You are on page 1of 39

PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK DALAM AL-QUR’AN

TUGAS MATA KULIAH


Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok pada Mata Kuliah Tafsir Tarbawi

DOSEN PENGAMPU:
Riyan Nuryadin, S.HI.,M.Pd.I.

Oleh:

KHOTIMAH HAZANAH FAUZIYAH [NIM: 201902040]

SARAH NADA FARHAH [NIM: 201902066]

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PERSIS GARUT

1442 H/2020 M
‫‪1. Q.S AL-KAHFI‬‬

‫ض َي ُح ُقبًا (‪َ )60‬فلَ َّما َبلَغَا جَمْ َم َع َبْينِ ِه َما‬ ‫وِإ ْذ قَ َال موسى لَِفتَاه اَل َأبرح حىَّت َأبلُ َغ جَمْمع الْبحري ِن َأو َأم ِ‬
‫ُ َْ ُ َ ْ َ َ َ ْ َ ْ ْ ْ‬ ‫ُ َ‬ ‫َ‬
‫نَ ِسيَا ُحوَت ُه َما فَاخَّتَ َذ َسبِيلَهُ يِف الْبَ ْح ِر َسَربًا (‪َ )61‬فلَ َّما َج َاو َزا قَ َال لَِفتَاهُ آتِنَا َغ َداءَنَا لََق ْد لَِقينَا ِم ْن َس َف ِرنَا‬
‫وت َو َما َأنْ َسانِيهُ ِإال الشَّْيطَا ُن َأ ْن‬
‫يت احْلُ َ‬
‫ِ‬
‫الص ْخَر ِة فَِإيِّن نَس ُ‬‫ت ِإ ْذ ََأو ْينَا ِإىَل َّ‬ ‫صبًا (‪ )62‬قَ َال ََأرَأيْ َ‬ ‫َه َذا نَ َ‬
‫مِه‬ ‫َأذْ ُكره واخَّت َذ سبِيلَه يِف الْبح ِر عجبا (‪ )63‬قَ َ ِ‬
‫صا (‪)64‬‬ ‫صً‬ ‫ك َما ُكنَّا نَْب ِغ فَ ْارتَدَّا َعلَى آثَا ِر َا قَ َ‬ ‫ال َذل َ‬ ‫َ ُ َ َ َ ُ َ ْ َ ًَ‬
‫َف َو َج َدا َعْب ًدا ِم ْن ِعبَ ِادنَا آَتْينَاهُ َرمْح َةً ِم ْن ِعْن ِدنَا َو َعلَّ ْمنَاهُ ِم ْن لَ ُدنَّا ِع ْل ًما (‪65‬‬

‫ك لَن تَستَ ِط ِ‬ ‫ت ر ْش ًدا (‪ )66‬قَ َ ِإ‬ ‫مِم‬


‫صْبًرا (‬ ‫يع َمع َي َ‬ ‫ال نَّ َ ْ ْ َ‬ ‫ك َعلَى َأ ْن تُ َعلِّ َم ِن َّا عُلِّ ْم َ ُ‬ ‫وسى َه ْل َأتَّبِعُ َ‬ ‫قَ َال لَهُ ُم َ‬
‫َأع ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ ِ‬
‫ك‬‫صي لَ َ‬ ‫صابًِرا َوال ْ‬ ‫صرِب ُ َعلَى َما مَلْ حُت ْط بِه ُخْبًرا (‪ )68‬قَ َال َستَج ُديِن ِإ ْن َشاءَ اللَّهُ َ‬ ‫ف تَ ْ‬‫‪َ )67‬و َكْي َ‬
‫ك ِمْنهُ ِذ ْكًرا (‪ )70‬فَانْطَلَ َقا َحىَّت ِإ َذا‬ ‫َأمرا (‪ )69‬قَ َال فَِإ ِن اتَّبعتيِن فَال تَسَألْيِن عن شي ٍء حىَّت ِ‬
‫ث لَ َ‬ ‫ُأحد َ‬ ‫ْ َْ َ ْ َ ْ‬ ‫َ َْ‬ ‫ًْ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫الس ِفينَ ِة َخَر َق َها قَ َ‬
‫َركِبَا يِف َّ‬
‫ال َأمَلْ َأقُ ْل ِإن َ‬
‫َّك لَ ْن‬ ‫ت َشْيًئا ِإ ْمًرا (‪ )71‬قَ َ‬ ‫َأخَر ْقَت َها لُت ْغ ِر َق َْأهلَ َها لََق ْد جْئ َ‬
‫ال َ‬
‫يت َوال ُت ْر ِه ْقيِن ِم ْن َْأم ِري عُ ْسًرا (‪ )73‬قَ َال َأمَلْ َأقُ ْل‬ ‫ِ مِب ِ‬
‫ال اَل ُتَؤ اخ ْذيِن َا نَس ُ‬ ‫صْبًرا (‪ )72‬قَ َ‬ ‫تَستَ ِط ِ‬
‫يع َمع َي َ‬ ‫ْ َ‬
‫ت ِم ْن‬ ‫ك عن َشي ٍء بع َدها فَال تُ ِ‬ ‫َّك لَن تَستَ ِط ِ‬
‫صاحْبيِن قَ ْد َبلَ ْغ َ‬ ‫َ‬ ‫ال ِإ ْن َسَألْتُ َ َ ْ ْ َ ْ َ‬ ‫صْبًرا (‪ )75‬قَ َ‬ ‫يع َمع َي َ‬ ‫ك نَ ْ ْ َ‬
‫لَ َ ِإ‬
‫ضِّي ُفومُهَا َف َو َج َدا فِ َيها ِج َد ًارا‬ ‫ٍ‬
‫لَ ُديِّن عُ ْذ ًرا (‪ )76‬فَانْطَلَ َقا َحىَّت ِإ َذا َأَتيَا َْأه َل َق ْريَة ْ‬
‫استَطْ َع َما َْأهلَ َها فَ ََأب ْوا َأ ْن يُ َ‬
‫ك‬‫ك َسُأَنبُِّئ َ‬ ‫ال َه َذا فَِر ُ‬
‫اق َبْييِن َو َبْينِ َ‬ ‫َأجًرا (‪ )77‬قَ َ‬ ‫ِ‬
‫ت َعلَْيه ْ‬ ‫ت الخَّتَ ْذ َ‬
‫ض فََأقَامه قَ َ ِ‬
‫ال لَ ْو شْئ َ‬ ‫يد َأ ْن َيْن َق َّ َ ُ‬ ‫يُِر ُ‬
‫الس ِفينَةُ فَ َكانَ ِ ِ‬ ‫ِ ِ‬
‫ت َأ ْن‬ ‫ني َي ْع َملُو َن يِف الْبَ ْح ِر فَ ََأر ْد ُ‬
‫ت ل َم َساك َ‬ ‫ْ‬ ‫صْبًرا (‪ََّ )78‬أما َّ‬ ‫بِتَْأ ِو ِيل َما مَلْ تَ ْستَط ْع َعلَْيه َ‬
‫الم فَ َكا َن ََأب َواهُ ُمْؤ ِمَننْي ِ فَ َخ ِشينَا َأ ْن‬ ‫ِ ٍ‬ ‫َأع َيب َها َو َكا َن َو َراءَ ُه ْم َملِ ٌ‬
‫ِ‬
‫صبًا (‪َ )79‬و ََّأما الْغُ ُ‬ ‫ك يَْأ ُخ ُذ ُك َّل َسفينَة َغ ْ‬
‫ب ُرمْح ًا (‪َ )81‬و ََّأما اجْلِ َد ُار‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫يُْره َق ُه َما طُ ْغيَانًا َو ُك ْفًرا (‪ )80‬فَ ََأر ْدنَا َأ ْن يُْبدهَلَُما َربُّ ُه َما َخْيًرا مْنهُ َز َكاةً َوَأْقَر َ‬
‫َأش َّدمُهَا‬ ‫فَ َكا َن لِغُالم ِ يتِيم ِ يِف الْم ِدين ِة و َكا َن حَت ته َكنز هَل ما و َكا َن َأبومُه ا حِل‬
‫ك َأ ْن َيْبلُغَا ُ‬ ‫صا ًا فَ ََأر َاد َربُّ َ‬ ‫ُ َ َ‬ ‫َُ َ‬ ‫َْ ُ‬ ‫َ َ َ‬ ‫َ نْي َ َ نْي‬
‫ِ ِ‬ ‫ك َو َما َف َع ْلتُهُ َع ْن َْأم ِري َذلِ َ ِ‬ ‫َويَ ْستَ ْخ ِر َجا َكنزمُهَا َرمْح َةً ِم ْن َربِّ َ‬
‫صْبًرا (‪)82‬‬ ‫يل َما مَلْ تَ ْسط ْع َعلَْيه َ‬ ‫ك تَْأو ُ‬
‫)‪Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya, "Aku ti¬dak akan berhenti (berjalan‬‬
‫"‪sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan, atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.‬‬
‫‪Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu‬‬
ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh,
berkatalah Musa kepada muridnya, "Bawalah kemari makanan kita, sesungguhnya kita telah
merasa letih karena perjalanan kita ini." Muridnya menjawab, "Tahukah tatkala kita mencari
tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan
tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengam¬bil
jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali." Musa ber¬kata, "Itulah (tempat) yang kita cari.”
Lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula. Lalu mereka bertemu dengan seorang
hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami,
dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. Musa berkata kepada Khidir,
"Bolehkah aku mengikutimu su¬paya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara
ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” Dia menjawab, "Sesungguhnya kamu sekali-kali
tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu
belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” Musa berkata, "Insya Allah kamu
akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menen¬tangmu dalam
sesuatu urusan pun.” Dia berkata, "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan
kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.

Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu, lalu Khidir melubanginya.
Musa berkata, "Mengapa kamu melubangi perahu itu yang akibatnya kamu menengge¬lamkan
penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat se¬suatu kesalahan yang besar.” Dia (Khidir)
berkata, "Bukankah aku telah berkata, 'Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama
dengan aku'.” Musa berkata, "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan
janganlah kamu mem¬bebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanu.”

Khidir berkata, "Bukankah sudah kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan
dapat sabar bersamaku.” Musa berkata, "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah
(kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah
cukup memberikan uzur padaku.” Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai
kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi
penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri
itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidir menegakkan dinding itu. Musa berkata,
"Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.” Khidir berkata, "Inilah perpisahan
antara aku dengan kamu; aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang
kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin
yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada
seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.

Dan adapun anak itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir
bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami
menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik
kesuciannya daripada anaknya itu dan lebih kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).
Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya
ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedangkan ayahnya adalah seorang yang saleh.
Maka Tuhannya menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan
simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu, dan bukanlah aku melakukannya itu menurut
kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat
sabar terhadapnya.

‫) َفلَ َّما َبلَغَا جَمْ َم َع َبْينِ ِه َما‬60( ‫ض َي ُح ُقبًا‬ ِ ‫وِإ ْذ قَ َال موسى لَِفتَاه اَل َأبرح حىَّت َأبلُ َغ جَمْمع الْبحري ِن َأو َأم‬
ْ ْ ْ َ ْ َ َ َ ْ َ ُ َْ ُ َ ُ َ
‫) َفلَ َّما َج َاو َزا قَ َال لَِفتَاهُ آتِنَا َغ َداءَنَا لََق ْد لَِقينَا ِم ْن َس َف ِرنَا‬61( ‫نَ ِسيَا ُحوَت ُه َما فَاخَّتَ َذ َسبِيلَهُ يِف الْبَ ْح ِر َسَربًا‬
‫وت َو َما َأنْ َسانِيهُ ِإال الشَّْيطَا ُن َأ ْن‬
َ ُ‫يت احْل‬
ِ
ُ ‫الص ْخَر ِة فَِإيِّن نَس‬َّ ‫ت ِإ ْذ ََأو ْينَا ِإىَل‬ َ ْ‫) قَ َال ََأرَأي‬62( ‫صبًا‬ َ َ‫َه َذا ن‬
‫مِه‬ ِ َ َ‫) ق‬63( ‫َأ ْذ ُكره واخَّت َذ سبِيلَه يِف الْبح ِر عجبا‬
)64( ‫صا‬ ً‫ص‬ َ َ‫ك َما ُكنَّا َنْب ِغ فَ ْارتَدَّا َعلَى آثَا ِر َا ق‬ َ ‫ال َذل‬ ًَ َ ْ َ ُ َ َ َ ُ َ
65( ‫َف َو َج َدا َعْب ًدا ِم ْن ِعبَ ِادنَا آَتْينَاهُ َرمْح َةً ِم ْن ِعْن ِدنَا َو َعلَّ ْمنَاهُ ِم ْن لَ ُدنَّا ِع ْل ًما‬
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya, "Aku ti¬dak akan berhenti (berjalan)
sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan, atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun."
Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu
ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh,
berkatalah Musa kepada muridnya, "Bawalah kemari makanan kita, sesungguhnya kita telah
merasa letih karena perjalanan kita ini." Muridnya menjawab, "Tahukah tatkala kita mencari
tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan
tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengam¬bil
jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali." Musa ber¬kata, "Itulah (tempat) yang kita cari.”
Lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula. Lalu mereka bertemu dengan seorang
hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami,
dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.

Murid Nabi Musa ini adalah Yusya' ibnu Nun. Latar belakang kisah ini bermula ketika
diceritakan kepada Musa bahwa ada seorang hamba Allah yang tinggal di tempat bertemunya
dua laut, dia memiliki ilmu yang tidak dimiliki oleh Musa. Maka Musa berkeinginan untuk
berangkat mene¬muinya. Untuk itulah Musa berkata kepada muridnya:

‫اَل َْأبَر ُح‬


Aku tidak akan berhenti. (Al-Kahfi: 60)

Maksudnya, aku akan terus berjalan.


‫َحىَّت َْأبلُ َغ جَمْ َم َع الْبَ ْحَريْ ِن‬
sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan. (Al-Kahfi: 60)

Yakni di tempat tersebut yang padanya bertemu dua laut.

Qatadah dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa kedua laut tersebut
adalah Laut Persia yang berada di sebelah timurnya, dan Laut Romawi yang berada di sebelah
baratnya.

Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi mengatakan, yang dimaksud dengan tempat bertemunya dua
laut¬an ini ialah yang berada di Tanjah, terletak di bagian paling ujung dari ne¬geri Magrib
(Maroko). Hanya Allah yang lebih mengetahui tempat yang sebenarnya.

Firman Allah Swt:

ِ ‫َأو َأم‬
‫ض َي ُح ُقبًا‬ ْ ْ
atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun. (Al-Kahfi: 60)

Yakni sekalipun saya harus berjalan bertahun-tahun.

Ibnu Jarir mengatakan, sebagian dari kalangan ulama bahasa Arab mengatakan bahwa al-huqub
menurut dialek Bani Qais artinya satu tahun.

Dan Ibnu Jarir telah meriwayatkan pula dari Abdullah ibnu Amr yang mengatakan bahwa al-
huqub artinya delapan puluh tahun.

Mujahid mengatakan bahwa al-huqub artinya tujuh puluh musim gugur (tahun).

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: atau
aku akan berjalan sampai bertahun-tahun. (Al-Kahfl: 60) Bahwa yang dimaksud dengan al-
huqub ialah satu tahun.

Hal yang sa¬ma telah dikatakan oleh Qatadah dan Ibnu Zaid.

*******************

Firman Allah Swt.:

‫َفلَ َّما َبلَغَا جَمْ َم َع َبْينِ ِه َما نَ ِسيَا ُحوَت ُه َما‬


Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya. (Al-
Kahfi: 61)
Demikian itu karena si murid tersebut di perintahkan oleh Musa untuk membawa ikan asin; dan
dikatakan kepadanya bahwa manakala kamu kehilangan ikan itu, maka dia ada di tempat
tersebut.

Keduanya berangkat hingga sampailah di tempat bertemunya dua laut, di tempat itu terdapat
sebuah mata air yang disebut 'Ainul Hayat' (mata air kehidupan). Di tempat itu keduanya (Musa
dan muridnya) ter¬tidur lelap dalam istirahatnya. Ikan yang mereka bawa terkena oleh percikan
mata air itu, maka ikan bergerak hidup kembali dalam kantong Yusya' ibnu Nun (murid Nabi
Musa a.s.). Lalu ikan melompat dari kantong itu dan menceburkan dirinya ke dalam laut. Yusya'
terbangun, sedangkan ikan itu telah terjatuh ke dalam laut (tanpa sepengetahuannya); dan ikan
menempuh jalannya di dalam laut, sedangkan air yang dilaluinya tidak bersatu lagi melainkan
membentuk terowongan. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:

‫فَاخَّتَ َذ َسبِيلَهُ يِف الْبَ ْح ِر َسَربًا‬


lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut (membentuk lubang). (Al-Kahfi: 61)

Yakni membentuk jalan yang dilaluinya seperti terowongan dalam tanah.

Ibnu Juraij mengatakan dari Ibnu Abbas, bahwa jalan yang telah di¬lalui oleh ikan itu seakan-
akan membatu (keras dan tidak menutup seba¬gaimana lazimnya benda cair).

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa tidak sekali-kali tubuh ikan itu menyentuh
laut melainkan airnya menjadi kering hingga seperti batu bentuknya (bukan benda cair lagi).

ٍ َ‫ َع ِن ابْ ِن َعب‬،‫ َع ْن عُبيد اللَّ ِه بْ ِن َعْب ِد اللَّ ِه‬،‫ي‬


‫ َع ْن ُأيَبِّ بْ ِن‬،‫اس‬ ِّ ‫الز ْه ِر‬
ُّ ‫ع ِن‬-
َ ‫اق‬َ ‫[هو] بْ ُن ِإ ْس َح‬- ‫قال حممد‬
‫اب َماءٌ ُمْن ُذ َكا َن‬ ِ ‫ول اللَّ ِه صلَّى اللَّه علَي ِه وسلَّم ِحني ذَ َكر ح ِد‬ ٍ ‫َك ْع‬
َ َ‫"ما اجْن‬
َ :‫ك‬ َ ‫يث َذل‬ َ َ َ َ َ َ َ َْ ُ َ ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ ق‬:‫ال‬ َ َ‫ب ق‬
ِ ‫ِإ‬ ِِ ِ ِ
،"ُ‫وسى َفَرَأى َم ْسلَ َكه‬ َ ‫اب كال ُك ّوة َحىَّت َر َج َع لَْيه ُم‬ َ َ‫ فَاجْن‬،‫ت َم َكا َن احْلُوت الَّذي فيه‬ َ َ‫َّاس َغْي ُرهُ ثَب‬
ُ ‫الن‬
‫ك َما ُكنَّا َنْب ِغ‬ ِ َ ‫َف َق‬
َ ‫ذَل‬:‫ال‬
Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Az-Zuhri, dari Ubai-dillah ibnu Abdullah, dari
Ibnu Abbas, dari Ubay ibnu Ka'b yang mengata¬kan bahwa Rasulullah Saw. ketika
menceritakan kisah ini bersabda, "Air laut (yang telah dilalui ikan) itu sejak manusia ada tidak
terbuka selain dari bekas yang dilalui oleh ikan itu. Air laut itu terbuka seperti celah, hingga
Musa kembali ke tempat itu dan melihat bekas jalan yang dilalui oleh ikan tersebut." Karena
itulah disebutkan oleh firman-Nya: Itulah (tempat) yang cari. (Al-Kahfi: 64)
Qatadah mengatakan bahwa ikan itu melompat ke laut, lalu mengambil jalannya ke dalam laut.
Maka tiadalah bekas air laut yang dilaluinya me¬lainkan menjadi beku dan membentuk
terowongan.

*******************

Firman Allah Swt.:

‫َفلَ َّما َج َاو َزا‬


Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh. (Al-Kahfi: 62)

Yaitu setelah keduanya melanjutkan perjalanannya cukup Jauh dari tempat mereka lalai akan
ikannya. Dalam ayat ini disebutkan bahwa kelalaian ini dinisbatkan kepada keduanya, sekalipun
pelakunya hanyalah Yusya' ibnu Nun (muridnya). Pengertiannya sama dengan apa yang terdapat
di dalam firman Allah Swt.:

‫خَي ُْر ُج ِمْن ُه َما اللُّْؤ لُُؤ َوالْ َم ْر َجا ُن‬


Dari keduanya keluar mutiara dan marjan. (Ar-Rahman: 22)

yang menurut salah satu di antara dua pendapat mengenai takwilnya mengatakan,
"Sesungguhnya mutiara dan marjan itu hanyalah keluar dari salah satu di antara dua lautan, yaitu
yang airnya asin."

Setelah berjalan cukup jauh dari tempat mereka lalai akan ikannya:

ِ ِ ِ ِ
َ َ‫قَ َال ل َفتَاهُ آتنَا َغ َداءَنَا لََق ْد لَقينَا م ْن َس َف ِرنَا َه َذا ن‬
‫صبًا‬
Musa berkata kepada muridnya.”Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa
letih karena perjalanan kita ini.” (Al-Kahfi: 62)

Nasaban, artinya letih. Musa mengatakan demikian setelah berjalan cu¬kup jauh dari tempat
keduanya melalaikan ikan perbekalannya.

ِ ِ
ُ‫وت َو َما َأنْ َسانيهُ ِإال الشَّْيطَا ُن َأ ْن َأذْ ُكَره‬ ُ ‫الص ْخَر ِة فَِإيِّن نَس‬
َ ُ‫يت احْل‬ َّ ‫ت ِإ ْذ ََأو ْينَا ِإىَل‬
َ ْ‫ََأرَأي‬
Muridnya menjawab, "Tahukah kamu tatkala kita mencari tem¬pat berlindung di batu tadi, maka
sesungguhnya aku lupa (men¬ceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku
untuk menceritakannya kecuali setan.” (Al-Kahfi: 63)

Qatadah mengatakan bahwa bacaan an-azkurahu adalah menurut qiraat Ibnu Mas'ud.
‫‪Dalam firman selanjutnya disebutkan:‬‬

‫ِ‬
‫َواخَّتَ َذ َسبِيلَهُ يِف الْبَ ْح ِر َع َجبًا قَ َال َذل َ‬
‫ك َما ُكنَّا َنْب ِغ‬
‫‪dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali. Musa berkata, "Itulah‬‬
‫)‪(tempat) yang kita cari.” (Al-Kahfi: 63-64‬‬

‫"‪Setelah mendengar cerita dari muridnya itu, Musa berkata, "Itulah tempat yang kita cari-cari.‬‬

‫فَ ْارتَدَّا َعلَى آثَا ِرمِه َا‬


‫)‪Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka sendiri. (Al-Kahfi: 64‬‬

‫‪Yakni keduanya kembali menelusuri jejak semula menuju tempat tersebut.‬‬

‫َف َو َج َدا َعْب ًدا ِم ْن ِعبَ ِادنَا آَتْينَاهُ َرمْح َةً ِم ْن ِعْن ِدنَا َو َعلَّ ْمنَاهُ ِم ْن لَ ُدنَّا ِع ْل ًما‬
‫‪Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami‬‬
‫‪berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi‬‬
‫)‪Kami. (Al-Kahfi: 65‬‬

‫‪Dia adalah Khidir a.s. menurut apa yang ditunjukkan oleh hadis-hadis sahih dari Rasulullah Saw.‬‬

‫يد بْ ِن ُجَبرْيٍ قَ َ‬ ‫ي‪ ،‬ح َّدثَنا س ْفيا ُن‪ ،‬ح َّدثَنا عمرو بن ِدينا ٍر‪َ ،‬أخبريِن سعِ ِ‬ ‫ِ‬ ‫قَ َال الْبُ َخا ِر ُّ‬
‫ال‪:‬‬ ‫ي‪َ :‬ح َّدثَنَا احْلُ َمْيد ُّ َ َ ُ َ َ َ َ ْ ُ ْ ُ َ ْ َ َ َ‬
‫ض ِر لَيس هو موسى ِ‬ ‫ِ‬ ‫َأن موسى ِ‬ ‫ت اِل بْ ِن َعبَّ ٍ‬
‫ب بَيِن‬‫صاح َ‬ ‫ب اخْلَ ْ َ ُ َ ُ َ َ‬ ‫صاح َ‬ ‫اس‪ِ :‬إ َّن نَ ْوفًا البِ َكايِل ّ َي ْزعُ ُم َّ ُ َ َ‬ ‫ُق ْل ُ‬
‫ول اللَّ ِه‬ ‫ب‪َ ،‬ر ِض َي اللَّهُ َعْنهُ‪َ ،‬أنَّهُ مَسِ َع َر ُس َ‬ ‫ب َع ُد ّو اللَّ ِه‪َ ،‬ح َّد َثنَا ُأيَبُّ بْن َك ْع ٍ‬ ‫ال ابن عبَّ ٍ ِ‬ ‫ِإ ِئ‬
‫ُ‬ ‫اس‪َ :‬كذ َ‬ ‫يل‪ .‬قَ َ ْ ُ َ‬ ‫ْسَرا َ‬
‫َأي الن ِ‬ ‫ِإ ِئ‬ ‫ِ يِف‬ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه وسلَّم ي ُق ُ ِإ‬
‫ال‪َ :‬أنَا‪.‬‬ ‫َأعلَ ُم؟ قَ َ‬‫َّاس ْ‬ ‫يل فَ ُسئل‪ُّ :‬‬ ‫وسى قَ َام َخطيبًا بَيِن ْسَرا َ‬ ‫ول‪َّ " :‬ن ُم َ‬ ‫ََ ََ‬ ‫َ‬
‫ال‬
‫ك‪َ .‬ف َق َ‬ ‫َأعلَ ُم ِمْن َ‬‫ب اللَّهُ َعلَْي ِه ِإ ْذ مَلْ َيُر ّد الْعِْل َم ِإلَْي ِه‪ ،‬فَ َْأو َحى اللَّهُ ِإلَْي ِه‪ِ :‬إ َّن يِل َعْب ًدا مِب َ ْج َم ِع الْبَ ْحَريْ ِن ُه َو ْ‬ ‫َف َعتَ َ‬
‫مِبِ‬ ‫ف يِل بِِه؟ قَ َ‬
‫وت َف ُه َو مَثَّ‪.‬‬ ‫ت احْلُ َ‬ ‫ك ُحوتًا‪ ،‬جَتْ َعلُهُ كْتَ ٍل‪ ،‬فَ َحْيثُ َما َف َق ْد َ‬ ‫ال‪ :‬تَْأ ُخ ُذ َم َع َ‬ ‫ب‪َ ،‬و َكْي َ‬ ‫وسى‪ :‬يَا َر ِّ‬ ‫ُم َ‬
‫الساَل ُم‪َ ،‬حىَّت ِإ َذا أتيا‬‫ون َعلَْي ِه َما َّ‬ ‫فََأخ َذ حوتًا‪ ،‬فَجعلَه مِبِكْتَ ٍل مُثَّ انْطَلَق وانْطَلَق معه بَِفتَاه يوشع ب ِن نُ ٍ‬
‫َ َ َ ََُ ُ ُ ْ‬ ‫ََ ُ‬ ‫َ ُ‬
‫وت يِف الْ ِمكْتَ ِل‪ ،‬فَ َخَر َج ِمْنهُ‪ ،‬فَ َس َق َط يِف الْبَ ْح ِر َواخَّتَ َذ‬ ‫ب احْلُ ُ‬ ‫اضطََر َ‬ ‫الصخرة وضعا رؤوسهما َفنَ َاما‪َ ،‬و ْ‬
‫اسَتْي َق َظ نَ ِس َي‬ ‫ِ‬ ‫ِِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ ِ‬
‫ص َار َعلَْيه مثْ َل الطَّاق‪َ .‬فلَ َّما ْ‬ ‫ك اللَّهُ َع ِن احْلُوت جريةَ الْ َماء‪ ،‬فَ َ‬ ‫َسبِيلَهُ يِف الْبَ ْح ِر َسَربًا‪َ ،‬و َْأم َس َ‬
‫وسى لَِفتَاهُ‪:‬‬ ‫ال ُم َ‬ ‫وت‪ ،‬فَانْطَلَ َقا بَِقيَّةَ َي ْو ِم ِه َما َولَْيلَتِ ِه َما‪َ ،‬حىَّت ِإ َذا َكا َن ِم َن الْغَ ِد قَ َ‬ ‫احبه َأ ْن خُيْرِب ه بِاحْل ِ‬
‫َُ ُ‬ ‫ص ُُ‬
‫ِ‬
‫َ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ ِ‬ ‫ِ‬
‫جاو َزا الْ َم َكا َن الَّذي ََأمَرهُ‬ ‫َّصب َحىَّت َ‬ ‫وسى الن َ‬ ‫صبًا} َومَلْ جَي ْد ُم َ‬ ‫{آتنَا َغ َداءَنَا لََق ْد لَقينَا م ْن َس َف ِرنَا َه َذا نَ َ‬
‫وت َو َما َأنْ َسانِيهُ ِإال الشَّْيطَا ُن َأ ْن‬ ‫يت احْلُ َ‬
‫ِ‬
‫الص ْخَر ِة فَِإيِّن نَس ُ‬ ‫ت ِإ ْذ ََأو ْينَا ِإىَل َّ‬ ‫{َأرَأيْ َ‬
‫ال لَهُ َفتَاهُ َ‬ ‫اللَّهُ بِِه‪ .‬قَ َ‬
‫ك‬ ‫وت سربا ولِموسى و َفتاه عجبا‪َ ،‬ف َق َ ِ‬ ‫َأذْ ُكره واخَّتَ َذ سبِيلَه يِف الْبح ِر عجبا} قَ َال‪" :‬فَ َكا َن لِْلح ِ‬
‫ال‪َ { :‬ذل َ‬ ‫ََ ً َ ُ َ َ َ ُ َ ًَ‬ ‫ُ‬ ‫َ ُ َ ْ َ ًَ‬ ‫َُ َ‬
‫الص ْخَر ِة‪ ،‬فَِإ َذا‬ ‫ان َأثََرمُهَا َحىَّت ا ْنَت َهيَا ِإىَل َّ‬ ‫صِ‬ ‫مِه‬
‫ال‪َ " :‬فَر َج َعا َي ُق َّ‬ ‫صا} ‪ .‬قَ َ‬ ‫صً‬‫َما ُكنَّا َنْب ِغ فَ ْارتَدَّا َعلَى آثَا ِر َا قَ َ‬
‫ضر‪َ :‬وأىّن بِ َْأر ِض َ‬ ‫ال اخلَ ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ ٍ‬
‫ال‪:‬‬ ‫وسى‪ .‬قَ َ‬ ‫ال‪َ :‬أنَا ُم َ‬ ‫الساَل ُم!‪ .‬قَ َ‬‫ك َّ‬ ‫وسى‪َ ،‬ف َق َ‬ ‫سجى بَث ْوب‪ ،‬فَ َسلَّ َم َعلَْيه ُم َ‬ ‫َر ُج ٌل ُم ّ‬
‫َّك لَن تَستَ ِط ِ‬ ‫ك لُِت َعلِّميِن مِم َّا عُلِّمت ر ْش ًدا‪{ .‬قَ َ ِإ‬ ‫ِإ ِئ‬
‫صْبًرا} ‪،‬‬ ‫يع َمع َي َ‬ ‫ال ن َ ْ ْ َ‬ ‫ُ‬ ‫يل؟ قَ َال‪َ :‬ن َع ْم‪َ ،‬أَتْيتُ َ َ‬ ‫وسى بَيِن ْسَرا َ‬ ‫ُم َ‬
‫ِ ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ ِ ِِ‬ ‫ِ‬
‫ت َعلَى ع ْل ٍم َم ْن ع ْل ِم اللَّه َعلَّ َم َكه اللَّهُ‬ ‫ت‪َ ،‬وَأنْ َ‬ ‫وسى ِإيِّن َعلَى ع ْل ٍم َم ْن ع ْل ِم اللَّه َعلَّ َمنيه‪ ،‬اَل َت ْعلَ ُمهُ َأنْ َ‬ ‫يَا ُم َ‬
‫ض ُر‪{ :‬فَِإ ِن‬ ‫ال لَه اخْلَ ِ‬ ‫َأع ِ‬ ‫ِ‬
‫ك َْأمًرا} قَ َ ُ‬ ‫صي لَ َ‬ ‫صابًِرا َوال ْ‬ ‫{ستَج ُديِن ِإ ْن َشاءَ اللَّهُ َ‬ ‫وسى‪َ :‬‬ ‫ال ُم َ‬ ‫َأعلَ ُمهُ‪َ .‬ف َق َ‬
‫ال ْ‬
‫ِ‬ ‫ك ِمْنه ِذ ْكرا} ‪ .‬فَانْطَلَ َقا مَيْ ِشي ِ‬ ‫اتَّبعتيِن فَال تَسَألْيِن عن شي ٍء حىَّت ِ‬
‫ت‬‫ان َعلَى َساح ِل الْبَ ْح ِر‪ ،‬فَ َمَّر ْ‬ ‫َ‬ ‫ث لَ َ ُ ً‬ ‫ُأحد َ‬ ‫ْ َْ َ ْ َ ْ‬ ‫َ َْ‬
‫الس ِفينَ ِة مَلْ َي ْف َجْأ ِإاَّل‬ ‫وه ْم بِغَرْيِ َن ْو ٍل‪َ ،‬فلَ َّما َركِبَا يِف َّ‬ ‫ِ‬
‫وه ْم َأ ْن حَيْملُوهُ ‪َ ،‬ف َعَرفُوا اخْلَضَر‪ ،‬فَ َح َملُ ُ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫َسفينَةٌ فَ َكلَّ ُم ُ‬
‫الس ِفين ِة بِالْ َقد ِ‬ ‫ض ُر قَ ْد َقلَ َع لَ ْو ًحا ِم ْن َألْ َو ِ‬
‫واخْلَ ِ‬
‫ت ِإىَل‬ ‫وسى‪ :‬قَ ْد مَحَلُونَا بِغَرْيِ َن ْو ٍل‪َ ،‬ف َع َم ْد َ‬ ‫ال لَهُ ُم َ‬ ‫وم‪َ ،‬ف َق َ‬ ‫اح َّ َ ُ‬ ‫َ‬
‫َّك لَن تَستَ ِط ِ‬ ‫ِإ‬ ‫ت َشْيًئا ِإ ْمًرا‪{ .‬قَ َ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ ِ‬
‫ال‬
‫صْبًرا * قَ َ‬ ‫يع َمع َي َ‬ ‫ال َأمَلْ َأقُ ْل ن َ ْ ْ َ‬ ‫َسفينَت ِه ْم فَ َخَر ْقَت َها لُت ْغ ِر َق َْأهلَ َها؟ لََق ْد جْئ َ‬
‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‪:‬‬ ‫ال رس ُ ِ‬ ‫ِ ِ‬ ‫ِ مِب ِ‬
‫ول اللَّه َ‬ ‫يت َوال ُت ْره ْقيِن م ْن َْأم ِري عُ ْسًرا} قَ َال‪َ :‬وقَ َ َ ُ‬ ‫اَل ُتَؤ اخ ْذيِن َا نَس ُ‬
‫الس ِفينَ ِة َفَن َقَر يِف الْبَ ْح ِر َن ْقرة‪،‬‬ ‫ف َّ‬ ‫ال‪ :‬وجاء عص ُفور َفَنز َل علَى حر ِ‬
‫وسى ن ْسيَانًا"‪ .‬قَ َ َ َ َ ُ ْ ٌ َ َ َ ْ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫" َكانَت اُأْلوىَل م ْن ُم َ‬
‫ِ‬
‫ور ِم ْن َه َذا‬ ‫ص ُف ُ‬ ‫ص َه َذا الْعُ ْ‬
‫ضر‪ :‬ما ِع ْل ِمي و ِع ْلم َ ِ ِ ِإ ِ‬
‫ك يِف ع ْل ِم اللَّه اَّل مثْ ُل َما َن َق َ‬ ‫َ ُ‬
‫ِ‬
‫ال لَهُ اخْلَ ُ َ‬ ‫[َأو َن ْقَرَتنْي ِ ] َف َق َ‬
‫ْ‬
‫ِ‬ ‫ان علَى َّ ِ‬ ‫ِ ِ‬ ‫الْبح ِر‪ .‬مُثَّ خرجا ِمن َّ ِ ِ‬
‫ب َم َع‬ ‫صَر اخْلَض ُر غُاَل ًما َي ْل َع ُ‬ ‫الساح ِل ِإ ْذ َأبْ َ‬ ‫السفينَة‪َ ،‬فَبْينَ َما مُهَا مَيْشيَ َ‬ ‫ََ َ َ‬ ‫َْ‬
‫ت َن ْفسا َزكِيَّةً بِغَرْيِ‬
‫وسى‪َ{ :‬أَقَت ْل َ ً‬ ‫ال لَهُ ُم َ‬ ‫ض ُر َرْأ َسهُ [بِيَ ِد ِه] فَا ْقَتلَ َعهُ بِيَ ِد ِه َف َقَتلَهُ‪َ ،‬ف َق َ‬‫ان‪ ،‬فََأخ َذ اخْلَ ِ‬
‫َ‬
‫الْغِْلم ِ‬
‫َ‬
‫ال‪ِ :‬‬ ‫ِ‬
‫َأش ُّد ِم َن‬ ‫"و َهذ ِه َ‬ ‫صْبًرا} ؟! قَ َ َ‬
‫َّك لَن تَستَ ِط ِ‬
‫يع َمع َي َ‬ ‫ك نَ ْ ْ َ‬
‫ال َأمَلْ َأقُل لَ َ ِإ‬
‫ْ‬ ‫ت َشْيًئا نُكًْرا * قَ َ‬ ‫س لََق ْد جْئ َ‬ ‫َن ْف ٍ‬
‫ت ِم ْن لَ ُديِّن عُ ْذ ًرا * فَانْطَلَ َقا َحىَّت ِإذَا‬ ‫ك عن َشي ٍء بع َدها فَال تُ ِ‬
‫صاحْبيِن قَ ْد َبلَ ْغ َ‬ ‫َ‬ ‫ال ِإ ْن َسَألْتُ َ َ ْ ْ َ ْ َ‬ ‫اُأْلوىَل "‪{ ،‬قَ َ‬
‫ال‪َ :‬ماِئ ٌل‪.‬‬ ‫ض } قَ َ‬ ‫يد َأ ْن َيْن َق َّ‬‫ضِّي ُفومُهَا َف َو َج َدا فِ َيها ِج َد ًارا يُِر ُ‬ ‫استَطْ َع َما َْأهلَ َها فَ ََأب ْوا َأ ْن يُ َ‬
‫ٍ‬
‫َأَتيَا َْأه َل َق ْريَة ْ‬
‫ت‬ ِ
َ ‫ {لَ ْو شْئ‬،‫ضِّي ُفونَا‬
ِ
َ ُ‫اه ْم َفلَ ْم يُطْع ُمونَا َومَلْ ي‬ُ َ‫ َق ْو ٌم َأَتْين‬:‫وسى‬ َ ‫ال ُم‬ َ ‫ َف َق‬، }ُ‫ {فََأقَ َامه‬:‫ض ُر بِيَ ِد ِه‬
ِ َ‫ال اخْل‬َ ‫َف َق‬
‫ول‬
ُ ‫ال َر ُس‬ َ ‫صْبًرا} َف َق‬ ِ ِ
َ ‫ك بِتَْأ ِو ِيل َما مَلْ تَ ْستَط ْع َعلَْيه‬َ ‫ك َسُأَنبُِّئ‬ َ ِ‫اق َبْييِن َو َبْين‬ ُ ‫َأجًرا قَ َال َه َذا فَِر‬ ِ
ْ ‫ت َعلَْيه‬ َ ‫الخَّتَ ْذ‬
‫مِه‬ َّ ‫"و ِد ْدنَا‬
ُ ِ‫ قَ َال َسع‬."‫ص اللَّهُ َعلَْينَا ِم ْن خَرَبِ َا‬
‫يد‬ َّ ‫صَبَر َحىَّت َي ُق‬ َ ‫وسى َكا َن‬ َ ‫َأن ُم‬
ِ
َ :‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬
ِ
َ ‫اللَّه‬
:‫صبًا" َو َكا َن َي ْقَرُأ‬ ٍ ‫ك يْأخ ُذ ُك َّل س ِفينَ ٍة حِل‬ ِ ٍ َّ‫ َكا َن ابْ ُن َعب‬: ٍ‫بْ ُن ُجَبرْي‬
ْ ‫صا َة َغ‬ َ َ ُ َ ٌ ‫"و َكا َن ََأم َام ُه ْم َمل‬ َ :‫اس َي ْقَرُأ‬
ِ ‫""و ََّأما الْغُاَل ُم فَ َكا َن َكافِرا و َكا َن ََأبواهُ ُمْؤ ِمَننْي‬
َ َ ً َ
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Humaidi, telah menceritakan
kepada kami Sufyan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Dinar, telah menceritakan
kepadaku Sa'id ibnu Jubair yang mengatakan bahwa ia pernah berkata kepada Ibnu Abbas bahwa
Nauf Al-Bakkali menduga Musa (teman Khidir) bukan Musa te¬man kaum Bani Israil. Betulkah
itu? Ibnu Abbas menjawab bahwa dustalah dia si musuh Allah itu. Telah menceritakan kepada
kami Ubay ibnu Ka'b r.a., bahwa ia pernah mende¬ngar Rasulullah Saw. bersabda,
"Sesungguhnya Musa berdiri berkhotbah di hadapan kaum Bani Israil, lalu ia bertanya kepada
mereka, 'Siapakah orang yang paling alim (berilmu)?' (Tiada seorang pun dari mereka yang
menjawab), dan Musa berkata, 'Akulah orang yang paling alim'." Maka Allah menegurnya
karena ia tidak menisbatkan ilmu kepada Allah. Allah menurunkan wahyu kepadanya,
"Sesungguhnya Aku mem¬punyai seorang hamba yang tinggal di tempat bertemunya dua lautan,
dia lebih alim daripada kamu." Musa bertanya, "Wahai Tuhanku bagaimanakah caranya saya
dapat bersua dengannya?" Allah Swt. berfirman, "Bawalah besertamu ikan, lalu masukkan ikan
itu ke dalam kembu (wadah ikan). Manakala kamu merasa kehilangan ikan itu, maka dia berada
di tempat tersebut." Musa membawa ikan, lalu memasukkannya ke dalam kembu, dan ia
berangkat dengan ditemani oleh Yusya' ibnu Nun a.s. (muridnya). Ketika keduanya sampai di
sebuah batu besar, maka keduanya merebah¬kan diri, beristirahat dan tertidur. Ikan yang berada
di dalam kembu itu bergerak hidup, lalu keluar da¬ri dalam kembu dan melompat ke laut. Ikan
mengambil jalannya di laut dengan membentuk terowongan. Allah menahan aliran air terhadap
ikan itu, sehingga jalan yang dilaluinya seperti liang. Ketika Musa terbangun, muridnya lupa
memberitahukan kepadanya tentang ikan yang mereka bawa itu, bahkan keduanya terus
melanjutkan perjalanan untuk menggenapkan masa dua hari dua malamnya. Pada keesokan
harinya Musa bertanya kepada muridnya: Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita
telah merasa letih karena perjalanan kita ini. (Al-Kahfi: 62) Musa masih belum merasa letih
melainkan setelah melewati tempat yang diperintahkan oleh Allah agar dia berhenti padanya.
Muridnya berkata, seperti yang disitir oleh firman-Nya: Tahukah kamu tatkala kita mencari
tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan
tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakan¬nya kecuali setan dan ikan itu mengambil
jalannya ke laut de¬ngan cara,yang aneh sekali. (Al-Kahfi: 63) Bekas jalan yang dilalui ikan itu
membentuk liang, sehingga membuat Musa dan muridnya merasa aneh. Musa berkata: Itulah
(tempat) yang kita cari. Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. (Al-Kahfi: 64)
Keduanya kembali menelusuri jalan semula, hingga sampailah di batu besar tempat mereka
berlindung. Tiba-tiba Musa bersua dengan seorang lelaki yang berpakaian lengkap. Musa
mengucapkan salam kepadanya, dan lelaki itu (yakni Khidir) menjawab, "Di manakah ada salam
(kesejah¬teraan) di bumimu ini?" Musa berkata, "Sayalah Musa." Khidir bertanya, *'Musa Bani
Israil?" Musa menjawab, "Ya." Musa berkata lagi, "Saya datang kepadamu untuk menimba ilmu
pengetahuan dari apa yang telah di ajarkan (oleh Allah) kepadamu." Dia menjawab,
"Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.” (Al-Kahfi: 67) Hai
Musa, sesungguhnya aku mempunyai ilmu yang telah diajarkan oleh Allah kepadaku, sedangkan
kamu tidak mengetahuinya; dan kamu mem¬punyai ilmu yang telah diajarkan oleh Allah
kepadamu, sedangkan saya tidak mengetahuinya. Musa berkata: Insya Allah kamu akan
mendapati saya sebagai seorang yang sabar, dan saya tidak akan menentangmu dalam sesuatu
urusan pun. (Al-Kahfi: 69) Al-Khidir berkata kepadanya: Jika kamu mengikutiku, maka
janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri
menerang¬kannya kepadamu. (Al-Kahfi: 70) Kemudian keduanya berjalan di tepi pantai, dan
keduanya menjumpai perahu. Maka keduanya meminta kepada para pemilik perahu itu agar
mereka berdua diperbolehkan menaiki perahu itu. Para pemilik perahu telah mengenal Khidir,
maka mereka mengangkut keduanya tanpa bayar Ketika keduanya telah berada di dalam perahu,
Musa merasa terkejut karena tiba-tiba Khidir memecahkan sebuah papan perahu itu dengan
kapak. Maka Musa berkata kepadanya, "Mereka telah mengangkut kita tanpa bayar, lalu kamu
dengan sengaja merusak perahu mereka dengan melubanginya agar para penumpang perahu ini
tenggelam. Sesungguhnya engkau telah melakukan perbuatan yang diingkari." Dia (Khidir)
berkata, "Bukankah aku telah berkata, 'Sesungguh¬nya kamu sekali-kali tidak akan sabar
bersama dengan aku'.” Musa berkata, "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan
janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.” (Al-Kahfi: 72-73)
Rasulullah Saw. melanjutkan sabdanya, bahwa pada yang pertama kali ini Musa lupa. Kemudian
ada seekor burung pipit hinggap di sisi perahu itu, lalu minum air laut itu dengan paruhnya sekali
atau dua kali patukan. Maka Khidir berkata kepada Musa, "Tiadalah ilmuku dan ilmumu
diban¬dingkan dengan ilmu Allah, melainkan seperti kurangnya air laut ini oleh apa yang
diminum oleh burung pipit ini." Keduanya turun dari perahu itu. Ketika keduanya sedang
berjalan di pantai, tiba-tiba Khidir melihat seorang anak yang sedang bermain-main dengan
sejumlah anak-anak lainnya. Khidir dengan serta merta memegang kepala anak itu dan mencabut
kepalanya dengan tangannya, hingga anak itu mati. Musa berkata kepadanya: Mengapa kamu
bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia mem¬bunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah
melakukan, sesua¬tu yang mungkar." Khidir berkata, "Bukankah sudah kukata¬kan kepadamu
bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?" (Al-Kahfi: 74-75) Teguran kali
ini lebih keras dari teguran yang pertama, karena pada fir¬man selanjutnya disebutkan: Musa
berkata, "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu
memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur
kepadaku." Maka keduanya berjalan; hingga tatkala ke¬duanya sampai kepada penduduk suatu
negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau
menjamu mereka, kemudian keduanya menjumpai dalam negeri itu dinding rumah yang hampir
roboh. (Al-Kahfi: 76-77) Maksudnya, dinding rumah itu miring. Maka Khidir mengisyaratkan
de¬ngan tangannya: maka Khidir menegakkan dinding rumah itu. (Al-Kahfi: 77) Musa berkata,
"Mereka adalah suatu kaum yang kita kunjungi, tetapi mereka tidak mau memberi kami makan
dan tidak mau pula menjadikan kami sebagai tamu mereka." Musa berkata, "Jikalau kamu mau,
niscaya kamu mengambil upah untuk itu." Khidir berkata, "Inilah perpisahan antara aku dan
kamu, kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak sabar
terhadapnya." (Al-Kahfi: 77-78) Selanjutnya Rasulullah Saw. bersabda: Seandainya saja Musa
bersabar, Allah pasti akan menceritakan kisah keduanya kepada kita (dalam bentuk yang lain).
Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa Ibnu Abbas membaca ayat berikut dengan bacaan yang
artinya adalah seperti ini: "Karena di hadapan mere¬ka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap
bahtera yang baik." Lafaz wara'a diganti menjadi amama, dan ditambahkan lafaz salihatin
sebagai sifat dari safinah. Dan ayat lainnya ialah dibacanya dengan bacaan be¬rikut yang artinya:
"Adapun anak muda itu adalah orang yang kafir, se¬dangkan kedua orang tuanya kedua-duanya
adalah orang mukmin." Ba¬caan Ibnu Abbas ini merupakan tafsir dari kedua ayat tersebut, yakni
ayat 79 dan 80.

Kemudian Imam Bukhari meriwayatkan pula melalui Qutaibah, dari Sufyan ibnu Uyaynah, lalu
disebutkan hal yang semisal.

Hanya di dalam¬nya disebutkan bahwa Musa berangkat dengan ditemani oleh seorang muridnya,
yaitu Yusya' ibnu Nun; keduanya membawa ikan. Ketika keduanya sampai di sebuah batu besar,
keduanya beristirahat di tempat itu. Musa meletakkan kepalanya di batu itu dan tertidurlah ia.

Sufyan mengatakan di dalam hadis Amr, bahwa di bagian bawah batu besar itu terdapat suatu
mata air yang disebut 'mata air Kehidupan'; tiada sesuatu pun yang terkena airnya melainkan
dapat hidup kembali. Maka ikan yang mereka bawa itu terkena percikan air tersebut, sehingga
ikan bergerak hidup kembali, lalu meloncat dari wadahnya dan mencebur¬kan diri ke dalam laut.
Ketika Musa terbangun, berkatalah ia kepada muridnya: Bawalah kemari makanan kita. (Al-
Kahfi: 62)

Kemudian disebutkan pula dalam riwayat ini bahwa hinggaplah seekor burung pipit di lambung
perahu itu, lalu memasukkan paruhnya ke dalam laut, dan Khidir berkata kepada Musa,
"Tiadalah ilmuku, ilmumu, dan ilmu semua makhluk dibanding dengan ilmu Allah, melainkan
hanyalah sekadar air yang diambil oleh burung pipit ini dengan paruhnya dari laut ini."
Selanjutnya disebutkan hadis yang semisal pada kelanjutannya hingga akhir hadis.

Imam Bukhari mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah
menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Yusuf, bahwa Ibnu Juraij telah menceritakan kepada
mereka; telah menceritakan kepadaku Ya'la ibnu Muslim dan Amr ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu
Jubair; salah seorang dari keduanya menambahkan atas yang lainnya, sedangkan selain keduanya
mengatakan bahwa ia pernah mendengarnya mencerita¬kan hadis berikut dari Sa'id ibnu Jubair
yang menceritakan: Ketika kami sedang berada di rumah Ibnu Abbas, tiba-tiba Ibnu Abbas
berkata kepada kami, "Bertanyalah kalian kepadaku." Maka saya berkata, "Hai Ibnu Abbas,
semoga Allah menjadikan diriku sebagai tebusanmu, di Kuffah terdapat seorang lelaki yang
dikenal dengan sebutan Nauf. Dia menduga bahwa Musa itu bukanlah Musanya Bani Israil,
tetapi Musa yang lain. Adapun Amr, ia berkata kepadaku, 'Dustalah si musuh Allah itu (maksud-
nya Nauf tadi)'."

Lain halnya dengan Ya'la. Ia mengatakan kepadaku, Ibnu Abbas telah bercerita kepadanya
bahwa Ubay ibnu Ka'b pernah bercerita kepa¬danya bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda,
"Musa utusan Allah pada suatu hari memberikan peringatan kepada kaumnya, hingga air mata
mereka mengalir dan hati mereka menjadi lunak karenanya. Setelah itu Musa pergi, tetapi ia
disusul oleh seorang lelaki yang bertanya kepadanya, 'Hai utusan Allah, apakah di bumi ini ada
seseorang yang lebih alim daripadamu?' Musa menjawab, 'Tidak ada.' Maka Allah menegur
Musa karena dia tidak menisbatkan ilmu kepada Allah. Musa mengakui kekeliruannya ini, dan ia
berkata, 'Wahai Tuhanku, di manakah dia (lelaki yang Engkau maksudkan itu)?' Allah
menjawab, 'Di tempat bertemunya dua lautan.' Musa berkata, 'Wahai Tuhanku, jadikanlah sebuah
tanda untukku agar aku dapat mengetahui tempatnya'." Amr berkata kepadaku bahwa Allah telah
berfirman, "Di saat ikan itu pergi meninggalkanmu." Ya'la berkata kepadaku, menceritakan
firman Allah, "Ambillah se¬ekor ikan mati. Maka manakala ikan itu hidup, di situlah tempat
orang tersebut." Maka Musa mengambil seekor ikan mati, lalu ia letakkan di dalam sebuah
kembu (wadah ikan), dan Musa berkata kepada muridnya, "Saya tidak menugaskan kepadamu
kecuali kamu harus memberitahukan kepadaku di mana kamu merasa kehilangan ikan ini." Musa
berkata la¬gi, "Saya tidak menugaskan hal yang berat kepadamu." Yang demikian itulah yang
disebutkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada
muridnya. (Al-Kahfi: 60) Si murid itu adalah Yusya' ibnu Nun, tidak disebutkan di dalam
riwayat Sa'id ibnu Jubair.

Ketika mereka sedang beristirahat di bawah naungan batu besar itu di suatu tempat yang teduh
dan nyaman, tiba-tiba ikan itu bergerak-gerak, sedangkan Musa masih lelap dalam tidurnya.
Maka muridnya berkata, "Saya tidak berani membangunkannya." Hanya ketika Musa telah
bangun si murid lupa memberitahukan kejadian itu. Ikan itu bergerak-gerak hingga masuk ke
dalam laut, maka Allah memegang arus air dari ikan itu hingga bekas yang dilalui ikan seakan-
akan seperti liang. Ibnu Juraij mengatakan bahwa Amr mengatakan demi¬kian kepadanya,
bahwa seakan-akan bekas jalan yang dilalui ikan itu membentuk seperti liang. Amr mengatakan
demikian seraya memperaga-kannya dengan kedua jari telunjuknya dan kedua jari lainnya
membentuk lingkaran. Musa berkata: sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita
ini. (Al-Kahfi: 62) Lalu muridnya berkata keheranan, "Bukankah Allah telah menghapuskan rasa
letih darimu?" Kalimat ini tidak terdapat di dalam riwayat Sa'id ib¬nu Jubair. Si murid
menceritakan perihal kehilangan ikannya, maka kedua¬nya kembali menelusuri jejak semula dan
mereka berdua menjumpai Khidir di tempat itu.
Menurut riwayat Usman ibnu Abu Sulaiman, Khidir berada di atas sajadah hijau di atas laut.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa Khidir memakai pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya;
ujung pakaian bagian bawahnya menutupi kedua kakinya, sedangkan ujung bagian atasnya
sampai pada bagian di bawah kepalanya. Musa mengucapkan salam kepadanya, maka Khidir
menyingkap penutup wajahnya dan menjawab, "Apakah di negeri ini terdapat salam
(kesejahteraan)? Siapakah kamu?" Musa menjawab, "Musa." Khidir bertanya, "Musa dari Bani
Israil?" Musa menjawab, "Ya." Khidir bertanya, "Apakah keperluanmu?" Musa menjawab,
"Saya datang kepadamu untuk belajar tentang ilmu hakikat yang telah diajarkan oleh Allah
kepadamu." Khidir berkata, "Tidakkah kamu merasa cukup bahwa kitab Taurat telah berada di
tanganmu dan wahyu selalu datang kepadamu, hai Musa? Sesungguhnya aku mempunyai ilmu
yang tidak layak bagimu mengetahuinya. Dan sesungguhnya engkau memiliki suatu ilmu yang
tidak layak bagiku mengetahuinya." Maka ada seekor burung minum dari air laut dengan
paruhnya, lalu Khidir berkata, "Demi Allah, tiadalah ilmuku dan ilmumu dibandingkan dengan
ilmu Allah, melainkan seperti apa yang diambil oleh burung itu dengan paruhnya dari air laut
ini." Maka tatkala keduanya hendak menaiki perahu, keduanya menjumpai perahu-perahu kecil
yang biasa mengangkut penghuni suatu pantai ke pantai seberangnya. Mereka telah mengenal
Khidir, maka mereka berkata, "Hamba Allah yang saleh telah datang." Perawi mengatakan,
"Maka kami mengatakan kepada Sa'id ibnu Jubair, 'Apakah dia Khidir?' Sa'id menjawab, 'Ya.'
Para penduduk pantai itu mengatakan, "Kita bawa beliau tanpa upah." Maka dia melubangi
perahu itu dan menambatkannya di pantai tersebut pada suatu pasak. Musa berkata: Mengapa
kamu melubangi perahu itu yang akhirnya kamu me¬nenggelamkan penumpangnya?
Sesungguhnya kamu telah ber¬buat sesuatu kesalahan yang besar. (Al-Kahfi: 71) Menurut
Mujahid, jawaban Musa adalah jawaban yang mengandung nada protes, yakni mengingkarinya.
Dia (Khidir) berkata, "Bukankah aku telah berkata, 'Sesungguh¬nya kamu sekali-kali tidak akan
sabar bersama dengan aku'?” (Al-Kahfi: 72) Protes yang pertama karena lupa, yang kedua
pengajuan syarat, dan protes yang ketiga dilakukan dengan sengaja. Musa berkata, "Janganlah
kamu menghukum aku karena kelu¬paanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu
kesulitan dalam urusanku.” Maka berjalanlah keduanya; hing¬ga tatkala keduanya berjumpa
dengan seorang anak, maka Khidir membunuhnya. (Al-Kahfi: 73-74)

Ya'la mengatakan, "Sa'id telah mengatakan bahwa Khidir menjumpai sekumpulan anak-anak
sedang bermain-main, maka ia menangkap salah seorang dari mereka yang kafir, tetapi
penampilan anak itu tampan. Lalu Khidir membaringkannya dan menyembelihnya dengan pisau.
Musa ber¬kata, 'Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih lagi belum pernah mengerjakan
dosa?'."

Ibnu Abbas membaca ayat ini dengan bacaan nafsan zakiyyatan muslimatan (mengikuti kepada
bentuk mu'annats maushuf-nya), sama halnya disebutkan gulaman zakiyyan (dengan bentuk
muzakkar).

Keduanya melanjutkan perjalanan, dan di suatu tempat keduanya menjumpai sebuah dinding
yang hendak runtuh. Maka Khidir menegakkan dinding itu hanya dengan tangannya.
Didorongnya dinding itu hingga tegak kembali. Musa berkata, "Jikalau kamu mau, niscaya kamu
mengambil upah untuk itu."

Ya'la mengatakan bahwa ia menduga Sa’id mengatakan bahwa Khi¬dir hanya mengusapkan
tangannya ke tembok (dinding) itu, maka dengan serta merta dinding itu tegak kembali. Lalu
Musa berkata, "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu." Menurut Sa’id,
upah un¬tuk makan mereka berdua.

Lafaz wara-ahum menurut Ibnu Abbas dibaca amamahum malikun, yang artinya ialah karena di
hadapan mereka ada seorang raja. Mereka (para perawi) mendapat berita selain dari Sa'id, bahwa
nama raja tersebut adalah Hadad ibnu Badad, sedangkan nama anak muda yang dibunuh itu ialah
Haisur. Di hadapan mereka ada seorang raja yang suka meram¬pas tiap-tiap bahtera. Khidir
mengatakan, "Saya sengaja melubanginya agar manakala si raja itu datang, ia membiarkan
perahu ini di tempat pe¬nambatannya. Apabila raja beserta para pembantunya telah pergi, maka
para pemilik perahu ini dapat memperbaikinya dan menggunakannya la¬gi." Di antara mereka
ada yang berpendapat bahwa lubang itu disumbat dengan botol, dan sebagian lagi mengatakan
bahwa lubang itu ditambal dengan ter (aspal) atau dempul. Sedangkan anak muda itu kedua
orang tuanya adalah orang-orang mukmin, tetapi si anak muda itu sendiri kafir." Maka saya
(Khidir) merasa khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan
dan kekafiran karena kecintaan kedua¬nya kepada anaknya itu. Dan saya menghendaki supaya
Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya daripada
anak itu." Zakatan dalam ayat ini sama dengan yang disebutkan oleh firman-Nya: Mengapa
kamu bunuh jiwa yang bersih (suci dari dosa). (Al-Kahfi: 74) Adapun firman Allah Swt.: dan
lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). (Al-Kahfi: 81) Begitu pula keduanya, lebih
sayang kepada anak barunya itu daripada anak yang telah dibunuh oleh Khidir. Selain Sa’id
menduga bahwa Allah memberinya ganti anak perempuan. Menurut Daud ibnu Abu Asim, dari
sejumlah orang, penggantinya itu adalah anak perempuan.

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Abu Ishaq, dari Sa'id
ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Musa a.s. berkhotbah di kalangan kaum
Bani Israil. Dalam khotbahnya Musa mengatakan, "Tidak ada seorang pun yang le¬bih
mengetahui Allah dan urusan-Nya selain dari aku." Kemudian Allah memerintahkan kepada
Musa agar menemui lelaki ini (Khidir). Kisah selanjutnya sama dengan yang telah disebutkan di
atas, hanya ada kelebih¬an dan kekurangannya; hanya Allah yang lebih mengetahui
kebenarannya.

Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Al-Hasan ibnu Ima¬rah, dari Al-Hakam ibnu
Utaibah, dari Sa'id ibnu Jubair yang menceritakan bahwa dia berada di majelis Ibnu Abbas yang
saat itu di majelis tersebut terdapat beberapa orang dari kalangan kaum ahli kitab. Sebagian dari
mereka mengatakan, "Hai Ibnul Abbas, sesungguhnya si Nauf (anak tiri Ka'b) menduga Ka'b
pernah mengatakan bahwa Musa yang menuntut ilmu (dari Khidir) itu adalah Musa ibnu Misya,
bukan Musa Nabi kaum Bani Israil."
Sa'id mengatakan dalam kisah selanjutnya, bahwa kemudian Ibnu Abbas bertanya, "Hai Sa’id,
apakah benar Nauf telah mengatakan demi¬kian?" Sa'id menjawab, "Ya." Saya mendengar Nauf
mengatakan itu." Ibnu Abbas bertanya lagi, "Apakah engkau mendengarnya langsung dari dia,
hai Sa'id?" Saya menjawab, "Ya." Ibnu Abbas berkata, "Nauf dus¬ta".

Kemudian Ibnu Abbas berkata, ia telah mendengar kisah dari Ubay ibnu Ka'b, dari Rasulullah
Saw., bahwa Musa Bani Israil bertanya kepada Tuhannya, "Wahai Tuhanku, jika ada di kalangan
hamba-hamba-Mu sese¬orang yang lebih alim daripada aku, maka tunjukkanlah aku
kepadanya." Maka Allah menjawabnya melalui firman-Nya, "Ya, benar di kalangan hamba-
hamba-Ku terdapat seseorang yang lebih alim daripada kamu." Kemudian Allah menyebutkan
kepada Musa tentang fempat tinggalnya dan memberi izin untuk menjumpainya.

Musa berangkat bersama seorang muridnya dengan membawa ikan yang telah diasinkan, karena
Tuhannya telah berpesan kepadanya, "Apa¬bila ikan yang dibawamu ini hidup kembali di suatu
tempat, maka temanmu itu berada di tempat tersebut, dan kamu dapat memenuhi apa yang kamu
perlukan."

Musa berangkat dengan ditemani seorang muridnya dengan memba¬wa ikan yang telah
diasinkan itu. Keduanya terus-menerus berjalan hingga letih dan sampai di sebuah batu besar,,
yaitu di dekat sebuah mata air yang disebut dengan 'mata air kehidupan'. Barang siapa yang
minum darinya, hidupnya kekal; dan tiada suatu bangkai pun yang terkena airnya melainkan
dapat hidup kembali. Ketika keduanya istirahat, dan ikan itu terkena percikan air tersebut, ikan
menjadi hidup kembali dan mengambil jalannya ke laut membentuk liang.

Kemudian keduanya melanjutkan perjalanan. Dan setelah keduanya berjalan cukup jauh, Musa
berkata kepada muridnya, "Kemarikanlah makanan kita itu, sesungguhnya perjalanan ini sangat
meletihkan kita." Si murid menjawab dan mengingatkan, "Tahukah kamu tatkala kita men¬cari
tempat berlindung di batu besar tadi, sesungguhnya aku lupa menceri¬takan tentang ikan itu dan
tidak adalah yang melupakan aku untuk mence¬ritakannya kecuali setan, dan ikan itu mengambil
jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali."

Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Musa kembali ke tempat batu besar itu. Ketika
keduanya sampai di tempat itu, tiba-tiba mereka bersua dengan seorang lelaki memakai jubah.
Lalu Musa mengucapkan salam kepadanya, dan ia menjawab salam Musa. Kemudian laki-laki
itu bertanya, "Apakah yang mendorongmu datang kemari, padahal kamu mempunyai kesibukan
di kalangan kaummu?" Musa menjawab, "Aku datang kepadamu supaya kamu mengajarkan
kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu."

Laki-laki itu menjawab, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku."
Laki-laki itu adalah seseorang yang mengeta¬hui perkara yang gaib, seperti yang telah
diceritakan sebelumnya. Musa berkata, "Tidak, saya akan bersabar." Laki-laki itu berkata, seperti
yang disitir oleh firman-Nya: Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu? (Al-Kahfi: 68) Dengan kata lain,
sesungguhnya kamu (hai Musa) hanya mengenal perka¬ra lahiriah dari apa yang kamu lihat
menyangkut keadilannya, sedangkan kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang ilmu gaib
yang telah kuketa¬hui. Musa berkata, "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang
yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu apa pun.” (Al-Kahfi: 69) Yakni
sekalipun aku melihat hal yang bertentangan dengan pendapatku. Jika kamu mengikutiku, maka
janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri
mene¬rangkannya kepadamu. (Al-Kahfi: 70) Artinya, janganlah kamu menanyakan sesuatu pun
kepadaku, sekalipun hal itu bertentangan denganmu. Keduanya (Musa dan laki-laki itu)
berang¬kat dengan berjalan kaki menelusuri pantai dan bertanya-tanya kepada orang-orang yang
ada di situ seraya mencari tumpangan yang dapat membawa mereka berdua. Akhirnya lewatlah
sebuah perahu baru yang kokoh, tiada suatu perahu pun yang dijumpai keduanya lebih baik,
lebih indah, dan lebih kokoh daripada perahu ini. Laki-laki itu meminta kepada pemilik perahu
untuk ikut menumpang, maka pemilik perahu membawa mereka berdua.

Setelah keduanya berada di dalam perahu, dan perahu itu menerus¬kan perjalanannya membelah
laut dengan membawa para penumpang yang dimuatnya, tiba-tiba lelaki itu mengeluarkan
sebuah pahat dan palu miliknya. Lalu ia menuju ke salah satu bagian dari perahu itu dan
mema¬hatnya hingga melubanginya. Sesudah itu ia mengambil sebuah papan dan menutupi
bagian yang berlubang itu, lalu ia duduk di atasnya untuk menutupinya (agar jangan kemasukan
air). Musa berkata kepadanya setelah melihatnya melakukan suatu perbuatan yang
membahayakan itu: "Mengapa kamu melubangi perahu itu yang akibatnya kamu
menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang
besar.” Dia (Khidir) berkata, "Bukankah aku telah berkata bahwa sesungguhnya kamu seka¬li-
kali tidak akan sabar bersama dengan aku?” Musa berkata, "Janganlah kamu menghukum aku
karena kelupaanku dan ja¬nganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam
urusanku." (Al-Kahfi: 71-73)

Maksudnya, janganlah kamu menghukum aku karena kealpaanku terha¬dap apa yang telah aku
janjikan kepadamu. Kemudian keduanya melanjut¬kan perjalanan setelah keluar dari perahu itu,
hingga sampailah keduanya di suatu kampung; mereka melihat sejumlah anak-anak sedang
bermain-main di bagian belakang kampung itu. Dia antara anak-anak terdapat seorang anak yang
penampilannya sangat tampan lagi mewah dibanding¬kan dengan teman-temannya, dan anak itu
kelihatan cerah sekali. Maka laki-laki itu menangkap anak tersebut dan mengambil sebuah batu,
lalu batu itu dipukulkan ke kepala si anak hingga pecah. Ternyata laki-laki itu membunuh anak
tersebut. Melihat pemandangan yang kejam itu Musa tidak sabar lagi, karena seorang anak yang
masih kecil lagi tidak berdosa dibunuh dengan darah dingin. Musa bertanya: Mengapa kami
bunuh jiwa yang bersih. (Al-Kahfi: 74) Yakni anak yang masih kecil. "bukan karena dia
membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar.” Khidir
berkata, "Bu¬kankah sudah kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat
sabar bersamaku?” Musa berkata, "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali)
ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesung¬guhnya kamu sudah
cukup memberikan uzur kepadaku.” (Al-Kahfi: 74-76) Yaitu keadaanku kalau bertanya lagi tidak
dapat dimaafkan. Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk
suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak
mau men¬jamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang
hampir roboh. (Al-Kahfi: 77)

Lalu Khidir merobohkan dinding itu dan membangunnya kembali, sedang¬kan Musa gelisah
melihat apa yang dilakukan oleh temannya ini yang memaksakan diri untuk kerja bakti. Musa
tidak sabar lagi, lalu memprotes¬nya: Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk
itu. (Al-Kahfi: 77)

Dengan kata lain, Musa mengatakan, "Kita telah meminta mereka supaya memberi makan, tetapi
mereka tidak memberi; dan kita telah meminta kepada mereka supaya menjamu kita sebagai
tamu, tetapi mereka meno¬lak. Kemudian kamu bekerja tanpa imbalan jasa. Jikalau kamu mau,
nis¬caya mendapat upah dari kerjamu ini dengan memintanya." Khidir berka¬ta: Inilah
perpisahan antara aku dengan kamu. Aku akan memberi¬tahukan kepadamu tujuan perbuatan-
perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan
orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu karena di
hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. (Al-Kahfi: 78-79)

Menurut Qiraat Ubay ibnu Ka'b disebutkan safinatin salihatin (dengan memakai sifat, yang
artinya perahu yang baik). Dan sesungguhnya aku (Khidir) melubanginya agar si raja itu tidak
mau mengambil perahu ini. Dan ternyata perahu itu selamat dari rampasan si raja, saat si raja
melihat bahwa perahu itu telah cacat.

Dan adapun anak itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir
bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesalan dan kekafiran. Dan kami
menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mere¬ka dengan anak lain yang lebih baik
kesuciannya daripada anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapak-nya).
Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya
ada harta benda sim¬panan bagi mereka berdua, sedangkan ayahnya adalah se¬orang yang saleh;
maka Tuhanmu menghendaki agar mereka sampai pada kedewasaannya dan mengeluarkan
simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melaku¬kannya itu menuruti
kemauanku sendiri. (Al-Kahfi: 80-82) Artinya, semuanya itu kulakukan bukan atas kehendak
diriku sendiri. "Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya.” (Al-Kahfi: 82) Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang disimpan itu tiada lain dalam
bentuk ilmu.

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa setelah Musa dan kaumnya berhasil
menguasai negeri Mesir, maka Musa menempatkan kaumnya di negeri Mesir. Dan setelah
mereka menetap di Mesir, Allah menurunkan wahyu (kepada Musa), "Ingatkanlah mereka pada
hari-hari Allah." Maka Musa berkhotbah kepada kaumnya dan menyebutkan kepada mereka
kebaikan dan nikmat yang telah dilimpahkan oleh Allah kepada mereka. Musa juga
mengingatkan mereka akan hari yang pada hari itu Allah menyelamatkan mereka dari Fir'aun
dan para pembantunya. Musa mengingatkan pula akan kebinasaan musuh mereka dan Allah
menjadikan mereka sebagai penguasa di bumi.

Musa berkata, "Allah telah berbicara secara langsung dengan Nabi kalian, dan memilihku
sebagai kekasih-Nya dan dijadikan-Nya diriku me-cintai-Nya, serta Dia menurunkan kepada
kalian dari semua apa yang diminta oleh kalian. Nabi kalian adalah orang yang paling utama di
bumi ini. Dan kalian dapat membaca kitab Taurat, maka tiada suatu nikmat pun yang telah
diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya melainkan kitab Taurat menyebutkannya kepada
kalian."

Seseorang lelaki dari kalangan Bani Israil berkata, "Hai Nabi Allah, memang kami telah
mengetahui apa yang kamu katakan itu, tetapi apakah di muka bumi ini ada seseorang yang lebih
alim daripada engkau?" Musa menjawab, "Tidak ada."

Allah mengutus Malaikat Jibril kepada Musa a.s. untuk menyampai¬kan bahwa sesungguhnya
Allah telah berfirman, "Tahukah kamu, di mana¬kah Aku meletakkan ilmu-Ku? Tidaklah seperti
yang kamu duga, sesung¬guhnya Aku mempunyai seorang hamba yang tinggal di pantai laut, dia
lebih alim daripada kamu."

Ibnu Abbas mengatakan bahwa hamba yang dimaksud adalah Khidir. Lalu Musa meminta
kepada Tuhannya agar sudilah Dia mengenalkan lelaki itu kepadanya. Allah menurunkan wahyu
kepadanya (seraya berfir¬man), "Datanglah ke laut, karena sesungguhnya kamu akan menjumpai
di tepi pantai seekor ikan. Ambillah ikan itu dan serahkanlah kepada mu¬ridmu (untuk
membawanya), kemudian tetaplah kamu berjalan di pantai itu. Apabila kamu lupa akan ikan itu
dan ikan itu lenyap darimu, maka hamba saleh yang kamu cari itu ada di tempat tersebut."

Setelah Musa berjalan cukup lama hingga ia merasa letih, maka ia meminta kepada muridnya
bekal makanan yang dibawanya, yakni ikan itu. Maka muridnya berkata kepadanya: Tahukah
kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa
(menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakan-nya
kecuali setan. (Al-Kahfi: 63) . Yakni untuk menceritakannya kepadamu. Ia berkata,
"Sesungguhnya aku melihat ikan itu pada saat ia mengambil jalannya di laut membentuk liang.
Sungguh sangat menakjubkan."

Musa kembali ke tempat batu besar itu dan menjumpai ikan itu se¬dang melompat-lompat di
laut. Maka Musa mengikutinya dan menjadikan tongkatnya berada di depannya untuk
menguakkan air laut guna mengikuti ikan. Sedangkan ikan itu tidak sekali-kali menyentuh air
laut melainkan airnya menjadi kering dan keras seperti batu. Musa a.s. merasa kagum melihat
pemandangan itu, hingga ikan itu sampai ke sebuah pulau di laut, sedangkan Musa
mengikutinya.
Di pulau itu Musa bersua dengan Khidir dan mengucapkan salam kepadanya. Khidir menjawab,
"Wa'alaikas salam, dimanakah ada kese¬jahteraan di bumi ini, dan siapakah kamu?" Musa
menjawab, "Saya Mu¬sa." Khidir bertanya, "MusaNabi Bani Israil?" Musa menjawab, "Ya."
Khidir menyambutnya dengan sambutan yang hangat, lalu bertanya, "Apakah yang
mendorongmu datang kemari?" Musa menjawab: "Supaya kamu mengajarkan kepadaku Umu
yang benar di an¬tara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu.” Dia menjawab,
"Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku." (Al-Kahfi: 66-67)

Khidir menjawab, "Kamu tidak akan kuat menguasai ilmu itu." Insya Allah kamu akan
mendapati aku sefbagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu
urusan pun. (Al-Kahfi: 69)

Maka Khidir membawa Musa pergi, lalu berkata kepadanya, "Janganlah kamu bertanya
kepadaku tentang sesuatu pun yang aku lakukan sebelum aku jelaskan kepadamu duduk perkara
yang sebenarnya." Yang demikian itu adalah firman Allah Swt.: sampai aku sendiri
menerangkannya kepadamu. (Al-Kahfi: 70)

Az-Zuhri telah meriwayatkan dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Utbah ibnu Mas'ud, dari Ibnu
Abbas, bahwa ia pernah berdebat dengan Al-Hurr ibnu Qais ibnu Hisn Al-Fazzari tentang teman
Musa ini. Ibnu Abbas mengatakan bahwa ia adalah Khidir. Saat itu lewatlah Ubay ibnu Ka'b.
Maka Ibnu Abbas memanggilnya dan menceritakan kepadanya, "Sesung¬guhnya aku dan
temanku ini berdebat tentang teman Musa yang mendo¬rong Musa meminta kepada Tuhan agar
dipertemukan dengannya. Apa¬kah kamu pernah mendengar Rasulullah Saw. menceritakan
tentangnya?"

Ubay ibnu Ka'b menjawab, sesungguhnya ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda bahwa
ketika Musa sedang berada di tengah-tengah para pemuka kaum Bani Israil, tiba-tiba datanglah
kepadanya seorang lelaki yang bertanya, "Tahukah kamu tempat seorang lelaki yang lebih alim
daripada kamu?" Musa menjawab, "Tidak tahu."

Allah mewahyukan kepada Musa, "Memang benar, dia adalah ham-ba-Ku bernama Khidir."
Maka Musa meminta kepada Tuhannya agar menunjukkan jalan untuk bersua dengannya. Allah
menjadikan seekor ikan sebagai pertanda, seraya berfirman kepada Musa, "Jika kamu mera¬sa
kehilangan ikan ini, kembalilah ke tempatnya, maka sesungguhnya kamu akan menjumpainya di
tempat itu."

Musa mengikuti jalan ikan itu di laut. Murid Musa berkata kepada Musa, "Tahukah kamu tatkala
kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa ikan itu di tempat
tersebut." Musa berkata seperti yang disitir oleh firman-Nya: Itulah (tempat) yang kita cari. Lalu
keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula. (Al-Kahfi: 64) Keduanya menjumpai hamba
Allah, yaitu Khidir. Mengenai perihal kedua¬nya adalah seperti apa yang dikisahkan oleh Allah
Swt. di dalam kitab (Al-Qur'an)-Nya.
ِ ‫َّك لَن تَستَ ِط‬ ‫) قَ َ ِإ‬66( ‫ت ر ْش ًدا‬ ‫مِم‬
( ‫صْبًرا‬
َ ‫يع َمع َي‬
َ ْ ْ َ ‫ال ن‬ ُ َ ‫ك َعلَى َأ ْن ُت َعلِّ َم ِن َّا عُلِّ ْم‬َ ُ‫وسى َه ْل َأتَّبِع‬
َ ‫َال لَهُ ُم‬
َ‫ق‬
ِ ‫َأع‬ ِ ِ ِ
‫ك‬َ َ‫صي ل‬ ْ ‫صابًِرا َوال‬
َ ُ‫) قَ َال َستَج ُديِن ِإ ْن َشاءَ اللَّه‬68( ‫صرِب ُ َعلَى َما مَلْ حُت ْط بِه ُخْبًرا‬ ْ َ‫ف ت‬
َ ‫) َو َكْي‬67
70( ‫ك ِمْنهُ ِذ ْكًرا‬ ِ ‫) قَ َال فَِإ ِن اتَّبعتيِن فَال تَسَألْيِن عن شي ٍء حىَّت‬69( ‫َأمرا‬
َ َ‫ث ل‬ َ ‫ُأحد‬ْ َ ْ َ َْ ْ َْ َ ًْ
Musa berkata kepada Khidir, "Bolehkah aku mengikutimu su¬paya kamu mengajarkan kepadaku
ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” Dia menjawab,
"Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu
dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal
itu?” Musa berkata, "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku
tidak akan menen¬tangmu dalam sesuatu urusan pun.” Dia berkata, "Jika kamu mengikutiku,
maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri
menerangkannya kepadamu.”

Allah Swt. menceritakan tentang perkataan Musa a.s. kepada lelaki yang alim itu yakni Khidir
yang telah diberikan kekhususan oleh Allah dengan suatu ilmu yang tidak diketahui oleh Musa.
Sebagaimana Allah telah memberi kepada Musa suatu ilmu yang tidak diberikan-Nya kepada
Khidir.

َ ُ‫وسى َه ْل َأتَّبِع‬
‫ك‬ َ ‫قَ َال لَهُ ُم‬
Musa berkata kepadanya, "Bolehkah aku mengikutimu?" (Al-Kahfi: 66)

Pertanyaan Musa mengandung nada meminta dengan cara halus, bukan membebani atau
memaksa. Memang harus demikianlah etika seorang murid kepada gurunya dalam berbicara.

Firman Allah Swt.:

َ ُ‫َأتَّبِع‬
‫ك‬
Bolehkah aku mengikutimu? (Al-Kahfi: 66)

Maksudnya, bolehkah aku menemanimu dan mendampingimu.

‫مِم‬
َ ‫َعلَى َأ ْن ُت َعلِّ َم ِن َّا عُلِّ ْم‬
‫ت ُر ْش ًدا‬
supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di anta¬ra ilmu-ilmu yang telah diajarkan
kepadamu. (Al-Kahfi: 66)
Yakni suatu ilmu yang pernah diajarkan oleh Allah kepadamu,-agar aku dapat menjadikannya
sebagai pelitaku dalam mengerjakan urusanku, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal yang saleh.
Maka pada saat itu juga Khidir berkata kepada Musa:

‫صْبًرا‬ ِ ‫َّك لَن تَستَ ِط‬ ‫ِإ‬


َ ‫يع َمع َي‬
َ ْ ْ َ‫ن‬
Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar ber¬samaku. (Al-Kahfi: 67)

Artinya; kamu tidak akan kuat menemaniku karena kamu akan melihat dariku berbagai macam
perbuatan yang bertentangan dengan syariatmu. Sesungguhnya aku mempunyai suatu ilmu dari
ilmu Allah yang tidak di-ajarkan-Nya kepadamu. Sedangkan kamu pun mempunyai suatu ilmu
dari ilmu Allah yang tidak diajarkan-Nya kepadaku. Masing-masing dari kita mendapat tugas
menangani perintah-perintah dari Allah secara ter¬sendiri yang berbeda satu sama lainnya. Dan
kamu tidak akan kuat meng¬ikutiku.

‫صرِب ُ َعلَى َما مَلْ حُتِ ْط بِِه ُخْبًرا‬


ْ َ‫ف ت‬
َ ‫َو َكْي‬
Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang
cukup tentang hal itu?(Al-Kahfi: 68)

Aku mengetahui bahwa kamu akan mengingkari hal-hal yang kamu dima¬afkan tidak
mengikutinya, tetapi aku tidak akan menceritakan hikmah dan maslahat hakiki yang telah
diperlihatkan kepadaku mengenainya, sedangkan kamu tidak mengetahuinya.

‫صابًِرا‬ ِ
َ ُ‫َستَج ُديِن ِإ ْن َشاءَ اللَّه‬
Musa berkata, "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar.” (Al-Kahfi: 69)

terhadap apa yang aku lihat dari urusan-urusanmu itu.

‫ك َْأمًرا‬ ِ ‫َأع‬
َ َ‫صي ل‬ ْ ‫َوال‬
dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun. (Al-Kahfi: 69)

Maksudnya, aku tidak akan memprotesmu dalam sesuatu urusan pun; dan pada saat itu Khidir
memberikan syarat kepada Musa, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:

‫قَ َال فَِإ ِن اتََّب ْعتَيِن فَال تَ ْسَألْيِن َع ْن َش ْي ٍء‬


Dia berkata, "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang
sesuatu apa pun." (Al-Kahfi: 70)
Yakni memulai menanyakannya.

‫ك ِمْنهُ ِذ ْكًرا‬ ِ ‫حىَّت‬


َ َ‫ث ل‬
َ ‫ُأحد‬
ْ َ
sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu. (Al-Kahfi: 70)

Yaitu aku sendirilah yang akan menjelaskannya kepadamu, sebelum itu kamu tidak boleh
mengajukan suatu pertanyaan pun kepadaku.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Humaid ibnu Jubair, telah menceritakan
kepada kami Ya'qub, dari Harun, dari Ubaidah, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas yang mengatakan
bahwa Musa a.s. bertanya kepada Tuhannya, "Wahai Tuhanku, hamba-hamba-Mu yang manakah
yang paling disukai olehmu?" Allah Swt. menjawab, "Orang yang selalu ingat kepada-Ku dan
tidak pernah melupakan Aku." Musa bertanya, "Siapakah di antara hamba-hamba-Mu yang
paling adil?" Allah menjawab, "Orang yang memutuskan (perkara) dengan hak dan tidak pernah
memperturutkan hawa nafsunya." Musa bertanya, "Wahai Tuhanku, siapakah di antara hamba-
hamba-Mu yang paling alim?" Allah berfirman, "Orang yang rajin menimba il¬mu dari orang
lain dengan tujuan untuk mencari suatu kalimah yang da¬pat memberikan petunjuk ke jalan
hidayah untuk dirinya, atau menyelamat¬kan dirinya dari kebinasaan." Musa bertanya, "Wahai
Tuhanku, apakah di bumi-Mu ini ada sese¬orang yang lebih alim daripada aku?" Allah
berfirman, "Ya, ada." Musa bertanya, "Siapakah dia?" Allah berfirman, "Dialah Khidir." Musa
berta¬nya, "Di manakah saya harus mencarinya?" Allah berfirman, "Di pantai di dekat sebuah
batu besar tempat kamu akan kehilangan ikan padanya." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya,
bahwa lalu Musa berangkat men¬carinya; dan kisah selanjutnya adalah seperti apa yang telah
disebutkan oleh Allah Swt. di dalam kitab-Nya, hingga akhirnya sampailah Musa di dekat batu
besar itu. Ia bersua dengan Khidir, masing-masing dari kedua¬nya mengucapkan salam kepada
yang lainnya. Musa berkata kepadanya, "Sesungguhnya saya suka menemanimu." Khidir
menjawab, "Sesungguhnya kamu tidak akan sanggup sabar bersa¬maku." Musa berkata, "Tidak,
saya sanggup." Khidir berkata, "Jika ka¬mu menemaniku: maka janganlah kamu menanyakan
kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.” (Al-Kahfi:
70) Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Khidir membawa Musa be¬rangkat menempuh
jalan laut, hingga sampailah ke tempat bertemunya dua buah lautan; tiada suatu tempat pun yang
airnya lebih banyak daripada tempat itu. Kemudian Allah mengirimkan seekor burung pipit, lalu
burung pipit itu menyambar seteguk air dengan paruhnya. Khidir berkata kepada Musa, Berapa
banyakkah air yang disambar oleh burung pipit ini menurut¬mu?" Musa menjawab, "Sangat
sedikit." Khidir berkata, "Hai Musa, sesungguhnya ilmuku dan ilmumu dibandingkan dengan
ilmu Allah, sama dengan apa yang diambil oleh burung pipit itu dari lautan ini." Sebelum
peristiwa ini pernah terdetik di dalam hati Musa bahwa tiada seorang pun yang lebih alim
daripada dia. Atau Musa pernah me¬ngatakan demikian. Karena itulah maka Allah
memerintahkan kepadanya untuk mendatangi Khidir. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya ini
menyang¬kut pelubangan perahu, pembunuhan terhadap seorang anak muda, dan pembetulan
dinding yang akan runtuh, serta takwil dari semua perbuatan tersebut.

َ َ‫) ق‬71( ‫ت َشْيًئا ِإ ْمًرا‬ ِ ِ َ َ‫الس ِفينَ ِة َخَر َق َها ق‬


َّ ‫فَانْطَلَ َقا َحىَّت ِإ َذا َركِبَا يِف‬
ْ‫ال َأمَل‬ َ ‫َأخَر ْقَت َها لُت ْغ ِر َق َْأهلَ َها لََق ْد جْئ‬
َ ‫ال‬
73( ‫يت َوال ُت ْر ِه ْقيِن ِم ْن َْأم ِري عُ ْسًرا‬ ِ ‫ِ مِب‬
ُ ‫ال اَل ُتَؤ اخ ْذيِن َا نَس‬ َ َ‫) ق‬72( ‫صْبًرا‬ ِ ‫َّك لَن تَستَ ِط‬
َ ْ ْ َ ‫َأقُ ْل ن‬
َ ‫يع َمع َي‬ ‫ِإ‬

Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu, lalu Khidir melubanginya.
Musa berkata, "Mengapa kamu melubangi perahu itu yang akibatnya kamu menengge¬lamkan
penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat se¬suatu kesalahan yang besar.” Dia (Khidir)
berkata, "Bukankah aku telah berkata, 'Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama
dengan aku'.” Musa berkata, "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan
janganlah kamu mem¬bebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.”

Allah menceitakan perihal Musa dan temannya (yaitu Khidir), bahwa keduanya sepakat untuk
berjalan bersama, dan Khidir telah menetapkan persyaratannya kepada Musa, yaitu tidak boleh
menanyakan sesuatu urusan pun yang dianggap janggal, hingga ia sendirilah yang akan menceri-
takan dan menerangkan semuanya kepada Musa.

Keduanya menaiki perahu itu, dalam keterangan yang lalu telah dise¬butkan sebagaimana
keduanya menaiki perahu. Disebutkan bahwa para pemilik perahu yang ada di pantai itu telah
mengenal Khidir. Maka mereka membawa keduanya tanpa sepeser ongkos pun karena
menghormati Khidir. Ketika perahu yang mereka tumpangi itu mengarungi bahtera, Khidir
bangkit dan melubangi perahu itu, lalu ia mengeluarkan sebuah papan yang ada di perahu itu
untuk menambalnya. Melihat hal itu Musa tidak dapat menahan dirinya lagi untuk bertanya
seraya memprotesnya:

‫َأخَر ْقَت َها لُِت ْغ ِر َق َْأهلَ َها‬


َ
Mengapa kamu melubangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?
(Al-Kahfi: 71)

Lam yang ada dalam lafaz litugriqa ini adalah lamul 'aqibah yang me¬nunjukkan makna akibat,
bukan lam ta'lil yang menunjukkan makna pe¬nyebab atau kausalita. Huruf lam ini sama dengan
huruf lam yang ada di dalam perkataan seorang penyair:

‫للخَراب‬
َ ‫وابنُوا‬
ْ ‫ُلدوا ل ْل َموت‬
Beranaklah yang akibatnya akan mati, dan bangunlah yang akibatnya akan runtuh.

Firman Allah Swt:


‫ت َشْيًئا ِإ ْمًرا‬ ِ
َ ‫لََق ْد جْئ‬
Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang be¬sar. (Al-Kahfi:71)

Mujahid mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah sesuatu yang diingkari. Qatadah
mengatakan, yang dimaksud ialah sesuatu yang aneh. Maka pada saat itu juga Khidir berkata
kepada Musa, mengingatkan akan syarat yang telah disetujuinya:

ِ ‫َّك لَن تَستَ ِط‬ ‫ِإ‬


‫صْبًرا‬ َ ْ ْ َ ‫َأمَلْ َأقُ ْل ن‬
َ ‫يع َمع َي‬
Bukankah aku telah berkata bahwa sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama
dengan aku. (Al-Kahfi: 72)

Dengan kata lain, perbuatan ini sengaja saya lakukan, dan termasuk di antara perkara yang telah
ku persyaratkan kepadamu bahwa kamu tidak boleh memprotesnya terhadapku. Karena
sesungguhnya kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal ini, padahal
perbuatan ini mengandung maslahat yang tidak kamu ketahui.

‫يت َوال ُت ْر ِه ْقيِن ِم ْن َْأم ِري عُ ْسًرا‬ ِ ‫ِ مِب‬


ُ ‫اَل ُتَؤ اخ ْذيِن َا نَس‬
Musa berkata, "Janganlah kamu menghukum aku karena kealpaanku dan janganlah kamu
membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.” (Al-Kahfi: 73)

Yakni janganlah kamu mempersulit diriku, jangan pula kamu bersikap keras terhadapku. Karena
itulah seperti apa yang telah disebutkan dalam sebuah hadis dari Rasulullah Saw. yang telah
bersabda:

"‫وسى نِ ْسيَانًا‬ ِ ِ
َ ‫" َكانَت اُأْلوىَل م ْن ُم‬
kekeliruan pertama yang dilakukan oleh Musa disebabkan kare¬na kealpaannya.

ِ ٍ ‫ت َن ْف ًسا َزكِيَّةً بِغَرْيِ َن ْف‬ ِ ‫ِإ‬


(74( ‫ت َشْيًئا نُكًْرا‬
َ ‫س لََق ْد جْئ‬ َ ‫ال َأَقَت ْل‬
َ َ‫الما َف َقَتلَهُ ق‬
ً ُ‫فَانْطَلَ َقا َحىَّت ذَا لَقيَا غ‬
Maka berjalanlah keduanya: hingga tatkala keduanya berjum¬pa dengan seorang anak, maka
Khidir membunuhnya. Musa berkata, "Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia
membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah mela¬kukan suatu yang mungkar.”

Dalam firman selanjutnya disebutkan bahwa setelah itu:

ِ ‫ِإ‬
ُ‫الما َف َقَتلَه‬
ً ُ‫فَانْطَلَ َقا َحىَّت ذَا لَقيَا غ‬
Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjum¬pa dengan seorang anak, maka
Khidir membunuhnya. (Al-Kahfi: 74)

Dalam penjelasan yang lalu telah disebutkan bahwa anak tersebut sedang bermain-main dengan
anak-anak lainnya di salah satu bagian kampung tersebut. Lalu Khidir sengaja menangkap anak
itu yang paling tampan dan paling cerah di antara mereka, lalu Khidir membunuhnya. Menurut
suatu riwayat, Khidir membunuh anak itu dengan cara mencabut kepala¬nya. Sedangkan
menurut pendapat yang lainnya dengan cara memecah¬kan kepala si anak itu dengan batu. Dan
menurut riwayat yang lainnya lagi dengan cara memuntir kepala si anak. Hanya Allah yang lebih
menge-tahui kebenarannya.

Ketika Musa melihat dan menyaksikan hal itu, ia mengingkarinya dengan protes yang lebih keras
daripada yang pertama. Ia berkata:

ً‫ت َن ْف ًسا َزكِيَّة‬


َ ‫َأَقَت ْل‬
Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih. (Al-Kahfi: 74)

Yakni Jiwa yang masih kecil dan belum mencapai usia akil balig serta belum melakukan suatu
dosa pun, lalu kamu membunuhnya.

ٍ ‫بِغَرْيِ َن ْف‬
‫س‬
bukan karena dia membunuh orang lain. (Al-Kahfi: 74)

Maksudnya, kamu membunuh dengan tanpa alasan.

‫ت َشْيًئا نُكًْرا‬ ِ
َ ‫لََق ْد جْئ‬
Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar. (Al-Kahfi: 74)

Yakni suatu perbuatan yang jelas mungkarnya.

ِ ‫ك عن َشي ٍء بع َدها فَال تُص‬ ِ ‫َّك لَن تَستَ ِط‬


‫احْبيِن قَ ْد‬ َ َ ْ َ ْ ْ َ َ ُ‫) قَ َال ِإ ْن َسَألْت‬75( ‫صْبًرا‬
َ ‫يع َمع َي‬
َ ْ ْ َ‫ك ن‬
‫قَ َال َأمَلْ َأقُل لَ َ ِإ‬
ْ
76( ‫ت ِم ْن لَ ُديِّن عُ ْذ ًرا‬
َ ‫َبلَ ْغ‬
Khidir berkata, "Bukankah sudah kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan
dapat sabar bersamaku.” Musa berkata, "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah
(kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah
cukup memberikan uzur padaku.”
Firman Allah Swt:

‫صْبًرا‬ ِ ‫َّك لَن تَستَ ِط‬ ‫قَ َال َأمَلْ َأقُل لَ َ ِإ‬
َ ‫يع َمع َي‬
َ ْ ْ َ‫ك ن‬ ْ
Khidir berkata, "Bukankah sudah kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan
dapat sabar bersamaku.” (Al-Kahfi: 75)

Jawaban ini merupakan pengukuhan terhadap syarat pertama yang telah diajukan. Karena itulah
Musa mengatakan:

‫ك َع ْن َش ْي ٍء َب ْع َد َها‬
َ ُ‫ِإ ْن َسَألْت‬
Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali ) ini. (Al-Kahfi: 76)

Yakni sesudah kali ini jika saya menanyakan sesuatu lagi kepadamu.

‫ت ِم ْن لَ ُديِّن عُ ْذ ًرا‬ ِ ُ‫فَال ت‬


َ ‫صاحْبيِن قَ ْد َبلَ ْغ‬
َ
maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup
memberikan uzur kepadaku. (Al-Kahfi: 76)

Maksudnya, saya sudah memberi maaf kepadamu, dan itu sudah cukup.

َ ‫ َع ْن َأيِب ِإ ْس َح‬،‫ات‬
،‫اق‬ َّ َ‫ َع ْن مَح َْزة‬،‫اج بْ ُن حُمَ َّم ٍد‬
ِ َّ‫الزي‬ ٍ ِ
ُ ‫ َح َّدثَنَا َح َّج‬،‫ َح َّدثَنَا َعْب ُد اللَّه بْ ُن ِزيَاد‬:‫قَ َال ابْ ُن َج ِري ٍر‬
‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ِإذَا ذَ َكَر‬ ٍ ‫ َع ْن ُأيَبِّ بْ ِن َك ْع‬،‫اس‬
ٍ َّ‫ َع ِن ابْ ِن َعب‬، ٍ‫يد بْ ِن ُجَبرْي‬ ِ ِ‫عن سع‬
َ ُّ ‫ َكا َن النَّيِب‬:‫ب قَ َال‬ َ َْ
ِ ِ ‫ث مع‬ ِ ٍ َ ‫ َف َق‬،‫ بَ َدَأ بَِن ْف ِس ِه‬،ُ‫َأح ًدا فَ َد َعا لَه‬
َ ْ‫صاحبِه َأَلب‬
‫صَر‬ َ َ َ َ ِ‫ لَ ْو لَب‬،‫وسى‬ َ ‫"رمْح َةُ اللَّه َعلَْينَا َو َعلَى ُم‬ َ :‫ات َي ْوم‬ َ ‫ال َذ‬ َ
‫ت ِم ْن لَ ُديِّن عُ ْذ ًرا‬ ِ ُ‫ك عن َشي ٍء بع َدها فَاَل ت‬ َ َ‫ب َولَ ِكنَّهُ ق‬
َ ‫صاحْبيِن قَ ْد َبلَ ْغ‬ َ َ ْ َ ْ ْ َ َ ُ‫ال ِإ ْن َسَألْت‬ َ ‫الْ َع َج‬
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ziyad, telah
menceritakan kepada kami Hajjaj ibnu Muhammad, dari Hamzah Az-Zayyat, dari Abu Ishaq,
dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, dari Ubay ibnu Ka'b yang mengatakan bahwa Nabi Saw.
apabila menyebut seseorang, lalu beliau berdoa untuknya, maka doanya itu dimulainya untuk
dirinya sendiri. Dan pada suatu hari Nabi Saw. bersabda: Semoga rahmat Allah terlimpahkan
untuk kita dan untuk Musa; seandainya dia tetap bersama temannya itu, tentulah dia akan banyak
menyaksikan hal-hal yang menakjubkan. Akan tetapi, sangat disayangkan Musa mengatakan,
"Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu
memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur
kepadaku.”
‫ض‬ ُ ‫ضِّي ُفومُهَا َف َو َج َدا فِ َيها ِج َد ًارا يُِر‬
َّ ‫يد َأ ْن َيْن َق‬ َ ُ‫استَطْ َع َما َْأهلَ َها فَ ََأب ْوا َأ ْن ي‬
ٍ
ْ ‫فَانْطَلَ َقا َحىَّت ِإ َذا َأَتيَا َْأه َل َق ْريَة‬
‫ك بِتَْأ ِو ِيل َما مَلْ تَ ْستَ ِط ْع‬
َ ‫ك َسُأَنبُِّئ‬ ُ ‫ال َه َذا فَِر‬
َ ِ‫اق َبْييِن َو َبْين‬ َ َ‫) ق‬77( ‫َأجًرا‬ ِ
ْ ‫ت َعلَْيه‬ َ ‫ت الخَّتَ ْذ‬
ِ َ َ‫فََأقَامه ق‬
َ ‫ال لَ ْو شْئ‬ َُ
78( ‫صْبًرا‬ ِ
َ ‫َعلَْيه‬
Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka
minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu
mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh,
maka Khidir menegakkan dinding itu. Musa berkata, "Jikalau kamu mau, niscaya kamu
mengambil upah untuk itu.” Khidir berkata, "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; aku
akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya.

Allah Swt. berfirman menceritakan keduanya: Maka keduanya berjalan. (Al-Kahfi: 77) Yaitu
melanjutkan perjalanannya, sesudah kedua peristiwa itu.

‫َحىَّت ِإ َذا َأَتيَا َْأه َل َق ْريٍَة‬


hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri. (Al-Kahfi: 77)

Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Ibnu Sirin, bahwa kota tersebut adalah Al-Ailah. Di dalam
sebuah hadis disebutkan:

‫َحىَّت ِإ َذا َأَتيَا َْأه َل َق ْريٍَة لَِئ ًاما‬


hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri yang kikir.

Yakni penduduk negeri itu orangnya kikir-kikir.

‫ض‬ ُ ‫ضِّي ُفومُهَا َف َو َج َدا فِ َيها ِج َد ًارا يُِر‬


َّ ‫يد َأ ْن َيْن َق‬ َ ُ‫فَ ََأب ْوا َأ ْن ي‬
tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam
negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, (Al-Kahfi: 77)

Iradah atau kehendak disandarkan kepada dinding dalam ayat ini merupakan ungkapan isti'arah
(kata pinjaman), karena sesungguhnya pengertian kehendak hanyalah disandarkan kepada
makhluk yang bernyawa berarti kecenderungan. Inqidad artinya runtuh (roboh)

Firman Allah Swt.:


ُ‫فََأقَ َامه‬
maka Khidir menegakkan dinding itu. (Al-Kahfi: 77)

Yakni mengembalikannya ke posisi tegak kembali. Dalam hadis yang terdahulu telah disebutkan
bahwa Khidir menegakkan dinding itu dengan kedua tangannya, yaitu dengan mendorongnya
hingga tidak miring lagi; hal ini merupakan peristiwa yang menakjubkan. Pada saat itu juga
Musa berkata kepadanya:

ِ ِ
‫َأجًرا‬ َ ‫ت الخَّتَ ْذ‬
ْ ‫ت َعلَْيه‬ َ ‫لَ ْو شْئ‬
Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu. (Al-Kahfi: 77)

Karena mereka tidak mau menjamu kita, maka selayaknyalah kamu tidak bekerja untuk mereka
secara cuma-cuma tanpa imbalan.

ُ ‫قَ َال َه َذا فَِر‬


َ ِ‫اق َبْييِن َو َبْين‬
‫ك‬
Khidir berkata, "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu.” (Al-Kahfi: 78)

Karena kamu telah mengajukan syarat saat terbunuhnya anak muda tadi, bahwa jika kamu
bertanya tentang sesuatu kepadaku sesudah peristiwa itu, maka kamu tidak diperkenankan lagi
untuk menemaniku. Inilah perpisahan antara aku dengan kamu.

ِ ِ
َ ‫ك بِتَْأ ِو ِيل َما مَلْ تَ ْستَط ْع َعلَْيه‬
‫صْبًرا‬ َ ‫َسُأَنبُِّئ‬
"Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya.” (Al-Kahfi: 78)

ٌ ِ‫َأع َيب َها َو َكا َن َو َراءَ ُه ْم َمل‬


‫ك يَْأ ُخ ُذ ُك َّل‬ ِ ‫الس ِفينَةُ فَ َكانَت لِمساكِني يعملُو َن يِف الْبح ِر فََأر ْدت َأ ْن‬
ُ َ َْ َ َْ َ َ َ ْ َّ ‫ََّأما‬
79( ‫صبًا‬ ٍ ِ
ْ ‫َسفينَة َغ‬
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku
bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas
tiap-tiap bahtera.

Apa yang disebutkan dalam ayat ini merupakan tafsir dari perkara yang sulit dimengerti oleh
Musa a.s. dan penjelasan dari apa yang lahiriahnya diingkari olehnya. Allah telah menampakkan
kepada Khidir a.s. hakikat dari perkara itu. Khidir berkata, "Sesungguhnya aku melubangi
perahu itu tiada lain hanyalah untuk membuatnya cacat, karena mereka akan melalui penjagaan
raja yang zalim dengan perahu tersebut.

‫يَْأ ُخ ُذ ُك َّل َس ِفينَ ٍة‬


yang merampas tiap-tiap bahtera. (Al-Kahfi: 79).

Yang laik dipakai dan baik. Maka dengan sengaja saya membuatnya cacat agar si raja tersebut
tidak mau merampasnya karena ada cacatnya, sehingga para pemiliknya yang miskin dapat terus
menggunakannya dan mengambil manfaat darinya karena perahu itu merupakan satu-satunya
milik mereka untuk mencari nafkah. Menurut suatu pendapat para pemilik perahu itu adalah
anak-anak yatim.

Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Wahb ibnu Salman, dari Syu'aib Al-Jiba-i, bahwa nama raja
yang zalim itu adalah Hadad ibnu Badad. Dalam riwayat Imam Bukhari yang lalu telah
disebutkan pula bahwa nama raja tersebut tertera di dalam kitab Taurat sebagai keturunan dari
Al-Is ibnu Ishaq; dia termasuk salah seorang raja yang namanya tertera di dalam kitab Taurat.

‫) فَ ََأر ْدنَا َأ ْن يُْب ِدهَلَُما َربُّ ُه َما‬80( ‫الم فَ َكا َن ََأب َواهُ ُمْؤ ِمَننْي ِ فَ َخ ِشينَا َأ ْن يُْر ِه َق ُه َما طُ ْغيَانًا َو ُك ْفًرا‬
ُ ُ‫َو ََّأما الْغ‬
ِ
81( ‫ب ُرمْح ًا‬ َ ‫َخْيًرا مْنهُ َز َكا ًة َوَأْقَر‬
Dan adapun anak itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir
bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami
menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik
kesuciannya daripada anaknya itu dan lebih kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).

Dalam keterangan yang lalu telah disebutkan bahwa anak itu bernama Haisur. Di dalam hadis
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dari Ubay ibnu Ka'b, dari Nabi Saw. yang telah bersabda,
disebutkan:

"‫كافِرا‬
َ ِ َ‫"الْغُاَل م الَّ ِذي َقَتلَه اخْل‬
‫ض ُر طُبِ َع َي ْو َم طُبِ َع‬ ُ ُ
ً
Anak yang dibunuh oleh Khidir telah ditetapkan sejak penciptaannya sabagai orang kafir.

Ibnu Jarir telah meriwayatkannya dari hadis Ishaq, dari Sa'id, dari Ibnu Abbas dengan sanad
yang sama.

Allah Swt. menyebutkan dalam firman¬Nya:

‫فَ َكا َن ََأب َواهُ ُمْؤ ِمَننْي ِ فَ َخ ِشينَا َأ ْن يُْر ِه َق ُه َما طُ ْغيَانًا َو ُك ْفًرا‬
maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan
mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. (Al-Kahfi: 80)

Yakni cinta keduanya kepada anaknya ini akan mendorong keduanya mengikuti kekafiran si
anak di masa mendatang.

Qatadah mengatakan bahwa kedua orang tua si anak merasa gembira saat kelahiran si anak, dan
keduanya merasa sedih terhadapnya saat ia dibunuh. Seandainya anak itu dibiarkan hidup,
tentulah akan mendorong keduanya kepada kebinasaan. Karena itu, tersimpulkan suatu pelajaran
dari kisah ini bahwa hendaklah seseorang rela dengan takdir Allah, karena sesungguhnya takdir
Allah untuk orang-orang mukmin dalam hal yang tidak disukai mengandung kebaikan, lebih baik
daripada takdir Allah untuk mereka dalam hal yang disukai. Di dalam sebuah hadis telah
disebutkan:

‫ضاءً ِإاَّل َكا َن َخْيًرا‬ ِ ِ ِ ‫"اَل ي ْق‬


"ُ‫لَه‬ َ َ‫ضي اللَّهُ ل ْل ُمْؤ م ِن ق‬ َ
Tiada suatu takdir pun yang diterima oleh seorang mukmin, melainkan takdir itu adalah lebih
baik baginya.

Di dalam sebuah firman Allah Swt. disebutkan:

‫َو َع َسى َأ ْن تَكَْر ُهوا َشْيًئا َو ُه َو َخْيٌر لَ ُك ْم‬


Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian. (Al-Baqarah: 216)

Adapun firman Allah Swt.:

ِ ِ
َ ‫فَ ََأر ْدنَا َأ ْن يُْبدهَلَُما َربُّ ُه َما َخْيًرا مْنهُ َز َكا ًة َوَأْقَر‬
‫ب ُرمْح ًا‬
Dan Kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang
lebih baik kesuciannya daripada anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu
bapaknya). (Al-Kahfi: 81)

Yaitu mendapat ganti anak lain yang lebih bersih daripadanya, dan keduanya lebih sayang
kepadanya daripada anak itu. Demikianlah takwil makna ayat tersebut menurut Ibnu Juraij.

Qatadah mengatakan bahwa anaknya itu lebih dalam kasih sayangnya dan lebih berbakti kepada
kedua orang ibu bapaknya daripada anaknya yang pertama. Disebutkan bahwa keduanya
mendapat ganti seorang anak perempuan. Menurut suatu pendapat, ketika Khidir membunuh
anak itu, ibunya sedang mengandung seorang bayi laki-laki yang muslim. Demikian menurut
Ibnu Juraij.
‫ك َأ ْن‬ ‫و ََّأما اجْلِ َدار فَ َكا َن لِغُالم ِ يتِيم ِ يِف الْم ِدين ِة و َكا َن حَت ته َكنز هَل ما و َكا َن َأبومُه ا حِل‬
َ ُّ‫صا ًا فَ ََأر َاد َرب‬َ َ ُ َ َُ ُ َْ َ َ َ ‫َ نْي َ َ نْي‬ ُ َ
‫يل َما مَلْ تَ ْس ِط ْع َعلَْي ِه‬ ِ ‫ك تَْأ‬
‫و‬ ِ‫يبلُغَا َأش َّدمُه ا ويستخ ِرجا َكنزمُه ا رمْح ةً ِمن ربِّك وما َفع ْلته عن َأم ِري َذل‬
ُ َ ْ ْ َ ُُ َ َ َ َ َ ْ َ َ َ َ ْ َ ْ َ َ َ ُ َْ
82( ‫صْبًرا‬ َ
Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya
ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedangkan ayahnya adalah seorang yang saleh.
Maka Tuhannya menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan
simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu, dan bukanlah aku melakukannya itu menurut
kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat
sabar terhadapnya.
2. Q.S Al-Baqoroh: 286

ِ َّ‫َس'بَ ۡ ۗت َربَّنَا اَل تَُؤ ا ِخ' ۡذنَٓا ِإن ن‬


‫س'ينَٓا َأ ۡو‬ َ ‫س'بَ ۡت َو َعلَ ۡيهَا مَا ۡٱكت‬ َ ‫سا ِإاَّل ُو ۡس َع َه ۚا لَهَا مَا َك‬ ً ‫اَل يُ َكلِّفُ ٱهَّلل ُ نَ ۡف‬
‫ص ٗرا َك َما َح َم ۡلتَهۥُ َعلَى ٱلَّ ِذينَ ِمن قَ ۡبلِنَ ۚا َربَّنَا َواَل ت َُح ِّم ۡلنَا َما اَل طَاقَةَ لَنَا‬ ۡ ‫َأ ۡخطَ ۡأنَ ۚا َربَّنَا َواَل ت َۡح ِملۡ َعلَ ۡينَٓا ِإ‬
٢٨٦ َ‫ص ۡرنَا َعلَى ۡٱلقَ ۡو ِم ۡٱل ٰ َكفِ ِرين‬ ُ ‫ٱغفِ ۡر لَنَا َو ۡٱر َحمۡ نَ ۚٓا َأنتَ َم ۡولَ ٰىنَا فَٱن‬
ۡ ‫ٱعفُ َعنَّا َو‬ ۡ ‫بِ ِۖۦه َو‬

Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan


kesanggupannya. la mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan mendapat
siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): ‘Ya Rabb kami, janganlah
Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Rabb kami, janganlah
Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada
orang-orang yang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami
apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan
rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang
kafir.’” Firman-Nya (‫ )ويكل''ف هللا نفس''ا إال وس''عها‬maksudnya, Allah Ta’ala tidak akan
membebani seseorang di luar kemampuannya. Ini merupakan kelembutan, kasih sayang,
dan kebaikan-Nya terhadap makhluk-Nya. Dan ayat inilah yang menasakh apa yang
dirasakan berat oleh para sahabat Nabi, yaitu ayat yang artinya: “Dan jika kamu
menampakkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya
Allah akan membuat perhitungan denganmu tentang perbuatanmu itu.” Maksudnya,
meskipun Dia menghisab dan meminta pertanggung-jawaban, namun Dia (Allah) tidak
mengadzab melainkan disebabkan dosa yang seseorang memiliki kemampuan untuk
menolaknya. Adapun sesuatu yang seseorang tidak memiliki kemampuan untuk
menolaknya seperti godaan dan bisikan jiwa (hati), maka hal itu tidak dibebankan kepada
manusia. Dan kebencian terhadap godaan bisikan yang jelek/jahat merupakan bagian dari
iman. Firman-Nya (‫ )له'''ا م'''ا كس'''بت‬yaitu berupa kebaikan yang ia lakukan.
Firman-Nya (‫ )وعليه'''ا مااكتس'''ببت‬yaitu berupa keburukan yang ia perbuat. Hal itu
menyangkut amal perbuatan yang termasuk dalam taklif (yang harus dilakukan).
Firman-Nya (‫ )ربنا ال يؤاخذنا إن نسينا أو أخطأنا‬kemudian Allah Ta’ala berfirman, memberikan
bimbingan kepada hamba-hamba-Nya dalam memohon kepada-Nya. Dan Dia telah
menjamin akan memenuhi permohonan tersebut. Sebagaimana Dia telah membimbing
dan mengajarkan kepada mereka untuk mengucapkan doa ini. Yaitu, jika kami
meninggalkan suatu kewajiban atau mengerjakan perbuatan haram karena lupa, atau kami
melakukan suatu kesalahan karena tidak mengetahui hal yang benar menurut syariat.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, dalam hadis yang diriwayatkan Imam
Muslim, dari Abu Hurairah, Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “[Lalu] Allah
Ta’ala pun menjawabnya: ‘Ya.’” (Bahwa do’a tersebut langsung dijawab Allah dengan
jawaban: “Ya.”) Firman-Nya (‫ )ربنا وال تحمل علينا إصرا كما حملته على الذين من قبلنا‬maksudnya,
janganlah Engkau membebani kami dengan amal-amal yang berat meskipun kami
mampu menunaikannya, sebagaimana yang telah Engkau syariatkan kepada umat-umat
yang terdahulu sebelum kami, berupa belenggu-belenggu dan beban-beban yang
mengikat mereka. Engkau telah mengutus Nabi-Mu Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam, sebagai Nabi pembawa rahmat, untuk menghapuskannya melalui syariat yang
dibawanya, berupa agama yang lurus, yang mudah, lagi penuh kemurahan hati.
Firman-Nya (‫ )ربنا وال تحملنا ما ال طاقة لنا به‬yaitu, berupa kewajiban, berbagai macam
musibah dan ujian. Janganlah Engkau menguji kami dengan apa yang kami tidak mampu
menjalaninya.
Firman-Nya (‫ )واعف عنا‬yaitu atas kekhilafan dan kesalahan yang Engkau ketahui yang
pernah terjadi antara kami dengan-Mu.
Firman-Nya (‫ )واغف'ر لن'ا‬maksudnya, kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi di
antara kami dengan hamba-hamba-Mu. Maka janganlah Engkau memperlihatkan kepada
mereka keburukan-keburukan kami dan perbuatan jelek kami. Firman-Nya (‫)وارحمنا‬
yaitu, pada segala hal yang akan datang. Maka janganlah Engkau menjatuhkan kami ke
dalam dosa yang lain. Oleh karena itu para ulama berkata, “Sesungguhnya orang yang
berbuat dosa memerlukan tiga hal: Ampunan dari Allah Ta’ala atas dosa-dosa yang
pernah terjadi antara dirinya dengan-Nya, penutupan-Nya terhadap kesalahannya dari
hamba-hamba-Nya yang lain, sehingga Dia tidak mencemarkannya di tengah-tengah
mereka dan perlindungan dari-Nya sehingga ia tidak terjerumus ke dalam dosa yang
sama.” Firman Allah Ta’ala setelah itu (‫ )أنت موالنا‬maksudnya, Engkaulah pelindung dan
pembela kami. Kepada-Mu kami bertawakal. Engkaulah tempat memohon pertolongan,
dan kepada-Mu kami bersandar. Tidak ada daya dan kekuatan pada kami melainkan
karena pertolongan-Mu. Firman-Nya (‫ )فانص__رنا على الق__وم الك__افرين‬yaitu orang-orang yang
mengingkari agama-Mu, menolak keesaan-Mu dan risalah nabi-Mu, menyembah Ilah
selain diri-Mu, serta menyekutukan-Mu dengan hamba Mu. Maka tolonglah kami untuk
mengalahkan mereka, hingga pada akhirnya kami mendapatkan kemenangan atas mereka
di dunia dan di akhirat. Maka Allah pun menjawab: “Ya.”
3. Q.s Ali Iman 159

ُ‫ضوا ِمنْ َح ْولِكَ فَاعْف‬ ُّ َ‫ب ال ْنف‬ ِ ‫فَبِما َر ْح َم ٍة ِم َن هَّللا ِ لِ ْنتَ لَ ُه ْم َولَ ْو ُك ْنتَ فَظًّا َغلِيظَ ا ْلقَ ْل‬
‫ستَ ْغفِ ْر لَ ُه ْم َوشا ِو ْر ُه ْم فِي اَأْل ْم ِر فَِإذا َع َز ْمتَ فَت ََو َّك ْل َعلَى هَّللا ِ ِإنَّ هَّللا َ يُ ِح ُّب‬ ْ ‫َع ْن ُه ْم َوا‬
َ ِ‫ا ْل ُمت ََو ِّكل‬
)159( ‫ين‬
Artinya:
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Menurut Ibnu Kaisan, Maa  adalah Maa  Nakirah yang berada pada posisi majrur
dengan sebab ba’, sedangkan Rahmatin adalah badalnya. Maka makna ayat adalah ketika
Rasulullah SAW bersikap lemah-lembut dengan orang yang berpaling pada perang uhud
dan tidak bersikap kasar terhadap mereka maka Allah SWT menjelaskan bahwa beliau
dapat melakukan itu dengan sebab taufik-Nya kepada beliau.
Prof Hamka Menjelaskan tentang QS. Ali Imran ini, dalam ayat ini bertemulah
pujian yang tinggi dari Allah terhadap Rasul-Nya, karena sikapnya yang lemah lembut,
tidak lekas marah kepada ummatNya yang tengah dituntun dan dididiknya iman mereka
lebih sempurna. Sudah demikian kesalah beberapa orang yang meninggalkan tugasnya,
karena laba akan harta itu, namun Rasulullah tidaklah terus marah-marah saja. Melainkan
dengan jiwa besar mereka dipimpin. Dalam ayat ini Allah menegaskan, sebagai pujian
kepada Rasul, bahwasanya sikap yang lemah lembut itu, ialah karena ke dalam dirinya
telah dimasukkan oleh Allah rahmatNya. Rasa rahmat, belas kasihan, cinta kasih itu telah
ditanamkan Allah ke dalam diri beliau, sehingga rahmat itu pulalah yang mempengaruhi
sikap beliau dalam memimpin
Meskipun dalam keadaan genting, seperti terjadinya pelanggaran – pelanggaran
yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dalam perang uhud sehingga menyebabkan
kaum muslimin menderita, tetapi Rasulullah tetap bersikap lemah lembut dan tidak marah
terhadap pelanggar itu, bahkan memaafkannya, dan memohonkan ampunan dari Allah
untuk mereka. Andaikata Nabi Muhammad saw bersikap keras, berhati kasar tentulah
mereka akan menjauhkan diri dari beliau.
Disamping itu Nabi Muhammad selalu bermusyawarah dengan mereka dalam
segala hal, apalagi dalam urusan peperangan. Oleh karena itu kaum muslimin patuh
melaksanakan putusan – putusan musyawarah itu karena keputusan itu merupakan
keputusan mereka sendiri bersama Nabi. Mereka tetap berjuang dan berjihad dijalan Allah
dengan tekad ayng bulat tanpa menghiraukan bahaya dan kesulitan yang mereka hadapi.
Mereka bertawakal sepenuhnya kepada Allah, karena tidak ada yang dapat membela kaum
muslimin selain Allah.
M. Quraish Shihab di dalam Tafsirnya al-Misbah menyatakan bahwa ayat ini
diberikan Allah kepada Nabi Muhammad untuk menuntun dan membimbingnya, sambil
menyebutkan sikap lemah lembut Nbi kepada kaum muslimin, khususnya mereka yang
telah melakukan pelanggaran dan kesalahan dalam perang uhud itu. Sebenarnya cukup
banyak hal dalam peristiwa Perang Uhud yang dapat mengandung emosi manusia untuk
marah, namun demikian, cukuo banyak pula bukti yang menunjukan kelemah lembutan
Nabi saw. Beliau bermusyawarah dengan mereka sebelum memutuskan perang, beliau
menerima usukan mayoritas mereka, walau beliau kurang berkenan, beliau tidak memaki
dam mempersalahkan para pemanah yang meninggalkan markas mereka, tetapi hanya
menegurnya dengan halus, dan lain lain.
Jika demikian, maka disebabkan rahmat yang amat besar dari Allah, sebagaimana
dipahami dari bentuk infinitif (nakirah) dari kata rahmat, bukan oleh satu sebab yang lain
sebagaiman dipahami dari huruf (‫ )ما‬ maa yang digunakan disini dalam kontek penetapan
rahmat-Nya – disebabkan karena rahmat Allah itu – engkau berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya engkau berlaku keras, buruk perangai, kasar kata lagi berhati kasar tidak
peka terhadap keadaan orang lain, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu,
disebabkan oleh antipati terhadapmu. Karena perangimu tidak seperti itu maka maafkanlah
kesalahan – kesalahan mereka yang kali ini mereka lakukan, mohonkanlah ampunan
kepada Allah bagi mereka atas dosa-dosa yang mereka lakukan dan bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu, yakni dalam urusan peperangan daln urusan dunia, bukan
urusan syari’at atau agama. Kemudian apabila engkau telah melakukan hal-hal di atas dan
telah membulatkan tekad, melaksanakan hasil musyawarah kamu, maka laksanakanlah
sambil bertawakal kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakal kepada-Nya, dengan demikian Dia akan membantu dan membimbing mereka
kearah apa yang mereka harapkan.
Firman-Nya: maka disebabkan rahmat yang amat besar dari Allah, engkau berlaku
lemah lembut terhadap mereka dapat menjadi salah satu bukti bahwa Allah sendiri yang
mendidik dan membentuk kepribadian Nabi Muhammad saw, sebagaimana sabda Beliau :
“Aku didik oleh tuhan-Ku, maka sungguh baik hasil pendidikan-Nya”. Kepribadian beliau
dibentuk sehingga bukan hanya pengetahuan yang Allah limpahkan kepada beliau melalui
wahyu-wahyu al-Qur’an, tetapi juga qalbu beliau disinari, bahkan totalitas wujud beliau
merupakan rahmat bagi seluruh alam.
4. Q.s AlHujurat: 11

َ ِ‫َسى اَ ۡن يَّ ُك ۡونُ ۡوا َخ ۡي ًرا ِّم ۡن ُهمۡ َواَل ن‬


َ ِّ‫سٓا ٌء ِّم ۡن ن‬
‫سٓا ٍء‬ ٓ ٰ ‫ٰۤياَيُّ َها الَّ ِذ ۡينَ ٰا َمنُ ۡوا اَل يَ ۡس َخ ۡر قَ ۡو ٌم ِّم ۡن قَ ۡو ٍم ع‬
‫ق‬ُ ‫س ۡو‬ُ ُ‫س ااِل ۡس ُم ۡالف‬
َ ‫ب بِ ۡئ‬ ‌ِؕ ‫س ُكمۡ َواَل تَنَابَ ُز ۡوا بِااۡل َ ۡلقَا‬َ ُ‫َسى اَ ۡن يَّ ُكنَّ َخ ۡي ًرا ِّم ۡن ُه ۚنَّ‌ َواَل ت َۡل ِم ُز ۡۤوا اَ ۡنف‬ ٰٓ ‫ع‬
ٰ
َ‫ولٓ ِٕٮكَ ُه ُم الظّلِ ُم ۡون‬ ٰ ُ ‫ن ۚ َو َم ۡن لَّمۡ يَت ُۡب فَا‬ ‌ِ ‫بَ ۡع َد ااۡل ِ ۡي َما‬
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-
olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari
mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-
olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih
baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama
lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk
panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak
bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim."
“wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan daripada prasangka.”
(pangkal ayat 12). Prasangka ialah tuduhan yang bukan-bukan persangkaan yang tidak
beralasan, hanya semata-mata tuhmat yang tidak pada tempatnya saja; “karena
sesungguhnya sebagian daripada prasangka itu adalah dosa.” Prasangka adalah dosa,
karena dia adalah tuduhan yang tidak beralasan dan bisa saja memutuskan silaturahmi di
antaradua orang yang terbaik.
“Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.” Mengorek-ngorek
kalau-kalau ada si anu dan si fulan bersalah, untuk menjatuhkan maruah si fulandi muka
umum. “Dan janganlah kamu sebagian kamu menggunjing sebagian lain.” Menggunjing
adalah membicarakan aib dan keburukan seseorang sedang dia tidak hadir, sedang dia
berada di tempat lain. Ini adalah perbuatan hina dan pengecut! Dalam lanjutan ayat
dikatakan; “Apakah suka seseorang di antara kamu memakan saudaranya yang sudah
mati?” Artinya, bahwasannya membicarakan keburukan seseorang yang tidak hadir,
samalah artinya memakan daging manusia yang sudah mati,tegasnya makan bangkai
yang busuk. Begitulah hinanya! Kalau engkau seorang manusia yang bertanggungjawab,
mengapa engkau tidak mau mengatakan di hadapan orang itu terang-terang apa
kesalahannya, supaya diubahnya kepada yang baik? “Maka jijiklah kamu kamu
kepadanya.” Memakan bangkai temanmu yang telah mati sudah pasti engkau jijik. Maka
membicarakan aib celanya sedang saudara itu tidak ada samalah artinya dengan
memakan bangkainya. Kalau ada sececah iman dalam hatimu tentu engkau percaya apa
yang disabdakan Tuhan.
“Dan bertakwalah kepada Allah: sesungguhnya Allah adalah penerima taubat lagi
Maha Penyayang.” (ujung ayat 12). Artinya, jika selama ini perangai yang buruk ini ada
pada dirimu, mulai sekarang segeralah hentikan dan bertaubatlah daripada kesalahan
yang hina itu disertai dengan penyelasan dan bertaubat. Allah senantiasa membuka pintu
kasih sayang-Nya, membuka pintu selebar-lebarnya menerima kedatangan para hamba-
Nya yang ingin menukar perbuatan yang salah dengan perbuatan yang baik, kelakuan
yang durjana hina dengan kelakuan yang terpuji sebagai manusia yang budiman.
DAFTAR PUSTAKA

Hamka, 1982, Tafsir Al- Azhar, Jakarta: PT. Pustaka Panjimas.


M. Quraish Shihab, 2012, Al-lubab: makna, tujuan dan pelajaran dari surah-surah Al-Qur’an,,
Tangerang: Lentera Hati.
Abdullah, M. 2007. Tafsir Ibnu Katsir jilid 1. 3.dan 6 Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i.

You might also like