca (Al-Qur`an) dengan terbata-bata dan mengalami kesulitan dalam
membacanya, maka dia akan mendapatkan dua pahala. [HR. Muslim dalam Shahihnya dari
`Aisyah Radhiyallahu 'anha]
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 72
kumkum
5. Sakinah (ketenangan) dan rahmat serta keutamaan akan diturunkan kepada
Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah Azza wa Jalla untuk membaca
Kitabullah (Al-Qur`an) dan mereka saling mempelajarinya kecuali sakinah (ketenangan) akan
turun kepada mereka, majlis mereka penuh dengan rahmat dan para malaikat akan
mengelilingi (majlis) mereka serta Allah akan menyebutkan mereka (orang yang ada dalam
majlis tersebut) di hadapan para malaikat yang di sisi-Nya. [HR. Muslim]
6. Bacaan Al-Qur`an merupakan “Hilyah” (perhiasan) bagi Ahlul Iman (orang-orang yang
beriman).
ِن َم َث ُل ُ
ِ آن َي ْق َرأ الَّذِي ْالم ُْؤم َ ِْن َو َم َث ُل َطيِّبٌ َو َطعْ ُم َھا َطيِّبٌ ِري ُح َھا ْاأل ُ ْترُجَّ ِة َم َث ُل ْال ُقر ُ
ِ آن َي ْق َرأ َال الَّذِي ْالم ُْؤم َ ْيح َال ال َّتمْ َر ِة َم َث ُل ْال ُقر
َ ِر
ُ
آن َي ْق َرأ الَّذِي ْال ُم َناف ِِق َو َم َث ُل ح ُْلوٌ َو َطعْ ُم َھا َل َھا ُ
َ ْآن َي ْق َرأ َال الَّذِي ْال ُم َناف ِِق َو َم َث ُل مُرٌّ َو َطعْ ُم َھا َطيِّبٌ ِري ُح َھا الرَّ ي َْحا َن ِة َم َث ُل ْال ُقر َ ْْال ُقر
ْس ْال َح ْن َظ َل ِة َك َم َث ِل
َ مُرٌّ َو َطعْ ُم َھا ِري ٌح َل َھا َلي
Dan diriwayatkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga mengibaratkan bagi orang
mukmin yang tidak pernah membaca Al-Qur`an (tidak ada bacaan Al-Qur`an didadanya)
ibarat rumah yang tak berpenghuni; gelap, kotor, seolah-olah akan roboh.
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 73
kumkum
َّْس الَّذِي إِن ِ ْب َك ْال َب ْيتِ ْال ُقر
َ آن م َِن َشيْ ٌء َج ْو ِف ِه فِي َلي ِ ْال َخ ِر
Sesungguhnya orang yang di dalam dadanya (hatinya) tidak ada bacaan Al-Qur`an (yakni
tidak memiliki hafalannya) ibarat sebuah rumah yang hendak roboh. [HR. At-Tirmidzi, dan
lainya] [4]
7. Orang yang berhak menjadi imam shalat adalah orang yang paling banyak hafalan Al-
Qur`an dan luas pengetahuannya terhadap ilmu-ilmu Al-Qur`an.
Orang yang paling berhak menjadi imam (dalam shalat) adalah orang yang paling pandai
membaca Al-Qur`an. [HR. Muslim]
Tidak boleh hasad [5] kecuali kepada dua orang : (1) Seseorang yang dikaruniai Al-Qur`an
oleh Allah Ta'ala, kemudian ia melaksanakannya, di waktu siang maupun malam. (2)
Seseorang yang dikaruniai harta oleh Allah kemudian ia bershadaqah dengannya di waktu
siang maupun malam. [HR. Muslim]
9. Membaca dan memahami Al-Qur`an tidak bisa disamai oleh kemewahan harta duniawi.
ْن َي ْق َرأ ُ أَ ْو َف َيعْ َل ُم ْال َمسْ ِج ِد إِ َلى أَ َح ُد ُك ْم َي ْغ ُدو أَ َف َال ِ َّ ْن ِمنْ َل ُه َخ ْي ٌر َو َج َّل َع َّز
ِ ِك َتابِ ِمنْ آ َي َتي ٍ ْي ٌر َخ َوأَرْ َبعٌ َث َال
ٌ ث ِمنْ َل ُه َخ ْي ٌر َو َث َال
ِ ث َنا َق َتي
اإل ِب ِل م َِن أَعْ دَا ِدھِنَّ َو ِمنْ أَرْ َب ٍع ِمنْ َل ُه ِْ
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 74
kumkum
Tidakkah salah seorang di antara kamu berangkat ke masjid untuk mengetahui atau
membaca dua ayat dari Kitabullah lebih baik baginya daripada dua onta, dan tiga (ayat) lebih
baik baginya dari pada tiga (onta), dan empat (ayat) lebih baik baginya dari pada empat
(onta), begitu seterusnya sesuai dengan jumlah (ayat lebih baik) dari onta. [HR. Muslim dari
‘Uqbah bin Amir]
10. Tilawah Al-Qur`an akan dapat melembutkan hati bagi pembacanya atau orang yang
mendengarkanya dengan baik.
11. Kedua orang tua akan dihiasi dengan mahkota pada hari kiamat.
Barangsiapa membaca Al-Qur`an dan mengamalkannya, maka -pada hari kiamat- akan
dipakaikan kepada kedua orang tuanya sebuah mahkota yang berkilau, yang sinarnya lebih
baik dari sinar mentari, maka keduanya berkata: “Mengapa kami diberi mahkota ini? Maka
dikatakan: “Karena anakmu mengambil (membaca dan mengamalkannya) Al-Qur`an”. [HR.
Abu Dawud, Ahmad, dan Al-Hakim] [6]
MACAM-MACAM TILAWAH
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 75
kumkum
a. Tajwid secara bahasa: ( )تجويداً – يجـــود – جودMa`nanya “Menata sesuatu dengan baik” atau
(“ )التحســــــــينMembaguskan”.
b. secara Istilah: (“ )الكـــــريم بــــــالقرآن التـــــالوة تصــــــحيح ھوYaitu membenarkan bacaan dalam
tilawah Al-Qur`an Al-Karim”. [Al-Halaqatul Qur`an. hal.78]
َ َْك أ
ٌنز ْل َناهُ ِك َتاب َ ك إِ َلي َ ْاألَ ْلبَابِ أ ُ ْولُوا َو ِل َي َت َذ َّك َر َءا َيا ِت ِه لِّ َي َّد َّبرُوا ُم َب
ٌ ار
Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya
mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang
mempunyai pikiran. [Shad: 29]
Demikianlah jalan yang ditempuh oleh para salafus Shalih, dan atas dasar inilah mereka
mempelajari Al-Qur`an kemudian mereka mempercayai beritanya dan menerapkan hukum-
hukumnya.
Abu Abdur Rahman As-Sulami rahimahullah berkata: “Telah berkata kepada kami orang-
orang yang membacakan/mengajarkan Al-Qur`an kepada kami, yaitu Utsman bin Affan,
Abdullah bin Mas`ud serta yang lainya: “Sesungguhnya mereka (para sahabat) apabila
mempelajari 10 ayat (Al-Qur`an) dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka tidak
menambahnya sehingga mereka mengetahui ilmu dan mengamalkan apa yang terdapat di
dalamnya. Mereka berkata: “Maka kami mempelajari Al-Qur`an, ilmu dan amal semuanya”.
(Ini adalah atsar yang shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya (1/80-Syakir) dan
beliau berkata: “Ini adalah sanad yang shahih, bersambung”.
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 76
kumkum
Maka kami mempelajari Al-Qur`an dan mengamalkan semua (kandungannya)”, tanpa ada
lafadz “Al-Ilmu”
Dan di antara hikmah tilawah adalah sebagai sarana untuk memahami Al-Qur’an sehingga
bisa meyakini beritanya dan mengamalkan kandungannya, kemudian akan menghantarkan
kepada kebahagiaan dan keselamatan:
Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti
petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling
dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan
menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". Berkatalah ia:"Ya Rabbku,
mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya seorang
yang melihat". Allah berfirman:"Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka
kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari inipun kamu dilupakan". Dan demikanlah
Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya terhadap ayat-ayat
Rabbnya. Dan sesungguhnya azab di akhirat itu lebih berat dan lebih keka. [Thaha:123-127].
Sesungguhnya tilawah al-Qur’an adalah lebih afdhal (utama) daripada dzikir, dan dzikir lebih
afdhal daripada do`a, hal ini dinyatakan oleh Al-Imam An-Nawawi di dalam kitabnya “Al-
Adzkar” halaman: 101, beliau menyebutkan: “Seseungguhnya tilawah al-Qur’an itu lebih
afdhal daripada dzikir-dzikir, dan di dalam qira’ah (tilawah) mempunyai adab-adab dan
tujuan-tujuan.”
Oleh sebab itu, hendaknya kita (semua) sebagai thalibul ilmi, memperhatikan adab-adab
dan menetapkan tujuan ketika hendak membaca Al-Qur’an; karena memang sesungguhnya
al-Qur’an ini (adalah) yang kita baca, kita dengar, kita hafalkan dan kita tulis adalah kalam
Rabb kita, Rabb semesta alam yang Maha Awal dan Maha Akhir. Al-Qur’an ini merupakan
tali Allah yang sangat kuat, dan jalan-Nya yang lurus, serta merupakan dzikir yang penuh
berkah dan cahaya yang terang. Inilah di antara sifat-sifat agung al-Qur’an, maka wajiblah
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 77
kumkum
kita mengagungkan dan memuliakannya. Apabila seorang hamba hendak membacanya
maka janganlah dia meremehkannya dan janganlah sambil bermain-main.
1. Mengikhlaskan niat untuk Allah semata. Karena tilawah al-Qur’an termasuk ibadah,
sebagaimana telah disebutkan pada keutamaan tilawah.
2. Menghadirkan hati (konsentrasi) ketika membaca, khusyu’, tenang dan sopan, berusaha
terpengaruh (terkesan) dengan yang sedang dibaca, dengan memahami (menghayati) atau
memikirkan (tafakkur-tadabbur) sebagaimana tujuan utama dalam tilawah.
Sopan, sebagai upaya memuliakan Kalam Allah Azza wa Jalla. Khusyu’ atau memusatkan hati
dan pikiran (konsentrasi) sebagai upaya mengambil hikmah yang terkandung pada ayat yang
kita baca; menampakkan kesedihan dan menangis, (ketika membaca ayat-ayat yang
menceritakan adzab (siksa) neraka. Dan apabila tidak bisa maka berusahalah untuk bisa
menangis. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
َ َْف َت َبا َك ْوا َت ْب ُكوا َل ْم َفإِنْ َفا ْب ُكوا َق َر ْأ ُتمُو ُه َفإِ َذا ِبح ُْز ٍن َن َز َل ْال ُقر
َّآن َھ َذا إِن
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 78
kumkum
Sesungguhnya al-Qur’an ini turun dengan kesedihan, maka jika kamu membacanya
hendaklah kamu menangis, jika kamu tidak (bisa) menagis, maka berusahalah untuk
menangis. [HR. Ibnu Majah] [7]
Allah berfirman:
Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah
khusyu'. [Al-Israa : 109]
َرسُو ُل لِي َقا َل ِ َّ صلَّى َ ُ َّ آن َع َليَّ ا ْق َر ْأ َو َسلَّ َم َع َل ْي ِهَ ْت َقا َل ْال ُقر ُ َرسُو َل َيا َف ُق ْل ِ َّ ُ ْك أَ ْق َرأ َ أَنْ أَ ْش َت ِھي إِ ِّني َقا َل أ ُ ْن ِز َل َو َع َلي
َ ْك َع َلي
ت غَ ي ِْري ِمنْ أَسْ َم َع ُه ُ ت إِ َذا َح َّتى ال ِّن َسا َء َف َق َر ْأ ُ ْف ( َب َل ْغ َ ت ) َش ِھي ًدا َھؤُ َال ِء َع َلى ِب َك َو ِج ْئ َنا ِب َش ِھي ٍد أ ُ َّم ٍة ُك ِّل ِمنْ ِج ْئ َنا إِ َذا َف َكي ُ َْر ْأسِ ي َر َفع
ت َج ْن ِبي إِ َلى َر ُج ٌل غَ َم َزنِي أَ ْو ُ ْْت َر ْأسِ ي َف َر َفع ُ ُوع ُه َف َرأَي
َ َتسِ ي ُل ُدم
3. Tilawah al-Qur’an, hendaknya di tempat yang suci (haram atau dilarang di WC) atau
tempat-tempat yang tidak pantas untuk tilawah al-Qur’an yang suci. Terutama di masjid
sebagai upaya memakmurkan masjid
َم َسا ِجدَ َيعْ مُرُ إِ َّن َما ِ صالَ َة َوأَ َقا َم ْاألَخ ِِر َو ْال َي ْو ِم ِبا
ِ ْ َءا َم َن َمن4 َ إِالَّ َي ْخ
َّ ش َو َل ْم
َّ الز َكا َة َو َءا َتى ال َ
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 79
kumkum
Hanyalah yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada
Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan sholat, menuaikan zakat dan tidak takut
(kepada siapapun) sela in kepada Allah. [At-Taubah : 18]
Selain di tempat yang suci, kitapun sebaiknya dalam keadaan suci (tidak dalam keadaan
hadast besar dan hadats kecil) untuk memuliakan kalam Allah Ta'ala
4. Membaca do`a Isti`azhah (berlindungan kepada Allah Ta'ala dari godaan setan) ketika
hendak membaca al-Qur’an.
Allah berfirman
Apabila kamu membaca al-Qur'an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah
dari syaitan yang terkutuk. [An-Nahl :98]
Membaca basmalah apabila membaca al-Qur’an dari awal surat, kecuali surat at-Taubah.
Berlindung kepada Allah Ta'ala, yakni membaca:
Dan diantara bentuk membersihkan jasmani (selain mandi) ialah bersiwak atau memakai
sikat dan pasta gigi dalam rangka membersihkan sisa makanan yang terdapat pada sela-sela
gigi yang dapat membusuk, yang membuat mulut kita tidak enak baunya. Bersiwak
merupakan salah satu bentuk ittiba` kepada sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang
bisa mendapat 2 kebaikan, bersih di mulut dan mendapat keridhaan Allah Ta'ala:
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 80
kumkum
ضاةٌ ل ِْل َف ِم َم ْط َھ َر ٌة
َ ْلِلرَّ بِّ َمر
Bersih dimulut dan mendapatkan ridha dari Tuhan (Allah Ta'ala )”. [HR. Bukhari dalam bab
Shaum.1831].
5. Menghadap kiblat hal ini juga sebagai upaya menghidupkan sunnah dalam bermajlis.
ُ◌ ْعمر ابـــن حــديث من األوســـط فـــى الطــــــبرانى رواه( القبلـــــــة اســــــــتقبل ما المجـــالس َخير
Sebaik-baik Majlis adalah yang menghadap kearah qiblat. [HR. Thabrani dalan Al-Ausath
hadits dari Ibnu Umar]. [8]
6. Membaguskan suara dengan tidak ghuluw (melewati batas), riya` (agar dilihat orang) ,
sum`ah (agar didengar orang) atau ujub (mengagumi diri sendiri).
َ ْ َوا ِت ُك ْم ِبأَصْ ْال ُقر..وصـححه والحـــاكم والنســـــــائى ماجة وابـــن أحمد رواه
آن َز ِّي ُنوا
Perindahlah (bacaan) Al-Qur`an dengan suara kalian. (HR. Ahmad, Ibnu Majah Nasa`i dan
Hakim menshahihkannya] [9].
اس َع َلى َخ َر َج ِ ون َو ُھ ْم ال َّنَ ُُّصل ْ ُصلِّ َي إِنَّ َف َقا َل ِب ْالق َِرا َء ِة أَصْ َوا ُت ُھ ْم َع َل
َ ت َو َق ْد ي ُ َيجْ َھرْ َال َو ِب ِه ُي َنا ِجي ِه ِب َما َف ْل َي ْن
َ ظرْ َر َّب ُه ُي َنا ِجي ْالم
ض ُك ْم
ُ ْض َع َلى َبع ٍ ْآن َبع ِ ِْب ْال ُقر
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 81
kumkum
Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah keluar pada suatu kaum, sedang mereka
sementara dalam keadaan shalat dan mengeraskan bacaannya, maka Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda: “Setiap kalian bermunajat (berbisik-bisik) kepada Rabbnya, maka
janganlah kalian mengeraskan bacaan (Al-Qur`an) kalian atas sebagian yang lain. [HR. Imam
Malik dalam kitabnya “Al-Muwatha`”[1/80]), Ibnu Abdil Barr berkata: “Ini adalah hadits
shahih] [10]. [Lihat: Majaalis Syahrur Ramadhan; Syaikh Al-Utsaimin]
7. Hendaknya membaca dengan sirri (pelan) apabila dikhawatirkan dapat menimbulkan riya`
atau sum`ah pada dirinya atau dapat mengganggu ketenangan dalam Masjid sebagaimana
telah disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm.
Dan telah diketahui bahwa shadaqah yang dicintai adalah yang sembunyi-sembunyi, kecuali
dalam keadaan tertentu yang berfaidah. Misalnya: untuk mendorong orang lain agar
melakukan seperti yang kita lakukan.
Ali bin Abi Thalib menjelaskan ma`na tartil dalam ayat tersebut diatas adalah:
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 82
kumkum
Maka seyogyanya bagi kita bersabar, jangan terburu ingin segera selesai (khatam) dalam
membaca Al-Qur`an atau terburu nafsu ingin segera menguasai (memahami) Al-Qur`an
sehingga lalai memperhatikan kaidah-kaidah dalam tilawah.
Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang dalam tilawah, menamatkan al-
Qur’an kurang dari 3 malam, sebab tidak akan bisa memahami maknanya. Sabda Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Barangsiapa membaca al-Qur’an kurang dari 3 hari maka tidak akan dapat memahaminya.
[HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah]
Demikian pula Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan Abdullah bin Umar
Radhiyallahu 'anhuma supaya mengkhatamkan al-Qur’an setiap 7 hari (sekali). [HR. Mutafaq
Alaih]
Adapun beberapa riwayat dari Salafus Shalih yang menyatakan bahwa di antara mereka ada
yang mengkhatamkan al-Qur’an sehari semalam sekali, atau 2 kali khatam, atau 3 kali dan
bahkan ada juga yang 8 kali khatam, maka semua itu tidak bisa menjadi hujjah karena
bertentangan dengan hadits di atas. Demikian juga sekelompok Salaf tidak menyukai
mengkhatamkan Al-Qur’an dalam sehari semalam. Syeikh Abdul Qadir Al-Arnauth
mengomentari hadits di atas dengan perkataan: “Inilah yang benar dan sesuai dengan
Sunnah. [Lihat At-Tibyan Fi Adab Hamalatil Qur’an, tahqiq: Syeikh Abdul Qadir Al-Arnauth,
hal: 49]
Bacaan dengan perlahan-perlahan (tartil), bukan dengan cepat-cepat, hal yang demikian itu
akan membantu dalam tadabbur (memahami) maknanya dan menghindari dari kesalahan
dalam melafadzkan atau mengeluarkan huruf-hurufnya. Di dalam Shahih Bukhari
disebutkan.
ْف أَ َنسٌ ُس ِئ َل َ ت َكي ْ صلَّى ال َّن ِبيِّ ق َِرا َءةُ َكا َن
َ ُ ْ ِبسْ ِم ( َق َرأَ ُث َّم َم ًّدا َكا َن
َّ ت َف َقا َل َو َسلَّ َم َع َل ْي ِه ِ َّ َِّيم حْ َم ِنالر ِ َّ َو َي ُم ُّد
ِ ِب ِبسْ ِم َي ُم ُّد ) الرَّ ح
ِيم َو َي ُم ُّد ِبالرَّ حْ َم ِن
ِ ِبالرَّ ح
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 83
kumkum
Dari anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, bahwa ketika ditanya tentang qira’ah (bacaan) Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam maka ia berkata: “Bahwa bacaannya panjang-panjang,
kemudian membaca: ( ِبسْ ِم ِ َّ ِيم الرَّ حْ َم ِن ِ َّ ) kemudian ()الرَّ حْ َم ِن
ِ الرَّ حmemanjangkan ( ِب ِبسْ ِم
kemudian (ِيم
ِ [ ) الرَّ حHR. Bukhari, 5046].
Dari Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha, bahwa dia menyebutkan bacaan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu (beliau) memutus-mutus bacaannya ayat per ayat (satu
ayat-satu ayat). [HR. Ahmad (6/3020, Abu Dawud (4001) Tirmidzi (2927) dan Dishahihkan
An-Nawawi, dalam “Al-Majmu’” 3/333 ]
Dalam kitab Majalis Fi Syahri Ramadhan karya Syaikh Utsaimin dijelaskan, bahwa tidak
mengapa dengan (bacaan) cepat yang tidak sampai merubah lafadz, dan tidak meninggalkan
sebagian huruf atau idghamnya. Tetapi apabila tidak benar dalam pengucapan idghamnya,
sampai salah dalam lafadznya, maka hal itu haram, karena yang demikian berarti mengganti
lafadz al-Qur’an”.
9. Hendaknya sujud, ketika membaca ayat-ayat yang mengisyaratkan sujud, hal ini dilakukan
dalam keadaan berwudhu’, di waktu siang maupun malam, dengan takbir dan
mengucapkan: (األعلـــى ربـــي ســــبحانSuci Rabbku yang Maha Tinggi) dan hendaklah berdoa,
kemudian bangun dari sujud tanpa takbir dan tanpa salam. [Majaalis Syahrur Ramadhan;
Syaikh Al-Utsaimin]
Syaikh Said bin Ali bin Wahf Al-Qahthany, menyebutkan bahwa do’a sujud tilawah yang
dibaca, berbunyi:
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 84
kumkum
Wajahku bersujud kepada Tuhan yang telah menciptakanku, yang memberi pendengaran
dan penglihatanku, dengan daya dan upayaNya, Maha Suci Allah sebaik-baik pencipta. [HR.
At-Tirmidzi 2/474, Ahmad 6/30 dan Hakim dan disetujui Ad-Dzahabi 1/220]
Dalam surat al-A’raf: 206, Ar-Ra’d: 15, An-Nahl: 50, Al-Isra’:109, Al-Furqan: 60, Al-Hajj: 18
dan 77, Al-Furqan: 60, An-Naml:26, As-Sajdah:15, Shaad:24, An-Najm:62, Al-Isyiqaq:21,
Fushilat:38, Al-Alaq:19
Ketahuilah bahwa sebaik-baik bacaan adalah di waktu shalat. Dan madzab Imam Asy-Syafi’i
dan yang lain rahimahullah, berpendapat memanjangkan bacaan (al-Qur’an) di dalam shalat
lebih baik daripada (memanjangkan) sujud dan lainnya. Adapun bacaan selain di dalam
shalat (yang afdhal) adalah bacaan di malam hari, dan pertengahan terakhir di malam hari
lebih baik daripada di permulaan malam, bacaan yang dicintai (bacaan) di antara maghrib
dan isya’, dan bacaan siang hari yang afdhal setelah shalat subuh. Dan bacaan diwaktu-
waktu lain bukanlah waktu yang tercela untuk membaca al-Qur’an di dalam atau di luar
shalat.
Adapun tatkala Ibnu Abi Dawud rahimahullah dari Mu’adz bin Rifa’ah dari para syeikh
bahwasanya mereka membenci (tidak suka) bacaan setelah shalat ashar, dan mereka
berkata: Sesungguhnya itu adalah waktu yang dipergunakan belajar oleh orang-orang
Yahudi, maka (yang demikian) itu tidak dapat diterima, karena tidak ada dasarnya. [Dinukil
dari kitab “Al-Adzkar” An-Nawawi]
Ikhwani fiddin...
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 85
kumkum
Kita pelihara al-Qur’an, agar terjaga dari berbagai penyimpangan atau perubahan. Kita
berdoa kepada-Nya, semoga Allah memperkenankannya. Semoga menjadi saksi bagi kita,
kita bersyukur kepada-Nya, semoga kita diberikan rahmat dan petunjuk dari padaNya.
Ya Allah! Anugerahkan kepada kami dari bacaan Kitab-Mu agar (bacaan kami) menjadi
sebenar-benarnya bacaan, dan jadikanlah kami, tergolong orang-orang yang mendapatkan
kebaikan dan kebahagian.
Maraji’:
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun V/1422H/2001M Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
08121533647, 08157579296]
________
Footnote
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 86
kumkum
[1]. Ahlul Qur’an atau Shahibul Qur’an adalah orang yang membaca (mempelajari) Al-
Qur’an dan mengamalkan hukum-hukumnya serta beradab dengan adab-adabnya. Lihat
Bahjatun Nazhirin II/225, 230 -Red
[2]. Hadits ini dihasankan oleh Syeikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin II/230,
no:1001-Red
[3]. Hadits ini dishahihkan oleh Syeikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin II/229,
no:999-Red
[4]. Tetapi hadits ini didha’ifkan oleh Syeikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin II/230,
no:1000, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. -Red
[5]. Yang dimaksud adalah ghibthah, yaitu: menginginkan kebaikan seorang tanpa
menginginkan hilangnya dari orang tersebut-Red
[6]. Tetapi Syeikh Abdul Qadir Al-Arnauth mengomentari hadits ini di dalam tahqiq kitab At-
Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an, hal:16: “Isnadnya dha’if”. Demikian juga didha’ifkan oleh
Syeikh Al-Albani di dalam kitab Dha’if Jami’ush Shaghir no:5762; Al-Misykat no:2139 dan
Dha’if Abi Dawud no:239. Maka tidak bisa dijadikan hujjah -Red
[7]. Syeikh Abdul Qadir Al-Arnauth mengomentari hadits ini di dalam tahqiq kitab At-Tibyan
Fi Adabi Hamalatil Qur’an, hal:68: “Isnadnya dha’if”. Tetapi menangis ketika membaca Al-
Qur’an merupakan kebiasaan Salafus Shalih-Red
[8]. Tetapi hadits ini didha’ifkan oleh Syeikh Al-Albani di dalam kitab Dha’if Jami’ush Shaghir
no:1124 dan Adh- Dha’ifah no:1486. Maka tidak bisa dijadikan hujjah -Red
[9]. Hadits ini dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani di dalam kitab Shahih Jami’ush Shaghir no:
3580, 3581-Red
[10]. Hadits ini dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani di dalam kitab Shahih Jami’ush Shaghir no:
1951-Red
[11]. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih al-Jami'us Shagir no. 3105
–Red
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 87
kumkum
BERBENAH DIRI UNTUK PENGHAFAL AL-QUR'AN
Oleh
"Sebenarnya, Al-Qur`ân itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang
diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zhalim
…"[al-Ankabût/29:49].
Dahulu, para sahabat Radhiyallahu 'anhum yang mulia dan Salafush-Shalih, mereka
berlomba-lomba menghafal Al-Qur`ân, generasi demi generasi. Bersungguh-sungguh
mendidik anak-anak mereka dalam naungan Al-Qur`ân, baik belajar maupun menghafal
disertai dengan pemantapan ilmu tajwid, dan juga mentadabburi yang tersirat dalam Al-
Qur`ân, (yaitu) berupa janji dan ancaman.
Berikut ini adalah nasihat yang disampaikan oleh Dr. Anas Ahmad Kurzun, diangkat dari
risalah beliau Warattilil Qur'ana Tartila yakni menyangkut metode, sebagai bekal dalam
meraih kemampuan untuk dapat menghafal Al-Qur`ân secara baik.
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 88
kumkum
memperbanyak (membaca dan menghafalnya, Red.) karena amalan yang sedikit disertai
dengan memperbagus dan memantapkannya, itu lebih utama daripada amalan yang banyak
tanpa disertai dengan pemantapan. Lihat Risalah Syarah Hadits Syadad bin Aus, karya Ibnu
Rajab, hlm. 35.
Mudah-mudahan dengan kedatangan bulan Ramadhan yang penuh kemuliaan ini, dapat kita
manfaatkan untuk meningkatkan perhatian kita kepada Al-Qur`ân, mempelajarinya,
mentadabburi, memperbaiki bacaan, dan menghafalnya. (Redaksi).
Jadikanlah niat dan tujuan menghafal untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala, dan selalu ingat bahwasanya yang sedang Anda baca ialah Kalamullah. Berhati-
hatilah Anda dengan faktor yang menjadi pendorong dalam menghafal, untuk meraih
kedudukan di tengah-tengah manusia, ataukah ingin memperoleh sebagian dari keuntungan
dunia, upah dan hadiah? Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menerima sedikitpun dari amalan
melainkan apabila ikhlas karena-Nya.
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dan (menjalankan) agama dengan lurus". [al-Bayyinah/98:5]
Hati yang penuh dengan kemaksiatan dan sibuk dengan dunia, tidak ada baginya tempat
cahaya al-Qur’ân. Maksiat merupakan penghalang dalam menghafal, mengulang dan
mentadabburi Al-Qur`ân. Adapun godaan-godaan setan dapat memalingkan seseorang dari
mengingat Allah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Setan telah mengusai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah". [al-
Mujadilah/58:19].
'Abdullâh bin Al-Mubarak meriwayatkan dari adh-Dhahak bin Muzahim, bahwasanya dia
berkata;”Tidak seorangpun yang mempelajari Al-Qur`ân kemudian dia lupa, melainkan
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 89
kumkum
karena dosa yang telah dikerjakannya. Karena Allah berfirman Subhanahu wa Ta'ala :
َ َت َف ِب َما مُّصِ ي َب ٍة مِّن َو َمآأ
صا َب ُكم ْ ( أَ ْيدِي ُك ْم َك َس َبDan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah
disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri) –Qs asy-Syûra/42 ayat 30- . Sungghuh, lupa
terhadap Al-Qur`ân merupakan musibah yang paling besar.[1]
Ketahuilah, Imam asy-Syafi’i yang terkenal dengan kecepatannya menghafal, pada suatu
hari ia mengadu kepada gurunya, Waqi`, bahwa hafalan Al-Qur`ânnya terbata-bata. Maka
gurunya memberikan terapi mujarab, agar ia meninggalkan maksiat dan mengosongkan hati
dari segala hal yang dapat memalingkannya dari Rabb.
dan cahaya Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak diberikan kepada pelaku maksiat.
Yang dimaksud dengan ar-râ`in, ialah sesuatu yang menutupi hati dari keburukan maksiat,
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 90
kumkum
"Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati
mereka". [al-Muthaffifin/83:14].
Barang siapa menjauhkan dirinya dari kemaksiatan, niscaya Allah Subhanahu wa Ta'ala
membukakan hatinya untuk selalu mengingat-Nya, mencurahkan hidayah kepadanya dalam
memahami ayat-ayat-Nya, memudahkan baginya menghafal dan mempelajari Al-Qur`ân,
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta
orang-orang yang berbuat baik". [al-’Ankabût/29:69].
Imam Ibnu Katsir rahimahullah telah membawakan perkataan Ibnu Abi Hatim berkaitan
dengan makna ayat ini: "Orang yang melaksanakan apa-apa yang ia ketahui, niscaya Allah
Subhanahu wa Ta'ala akan memberinya petunjuk terhadap apa yang tidak ia ketahui".[3]
Saat masih kecil, hati lebih fokus karena sedikit kesibukannya. Dikisahkan dari al-Ahnaf bin
Qais, bahwasanya ia mendengar seseorang berkata:
ِّغَر ِفيْ اَل َّت َعلُّ ُم ِ ْال َح َج ِر َع َلى َكال َّن ْق,
ِ ش الص
ْاألَحْ َنفُ َف َقا َل: َق ْلبًا أَ ْشغَ ُل َل ِك َّن ُه َع ْق ًال أَ ْك َث ُر اَ ْل َك ِب ْي ُر.
Maka al-Ahnaf berkata,”Orang dewasa lebih banyak akalnya, tetapi lebih sibuk hatinya.”
Seharusnya siapa pun yang telah berlalu masa mudanya supaya tidak menyia-nyiakan waktu
untuk menghafal. Jika ia konsentrasikan hatinya dari kesibukan dan kegundahan, niscaya ia
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 91
kumkum
akan mendapatkan kemudahan dalam menghafal Al-Qur`ân, yang tidak dia dapatkan pada
selain Al-Qur`ân.
"Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur`ân untuk pelajaran, maka adakah yang
mau mengambil pelajaran?". [al-Qomar/54:17].
Perlu Anda ketahui, tatkala manusia telah mencapai usia tua, saraf penglihatannya akan
melemah. Kadangkala dia tidak mampu membaca Al-Qur`ân yang ada di mushaf. Dengan
demikian, yang pernah dihafal dalam hatinya, akan dia dapatkan sebagai perbendaharaan
yang besar. Dengannya ia membaca dan bertahajjud. Tetapi jika sebelumnya ia tidak pernah
menghafal Al-Qur`ân sedikitpun, maka alangkah besar penyesalannya.
Tidak sepantasnya bagi Anda, wahai pembaca, menghafal pada saat jenuh, lelah, atau ketika
pikiran Anda sedang sibuk dalam urusan tertentu. Karena hal itu dapat mengganggu
kosentrasi menghafal. Tetapi pilihlah ketika semangat dan pikiran tenang. Alangkah bagus,
jika waktu menghafal (dilakukan) ba’da shalat Subuh. Saat itu merupakan sebaik-baik waktu
bagi orang yang tidur segera.
Yaitu dengan menjauhi tempat-tempat ramai, bising. Sebab, hal itu akan mengganggu dan
membuat pikiran bercabang-cabang. Maka ketika Anda sedang berada di rumah bersama
anak-anak, atau (sedang) di kantor, di tempat bekerja, di tengah teman-teman, jangan
mencoba-coba menghafal sedangkan suara manusia di sekitar Anda. Atau di tengah jalan
ketika sedang mengemudi, di tempat dagangan ketika transaksi jual beli. Ingatlah firman
Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya …" [al-
Ahzab/33:4].
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 92
kumkum
Sebaik-baik tempat yang Anda pilih untuk menghafal ialah rumah-rumah Allah (masjid) agar
mendapatkan pahala berlipat ganda. Atau di tempat lain yang tenang, tidak membuat
pendengaran dan penglihatan Anda sibuk dengan yang ada di sekitar Anda.
Kemauan yang kuat lagi benar sangat memengaruhi dalam menguatkan hafalan,
memudahkannya, dan dalam berkosentrasi. Adapun seseorang yang menghafal karena
permintaan orang tua atau gurunya tanpa didorong oleh kemauannya sendiri, ia tidak akan
mampu bertahan. Suatu saat pasti akan tertimpa penyakit futur (sindrom).
Keinginan bisa terus bertambah dengan motivasi, menjelaskan pahala dan kedudukan para
penghafal Al-Qur`ân, orang yang selalu bersama Al-Qur`ân, dan membersihkan jiwa yang
berlomba dalam halaqah, di rumah atau di sekolah. Tekad yang benar akan menghancurkan
godaan-godaan setan, dan dapat menahan jiwa yang selalu memerintahkan keburukan.
"Barang siapa memiliki tekad yang benar, setan pasti akan putus asa (mengganggunya).
Kapan saja seorang hamba itu ragu-ragu, setan akan mengganggu dan menundanya untuk
melaksanakan amalan, serta akan melemahkannya".[5]
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 93
kumkum
Bersungguh-sungguhlah, wahai Pembaca, gunakanlah indra penglihatan, pendengaran dan
ucapan dalam menghafal. Karena masing-masing indra tersebut memiliki metode tersendiri
yang dapat mengantarkan hafalan ke otak. Apabila metode yang digunakan itu banyak,
maka hafalan menjadi semakin kuat dan kokoh.
Adapun caranya, yaitu Anda mulai terlebih dahulu membacanya dengan suara keras, apa
yang hendak dihafalkan, sedangkan Anda melihat ke halaman yang sedang Anda baca.
Dengan terus melihat dan mengulanginya sampai halaman tersebut terekam dalam memori
Anda. Sertakan pendengaran Anda dalam mendengarkan bacaan, lalu merasa senang.
Apalagi jika Anda membaca dengan suara senandung yang disukai oleh jiwa.
Seseorang yang menghafal Al-Qur`ân dengan melihat mushaf, sedangkan ia diam, atau
dengan cara mendengarkan kaset murottal tanpa melihat mushaf, atau merasa cukup ketika
menghafal hanya membaca dengan suara lirih, maka semua metode ini tidak mengantarnya
mencapai tujuan dengan mudah.
Perlu Anda ketahui, bahwasanya (dalam menghafal) manusia ada dua macam.
1. Orang yang lebih banyak menghafal dengan cara mendengar daripada menghafal dengan
melihat mushaf. Ingatannya ini disebut Sam’iyyah (pendengaran).
2. Orang yang lebih banyak menghafal dengan cara melihat. Apabila ia membaca satu
penggal ayat Al-Qur`ân (akan) lebih bisa menghafal daripada (hanya dengan)
mendengarkannya. Ingatannya ini disebut Bashariyyah (penglihatan).
Jika Anda memperhatikan bahwa Anda selalu salah dalam satu kalimat tertentu atau lupa
setiap kali mengulangnya, maka tanamkan kalimat tersebut dalam memori Anda dengan
membuat kalimat serupa yang Anda ketahui. Dengan demikian, Anda akan mengingat
kalimat tersebut dengan kalimat yang Anda buat.
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 94
kumkum
Imam Ibnu Munada telah menunjukkan kepada kita masalah ini dengan perkataannya:
“Seorang guru hendaklah mempraktekkan metode ini kepada murid. Yaitu
memerintahkannya agar mengingat nama, atau sesuatu yang dia ketahui yang serupa
dengan kalimat al-Qur`ân yang ia selalu lupa, sehingga akan menjadikannya ingat, insya
Allah.” [6]
Kemudian beliau berdalil dengan perkataan Ali Radhiyallahu 'anhu kepada Abu Musa
Radhiyallahu 'anhu : “Sesungguhnya Rasulullah memerintahkan agar aku memohon
petunjuk dan kebenaran kepada Allah. Lalu aku mengingat kalimat( ْالھُدَىpetunjuk) dengan
َّ (petunjuk jalan), dan aku mengingat ( ال َّس َدا ُدkebenaran) dengan ات َتسْ ِد
الط ِريْق ِ◌ھِدَ ا َي ُة ُ َال َّسھْم يْد
(membetulkan busur)".[7]
Bagi para penghafal, utamakan memilih cetakan mushaf, yang diawali pada tiap-tiap
halamannya permulaan ayat dan diakhiri dengan akhir ayat. Ini memiliki pengaruh sangat
besar dalam menanamkan bentuk halaman dalam memori (ingatan), dan mengembalikan
konsentrasi terhadap halaman tersebut ketika mengulang. Jika cetakan mushaf berbeda-
beda, akan menimbulkan ingatan halaman dalam otak berbeda-beda, dan akan
membuyarkan hafalannya, serta tidak bisa konsentrasi.
Setelah Anda memilih waktu, tempat yang sesuai dan membatasi hanya satu cetakan
mushaf yang hendak Anda hafal, maka wajib bagi Anda membetulkan pengucapan dan
mengoreksi kalimat-kalimat Al-Qur`ân kepada seorang guru yang mutqin (mampu) sebelum
mulai menghafal. Atau dengan cara mendengarkannya melalui kaset murattal seorang qari`.
Hal ini supaya Anda terjaga dari kekeliruan. Karena apabila kalimat yang telah Anda hafal itu
salah, akan sulit bagi Anda membetulkannya setelah terekam dalam memori.
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 95
kumkum
Imam Ibnu Munada berkata,"Ketahuilah, menghafal itu memiliki beberapa sebab. Di
antaranya, seseorang membaca kepada orang yang lebih banyak hafalannya, karena orang
yang dibacakan kepadanya lebih mengetahui kesalahan daripada orang yang membaca.” [8]
Jangan lupa, wahai saudaraku! Jadikanlah hafalan Anda saling berkaitan. Setiap kali Anda
menghafal satu ayat kemudian merasa telah lancar, maka ulangilah membaca ayat tersebut
dengan ayat sebelumnya. Kemudian lanjutkan menghafal ayat berikutnya sampai satu
halaman dengan menggunakan metode ini.
Disamping itu, apabila Anda telah menghafal satu halaman, maka harus membacanya
kembali sebelum meneruskan ke halaman berikutnya. Begitu pula apabila hafalan Anda
sudah sempurna satu surat, hendaklah menggunakan metode tadi, agar rangkaian ayat-ayat
itu dapat teringat dalam memori Anda. Sungguh, jika tidak menggunakan metode ini,
membuat hafalan Anda tidak terikat. Dan ketika menyetor hafalan, Anda akan
membutuhkan seorang guru yag selalu mengingatkan permulaan tiap-tiap ayat. Begitu juga
akan membuat Anda mengalami kesulitan ketika muraja`ah hafalan.
Di antara yang dapat membantu Anda menggabungkan ayat dan mudah dalam menghafal,
yaitu terus-menerus meruju` kepada kitab-kitab tafsir yang ringkas, sehingga Anda
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 96
kumkum
memahami makna ayat meskipun global. Atau paling tidak, Anda menggunakan kitab ات ُ َك ِل َم
ِ ْو َب َيانٌ َت ْفسِ يْرٌ ْال ُقرkarya
آن َ Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf. Dengan mengetahui makna-
makna kalimat, dapat membantu Anda memahami makna ayat secara global.
Sebagian pemuda membaca penggalan ayat, dua sampai tiga kali saja. Lalu menyangka
bahwa ia telah hafal. Lantas pindah ke penggalan ayat berikutnya karena ingin tergesa-gesa
disebabkan waktunya sempit, atau karena persaingan di antara temannya, atau disebabkan
desakan seorang guru kepadanya. Perbuatan ini, sama sekali tidak benar dan tidak
bermanfaat. Sedikit tetapi terus-menerus itu lebih baik, daripada banyak tetapi tidak
berkesinambungan. Hafalan yang tergesa-gesa mengakibatkan cepat lupa.
Fakta ini tersebar di kalangan para penghafal. Penyebabnya, kadangkala seseorang merasa
puas dan tertipu terhadap dirinya ketika hanya mencukupkan membaca penggalan ayat
beberapa kali saja. Apabila ia merasa penggalan ayat tadi sudah masuk dalam ingatannya,
maka ia beralih ke ayat berikutnya. Dia menyangka, semacam ini sudah cukup baginya.
Faktor yang mendukung fakta ini, karena sebagian pengampu hafalan mengabaikan
persoalan ini ketika penyetoran hafalan. Padahal semestinya, seorang penghafal tidak boleh
berhenti menghafal dan mengulang dengan anggapan bahwa ia telah hafal ayat-ayat
tersebut. Bahkan ia harus memantapkan hafalannya secara terus-menerus mengulang ayat-
ayat yang dihafalnya. Karena setiap kali mengulang kembali, akan lebih memperbagus
hafalannya, dan meringankan bebannya ketika muraja`ah.
Tetaplah terus membaca Al-Qur`ân setiap kali Anda mendapatkan kesempatan. Karena
banyak membaca, dapat memudahkan menghafal dan membuat hafalan menjadi bagus.
Banyak membaca termasuk metode paling utama dalam muraja`ah.
Cobalah Anda perhatikan, sebagian surat dan ayat yang sering Anda baca dan dengar, maka
ketika menghafalnya, Anda tidak perlu bersusah payah. Sehingga apabila seseorang telah
sampai hafalannya pada ayat-ayat tersebut, maka dengan mudah ia akan menghafalnya.
Contohnya surat al-Wâqi`âh, al-Mulk, akhir surat al-Furqân, apalagi juz ‘amma dan beberapa
ayat terakhir dari surat al-Baqarah.
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 97
kumkum
(Dengan sering membaca), dapat dibedakan antara seorang murid (yang satu) dengan murid
lainnya. Barang siapa yang memiliki kebiasaan setiap harinya selalu membaca dan memiliki
target tertentu yang ia baca, maka menghafal baginya (menjadi) mudah dan ringan. Hal ini
dapat dibuktikan dalam banyak keadaan. Ayat mana saja yang ingin dihafal, hampir-hampir
sebelumnya seperti sudah dihafal. Akan tetapi yang sedikit membaca dan tidak membuat
target tertentu setiap harinya untuk dibaca, ia akan mendapatkan kesulitan yang besar
ketika menghafal.
Perlu diketahui, wahai saudaraku! Membaca Al-Qur`ân termasuk ibadah paling utama dan
mendekatkan diri kepada Allah. Setiap huruf yang Anda baca mendapatkan satu kebaikan,
dan kebaikan akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan. Sama halnya dengan banyak
membaca surat-surat yang telah dihafal, ia dapat menambah kemantapan hafalan dan
tertanamnya dalam memori. Khususnya pada waktu shalat, maka bersungguh-sungguhlah
Anda melakukan muraja`ah yang telah dihafal dengan membacanya ketika shalat. Ingatlah,
qiyamul-lail (bangun malam) dan ketika shalat tahajjud beberapa raka’at, Anda membaca
ayat-ayat yang Anda hafal merupakan pintu paling agung di antara pintu-pintu ketaatan,
dan membuat orang lain yang sulit menghafal menjadi iri terhadap apa yang Anda hafal.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah membimbing kita kepada metode ini, yang
merupakan kebiasaan orang-orang shalih, supaya hafalan Al-Qur`ân kita menjadi kuat
melekat, dan selamat dari penyakit lupa.
Dari Sahabat 'Abdullâh bin 'Umar Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
صاحِبُ َقا َم َوإِ َذا ِ ْار ِباللَّي ِْل َف َق َرأَ َه ْال َقر
َ آن ِ ذ َك َرهُ َوال َّن َھ,َ َف َنسِ َي ُه ِب ِه َي ُق ْم َل ْم َوإِ َذا
ُآن ِب َت َع ُّھ ِد ْاألَمْ ِر َبابُ – مُسْ ِل ٌم َر َواه
ِ ْ( رقــم – ْال ُقر227)
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 98
kumkum
EMPAT BELAS : MENGHAFAL SENDIRI SEDIKIT MANFAATNYA
Karena kebiasaan manusia itu menunda-nunda amalan. Setiap kali terlintas dalam
pikirannya bahwa ia harus segera menghafal, datang kepadanya kesibukan-kesibukan dan
jiwa yang mendorongnya untuk menunda amalan. Akibatnya membuat tekadnya cepat
melemah. Adapun menghafal bersama seorang teman atau lebih, mereka akan membuat
langkah-langkah tertentu. Masing-masing saling menguatkan antara yang satu dengan
lainnya, sehingga menumbuhkan saling berlomba di antara mereka, serta memberi teguran
kepada yang meremehkan. Inilah metode yang dapat mengantarkan kepada tujuan, Insya
Allah.
Cobalah perhatikan, betapa banyak pemuda telah menghafal sekian juz di halaqah tahfizhul-
Qur'ân di masjid, kemudian mereka disibukkan dari menghadiri halaqah ini. Mereka
menyangka akan (mampu) menyempurnakan hafalan sendirian saja, dan tidak
membutuhkan halaqah lagi. Tiba-tiba keinginan itu menjadi lemah lalu )ia pun) berhenti
menghafal. Yang lebih parah lagi, orang yang seperti mereka kadang-kadang disibukkan oleh
berbagai urusan dan pekerjaan. Kemudian mereka tidak mengulang hafalan yang telah
dihafalnya. Hari pun berlalu, sedangkan semua hafalan mereka telah lupa. Mereka telah
menyia-nyiakan semua yang telah mereka peroleh.
Menghafal sendiri bisa membuka peluang pada diri seseorang terjerumus ke dalam
kesalahan saat ia mengucapkan sebagian kalimat. Tanpa ia sadari, kesalahan itu terkadang
terus berlanjut dalam jangka waktu yang lama. Tatkala ia menperdengarkan hafalannya
kepada orang lain atau kepada seorang ustadz di halaqah, maka kesalahannya akan nampak.
Oleh karena itu, wahai saudaraku! Pilihlah menghafal bersama mereka apa yang mudah bagi
Anda untuk menghafalnya dari Kitabullâh, mengulang hafalan Anda bersama mereka. Ini
merupakan sebaik-baik perkumpulan orang-orang yang saling mencintai karena Allah
Subhanahu wa Ta'ala.
Kumpulan-fatwa.blogspot.com Page 99
kumkum
Dapat dilihat pada sebagian penghafal yang tidak memperhatikan letak ayat-ayat
mutasyabih yang satu dengan lainnya. Sehingga mereka terjatuh dalam kesalahan ketika
menyetor hafalan, disebabkan tidak memperhatikan letak ayat-ayat mutasyabih itu. Dalam
hal ini, suatu ayat tertentu membuat mereka menjadi ragu dikarenakan menyerupai dengan
ayat pada surat lain. Ketika membaca ayat-ayat tersebut, ternyata berpindah ke surat
berikutnya tanpa mereka sadari. Bisa jadi ketika menyetor hafalan, kadangkala berpindah ke
ayat mutasyabih yang ketiga atau keempat apabila ayat mutasyabih itu ada di beberapa
tempat. Oleh karena itu, metode yang paling baik agar hafalan menjadi mantap, yaitu
memusatkan perhatian terhadap ayat-ayat yang sama antara satu dengan lainnya. Curahkan
kesungguhan dan fokuskan diri Anda dalam mencermatinya.
Para ulama telah menyusun berbagai kitab dalam masalah ini. Di antara kitab yang paling
ِ ْ ْال َعظِ يْم ْال ُقرkarya Imam Abi al-Hasan bin al-Munada wafat pada tahun
bagus. ialah kitab آن ُم َت َش ِاب ُه
366 H, dan kitab ار أَسْ َرا ُر ِ آن ْال ُقرْ ِفيْ ال ِّت ْك َر
ِ karya seorang qari` handal, Muhammad bin Hamzah al-
Karmani, seorang ulama abad kelima Hijriyah. Sebagian ulama juga menyusun Mandzumah
Syi’riyyah (susunan bait-bait sya’ir) dalam masalah ini, untuk memudahkan para penuntut
ilmu menghafalnya. Di antaranya, kitab آن ُم َت َش ِاب ِه ُن ْظ ُم ِ ْ ْال ُقرkarya Syaikh Muhammad at-Tisyiti,
(ia) termasuk ulama abad kesebelas Hijriyah.
Imam Ibnu Munada dalam menjelaskan pentingnya mengetahui letak (tempat-tempat) ayat-
ayat Al-Qur`ân yang mutasyabih, (beliau) berkata: “Mengetahui tempat-tempat ayat-ayat
mutasyabih, sesungguhnya dapat membantu menambah kekuatan hafalan seseorang, dan
melatih orang yang masih menghafal. Sebagian ahli qiraat telah membukukan hal ini, lalu
menyebutnya dengan al-mutasyabih, penolak dari buruknya hafalan”.[9]
Oleh karena itu, bersungguh-sungguhlah, wahai saudaraku dengan wasiat dan bimbingan
ini. Segeralah menghafal Kitabullâh, merenungi ayat-ayatnya, dan berpegang teguh dengan
petunjuknya, sebab Kitabullâh merupakan cahaya yang nyata dan jalan yang lurus.
"Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu
banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya.
Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan.
Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan
keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap
_______
Footnote
[5]. Risalah Syarah Hadits Syadad bin Aus, karya Imam Ibnu Rajab, hlm. 37.
[6]. Mutasyabihul- Qur`ânul-Azhim, karya Ibnu Munada, hlm. 56, secara ringkas.
[7]. Mutasyabihul- Qur`ânul-Azhim, hlm. 55, dan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim
dalam kitab shahîhnya, no. 2725.
Oleh
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Rasul kita Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam, dimulai dengan surat al-Fatihan dan ditutup dengan surat an-Nas, bernilai
ibadah bagi siapa yang membacanya, berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam:
Barangsiapa yang membaca satu huruf dari al-Qur’an maka baginya satu kebaikan dan
setiap kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat. Saya tidak mengatakan الــــمialah
satu huruf, akan tetapi اsatu huruf, لsatu huruf dan مsatu huruf. [HR. Bukhari].
Banyak hadits shahih yang menjelaskan tentang keutamaan membaca surat-surat dari al-
Qur’an.
1. Tidak sah shalat seseorang kecuali dengan membaca sebagian ayat al-Qur’an (yaitu surat
Al-Fatihah-Red) berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
2. Al-Qur’an terpelihara dari tahrif (perubahan) dan tabdil (penggantian) sesuai dengan
firman Allah Azza wa Jalla :
Adapun kitab-kitab samawi lainnya seperti Taurat dan Injil telah banyak dirubah oleh
pemeluknya.
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquran itu bukan dari
sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya". [an-Nisa’:
82]
"Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur'an untuk pelajaran". [al-Qamar: 32]
6. Al-Qur’an mendatangkan ketenangan dan rahmat bagi siapa saja yang membacanya,
berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Tidaklah berkumpul suatu kaum dalam suatu majlis kecuali turun pada mereka ketenangan
dan diliputi oleh rahmat dan dikerumuni oleh malaikat dan Allah akan menyebutkan mereka
di hadapan para malaikatnya". [HR. Muslim].
7. Al-Qur’an hanya untuk orang yang hidup bukan orang yang mati berdasarkan firman
Allah:
"Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya)".
[Yaasiin: 70]
"Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya". [an-Najm:39]
Imam Syafi’i mengeluarkan pendapat dari ayat ini bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak
akan sampai kepada orang-orang yang mati. Karena bacaan tersebut bukan amalan si mayit.
Adapun bacaan seorang anak untuk kedua orang tuanya, maka pahalanya bisa sampai
kepadanya, karena seorang anak merupakan hasil usaha orang tua, sebagaimana disebutkan
dalam hadits Rasulullah n .
8. Al-Qur’an sebagai penawar (obat) hati dari penyakit syirik, nifak dan yang lainnya. Di
dalam al-Qur’an ada sebagian ayat-ayat dan surat-surat (yang berfungsi) untuk mengobati
badan seperti surat al-Fatihah, an-Naas dan al-Falaq serta yang lainnya tersebut di dalam
sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
ور فِي لِّ َما َوشِ َفآ ٌء رَّ ِّب ُك ْم مِّن م َّْوعِ َظ ٌة َجآ َء ْت ُكم َق ْد ال َّناسُ َيآأَ ُّي َھا ُّ ِين َو َرحْ َم ٌة َوھ ًُدى ال
ِ ص ُد َ لِّ ْلم ُْؤ ِمن
"Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat
bagi orang-orang yang beriman". [Yunus :57]
"Dan Kami turunkan dari al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-
orang yang beriman". (◌Al-Israa’:82)
ِ
َ ِْألَصْ َح ِاب ِه َش ِفيعً ا ْال ِق َيا َم ِة َي ْو َم َيأْتِي َفإِ َّن ُه ْال ُقر
آن ا ْق َرءُوا
10. Al-Qur’an sebagai hakim atas kitab-kitab sebelumnya, sebagaimana firman Allah Azza wa
Jalla :
"Dan Kami telah turunkan kepadamu Alquran dengan membawa kebenaran, membenarkan
apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian
terhadap kitab-kitab yang lain itu". [al-Maidah: 48]
Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata sesudah menyebutkan beberapa pendapat tentang tafsir (ُم َھ ْيمِ ًنا
): “Pendapat-pendapat ini mempunyai arti yang berdekatan (sama), karena istilah () ُم َھ ْيمِ ًنا
mencakup semuanya, yaitu sebagai penjaga, sebagai saksi, dan hakim terhadap kitab-kitab
sebelumnya. Al-Qur’an adalah kitab yang paling mencakup dan sempurna, yang diturunkan
sebagai penutup kitab-kitab sebelumnya, yang mencakup seluruh kebaikan (pada kitab-
kitab) sebelumnya. Dan ditambah dengan kesempurnaan-kesempurnaan yang tidak (ada
dalam kitab) yang lainnya. Oleh karena inilah Allah k menjadikannya sebagai saksi
kebenaran serta hakim untuk semua kitab sebelumnya, dan Allah menjamin untuk
menjaganya. [Tafsir Ibnu Katsir juz 2 hal. 65]
11. Berita Al-Qur’an pasti benar dan hukumnya adil. Allah Azza wa Jalla berfirman:
ْ ِّك َك ِل َم ُة َو َتم
َّت َ ِل َك ِل َما ِت ِه ُم َب ِّد َل الَ َو َع ْدالً صِ ْد ًقا َرب
Qatadah rahimahullah berkata: “Setiap yang dikatakan al-Qur’an adalah benar dan setiap
apa yang dihukumi al-Qur’an adalah adil, (yaitu) benar dalam pengkhabaran dan adil dalam
perintahnya, maka setiap apa yang dikabarkan al-Qur’an adalah benar yang tidak ada
kebohongan dan keraguan di dalamnya, dan setiap yang diperintahkan al-Qur’an adalah adil
yang tidak ada keadilan sesudahnya, dan setiap apa yang dilarang al-Qur’an adalah bathil,
karena al-Qur’an tidak melarang (suatu perbuatan) kecuali di dalamnya terdapat kerusakan.
Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
الط ِّيبَاتِ َل ُھ ُم َو ُي ِح ُّل ْالمُن َك ِر َع ِن َو َي ْن َھا ُھ ْم ِب ْال َمعْ رُوفِ َيأْ ُم ُرھُم
َّ ِث َع َلي ِْھ ُم َوي َُحرِّ ُم
َ ْال َخ َبائ
"Dia menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan
yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi
mereka segala yang buruk" [al-A’raaf: 157] [Lihat tafsir Ibnu Katsir jilid 2 hal. 167]
12. Di dalam al-Qur’an terdapat kisah-kisah yang nyata, dan tidak (bersifat) khayalan, maka
kisah-kisah Nabi Musa bersama Fir’aun adalah merupakan kisah nyata. Firman Allah:
"Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir'aun dengan benar". [al-
Qashash: 3]
Begitu pula kisah As-Haabul Kahfi merupakan kisah nyata. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
"Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya". [Al-Kahfi: 13].
13. Al-Qur’an mengumpulkan antara kebutuhan dunia dan akhirat. Allah berfirman:
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu". [al-
Qashash: 77]
14. Al-Qur’an memenuhi semua kebutuhan (hidup) manusia baik berupa aqidah, ibadah,
hukum, mu’amalah, akhlaq, politik, ekonomi dan. permasalahan-permasalahan kehidupan
lainnya, yang dibutuhkan oleh masyarakat. Allah berfirman:
ْك َو َن َّز ْل َنا َ ِين َو ُب ْش َرى َو َرحْ َم ًة َوھ ًُدى َشىْ ٍء لِّ ُك ِّل ِت ْب َيا ًنا ْال ِك َت
َ اب َع َلي َ ل ِْلمُسْ ِلم
Al-Qurthubi berkata dalam menafsirkan firman Allah ( ) َشىْ ٍء مِن ْال ِك َتابِ فِي مَّا َفرَّ ْط َناTiadalah Kami
lupakan sesuatu apapun di dalam Al-Kitab (Al-An’aam: 38)
: “Yakni di dalam al-Lauh al-Mahfud. Karena sesungguhnya Allah l sudah menetapkan apa
yang akan terjadi, atau yang dimaksud yakni di dalam al-Qur’an yaitu Kami tidak
meninggalkan sesuatupun dari perkara-perkara agama kecuali Kami menunjukkannya di
dalam al-Qur’an, baik penjelasan yang sudah gamblang atau global yang penjelasannya bisa
didapatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , atau dengan ijma’ ataupun qias
berdasarkan nash al-Qur’an”. [Juz 6 hal. 420].
Kemudian Al-Quthubi juga berkata: “Maka benarlah berita Allah, bahwa Dia tidak
meninggalkan perkara sedikitpun dalam al-Qur’an baik secara rinci ataupun berupa kaedah.
Ath-Thabari berkata dalam menafsirkan ayat (ْك َو َن َّز ْل َنا َ “ ) َشىْ ٍء لِّ ُك ِّل َيا ًنا ِت ْب ْال ِك َتDan Kami
َ اب َع َلي
turunkan kepadamu Al-Kitab (al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu. (An-Nahl: 89):
“Al-Qur’an ini telah turun kepadamu wahai Muhammad sebagai penjelasan apa yang
dibutuhkan manusia, seperti mengetahui halal dan haram dan pahala dan siksa. Dan sebagai
petunjuk dari kesesatan dan rahmat bagi yang membenarkannya dan mengamalkan apa
yang ada di dalamnya, berupa hukum Allah, perintahNya dan laranganNya, menghalalkan
yang halal mengharamkan yang haram. …Dan kabar gembira bagi orang-orang yang
berserah diri …… beliau berkata : “dan sebagai gambar gembira bagi siapa saja yang ta’at
kepada Allah dan tunduk kepadaNya dengan bertauhid dan patuh dengan keta’atan, maka
Allah akan berikan kabar gembira kepadanya berupa besarnya pahala di akhirat dan
keutamaan yang besar. [Juz 14 hal. 161].
15. Al-Qur’an mempunyai pengaruh yang kuat terhadap jiwa manusia dan jin.
Adapun (pengaruh yang kuat terhadap) manusia maka banyak kaum musyrikin pada
permulaan Islam yang terpengaruh dengan al-Qur’an dan merekapun masuk Islam.
Sedangkan di zaman sekarang, saya pernah bertemu dengan pemuda Nasrani yang telah
masuk Islam dan dia menyebutkan kepadaku bahwa dia terpengaruh dengan al-Qur’an
ketika ia mendengarkan dari kaset. Adapun (pengaruh yang kuat terhadap) jin, maka
sekelompok jin telah berkata:
"Katakanlah (hai Muhammad0 :" Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya : sekumpulan jin
telah mendengarkan (al-Qur'an) , lalu mereka berkata : Sesungguhnya kami telah
mendengarkan al-Qur'an yang menakjubkan (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang
benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan
seseoranpun dengan Rabb kami". [al-Jin : 1-2]
Adapun orang-orang musyrik, banyak diantara mereka yang terpengaruh dengan al-Qur’an
ketika mendengarnya. Sehingga Walid bin Mughirah berkata: “Demi Allah, ini bukanlah syair
dan bukan sihir serta bukan pula igauan orang gila, dan sesungguhnya ia adalah Kalamullah
yang memiliki kemanisan dan keindahan. Dan sesungguhya ia (al-Qur’an) sangat tinggi
(agung) dan tidak yang melebihinya. [Lihat Ibnu Katsir juz 4 hal 443].
16. Orang yang belajar al-Qur’an dan mengajarkan adalah orang yang paling baik.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya." [HR. Bukhari]
17.
ُ
آن ْال َما ِھ ُر
ِ ْآن َي ْق َرأ َوالَّذِي ْال َب َر َر ِة ْالك َِر ِام ال َّس َف َر ِة َم َع ِب ْال ُقر
َ ْاق َع َل ْي ِه َوھ َُو فِي ِه َو َي َت َتعْ َتعُ ْال ُقر ِ أَجْ َر
ٌّ ان َل ُه َش
"Orang yang mahir dengan al-Qur’an bersama malaikat yang mulia, sedang orang yang
membaca al-Qur’an dengan tertatih-tatih dan ia bersemangat (bersungguh-sungguh maka
baginya dua pahala" [HR. Bukhari-Muslim].
"Sesungguhnya al-Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan
memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa
bagi mereka ada pahala yang besar". [al-Isra: 9]
19. Al-Qur’an menenangkan hati dan memantapkan keyakinan. Orang-orang yang beriman
mengetahui bahwa al-Qur’an adalah tanda (mujizat) yang paling besar yang menenangkan
hati mereka dengan keyakinan yang mantap. Allah berfirman:
"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan mengingat Allah.
Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah hati menjadi tenteram". [ar-Rad: 28].
Maka apabila seorang mukmin ditimpa kesedihan, gundah gulana, atau penyakit, maka
hendaklah ia mendengarkan al-Qur’an dari seorang Qari’ yang bagus suaranya, seperti al-
Mansyawi dan yang lainnya. Karena Rasulullah Shalalllahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Baguskan (bacaan) al-Qur’an dengan suaramu maka sesungguhnya suara yang bagus akan
menambah keindahan suara al-Qur’an". [Hadits Shahih, lihat Shahihul Jami’ karya Al-Albani
rahimahullah].
20. Kebanyakan surat-surat dalam al-Qur’an mengajak kepada tauhid, terutama tauhid
uluhiyah dalam beribadah, berdo’a, minta pertolongan.
َّ )أَ َح ٌد.
(ُ ھ َُو ُق ْل
"Katakanlah "Aku berlindung kepada Rabb Yang Menguasai subuh". [al-Falaq:1] dan:
Dan masih banyak ayat tauhid di dalam surat-surat al-Qur’an yang lain. Di dalam surat Jin
engkau baca firman Allah Azza wa Jalla :
21. Al-Qur’an merupakan sumber syari’at Islam yang pertama yang Allah turunkan kepada
Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengeluarkan manusia dari
kegelapan kufur, syirik dan kebodohan menuju cahaya keimanan, tauhid dan ilmu. Allah
berfirman:
َ َْك أ
ٌنز ْل َناهُ ِك َتاب َ اس ِل ُت ْخ ِر َج إِ َلي ُّ ْال َحمِي ِد ْال َعزيز صِ َراطِ إِلَى َرب ِِّھ ْم ِبإِ ْذ ِن ال ُّنور إِ َلى
ِ الظلُ َما
َ ت م َِن ال َّن ِ ِ ِ
"Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan
manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Rabb mereka, (yaitu)
menuju jalan Rabb Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". [Ibrahim: 14].
22. Al-Qur’an memberitakan perkara-perkara ghaib yang akan terjadi, tidak bisa diketahui
kecuali dengan wahyu. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Golongan itu (yakni kafirin Quraisy) pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke
belakang". [al-Qamar: 45].
Dan sungguh orang-orang musyrik telah kalah dalam perang Badar, mereka lari dari medan
peperangan. Al-Qur’an (juga) banyak memberitakan tentang perkara-perkara yang ghaib,
kemudian terjadi setelah itu.
[Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, dosen di Darul Hadits Al-Khairiyah di Makkah Al-
Mukarramah]
________
Footnote
[1]. Diterjemahkan oleh Ahmad Khamidin dari makalah yang berjudul Min Khashaish Al-
Qur’an Al-Karim, di dalam majalah Al-Furqan no:85, hal: 24-25]
Oleh
Sesungguhnya di antara sebab yang bisa mendatangkan kecintaan Allah kepada seorang
hamba adalah membaca al Qur`an dengan khusyu' dan berusaha memahaminya. Sehingga
tidak mengherankan, apabila kedekatan dengan al Qur`an merupakan perwujudan ibadah
yang bisa mendatangkan cinta Allah.
Para salafush-shalih, ketika membaca al Qur`an, mereka sangat menghayati makna ini.
Sehingga ketika membaca al Qur`an, seolah-olah seperti seorang perantau yang sedang
membaca sebuah surat dari kekasihnya.
Seandainya kita berpikir, sungguh ini merupakan keistimewaan yang luar biasa. Allah Yang
Maha Besar, Maha Tinggi, Raja Diraja, mengkhususkan khitab (pembicaraan) dan kalamNya
untuk manusia yang penuh dengan kelemahan ini. Allah memberikan kepada mereka
kemuliaan untuk berbicara, berkomunikasi denganNya.
Kemuliaan ini akan lebih sempurna apabila disertai keikhlasan. Karena ikhlas -sebagaimana
yang dikatakan oleh Imam Nawawi- merupakan kewajiban utama bagi pembaca al Qur`an.
Dan seharusnya ia menyadari, bahwa dirinya sedang bermunajat kepada Allah.[4]
Allah telah memberikan izin kepadamu untuk bermunajat kepadaNya. Dengan demikian,
berarti Allah telah memberikan rahasia cintaNya kepadamu. Dan al Qur`an, merupakan
bukti kecintaanNya. Karena al Qur`an memberikan petunjuk tentang Allah dan yang
dicintaiNya. Maka, tentu cinta kepadaNya merupakan jalan hati dan akal untuk mengetahui
sifat-sifat Allah dan hal-hal yang dicintaiNya. Melalui al Qur`an, kita bisa mengetahui nama-
namaNya, apa yang layak dan yang tidak layak bagiNya, serta (mengetahui) secara rinci
syari'at yang diperintahkan dan yang dilarang Allah, dan mengantarkan seseorang menuju
cinta dan ridhaNya.
Oleh karena itu, ada di antara para sahabat berusaha untuk mendapatkan kecintaan Allah
dengan membaca satu surat. Dia renungi dan dia cintai; yaitu surat al Ikhlash, yang
mengandung sifat-sifat Allah. Dia selalu membacanya dalam shalat yang ia lakukan. Ketika
ditanya tentang hal itu, ia menjawab : "Karena ia merupakan sifat Allah, dan aku sangat suka
menjadikannya sebagai bacaan". Mendengar jawaban itu, Nabi bersabda :
Orang yang mencintai al Qur`an, mestinya cinta kepada Allah Azza wa Jalla, karena sifat-sifat
Allah terdapat di dalam al Qur`an. Dan semestinya, ia juga cinta kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena beliaulah yang menyampaikan al Qur`an.
Bukti terbesar cinta kepada al Qur`an, yaitu seseorang berusaha untuk mehamami,
merenungi dan memikirkan makna-maknanya. Sebaliknya, bukti kelemahan cinta kepada al
Qur`an atau tidak cinta sama sekali, yaitu berpaling tidak merenungi maknanya. Allah Azza
wa Jalla mencela orang munafik, karena tidak merenungi al Qur`an dengan firmanNya :
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan al Qur`an? Sekiranya al Qur`an itu bukan dari
sisi Allah, tentu mereka sudah mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya". [an
Nisaa`/4 : 82] .
"Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakit itu; dan bagi mereka siksa
yang pedih disebabkan mereka berdusta". [al Baqarah/2 : 10].
Jadi, ketika Allah Azza wa Jalla mengajak manusia untuk mentadabburi al Qur`an, pada
hakikatnya Allah Azza wa Jalla mengajak untuk mengobati hati mereka dari berbagai macam
penyakit yang membahayakan.
"(Maka apakah mereka tidak memperhatikan al Qur`an ataukah hati mereka terkunci-QS
Muhammad/47 ayat 24)" menunjukkan wajibnya mentadaburi al Qur`an supaya dapat
mengetahui maknanya.[7]
Seseorang yang membaca al Qur`an, hendaknya berusaha untuk memahami setiap ayat
yang ia baca. Karena dengan merenungi dan memahaminya, serta mengulanginya,
seseorang akan bisa merasakan nikmatnya al Qur`an.
Bisyr bin as Sura berkata,"Sesungguhnya ayat al Qur`an ibarat buah kurma. Setiap kali
engkau kunyah, maka engkau akan merasakan manisnya," kemudian perkataan ini
diceritakan kepada Abu Sulaiman, dan dia berkata,"Benar! Maksudnya, apabila salah
seorang mulai membaca satu ayat, maka ia ingin segera untuk membaca yang
berikutnya."[9]
Al Qur`an akan mengangkat derajat seseorang di sisi Allah. Orang yang menjaganya, berarti
ia telah membawa panji agama Islam, sebagaimana dikatakan oleh al Fudhail bin Iyad :
"Hamilul Qur`an adalah pembawa panji Islam. Tidak layak baginya untuk lalai bersama orang
yang lalai, lupa bersama orang yang lupa, sebagai wujud mengagungkan Allah".[10]
Orang yang menjunjung tinggi al Qur`an, maka dialah yang berhak mendapatkan kemuliaan
membawa panji Islam. Allah Azza wa Jalla berfirman :
"Sesungguhnya telah kami turunkan kepada kalian sebuah kitab yang di dalamnya terdapat
sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kalian tidak memahaminya" [al Anbiyaa`/21 :
10].
"(Dan sesungguhnya al Qur`an itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar bagimu dan
bagi kaummu dan kelak kalian akan diminta pertanggungan jawab". -az Zukhruf/43 ayat 44-
maksudnya adalah, (al Qur`an) merupakan kemuliaan bagimu dan bagi mereka, apabila
mereka menegakkan hak-haknya.[12]
Rasulullah juga memberitahukan tentang ketinggian derajat Ahlul Qur`an. Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda :
"Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat beberapa kaum dengan kitab (al Qur`an) ini
dan menghinakan yang lain".[13]
Oleh karena itu, merupakan keharusan bagi orang yang membaca al Qur`an untuk tidak
seperti orang kebanyakan. 'Abdullah bin Mas'ud berkata,"Hamilul Qur`an itu mestinya
dikenal dengan malamnya saat manusia lain sedang tidur. Dikenal siangnya dengan
berpuasa, saat manusia tidak puasa. Dikenal dengan kesedihannya ketika manusia senang,
dengan tangisnya ketika manusia tertawa, dengan diamnya ketika manusia berbicara, dan
dengan khusyu'nya ketika manusia dalam keadaan sombong."[14] Demikian ini merupakan
sifat mulia yang harus dimiliki oleh Hamilul Qur`an.
Begitu pula orang yang mencintai al Qur`an, hendaknya tidak membanggakan diri, tertipu
dan sombong kepada orang lain dengan kemuliaan yang Allah limpahkan kepadanya. Allah
berfirman :
Merasa kurang, bukan berarti kemudian tidak menyadari nikmat Allah atau tidak boleh
menceritakan nikmat itu, karena sebagai wujud rasa syukur.
Hamilul Qur`an (penghapal) berada dalam kenikmatan yang tiada bandingannya, jika dia
mengamalkannya. 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata,"Wahai Qurra` (para
pembaca al Qur`an), angkatlah kepala-kepala kalian. Sungguh, jalan telah dijelaskan buat
kalian, maka berlomba-lombalah dalam kebaikan, dan janganlah kalian menjadi beban bagi
manusia."[16]
"(Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang
yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia
menyaksikannya. -Qaaf/50 ayat 37-)". Karena pengaruh al Qur`an sepenuhnya tergantung
dari yang memberi pengaruh, tempat yang bisa menerima pengaruh, terpenuhi syarat-
syaratnya, dan tidak ada yang menghalangi. Maka ayat di atas menjelaskan tentang semua
itu dengan ungkapan yang ringkas namun jelas, dan mewakili maksudnya.
"(Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan)", (ini merupakan)
isyarat kepada ayat-ayat yang telah lewat dari awal surat sampai ayat ini. Inilah muatstsir
(yang memberikan pengaruh).
Dan firmanNya :
"(bagi orang-orang yang mempunyai hati)" adalah, tempat yang bisa menerima pengaruh
tersebut. Yaitu hati yang hidup yang mengenal Allah Subhanahu wa Ta'ala , sebagaiamana
Allah Azza wa Jalla berfirman :
(Al Qur`an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan, supaya dia
(Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) –Yasin/36 ayat
69, 70-), yaitu yang hatinya hidup.
Adapun firmanNya :
شھد وھو
"(dan dia menyaksikannya)", maknanya, hatinya hadir, tidak lalai. Ibnu Qutaibah
rahimahullah berkata,"Yakni, dia mendengarkan al Qur`an dengan penuh perhatian, tidak
dengan hati yang lalai lagi lupa. Ini menunjukkan adanya penghalang dari mendapatkan
pengaruh, yaitu kelalaian hati tidak merenungi, tidak memikirkan, serta tidak melihat apa
yang dikatakan kepadanya.
Apabila ada yang memberikan pengaruh -yaitu al Qur`an- (maka) ada tempat yang bisa
menerima pengaruh –yaitu hati yang hidup- dan syaratnya ada -yaitu mendengarkan- serta
tidak ada penghalang -yaitu sibuknya hati dengan yang lainya- maka pengaruh itu, pasti
akan timbul. Itulah perwujudan dalam memanfaatkan al Qur`an dan mengambil pelajaran
darinya".[18]
Oleh karena itu apabila seseorang ingin mendapatkan kecintaan dari Allah, maka hendaklah
ia memiliki perhatian yang besar kepada al Qur`an, berusaha membacanya, merenugi dan
mengamalkanya. Jika kita sudah bertekad untuk mengambil pelajaran darinya, maka
hendaklah kita mengamalkan adab-adab berikut.
1. Ikhlas, hanya mengharap pahala dari Allah Azza wa Jalla dan menyadari bahwasannya ia
sedang berkomunikasi dengan Allah.
3. Bagi orang yang junub dan haid, diharamkan membaca al Qur`an, baik semuanya atau
sebagiannya, kecuali apabila bacaan tersebut merupakan salah satu dzikir pagi dan petang,
atau dzikir secara mutlak yang disunnahkan bagi seseorang untuk membacanya.
4. Seseorang yang membaca al Qur`an, hendaklah membacanya di tempat yang bersih dan
lebih utama melakukannya di masjid. Karena di masjid, kebersihan dan kemuliaan tempat
menyatu.
Dan karena membaca dengan tartil lebih menghargai dan lebih memberikan pengaruh
dibandingkan membacanya dengan cepat.
10. Disunnahkan meminta karunia dari Allah saat selesai membaca ayat-ayat tentang
rahmat Allah Azza wa Jalla, memohon perlindungan dari siksa apabila selesai membaca ayat-
ayat tentang adzab, dan bertasbih kepada Allah apabila melewati ayat-ayat tentang
pensucian Allah Azza wa Jalla .
11. Menjauhi hal-hal yang bisa mengurangi sikap hormat terhadap al Qur`an, seperti
tertawa pada saat membacanya, melakukan perbuatan sia-sia, menjadikannya sebagai
bahan perdebatan, atau perbuatan lainya yang bisa mengurangi keagungan al Qur`an.
Berdasarkan firman Allah :
"Dan apabila dibacakan al Qur`an, maka hendaklah kalian dengarkan baik-baik, dan
perhatikanlah dengan tenang, semoga kalian mendapat rahmat". [al A'raf/7:204].
12. Tidak boleh membaca al Qur`an dengan selain bahasa Arab, sekalipun bahasa Arabnya
fasih, ataupun sama sekali tidak bisa, baik dalam shalat ataupun di luar shalat.
13. Tidak boleh membaca al Qur`an, kecuali dengan qira’at as sab'ah (bacaan tujuh) yang
mutawatir. Dan hendaknya tidak mencampur-adukkan bacaan yang tujuh tersebut selama
dalam satu pembahasan.
14. Hendaknya membaca sesuai dengan urutan yang ada dalam mushaf, baik saat shalat
ataupun yang lainnya.
"Tidaklah suatu kaum berkumpul pada salah satu rumah-rumah Allah, membaca al Qur`an
dan mempelajarinya di antara mereka, kecuali akan turun kepada mereka ketenangan.
Mereka akan diselimuti rahmat, dan Allah akan menyebut (menceritakan) mereka kepada
para malaikat yang ada di sisiNya".[21]
17. Disunnahkan membaca dengan mengeraskan suara, selama tidak khawatir riya' dan
tidak mengganggu orang lain. Karena mengeraskan suara bisa mengggugah hati,
memusatkan hati, serta memusatkan pendengaran ke konsentrasi untuk merenungi bacaan.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits :
"Tidaklah Allah mengizinkan sesuatu kepada seorang nabi seperti izinnya untuk
memperbagus suara dan mengeraskannya ketika membaca al Qur`an".
18. Ketika membaca al Qur`an, disunnahkan untuk memperbagus suara, sebagaimana sabda
Rasulullah :
19. Disunnahkan minta dibacakan al Qur`an dari orang yang bersuara bagus, sebagaimana
diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
meminta kepada 'Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu :
"Bacakanlah Aku (al Qur`an)!" Dia mengatakan : Aku berkata,"Apakah aku membacakanmu
al Qur`an, padahal ia diturunkan kepadamu?" Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
menjawab,"Sesungguhnya aku senang mendengarnya dari orang lain." Dia mengatakan :
Aku berkata,"Lalu aku membaca surat an Nisaa`, saat sampai pada ayat
َ َش ِھي ًدا َھؤُ َال ِء َع َلى ِب َك َو ِج ْئ َنا ِب َش ِھي ٍد أ ُ َّم ٍة ُك ِّل ِمنْ ِج ْئ َنا إِ َذا َف َكي
ْف
"Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadaku : "Cukuplah!" Lalu aku melihat
kedua mata beliau berlinang".[23]
20. Dimakruhkan membaca al Qur`an pada kondisi-kondisi tertentu, seperti ketika ruku`,
sujud, dan yang lainya ketika sedang shalat, kecuali saat berdiri. Dan bagi makmum,
dimakruhkan membaca al Qur`an lebih dari surat al Fatihah apabila dia mendengar bacaan
imam. Juga makruh membaca al Qur`an dalam keadaan mengantuk dan ketika sedang
mendengarkan khutbah.
21. Dilarang mengkhususkan membaca surat-surat tertentu pada saat-saat tertentu, kecuali
jika ada dalil yang menjelaskannya, seperti mengkhususkan membaca surat-surat yang ada
ayat sajdahnya pada waktu Subuh hari Jum'at selain surat Sajdah, atau membaca surat al
An'am pada raka'at terakhir shalat tarawih pada malam ketujuh dengan diiringi keyakinan
bahwa itu sunnah.
Apabila membaca al Qur`an termasuk salah satu faktor yang akan mendatangkan kecintaan
Allah kepada seorang hamba, maka sebaliknya, berpaling dari al Qur`an merupakan salah
satu faktor yang akan mendatangkan murka Allah. Nabi n mengadukan kepada Allah k ,
orang yang meninggalkan dan berpaling dari al Qur`an, sebagaimana difirmankan Allah :
"Rasul berkata : "Wahai, Rabb-ku. Sesungguhnya kaumku telah menjadikan al Qur`an ini
sesuatu yang tidak diacuhkan". [al Furqan/25 : 30].
Dari sini kita bisa memahami, berpaling dari al Qur`an itu bermacam-macam bentuknya.
Oleh karena itu, seorang muslim hendaknya menjaga dirinya agar tidak terjerumus dalam
salah satu perbuatan tersebut.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Hajrul Qur`an (berpaling dari al Qur`an) itu ada
beberapa bentuk. Pertama : Berpaling tidak mau mendengarkannya, dan tidak
mengimaninya. Kedua : Tidak mengamalkannya, dan tidak berhenti pada apa yang
dihalalkan dan apa yang diharamkannya, walaupun ia membaca dan mengimaninya. Ketiga :
"Rasul berkata : "Wahai, Rabb-ku. Sesungguhnya kaumku telah menjadikan al Qur`an ini
sesuatu yang tidak diacuhkan". [al Furqan/25 : 30].
Ini semua merupakan perbuatan hajr terhadap al Qur`an. Ditambah lagi dengan meng-hajr
bacaan. Artinya, dia tidak mau membaca al Qur`an.
Fenomena seperti ini merebak di tengah masyarakat, seperti meletakkan al Qur`an pada
tempat-tempat tertentu untuk bertabarruk (mendapatkan barakahnya saja), meletakkan di
salah satu pojok rumah, di bagian belakang atau di depan kendaraan sampai tertutup debu.
Ini menunjukkan telah menghajr al Qur`an (tidak mempedulikan dan tidak pernah
membacanya), sekaligus hal ini merupakan perlakukan yang buruk terhadap al Qur`an.
Demikian ini merupakan tingkatan seseorang yang meninggalkan al Qur`an serta beberapa
keadaan mereka. Adapun keadaan seseorang yang selalu menyertai al Qur`an, maka ikatan
hubungan mereka dengan al Qur`an juga bermacam-macam, sesuai tingkat keseriusan yang
diberikan Allah k kepada mereka.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk Hamilul Qur`an yang memiliki ikatan kokoh
dengannya, dan selalu menjadikan al Qur`an sebagai pedoman dan penawar penyakit hati.
_______
Footnote
[5]. Diriwayatkan Imam al Bukhari, no. 7375; Fat-hul Bari, 13/360, dan Imam Muslim, 1/557
(813)
[9]. Al Burhan fi 'Ulumil Qur`an, Imam az Zarkasyi, tahqiq Muhammad Abul Fadl Ibrahim,
1/471.
[12]. Tafsir Jalalain, Jalaluddin al Mahalli dan Jalaluddin as Suyuthi, halaman 599, Cet. Darur-
Rayyan, Mesir.
[20]. Dalam masalah ini terdapat perselisihan pendapat di antara para ulama. (Redaksi).
[21]. Diriwayatkan Abu Dawud, no. 1455 (148/2); dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani
dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 1291 (1/142); dan at Tirmidzi, no. 2946 (8/142), Ibnu
Majah dalam Muqaddimah-nya, no. 225 (1/82), Ahmad, 2/252, no. 407
[22]. Riwayat Imam al Bukhari dalam Shahih-nya, no. 7544; Fat-hul Bari, 3/527.
[23]. Riwayat Imam al Bukhari, no. 5055; Fat-hul Bari, 8/717 dan Imam Muslim, no. 700
(551/1).
Oleh
Diterimanya wahyu oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan peristiwa
yang sangat besar. Turunnya merupakan peristiwa yang tidak disangka-sangka. Begitulah
Allah memberikan titahNya kepada manusia terpilih, yaitu Muhammad bin Abdullah bin
Abdul Muthalib.
Wahyu, secara bahasa artinya adalah, pemberitahuan secara rahasia nan cepat. Secara
syar'i, wahyu berarti pemberitahuan dari Allah kepada para nabiNya dan para rasulNya
tentang syari'at atau kitab yang hendak disampaikan kepada mereka, baik dengan perantara
atau tanpa perantara. Wahyu secara syar'i ini jelas lebih khusus, dibandingkan dengan
makna wahyu secara bahasa, baik ditinjau dari sumbernya, sasarannya maupun isinya.
Ada bermacam-macam wahyu syar'i, dan yang terpenting ialah sebagaimana penjelasan
berikut.
Pertama : Taklimullah (Allah Azza wa Jalla berbicara langsung) kepada NabiNya dari
belakang hijab. Yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala menyampaikan apa yang hendak Dia
sampaikan, baik dalam keadaan terjaga maupun dalam keadaan tidur.
Sebagai contoh dalam keadaan terjaga, yaitu seperti ketika Allah Azza wa Jalla berbicara
langsung dengan Musa Alaihissallam, dan juga dengan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi
wa sallam pada peristiwa isra' dan mi'raj. Allah berfirman tentang nabi Musa :
Adapun contoh ketika dalam keadaan tidur, yaitu sebagaimana diceritakan dalam hadits dari
Ibnu Abbas dan Mu'adz bin Jabal. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
ُور ٍة أَحْ َس ِن فِي َربِّي أَ َتانِي َ ت م َُح َّم ُد َيا َف َقا َل ص ُ ْك ُق ْل
َ ْك َربِّ َل َّبي َ ت ْاألَعْ َلى ْال َم َأل ُ َي ْخ َتصِ ُم فِي َم َقا َل َو َسعْ دَ ي ُ ض َع أَ ْد ِري َال َربِّ ُق ْل َ يَدَ هُ َف َو
ُ ْب ْال َم ْش ِر ِق َبي َْن َما َف َع ِلم
ُ ت َث ْد َييَّ َبي َْن َبرْ دَ َھا َف َو َج ْد
ت َك ِت َفيَّ َبي َْن ِ ت م َُح َّم ُد َيا َف َقا َل َو ْال َم ْغ ِر ُ ْك َف ُق ْل
َ ْك َربِّ َل َّبي َ َي ْخ َتصِ ُم فِي َم َقا َل َو َسعْ دَ ي
ُ ت ْاألَعْ َلى ْال َم َأل ُ ُق ْل...
"Aku didatangi (dalam mimpi) oleh Rabb-ku dalam bentuk terbaik, lalu Dia berfirman :
"Wahai, Muhammad!"
Aku menjawab,"Wahai, Rabb-ku, aku tidak tahu," lalu Dia meletakkan tanganNya di kedua
pundakku, sampai aku merasakan dingin di dadaku. Kemudian, aku dapat mengetahui
semua yang ada di antara timur dan barat.
Dalam hal wahyu ini, para ulama salaf, Ahli Sunnah wal Jama'ah memegangi pendapat,
bahwa Nabi Musa Alaihissallam dan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam,
keduanya pernah mendengar kalamullah al azaliy al qadim [1], yang merupakan salah satu
sifat di antara sifat-sifat Allah. Pendapat ini sangat berbeda dan tidak seperti yang dikatakan
oleh sebagian orang, bahwa yang terdengar adalah bisikan hati atau suara yang diciptakan
oleh Allah Azza wa Jalla pada sebatang pohon.
Kedua : Allah Azza wa Jalla menyampaikan risalahNya melalui perantaraan Malaikat Jibril,
dan ini meliputi beberapa cara, yaitu :
2). Malaikat Jibril Alaihissallam terkadang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
dalam wujud seorang lelaki. Biasanya dalam wujud seorang lelaki yang bernama Dihyah al
Kalbiy. Dia adalah seorang sahabat yang tampan rupawan. Atau terkadang dalam wujud
seorang lelaki yang sama sekali tidak dikenal oleh para sahabat. Dalam penyampaian wahyu
seperti ini, semua sahabat yang hadir dapat melihatnya dan mendengar perkataannya, akan
tetapi mereka tidak mengetahui hakikat permasalahan ini. Sebagaimana diceritakan dalam
hadits Jibril yang masyhur, yaitu berisi pertanyaan tentang iman, Islam dan ihsan. Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Di awal hadits ini, 'Umar bin Khaththab
Radhiyallahu 'anhu menceritakan :
ُول عِ ْندَ َنحْ نُ َب ْي َن َماِ َرس ِ َّ صلَّى َ ُ َّ اض َشدِي ُد َر ُج ٌل َعلَ ْي َنا َط َل َع إِ ْذ َي ْو ٍم َذاتَ َو َسلَّ َم َع َل ْي ِه ِّ َع َل ْي ِه ي َُرى َال ال َّش َعر َس َوا ِد َشدِي ُد
ِ الثيَابِ َب َي ِ
ىح أَ َح ٌد ِم َّنا َيعْ ِر ُف ُه َو َال ال َّس َف ِر أَ َث ُر
َ س َّت َ صلَّى ال َّن ِبيِّ إِ َلى َج َلَ ُ َّ َو َسلَّ َم َع َل ْي ِه...
Pada suatu saat, kami sedang duduk bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tiba-
tiba muncul seorang lelaki yang berpakaian sangat putih, sangat hitam rambutnya, tidak
terlihat tanda-tanda melakukan perjalanan jauh, dan tidak tidak ada seorangpun di antara
kami yang mengenalnya, sampai dia duduk di dekat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
Kemudian di akhirnya, yaitu sesaat setelah orang itu pergi, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bertanya kepada Umar Radhiyallahu 'anhu :
ت السَّا ِئ ُل َمنْ أَ َت ْد ِري ُع َم ُر َيا َّ دِي َن ُك ْم ي َُعلِّ ُم ُك ْم أَ َتا ُك ْم ِجب ِْري ُل َفإِ َّن ُه َقا َل أَعْ َل ُم َو َرسُولُ ُه
ُ ُ ُق ْل
Ini menunjukkan, meskipun para sahabat dapat melihatnya dan bisa mendengar suaranya,
namun mereka tidak mengetahui jika dia adalah Malaikat Jibril yang datang membawa
wahyu. Mereka mengerti setelah diberitahu oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
3). Malaikat Jibril mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun ia tidak terlihat.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui kedatangan Malaikat Jibril dengan suara yang
mengirinya. Terkadang seperti suara lonceng, dan terkadang seperti dengung lebah. Inilah
yang terberat bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga dilukiskan saat
menerima wahyu seperti ini, wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berubah. Meski
pada cuaca yang sangat dingin, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bermandikan keringat,
dan pada saat itu bobot fisik Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berubah secara
mendadak.
Sebagaimana diceritakan oleh salah seorang sahabat, yaitu Zaid bin Tsabit Radhiyallahu
'anhu, dia berkata : "Allah Azza wa Jalla menurunkan wahyu kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, sementara itu paha beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang berada di
atas pahaku. Lalu paha beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi berat, sampai aku
khawatir pahaku akan hancur".[2]
Beratnya menerima wahyu dengan cara seperti ini, juga diceritakan sendiri oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa ass ditanya :
"Wahai, Rasulullah. Bagaimanakah cara wahyu sampai kepadamu?" Beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam menjawab,"Terkadang wahyu itu datang kepadaku seperti suara lonceng, dan
inilah yang terberat bagiku, dan aku memperhatikan apa dia katakan. Dan terkadang
Berdasarkan riwayat dan penjelasan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini, maka
dapat dipahami bahwa saat menerima semua wahyu, Rasulullah merasa berat. Namun, yang
paling berat ialah cara yang semacam ini.
Yaitu Allah Azza wa Jalla atau Malaikat Jibril meletakkan wahyu yang hendak disampaikan ke
dalam kalbu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam disertai pemberitahuan bahwa, ini merupakan
dari Allah Azza wa Jalla. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam kitab al
Qana'ah, dan Ibnu Majah, serta al Hakim dalam al Mustadrak. Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda :
ِ ث ْال ُق ُد
َّس ر ُْو َح إِن َ ر ُْوعِ ي فِي َن َف: ْب فِي َوأَجْ مِلُ ْوا َ َفا َّت ُق ْوا ِر ْز َق َھا َتسْ َت ْك ِم َل َح َّتى َن ْفسٌ َتم ُْوتَ َلن َّ َْطا ُء أَ َحدَ ُك ْم َيحْ ِم َلنَّ َوال
ِ الط َل َ اسْ ِتب
ِب َمعْ صِ َي ِة ُه َي ْطلُ َب أَنْ الرِّ ْز ِق َ ِب َط
َ َاع ِت ِه إِالَّ مَاعِ ْندَ هُ ُي َنا ُل ال
ِ َّ َفإِن
"Sesungguhnya Ruhul Quds (Malaikat Jibril) meniupkan ke dalam kalbuku : "Tidak akan ada
jiwa yang mati sampai Allah Azza wa Jalla menyempurnakan rizkinya. Maka hendaklah kalian
bertakwa kepada Allah, dan carilah rizki dengan cara yang baik. Janganlah keterlambatan
rizki membuat salah seorang di antara kalian mencarinya dengan cara bermaksiat kepada
Allah. Sesungguhnya apa yang di sisi Allah Azza wa Jalla tidak akan bisa diraih, kecuali
dengan mentaatiNya".
Yaitu Allah memberikan ilmu kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, saat beliau berijtihad
pada suatu masalah.
Yaitu Allah Azza wa Jalla terkadang memberikan wahyu kepada para nabiNya dengan
perantaraan mimpi. Sebagai contoh, yaitu wahyu yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim
Alaihissalllam agar menyembelih anaknya. Peristiwa ini diceritakan oleh Allah Azza wa Jalla:
"Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim,
Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar". [ash Shaffat/37 : 102].
Demikian cara-cara penerimaan wahyu Allah Azza wa Jalla yang diberikan kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Semua jenis wahyu ini dibarengi dengan keyakinan dari si
penerima wahyu, bahwa apa yang diterima tersebut benar-benar datang dari Allah Azza wa
Jalla, bukan bisikan jiwa, apalagi tipu daya setan.
[Diangkat dari as-Siratun Nabawiyah fi Dau-il Qur'an was Sunnah, Muhammad bin
Muhammad Abu Syuhbah, hlm. 269-271]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06//Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-761016]
_______
Footnote
Oleh
“Artinya : Dari Ibnu Umar, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda,
“Janganlah perempuan yang haid dan orang yang junub membaca sedikit pun juga dari
(ayat) Al-Qur’an.”
Dalam riwayat yang lain, “Janganlah orang yang junub dan perempuan yang haid membaca
sedikit pun juga dari (ayat) Al-Qur’an”
DLA’IF Dikeluarkan oleh Tirmidzi (no. 121). Ibnu Majah (no. 595 dan 596). Ad-Daruquthni
(1/117) dan Baihaqiy (1/89), dari jalan Ismail bin Ayyaasy dari Musa bin Uqbah dari Naafi,
dari Ibnu Umar (ia berkata seperti di atas)
Berkata Imam Bukhari, “Ismail (bin Ayyaasy) munkarul hadits (apabila dia meriwayatkan
hadits) dari penduduk Hijaz dan penduduk Iraq” [1]
Saya berkata : Hadits di atas telah diriawayatkan oleh Ismail bin Ayyaasy dari Musa bin
Uqbah seorang penduduk Iraq. Dengan demikian riwayat Ismail bin Ayyaasy dla’if.
Imam Az-Zaila’i di kitabnya Nashbur Raayah (I/195) menukil keterangan Imam Ibnu Adiy di
kitabnya Al-Kaamil bahwa Ahmad dan Bukhari dan lain-lain telah melemahkan hadits ini dan
Abu Hatim menyatakan bahwa yang benar hadits ini mauquf kepada Ibnu Umar (yakni yang
benar bukan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tetapi hanya perkataan Ibnu
Umar).
“Artinya : Dari jalan Abdul Malik bin Maslamah (ia berkata) Telah menceritakan kepadaku
Mughirah bin Abdurrahman, dari Musa bin Uqbah dan Naafi, dari Ibnu Umar, ia berkata :
Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak boleh bagi orang junub
membaca sedikitpun juga dari (ayat) Al-Qur’an”
Al-Hafidz Ibnu Hajar telah melemahkan riwayat di atas disebabkan Abdul Malik bin
Maslamah seorang rawi yang dla’if (Talkhisul Habir 1/138)
“Artinya : Dari seorang laki-laki, dari Abu Ma’syar, dari Musa bin Uqbah, dari Naafi, dari Ibnu
Umar, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Perempuan yang haid dan
orang yang junub, keduanya tidak boleh membaca sedikitpun juga dari (ayat) Al-Qur’an”
Saya berkata : Riwayat ini dla’if karena : Pertama : Ada seorang rawi yang mubham (tidak
disebut namanya yaitu dari seorang laki-laki). Kedua : Abu Ma’syar seorang rawi yang dla’if.
“Artinya : Dari jalan Muhammad bin Fadl, dari bapaknya, dari Thawus, dari Jabir, ia berkata :
Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak boleh bagi perempuan yang
haid dan nifas (dalam riwayat yang lain : Orang yang junub) membaca (ayat) Al-Qur’an
sedikitpun juga (dalam riwayat) yang lain : Sedikitpun juga dari (ayat) Al-Qur’an)”
MAUDLU, Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni (2/87) dan Abu Nua’im di kitabnya Al-Hilyah
(4/22).
Saya berkata : Sanad hadits ini maudhu (palsu) karena Muhammad bin Fadl bin Athiyah bin
Umar telah dikatakan oleh para Imam ahli hadits sebagai pendusta sebagaimana keterangan
Al-Hafidz Ibnu Hajar di Taqrib-nya (2/200). Dan di kitabnya Talkhisul Habir (1/138) beliau
mengatakan bahwa orang ini matruk.
Ketika hadits-hadits diatas dari semua jalannya dla’if bahkan hadits terakhir maudlu, maka
tidak bisa dijadikan sebagai dalil larangan bagi perempuan haid dan nifas dan orang yang
junub membaca Al-Qur’an. Bahkan telah datang sejumlah dalil yang membolehkannya.
Pertama : Apabila tidak ada satu pun dalil yang sah (shahih dan hasan) yang melarang
perempuan haid, nifas dan orang yang junub membaca ayat-ayat Al-Qur’an, maka
hukumnya dikembalikan kepada hukum asal tentang perintah dan keutamaan membaca Al-
Qur’an secara mutlak termasuk perempuan haid, nifas dan orang yang junub.
Kedua : Hadits Aisyah ketika dia haid sewaktu menunaikan ibadah haji.
“Artinya : Dari Aisyah, ia berkata : Kami keluar (menunaikan haji) bersama Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam (dan) kami tidak menyebut kecuali haji. Maka ketika kami sampai di (satu
tempat bernama) Sarif aku haid. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemuiku
dan aku sedang menangis, lalu beliau bertanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis?”
Jawabku, “Aku ingin demi Allah kalau sekiranya aku tidak haji pada tahun ini?” Jawabku,
“Ya” Beliau bersabda, “Sesungguhnya (haid) ini adalah sesuatu yang telah Allah tentukan
untuk anak-anak perempuan Adam, oleh karena itu kerjakanlah apa-apa yang dikerjakan
Hadits yang mulia ini dijadikan dalil oleh para Ulama di antaranya amirul mu’minin fil hadits
Al-Imam Al-Bukhari di kitab Shahih-nya bagian Kitabul Haid bab 7 dan Imam Ibnu Baththaal,
Imam Ath-Thabari, Imam Ibnul Mundzir dan lain-lain bahwa perempuan haid, nifas dan
orang yang junub boleh membaca Al-Qur’an dan tidak terlarang. Berdasarkan perintah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah untuk mengerjakan apa-apa yang dikerjakan
oleh orang yang sedang menunaikan ibadah haji selain thawaf dan tentunya juga terlarang
shalat. Sedangkan yang selainnya boleh termasuk membaca Al-Qur’an. Karena kalau
membaca Al-Qur’an terlarang bagi perempuan haid tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah menjelaskannya kepada Aisyah. Sedangkan Aisyah saat itu sangat membutuhkan
penjelasan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apa yang boleh dan terlarang baginya.
Menurut ushul “mengakhirkan keterangan dari waktu yang dibutuhkan tidak boleh.
“Artinya : Dari Aisyah, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdzikir atas
segala keadaannya” [Hadits shahih riwayat Muslim (1/194 dan lain-lain]
Hadits yang mulia ini juga dijadikan hujjah oleh Al-Imam Al-Bukhari dan lain-lain imam
tentang bolehnya orang yang junub dan perempuan haid atau nifas membaca Al-Qur’an.
Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdzikir kepada Allah atas segala keadaannya dan
yang termasuk berdzikir ialah membaca Al-Qur’an. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikra [2] (Al-Qur’an) ini, dan sesungguhnya
Kami jugalah yang akan (tetap) menjaganya” [Al-Hijr : 9]
“Dan Kami turunkan kepadamu Adz-Dzikra (Al-Qur’an) supaya engkau jelaskan kepada
manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan agar supaya mereka berfikir” [An-Nahl :
44]
Kelima : Ibnu Abbas mengatakan tidak mengapa bagi orang yang junub membaca Al-Qur’an
(Shahih Bukhari Kitabul Haidh bab 7).
Jika engkau berkata : Bukankah telah datang hadits bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak membaca Al-Qur’an ketika janabah?
Saya jawab : Hadits yang dimaksud tidak sah dari hadits Ali bin Abi Thalib dengan lafadz.
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari tempat buang air (wc),
lalu beliau makan daging bersama kami, dan tidak ada yang menghalangi beliau sesuatupun
juga dari (membaca) Al-Qur’an selain janabah:
DLA’IF. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 229), Tirmidzi (no 164), Nasa’i (1/144), Ibnu
Majah (no. 594), Ahmad (1/83, 84, 107 dan 124), Ath-Thayaalis di Musnad-nya (no. 94), Ibnu
Khuzaimah di Shahih-nya (no. 208), Daruquthni (1/119), Hakim (1/152 dan 4/107) dan
Baihaqiy (1/88-89) semuanya dari jalan Amr bin Murrah dari Abdullah bin Salimah dari Ali,
marfu (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam berbeda seperti diatas)
Hadits ini telah dishahihkan oleh Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Hakim, Adz-
Dzahabi, Ibnu Sakan, Abdul Haq, Al-Baghawiy dan Syaikhul Imam Ahmad Muhammad Syakir
di takhrij Tirmidzi dan takhrij musnad Ahmad.
Berkata Asy-Syafi’iy, “Ahli hadits tidak mentsabitkan (menguatkan)nya”. Yakni, ahli hadits
tidak menguatkan riwayat Abdullah bin Salimah. Karena Amr bin Murrah yang
meriwayatkan hadits ini Abdullah bin Salimah sesudah Abdullah bin Salimah tua dan
berubah hafalannya. Demikian telah diterangkan oleh para Imam di atas. Oleh karena itu
hadits ini kalau kita mengikuti kaidah-kaidah ilmu hadits, maka tidak ragu lagi tentang
dla’ifnya dengan sebab di atas yaitu Abdullah bin Salimah ketika meriwayatkan hadits ini
telah tua dan berubah hafalannya. Maka bagaimana mungkin hadits ini sah (shahih atau
hasan)!. Selain itu hadits ini juga tidak bisa dijadikan dalil larangan bagi orang yang junub
dan perempuan yang haid atau nifas membaca Al-Qur’an, karena semata-mata Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membacanya dalam junub tidak berarti beliau
melarangnya sampai datang larangan yang tegas dari beliau. Ini kalau kita takdirkan hadits
di atas sah, apalagi hadits di atas dla’if tentunya lebih tidak mungkin lagi dijadikan sebagai
hujjah atau dalil!
Meskipun demikian menyebut nama Allah atau membaca Al-Qur’am dalam keadaan suci
(berwudlu) lebih utama yakni hukumnya sunat berdasarkan hadits shahih di bawah ini.
“Artinya : Dari Muhaajir bin Qunfudz, sesungguhnya dia pernah datang kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang buang air kecil (kencing), lalu ia memberi
salam kepada beliau akan tetapi beliau tidak menjawab (salam)nya sampai beliau berwudlu.
Kemudian beliau beralasan dan bersabda : ”Sesungguhnya aku tidak suka menyebut nama
Allah (berdzikir) kecuali dalam keadaan suci (berwudlu)” [Hadits shahih riwayat Abu Dawud
dan lain-lain]
[Disalin dari buku Tiga Hukum Bagi Perempuan Haid Dan Junub (Menyentuh/Memegang Al-
Qur; Membacanya Dan Tinggal Atau Diam Di Masjid, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat,
Penerbit Darul Qolam]
_________
Footnotes
[1]. Saya nukil dari Baihaqiy dengan ringkas yang menukil dari Bukhari
Oleh
Tidak ada satupun dalil yang melarang menyentuh atau memegang Al-Qur’an bagi orang
junub, perempuan haid dan nifas. Allahumma, kecuali mereka yang melarang atau
mengharamkan berdalil dengan firman Allah Azza wa Jalla.
“Tidak ada yang menyentuh (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan” [Al-Waqi’ah :
79]
Yang hak, yang dimaksud oleh ayat di atas ialah : Tidak ada yang dapat menyentuh Al-
Qur’an yang ada di Lauhul Mahfudz sebagaimana ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya
(ayat 78) kecuali para Malaikat yang telah disucikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Demikian tafsir dari Ibnu Abbas dan lain-lain sebagaimana telah diterangkan oleh Al-Hafidzh
Ibnu Katsir di tafsirnya. Bukanlah yang dimaksud bahwa tidak boleh menyentuh atau
memegang Al-Qur’an kecuali orang yang bersih dari hadats besar dan hadats kecil. Kalau
betul demikian maksudnya tentang firman Allah di atas artinya menjadi : Tidak ada yang
menyentuh Al-Qur’an kecuali mereka yang suci/bersih, yakni dengan bentuk faa’il
(subyek/pelaku) bukan maf’ul (obyek). Kenyataannya Allah berfirman : Tidak ada yang
menyentuhnya (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan, yakni dengan bentuk maf’ul
(obyek) bukan sebagai faa’il (subyek).
Shahih riwayat Daruquthni dari jalan Amr bin Hazm. Dan dari jalan Hakim bin Hizaam
diriwayatkan oleh Daruquthni, Hakim, Thabrani di kitabnya Mu’jam Kabir dan Mu’jam
Ausath dan lain-lain. Dan dari jalan Ibnu Umar diriwayatkan oleh Daruquthni dan lain-lain.
Dan dari jalan Utsman bin Abil Aash diriwayatkan oleh Thabrani di Mu’jam Kabir dan lain-
lain. [1]
Yang hak, yang dimaksud oleh hadits di atas ialah : Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an
kecuali orang mu’min, karena orang mu’min itu suci tidak najis sebagaimana sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Shahih riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan lain-
lain dari jalan Abu Hurairah, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
menjumpaiku di salah satu jalan dari jalan-jalan yang ada di Madinah, sedangkan aku dalam
keadaan junub, lalu aku menyingkir pergi dan segera aku mandi kemudian aku datang
(menemui beliau), lalu beliau bersabda, “Kemana engkau tadi wahai Abu Hurairah?”
Jawabku, “Aku tadi dalam keadaan junub, maka aku tidak suka duduk bersamamu dalam
keadaan tidak bersih (suci)”. Maka beliau bersabda, “Subhanallah! Sesungguhnya orang
mu’min itu tidak najis” (Dalam riwayat yang lain beliau bersabda, “Sesungguhnya orang
muslim itu tidak najis”).
Bukanlah yang dimaksud dengan orang yang suci ialah suci dari hadats besar dan hadats
kecil, karena lafadz thaahir dalam hadits di atas ialah satu lafadz yang mempunyai beberapa
arti (musytarak) yaitu : Suci dari hadats besar, suci dari hadats kecil dan suci dalam arti
orang mui’min. untuk menentukan salah satu dari tiga macam arti thaahir diatas harus ada
qarinah (tanda dan alamat) yang membawa dan menentukan salah satunya. Apakah arti
Untuk yang pertama dan kedua yaitu bersih dari hadats besar dan hadats kecil tidak ada
satupun qarinah yang menetapkannya. [2]. Sedangkan untuk yang ketiga yaitu orang
mu’min telah datang qarinah dari hadits shahih di atas yaitu sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis”, Yakni orang mu’min itu suci,
karena najis lawan dari suci, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menafikan
(meniadakan) kenajisan bagi orang-orang yang beriman (mu’minun), maka mafhumnya
bahwa orang-orang yang beriman itu suci. Istimewa apabila kita melihat kepada sebab-
sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (sabaabul wurudil hadits) bahwa orang mu’min itu
tidak najis, yaitu kejadian pada diri Abu Hurairah yang sedang janabah dan tidak mau duduk
bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan anggapan bahwa dia sedang tidak suci!?
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalahkan anggapan tersebut dengan sabdanya :
Subhaanallah, sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis.
[Disalin dari buku Tiga Hukum Bagi Perempuan Haid Dan Junub (Menyentuh/Memegang Al-
Qur; Membacanya Dan Tinggal Atau Diam Di Masjid, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat,
Penerbit Darul Qolam]
_________
Footnotes
[1]. Irwaa-ul Ghalil no. 122 oleh Syaikhul Imam Al-Albani. Beliau telah mentakhrij hadits di
atas dan menyatakannya shahih
[2]. Karena tidak datang satupun dalil yang melarang menyentuh atau memegang Al-Qur’an
bagi orang yang junub, perempuan haid dan nifas
Oleh
Pertanyaan
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Kita menyaksikan di banyak negara
yang berpenduduk muslim ada yang menyewa qari’ (orang yang membaca Al-Qur’an).
Bolehkah bagi orang yang membaca Al-Qur’an mengambil upah bacaannya? Berdosakah
orang yang memberikan upah tersebut?
Jawaban
Membaca Al-Qur’an merupakan ibadah mahdhah (murni) dan salah satu ibadah untuk
mendekatkan diri seorang hamba kepada Rabb-nya. Hukum asal pada ibadah ini dan ibadah
mahdhah lainnya adalah, dilakukan oleh seorang muslim untuk mencari ridha Allah,
mengharapkan balasan dari sisi-Nya, bukan untuk mencari balasan dan terima kasih dari
makhluk.
Oleh karena itu, tidak pernah diketahui dari generasi Salafush Shalih perbuatan menyewa
orang untuk membacakan Al-Qur’an untuk mayit, atau dalam walimah, atau acara-acara
lainnya. Dan tidak ada riwayat dari seorang imam pun (yang menerangkan) ada di antara
mereka yang memerintahkan hal tersebut, ataupun memberikan keringanan dalam hal
demikian ini. Juga tidak pernah diketahui dari salah seorang mereka yang mengambil upah
bacaan Al-Qur’an. Bahkan (sebaliknya,-red) mereka membaca Al-Qur’an karena
mengharapkan balasan di sisi Allah Azza wa Jalla. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Imam Tirmidzi dalam Sunan-nya meriwayatkan hadits dari Imran bin Hushain, bahwasanya
dia (Imran) melewati seseorang yang membaca Al-Qur’an, lalu (orang itu) meminta (imbalan
kepada manusia, red). Imran beristirja (yaitu mengucapkan kalimat innalillahi wa inna ilaihi
raji’un, red), lalu ia berkata.
Begitu juga hadits Sahl tentang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menikahkan seorang
lelaki dengan seorang wanita dengan mahar, si lelaki mengajarkan (kepada) wanita (berupa)
Al-Qur’an yang ia bisa. (Berdasarkan ini, red), sehingga orang yang mengambil upah
membaca Al-Qur’an, atau menyewa sekelompok orang untuk membacakan Al-Qur’an, maka
perbuatan tersebut menyelisihi sunnah dan menyalahi kesepakatan para Salafush Shalih.
BACAKANLAH SURAT YASIN TERHADAP ORANG YANG AKAN MATI DI ANTARA KALIAN
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Bagaimana maksud hadits : “
Bacakanlah surat Yasin terhadap orang yang akan mati di antara kalian”. ?
Jawaban
Imam Ahmad, Abu Dawud, An-Nasaa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim, dari Ma’qal
bin Yasir, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda.
“Bacakanlah surat Yasin terhadap orang yang akan mati di antara kalian”.
“Surat Yasin adalah hati (jantung) Al-Qur’an. Tidak ada seorang pun yang membacanya yang
menginginkan Allah dan hari akhirat, kecuali dia akan diampuni dosanya. Dan bacakanlah
surat itu terhadap orang yang mati di antara kailan’ [1]
Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban, sedangkan Yahya bin Al-Qaththan menjelaskan
illatnya (cacatnya) berupa idhthirab (goncang), mauquf (sampai sahabat). Abu Utsman dan
bapaknya yang disebutkan dalam sanadnya ini majhul (tidak diketahui) keadaannya.
Ad-Daruquthni berkata : “Hadits ini sanadnya dhaif (lemah), matannya (isi haditsnya)
majhul, dan dalam masalah ini, satupun tidak ada hadits yang shahih”.
Berdasarkan keterangan ini, maka kami tidak perlu menjelaskan maksud hadits ini, karena
hadits ini tidak shahih. Seandainya dianggap shahih, maka maksudnya adalah membacakan
surat Yasin kepada orang yang sedang sekarat supaya ingat, dan supaya pada akhir masa
hidupnya di dunia mendengar bacaan Al-Qur’an. (Maksud hadits ini), bukanlah membacakan
surat Yasin kepada orang yang sudah nyata-nyata meninggal
Kami bantah dengan perkataan, seandainya hadits ini sah dan maksudnya adalah benar
demikian, maka tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya. Dan tentunya
perbuatan Nabi sudah disampaikan kepada kita. Akan tetapi, hal itu tidak pernah ada
sebagaimana penjelasan di atas. Ini menunjukkan, yang dimaksud dengan kata ‘mautakum’
dalam hadist ini (seandainya shahih) adalah orang-orang yang sedang mengalami sekarat
yang terdapat dalam hadits riwayat Muslim dalam shahih-nya, bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda.
(“Tuntulah orang yang sekarat di antara kalian ‘Laa ilaha illallahu’). Sesungguhnya yang
dimaksudkan adalah orang-orang yang sekarat, sebagaimana dalam kisah wafatnya Abu
Thalib, paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
__________
Foote Note
[1]. Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (5/26,27), Abu Dawud (3/489, no. 3121), Ibnu Majah
(1/466, no. 1448), Ibnu Abi Syaibah (3/237), Ibnu Hibban (7/269, no. 3002), Ath-Thabrani
(20/219, 220, 231. no. 510, 511 dan 541), Al-Hakim (1/565), Ath-Thayalisi (hlm. 126 no. 931),
An-Nasaa’i di dalam Amalul Yaumi wal Lailah (hlm. 581, 582, no. 1074, 1075), Al-Baihaqi
(3/383) dan Al-Baghawi (5/295, no. 1461)
Oleh
Di banyak masjid seorang qari’ akan duduk sebelum shalat Jum’at sekitar setengah jam
sambil membaca al-Qur’an dengan suara keras sampai waktu adzan tiba. Dan ini jelas salah,
dengan dua alasan:
Pertama: Perbuatan ini adalah bid’ah yang diada-adakan. Tidak pernah ditegaskan bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan seorang Sahabat yang memiliki
suara yang merdu, seperti Abu Musa al-Asy’ari, ‘Abdullah bin Mas’ud, dan lain-lainnya untuk
membaca al-Qur’an sebelum shalat Jum’at sementara orang-orang mendengarkannya.
Seandainya hal tersebut baik, pastilah mereka (Salafush Shalih) akan mendahului kita untuk
melakukan hal itu.
Kedua: Hal itu akan mengganggu orang-orang yang shalat, membaca al-Qur’an, berdzikir,
dan berdo’a.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang sebagian jama’ah shalat untuk saling
mengeraskan suara dalam membaca al-Qur’an atas sebagian yang lain. Imam Malik dan
Imam Ahmad رحمھماtelah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari al-Bayadhi
radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar menemui
orang-orang yang sedang mengerjakan shalat, sementara suara mereka terdengar keras
membaca al-Qur’an, maka beliau bersabda:
“Sesungguhnya orang yang shalat itu bermunajat kepada Rabb-nya, karenanya hendaklah
dia memperhatikan dengan apa dia bermunajat. Dan janganlah sebagian kalian
mengeraskan suara atas sebagian yang lain dalam membaca al-Quran.” [1]
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dari Abu Sa’id al-
Khudri Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
beri’tikaf di masjid lalu beliau mendengar mereka mengeraskan suara bacaan al-Qur’an,
lalu beliau membuka tabir pemisah seraya bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya masing-
masing dari kalian bermunajat kepada Rabb-nya. Oleh karena itu, janganlah sebagian kalian
mengganggu sebagian lainnya, dan janganlah sebagian mengangkat suara atas yang lainnya
dalam membaca al-Qur’an,” atau beliau bersabda, “Dalam shalat.” [2]
Imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Jika orang yang shalat membaca bacaan
al-Qur'an tidak boleh mengeraskan suaranya agar tidak salah dan tidak mengganggu orang
di sampingnya. Dengan demikian, berbicara di masjid yang mengganggu jama’ah shalat
maka jelas lebih tegas, lebih tidak diperbolehkan, dan lebih haram.” [3]
Sebagian orang meyakini bahwa shalat Shu-buh tidak sah dikerjakan, kecuali jika dibacakan
di dalamnya surat as-Sajdah dan al-Insaan. Dan ini jelas salah. Sebab, membaca kedua surat
tersebut di dalam shalat Shubuh pada hari tersebut adalah sunnah. Dengan demikian, orang
yang tidak membaca keduanya maka shalat Shubuhnya tetap sah.
Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiy-yah rahimahullah mengatakan, “Tidak
sepatutnya untuk selalu membaca kedua surat tersebut sehingga orang-orang bodoh akan
beranggapan bahwa hal itu adalah wajib dan orang yang meninggalkannya berdosa. Tetapi
sebaiknya, terkadang perlu juga tidak membacanya, karena memang tidak ada kewajiban
untuk itu.” [4]
_______
Footnote
[1]. Shahih: Diriwayatkan oleh Malik: 3- kitab ash-Shalaah, 6- bab al-‘Amal fil Qira-ah. Dan
Ahmad (XXXI/363), no. 19022), terbitan ar-Risaalah. Al-Baihaqi di dalam kitab al-Kubraa (III/
11) di dalam kitab ash-Shalaah, bab man lam yarfa’ shautahu bil qiraa’ah syadiidan idzaa
kaana yataadzaa bihi man haulahu. Hadits ini dinilai shahih oleh Ibnu ‘Abdil Barr di dalam
kitab at-Tamhiid (II/92/Fat-hul Maalik) juga al-Albani di dalam ta’liq (komentar) terhadap
kitab Ishlaahul Masaajid (74), serta al-Arnauth di dalam kitab Tahqiiq al-Musnad (no.
19022).
[2]. Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 1332) dan dinilai shahih oleh Ibnu ‘Abdil Barr
di dalam kitab at-Tamhiid (II/92/ Fat-hul Maalik), serta al-Albani di dalam kitab Shahiih
Sunan Abu Dawud (no. 1183).
Oleh
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa nasehat Syaikh yang mulia kepada
orang-orang yang menghabiskan waktunya selama sebulan bahkan berbulan-bulan tetapi
tidak pernah menyentuh Kitab Allah sama sekali tanpa udzur. Dan, salah seorang di antara
mereka akan anda dapatkan sibuk mengikuti edisi-edisi Majalah yang tidak bermanfa'at?
Jawaban
Disunnahkan bagi seorang mukmin dan mukminah untuk memperbanyak bacaan terhadap
Kitabullah disertai dengan tadabur dan pemahaman, baik melalui mushaf ataupun hafalan.
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
"Artinya : Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah
supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang
yang mempunyai pikiran," [Shad : 29]
Dan firmanNya,
"Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan
shalat dan menafkahkan sebahagian dari rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka
dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak
akan merugi. Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah
Tilawah yang dimaksud mencakup bacaan dan Ittiba' (pengamalan), bacaan dengan
tadabbur dan pemahaman, sedangkan ikhlash kepada Allah merupakan sarana di dalam
Ittiba ' dan di dalam tilawah tersebut juga terdapat pahala yang besar, sebagaimana sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
"Artinya : Bacalah Al-Qur'an, karena ia akan datang pada Hari Kiamat sebagai penolong bagi
orang-orang yang membacanya."[1]
"Artinya : Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Al-Qur 'an dan
mengajarkannya." [2]
"Artinya : Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Kitabullah, maka dia akan
mendapatkan satu kebaikan sedangkan satu kebaikan itu (bernilai) sepuluh kali lipatnya, aku
tidak mengatakan 'Alif Laam Miim ' sebagai satu huruf, akan tetapi 'Alif sebagai satu huruf,
'Laam ' sebagai satu huruf dan 'miim ' sebagai satu huruf."[3]
Demikian pula telah terdapat hadits yang shahih dari beliau, bahwasanya beliau bersabda
kepada Abdullah bin Amr bin al-Ash,
"Bacalah Al-Qur 'an setiap bulannya. " Dia (Abdullah bin Amr bin Al-Ash) berkata, "Aku
menjawab, 'Aku menyanggupi lebih banyak dari itu lagi.' Lalu beliau bersabda lagi, 'Bacalah
setiap tujuh malam sekali."[4]
Wasiat saya kepada semua para Qari Al-Qur'an agar memperbanyak bacaan Al-Qur'an
dengan cara mentadabburi, memahami dan berbuat ikhlas karena Allah Subhanahu wa
Ta’ala disertai tujuan untuk mendapatkan faedah dan ilmu. Dan, hendaknya pula dapat
mengkhatamkannya setiap bulan sekali dan bila ada keluangan, maka lebih sedikit dari itu
lagi sebab yang demikian itulah kebaikan yang banyak. Boleh mengkhatamkannya kurang
dari seminggu sekali dan yang utama agar tidak mengkhatamkannya kurang dari tiga hari
sekali karena hal seperti itu yang sesuai dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada Abdullah bin Amr bin Al-Ash dan karena membacanya kurang dari tiga hari akan
menyebabkan keterburu-buruan dan tidak dapat mentadabburinya.
Demikian juga, tidak boleh membacanya dari mushaf kecuali dalam kondisi suci, sedangkan
bila membacanya secara hafalan (di luar kepala) maka tidak apa-apa sekalipun tidak dalam
kondisi berwudhu'.
Sedangkan orang yang sedang junub, maka dia tidak boleh membacanya baik melalui
mushaf ataupun secara hafalan sampai dia mandi bersih dulu. Hal ini berdasarkan riwayat
Imam Ahmad dan para pengarang buku-buku As-Sunan dengan sanad Hasan dari 'Ali ,
bahwasanya dia berkata, "Tidak ada sesuatupun yang menahan (dalam versi riwayat yang
lain: menghalangi) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari membaca Al-Qur'an selain
jinabah."
Wa billahi at-Tawfiq.
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama. Al-
Balad Al-Haram, Edisi Indonesia, Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisy,
Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]
__________
Foote Note
[4]. HR. Al-Bukhari, Fadha 'il al-Qur'an (5052); Muslim, ash-Shiyam (1159).
Oleh
Manhaj Al-Qur'an dalam menetapkan wujud Al-Khaliq serta keesaanNya adalah satu-
satunya manhaj yang sejalan dengan fitrah yang lurus dan akal yang sehat. Yaitu dengan
mengemukakan bukti-bukti yang benar, yang membuat akal mau menerima dan musuh pun
menyerah. Di antara dalil-dalil itu adalah:
Sudah menjadi kepastian, setiap yang baru tentu ada yang mengadakan. Ini adalah sesuatu
yang dimaklumi setiap orang melalui fitrah, bahkan hingga oleh anak-anak. Jika seorang
anak dipukul oleh seseorang ketika ia tengah lalai dan tidak melihatnya, ia pasti akan
berkata, "Siapa yang telah memukulku?" Kalau dikatakan kepadanya, "Tidak ada yang
memukulmu", maka akalnya tidak dapat menerima-nya. Bagaimana mungkin ada pukulan
tanpa ada yang melakukannya. Kalau dikatakan kepadanya, "Si Fulan yang memukulmu",
maka kemungkinan ia akan menangis sampai bisa membalas memukulnya. Karena itu Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Artinya : Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan
(diri mereka sendiri)?" [Ath-Thur: 35]
Ini adalah pembagian yang membatasi, yang disebutkan Allah dengan shighat istifham inkari
(bentuk pertanyaan menyangkal), guna menjelaskan bahwa mukadimah ini sudah
merupakan aksioma (kebenaran yang nyata), yang tidak mungkin lagi diingkari. Dia
berfirman, "Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun?" Maksudnya tanpa pencipta
yang menciptakan mereka, ataukah mereka menciptakan diri mereka sendiri? Tentu tidak.
"Artinya : Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah
diciptakan oleh sembahan-sembahan (mu) selain Allah ..." [Luqman: 11]
"Artinya : ... Perlihatkan kepadaKu apakah yang telah mereka ciptakan dari bumi ..." [Al-
Ahqaf: 4]
"Artinya : ... Apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat
menciptakan seperti ciptaanNya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan
mereka?" Katakanlah: "Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan Yang
Mahaesa lagi Mahaperkasa". [Ar-Ra'd: 16]
"Artinya : Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat
menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersa-tu untuk menciptakannya." [Al-Hajj:
73]
"Artinya : Dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah, tidak dapat membuat sesuatu
apapun, sedang berhala-berhala itu (sendiri) dibuat orang." [An-Nahl: 20]
"Artinya : Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat
menciptakan (apa-apa)? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran." [An-Nahl: 17]
Sekalipun sudah ditantang berulang-ulang seperti itu, namun tidak sseorang pun yang
mengaku bahwa dia telah menciptakan sesuatu. Pengakuan atau dakwaan saja tidak ada,
apalagi menetapkan dengan bukti. Jadi, ternyata benar hanya Allah-lah Sang Pencipta, dan
tidak ada sekutu bagiNya.
"Artinya : Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain)
besertaNya, kalau ada tuhan besertaNya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk
yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang
lain." [Al-Mu'minun: 91]
Tuhan yang hak harus menjadi pencipta sejati. Jika ada tuhan lain dalam kerajaannya, tentu
tuhan itu juga bisa mencipta dan berbuat. Ketika itu pasti ia tidak akan rela adanya tuhan
lain bersamanya. Bahkan, seandainya ia mampu mengalahkan temannya dan menguasai
sendiri kerajaan serta ketuhanan, tentu telah ia lakukan. Apabila ia tidak mampu
mengalahkannya, pasti ia hanya akan mengurus kerajaan miliknya. Sebagaimana raja-raja di
dunia mengurus kerajaannya sendiri-sendiri. Maka terjadilah perpecahan, sehingga harus
terjadi salah satu dari tiga perkara berikut ini:
Salah satunya mampu mengalahkan yang lain dan menguasai alam sendirian.
Masing-masing berdiri sendiri dalam kerajaan dan penciptaan, sehingga terjadi pembagian
(kekuasaan).
Kedua-duanya berada dalam kekuasaan seorang raja yang bebas dan berhak berbuat apa
saja terhadap keduanya. Dengan demikian maka dialah yang menjadi tuhan yang hak,
sedangkan yang lain adalah hambanya.
Dan kenyataannya, dalam alam ini tidak terjadi pembagian (kekuasaan) dan ketidakberesan.
Hal ini menunjukkan pengaturnya adalah Satu dan tak seorang pun yang menentangNya.
Dan bahwa Rajanya adalah Esa, tidak ada sekutu bagiNya.
Jawaban Musa sungguh tepat dan telak, "Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan
kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk."
Maksudnya, Tuhan kami yang telah menciptakan semua makhluk dan memberi masing-
masing makhluk suatu ciptaan yang pantas untuknya; mulai dari ukuran, be-sar, kecil dan
sedangnya serta seluruh sifat-sifatnya. Kemudian me-nunjukkan kepada setiap makhluk
tugas dan fungsinya. Petunjuk ini adalah hidayah yang sempurna, yang dapat disaksikan
pada setiap makhluk. Setiap makhluk kamu dapati melaksanakan apa yang menjadi
tugasnya. Apakah itu dalam mencari manfaat atau menolak baha-ya. Sampai hewan ternak
pun diberiNya sebagian dari akal yang mem-buatnya mampu melakukan yang bermanfaat
baginya dan mengusir bahaya yang mengancamnya, dan juga mampu melakukan tugasnya
dalam kehidupan. Ini seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Artinya : Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya ..." [As-Sajdah: 7]
Jadi yang telah menciptakan semua makhluk dan memberinya sifat penciptaan yang baik,
yang akan manusia tidak bisa mengusulkan yang lebih baik lagi, juga yang telah
menunjukkan kepada kemasla-hatannya masing-masing adalah Tuhan yang sebenarnya.
Menging-kariNya adalah mengingkari wujud yang paling agung. Dan hal itu merupakan
kecongkakan atau kebohongan yang terang-terangan.
Allah memberi semua makhluk segala kebutuhannya di dunia, kemudian menunjukkan cara-
cara pemanfaatannya. Dan tidak syak lagi jika Dia telah memberi setiap jenis makhluk suatu
bentuk dan rupa yang sesuai dengannya. Dia telah memberi setiap laki-laki dan perempuan
bentuk yang sesuai dengan jenisnya, baik dalam pernikahan, perasaan dan unsur sosial. Juga
telah memberi setiap anggota tubuh bentuk yang sesuai untuk suatu manfaat yang telah
ditentukan-Nya. Semua ini adalah bukti-bukti nyata bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta'ala
adalah Tuhan bagi segala sesuatu, dan Dia yang berhak disembah, bukan yang lain.
"Pada setiap benda terdapat bukti bagiNya, yang menunjukkan bahwa Dia adalah Esa."
Seandainya seseorang mengakui tauhid rububiyah tetapi tidak mengimani tauhid uluhiyah,
atau tidak mau melaksanakannya, maka ia tidak menjadi muslim dan bukan ahli tauhid,
bahkan ia adalah kafir jahid (yang menentang). Dan tema inilah yang akan kita bahas pada
pasal berikutnya, insya Allah.
[Disalin dari kitab At-Tauhid Lish Shaffil Awwal Al-Ali, Edisi Indonesia Kitab Tauhid 1, Penulis
Syaikh Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah bin Fauzan, Penerjemah Agus Hasan Bashori Lc,
Penerbit Darul Haq]
Oleh
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya melihat ketika bulan ramadhan di
Mansharim –ini adalah untuk pertama kalinya saya shalat tarawih di Manthiqah Ha’il- ketika
itu imam memegang mushaf dan membacanya, kemudian dia meletakkan di sampingnya
dan mengulang-ngulang hal itu hingga selesai shalat tarawih, sebagaimana yang dia lakukan
pula ketika shalat malam di sepuluh terakhir ramadhan. Pemandangan ini mengherankan
saya karena kebiasaan itu tersebar di hampir seluruh masjid-masjid di Ha’il, padahal aku
tidak pernah mendapatkannya di Madinah Al-Munawarah misalnya ketika saya shalat tahun
yang lalu sebelum ini.
Yang menjadi ganjalan saya, apakah amal tersebut pernah dikerjakan pada zaman Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Jika tidak berarti termasuk bid’ah yang diada-adakan yang
belum pernah dikerjakan oleh seorangpun di antara sahabat maupun tabi’in. Lagi pula
bukankah lebih utama membaca surat pendek yang dihafal imam daripada membaca
dengan melihar mushaf dengan target supaya dapat menghatamkan bersamaan dengan
habisnya bulan, karena imam membaca setia harinya satu juz? Jika perbuatan tersebut
diperbolehkan manakah dalil dari Kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam?
Jawaban
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Awwal, Edisi Indonesia Fatawa bin Baaz, Penulis Syaikh
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Penerjemah Abu Umar Abdillaj, Penerbit At-Tibyan Solo]
Oleh
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum membawa Al-Qur’an bagi
makmum dalam shalat tarawih di bulan Ramadhan dengan dalil untuk mengikuti bacaan
imam?
Jawaban
Membawa mushaf dengan tujuan ini, menyelisihi sunnah berdasar beberapa hal yaitu :
Pertama : Hal ini menjadikan seseorang tidak meletakkan tangan kanannya di atas tangan
kirinya.
Kelima : Orang ini mungkin tidak merasakan bahwa ia sedang shalat bila hatinya sedang
tidak konsentrasi. Berbeda jika ia shalat dengan khudhu' dan tawadhu' dengan meletakkan
tangan kanan di atas tangan kiri, dengan kepala menunduk melihat tempat sujud. Hal ini
lebih dekat kepada hadirnya perasaan bahwa ia sedang shalat di belakang imam.
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Sebagian imam masjid mencoba untuk
menyentuh hati menusia dengan cara merubah irama suaranya dalam shalat tarawih.
Sebagian orang mendengarkan hal ini dan mengingkarinya. Bagaimana pendapat anda
tentang hal ini ?
Jawaban
Menurutku jika perbuatan ini masih dalam batas-batas syar’i dan tidak berlebih-lebihan
maka tidaklah mengapa. Tentang ini Abu Musa Asy’ari berkata kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam :
“Sekiranya aku tahu bahwa anda mendengarkan bacaanku, tentulah akan kuperbagus
suaraku” [1]
[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi
Problematika Umat Islam Seputar Akidah Dan Ibadah, Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-
Utsaimin, terbitan Pustaka Arafah]
__________
Foote Note
[1]. Hadits Riwayat Baihaqi dalam Syahadat Bab Memperbagus suara dalam membaca Al-
Qur’an 10/231, Abu Ya’la 13/266 (7279).
Oleh
Membaca Al-Qur'an merupakan ibadah dan merupakan salah satu sarana yang paling utama
untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunahku dan sunnah para Al-Khulafa'ur
Rasyidun setelahku" [1]
"Artinya : Barangsiapa mengada-adakan dalam perkara kami ini (perkara agama) yang tidak
berasal darinya, maka dia itu tertolak" [2]
"Artinya : Barangsiapa melaksanakan suatu amalan yang tidak ada perintah kami maka
amalan tersebut tertolak" [3]
Diriwayatkan pula dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan
kepada Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu untuk membacakan kepadanya Al-Qur'an.
Ia berkata kepada beliau. "Wahai Rasulullah, apakah aku akan membacakan Al-Qur'an di
hadapanmu sedangkan Al-Qur'an ini diturunkan kepadamu?" Beliau menjawab : "Saya
senang mendengarkannya dari orang lain" [4]
Jika yang dimaksud adalah bahwasanya mereka membacanya dengan satu suara dengan
'waqaf' dan berhenti yang sama, maka ini tidak disyariatkan. Paling tidak hukumnya makruh,
karena tidak ada riwayat dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maupun para shahabat
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun apabila bertujuan untuk kegiatan belajar dan
mengajar, maka saya berharap hal tersebut tidak apa-apa.
Adapun apabila yang dimaksudkan adalah mereka berkumpul untuk membaca Al-Qur'an
dengan tujuan untuk menghafalnya, atau mempelajarinya, dan salah seorang membaca dan
yang lainnya mendengarkannya, atau mereka masing-masing membaca sendiri-sendiri
dengan tidak menyamai suara orang lain, maka ini disyari'atkan, berdasarkan riwayat dari
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda.
"Artinya : Apabila suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid) sambil
membaca Al-Qur'an dan saling bertadarus bersama-sama, niscaya akan turun ketenangan
atas mereka, rahmat Allah akan meliputi mereka, para malaikat akan melindungi mereka
dan Allah menyebut mereka kepada makhluk-makhluk yang ada di sisi-Nya" [Hadits Riwayat
Muslim] [5]
[Disalin dari kitab Bida’u An-Naasi Fii Al-Qur’an, Edisi Indonesia Penyimpangan Terhadap Al-
Qur’an Penulis Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Penerjemah Ahmad Amin Sjihab, Penerbit
Darul Haq]
__________
Foote Notes
[1]. Diriwayatkan oleh Abu Daud no 407 dalam kitab Sunnah, bab Fii Luzuumis Sunnah ; Ibnu
Majah no 42 dalam Al-Muqaddimah, bab Ittiba'ul Khulafa'ir Rasyidinal Mahdiyyin, dari
hadits Al-Irbadh Radhiyallahu anhu. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2676 dalam Al-Ilmu
bab 'Maa Jaa'al Fil Akhdzi bis Sunnati Wajtinabil Bida', ia mengatakan : 'Hadits ini hasan
shahih. Al-Arna'uth berkata : 'Sanadnya hasan. Lihat Syarhus Sunnah, 1/205 hadits no.102.
[2]. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no, 2697 dalam Al-Shulh bab 'Idza Isththalahu 'ala Shulhin
Juur Fash Shulh Mardud' dan Muslim no 1718 dalam kitab Al-Uqdhiyah bab 'Naqdhul
Ahkamil Bathilan wa Raddu Muhdatsatil Umur' dari hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha
[3]. Diriwayatkan oleh Muslim no. 1718 jilid 18, dalam kitab Al-Uqdhiyah bab Maqdhul
Ahkamil Bathilan wa Raddu Muhdatsatil Umu' dari hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha
[4]. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5050, dalam Fadhailul Qur'an, bab 'Barangsiapa
mendengarkan Al-Qur'an dari orang selainnya' dari hadits Abdullah bin Mas'ud, ia berkata,
'Rasulullah berkata kepada saya, bacakan Al-Qur'an untukku. Saya berkata, Wahai
Rasulullah, apakah saya akan membacakannya sedangkan Al-Qur'an ini diturunkan
kepadamu.? Beliau menjawab, 'Ya' Maka sayapun membacakan surat An-Nisa hingga pada
ayat : "Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan
seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan kami mendatangkan kamu (Muhammad)
sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)". [An-Nisa : 41]. Beliau berkata, "Cukup".
[5]. Bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Muslim no. 2699 dalam kitab Dzikir dan Do'a,
bab 'Fadhlul Ijtima 'Ala Tilawatil Qur'an wa 'Aladz Dzikir dari hadits Abu Hurairah
Radhiyallahu 'anhu.[Lihat juga Fatawa Lajnah Da'imah no. 3302]
Oleh
Membacakan Al-fatihah atas orang yang telah meninggal tidak saya dapatkan adanya nash
hadits yang membolehkannya. Berdasarkan hal tersebut maka tidak diperbolehkan
membacakan Al-Fatihah atas orang yang sudah meninggal. Karena pada dasarnya suatu
ibadah itu tidak boleh dikerjakan hingga ada suatu dalil yang menunjukkan disyari’atkannya
ibadah tersebut dan bahwa perbuatan itu termasuk syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalilnya adalah bahwasanya Allah mengingkari orang yang membuat syari’at dan ketentuan
dalam agama Allah yang tidak dizinkanNya.
Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya belaiu bersabda.
“Artinya : Barangsiapa melaksanakan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami
maka amalan tersebut tertolak”[1]
Oleh
[Nur ‘Alad Darbi, Juz III, I’dad Fayis Musa Abu Syaikhah]
Oleh
Mengupah seorang qari’ untuk membacakan Al-Qur’an bagi orang yang telah meninggal
termasuk bid’ah dan makan harta manusia dengan tidak benar. Karena bila seorang qari’
membacakan Al-Qur’an dengan tujuan untuk mendapatkan upah atas bacaannya, maka
perbuatannya termasuk kebatilan, karena ia menginginkan harta dan kehidupan dunia dari
perbuatannya tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.
Perkara ibadah -termasuk membaca Al-Qur’an- tidak boleh dilakukan dengan tujuan
duniawi dan mencari harta, akan tetapi harus dilakukan dengan tujuan untuk medekatkan
diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Maka menjadi kewajiban bagi para qari untuk mengembalikan harta yang telah mereka
perolah dari manusia sebagai upah atas bacaan yang mereka lakukan atas orang yang telah
meninggal, karena menggunakan harta tersebut tergolong makan harta manusia dengan
cara tidak benar. Dan hendaknya mereka takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
memohon kepadanya untuk memberikan rizki kepada mereka dengan cara selain cara yang
haram tersebut.
Bagi setiap muslim hendaknya tidak makan harta manusia dengan cara yang tidak
disyariatkan sedemikian ini. Benar bahwa membaca Al-Qur’an termasuk salah satu ibadah
yang utama, barangsiapa membaca satu haruf dari Al-Qur’an maka akan mendapatkan
suatu kebaikan, dan suatu kebaikan mendapatkan balasan sepuluh kali lipat. Tapi itu bagi
orang yang niatnya benar dan hanya menginginkan keridhaan Allah semata serta tidak
menginginkan suatu tujuan duniawi.
Mengupah seorang qari untuk membacakan Al-Qur’an bagi orang yang telah meninggal :
Pertama : Termasuk perbuatan bid’ah, karena tidak ada dari para salaf shalih yang
melakukannya. Kedua : Bahwa perbuatannya termasuk memakan harta manusia dengan
cara tidak benar, karena suatu ibadah dan ketaatan tidak boleh mengambil upah karenanya.
[Nur ‘Alad Darbi, Juz III, I’dad Fayis Musa Abu Syaikhah]
[Disalin dari kitab 70 Fatwa Fii Ihtiraamil Qur’an edisi Indonesia 70 Fatwa Tentang Al-Qur’an,
Penulis Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Penerjemah Ahmad Amin Sjihab, Penerbit Darul
Haq
Oleh
Pertanyaan.
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Apa hukum mengucapkan
“shadaqallahul azhim” setelah selesai membaca Al-Qur’an?
Jawaban
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah semata. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan
kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Amma ba’du.
Ucapan, “Shadaqallahul ‘azhim” setelah membaca Al Qur’an adalah bid’ah, karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya, demikian juga para khulafa’ur
rasyidin, seluruh sahabat radhiyallaHu ‘anHum dan imam para salafus shalih, padahal
mereka banyak membaca Al Qur’an, sangat memelihara dan mengetahui benar masalahnya.
Jadi, mengucapkannya dan mendawamkan pengucapannya setiap kali selesai membaca Al
Qur’an adalah perbuatan bid’ah yang diada – adakan.
Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,
Hanya Allah-lah yang mampu memberi petunjuk. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan
kepada Nabi kita Muhammad ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.
Oleh
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya sering mendengar bahwa
mengucapkan “shadaqallahul azhim ketika selesai membaca Al-Qur’an adalah perbuatan
bid’ah. Namun sebagian orang yang mengatakan bahwa itu boleh, mereka berdalih dengan
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
صدَ قَ ُق ْل َّ
َ ُ
Kemudian dari itu, sebagian orang terpelajar mengatakan kepada saya, bahwa apabila Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menghentikan bacaan Al-Qur’an seseorang, beliau
Jawaban.
صدَ قَ ُق ْل َّ
َ ُ
Bukan mengenai masalah ini, tapi merupakan perintah Allah Ta’ala untuk menjelaskan
kepada manusia bahwa apa yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala itu benar yaitu
yang disebutkan di dalam kitab – kitab-Nya yang agung yakni Taurat dan lainnya, dan bahwa
Allah Ta’ala itu Maha Benar dalam ucapan-Nya terhadap para hamba-Nya di dalam kitab-
Nya yang agung, al Qur’an.
Tetapi ayat ini bukan dalil yang menunjukkan sunnahnya mengucapkan, “ShadaqallaH”
setelah selesai membaca al Qur’an atau membaca beberapa ayatnya atau membaca salah
satu suratnya, karena hal ini tidak pernah ditetapkan dan tidak pernah dikenal dari Nabi
ShallallHu ‘alaiHi wa sallam dan tidak pula dari para sahabat beliau Radhiyallahu ‘anhum.
Ketika Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu membaca awal Surat An-Nisa di hadapan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga sampai pada ayat,
“Maka bagaimanakah (halnya orang – orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan
seorang saksi dari tiap – tiap umat dan Kami mendatangkan kamu” (Hai Muhammad)
sebagai saksi atas mereka itu” [An Nisaa’ : 41]
Beliau berkata pada Ibnu Mas’ud, “cukup”, Ibnu Mas’ud menceritakan, “Lalu aku menoleh
kepada beliau, ternyata matanya meneteskan air mata” [Hadits Riwayat Al-Bukhari no.
5050)]
Maksudnya, bahwa beliau menangis saat disebutkannya kedudukan yang agung itu pada
hari Kiamat kelak, yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam ayat tadi.
“Artinya : Maka bagaimanakah (halnya orang – orang kafir nanti), apabila Kami
mendatangkan seorang saksi dari tiap – tiap umat dan Kami mendatangkan kamu” (Hai
Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu” [An Nisaa’ : 41]
Yaitu terhadap umat beliau. Dan sejauh yang kami ketahui, tidak ada seorang ahlul ilmi pun
yang menukil dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu’anhu bahwa ia mengucapkan “shadaqallahul
azhim” ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “cukup”. Maksudnya, bahwa,
mengakhiri bacaan Al-Qur’an dengan ucapan “shadaqallahu azhim” tidak ada asalnya dalam
syari’at yang suci. Tapi jika seorang melakukannya sekali-kali karena kebutuhan, maka tidak
apa-apa.
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-
Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa – Fatwa Terkini Jilid 2, Penyusun : Syaikh Khalid al
Juraisiy, Penerbit Darul Haq, Jakarta, Cetakan Pertama, Dzulhijjah 1424 H/Februari 2004 M]
Oleh
Segala puji hanya milik Allah, dengan pujian yang banyak sesuai apa yang diperintahkanNya.
Saya bersyukur kepadaNya, sedangkan Dia telah mengumumkan janji tambahan rahmat
bagi orang yang bersyukur. Dan saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi
kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagiNya, meskipun ini dibenci oleh setiap orang musyrik
dan kafir, dan saya bersaksi bahwa Muhammad itu hamba dan utusanNya, sayyid seluruh
manusia, yang memberi syafa’at dan yang diizinkan untuk memberi syafa’at di Mahsyar.
Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepadanya, keluarganya dan para
sahabatnya yang merupakan sebaik-baik sahabat dan golongan, juga kepada para tabi’in
yang mengikuti mereka dengan cara yang baik, selama fajar masih tampak dan bercahaya,
amma ba’du.
Sesungguhnya saya ingin memperingatkan dua hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an Al-
Karim.
Pertama.
“Artinya : Barangsiapa membaca ayat kursi di suatu malam, maka senantiasa Allah
memberi penjagaan bagi orang itu dan tidak didekati setan hingga pagi hari” [1]
َُّ ض فِي َو َما َاواتِ ال َّس َم فِي َما َل ُه ۚ◌ َن ْو ٌم َو َال سِ َن ٌة َتأْ ُخ ُذهُ َال ۚ◌ ْال َقيُّو ُم ْال َحيُّ ھ َُو إِ َّال إِ ٰ َل َه َال ِ ِْبإِ ْذ ِن ِه إِ َّال عِ ْندَ هُ َي ْش َفعُ الَّذِي َذا َمنْ ۗ◌ ْاألَر
◌ۚ ِيھ ْم َبي َْن َما َيعْ َل ُمِ ون َو َال ۖ◌ َخ ْل َف ُھ ْم َو َما أَ ْيد َ ِيط ُ ت ُكرْ سِ ُّي ُه َوسِ َع ۚ◌ َشا َء ِب َما إِ َّال عِ ْل ِم ِه ِمنْ ِب َشيْ ءٍ ُيح َ َْي ُئو ُدهُ َو َال ۖ◌ َو ْاألَر
ِ ض ال َّس َم َاوا
ُ ْال َعظِ ي ُم ْال َعلِيُّ َوھ َُو ۚ◌ ِح ْف
ظ ُھ َما
“Artinya : Allah, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal
lagi terus menerus mengurus (makhlukNya), tidak mengantuk dan tidak tidur.
KepunyaanNya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi sya’faat di sisi
Allah tanpa izinNya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang
mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah, melainkan apa yang
dikehendakiNya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat
memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” [Al-Baqarah : 255]
Maka menempelkan ayat ini atau yang lainnya tidak bisa melindungi mereka sedikitpun.
Apakah mereka hendak ber-tabarruk dengan menempelkan Al-Qur’an pada dinding itu ?
Padahal tabarruk dengan Al-Qur’an menggunakan cara seperti ini tidak disyari’atkan,
bahkan itu bid’ah dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
َ َل ٌة
ضالَ ِب ْد َع ٍة ُك ُّل
Ataukah mereka menginginkan dengan hal itu agar orang mengingat Al-Qur’an tatkala
mereka mengangkat kepala kearahnya ? Namun hal ini bila kau terapkan pada kenyataan
yang ada tentu engkau tidak menemukan sedikitpun pengaruh. Sesungguhnya pada semua
majelis-mejelis (tempat duduk) itu, engkau tidak melihat seorangpun dari kalangan orang-
orang yang duduk mengangkat kepalanya untuk membaca ayat ini atau untuk mengingat
pelajaran-pelajaran dan rahasia-rahasia yang tekandung di dalamnya. Para ulama salaf
berbeda pendapat : Apakah boleh bagi orang yang sakit jiwa atau sakit jasmani
menggangtungkan ayat Al-Qur’an di dadanya atau meletakkannya di bawah bantalnya
dengan tujuan penyembuhan dengannya, karena cara macam ini tidak pernah bersumber
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Ataukah mereka (orang-orang) yang menempelkan ayat-ayat yang mulia ini hanya
menginginkan menempelkannya dengan sia-sia dan sekedar pemandangan ? Sesungguhnya
Al-Qur’an tidak layak dijadikan permainan sia-sia dan pemandangan yang menjadi hiasan
saja. Sesungguhnya Al-Qur’an lebih tinggi kedudukannya dan lebih agung derajatnya dari
sekedar dijadiakn hiasan dinding.
Oleh sebab itu, saya menyerukan kepada semua saudara-saudara kita yang telah
menggantungkan agar segera melenyapkannya karena semua kemungkinan-kemungkinan
yang telah kalian dengar. Seluruhnya menunjukkan bahwa menggantungkan ayat-ayat itu
adalah sesuatu yang tidak layak.
Kedua.
Adapun hal yang ke dua yang ingin saya ingatkan dan saya mengkhususkannya kepada para
khaththah (ahli tulisan Arab) yang suka menuliskan untuk orang lain tulisan-tulisan di atas
kertas atau lainnya, yaitu apa yang dilakukan oleh para khaththah. Mereka menulis ayat-
ayat yang mulia dengan selain khat Utsmani dan membentuk tulisan-tulisan ini seperti
rekaan, sampai saya mendengar bahwa sebagian mereka hendak menulis firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Dia menulis hurup “wawu” bagaikan lingkaran, ia hendak menulis Al-Qur’an sesuai dengan
makna yang dikandungnya, sedangkan hal ini tidak ragu lagi diharamkan, karena
sesungguhnya lafadz-lafadz Al-Qur’an Al-Karim tidak selayaknya dibentuk dengan bentuk
yang menunjukkan kehebatan penulisnya atau menarik pandangan dengan ukirannya itu,
sebab Al-Qur’an diturunkan bukan untuk hiasan atau rekaan. Dan barangsiapa yang memiliki
barang-barang seperti itu, maka hendaknya dia membakarnya atau menghapusnya supaya
ayat Al-Qur’an tidak dijadikan sebagai permainan.
Para ulama berbeda pendapat apakah boleh Al-Qur’an ditulis dengan bukan khath Utsmani,
meskipun bagi anak-anak ? Ada tiga pendapat di antara mereka tentang masalah ini.
“Artinya : Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadaMu penuh dengan berkah
supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang
yang mempunyai pikiran” [Shaad : 29]
Al-Qur’an turun bukan untuk digantung di tembok dan direka-reka dalam penulisannya.
[Disalin dari kitab 70 Fatwa Fii Ihtiraamil Qur’an edisi Indonesia 70 Fatwa Tentang Al-Qur’an,
Penulis Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Penerbit Darul Haq]
_______
Footnote
[1]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu no. 3211,
Fathul Bari 4/568, Kitab Al-Wikalah, bab 10
Oleh
Membaca Al-Qur'an di atas kuburan merupakan perbuatan bid'ah yang tidak berdasar sama
sekali baik dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maupun para sahabatnya
Radhiyallahu 'anhum. Maka tidak selayaknya bagi kita untuk mengada-ngadakannya, karena
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam suatu riwayat menyebutkan.
"Artinya : Setiap yang diada-adakan adalah bid'ah dan setiap bid'ah merupakan kesesatan"
[1]
An-Nasa'i menambahkan.
Maka merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk mengikuti para sahabat terdahulu
dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, sehingga mendapatkan petunjuk dan
kebaikan, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Ya Allah, ampunilah dia, kasihanilah dia, Ya Allah, jagalah dia dari api neraka. Ya
Allah, masukanlah dia dalam surga, Ya Allah, berilah kelapangan baginya di kuburnya"
Adapun seoorang berdoa di atas kuburan untuk mendoakan dirinya sendiri, maka perbuatan
ini termasuk bid'ah, karena suatu tempat tidak boleh dikhususkan untuk berdo'a kecuali
beberapa tempat yang telah disebutkan oleh nash.
Apabila tidak ada nash dan sunnah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka
mengkhususkan suatu tempat di mana pun juga untuk berdo'a bila tidak ada nash yang
membolehkannya maka perbuatan tersebut termasuk bid'ah".
Mengenai puasa untuk orang yang meninggal, shalat untuknya, membaca Al-Qur'an baginya
dan sejenisnya, sesungguhnya ada empat macam ibadah yang manfaatnya bisa sampai
kepada orang yang telah meninggal, menurut ijma' ulama, yaitu : Do'a, kewajiban yang bisa
diwakilkan, sedekah dan membebaskan budak.
Adapun selain empat hal tersebut di atas, para ulama berbeda pendapat mengenainya. Di
antara mereka ada yang berpendapat bahwa amal shalih yang dihadiahkan kepada orang
yang sudah meninggal tidak bisa bermanfaat baginya selain empat hal tersebut. Namun
yang benar adalah bahwa setiap amal shalih yang diperuntukkan bagi orang yang meninggal
bisa bermanfaat baginya, jika yang meninggal adalah orang mukmin. Akan tetapi kami tidak
sependapat bahwa menghadiahkan suatu ibadah kepada orang yang meninggal merupakan
perkara-perkata syar'i yang dituntun dari setiap orang. Justru kita katakana bahwa jika
seseorang menghadiahkan pahala dari suatu amalanya, atau meniatkan bahwa pahala dari
amalnya diperuntukkan bagi seorang mukmin yang telah meninggal, maka hal tersebut bisa
bermanfaat bagi orang yang diberi, akan tetapi perbuatan itu tidak dituntutkan darinya atau
tidak disunnahkan baginya.
"Artinya : Jika seseorang meninggal, maka amal perbuatannya terputus kecuali dari tiga
perkara ; sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan dan anak shalih yang mendo'akannya"[4]
"Anak shalih yang mengerjakan amal untuknya atau mengerjakan ibadah puasa, shalat atau
yang lainnya untuknya". Ini mengisyaratkan bahwa seyogyanya dilakukan dan disyariatkan
adalah do'a untuk orang yang sudah meninggal, bukan menghadiahkan suatu ibadah kepada
mereka. Setiap orang di dunia ini membutuhkan suatu amal shalih, maka hendaknya ia
menjadikan amal shalihnya untuk dirinya sendiri, dan memperbanyak do'a bagi orang yang
telah meninggal, karena yang demikian inilah yang baik dan merupakan cara para Salafus
Shalih Rahimahullah.
[Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin, Nur 'Alad Darbi, Juz I, I'dad Fayis Musa Abu Syaikhah]
[Disalin dari kitab Bida'u An-Naasi Fii Al-Qur'ani edisi Indonesia Penyimpangan Terhadap Al-
Qur'an oleh Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz. Penerbit Darul Haq]
_________
Foote Note
[1].Diriwayatkan oleh Muslim no 867, dalam kitab Jum'ah Bab "Memendekan Shalat dan
Khutbah
[2].Potongan hadits yang diriwayatkan An-Nasa'i no. 1577, kitab Khutbah bab Tatacara
Khutbah dari hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu
[3].Diriwayatkan oleh Muslim no. 867, 43, dalam, Kitab Jum'ah, bab Memendekan Shalat
dan Khutbah
[4].Diriwayatkan oleh Muslim no. 1631, dalam kitab Washiyah, bab Pahala yang Sampai
Kepada Mayat Setelah Kematiannya
Oleh
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Perlu anda ketahui sesungguhnya saya
adalah imam masjid di salah satu sudut daerah Riyadh. Yang menjadi masalah adalah
sesungguhnya saya lemah dalam tajwid tatkala membaca dan banyak salah. Saya hafal 3 Juz
dan beberapa ayat di surat-surat yang terpencar, sedangkan saya sangat khawatir atas
tanggung jawab yang saya pikul. Mohon saran, apakah saya terus menjadi imam atau harus
mengundurkan diri ?
Jawaban.
Anda harus berusaha menghafal ayat-ayat yang mudah dan memperbaiki bacaannya dan
saya beri anda kabar gembira berupa kebaikan dan pertolongan dari Allah Azza wa Jalla nilai
niatmu baik dan anda mengerahkan seluruh kemampuan untuk itu, karena Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan bagianya
jalan keluar". [Ath-Thalaq : 2]
Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : (yang artinya) Orang yang mahir Al-Qur'an dia
bersama para Malaikat yang mulia lagi baik, sedangkan orang yang membaca Al-Qur'an
sambil terbata-bata dan mengalami kesulitan maka dia mendapatkan dua pahala".
[Disalin dari buku 70 Fatwa Fii Ihtiraamil Qur'an, edisi Indonesia 70 Fatwa Tentang Al-
Qur'an, Penyusun Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Penerbit Darul Haq]
Oleh
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ada seorang imam yang suka ber-talhin
(tidak sesuai ilmu tajwid) dalam bacaan Al-Qur'an dan terkadang menambah dan
mengurangi huruf-huruf ayat Al-Qur'an. Apa hukum shalat bermakmum kepadanya ?
Jawaban.
Bila lahn-nya tidak merubah makna (ayat) maka tidak apa-apa shalat bermakmum
kepadanya, seperti me-nashab-kan kata Rabba atau me-rofa-kannya (Rabbu) di dalam
Alhamudlillahi Rabbil Alamin, begitu juga jika me-nashab-kan kata Ar-Rahman atau me-rofa-
kannya dan lain-lain. Adapun bila menyebabkan perubahan makna, maka tidak (boleh)
shalat bermakmum kepadanya jika orang itu tidak mengambil manfaat dengan belajar atau
diberi tahu (bacaan salahnya) seperti membaca iyyaka na'budu dengan kaf di-kasrah (iyyaki)
dan sepeti membaca an-'amta dengan di-kasrah atau di-dhammah huruf ta-nya.
Bila dia menerima arahan dan memperbaiki bacaannya dengan cara diberitahu oleh
makmum, maka shalat dan bacaannya itu sah.
Yang jelas, setiap muslim dalam semua keadaan disyari'atkan mengajari saudaranya, baik
dalam shalat atau di luar shalat, karena seorang muslim merupakan saudara muslim lainnya.
Dia mengarahkannya bila salah dan mengajari bila bodoh dan membetulkan bacaannya bila
terjadi kekeliruan.
[Disalin dari buku 70 Fatwa Fii Ihtiraamil Qur'an, edisi Indonesia 70 Fatwa Tentang Al-
Qur'an, Penyusun Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Penerbit Darul Haq]
Oleh
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdulllah bin Baz ditanya : Apa hukum mengambil upah dari hafalan
Al-Qur’an? Di daerah kami ada seorang imam yang mengambil upah atas pengajaran hafalan
Al-Qur’an pada anak-anak?
Jawaban
Tidak ada dosa mengambil upah dari mengajak Al-Qur’an dan mengajar ilmu agama, karena
memang manusia membutuhkan pengajaran, dan karena pengajar kadang menghadapi
kesulitan dalam hal itu dan sibuk mengajar sehingga tidak sempat mencari nafkah. Jika ia
mengambil upah dari mengajar Al-Qur’an dan mengajarkan hafalannya serta mengajarkan
ilmu agama, maka yang benar adalah bahwa dalam hal ini tida ada dosa.
Telah disebutkan dalam suatu riwayat, bahwa sekelompok sahabat singgah di suatu suku
Arab yang saat itu pemimpin mereka tersengat binatang berbisa. Mereka telah berusaha
mengobatinya dengan berbagai cara tapi tidak berhasil, lalu mereka meminta kepada para
sahabat itu untuk meruqyah, kemudian salah seorang sahabat meruqyahnya dengan surat
Al-Fatihah, dan Allah menyembuhkan dan menyehatkannya. Sebelumnya, para sahabat itu
telah mensyaratkan pada mereka untuk dibayar dengan daging domba. Maka setelah itu
mereka pun memenuhinya. Namun para sahabat tidak langsung membagikannya di antara
mereka sebelum bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda.
“Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upetinya adalah Kitabullah” [2]
Hal ini menunjukkan bahwa mengambil upah dari pengajaran dibolehkan, demikian juga
dari ruqyah.
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-
Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy,
Penerjemah Musthofa Aini Lc Penerbit Darul Haq]
__________
Foote Note
Oleh
Pertanyaan
Jawaban
Haram hukumnya seseorang membaca Al-Qur’an, atau belajar yang dapat mengganggu
orang yang sedang shalat karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
perbuatan tersebut, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam kitab Al-
Muwatha’ (Fi As-Shalati bab, Al-Amal Fii Qira’at, I/76 (255) dari Al-Bayaadi, (Farwah bin
Amru) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dan mendapatkan orang-orang yang sedang
shalat dan mereka meninggikan suara bacaan mereka maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda.
“Sesungguhnya orang yang shalat itu bermunajat kepada Rabbnya, maka lihatlah kepada
siapa yang dimunajatkannya, janganlah kalian menyaringkan bacaan Al-Qur’an di antara
satu dengan yang lain” [1]
[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, Edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi
Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Bab Ibadah, Penerjemah Furqan
Syuhada, Penerbit Pustaka Arafah]
__________
Foote Note
[1]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari hadits Abi Said Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu (Fii As-
Shalati bab, Raf’u As-Shaut bil Qur’an Fi Shalati Al-laili (1332)
Oleh
Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Ibuku buta huruf, tidak bisa baca tulis, namun
alhamdulillah, beliau selalu melaksanakan shalat dan shaum, akan tetapi di dalam shalatnya
beliau membaca ayat-ayat Al-Qur'an dengan sedikit perubahan, karena kebodohannya.
Apakah hal itu dianggap merubah Al-Qur'an Al-Karim sehingga ibu saya dianggap berdosa
ataukah beliau itu tidak dikenakan dosa. Saya sering sekali berusaha untuk mengajarinya
bacaan yang benar, namun saya tidak mampu merubahnya ?
Jawaban
Ibumu tidak dikenakan dosa Insya Allah atas hal itu, karena ini adalah batas maksimal
kemampuannya, sedangkan -Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda- dalam sebuah
hadits.
Selagi engkau mengajarkannya dan berusaha meluruskan lisannya dalam membaca, maka
engkau telah berbuat baik dan dia juga berusaha, namun tidak mampu, maka tidak berdosa
atas (kekeliruan) itu Insya Allah, akan tetapi dia harus mencoba mengoptimalkan
bacaannya, baik lewat belajar atau melalui cara mendengarkan surat-surat yang dia hafal
dari kaset rekaman Al-Qur'an Al-Karim atau dia hadir di majelis guru Al-Qur'an -mudah-
mudahan mengambil faedah- dan manusia bila terus mencoba, pastilah Allah menolongnya.
[Disalin dari buku 70 Fatwa Fii Ihtiraamil Qur'an, edisi Indonesia 70 Fatwa Tentang Al-
Qur'an, Penyusun Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Penerbit Darul Haq]
Oleh
Pertanyaan.
Lajnah Da'imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Saya asli orang Yaman, sudah sepuluh
tahun menetap di Saudi. Kedua orang tua saya sudah meninggal dunia dan saya senang
sekali membaca Al-Qur'an Al-Karim, saya sering membacanya di masjid, namun pada ayat-
ayat tertentu saya tidak bisa melafalkannya dengan benar (fasih), dikarenakan saya tidak
pernah duduk di bangku sekolah. Apakah bacaan Al-Qur'an Al-Karim yang saya lakukan
dengan seadanya, masih banyak salah dalam sebagian ayat menimbulkan dosa bagi saya ?
Saya mohon penjelasan.
Jawaban
Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada RasulNya beserta
keluarga dan shabatnya, wa ba'du
Berusahalah untuk memperbaiki bacaanmu dengan cara belajar kepada salah seorang ahli
Al-Qur'an (Al-Qura) yang sudah mu'tabar (dianggap keberadaannya) dan perbanyaklah
membaca apa-apa yang telah engkau kuasai di masjid dan di tempat lain. Bila engkau
berusaha untuk itu, maka pasti Allah memudahkan urusanmu. Dalam sebuah hadits shahih,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Orang yang mahir (membaca) Al-Qur'an, dia bersama para malaikat yang mulia
lagi jujur, dan orang yang membacanya sambil terbata-bata serta mengalami kesulitan,
maka dia mendapatkan dua pahala". [1]
__________
Foote Note
[1]. Bagian dari hadits riwayat Muslim dan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha No. 244-(898),
Kitab Shalah Al-Musafirin wa Qashruha, bab 38
Oleh
Pertanyaan.
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Bagaimana hukum orang yang tidak
mampu melafalkan huruf [dhadh] dari makhrajnya. Orang-orang berselisih dalam masalah
ini, di antaranya mereka ada yang mengatakan bahwa orang yang tidak mampu
mengucapkan [dhadh] harus melafalkan [zha’], ada pula yang berpendapat bahwa dia harus
melafalkan [dal], tolonglah beri kami penjelasan yang benar.
Jawaban
Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada RasulNya beserta
keluarga dan shabatnya, wa ba’du
Wajib bagi orang yang tidak mampu melafalkan [dhadh] dari makhrajnya berusaha
semaksimal mungkin dan mengerahkan kemampuannya untuk melatih lidah melafalkan
[dhadh] dari makhrajnya dan mengucapkannya dengan ucapan yang benar. Bila ia tetap
tidak mampu padahal sudah berusaha semampunya, maka dia itu dimaafkan dan tidak ada
kewajiban. Kecuali mengucapkan sesuai kemampuannya. Dia tidak dibebani
mengucapkannya menjadi huruf [zha’] atau [dal] secara khusus, karena firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai kemampuannya” [Al-Baqarah : 286]
“Artinya : Dan dia tidak menjadikan sedikit kesulitanpun atas kalian di dalam agama (ini)”
[Al-Hajj : 78]
[Disalin dari buku 70 Fatwa Fii Ihtiraamil Qur’an, edisi Indonesia 70 Fatwa Tentang Al-
Qur’an, Penyusun Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Penerbit Darul Haq]
Oleh
Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Sesungguhnya saya sering membaca Al-Qur’an
Al-Karim, namun tidak bagus (menerapkan) hukum-hukum (takwid)-nya, sering keliru dalam
membaca. Apakah saya berdosa dengan melakukan perbuatan itu ?
Jawaban
Merupakan suatu kewajiban atas setiap orang muslim mempelajaari cara tilawah Al-Qur’an
sampai dia mengusai dan membacanya sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sesuai dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala kepada RasulNya. Dia membacanya sesuai dengan kemampuan, bila
memungkinkan membacanya dengan tenang dan diulang-ulang sehingga betul-betul benar,
maka dia mendapat dua pahala, sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan sabdanya.
“Artinya : Orang yang membaca Al-Qur’an dan dia terbata-bata didalamnya serta dia
mengalami kesulitan, dia itu mendapat dua pahala..” [1]
Maka anda wahai saudaraku, bersabarlah dan tenang, ulang-ulanglah per kata beberapa kali
sampai anda mampu mengucapkannya sesuai dengan apa yang semestinya, meskipun anda
mengalami kesulitan, karena pahalanya sangat besar. Janganlah anda coba-coba untuk
“Artinya : Dan sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa
turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah
seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas”
[Asy-Syu’ara : 192-195]
[Disalin dari buku 70 Fatwa Fii Ihtiraamil Qur’an, edisi Indonesia 70 Fatwa Tentang Al-
Qur’an, Penyusun Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Penerbit Darul Haq]
__________
Foote Note
[1]. Hadits Riwayat Muslim dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha no. 244-(896), Kitab Shalah Al-
Musafirin wa Qashruha bab 38
Oleh
Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Apa nasihat anda kepada para pemuda dalam
menempuh cara yang paling mudah untuk menghafal Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala ?
Jawaban.
Al-Qur’an itu dimudahkan dan sangat mudah menghafalnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman.
“Artinya : Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk dijadikan pelajaran,
maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” [Al-Qamar : 17]
Dan yang menentukan adalah kemauan orang dan ketulusan niatnya. Bila dia memiliki
kemauan yang tulus dan keseriusan terhadap Al-Qur’an, maka Allah akan memudahkan dia
untuk menghafalnya dan memudahkan Al-Qur’an untuk dihafal.
Ada beberapa hal yang membantu dalam mengahaflnya, seperti mengkhususkan waktu
yang sesuai setiap hari. Engkau belajar kepada guru Al-Qur’an di masjid dan Alhamdulillah
guru-guru Al-Qur’an sekarang sangat banyak (di Saudi, -pent). Engkau tidak mendapatkan
Maka seharusnya saudara kita ini memilih halaqah atau guru yang ada itu dan selalu hadir
bersama guru tersebut sampai hafalannya tamat.
Engkau juga harus mengulang-ulang apa yang telah engkau baca, dua kali, tiga kali dan
seterusnya, sampai hafalan itu melekat di hati dan ingatanmu. Dan kewajibanmu adalah
mengamalkan Kitab Allah ini, karena hal itu merupakan wasilah (sarana) yang paling agung
untuk mempelajarinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan bertakwalah kamu kepada Allah : Allah mengajarmu ; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu” [Al-Baqarah : 282]
[Disalin dari buku 70 Fatwa Fii Ihtiraamil Qur’an, edisi Indonesia 70 Fatwa Tentang Al-
Qur’an, Penyusun Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Penerbit Darul Haq]
Pertanyaan.
Dalam kesempatan yang baik ini, kami ingin bertanya berkaitan dengan masalah yang kami
hadapi dengan jama’ah kami. Yaitu berkaitan dengan pembacaan surat Yasin (Yasinan) di
tempat orang yang meninggal dunia.
Jama’ah kami, saat ini sedang bimbang mengenai hal tersebut. Satu sisi para da’i ada yang
memperbolehkan Yasinan, sedangkan lainnya ada yang melarang dan menyatakan bid’ah.
Untuk itu kami ingin mengklarifikasikan hal tersebut.
2. Apakah hukum dan dalilnya yang menyatakan Yasinan dilarang dan bid’ah?
Demikianlah pertanyaan kami, semoga redaksi dapat memberikan jawaban sehingga dapat
menyatukan aqidah jama’ah kami. Atas jawaban dan perhatian redaksi, kami ucapkan
jazakumullahu khairan katsira.
Suhen
(Surat ke meja Redaksi tentang Yasinan, juga datang dari saudara Budiman, Bekasi, yang
meminta agar kami mengupas masalah pengajian ibu-ibu pada setiap malam Jum’at, yang
diisi dengan pembacaan Yasinan (hafalan surat Yasin) secara berjama’ah dan suara keras.
Jawaban
Dalam dua surat di atas terdapat dua perbuatan yang masalahnya serupa: yaitu Yasinan
(pembacaan surat Yasin) di tempat orang yang meninggal dunia, atau Yasinan (hafalan surat
Yasin) setiap malam Jum’at. Hal itu dilakukan dengan berjama’ah dan suara keras.
1. Menurut mereka, hal itu termasuk ibadah membaca Al Qur’an. Mengapa membaca Al-
Qur’an dilarang?
2. Hal itu termasuk berjama’ah membaca Al Qur’an yang sangat utama sebagaimana
disebutkan di dalam hadits.
3. Daripada berkumpul di rumah orang kematian sekedar bermain kartu, catur, atau lainnya,
apalagi berjudi, lebih baik untuk membaca Al Qur’an.
4. Surat Yasin memiliki banyak keutamaan; antara lain merupakan jantung Al Qur’an,
sehingga dipilih daripada surat-surat yang lain.
Adapun orang-orang yang melarang perbuatan di atas, juga membawa berbagai dalil dan
alasan. Mereka juga mendudukan perkara itu, dan sekaligus membantah alasan kelompok
pertama. Kelompok yang tidak membolehkan acara di atas menyatakan:
1. Kitab suci Al Qur’an diturunkan oleh Allah sebagai petunjuk, rahmat, cahaya, kabar
gembira dan peringatan. Maka kewajiban orang-orang yang beriman untuk membacanya,
merenungkannya, memahaminya, mengimaninya, mengamalkan, berhukum dengannya,
mendakwahkannya, dan lainnya. Allah Ta’ala berfirman:
َ َك أ
نز ْل َناهُ ِك َتابٌ َاو َھ َذ َ ُون َل َعلَّ ُك ْم َوا َّت ُقوا َفا َّت ِبعُو ُه ُم َب
ٌ ار َ ُترْ َحم
Dan Al Qur'an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan
bertaqwalah agar kamu diberi rahmat. [Al An’am:155].
Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya
mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang
mempunyai pikiran. [Shad:29]
Dan Allah mencela orang-orang yang berpaling dari Al Qur’an, tidak mau merenungkannya.
Dia berfirman:
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari
sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [An Nisa’:82]
Orang-orang yang tidak menyetujui acara tersebut, bukan melarang membaca Al Qur’annya,
namun mereka melarang cara dan sifatnya yang tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sehingga hal itu termasuk perkara baru dalam agama, yang
disebut bid’ah, dan seluruh bid’ah itu sesat.
Dari Abu Umamah Al Bahili, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda,”Bacalah Al
Qur’an, karena sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat sebagai pemohon syafa’at
bagi ash-habul Qur’an (orang yang mengamalkannya). Bacalah dua yang bercahaya, Al
Baqarah dan surat Ali Imran; sesungguhnya keduanya akan datang pada hari kiamat, seolah-
olah dua naungan atau seolah-olah keduanya dua kelompok burung yang berbaris.
Keduanya akan membela ash-habnya. Bacalah surat Al Baqarah, karena sesungguhnya
mengambilnya merupakan berkah, dan meninggalkannya merupakan penyesalan. Dan Al
Bathalah tidak akan mampu (mengalahkan)nya.” Mu’awiyah berkata,”Sampai kepadaku,
bahwa Al Bathalah adalah tukang-tukang sihir.” [HR Muslim, no. 804]
Dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata, Rasulullah bersabda,”Barangsiapa membaca satu
huruf dari kitab Allah, maka dia mendapatkan satu kebaikan dengannya. Dan satu kebaikan
itu (dibalas) sepuluh lipatnya. Aku tidak mengatakan alif lam mim satu huruf, tetapi alif satu
huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.” [HR Tirmidzi no, 2910, dishahihkan Syaikh Salim
Al Hilali dalam Bahjatun Nazhirin 2/229].
Karena membaca Al Qur’an termasuk ibadah, sehingga agar ibadah itu diterima oleh Allah
dan berpahala, maka harus memenuhi dua syarat, yaitu: ikhlas dan mengikuti Sunnah Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam . Kalaupun Yasinan (pembacaan surat Yasin) sebagaimana di
atas dilakukan dengan ikhlas, tetapi karena tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa salla dan tidak dilakukan para sahabatnya, maka perbuatan tersebut
tertolak.
ْ َرسُو ُل َقا َل َقا َل ھ َُري َْر َة أَ ِبي َعن ِ َّ صلَّى َ ُ َّ ت فِي َق ْو ٌم اجْ َت َم َع َو َما… َو َسلَّ َم َع َل ْي ِه ِ َّ ون
ٍ ُبيُوتِ ِمنْ َب ْي َ ُاب َي ْتل ِ َّ ارسُو َن ُه
َ ِك َت َ َو َي َت َد
َّ
ْ عِ ْندَ هُ فِي َمنْ ُ َو َذ َك َر ُھ ُم ْال َم َال ِئ َك ُة َو َح َّف ْت ُھ ُم الرَّ حْ َم ُة َوغَ شِ َي ْت ُھ ُم ال َّسكِي َن ُة َع َلي ِْھ ُم َن َز َل
ت إِ َّال َب ْي َن ُھ ْم
Dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah n bersabda,”Dan tidaklah sekelompok orang
berkumpul di dalam satu rumah di antara rumah-rumah Allah, mereka membaca kitab Allah
dan saling belajar di antara mereka, kecuali ketenangan turun kepada mereka, rahmat
meliputi mereka, malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di
kalangan (para malaikat) di hadapanNya.” [HR Muslim no. 2699; Abu Dawud no. 3643;
Tirmidzi no. 2646; Ibnu Majah no. 225 dan lainnya].
Hadits di atas nyata menunjukkan, bahwa berkumpul untuk membaca dan mempelajari Al
Qur’an merupakan ibadah yang sangat mulia. Namun bagaimanakah bentuk atau cara yang
sesuai dengan Sunnah Nabi? Karena, jika amalan itu tidak sesuai dengan Sunnah, ia akan
tertolak.
Dari Abdullah, dia berkata, Nabi bersabda kepadaku,”Bacakanlah (Al Qur’an) kepadaku!”
Aku menjawab,”Apakah aku akan membacakan kepada anda, sedangkan Al Qur’an
diturunkan kepada anda?” Beliau menjawab,”Sesungguhnya, aku suka mendengarkannya
َ َش ِھ ًيد َھؤُ َال ِء َع َلى ِب َك َو ِج ْئ َنا ِب َش ِھي ٍد أ ُ َّم ٍة ُك ِّل ِمنْ ِج ْئ َنا إِ َذا َف َكي
ْف
Imam Malik berkata,”Seandainya seseorang membaca, yang lain menyimak, atau seseorang
membaca setelah yang lain, aku tidak menganggapnya berbahaya (yakni terlarang).” [Kitab
Al Hawadits Wal Bida’, hlm. 162].
Syaikh Dr. Muhammad Musa Nashr berkata,”Berkumpul untuk membaca Al Qur’an yang
sesuai dengan Sunnah Nabi dan perbuatan Salafush Shalih, adalah satu orang membaca dan
yang lainnya mendengarkan. Barangsiapa mendapatkan keraguan pada makna ayat, dia
meminta qari’ untuk berhenti, dan orang yang ahli berbicara (menjelaskan) tentang
tafsirnya, sehingga tafsir ayat itu menjadi jelas dan terang bagi para hadirin… Kemudian,
qari’ mulai membaca lagi. [Kitab Al Bahts Wal Istiqra’ Fii Bida’il Qurra’, hlm. 50-51].
- Membaca bergantian.
Imam Malik berkata,”Hendaklah orang itu membaca, dan (setelah selesai) yang lain (ganti)
membaca. Allah berfirman:
َ ُون َل َعلَّ ُك ْم َو ْأنصِ ُتوا َل ُه َفاسْ َت ِمعُوا ْال ُقرْ َءانُ ُق ِر
ئ َوإِ َذا َ ُترْ َحم
Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan
tenang, agar kamu mendapat rahmat. (Al A’raf: 204). [Kitab Al Hawadits Wal Bida’, hlm. 95,
162].”
Imam Malik ditanya tentang para qari’ Mesir, yang orang banyak berkumpul kepada
mereka, lalu tiap-tiap qari’ membacakan (Al Qur’an) kepada sekelompok orang dan
membimbing mereka? Beliau menjawab,”Itu bagus, tidak mengapa.” [Al Muntaqa, 1/345
karya Al Baji, dinukil dari Kitab Al Hawadits Wal Bida’, hlm. 161].
Selain berjama’ah membaca Al Qur’an dengan cara yang benar sebagaimana di atas, juga
ada cara yang tidak benar, seperti di bawah ini:
- Imam Malik bin Anas berkata,”Tidak boleh sekelompok orang berkumpul membaca satu
surat (bersama-sama), seperti yang dilakukan penduduk Iskandariyah. (Demikian)ini dibenci,
tidak menyenangkan kami.” [Kitab Al Hawadits Wal Bida’, hlm. 161].
Beliau juga mengatakan,”(Yang seperti) ini bukan perbuatan orang-orang (Salaf).” [Kitab Al
Hawadits Wal Bida’, hlm. 95, 162].
Yang dikatakan oleh Imam Malik di atas, persis acara Yasinan yang banyak dilakukan oleh
sebagian umat Islam di Indonesia.
Adapun membaca Al Qur’an bersama-sama dengan satu suara secara keras, ini
bertentangan dengan ayat 204 surat Al A’raf, sebagaimana di atas. Allah memerintahkan,
jika Al Qur’an dibacakan, kita wajib diam dan mendengarkan, juga merenungkan apa yang
dibaca. Jika semua yang hadir membaca bersama-sama, siapa yang akan mendengarkan?
Bisakah orang merenungkan?
- Imam Abu Bakar Muhammad bin Al Walid Ath Thurthusi rahimahullah (wafat 530 H )
berkata,”Adapun sekelompok orang berkumpul di masjid atau lainnya, kemudian seseorang
Imam Syafi’i rahimahullah berkata di dalam kitab Al Umm 1/248,”Aku membenci berkumpul
dalam kesusahan, yaitu berjama’ah, walaupun mereka tidak menangis; karena hal itu akan
memperbarui kesedihan, membebani biaya, bersamaan dengan riwayat yang telah lalu
tentang hal ini.”
Kemungkinan, riwayat yang dimaksudkan oleh Imam Syafi’i tersebut ialah riwayat dari Jarir
bin Abdullah Al Bajali, dia berkata,
Kami (para sahabat) memandang berkumpul kepada keluarga mayit dan pembuatan
makanan setelah penguburannya termasuk meratap. [HR Ahmad dan ini lafazhnya; dan Ibnu
Dan hal itu termasuk bid’ah, sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama. [Lihat Ahkamul
Janaiz, hlm. 167].
- Sebagian ulama menyatakan, hukum bermain kartu dan catur, walaupun tanpa perjudian
itu terlarang, sehingga termasuk maksiat. Adapun berkumpul di rumah orang kematian
untuk membaca Al Qur’an hukumnya bid’ah.
Imam Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata,”Bid’ah lebih dicintai oleh Iblis daripada
maksiat. Orang terkadang bertaubat dari maksiat, tetapi seseorang sulit bertaubat dari
bid’ah.” (Riwayat Al Lalikai, Al Baghawi, dan lainnya).
Pelaku bid’ah menganggap bid’ahnya sebagai ibadah dan kebaikan. Maka, bagaimana dia
diminta untuk bertaubat darinya?!
4. Alasan mereka “Surat Yasin memiliki banyak keutamaan, antara lain merupakan jantung
Al Qur’an, sehingga dipilih daripada surat-surat yang lain”.
5. Adapun perkataan mereka, bahwa berkumpul membaca surat Yasin tidak ada jeleknya.
Jawaban kami: Kebiasaan berkumpul membaca surat Yasin berjama’ah dengan suara keras
pada waktu-waktu tertentu, mengandung banyak kejelekan dan keburukan. Antara lain:
- Membaca Al Qur’an berjama’ah dengan suara keras bertentangan dengan firman Allah:
Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan
tenang agar kamu mendapat rahmat. [Al A’raf: 204].
- Hal itu juga bertentangan dengan metode Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para
sahabat ketika secara berjama’ah membaca Al Qur’an. Yaitu, satu orang membaca dan yang
lainnya diam, mendengarkan dan merenungkan isinya, sebagaimana telah kami sebutkan di
atas.
- Mengkhususkan membaca surat Yasin, tanpa surat-surat yang lain juga merupakan bid’ah
dhalalah (yang sesat). Hal ini termasuk bid’ah idhafiyah, yaitu bid’ah yang pada asalnya ada
dalil, namun sifatnya tidak ada dalil. Membaca Al Qur’an ada dalilnya, tetapi
mengkhususkan surat Yasin pada waktu-waktu tertentu tidak ada dalilnya.
Tentang seluruh bid’ah merupakan kesesatan, dan tidak ada bid’ah hasanah di dalam
agama. Lihat Majalah As Sunnah, Edisi 02/Tahun V/1421H/2001M.
- Mengkhususkan waktu tertentu untuk membaca surat Yasin, seperti setelah kematian atau
setiap malam Jum’at, juga merupakan bid’ah dhalalah sebagaimana point sebelumnya.
- Membaca Al Qur’an bersama-sama dengan satu suara dan keras, memiliki berbagai
keburukan.
Syaikh Dr. Muhammad Musa Nashr menyatakan, membaca Al Qur’an dengan satu suara
merupakan bid’ah yang buruk dan memuat banyak kerusakan:
3. Seorang qari’ terpaksa berhenti untuk bernafas, sedangkan orang-orang lain meneruskan
bacaan, sehingga dia kehilangan beberapa kata saat bernafas, maka ini tidak diragukan lagi
keharamannya.
4. Seseorang bernafas pada mad muttashil seperti: َجا َء, َشا َء, أَ ْن ِب َيا َءsehingga dia memutus satu
kata menjadi dua bagian. Ini merupakan perkara yang haram dan keluar dari adab qira’ah.
5. Menyerupai ibadah Ahli Kitab ibadah di dalam gereja mereka. [Kitab Al Bahts Wal Istiqra’
Fi Bida’il Qurra’, hlm. 51-52].
Kalau kita sudah mengetahui, bahwa hal itu termasuk bid’ah, maka sesungguhnya kejelekan
bid’ah itu sangat banyak. Antara lain:
- Menganggap baik terhadap bid’ah, berarti menganggap agama Islam belum sempurna.
Padahal Allah telah memberitakan kesempurnaan agama ini. apakah mereka
mengingkarinya?
- Penyeru bid’ah menanggung dosa orang-orang yang mengikutinya sampai kari kiamat.
- Pelaku bid’ah akan diusir dari telaga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
- Pelaku bid’ah dilaknat oleh Allah. [Lihat Mabhats Majalah As Sunnah, Edisi 02/Tahun
V/1421H/2001M] Dan kejelekan-kejelekan lainnya yang diketahui oleh Allah Ta’ala.
Inilah sedikit jawaban dari kami. Semoga dapat menghilangkan kebimbangan orang dalam
masalah ini.
Oleh
Pertanyaan.
Jawaban
Seseorang yang menaruh mushaf dalam sakunya kemudian masuk ke kamar mandi, tidak
berdosa, karena mushaf tersebut tidak dalam keadaan terbuka, tetapi tertutup dalam saku.
Dan ini tidak ada bedanya dengan orang yang masuk ke kamar mandi dan dalam hatinya
terdapat seluruh isi Al-Qur'an (hafidzh).
Secara makna hal ini tidak ada bedanya. Bedanya hanya terletak pada penghormatan
terhadap Al-Qur'an tersebut. Jika seseorang masuk kamar mandi dengan membawa mushaf
dalam sakunya, sedangkan ia tetap meghormati Al-Qur’an dengan cara menutupnya (maka
hal ini tidaklah mengapa, -pent), adapun jika mushaf itu nampak, berarti ia tidak
menghormati Al-Qur'an. Dan seperti inilah yang dilarang.
[Disalin dari kitab Majmu’ah Fatawa Al-Madinah Al-Munawarah, Edisi Indonesia Fatwa-
Fatwa Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Penerjemah Taqdir Muhammad Arsyad, Penerbit media Hidayah]
Pertanyaan.
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Ada diantara kami yang membawa
mushaf di sakunya, terkadang masuk membawanya ke dalam WC, maka apa hukum
terhadap hal itu, berilah kami arahan.
Jawaban.
Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasul-Nya
beserta keluarga dan para sahabatnya, wa ba’du.
Membawa mushaf di saku adalah boleh, namun seseorang tidak boleh masuk WC dengan
membawa mushaf, tetapi dia harus meletakkannya di tempat yang layak sebagai bukti
pengagungan dan penghormatan terhadap kitab Allah, namun bila terpaksa masuk WC
dengan membawa mushaf karena takut di curi orang bila ditinggal di luar maka, boleh
masuk dengan membawanya, karena itu darurat.
[Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta, soal II dari no. 2245]
Pertanyaan.
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Saya membawa Al-Mushaf Asy-Syarif
dalam saku, lalu saya masuk WC dalam keadaan lupa bahwa di dalam saku ada mushaf,
bagaimana hukumnya.
Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasul-Nya
beserta keluarga dan para sahabatnya, wa ba’du.
Bila kenyataannya seperti apa yang anda sebutkan, yaitu lupa, maka tidak ada dosa atas diri
anda.
[Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta, soal V dari fatwa no. 10807]
Oleh
Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Dikarenakan saya sering membaca Al-Qur’an Al-
Karim walhamdulillah, jika saya masuk WC tanpa dirasa saya membaca sebagian ayat Al-
Qur’an yang melekat di benak saya. Apa hukum hal itu?
Jawaban.
Ahlul ilmu menyebutkan bahwa tidak boleh seseorang membaca Al-Qur’an sambil duduk
buang hajat, sebab hal itu mengandung penghinaan terhadap Al-Qur’an. Dengan alasan ini,
maka anda wajib untuk selalu sigap dan masuk ke tempat seperti ini dengan penuh
kesadaran, (sehingga) anda mengetahui apa yang diucapkan dan janganlah was-was
menjerumuskan anda sehingga anda membaca (ayat) Al-Qur’an (di dalamnya). Yang saya
[Fatawa Al-Fauzan Nur’ala Ad-Darbi, disusun oleh Fayiz Musa Abu Syaikhan Juz II]
[Disalin dari buku 70 Fatwa Fii Ihtiraamil Qur’an, edisi Indonesia 70 Fatwa Tentang Al-
Qur’an, Penyusun Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Penerjemah Amman Abdurrahman Lc,
Penerbit Darul Haq]
Oleh
Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Saya hafal dua juz dari Al-Qur’an. Setiap saya
menghafal surat berikutnya saya lupa sebagian ayat yang telah saya hafal sebelumnya.
Tolong berikan saya petunjuk pada obat penyakit lupa ini. Semoga Allah membalas kebaikan
Anda ?
Jawaban.
Berarti Al-Qur’an membutuhkan dari anda banyak-banyak muraja’ah dan membaca. Bila
engkau telah hafal satu surat, maka seringlah membaca dan mengulang-ngulangnya sampai
mantap dan kuat, jangan pindah ke surat lain, kecuali bila engkau sudah menghafalnya
dengan itqan (mantap).
Ringkasnya adalah :
[3]. Mantapkan hafalanmu (yang sudah ada), jangan pindah dari satu ayat ke ayat lain, dari
satu surat ke surat lain, kecuali setelah engkau memantapkan hafalan yang sebelumnya dan
terpancang dalam ingatanmu.
[Disalin dari buku 70 Fatwa Fii Ihtiraamil Qur’an, edisi Indonesia 70 Fatwa Tentang Al-
Qur’an, Penyusun Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Penerbit Darul Haq]
__________
Foote Note
[1]. Hadits Riwayat Al-Bukhari no. 5033 kitab Fadha’il Al-Qur’an, bab : 23 dan Muslim no.
1/23 (791) Kitab Shalat Al-Musafirin bab 33
Oleh
"Muhammad telah menceritakan kepada kami,[1] Umar bin Hafs telah menceritakan kepada
kami, ia berkata: ayahku telah menceritakan kepada kami, dari ‘Ashim, dari Hafshah dari
Ummu ‘Athiyah ia berkata: “Dahulu kami diperintahkan untuk keluar pada hari ‘Ied, sampai
kami mengeluarkan gadis dari pingitannya, mereka bertakbir dengan takbir mereka [2],
(para sahabat) dan juga berdo’a dengan do’a mereka, mengharap keberkahan dan kesucian
hari itu" [Juga diriwayatkan oleh Muslim (hal 606) dan Abu Daud (1138).
Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami, Malik telah mengkhabarkan kepada
kami, dari Abdurrahman bin Al-Qasim, dari ayahnya, dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, bahwa
ia berkata: “Aku datang ke Mekkah sedangkan aku dalam keadaan haid dan aku belum
thawaf di Ka’bah dan juga belum (sa’i) antara Shafa dan Marwa.” Aisyah berkata: “Maka aku
adukan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,” lalu beliau bersabda:
Sedangkan larangan, yaitu hadits Ali Radhiyallahu 'anhu : (yang dipakai hujjah oleh sebagian
ulama untuk melarang orang yang berhadats, -termasuk wanita haidh- membaca al-Qur’an -
Red) adalah :
1. "Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyelesaikan hajat beliau, kemudian keluar,
lalu beliaupun membaca al-Qur’an, serta makan daging bersama kami, dan tidak ada
sesuatupun yang menghalangi beliau selain janabat." [6]
Pertama : Di dalamnya tidak ada larangan untuk membaca al-Qur’an bagi orang yang junub
dan orang yang haidh, ia hanyalah semata-mata perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
Kedua : Bahwa hadits ini dibicarakan (keshahihannya), karena diriwayatkan dari jalan
Abdullah bin Salamah, sedangkan hafalannya sudah berubah. Ada riwayat senada dari Abul
Gharif dari Ali, akan tetapi riwayat tersebut menunjukkan cacat perawi yang menyatakannya
sebagai hadits marfu’ (hadits yang diriwayatkan sampai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam).
Terlebih lagi jika perawi yang menyatakannya sebagai hadits marfu’ adalah seorang yang
ada sesuatu dalam hafalannya (yakni hafalannya tidak kuat-Red), seperti Abdullah bin
Salamah. Karena riwayat Abil Gharif dari Ali berselisih, tentang marfu’ (sampai) nya kepada
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tentang mauquf (berhenti) nya sampai sahabat Ali
saja.
Pendapat yang lebih kuat adalah yang menyatakan sebagai mauquf, maka yang nampak
olehku bahwa hadits ini mauquf sampai Ali Radhiyallahu 'anhu.
"Sesungguhnya aku tidak menyukai untuk berdzikir kepada Allah dalam keadaan tidak suci."
[7]
Akan tetapi “ketidaksukaan” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di sini hanyalah untuk
tanzih (keutamaan; bukan larangan haram), hal ini berdasarkan apa yang dijelaskan dalam
hadits shahih dari Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa ia berkata:
"Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdzikir kepada Allah setiap saat" [8]
3. Kaum yang melarang juga berdalil bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertayamum
untuk menjawab salam. Maka di dalam hadits ini juga tidak ada larangan bagi wanita haidh,
dan orang yang junub untuk membaca al-Qur’an, karena ia hanyalah semata-mata
perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sedangkan Aisyah telah berkata
sebagaimana yang telah lewat: “Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdzikir
kepada Allah pada setiap saat”.
4. Kaum yang melarang juga berdalil dengan hadits Jabir dan Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu
secara marfu’ (sampai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam):
َآن م َِن َش ْي ًئا ْال َحائِضُ َوالَ ْال ُج ُنبُ َي ْق َرأ ُ ال
ِ ْْال ُقر
"Tidak boleh bagi orang junub dan haidh membaca al-Qur’an". [9]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata (Majmu’al Fatawa 21/459): “Adapun
membaca al-Qur’an bagi orang yang junub dan haidh, maka ada 3 pendapat ulama dalam
hal tersebut:
1. Ada yang berpendapat: boleh bagi keduanya, dan inilah madzhab Abu Hanifah dan yang
masyhur dari madzhab Syafi’i dan Ahmad.
2. Ada juga yang berpendapat: tidak boleh bagi junub dan boleh bagi wanita haidh, baik
secara mutlak ataupun karena takut lupa, dan ini adalah madzhab Imam Malik, dan satu
pendapat pada madzhab Ahmad dan selainnya. Karena tidak ada riwayat tentang wanita
haidh membaca Al-Qur’an, kecuali hadits yang diriwayatkan dari Ismail bin ‘Ayasy dari Musa
dari ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu Umar:
َآن م َِن َش ْي ًئا ْال ُج ُنبُ َوالَ ْال َحائِضُ َي ْق َرأ ُ ال
ِ ْْال ُقر
"Tidak boleh bagi yang haidh dan junub membaca al-Qur’an". [Diriwayatkan oleh Abu Daud
dan yang lainnya].
Tetapi hadits tersebut dha’if menurut kesepakatan ahlul hadits. Karena riwayat-riwayat
Isma’il bin Ayyasy dari penduduk Hijaz adalah hadits-hadits dhaif [10], berbeda dengan
riwayat-riwayat yang ia ambil dari penduduk Syam. Dan tidak ada seorang tsiqah (yang
terpercaya) pun meriwayatkan hadits tersebut dari Nafi’. Padahal telah diketahui bahwa
Bahkan beliau memerintahkan para wanita haidh untuk keluar pada hari ‘Ied, sehingga
mereka bertakbir dengan takbir kaum muslimin. Beliaupun memerintahkan kepada wanita
yang haidh untuk (melakukan) manasik haji seluruhnya selain thawaf di Ka’bah. Ia (wanita
haidh ) bertalbiyah (mengucapkan “Labbaik Allahumma labbaik...-Red) sedangkan ia dalam
keadaan haidh, demikian pula halnya di Muzdalifah, Mina dan tempat-tempat mengerjakan
ibadah haji lainnya.
Adapun bagi orang yang junub, beliau tidak memerintahkan untuk menghadiri ‘ied, shalat
ataupun menunaikan sesuatu dari manasik haji. Karena orang yang junub memungkinkan
baginya untuk (segera ) bersuci, dan tidak ada ‘udzur (alasan) baginya untuk menunda-
nunda bersuci, berbeda keadaanya dengan wanita haidh yang hadatsnya terus berlangsung
(selama darah masih keluar) dan tidak memungkinkan baginya untuk segera bersuci. Oleh
karena itu para ulama menyebutkan: “Tidak boleh bagi orang yang junub wukuf di Arafah,
Mudzalifah, dan Mina sampai ia suci”, walaupun bersuci bukanlah syarat untuk wukuf
tersebut. Akan tetapi yang dimaksud adalah bahwa Asy-Syari’ (Pembuat syari’at)
memerintahkan wanita haidh -baik perintah wajib ataupun mustahab/tidak wajib- untuk
berdzikir kepada Allah dan berdo’a kepadaNya, sedangkan hal itu makruh (tidak disukai)
bagi orang yang junub. Oleh karena itulah diketahui bahwa wanita haidh -karena udzur-
diberi rukhshah (keringanan) pada hal-hal yang rukhsah tersebut tidak diberikan kepada
orang yang junub, walaupun hadats wanita haidh berlangsung lebih lama. Demikian juga
dalam hal membaca al-Qur’an Allah tidak melarang wanita haidh dari hal tersebut.
Bisa juga dikatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang orang yang junub (hal
itu) karena ia (orang junub) memungkinkan baginya untuk segera bersuci lalu membaca al-
Qur’an. Berbeda dengan wanita haidh, yang hadatsnya berlangsung selama beberapa hari,
sehingga –jika dilarang- akan hilang darinya ibadah membaca al-Qur’an, yang ibadah
tersebut ia butuhkan, sementara ia tidak bisa segera bersuci. Dan tidaklah sama antara
membaca al-Qur’an dengan shalat, dalam shalat disyaratkan suci dari hadats besar,
sedangkan membaca al-Qur’an boleh dilakukan walaupun (kita) berhadats kecil berdasarkan
nash dan kesepakatan para imam/ulama. Dalam shalat harus menghadap kiblat, menutup
aurat, suci dari najis. Sedangkan dalam membaca al-Qur’an hal-hal tersebut tidak
diwajibkan, bahkan di dalam hadits shahih disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam pernah meletakkan kepala beliau di pangkuan ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, sedangkan
‘Aisyah dalam keadaan haidh.
َ َو َي ْق َظا ًنا َنا ِئمًا َت ْق َرؤُ ُه ْال َما ُء َي ْغسِ لُ ُه الَ ِك َتابًا َع َل ْي
ك ُم ْن ِز ٌل إِ َّني
"Maka membaca al-Qur’an boleh dilakukan dengan berdiri, tidur, berjalan, berbaring
maupun ketika naik kendaraan".[11]
3. Abu Muhammad bin Hazm berkata (Al—Muhalla: 1/77-78): “Permasalahan: Membaca al-
Qur’an, sujud tilawah, menyentuh mushaf dan berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla, semua
itu boleh dilakukan dengan berwudhu atau tanpa wudhu dan (boleh) bagi yang junub dan
juga yang haidh.
Dalil hal tersebut adalah bahwa membaca al-Qur’an, sujud tilawah, menyentuh mushaf dan
berdzikir kepada Allah merupakan perbuatan-perbuatan baik yang disunahkan, dan orang
yang melakukannya mendapat pahala, maka barangsiapa yang melarang hal-hal tersebut
dalam sebagian kondisi-kondisi tertentu, wajib untuk mendatangkan dalil".
Kesimpulan.
Bahwa wanita yang haidh boleh untuk berdzikir kepada Allah dan membaca al-Qur’an,
karena tidak ada dalil yang shahih dan sharih (jelas) dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam yang melarang hal tersebut. Bahkan riwayat yang ada (justeru) membolehkan hal-hal
tersebut, yaitu yang telah dijelaskan di atas. Wallahu ‘Alam.
[Diterjemahkan oleh Meli Nur Hasanah dari kitab Jami’ Ahkamin Nisa’ I/182-187,karya
Syeikh Mushthaha Al-‘Adawi]
________
Footnote
[1]. Beginilah tertulis di dalam kitab Jami’ Ahkamin Nisa’ I/182, karya Syeikh Mushthaha Al-
‘Adawi, tetapi yang kami lihat di dalam Shahih Al-Bukhari pada hadits ini tanpa perawi yang
bernama Muhammad. Tetapi perawi pertama adalah Umar bin Hafs. Wallahu A’lam-Red]
[2]. Di dalam sebuah hadits (disebutkan) bahwa para wanita haidh bertakbir dan berdzikir
kepada Allah Azza wa Jalla
[3]. Sebagaimana orang berhaji boleh berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla dan membaca al-
Qur’an, maka demikian pula bagi wanita haid ia boleh berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla
dan membaca al-Qur’an, sesungguhnya yang terlarang baginya (wanita haid) hanyalah
thawaf di Ka’bah sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam (dalam hadits tersebut), dan akan datang tambahan (penjelasan) tentang hal
tersebut dalam bab-bab berikut Insya Allah.
[4]. Hadits ini dan juga hadits sebelumnya memberikan penjelasan bagi wanita yang haidh
disyari’atkan baginya untuk berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla. Dan karena al-Qur’an juga
merupakan dzikir, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Berdasarkan ini dan juga berdasarkan apa-apa yang telah kami jelaskan, bahwa boleh bagi
orang yang berhaji untuk membaca al-Qur’an, maka atas dasar ini wanita haidh boleh
berdzikir dan membaca al-Qur’an.
[6]. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa-i, dan Abu Dawud-Red
[8]. HSR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Al-Baihaqi. Lihat Shahih Al-Jami’, no:4943 -Red
[9]. Hadits Dha’if Riwayat Ahmad, Tirmidzi, dan Al-Baihaqi. Lihat Shahih Al-Jami’, no:6364 -
Red]
[11]. Yang kami dapati di dalam Shahih Muslim, kitab: Al-Jannah Wa Shifatu Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam ’imiha Wa Ahliha, dengan lafazh:
Sesungguhnya Aku menurunkan kepadamu sebuah kitab yang tidak terbasuh air, engkau
membacanya dalam keadaan tidur maupun jaga.
Oleh
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kami pernah mendengar fatwa Anda
yang menyatakan bahwa yang lebih utama bagi seorang wanita haid adalah tidak membaca
Al-Qur'an kecuali untuk suatu kebutuhan, mengapa tidak membaca Al-Qur'an yang lebih
utama, sementara dalil-dalil yang ada menunjukkan hal yang bertentangan dengan yang
Anda katakan ?
Jawaban
Saya tidak tahu yang dimaksud oleh penanya, apakah ia menginginkan dalil-dalil yang
dijadikan alasan oleh yang melarangnya ataukah penanya ini mnginginkan dalil-dalil yang
membolehkan wanita haidh membaca Al-Qur'an, tapi yang perlu saya sampaikan di sini
adalah bahwa ada beberapa hadits dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau
bersabda.
"Artinya : Wanita haidh tidak boleh membaca suatu apapun dari Al-Qur'an".
Akan tetapi hadits-hadits seperti ini yang menyatakan larangan bagi wanita haidh untuk
membaca Al-Qur'an bukan hadits-hadits shahih, jika hadits-hadits tersebut bukan hadits-
hadits shahih, maka hadits-hadits tersebut tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak boleh
melarang wanita haidh membaca Al-Qur'an hanya berdasarkan hadits-hadits yang tidak
shahih ini, tapi adanya hadits-hadits seperti ini menjadikan adanya syubhat, maka
berdasarkan inilah kami katakan bahwa yang lebih utama bagi seorang wanita haidh adalah
tidak membaca Al-Qur'an kecuali jika hal itu dibutuhkan, seperti seorang guru wanita atau
seorang pelajar putri atau situasi-situasi lain yang serupa dengan guru dan pelajar itu.
Oleh
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta' ditanya : Apa hukumnya membaca Al-qur'an dengan hafalan
atau dengan melihat mushaf bagi orang yang sedang junub?
Jawaban
Tidak boleh bagi orang yang sedang junub untuk membaca Al-Qur'an sebelum ia mandi
junub, baik dengan cara melihat Al-Qur'an ataupun yang sudah dihafalnya. Dan tidak boleh
baginya membaca Al-Qur'an kecuali dalam keadaan suci yang sempurna , yaitu suci dari
hadats yang paling besar sampai hadats yang paling kecil.
Oleh
Pertanyaan
Jawaban
Tidak diharamkan bagi orang yang sedang junub atau sedang haidh atau yang tidak
berwudhu untuk menyentuh buku atau majalah yang didalamnya terdapat ayat-ayat Al-
Qur'an , karena buku-buku dan majalah-majalah itu bukan Al-Qur'an .
[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa
Tentang Wanita penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, hal. 60-61, 64 Terbitan Darul Haq
penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
Oleh
Pertanyaan.
Jawaban.
Kami tidak ragu, bahwa kebiasaan ini (mengucapkan 'Shadaqallahul 'Adzim setelah
membaca Al-Qur'an) adalah termasuk bid'ah yang diada-adakan, yang tidak terdapat pada
masa As-Salafus Shalih.
Dan patut diperhatikan bahwa bid'ah dalam agama itu tidak boleh ada. Karena bid'ah pada
asalnya tidak dikenal (diketahui). Walaupun bid'ah itu kadang-kadang diterima di
masyarakat dan dianggap baik, tetapi dia tetap dinamakan bid'ah yang sesat.
Ucapan : "Shadaqallahul 'Adzhiim (Benarlah apa yang difirmankan Allah Yang Maha Agung)
adalah suatu ungkapan yang indah dan tepat, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala.
[An-Nisaa : 122]
Akan tetapi jika setiap kali kita membaca sepuluh ayat kemudian diikuti dengan membaca
Shadaqallahul Adzhiim, saya khawatir suatu hari nanti bacaan Shadaqallahul Adzhiim
setelah membaca ayat-ayat Al-Qur'an menjadi seperti bacaan shalawat setelah adzan.
Sebagian lain dari mereka mensyariatkan bacaan ini berdasarkan firman Allah Subahanahu
wa Ta'ala.
"Artinya : Katakanlah ; Shadaqallah (Benarlah apa yang difirmankan Allah)" [Ali Imran : 95]
Mereka ini adalah seperti orang-orang yang membolehkan dzikir dengan membaca : Allah...
Allah .... Allah [1], dengan (dalil) firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Maka firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : "Katakanlah : Benarlah (apa yang difirmankan)
Allah" tidak bisa dijadikan dalil tentang bolehnya mengucapkan 'Shadaqallahul Adzhiim
setelah selesai membaca Al-Qur'an.
_________
Foote Note.
[1] Yaitu kaum sufi atau semisalnya yang sesat, padahal tidak ada sama sekali dalil atas apa
yang mereka dakwahkan ini, yaitu tentang bolehnya dzikir dengan lafal : 'Allah' saja,
sebagaimana tampak dengan jelas bagi mereka yang memperhatikan jalannya ayat yang
mereka bawakan sebagai hujjah -pent-
Oleh
Pertanyaan.
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Apa hukum orang yang menghafal Al-
Qur’an di luar kepala kemudian ia lupa, apakah dia akan dikenakan siksa atau tidak ?
Jawaban.
Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada RasulNya beserta
keluarga dan shabatnya, wa ba’du.
Al-Qur’an adalah kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia adalah perkataan yang paling utama
dan sarat dengan hukum-hukum, membacanya merupakan ibadah yang meluluhkan hati,
membuat jiwa menjadi khusyu dan memberi manfaat lain yang tidak terhitung. Oleh karena
itu, nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar selalu menjaganya supaya tidak
lupa. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata.
“Artinya : Jangalah (hafalan) Al-Qur’an, demi Dzat yang jiwa saya ada tanganNya,
sesungguhnya Al-Qur’an itu sangat cepat terlepas melebihi (lepasnya) unta dari ikatannya”
[1]
Tidak selayaknya seorang hafizh lalai dari membacanya dan tidak maksimal dalam
menjaganya. Seyogyanya dia mempunyai wirid (muraja’ah) harian agar dapat menghindari
Adapun hadits yang mengandung ancaman bagi orang yang menghafal kemudian lupa, tidak
benar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[Disalin dari buku 70 Fatwa Fii Ihtiraamil Qur’an, edisi Indonesia 70 Fatwa Tentang Al-
Qur’an, Penyusun Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Penerbit Darul Haq]
__________
Foote Note
[1]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari hadits Abu Musa Radhiyallahu ‘anhu no. 5033, kitab
Fadha’il Al-Qur’an bab 23, dan Imam Muslim juga dari Abu Musa no. 1/23-(791), kitab Shalat
Al-Musafirin bab 33
Oleh
Pertanyaan.
Lajnah Da'imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Seseorang telah hafal lima juz dari Al-
Qur'an, namun karena banyak kesibukan, dia tidak memuraja'ah hafalannya dalam tempo
waktu yang cukup lama sehingga hafalannya hilang dan ia lupa. Bagaimana hukumnya,
apakah berdosa ? Apakah ada hadits-hadits yang mengancam hal seperti ini ?
Jawaban.
Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada RasulNya
beserta keluarga dan shabatnya, wa ba'du.
Orang tersebut perlu dinasehati dan di dorong supaya kembali mempelajari Al-Qur'an
seluruhnya, membacanya, men-tadabburi-nya dan mengamalkannya. Dia juga perlu
diperingatkan terhadap akibat buruk dari terlalu menyibukkan diri dengan dunia sehinga
melupakan urusan agamanya.
Adapun hadits yang mengandung ancaman terhadap orang yang telah hafal Al-Qur'an lalu
dia lupa adalah hadits dha'if.
[Disalin dari buku 70 Fatwa Fii Ihtiraamil Qur'an, edisi Indonesia 70 Fatwa Tentang Al-
Qur'an, Penyusun Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Penerbit Darul Haq]
Oleh
Pertanyaan.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Sebagaimana yang anda ketahui bahwa
Al-Qur’an Al-Karim itu mempunyai peranan penting yang tampak jelas dalam perilaku
keluarga muslim dan masyarakat. Apakah Anda mempunyai saran dalam hal yang penuh
berkah ini, terutama dikarenakan kaum muslimin tidak mempunyai keinginan untuk
memasukkan anak-anaknya ke dalam halaqah jama’ah tahfizh Al-Qur’an.?
Jawaban.
Sungguh engkau sangat bagus wahai penanya dan tidak ada tambahan lagi atas apa yang
telah engkau sebutkan.
Tidak ragu lagi bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah, dan hanya membacanya karena Allah
bisa mendapatkan pahala, sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Barangsiapa membaca satu huruf dari Al-Qur’an maka dia mendapat satu
kebaikan, sedangkan satu kebaikan itu dibalas dengan sepuluh kali lipat, saya tidak
mengatakan Alif Lam Mim itu satu huruf, namun Alif satu huruf, Lam satu huruf, dan Mim
satu huruf” [1]
Bila dia mempunyai waktu khusus seperti ba’da shalat Shubuh dan ba’da shalat Maghrib, dia
mengambil mushaf dan terus membacanya –bila tidak hafal- dia membaca apa yang mudah
baginya setiap hari. Dengan cara seperti ini berarti dia telah memperhatikan Al-Qur’an dan
tidak meninggalkannya, karena sesungguhnya Allah mencela orang-orang yang
meninggalkannya di dalam firmanNya.
“Artinya : Dan Rasul berkata, “Wahai Tuhanku sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al-
Qur’an ini sesuatu yang diacuhkan” [Al-Furqan : 30]
Begitu juga kami wasiatkan kepada orang muslim yang baik terhadap dirinya sendiri dan
yang cinta kepada sesama, agar mendidik anak-anaknya untuk menghafal Kitab Allah
semenjak usia dini, menjadikan mereka cinta terhadap Kitab Allah dan mengajarkannya
sejak kecil sehingga mereka tumbuh terdidik di atas pemahaman Kitab Allah.
Sesungguhnya Jam’iyah Khairiyah banyak tersebar di negeri ini (Saudi Arabia), di setiap
daerah ada sekolah untuk pengajaran Al-Qur’an. Anak-anak –biasanya- mempunyai waktu
senggang di sore hari setelah ba’da Ashar, mereka tidak mempunyai kesibukan, oleh sebab
itu si ayah seharusnya membawa anak-anaknya dan menggabungkan mereka pada sekolah-
sekolah ini serta mendorong dan memberi semangat mereka untuk hal itu meskipun dengan
diiming-imingi hadiah untuk hadir di sana dan menghafalnya.
[Disalin dari buku 70 Fatwa Fii Ihtiraamil Qur’an, edisi Indonesia 70 Fatwa Tentang Al-
Qur’an, Penyusun Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Penerbit Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. Hadits dikeluarkan oleh At-Tirmidzi dari Abdullah Ibn Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu no.
2910 Kitab Fadhail Al-Qur’an, bab: 16. Imam At-Tirmidzi berkata : Ini hadits hasan shahih,
hadits ini dishahihkan juga oleh Al-Albani, lihat Shahih Al-Jami 5/340
Oleh
Pertanyaan.
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Apa hukumnya bagi orang yang sering
membaca Al-Qur’an Al-Karim, namun karena daya ingatnya lemah, dia tidak bisa
menghafalnya ? Apa pula hukum orang yang menghafal Al-Qur’an dan melupakannya,
seperti orang (pelajar) yang menghafalnya untuk tujuan ikhtibar (ujian), apakah itu
berdosa.?
Jawaban.
Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga tercurah kepada RasulNya
beserta keluarga dan shabatnya, wa ba’du.
Orang yang banyak membaca Al-Qur’an, namun dia tidak menghafalnya karena daya
ingatnya lemah, maka dia itu mendapatkan pahala atas bacaannya itu dan dimaafkan
ketidak-hafalannya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Maka bertaqwalah kalian kepada Allah semampu kalian” [At-Thagabun : 16]
Adapun orang yang menghafal Al-Qur’an, misalnya untuk ujian, kemudian dia lupa, maka dia
telah berbuat kesalahan dan telah lepas darinya kebaikan yang banyak.
[Disalin dari buku 70 Fatwa Fii Ihtiraamil Qur’an, edisi Indonesia 70 Fatwa Tentang Al-
Qur’an, Penyusun Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Penerbit Darul Haq]
Oleh
Pertanyaan.
Lajnah Da'imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Bagaimana cara menjaga hafalan Al-
Qur'an saya ?
Jawaban.
Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga tercurah kepada RasulNya
beserta keluarga dan shabatnya, wa ba'du.
Di antara cara menghafal Al-Qur'an adalah selalu mengulang-ulang dan menjaganya, juga
bersungguh-sungguh, ikhlas, berkeinginan keras untuk menghafalnya, memahaminya dan
men-tadabburi-nya serta ber-tadharru'(memelas) dan memohon taufiq (kemudahan) untuk
hal itu kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hati-hatilah dari perbuatan maksiat serta
bertaubatlah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dari dosa-dosa maksiat yang pernah
dilakukan.
[Disalin dari buku 70 Fatwa Fii Ihtiraamil Qur'an, edisi Indonesia 70 Fatwa Tentang Al-
Qur'an, Penyusun Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Penerbit Darul Haq]
Oleh
Pertanyaan.
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Saya membaca Al-Qur’an dan tidak
mampu menghafalnya, apakah saya mendapat pahala ?
Jawaban.
Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga tercurah kepada RasulNya
beserta keluarga dan shabatnya, wa ba’du.
Orang yang membaca Al-Qur’an dan men-tadabburi-nya serta mengamalkannya pasti dia
diberi pahala, meskipun tidak menghafalnya, sebagaimana di dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha. Beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda.
“Artinya : Orang yang mahir membaca Al-Qur’an, dia berada bersama para malaikat yang
terhormat dan orang yang terbata-bata di dalam membaca Al-Qur’an serta mengalami
kesulitan, maka baginya dua pahala” [1]
__________
Foote Note
[1]. Potongan Hadits yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dari hadits Aisyah Radhiyallahu
‘anha no. 244-(898), kitab Al-Musafirin wa Qashruha, bab. 38
Oleh
Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Sesungguhnya saya berusaha untuk membaca
Al-Qur’an Al-Karim dan saya sangat mencintai Kitab Allah (ini), namun dada saya terasa
sempit (sesak) sehingga tidak bisa menyelesaikan bacaannya, maka bagaimanakah
solusianya ?
Jawaban.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi kita panduan sebelum memulai membaca Al-Qur’an,
yaitu ‘kita memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk’, dengan
Dan hendaklah anda men-tadabburi-nya, karena bila anda men-tadabburi-nya, maka ini
mendatangkan kekhusyu’an dan membuat anda senang (dan cinta) terhadap Al-Qur’an Al-
karim. Janganlah menyelesaikan satu surat atau satu juz menjadi tujuan pokok anda, tapi
hendaklah yang anda cari sebagai maksud pokok adalah tadabbur serta tafakkur dalam ayat-
ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sedang and baca. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memanjangkan bacaan pada shalat malam, bila melewati ayat rahmat, beliau berhenti dan
memohon kepada Allah dan bila ayat berkenaan dengan adzab dilewati, beliau berhenti
dulu dan meminta perlindungan kepada Allah. Semua ini menunjukkan bahwa beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca dengan tadabbur dan sepenuh hati.
[Disalin dari buku 70 Fatwa Fii Ihtiraamil Qur’an, edisi Indonesia 70 Fatwa Tentang Al-
Qur’an, Penyusun Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Penerbit Darul Haq]
Oleh
Pertanyaan.
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Apakah membaca Al-Qur’an itu wajib
atau sunnah ? Dan apa hukum meninggalkannya, apakah haram atau makruh ?.
Jawaban.
Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga tercurah kepada RasulNya
beserta keluarga dan shabatnya, wa ba’du.
Allah telah menurunkan Al-Qur’an untuk diimani, dipelajari, dibaca, ditadabburi, diamalkan,
dijadikan sandaran hukum, dijadikan rujukan dan untuk dijadikan obat dari berbagai
penyakit dan kotoran hati serta untuk hikmah-hikmah lain yang Allah kehendaki dari
penurunannya. Manusia terkadang suka meninggalkan Al-Qur’an, dia tidak beriman, tidak
mendengarkan dan tidak memperhatikannya. Terkadang dia mengimaninya, namun tidak
mempelajarinya. Terkadang dia mempelajarinya, namun tidak membacanya. Terkadang dia
membacanya, namun tidak men-tadabburinya. Terkadang tadabbur sering ia lakukan,
namun ia tidak mengamalkannya. Ia tidak menghalalkan apa yang dihalalkannya dan tidak
mengharamkan apa yang diharamkannya. Dia tidak menjadikannya sebagai sandaran dan
rujukan hukum. Dia juga tidak berobat dengannya dari penyakit-penyakit hati dan jasmani.
Maka hajrul Qur’an (meninggalkan Al-Qur’an) terjadi dari seseorang sesuai dengan kadar
keberpalingan dia darinya, sebagaimana yang telah dijelaskan.
Pertanyaan.
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Seorang telah belajar membaca Al-
Qur’an, akan tetapi sudah lewat satu tahun dia tidak membacanya lagi. Apa hukum syari’at
terhadap meninggalkannya itu.
Jawaban.
Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga tercurah kepada RasulNya
beserta keluarga dan sahabatnya, wa ba’du.
Tidak pantas (tidak patut) hal itu terjadi dan kewajiban ahli ilmu yang berada di sekitarnya
menasihati dia dan menjelaskan keutamaan membacanya, men-tadabburi-nya dan
mengambil pelajaran darinya. Mudah-mudahan dia menerima nasihat itu dan mau
membacanya lagi.
Oleh
Pertanyaan.
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Apakah hukum membaca Al-Qur’an,
wajib atau sunnah, karena kami sering ditanya tentang hukumnya. Di antara kami ada yang
mengatakan bahwa hukumnya tidak wajib, bila membacanya tidak mengapa dan jika tidak
membacanya tidak apa-apa. Bila pernyataan itu benar tentu banyak orang yang
meninggalkan Al-Qur’an, maka apa hukum meninggalkannya dan apa pula hukum
membacanya ?
Jawaban.
Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga terlipah kepada RasulNya,
keluarga dan shabatnya, wa ba’du.
Yang disyariatkan sebagai hak bagi orang Islam adalah selalu menjaga untuk membaca Al-
Qur’an dan melakukannya sesuai kemampuan sebagai pelaksanaan atas firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an)” [Al-
Ankabut : 45]
Dan firmanNya.
“Artinya : Dan aku perintahkan supaya aku termasuk orang-orang yang menyerahkan diri.
Dan supaya aku membaca Al-Qur’an (kepada manusia)” [An-Naml : 91-92]
“Artinya : Bacalah Al-Qur’an karena sesungguhnya dia datang memberi syafa’at bagi
pembacanya di hari Kiamat” [1]
Seharusnya seorang muslim itu menjauhi dari meninggalkannya dan dari memutuskan
hubungan dengannya, walau dengan cara apapun bentuk meninggalkan itu yang telah
disebutkan oleh para ulama dalam menafsirkan makna hajrul Qur’an. Imam Ibnu Katsir
rahimahullah berkata di dalam Tafsinya (Tafsir Ibnu Katsir 6/117) : Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman memberi khabar tentang Rasul dan NabiNya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bahwa beliau berkata.
“Artinya : Wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an ini sesuatu yang
tidak diacuhkan” [Al-Furqan : 30]
Itu karena orang-orang musyrik tidak mau diam memperhatikan dan mendengarkan Al-
Qur’an sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
[Disalin dari buku 70 Fatwa Fii Ihtiraamil Qur’an, edisi Indonesia 70 Fatwa Tentang Al-
Qur’an, Penyusun Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Penerbit Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. Dikeluarkan oleh Muslim no. 804, dalam Shalat Al-Musafirin wa Qashruhu, bab II dari
hadits Abu Umamah Al-Bahili Radhiyallahu ‘anhu