You are on page 1of 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peserta didik dari berbagai jenjang yang sulit berbaur dan bersosialisasi dengan
sekitar mengakibatkan perkembangan belajar menjadi terganggu. Bahkan, ada beberapa
peserta didik yang akhirnya enggan mengemban dan menempuh proses pelajaran lewat
apa yang diinstruksikan pengajar. Padahal, perkembangan pendidikan sangat
mempengaruhi mutu sebuah sistem pendidikan untuk menentukan kualitas suatu bangsa.
Perkembangan pembelajaran dilandasi oleh beberapa teori dalam dunia pendidikan yang
dicetuskan oleh beberapa tokoh dan pelopor dunia. Teori-teori ini satu per satu
bermunculan dan diperkenalkan kepada dunia agar dapat menyelesaikan problematika
proses pendidikan. Selain itu, teori-teori ini juga adalah berbagai inovasi yang difungsikan
untuk mengangkat kualitas pendidikan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Konsep dan Definisi dari Social Learning Theory?
2. Apa Dimensi dari Social Learning Theory?
3. Apa Saja Kelebihan dan Kelemahan Social Learning Theory?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami konsep serta definisi dari Social Learning Theory
2. Untuk mengetahui dan memahami dimensi dari Social Learning Theory
3. Untuk mengetahui dan memahami kelebihan serta kelemahan dari Social Learning
Theory

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep dan Definisi Social Learning Theory


Albert Bandura (1977), salah satu dari tokoh pencetus teori perkembangan social
learning theory atau yang lebih dikenal teori pembelajaran sosial. Bandura beranggapan
Bahwa, setiap orang belajar melalui pengalaman langsung atau pengamatan lalu
mencontoh model. Bisa juga dari apa yang mereka baca, dengar dan lihat pada media,
serta dari orang di lingkungan sekitar. Teori ini dipopulerkan oleh Albert Bandura dan
dibantu oleh Richard Walter. Bandura menghipotesiskan bahwa baik tingkah laku,
lingkungan dan kejadian-kejadian internal pada pembelajar yang mempengaruhi persepsi
dan aksi adalah merupakan hubungan yang saling berpengaruh (interlocking).
Social learning theory ini merupakan salah satu teori yang berusaha menjelaskan
sosialisasi dan pengaruhnya terhadap perkembangan kepribadian. Sebenarnya, ada banyak
teori yang berusaha menjelaskan bagaimana manusia bersosialisasi, antara lain
psikoanalisis, fungsionalisme, teori konflik, dan teori interaksi simbolik. Dalam teori ini
mengkaji proses pembelajaran, pembentukan kepribadian, dan pengaruh lingkungan
terhadap individu yang sedang bersosialisasi. Social learning theory memandang
pembentukan kepribadian individu sebagai respon atas stimulus sosial dan menekankan
konteks sosial bahwa identitas individu bukan hanya merupakan hasil alam bawah
sadarnya, melainkan juga karena respons individu tersebut atas ekspektasi-ekspektasi
orang lain. Perilaku dan sikap seseorang tumbuh karena dorongan atau peneguhan dari
orang-orang di sekitarnya. Menurut Kendra Cherry, ada tiga konsep inti dalam social
learning theory yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Pembelajaran Melalui Pengamatan.
Dalam eksperimennya yang terkenal yang diberi tajuk boneka Bobo, Bandura
memperlihatkan bahwa anak-anak belajar dan meniru perilaku-perilaku yang mereka
amati dilakukan oleh orang lain. Anak-anak dalam observasi ini mengamati orang
dewasa melakukan kekerasan terhadap boneka Bobo. Ketika anak-anak tersebut
diperbolehkan untuk bermain dalam kamar bersama dengan boneka Bobo, mereka
mulai meniru tindakan-tindakan agresif yang telah mereka amati dilakukan sebelumnya
oleh orang-orang dewasa. Ada dua jenis pembelajaran melalui pengamatan
(observational learning):
➔ Pembelajaran melalui pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang dialami
orang lain atau vicarious conditioning. Contohnya, seorang pelajar melihat
temannya dipuji oleh atasannya karena perbuatan yang dilakukan, maka ia
kemudian meniru melakukan perbuatan lain yang tujuannya sama ingin dipuji
oleh gurunya. Kejadian ini merupakan contoh dari penguatan melalui pujian yang
dialami orang lain atau vicarious reinforcement.
➔ Pembelajaran melalui pengamatan meniru perilaku suatu model, meskipun model
itu tidak mendapatkan penguatan atau pelemahan pada saat pengamat itu sedang
memperhatikan model tersebut dalam mendemonstrasikan sesuatu yang ingin
dipelajari oleh pengamat dan mengharapkan mendapat penguatan apabila
menguasai secara tuntas apa yang dipelajari itu. Model tidak harus diperagakan
oleh seseorang secara langsung, tetapi dapat juga menggunakan seseorang
pemeran atau visualisasi tiruan sebagai model. Contohnya yaitu seminar, dimana
melalui seminar ini akan dipaparkan model yang diharapkan dapat ditiru oleh
pesertanya yang dianggap sebagai pengamat.
2) Peran Penting Keadaan Mental dalam Pembelajaran
Menurut Bandura, dorongan dari luar dan pengaruh lingkungan bukan merupakan
satu-satunya faktor yang mempengaruhi pembelajaran dan perilaku individu. Kondisi
mental individu tetap memegang peran penting dalam pembentukan perilaku dan proses
belajar yang dialami dan kemudian melakukannya sebagai dorongan-dorongan batin
atau internal seperti kebanggaan, kepuasan, dan perasaan menang. Tanpa disertai
dorongan batin ini, perubahan sikap atau perilaku tidak akan mungkin terwujud. Karena
pendiriannya ini, teori Bandura memiliki nuansa cognitive developmental theory.
Bandura sendiri menyebut pendekatannya sebagai ‘teori kognitif sosial’ (social
cognitive theory).
3) Pembelajaran Belaka Belum Tentu Menghasilkan Perubahan Perilaku
Tidak semua tindakan atau perilaku yang diamati oleh individu secara otomatis
mendorong perubahan perilaku dalam dirinya. Terdapat banyak faktor yang harus
diperhatikan dalam perubahan perilaku individu setelah melakukan pengamatan.
Menurut Bandura, dasar kognitif dalam proses belajar dapat diringkas dalam empat
tahap, yaitu:
➔ Perhatian (attention): Individu cenderung memperhatikan tingkah laku model
untuk dapat mempelajarinya. Perhatiannya tertuju kepada nilai, harga diri, sikap,
dan lain-lain yang ia kira dimiliki oleh model.

3
➔ Mengingat (retention): Individu yang sedang belajar harus merekam peristiwa
yang ingin ditiru dalam sistem ingatannya. Ini memberikan kesempatan
kepadanya untuk meniru atau mengulang tindakan itu kelak bila diperlukan atau
diingini.
➔ Reproduksi gerak (reproduction): Setelah mengetahui atau mempelajari suatu
tingkah laku, individu juga cenderung menunjukkan kemampuannya atau
menghasilkan kembali apa yang ia ingat dalam bentuk tingkah laku.
➔ Motivasi (motivation): Motivasi juga penting dalam pemodelan Bandura karena
ia adalah penggerak individu untuk terus melakukan sesuatu. Jadi, ia harus
termotivasi untuk meniru perilaku yang telah dimodelkan.
Albert Bandura Menekankan peran dari aktivitas kognitif dan belajar dengan cara
mengamati tingkah laku manusia, serta melihat manusia sebagai orang yang berpengaruh
terhadap lingkungannya sama seperti lingkungan berpengaruh terhadap dirinya. Dengan
Kata lain, social learning theory merupakan pandangan yang menekankan kombinasi
tingkah laku, lingkungan, dan kognisi sebagai faktor utama dalam perkembangan.

2.2 Dimensi Social Learning Theory


Teori pembelajaran sosial merupakan perluasan dari teori belajar perilaku yang
tradisional (behavioristik). Teori pembelajaran sosial ini dikembangkan oleh Albert
Bandura (1986). Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip-prinsip teori-teori belajar
perilaku, tetapi memberi lebih banyak penekanan pada kesan dari isyarat-isyarat pada
perilaku, dan pada proses-proses mental internal. Jadi, dalam teori pembelajaran sosial ini
akan menggunakan penjelasan-penjelasan reinforcement eksternal dan
penjelasan-penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana kita belajar dari orang
lain. Dalam pandangan belajar sosial, manusia itu tidak didorong oleh kekuatan-kekuatan
dari dalam dan juga tidak dipukul oleh stimulus-stimulus lingkungan.
Teori belajar sosial menekankan bahwa lingkungan-lingkungan yang dihadapkan
pada seseorang secara kebetulan, lingkungan tersebut kerap kali dipilih dan diubah oleh
orang itu melalui perilakunya sendiri. Menurut Bandura, sebagaimana yang dikutip oleh
(Kardi, S., 1997: 14) bahwa sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara
selektif dan mengingat tingkah laku orang lain. Inti dari teori pembelajaran sosial adalah
pemodelan (modelling) dan pemodelan ini merupakan salah satu langkah paling penting
dalam pembelajaran terpadu.

4
Teori pembelajaran sosial juga sering disebut belajar melalui observasi
(observational learning) yang dikenal sebagai imitasi atau modelling, yaitu proses
pembelajaran yang terjadi ketika seseorang mengobservasi dan meniru tingkah laku orang
lain (Bandura, 1977; Santrock, 2001 dalam Hidayat, 2004). Proses pembelajaran ini sudah
dimulai pada awal kehidupan bahkan mungkin terjadi beberapa hari setelah lahir
(Hetherington & Parke, 1999). Contohnya adalah seorang anak meniru tingkah laku orang
tuanya. Melalui proses pemodelan peran (role modelling) ini, perilaku-perilaku yang
dilakukan oleh orang lain kemudian disimpan dalam memori seseorang yang suatu saat
akan dimunculkan (recalled) dan perilaku tersebut diimitasi. Santrock (2003) mengatakan
bahwa ahli teori belajar sosial percaya bahwa kita memperoleh sejumlah besar tingkah
laku, pikiran, dan perasaan dengan mengobservasi orang lain, observasi tersebut menjadi
bagian penting dari perkembangan kita.
Televisi, bioskop, atau buku-buku bacaan juga merupakan beberapa sumber-sumber
belajar yang dapat diobservasi oleh anak. Prihadi (2004) mengatakan bahwa teori
pembelajaran sosial berprinsip bahwa orang mempelajari keterampilan interpersonal
melalui “behavior role modelling”. Observasi dan imitasi orang lain yang
mendemostasikan atau mencontohkan perilaku sukses dalam suatu situasi. Prinsip dasar
belajar menurut teori ini bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan
moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modelling).
Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan
punishment, seorang individu akan berpikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang
perlu dilakukan.
Bandura (1977) mengutarakan empat langkah atau tahap dalam pembelajaran sosial,
yaitu (dalam Bastable, 2002):
a. Fase pertama (fase perhatian), yaitu kondisi yang diperlukan agar pembelajaran
terjadi. Dari hasil penelitian ditunjukkan bahwa model peran yang berstatus dan
berkompetensi tinggi lebih mungkin diamati meskipun karakteristik peserta didik
sendiri mungkin lebih perlu diperhatikan. Tingkat keberhasilan belajar ini ditentukan
oleh karakteristik model maupun karakteristik pengamat itu sendiri.
● Karakteristik model yang merupakan variabel penentu tingkat perhatian itu
mencakup frekuensi kehadirannya, kejelasannya, daya tarik personalnya, dan
nilai fungsional perilaku model itu.

5
● Karakteristik pengamat yang penting untuk proses perhatian adalah kapasitas
sensorisnya, tingkat ketertarikannya, kebiasaan persepsinya, dan reinforcement
masa lalunya.
b. Fase kedua (fase peringatan/retensi), berkaitan dengan penyimpanan dan
pemanggilan kembali apa yang diamati. Retensi ini dapat dilakukan dengan cara
menyimpan informasi secara imaginal atau mengkodekan peristiwa model ke dalam
simbol-simbol verbal yang mudah dipergunakan. Materi yang bermakna bagi
pengamat dan menambah pengalaman sebelumnya akan lebih mudah diingat.
c. Fase ketiga (fase peniruan), dimana peserta didik meniru perilaku yang diamati.
Latihan mental, penerapan langsung, dan umpan balik yang korektif memperkuat
peniruan tersebut. Pada tahap tertentu, gambaran simbolik tentang perilaku model
mungkin perlu diterjemahkan ke dalam tindakan yang efektif.
d. Fase keempat (fase motivasi), yaitu apakah peserta didik termotivasi untuk
melakukan jenis perilaku tertentu atau tidak. Pengamat akan cenderung mengadopsi
perilaku model jika perilaku tersebut:
● Menghasilkan imbalan eksternal.
● Secara internal, pengamat memberikan penilaian yang positif.
● Pengamat melihat bahwa perilaku tersebut bermanfaat bagi model itu sendiri.

Kemudian Bandura (1982) menyatakan bahwa penguasaan kemahiran dan


pengetahuan yang kompleks tidak hanya bergantung pada proses perhatian, motor
reproduksi dan motivasi yang telah disebut di atas, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh
unsur-unsur yang berdasarkan dari diri sendiri yaitu sense of self-Efficacy dan
self-regulatory system. Sense of self efficacy adalah keyakinan pembelajar bahwa ia dapat
menguasai pengetahuan dan keterampilan sesuai seperti yang berlaku. (M.R. Panjaitan,
2012).
Dalam pembelajaran self-regulatory akan menentukan goal setting dan self
evaluation pembelajar dan merupakan dorongan untuk meraih prestasi belajar yang tinggi
atau sebaliknya. Menurut Bandura, untuk berjaya, pembelajar harus dapat memberikan
model yang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembelajar. Selanjutnya
mengembangkan self of mastery, self efficacy, dan reinforcement bagi pembelajar. Berikut
Bandara mengajukan usulan untuk mengembangkan strategi proses pembelajaran yaitu
seperti berikut:
a. Strategi Proses

6
- Analisis tingkah laku yang akan dijadikan model terdiri dari:
● Apakah karakteristik dari tingkah laku yang akan dijadikan model itu berupa
konsep, kemahiran motor atau efektif?
● Bagaimanakah urutan atau sekuen dari tingkah laku tersebut?
● Dimanakah letaknya hal-hal yang penting (key point) dalam sekuen tersebut?
- Menetapkan fungsi nilai dari tingkah laku dan memilih tingkah laku
tersebut sebagai model.
● Apakah tingkah laku (kemampuan yang dipelajari) merupakan hal yang
penting dalam kehidupan di masa datang? (Success prediction).
● Bila tingkah laku yang dipelajari kurang memberi manfaat (tidak begitu
penting) model manakah yang lebih penting?
● Apakah model harus hidup atau simbol? Pertimbangan soal pembiayaan,
pengulangan demonstrasi, dan kesempatan untuk menunjukkan fungsi nilai
dan tingkah laku.
● Apakah peneguhan yang akan didapat melalui model yang dipilih?
- Pengembangan Sekuen
● Untuk mengajar motor skill, bagaimana cara untuk mengerjakan sesuatu
pekerjaan/kemampuan yang dipelajari.
- Implementasi pengajaran untuk menuntut proses kognitif dan motor
reproduksi.

b. Kemahiran Motor
● Hadirkan model.
● Beri kesempatan kepada tiap-tiap pembelajar untuk latihan secara simbolik.
● Beri kesempatan kepada pembelajar untuk latihan dengan timbal balik visual.

c. Proses Kognitif
● Tampilkan model, baik yang didukung oleh kod-kod verbal atau petunjuk untuk
mencari konsistensi pada berbagai contoh.
● Jika yang dipelajari adalah pemecahan masalah atau strategi penerapan, beri
kesempatan pembelajar untuk berpartisipasi secara aktif. Terakhir, beri
kesempatan pembelajar untuk membuat generalisasi dalam berbagai situasi.

7
Menurut Bandura (1997) self efficacy adalah kemampuan generatif yang dimiliki
individu meliputi kognitif, sosial, dan emosi. Kemampuan individu tersebut harus dilatih
dan diatur secara efektif untuk mencapai tujuan individu. Hal ini Bandura menyebutnya
dengan self efficacy karena menurut Bandura memiliki kemampuan berbeda dengan
mampu mengorganisasikan strategi yang sesuai dengan tujuan serta menyelesaikan
strategi tersebut dengan baik walaupun dalam keadaan yang sulit. Bandura (1997)
mengemukakan bahwa self efficacy individu dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu (T.
Muharrani, 2011):
1) Tingkat (level)
Self efficacy individu dalam mengerjakan suatu tugas berbeda dalam tingkat
kesulitan tugas. Individu memiliki self efficacy yang tinggi pada tugas yang mudah
dan sederhana atau juga pada tugas-tugas yang rumit dan membutuhkan kompetensi
yang tinggi. Individu yang memiliki self efficacy yang tinggi cenderung memilih tugas
yang tingkat kesukarannya sesuai dengan kemampuan.
2) Keluasan (generality)
Dimensi ini berkaitan dengan penguasaan individu terhadap bidang atau tugas
pekerjaan. Individu dapat menyatakan dirinya memiliki self efficacy pada aktivitas
yang luas, atau terbatas pada fungsi domain tertentu saja. Individu dengan self efficacy
yang tinggi akan mampu menguasai beberapa bidang sekaligus untuk menyelesaikan
suatu tugas. Individu yang memiliki self efficacy yang rendah hanya menguasai
sedikit bidang yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu tugas.
3) Kekuatan (strength)
Dimensi ketiga ini lebih menekankan pada tingkat kekuatan atau kemantapan
individu terhadap keyakinannya. Self efficacy menunjukkan bahwa tindakan yang
dilakukan individu akan memberikan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan
individu. Self efficacy menjadi dasar dirinya melakukan usaha yang keras, bahkan
ketika menemui hambatan sekalipun.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa self efficacy mencakup
dimensi tingkat (level), keluasan (generality), dan kekuatan (strength). Self regulated
learning adalah proses bagaimana seorang peserta didik mengatur pembelajarannya
sendiri dengan mengaktifkan kognitif, afektif, dan perilakunya sehingga tercapai
tujuan belajar. (T. Muharrani, 2011). Self regulatory pula merujuk kepada (M.R.
Panjaitan, 2012):

8
● Struktur kognitif yang memberi gambaran tingkah laku dan hasil
pembelajaran.
● Sub proses kognitif yang dirasakan, mengevaluasi, dan mengatur tingkah laku
kita.

Pada tahun 1970-an dan 1980-an dilakukan penamaan baru Teori Belajar Sosial
(Social Learning Theory) menjadi Teori Kognitif Sosial yang dikembangkan oleh Albert
Bandura. Ide pokok dari pemikiran Bandura (Bandura, 1962) juga merupakan
pengembangan dari ide Miller dan Dollard tentang belajar meniru (imitative learning).
Dalam teori sosial kognitif, faktor internal maupun eksternal dianggap penting. Peristiwa
di lingkungan, faktor-faktor personal, dan perilaku dilihat saling berinteraksi dalam proses
belajar. Faktor-faktor personal (keyakinan, ekspektasi, sikap, dan pengetahuan),
lingkungan fisik dan sosial (sumber daya, konsekuensi tindakan, orang lain, dan setting
fisik) semuanya saling mempengaruhi dan dipengaruhi. Bandura menyebutkan interaksi
kekuatan-kekuatan ini dengan reciprocal determinism.
Determinisme Resiprokal menurut Bandura dapat diartikan sebagai hubungan timbal
balik antara 3 komponen yang tidak dapat dipahami secara terpisah-pisah. Ketiga
komponen itu adalah orang (person/P), lingkungan (environment/E), dan perilaku
(behavior/B). Bandura meringkas tiga interaksi komponen tersebut sebagai berikut:

Pada gambar di atas, panah menggambarkan hubungan antara faktor-faktor bersifat


timbal balik ketimbang satu arah (Santrock, 2003). Faktor ini bisa saling berinteraksi
dalam proses pembelajaran. Faktor lingkungan mempengaruhi perilaku, perilaku
mempengaruhi lingkungan, faktor orang/kognitif mempengaruhi perilaku. Faktor orang
(kognitif) yang dimaksud saat ini adalah self efficacy atau efikasi diri. Reivich dan Shatté
(2002) mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk
menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif.

9
2.3 Kelebihan dan Kelemahan Social Learning Theory
A. Kelebihan Social Learning Theory
Teori Albert Bandura lebih lengkap dibandingkan teori belajar sebelumnya, karena
menekankan bahwa lingkungan dan perilaku seseorang dihubungkan melalui sistem
kognitif orang tersebut. Albert Bandura memandang tingkah laku manusia bukan
semata-mata reflex atas stimulus, melainkan juga akibat interaksi antara lingkungan
dengan kognitif manusia itu sendiri.
Pendekatan teori belajar sosial lebih ditekankan pada perlunya conditioning
(pembiasan merespon) dan imitation (peniruan). Selain itu pendekatan belajar sosial
menekankan pentingnya penelitian empiris dalam mempelajari perkembangan anak –
anak. Penelitian ini berfokus pada proses yang menjelaskan perkembangan anak – anak,
faktor sosial dan kognitif.

B. Kelemahan Social Learning Theory


Teori pembelajaran Sosial Bandura sangat sesuai jika diklasifikasikan dalam teori
behavioristik. Ini karena, teknik pemodelan Albert Bandura adalah mengenai peniruan
tingkah laku dan adakalanya cara peniruan tersebut memerlukan pengulangan dalam
mendalami sesuatu yang ditiru. Selain itu juga, jika manusia belajar atau membentuk
tingkah lakunya dengan hanya melalui peniruan (modeling), sudah pasti terdapat sebagian
individu yang menggunakan teknik peniruan ini juga akan meniru tingkah laku yang
negatif , termasuk perlakuan yang tidak diterima dalam masyarakat.

2.4 Contoh Penerapan Social Learning Theory


Social Learning Theory dan Perilaku Agresif Anak dalam Keluarga
Dalam jurnal ini menjelaskan bahwa hubungan orang tua dengan anak, akan sangat
berpengaruh pada pembentukan kepribadian si anak pada masa depannya. Misalnya
apabila anak tersebut diasuh oleh seorang ibu yang berkepribadian kuat, mudah
menyesuaikan diri dengan hal-hal baru, jarang mengalami konflik dengan
anggota-anggota keluarga yang lain, maka si anak cenderung akan mudah berkembang
menjadi individu yang penuh efikasi diri. Sebaliknya, pribadi ibu yang demikian, juga
akan membantu memperkuat faktor protektif keluarga yang akan mengurangi, bahkan
menghilangkan, depresi dan segala bentuk gangguan mental yang kerap menyerang para
anggota keluarga. Pembentukan karakter individu dan pendidikan pembentukan sikap juga

10
dimulai dari keluarga. Membangun sikap saling menghormati, empati, keadilan, kejujuran,
tidak saling mencurigai, saling menyayangi, persahabatan, kerja sama, saling mengerti,
dan keadilan/pemerataan dinilai akan dapat mengurangi sikap agresif pada anak.
Bandura menegaskan bahwa social learning theory merupakan pandangan yang
menekankan kombinasi tingkah laku, lingkungan, dan kognisi sebagai faktor utama dalam
perkembangan. Jikalau dalam keluarga sudah mampu membentuk komunikasi yang baik
yaitu mendengarkan, memahami pandangan yang berbeda antara individu dalam keluarga,
mau bekerja sama, mampu memecahkan masalah, berpikir kritis, pengambilan keputusan
dan tanggung jawab sosial maka akan membentuk kedewasaan pada tiap individu
keluarga, dan tidak menutup kemungkinan hal ini akan terbawa sampai individu dari
keluarga tersebut bergaul di lingkungan masyarakat. Individu tersebut akan belajar secara
alami untuk peka terhadap kondisi lingkungan dan sosial karena individu tersebut sudah
melampaui media belajar melalui keluarga. Tahap berikutnya adalah pengamatan anak
melalui kondisi yang dialami oleh orang lain, misalkan saja cara orang tuanya memuji atau
menegur saudara yang lain. Maka salah satu dari anggota keluarga yang lain akan meniru
perilaku saudaranya yang mendapat pujian dan menghindari sikap dari saudara yang
mendapat teguran tersebut, karena sikap tersebut dianggap tidak baik. Perilaku ini
berpeluang besar untuk mengkonstruksi kecerdasan anak untuk bisa membedakan hal baik
yang perlu dilakukan dan meninggalkan perilaku buruk yang berakibatkan konflik dengan
sesama teman di lingkungannya.
Terdapat empat tahap sebelum akhirnya social learning theory ini berpengaruh
terhadap individu atau mampu berpengaruh terhadap agresivitas pada anak, yaitu:
1) Tahap Preparatory: Seseorang mendapat gambaran yang menyenangkan jika dia hidup
dalam kedamaian tanpa percekcokan, huru-hara, peperangan, dan sebagainya. Dimulai
dengan dia melihat kehidupan yang terjadi dalam keluarganya begitu harmonis, yang
tua menyayangi kepada yang muda dan yang muda menghormati kepada yang lebih
tua. Begitu pula bacaan dan tontonan di dalam rumah selalu mendapat pantauan dari
orang tua, ada pemilahan pada usia berapakah dia boleh membaca dan menonton hal
tersebut. Tentunya yang demikian menimbulkan konstruksi dalam pikiran anak bahwa
bertengkar, menyakiti secara fisik dan nonfisik kepada orang lain itu tidak baik dan
tidak menyenangkan.
2) Tahap Initiation: tahap ini adalah pemilihan apakah seseorang akan meneruskan atau
tidak terhadap perilaku yang sudah ditanamkan sejak dalam keluarga, biasanya ini
terjadi sejak seseorang menginjak remaja.

11
3) Tahap Be Coming to Peace: yaitu tahapan ketika seseorang sudah mulai cinta damai
terhadap lingkungan dimana dia hidup.
4) Tahap Maintenance of Peace: tahap ini adalah salah satu tahap kematangan atau
kedewasaan seseorang terbentuk. Seseorang tidak hanya sekedar berperan sebagai self
regulation (pengatur diri sendiri) akan tetapi dia mampu untuk membentuk lingkungan
yang damai.
Sehingga dalam studi kasus ini dapat disimpulkan bahwa dalam sistem keluarga,
social learning theory ini amat menarik untuk diterapkan. Bila kualitas individu yang
memiliki efikasi diri yang luas, maka pengaruhnya akan sangat besar terutama pada diri
sendiri dan lingkungan sekitarnya. Hal ini karena pembentukan efikasi diri tidak mungkin
dilihat sebagai upaya personal belaka. Sebagai bagian dari sebuah lembaga sosial,
masing-masing anggota keluarga tidak mungkin hidup sendiri-sendiri secara otonom.
Banyak di antara tujuan hidup yang mereka cari hanya bisa dicapai dengan bekerja sama
melalui usaha yang saling berhubungan.
Social learning theory dapat membentuk kepribadian individu sebagai respon atas
stimulus sosial yang akan berimbas pada pembentukan karakter manusia terhadap
sosialnya. Hal ini disebabkan karena social learning theory merupakan model
pembelajaran pengamatan yang berfungsi sebagai salah satu pendidikan untuk
mencerdaskan emosi, empati respect, dan multikulturalisme seseorang.

12
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Albert Bandura (1977), salah satu dari tokoh pencetus teori perkembangan social
learning theory atau yang lebih dikenal teori pembelajaran sosial. Social learning theory
ini merupakan salah satu teori yang berusaha menjelaskan sosialisasi dan pengaruhnya
terhadap perkembangan kepribadian. Teori pembelajaran sosial juga sering disebut belajar
melalui observasi (observational learning) yang dikenal sebagai imitasi atau modelling,
yaitu proses pembelajaran yang terjadi ketika seseorang mengobservasi dan meniru
tingkah laku orang lain. Prinsip dasar belajar menurut teori ini bahwa yang dipelajari
individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan
penyajian contoh perilaku (modelling). Teori ini juga masih memandang pentingnya
conditioning.
Teori ini dianggap lebih lengkap dibandingkan teori belajar sebelumnya, karena
menekankan bahwa lingkungan dan perilaku seseorang dihubungkan melalui sistem
kognitif orang tersebut. Namun disisi lain, bentuk peniruan modeling dapat berpotensi
pada seseorang untuk meniru segala perilaku orang lain termasuk hal yang tidak
sepatutnya ditiru. Sehingga hal ini dapat menimbulkan konflik pada masyarakat. Oleh
karena itu, teori ini akan lebih baik jika diterapkan dengan beberapa tahapan hingga
sampai pada tahap peniruan.

3.2 Saran
Hasil ringkasan ini semoga dapat berguna bagi para pembaca. Meskipun ringkasan
ini jauh dari kata sempurna, penulis berharap ringkasan ini dapat menjadi referensi dan
acuan pembelajaran sehingga menambah wawasan dan pengetahuan pembaca mengenai
Social Learning Theory.

13
DAFTAR PUSTAKA

Ainiyah Qurrotul. (2017). Social Learning Theory dan Perilaku Agresif Anak dalam
Keluarga. Al-Ahkam Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol. 2, Nomor 1,
Januari-Juni 2017.
Yanuardianto Elga. (2019). TEORI KOGNITIF SOSIAL ALBERT BANDURA (Studi Kritis
dalam Menjawab Problem Pembelajaran di MI). Jurnal Auladuna, Vol. 01. No. 02.
Oktober 2019.

14

You might also like