You are on page 1of 14

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/296148422

Konflik Agraria dan Pelepasan Tanah Ulayat (Studi Kasus pada Masyarakat
Suku Melayu di Kesatuan Pemangkuan Hutan Dharmasraya, Sumatera Barat)

Article  in  Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan · December 2015


DOI: 10.20886/jpsek.2015.12.3.213-225

CITATIONS READS

17 2,656

4 authors:

Abdul Mutolib Yonariza YONARIZA


Siliwangi University Universitas Andalas
69 PUBLICATIONS   305 CITATIONS    61 PUBLICATIONS   180 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Mahdi Mahdi Hanung Ismono


Universitas Andalas Lampung University
39 PUBLICATIONS   154 CITATIONS    48 PUBLICATIONS   124 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

PDMSU Kemenristek Dikti, Jakarta View project

Ecosystem service in Sumatra View project

All content following this page was uploaded by Abdul Mutolib on 28 February 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


KONFLIK AGRARIA DAN PELEPASAN TANAH ULAYAT
(STUDI KASUS PADA MASYARAKAT SUKU MELAYU DI KESATUAN
PEMANGKUAN HUTAN DHARMASRAYA, SUMATERA BARAT)
(Agrarian Conflict and Communal Land Release: A Case Study of Melayu Tribe in
Forest Management Unit Dharmasraya, West Sumatra)
1 2 2 3
Abdul Mutolib , Yonariza , Mahdi , Hanung Ismono
1
Program Studi Ilmu-Ilmu Pertanian, Pascasarjana Universitas Andalas
Jl. Limau Manis, Kecamatan Pauh, Padang, Sumatera Barat 25163, Indonesia
e-mail: amutolib24@yahoo.com
2
Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas
Jl. Limau Manis, Kecamatan Pauh, Padang, Sumatera Barat 25163, Indonesia
3
Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung
Jl. Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung, 35145, Indonesia
Diterima 6 Mei 2015, direvisi 28 Oktober 2015, disetujui 2 November 2015

ABSTRACT
The conflict of forest management in Indonesia is increasing. Forest management conflicts often caused by legal pluralism between
government and society. This study aims to describe the land conflicts between Melayu tribe community with government and communal
land release process in Melayu tribe in Dharmasraya Production Forest Management Unit (PFMU). Research method was using
descriptive qualitative. The study was conducted in PFMU in Nagari Bonjol, Koto Besar Dharmasraya Regency. The results showed
that 1) Agrarian conflict in PFMU Dharmasraya between community and the government occured due to the recognition of legal
pluralism in the forest, and 2) Communal land release occured through the process of buying and selling which are controlled by Datuak
customary authorities. Evidence of trading activities are controlled by the issuance of "alas hak" as a sign that the communal land has
been sold. The increase of trading activities of communal land were due to low prices of communal land and the high public interest to
plant in communal land owned by Melayu tribe. Some strategies are required to maintain the function of forests in PFMU that has been
acquired by local community without neglecting local communities who depend on forests.
Keywords: Agrarian conflicts, legal pluralism, alas hak, communal land, PFMU

ABSTRAK
Konflik pengelolaan hutan di Indonesia semakin meningkat jumlahnya. Konflik pengelolaan hutan seringkali
disebabkan karena adanya pluralisme hukum antara pemerintah dan masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah
mendeskripsikan konflik lahan yang terjadi antara masyarakat adat Suku Melayu dengan pemerintah dan proses
terjadinya pelepasan tanah ulayat Suku Melayu di Kesatuan Pemangku Hutan Produksi (KPHP) Model
Dharmasraya. Desain penelitiannya adalah deskriptif kualitatif dengan lokasi penelitian di KPHP yang berada di
Nagari Bonjol, Kecamatan Koto Besar, Kabupaten Dharmasraya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Konflik
agraria yang terjadi di KPHP antara masyarakat adat dengan pemerintah dikarenakan adanya legal pluralism dalam
pengakuan hutan, dan 2) Proses pelepasan tanah ulayat terjadi melalui transaksi jual beli yang dikendalikan oleh
Datuak penguasa ulayat. Bukti kegiatan jual beli adalah dikeluarkannya “alas hak” sebagai bukti bahwa tanah ulayat
telah dijual. Maraknya kegiatan jual beli tanah ulayat disebabkan harga tanah ulayat yang rendah dan tingginya minat
masyarakat berkebun di tanah ulayat Suku Melayu. Diperlukan strategi yang tepat untuk mempertahankan fungsi
kawasan hutan di wilayah KPHP tanpa mengabaikan keberadaan masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya
dari hutan.
Kata kunci: Konflik agraria, pluralisme hukum, alas hak, tanah ulayat, KPHP

213
Konflik Agraria dan Pelepasan Tanah Ulayat ..... (Abdul Mutolib, Yonariza, Mahdi, Hanung Ismono)
I. PENDAHULUAN al., 2015). Dalam hal ini, negara tidak mengakui
keberadaan hukum adat sehingga keberadaan
Di era reformasi konflik agraria di Indonesia hukum adat dalam posisi yang lemah (Griffiths,
semakin meningkat jumlahnya (Astuti, 2011). 1986).
Menurut Badan Pertanahan Nasional, pada tahun Konflik agraria di KPHP terjadi sejak awal
2011 telah terdaftar sekitar 3.500 konflik lahan yang tahun 2000. Konflik terjadi di areal hutan seluas
didominasi sengketa masyarakat dengan perusahaan 33.550 ha bekas HPH Ragusa yang dijadikan HTI
kelapa sawit (Colchester dan Chao, 2011). Secara milik PT. Inhutani dan PT. Dhara Silva (PT. DS)
umum konflik agraria di Indonesia terjadi antara (Dinas Kehutanan Kabupaten Dharmasraya,
masyarakat dengan perusahaan pemegang izin lahan 2014). Konflik yang terjadi merupakan konflik
(Astuti, 2011). Konflik agraria terjadi karena perebutan lahan perusahaan oleh masyarakat
terjadinya tumpang tindih penggunaan lahan antara (Mutolib et al., 2015). Hingga saat ini, lahan
masyarakat dan pemerintah/perusahaan (Mantiri, Inhutani dan DS yang kini menjadi KPHP sebagian
2007). besar telah dikuasai oleh masyarakat lokal dan
Di beberapa lokasi, tumpang tindih penguasaan diubah menjadi perkebunan karet dan kelapa sawit
tanah di Indonesia terjadi karena adanya legal (Yonariza, 2015). Setelah berhasil merebut hutan,
pluralism (Larson, 2012 ). Legal pruralism merupakan terjadi transaksi tanah di areal konflik yakni
situasi di mana dua atau lebih sistem hukum kegiatan pelepasan atau jual beli tanah ulayat ke
berinteraksi dalam satu kehidupan sosial masyarakat luar Suku Melayu (Mutolib et al., 2015).
(Hooker,1975). Karena adanya dua hukum yang Pelepasan tanah ulayat Suku Melayu terjadi dalam
berbeda masyarakat dan pemerintah terjadi saling skala masif dan terus menerus (Mutolib et al.,2015).
klaim hak atas tanah/hutan. Masing-masing pihak Akibat kegiatan jual beli tanah tanah ulayat,
hanya mengakui keberadaan satu hukum demi masyarakat Suku Melayu terancam kehilangan
kepentingannya (von Benda-Beckmann, 1981). tanah ulayatnya.
Di Indonesia hukum negara dianggap memiliki Berdasarkan uraian tersebut dan latar belakang
posisi yang lebih tinggi dalam pengelolaan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya,
sumberdaya alam dibandingkan hukum adat maka pokok masalah dalam penelitian ini adalah
(Larson, 2012). Seringkali negara mengambil konflik agraria dan pelepasan tanah ulayat yang
kebijakan sepihak dalam pengelolaan sumber daya dituangkan ke dalam bentuk pertanyaan penelitian,
alam tanpa melibatkan masyarakat lokal yang sebagai berikut:
menggantungkan hidup pada sumber daya alam 1. Bagaimana asal mula konflik lahan yang terjadi
tersebut. Pada saat ini terjadi 'dualisme yang mandul' antara masyarakat lokal dan negara/pemegang
(Onibon et al., 1999) yaitu negara memberlakukan izin di areal KPHP Model Dharmasraya?
peraturan perundang-undangan yang dipastikan 2. Bagaimana proses pelepasan tanah ulayat Suku
tidak dapat dijalankan dan tidak selaras dengan Melayu di areal KPHP Model Dharmasraya?
penerapan lokal, akibatnya aturan tersebut pasti
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk
diabaikan namun tindakan penduduk setempat
memberikan deskripsi tentang konflik lahan yang
dipidanakan (Benjamin, 2008).
terjadi antara masyarakat adat Suku Melayu dengan
Kasus tumpang tindih kepemilikan hutan akibat
pemerintah/pemegang izin, serta proses pelepasan
pluralisme hukum terjadi di Kesatuan Pengelolaan
tanah ulayat Suku Melayu kepada masyarakat non
Hutan Produksi (KPHP) Model Dharmasraya
Suku Melayu atau masyarakat luar Kabupaten
Provinsi Sumatera Barat. Secara hukum negara,
Dharmasraya. Hasil penelitian ini diharapkan
wilayah tersebut merupakan Hutan Tanaman
menjadi bahan pertimbangan bagi pengelola untuk
Industri (HTI) yang izinnya diberikan kepada pihak
meningkatkan intensitas pengelolaan dan
ketiga. Tetapi secara hukum adat tanah tersebut
monitoring di KPHP untuk memcegah
merupakan tanah ulayat Suku Melayu yang telah
pembukaan hutan secara terus-menerus yang pada
ditempati sejak ratusan tahun. Akibatnya terjadilah
akhirnya menyebabkan deforestasi dan alih fungsi
konflik agraria dikawasan KPHP antara masyarakat
hutan.
dan negara/perusahaan pemegang izin (Mutolib et

214
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 213-225
II. METODE PENELITIAN (key instrument) yang terjun langsung ke lapangan
untuk melakukan pengumpulan data secara
A. Lokasi dan Waktu Penelitian mendalam. Hal ini sesuai dengan pendapat Bogdan
dan Biklen (1992) bahwa: “Qualitative research has the
Penelitian dilaksanakan di Nagari Bonjol
natural setting as the source of data and researcher is key
Kecamatan Koto Besar Kabupaten Dharmasraya.
instrument”.
Lokasi dipilih secara sengaja, karena secara hukum
adat, areal KPHP Dharmasraya merupakan tanah
C. Rancangan Penelitian dan Analisis Data
ulayat Suku Melayu Nagari Bonjol yang telah
ditempati sejak ratusan tahun yang lalu. Lama Penelitian ini menggunakan pendekatan
waktu penelitian selama dua bulan, mulai bulan kualitatif. Strauss dan Corbin (2013) mendefinisi-
Februari hingga Maret 2015. kan penelitian kualitatif sebagai metode penelitian
yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui
B. Pengumpulan Data dan Pengambilan prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya.
Sampel Afrizal (2015) menjelaskan bahwa penelitian
kualitatif merupakan penelitian yang sumber
Metode penelitian menggunakan metode studi
datanya berupa kata-kata dan perbuatan manusia
kasus dengan berbagai teknik pengumpulan data
atau kelompok yang menggunakan metode
seperti observasi, penelusuran sejarah, wawancara
observasi, wawancara mendalam dan pengumpul-
key informant, dan dilengkapi dengan survei rumah
an dokumen. Penelitian kualitatif bertujuan untuk
tangga (Faisal, 1990).
membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara
Survei rumah tangga dilakukan untuk menge-
sistematik, faktual dan akurat mengenai fakta-
tahui karakteristik masyarakat, penguasaan lahan,
fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena
persepsi terhadap legal pluralism, dan pengelolaan
yang diamati (Moleong, 1996).
hutan oleh pemerintah/pemegang izin. Sampel
Analisis data menggunakan analisis kualitatif
rumah tangga sebanyak 41 dari 512 rumah tangga
(Bungin, 2010). Secara operasional analisis data
petani menggunakan rumus Slovin (1988) dalam
penelitian kualitatif adalah proses menyusun data
Djari (2009). Pengambilan sampel rumah tangga
(menggolongkannya dalam tema atau kategori)
menggunakan metode sampling accidential (Sugiyono,
agar dapat ditafsirkan atau diinterpretasikan.
2013). Metode sampling accidential sengaja dipilih
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan
karena sulitnya menemui masyarakat, masyarakat
sejak sebelum memasuki lapangan, selama di
hanya berada di rumah antara sore hingga malam,
lapangan dan setelah selesai di lapangan (Sugiyono,
sisanya dihabiskan di kebun. Bahkan beberapa
2013; Afrizal, 2015). Pada prinsipnya analisis ini
petani bermalam dikebun hingga berminggu-
dilakukan setiap saat selama penelitian ber-
minggu lamanya.
langsung. Kegiatan pengumpulan dan analisis data
Key informant melibatkan 17 orang terdiri dari
dalam penelitian ini tidak terpisah satu sama lain.
tokoh adat (Ninik mamak dan Datuak penguasa
Keduanya berlangsung secara simultan dan
ulayat), perangkat nagari, ketua lembaga
prosesnya berbentuk siklus (Creswell, 1994). Oleh
masyarakat, pemegang izin hutan, dan perwakilan
karena itu, penelitian ini menggunakan analisis data
dinas terkait. Penentuan key informant menggunakan
model interaktif melalui tiga alur kegiatan, yaitu: 1)
metode snowball sampling (Sugiyono, 2013).
reduksi data, 2) display data, dan 3) penarikan
Pe ngumpulan d ata d ilakukan deng an
kesimpulan/verifikasi (Miles dan Huberman,
mengutamakan pandangan informan dan peneliti
1992), seperti pada Gambar 1.
sendiri memerankan diri sebagai instrumen utama

215
Konflik Agraria dan Pelepasan Tanah Ulayat ..... (Abdul Mutolib, Yonariza, Mahdi, Hanung Ismono)
Pengumpulan
Penyajian
data
data

Reduksi
Penarikan
kesimpulan
dan

Sumber (Source): Miles dan Huberman (1992)

Gambar 1. Analisis data dan model interaktif.


Figure 1. Data analysis and interactive model.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN kelapa sawit, dan sebagian wilayahnya berada di
KPHP.
A. Gambaran Umum Lokasi penelitian Nagari Bonjol merupakan Nagari yang masih
menjunjung tinggi adat istiadat dalam kehidupan
Lokasi penelitian berada di KPHP Dharmasraya ber masyarakat. Hampir semua aktivitas
yang berada di Kabupaten Dhamasraya Provinsi masyarakat diatur oleh adat. Untuk mengatur
Sumatera Barat. KPHP memiliki luas wilayah kehidupan masyarakat maka dibentuklah “Ninik
sekitar 33.550 ha (Dinas Kehutanan Kabupaten Mamak” di Nagari Bonjol. Ninik Mamak/Datuk
Dharmasraya, 2014). Secara hukum adat wilayah adalah seorang pemimpin informal/pemuka adat
KPHP berada di tanah ulayat Suku Melayu Nagari di Minangkabau yang memilikiperanan yang cukup
Bonjol. besar di bidang ekonomi, pendidikan dan sosial
Nagari Bonjol secara administrasi masuk ke- budaya, baik dilingkungan persukuannya selaku
dalam wilayah Kecamatan Koto Besar, Kabupaten kepala suku maupun dilingkungan nagarinya yang
Dharmasraya Provinsi Sumatera Barat. Nagari diwadahi didalam lembaga KerapatanAdat Nagari
Bonjol merupakan nagari terluas di Kecamatan (KAN) (Indrawardi, 2008).
Koto Besar dibandingkan enam Nagari lainnya. Di Nagari Bonjol terdiri dari lima suku. Suku-
Luas Nagari Bonjol adalah 268,83 km² atau 55,07% suku di Nagari Bonjol dipimpin oleh seorang
dari total luas Kecamatan Koto besar 488,19 km2 Datuak yang merangkap juga sebagai Ninik
(Badan Pusat Statistik Dharmasraya, 2014). Mamak yang di Nagari Bonjol. Daftar nama
Sebagian besar masyarakat Bonjol bekerja sebagai Datuak masing-masing suku di Nagari Bonjol
petani dengan komoditas utama tanaman karet dan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nama Datuak perwakilan suku di Nagari Bonjol


Table 1. Datuak tribal representatives in Nagari Bonjol
No Nama Gelar/Datuak
Nama Suku (Tribe Name)
(Datuak name)
1 Piliang Datuak Panghulu Kayo
2 Patopang Datuak Sangkutan
3 Melayu Datuak Panduko Sutan
4 Chaniago Datuak Panghulu Rajo
5 Talao Datuak Bandaro Putiah
Sumber (Source) : Profil Nagari Bonjol 2014 (Nagari Bonjol Profile 2014)

216
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 213-225
Meskipun hanya sebuah Nagari/Desa, izin Inhutani dan DS(Dinas Kehutanan
masyarakat Bonjol secara adat memiliki tanah ulayat Kabupaten Dharmasraya, 2014).
yang sangat luas. Tanah ulayat adalah tanah yang Ditilik dari sejarahnya, kawasan KPHP telah
secara hak de facto merupakan pola interaksi yang mengalami beberapa kali perubahan. Pada tahun
ditetapkan di luar lingkup hukum formal. Ini 1972 kawasan hutan ini adalah sebuah Hak
mencakup hak ulayat, seperangkat aturan dan Pengusahaan Hutan (HPH) yang diberikan kepada
peraturan masyarakat yang diwarisi dari nenek PT. Ragusa seluas ± 66.000 ha. Setelah berakhirnya
moyang dan diterima, ditafsirkan ulang, dan HPH pada tahun 2002, sebagian area HPH
ditegakkan oleh masyarakat, dan yang mungkin menjadi hutan produksi yang dapat dikonversi dan
diakui atau tidak oleh negara (Larson, 2012). Tanah telah diberikan HGUnya kepada tiga perusahaan
ulayat di Nagari Bonjol mayoritas dimiliki oleh Suku perkebunan kelapa sawit, yakni PT. Incasi Raya, PT.
Melayu. Suku lainnya memiliki tanah ulayat tetapi SMP dan PT. AWB dengan luas 32.450 ha. Sisa
jumlahnya sedikit. HPH PT. Ragusa seluas 33.550 ha kemudian
Tanah ulayat yang dikuasai Suku Melayu Bonjol d i b e r ik a n ke pa da t i g a pe m e g a ng i z in
tidak diketahui secara pasti luasnya. Hasil pemanfaaatan, yakni PT. Inhutani, Dara Silva, dan
wawancara mendalam memperoleh informasi Bukit Raya Mudisa (BRM) sebagai Hutan Tanaman
bahwa tanah ulayat yang diklaim Suku Melayu Industri. Pada tahun 2013 HTI yang dikuasai DS,
meliputi seluruh areal KPHP seluas 33.550 ha. Inhutani, dan BRM ditetapkan sebagai KPHP
Dulunya tanah ulayat Suku Melayu meliputi seluruh Mod el Dhar masraya (Dinas Kehutanan
eks HPH Ragusa seluas 66.000 ha yang saat ini telah Kabupaten Dharmasraya, 2014).
menjadi KPHP (Inhutani dan DS) ditambah Hak
Guna Usaha (HGU) PT. Sumatera Makmur 2. Pluralisme Hukum Kepemilikan Hutan
Platation (SMP), PT. Andalas Wahana Berjaya Pluralisme hukum atau legal prularalism merupa-
(AWB), dan PT. Incasi Raya. kan situasi di mana dua atau lebih sistem hukum
berinteraksi dalam satu kehidupan sosial (Hooker,
B. Konflik Masyarakat Adat dengan Penguasa 1975). Berlakunya dua hukum atau lebih disuatu
Lahan wilayah seringkali menimbulkan konflik. Konflik
1. Sejarah KPHP Model Dharmasraya yang terjadi karena masing-masing pihak berusaha
mencari pembenaran dari hukum yang diakui demi
Unit VIII KPHP Model Dhamasraya berada
kepentingannya.
pada wilayah Kabupaten Dhamasraya Provinsi
Pluralisme hukum juga terjadi di wilayah KPHP
Sumatera Barat.Secara geografis KPHP terletak
Model Dharmasraya. Meskipun secara hukum
pada koordinat 01003'30” LS-01022'00”LS dan
negara wilayah KPHP merupakan tanah yang
101024'30” BT-101038'00”BT. Secara administrasi
dikuasai oleh negara, tetapi tidak berarti
KPHP terletak pada dua kecamatan, yaitu
masyarakat lokal mengakui keberadaan hukum
Kecamatan Pulau Punjung dan Kecamatan Koto
negara tentang pengaturan KPHP. Legal pluralism
Besar. Luas KPHP Dharmasraya adalah 33.550 ha
kepemilikan hutan karena perbedaan penggunaaan
terdiri dari Hutan Produksi Tetap dan Hutan
hukum kepemilikan hutan. Pemerintah meng-
Produksi Terbatas (Dinas Kehutanan Kabupaten
gunakan hukum negara dengan menetapkan
Dharmasraya, 2014).
KPHP sebagai hutan negara, tetapi masyarakat
Wilayah Unit VIII KPHP Model Dhamasraya
menggunakan hukum adat yang diturunkan secara
pembentukannya berdasarkan usul Bupati
turun-temurun dengan batas alam seperti gunung,
Dhamasraya sesuai surat Nomor. 130/684/BPT/
sungai bukit dan lainnya (Kadir et al., 2013).
VIII-2013 tanggal 2 Agustus 2013 dan ditetapkan
Perbedaan penggunaaan hukum antara masyarakat
berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan
dengan pemerintah yang kemudian menyebabkan
Republik Indonesia No. SK.695/Menhut-II/2013
konflik kehutanan.
tanggal 21 Oktober 2013 tentang KPHP Model
Masyarakat adat Suku Melayu di Nagari Bonjol
Dhamasraya (Unit VIII) yang terletak di Kecamatan
hanya mengakui keberadaan hukum adat dalam
Koto Besar, Kabupaten Dhamasraya, Provinsi
penguasaan hutan, dan tidak mengakui keberadaan
Sumatera Barat dengan luas 33.550 Ha. Secara
hukum negara dalam pengaturan KPHP, sehingga
wilayah KPHP Model Dhamasraya terletak dibekas
masyarakat berhak mengambil dan menguasai

217
Konflik Agraria dan Pelepasan Tanah Ulayat ..... (Abdul Mutolib, Yonariza, Mahdi, Hanung Ismono)
hutan. Masyarakat adat bahkan menganggap negara dan Inhutani yang harusnya dijadikan hutan
tidak lebih berhak terhadap hutan, karena sekunder. Alasan masyarakat mengambil alih hutan
masyarakat adat telah tinggal di sekitar hutan sejak adalah karena kedua perusahaan ini masuk
belum berdirinya negara ini, sehingga ketika negara mengambil alih lahan tanpa persetujuan penguasa
mengambil hutan/tanah ulayat hal tersebut ulayat dan Ninik Mamak Suku Melayu, sehingga
menimbulkan kemarahan di kalangan masyarakat secara adat kedua perusahaan tersebut tidak
adat di Nagari Bonjol. mempunyai hak untuk menguasai tanah. Berbeda
Adanya legal pluralism pengakuan hutan di areal dengan DS dan Inhutani, ketiga perusahaan HGU
KPHP antara negara dan masyarakat adat kelapa sawit (PT. SMP, AWB dan Incasi Raya) telah
merupakan pemicu konflik agraria yang terjadi meminta izin kepada penguasa ulayat dan Ninik
diwilayah ini, dan saat ini ketegangan antara Mamak untuk mengelola tanah ulayat sehingga
masyarakat lokal dan negara masih terus terjadi masyarakat tidak merebutnya.
dalam upaya mempertahankan penguasaan atas Hasil wawancara diperoleh informasi bahwa
tanah. Hingga saat ini, sebagian besar areal KPHP syarat memperoleh izin mengambil hutan adalah
telah dikuasai oleh masyarakat lokal dan diubah melalui perjanjian antara perusahaan dengan pihak
menjadi perkebunan karet dan kelapa sawit. adat dengan pemberian sejumlah uang dari pihak
perusahaan kepada pihak adat. Sayangnya, tidak
3. Perebutan Lahan oleh Masyarakat
semua masyarakat memperoleh keuntungan dari
Sejak ratusan tahun lalu, bekas HPH PT. Ragusa proses ini. Hanya orang tertentu yang memperoleh
yang luasnya sekitar 66.000 ha secara adat keuntungan dari proses pemberian izin, terutama
merupakan tanah ulayat Suku Melayu di Nagari yang memiliki kedekatan dengan penguasa adat.
Bonjol. Akan tetapi masyarakat belum mengelola Alasan lain terjadinya perebutan hutan oleh
tanah ulayat ini karena jumlah penduduk yang masih masyarakat adalah terjadi kekosongan pengelolaan
sedikit dan kebutuhan tanah yang belum mendesak. hutan oleh DS dan Inhutani sehingga masyarakat
Bahkan ketika PT. Ragusa masuk dan menguasai masuk dan mengambil alih hutan. Beberapa kasus
tanah Ulayat di Tahun 1972 belum ada perlawanan konflik kehutanan di Indonesia terjadi akibat
berarti dari masyarakat untuk merebut tanah ulayat kekosongan pengelolaan hutan oleh pemegang izin
yang dikuasai PT. Ragusa. (Harun dan Dwiprabowo, 2014).
Perebutan lahan oleh masyarakat adat terjadi Proses pengambil alihan lahan perusahaan oleh
sekitar awal tahun 2000an, ketika izin HPH PT. masyarakat diawali dengan penebangan pohon
Ragusa telah habis dan diberikan kepada beberapa jabon (Anthocephalus cadamba) milik DS dan meranti
perusahaan perkebunan kelapa sawit (AWB, SMP, (Shorea leprosula) milik Inhutani. Setelah
dan Incasi Raya) dan perusahaan HTI (DS dan penebangan jabon (Anthocephalus cadamba) dan
Inhutani), barulah masyarakat melakukan meranti (Shorea leprosula), kemudian masyarakat
perlawanan untuk merebut tanah ulayat. Perebutan membuka hutan dan menanaminya dengan
tanah ulayat oleh masyarakat terjadi karena jumlah tanaman karet dan kelapa sawit. Setelah
penduduk masyarakat Bonjol yang semakin masyarakat menanami lahan dengan karet dan
meningkat dan kebutuhan masyarakat terhadap kelapa sawit, berarti lahan tersebut telah menjadi
lahan yang semakin tinggi, oleh karena itulah milik masyarakat dan apabila perusahaan ingin
masyarakat beramai-ramai mengambil lahan ulayat mengambil lahan yang telah ditanami masyarakat,
yang dikuasai perusahaan. Menurut Hakim dan pihak perusahaan harus membayar sejumlah uang
Sylviani (2014) hutan sebagai sumber pekerjaan dan kepada masyarakat sebagai syarat mengambil
pendapatan menjadi salah satu penyebab konflik di lahan. Apabila perusahaan tidak bersedia
areal hutan. membayar berarti perusahaan harus merelakan
Dibeberapa wilayah konflik seringkali terjadi tanah tersebut menjadi hak milik masyarakat.
karena masyarakat bermukim dihutan yang
statusnya belum di enclave (Harun dan Dwiprabowo, 4. Alih Fungsi Hutan menjadi Perkebunan
2014), tetapi di KPHP Dharmasraya berbeda, yang Hutan produksi di KPHP seluas 33.500 ha
terjadi masyarakat mengambil dan merebut hutan secara bertahap telah menjadi perkebunan kelapa
yang dikuasai pemegang izin. Tanah yang diambil sawit dan karet. Perubahan hutan menjadi kebun
merupakan hutan negara yang izinnya dikuasai DS kelapa sawit dan karet terjadi sejak tahun awal

218
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 213-225
Sumber (Source): Yonariza (2015)

Gambar 2. Tutupan hutan di KPHP Dharmasraya tahun 2013.


Figure 2. Forest cover in FMU Dharmasraya in 2013.

tahun 2000 ketika masyarakat berhasil menduduki C. Pelepasan Tanah Ulayat


hutan DS dan Inhutani. Setelah menguasai hutan,
Keberhasilan masyarakat lokal merebut hutan
masyarakat langsung menebang dan menanaminya
dari perusahaan telah menyebabkan terjadinya alih
dengan tanaman perkebunan. Perubahan hutan
fungsi hutan di areal KPHP. Akan tetapi ke-
menjadi perkebunan juga dipengaruhi oleh
berhasilan masyarakat lokal merebut hutan tidak
banyaknya pihak luar Nagari Bonjol yang membeli
menjamin seluruh masyarakat Bonjol dapat
tanah ulayat kemudian menanaminya dengan
menikmati tanah ulayat, yang terjadi kemudian
kelapa sawit dan karet sebagai bentuk investasi.
adalah adanya penjualan tanah ulayat kepada
Tutupan hutan sekunder di areal KPHP Model
masyarakat luar Nagari Bonjol dengan skala yang
Dharmasraya pada tahun 2014 ditampilkan pada
besar. Kegiatan jual beli tanah ulayat terjadi karena
Gambar 2.
tanah ulayat dikuasai oleh “Datuak Penguasa
Seperti yang ditampilkan pada Gambar 2, pada
Ulayat”, sehingga sang Datuak berhak menjual
tahun 2014 tutupan hutan di KPHP tersisa 6.333,43
tanah ulayat kepada siapapun termasuk masyarakat
ha atau 18,89%, dan sebanyak 19.780,06 hektar atau
non Suku Melayu dan masyarakat diluar Nagari
59,00% telah menjadi perkebunan. Padahal pada
Bonjol. Salah satu bagian penting dari kegiatan jual
tahun 2000 sekitar 86,35% area KPHP masih
beli tanah ulayat adalah terbitnya “alas hak” dari
berupa hutan. Perkebunan rakyat di areal KPHP
Datuak Penguasa Ulayat sebagai bukti sah
didominasi oleh kelapa sawit dan karet yang
kepemilikan tanah.
dimiliki oleh masyarakat Nagari Bonjol serta
masyarakat luar Nagari Bonjol yang telah membeli 1. Sistem “Alas Hak”
tanah ulayat. Kegiatan jual beli tanah ulayat di Nagari Bonjol

219
Konflik Agraria dan Pelepasan Tanah Ulayat ..... (Abdul Mutolib, Yonariza, Mahdi, Hanung Ismono)
memiliki tata cara dan mekanisme yang khas jika secara hukum negara tidak boleh dibuka,
dibandingkan dengan jual beli pada umumnya. Jika masyarakat mengaku mereka lebih mengakui
jual beli tanah pada umumnya menggunakan keberadaan hukum adat dibandingkan hukum
sertifikat sebagai bukti sah kepemilikan, maka di negara.
Nagari Bonjol jual beli tanah tidak menggunakan
2. Proses Jual Beli Tanah Ulayat
sertifikat, tetapi yang digunakan adalah“alas hak”
dari pemilik ulayat. Pada dasarnya tanah ulayat di Nagari Bonjol
Alas hak adalah bukti dasar jual beli antara merupakan tanah ulayat milik Suku Melayu yang
pemilik ulayat dan pembeli. Bentuk alas hak adalah hanya boleh dimanfaatkan oleh masyarakat Suku
surat perjanjian jual beli pemilik ulayat dengan Melayu. Tanah ulayat diperbolehkan dijual dengan
pembeli yang diketahui oleh perangkat adat dan syarat tertentu sesuai dengan aturan adat dan
nagari. Kegiatan jual beli tanah ulayat harus persetujuan Ninik mamak. Tetapi yang terjadi di
mendapat persetujuan dari dari Ninik Mamak suku Nagari Bonjol, tanah ulayat oleh penguasanya
pemilik ulayat dan Ketua Kerapatan Adat Nagari perjual-belikan kepada siapapun, tidak hanya
(KAN), serta diketahui oleh Wali Nagari. Namun, masyarakat Suku Melayu dan suku lainnya di
kenyataan dilapangan proses jual beli dan proses Nagari Bonjol, tetapi juga masyarakat diluar Nagari
pengeluaran alas hak cukup disetujui oleh Datuak Bonjol bahkan masyarakat seluruh Sumatera Barat
penguasa ulayat tanpa persetujuan Ninik Mamak diperbolehkan membeli tanah ulayat.
dan Ketua KAN. Sedankan Kepala Nagari hanya Saat ini fungsi tanah ulayat di Nagari Bonjol
sebagai pihak yang mengetahui kegiatan jual beli tidak hanya diberikan kepada saudara satu suku
tanah ulayat dan pembuatan bukti alas hak. yang membutuhkan tanah sebagai sumber
Hasil wawancara dengan beberapa tokoh kunci penghidupan, tetapi dijual kepada siapapun yang
dan masyarakat, alas hak merupakan bukti yang kuat memiliki uang. Yang lebih mencengangkan adalah
dan sah dalam kepemilikan tanah ulayat di Nagari kegiatan jual beli tanah ulayat ini tidak dibatasi
Bonjol. Meskipun tanah yang dibeli adalah tanah luasnya oleh pemilik ulayat, siapapun boleh
ulayat yang masih di areal hutan negara, mereka membeli lahan seluas 50, 100, 200, 500 bahkan
tidak khawatir dan takut apabila dikemudian hari 1.000 ha asalkan mampu membelinya.
terjadi masalah akibat proses jual beli tanah Hasil diskusi dengan masyarakat dan tokoh adat
tersebut. Hal ini terjadi karena tingginya pengakuan diperoleh informasi tentang kisaran harga tanah
masyarakat terhadap hukum adat masih begitu kuat ulayat. Kisaran harga tanah ulayat di Nagari Bonjol
mengamalkan adat-istiadat dan aturan-aturan yang disesuaikan dengan jauh dekat lokasi dan kondisi
diwariskan dalam penguasaan tanah ulayat. Ketika lahan. Untuk melihat klasifikasi harga jual tanah
disinggung tentang keberadaan hutan negara yang ulayat di NagariBonjol dapat dilihat di Tabel 2.

Tabel 2. Harga Tanah ulayat suku melayu berdasarkan kriteria lokasi dan kemiringan lahan.
Table 2. Communal land price of melayu tribe base on the location and slope.
Tipe lahan Kriteria lahan Harga/ha (Rupiah)
(Land type) (Land criteria) (Price/ha (IDR)
Tipe A 1. Lokasi dekat dengan perkampungan >10.000.000
2. Tanah landai/datar
Tipe B 1. Lokasi dekat dengan perkampungan 7.000.000-10.000.000
2. Tanah berbukit/ kemiringan lahan tinggi
Tipe C 1. Lokasi jauh dari perkampungan 4.000.000-7.000.000
2. Kemiringan lahan rendah
Tipe D 1. Lokasi jauh dari perkampungan 2.000.000-4.000.000
2. Kemiringan lahan tinggi
Sumber (Source): Mutolib et al. (2015)

220
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 213-225
Dijual oleh Disetujui
Penguasa ulayat penguasa ulayat
Tanah ulayat Negosiasi
Suku Melayu lokasi dan harga
tanah
Masyarakat ingin
membeli tanah Tidak disetujui
ulayat penguasa ulayat

Pembuatan alas hak


Tanah ulayat Pendaftaran yang disetujui
menjadi milik pada notaris penguasa ulayat dan
pembeli dikeluarkan Nagari

Sumber (Source): Data Primer (Primary data), 2015

Gambar 3. Proses jual beli tanah ulayat di Nagari Bonjol.


Figure 3. Buying and selling process of communal land in Bonjol.

Akibat kegiatan jual beli tanah ulayat dan tidak tanah ulayat di KPHP hanya dimiliki Suku Melayu
adanya kontrol dari penguasa ulayat, saat ini tanah saja, sehingga masyarakat dari suku lain yang ingin
ulayat di Nagari Bonjol menjadi semakin sedikit membuka lahan harus meminta izin dengan
jumlahnya, masyarakat yang ingin bertani dan Datuak Penguasa Ulayat dengan luasan yang
berkebun harus menempuh jarak 2-3 jam terbatas. Masyarakat Suku Melayu diperbolehkan
menggunakan motor/mobil. Jual beli tanah ulayat membuka lahan dalam jumlah tidak terbatas tetapi
tidak hanya melibatkan masyarakat, tetapi pejabat keterbatasan modal menjadikan masyarakat hanya
dari tingkat kabupaten dan provinsi. Proses jual beli mampu membuka lahan dalam jumlah yang sedikit.
tanah ulayat di Nagari Bonjol dijelaskan pada Menurut penelitian Mutolib et al. (2015),
Gambar 3. penguasaan lahan per rumah tangga di Nagari
Bonjol (baik Suku Melayu dan non Melayu)
3. Ketimpangan Penguasaan Tanah antara
cenderung sempit dibandingkan dengan luasnya
Masyarakat Bonjol dan Luar Bonjol
tanah ulayat yang dikuasai masyarakat dari luar
Masyarakat Nagari Bonjol telah berhasil Nagari Bonjol yang berinvestasi dengan membeli
merebut tanah ulayat mereka dari perusahaan dan tanah ulayat Suku Melayu. Luasan rata-rata lahan
negara, tetapi keberhasilan merebut lahan tidak yang dikuasai masyarakat Nagari Bonjol dapat
membuat semua masyarakat di Nagari Bonjol ditampilkan pada Tabel 3.
mempunyai lahan yang luas. Hal ini dikarenakan

Tabel 3. Luas lahan rumah tangga penelitian.


Table 3. Size of small holder land area.
Luas lahan (Ha) Jumlah Persentase (%)
No (Land area) (Number) (Percentage)
1 0–2 22 53,66
2 >2 – 5 11 26,82
3 >5-10 3 7,32
4 >10-20 3 7,32
5 >20 2 4,88
Jumlah (Total) 41 100,00
Sumber (Source): Mutolib et al. (2015)

221
Konflik Agraria dan Pelepasan Tanah Ulayat ..... (Abdul Mutolib, Yonariza, Mahdi, Hanung Ismono)
Tabel 4. Luasan tanah ulayat yang dikuasai masyarakat luar Bonjol
Table 4. The area of communal land owned by outside of Bonjol
Nama (Nama disamarkan) Luas Domisili
No
(Name of owner (in disguise)) (Area) (Origin)
1 Pemilik 1 140 ha Padang
2 Pemilik 2 25 ha Padang
3 Pemilik 3 50 ha Padang
3 Pemilik 4 25 ha Pulau Punjung Dharmasraya
4 Pemilik 5 20 ha Padang
5 Pemilik 6 >100 ha Solok Selatan
6 Pemilik 7 >500 ha Sungai Rumbai Dharmasraya
7 Beberapa warga Nagari Bonjol >100 ha Nagari Bonjol
Sumber (Source): Mutolib et al.(2015)

Tabel 3 memperlihatkan bahwa sebagian besar D. Absennya Pemerintah dan Pemegang Izin
masyarakat Bonjol memiliki luas tanah 0-2 ha. dalam Perlindungan Hutan
Tetapi ada beberapa warga yang luas tanahnya
Keberanian masyarakat merebut dan membuka
mencapai 10-20 ha, bahkan beberapa warga
hutan, selain dipengaruhi oleh pengakuan hukum
mempunyai luas lahan diatas 20 ha. Luasan tanah
adat terhadap tanah ulayat yang lebih tinggi
masyarakat Bonjol sangat berbeda dibandingkan
dibandingkan hukum negara, juga disebabkan
luasan tanah yang dikuasai masyarakat luar Bonjol
absennya aparat negara atau pemegang izin untuk
(Tabel 4). Banyak masyarakat luar Bonjol yang
mencegah pembukaan hutan oleh masyarakat.
membeli tanah seluas puluhan hingga ratusan
Akibatnya, masyarakat menjadi semakin berani
hektar. Gambaran luasan lahan ulayat yang dikuasai
membuka hutan yang saat ini menjadi areal KPHP.
masyarakat luarNagari Bonjol ditampilkan pada
Wawancara dengan rumah tangga di Nagari Bonjol
Tabel 4.
membuktikan bahwa peran pemerintah dan
Melalui Tabel 3 dan 4 dapat diketahui bahwa
pemegang izin dalam pengelolaan hutan sangat
terjadi gap yang begitu besar antara tanah yang
rendah. Bahkan pemerintah dan pemegang izin
dikuasai oleh masyarakat Bonjol dan masyarakat
membiarkan hutan begitu saja, sehingga memicu
luar Bonjol. Perbedaan yang begitu besar
masyarakat untuk masuk dan menguasai hutan.
dikarenakan banyak masyarakat asli Bonjol yang
Hasil wawancara dengan masyarakat terkait
tidak mempunyai biaya untuk membuka
pengawasan hutan oleh pihak terkait ditampilkan
perkebunan, serta tidak memiliki wewenang dalam
pada Tabel 5.
pemerintahan adat, sedangkan masyarakat luar
Jawaban pada Tabel 5 menggambarkan bahwa
Bonjol memiliki lahan yang luas karena mereka
100% responden mengaku pemerintah absen
didukung modal yang cukup untuk membeli kebun
dalam pengawasan dan perlindungan hutan. Hal
Mutolib et al. (2015). Meskipun begitu, banyak juga
tersebut menggambarkan bahwa masyarakat tidak
masyarakat Bonjol yang mempunyai kebun seluas
pernah merasakan keberadaan pemerintah dalam
puluhan hingga ratusan hektar, orang-orang
pengelolaan hutan seperti pengawasan atau patroli
tersebut biasanya terdiri dari pimpinan adat,
pengamanan hutan, penangkapan pelaku
pimpinan nagari, atau tokoh adat yang memiliki
perambahan hutan, pemberian sanksi bagi
kekuatan dan wewenang dalam masyarakat.
perambah hutan maupun melakukan kegiatan
Masyarakat luar Nagari Bonjol yang membeli tanah
penyuluhan tentang pentingnya menjaga hutan.
ulayat didominasi oleh para pejabat baik dari tingkat
Dari keseluruhan responden, hanya 4 orang atau
kabupaten hingga provinsi. Umumnya mereka
9,75% yang khawatir membuka hutan, tetapi
membeli tanah ulayat kemudian diatanami dengan
sebanyak 90,25% tidak khawatir membuka lahan di
kelapa sawit dan karet sebagai investasi jangka
areal hutan. Keberanian masyarakat disebabkan
panjang (Mutolib et al., 2015).

222
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 213-225
Tabel 5. Kegiatan pengawasan hutan oleh pemerintah.
Table 5. Forest monitoring activities by goverment.
No Pertanyaan (Question) Ya (Yes) Tidak (No)
1 Adakah patroli untuk mengamankan kehutanan dari dinas terkait? 0,00 % 100,00 %
2 Adakah masyarakat yang ditangkap akibat membuka kebun didalam 0,00 % 100,00 %
hutan produksi?
3 Adakah masyarakat yang terkena sanksi akibat membuka kebun 0,00 % 100,00 %
didalam hutan?
4 Adakah kegiatan penyuluhan tentang pentingnya menjaga 0,00 % 100,00 %
hutan/rimbo?
5 Adakah kegiatan penyuluhan tentang tanaman perkebunan 0,00 % 100,00 %
rekomendasi yang harus ditanam di hutan/rimbo?
6 Adakah rasa kekhawatiran karena membuka hutan? 9,75 % 90,25 %
Sumber(Source): Data Primer (2015)

kuatnya pengakuan terhadap hukum adat B. Saran


dibandingkan hukum negara.
Untuk mewujudkan pengelolaan KPHP yang
Critchley et al. (2004) menyebutkan bahwa
baik perlu memperjelas hak dan batas tanah
pengawasan merupakan salah satu kunci utama
ulayat yang dikuasai oleh masyarakat Suku
dalam keberhasilan manajemen lingkungan dengan
Melayu dan hutan yang dikuasai perusahaan HTI.
masyarakat. Subarudi (2008) menyebutkan bahwa
Karena konflik agraria yang terjadi di KPHP
pengawasan dan evaluasi merupakan salah satu
karena ketidakjelasan kepemilikan hutan antara
kunci dalam tata kelola kehutanan yang baik..
pihak masyarakat dan perusahaan pemegang
izin.
Keberadaan masyarakat adat Suku Melayu dan
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
tanah ulayatnya juga perlu menjadi perhatian
penting dalam pengelolaan KPHP. Pemerintah
A. Kesimpulan
Kabupaten Dharmasraya terutama dinas terkait
Konflik agraria di wilayah KPHP terjadi karena perlu melibatkan masyarakat pengelolaan hutan di
saling klaim antara masyarakat dan pemerintah KPHP. Keterlibatan masyarakat dalam penge-
terhadap kepemilikan hutan. Masyarakat lolaan diyakini akan mampu mengurangi konflik
mengklaim hutan negara yang izinnya diberikan yang terjadi akibat persepsi masyarakat yang
kepada perusahaan HPH dan HTI sebagai tanah menganggap negara telah merebut tanah
ulayat masyarakat adat Nagari Bonjol yang telah ulayatnya.
ditempati sejak ratusan tahun. Akibat konflik Selain pelibatan masyarakat dalam pengelolaan
agraria ini, masyarakat adat Suku Melayu merebut hutan, perlunya implementasi program yang tidak
hutan dari perusahaan dan memperjualbelikan hanya bertujuan memperbaiki kondisi hutan yang
tanah ulayat secara bebas. Maraknya jual beli tanah telah terdegradasi di KPHP, tetapi memper-
ulayat di Nagari Bonjol dikarenakan Penguasa timbangkan kepentingan masyarakat sekitar yang
Ulayat memperjualbelikan tanah ulayat tanpa menggantungkan hidupnya dari hutan. Salah satu
mempertimbangkan kebutuhan jangka panjang. alternatif yang bisa ditempuh adalah dengan
Selain itu, tidak adanya kontrol dari masyarakat melaksanakan program Hutan Kemasyarakatan,
menyebabkan penguasa ulayat semakin bebas atau Hutan Desa/Nagari di KPHP untuk
dalam menjual tanah ulayat. Bukti sah dan mengakomodasi kepentingan masyarakat yang
diakuinya jual beli tanah ulayat adalah adanya alas menggantungkan hidupnya dari pemanfaatan
hak yang dikeluarkan oleh pihak Nagari Bonjol hutan.
yang ditandatangani (disetujui) penguasa ulayat.

223
Konflik Agraria dan Pelepasan Tanah Ulayat ..... (Abdul Mutolib, Yonariza, Mahdi, Hanung Ismono)
UCAPAN TERIMA KASIH Diunduh 23 April 2015 dari
Penulis mengucapkan terima kasih kepada http://www.forestpeoples.org/.
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Dinas Kehutanan Kabupaten Dharmasraya.
yang telah memberi pendanaan melalui hibah penelitian
(2014). Rencana pengelolaan hutan jangka
Program Menuju Doktor Sarjana Unggul (PMDSU)
tahun anggaran 2014-2015. panjang kesatuan pemangku hutan produksi
(RPHJP KPHP) model Dharmasraya 2015-
2024. Pulau Punjung: Dinas Kehutanan
DAFTAR PUSTAKA Kabupaten Dharmasraya.
Djari. (2009). Pengembangan sistem penyuluhan
Afrizal. (2015). Metode penelitian kualitatif: sebuah
perikanan era desentralisasi di Indonesia. Bogor:
upaya mendukung penggunaan penelitian kualitatif
Institut Pertanian Bogor.
dalam berbagai disiplin ilmu. Jakarta: Raja
Grafindo Persada. Faisal, S. (1990). Penelitian kualitatif: Dasar-dasar dan
Astuti, P. (2011). Kekerasan dalam konflik agraria: aplikasi. Malang: Yayasan Asah Asih Asuh
Kegagalan negara dalam menciptakan keadilan di (YA3 Malang).
bidang pertanahan.Diunduh 16 Mei 2015 dari Griffiths, J. (1986).'What is legal pluralism? Journal
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/foru of Legal Pluralism&Unofficial Law,24, 1-56.
m/article/download/3158/2834.
Hakim, I. & Sylviani. (2014). Analisis tenurial
Badan Pusat Statistik Kabupaten Dharmasraya. dalam pengembangan kesatuan pengelolaan
(2014). Kabupaten Dharmasraya Dalam Angka hutan (KPH): studi kasus KPH Gedong
2014. Pulau Punjung: BPS Kabupaten Wani, Provinsi Lampung. Jurnal Penelitian
Dharmasraya. Sosial dan Ekonomi Kehutanan,11(4), 309–322.
Benjamin, C. E. (2008). Legal pluralism and Harun, M.K. & Dwiprabowo, H. (2014). Model
de c ent ralizat ion: n atur al r esou rce - resolusi konflik lahan di kesatuan
manag ement in Mali. World pemangkuan hutan produksi model Banjar.
Development,36,2255–2276. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan,
Bungin, B. (2010). Penelitian kualitatif: Komunikasi, 11(4), 265–280.
ekonomi, kebijakan publik, dan ilmu sosial lainnya. Hooker, M. B.(1975). Legal pluralism: Introduction to
Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. colonial andneo-colonial law. London: Oxford
Bogdan, R. C. & Biklen, S. K. (1992). Qualitative University Press.
research for education: An introduction to theory and Kadir W. A., Nurhaedah, M. & Purwanti, R.
methods. Boston: Allyn & Bacon. (2013). Konflik pada kawasan taman
Creswell, J. W. (1994).Research design :Qualitative and nasional Bantimurung Bulusaraung Provinsi
quantitative approaches. California: SAGE Sulawesi Selatan dan upaya penyelesaiannya.
Publications, Inc. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan,
10(3), 186 – 198.
Critchley, C. N. R., Burke, M. J. W.,& Stevens, D.
P.(2004). Conservation of lowland semi- Indrawardi. (2008). Peranan ninik mamak (datuk) di
natural grasslands in the UK: a review of Minangkabau dalam MendukungKetahanan
botanical monitoring results from agri- Daerah: Studi Kasus di Nagari Pakan Sinayan
env iro n men t s ch emes. B iol ogi ca l KecamatanBanuhampu-Kabupaten Agam-
Conservation,115(2), 263-278. Sumatera Barat. (Thesis Pascasarjana).
Universitas Indonesia. Depok.
Colchester, M. & Chao, S. (2011). Ekspansi kelapa
sawit di Asia Tenggara: Sebuah t injauan . Larson, A.M. (2012). Tenure rights and access to forests:
A training manual for research. Bogor:CIFOR.

224
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 213-225
Mantiri, M. M. (2007). Analisis konflik agraria di devolution of natura l resources
pedesaan (suatu studi di desa Lemoh Barat management in West Africa. Unasylva,50,
Kecamatan Tombariri). Diunduh 16 Mei 2015 23–27.
dari http://download.portalgaruda.org/
Sugiyono. (2013). Metodepenelitian kombinasi (mixed
article.php?article=106894&val=1037.
methods).Bandung: Alfabeta.
Miles, M. B. & A. M. Huberman. (1992). Qualitative
Subarudi. (2008). Tata kelola kehutanan yang baik:
data analysis::A sourcebook of new methods.
Sebuah pembelajaran dari kabupaten
Diterjemahkan oleh Rohidi, Tjetjep Rohendi.
Sragen. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan,
Jakarta: Universitas Indonesia Press.
5(3), 179-192.
Moleong, L. J. (1996). Metode penelitian kualitatif.
Von Benda-Beckmann, D. (1981). Forum
Bandung: Remaja Rosdakarya.
shopping and shopping forums. Journal
Mutolib, A., Yonariza., Mahdi, & Ismono, H. ofLegal Pluralism,19, 117–159.
(2015). Local resistance to land grabbing in
Yonariza.2015.Overlapping oil palm plantation
Dharmasraya District, West Sumatra
and forest area: case of production forest
Province. Paper presentedat The International
management unit (FMU) of Dharmasraya
Academic Conference Land Grabbing: Perspectives
District, West Sumatra.Paper presented at The
from East and Southeast Asia 2015, June 5-6,
International Seminar on Tropical Natural
2015. Chiang Mai University, Thailand.
Resources 2015,June 10-12, 2015. Mataram-
Onibon, A., Dabiré, B., dan Ferroukhi, L. (1999). Lombok, Indonesia.
Local practice and decentralization and

225
Konflik Agraria dan Pelepasan Tanah Ulayat ..... (Abdul Mutolib, Yonariza, Mahdi, Hanung Ismono)

View publication stats

You might also like