You are on page 1of 13

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/326942465

POLITIK IDENTITAS MASYARAKAT PERBATASAN INDONESIA-MALAYSIA:


KASUS BADAU DI KAPUAS HULU, KALIMANTAN BARAT

Article · January 2014

CITATIONS READS

0 707

2 authors:

Intan Permata Sari Irwan Abdullah


Institut Agama Islam Negeri Bengkulu Universitas Gadjah Mada
12 PUBLICATIONS   6 CITATIONS    42 PUBLICATIONS   73 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

jejak jejak kaum hadrami di Indonesia timur View project

Penulisan Buku HADIS PAI (Balitbang Kemenag-Prodi Ilmu Hadis View project

All content following this page was uploaded by Intan Permata Sari on 10 August 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


KAWISTARA
VOLUME 4 No. 3, 22 Desember 2014 Halaman 225-330

POLITIK IDENTITAS MASYARAKAT PERBATASAN


INDONESIA-MALAYSIA: KASUS BADAU DI KAPUAS HULU,
KALIMANTAN BARAT

Irwan Abdullah dan Intan Pemata Sari


Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada
Email:irwanabdullah6@gmail.com

ABSTRACT
Border area studies has become extremely important since the state border creates tensions of sovereignty
and identity in relations between Indonesia and ten other neighboring countries. Border area cannot
perceive as only a neutral area without any meanings as it becomes a mirror of the nation since it is the
entrance for the coming of people and goods from other countries. The border area therefore is not only
a statement of the administrative line of the country that is influential for the sovereignty, but also of
the cultural line to stress identity. This article shows that administrative-political border which divides
Dayak Iban become two parts has also created the tension between state-society in the border area, as the
nationalism has to face the distressed ethnic identities. Dual existence of the ethnic group is influential on
the maintenance of identity and nationalism of the border community, which shows a challenge to the
role of the state. Moreover, the living condition of Dayak Iban in Badau is in contrast to the Dayak Iban
in Lubok Antu, which is more prosperous. The fact that the people in the border area live in scarcity,
adversity, and inadequate has delegitimated the state existence that challenges the national identity. The
situation has produced the fact that people of Badau perform three identities: as a border society (politics),
as part of the Iban community (cultural), and as part of global society (economy). The findings sharpen
Foote and Burke’s theory by presenting that identity is not only determined by the structural relations, but
also developed through contested process where the actors also produce meanings to state their existence.

Keywords: Border Studies, Cultural Identity, Identity Politics, and West Borneo.

ABSTRAK
Studi wilayah perbatasan menjadi sangat penting sejak batas Negara melahirkan ketegangan kedaulatan
dan identitas dalam hubungan Indonesia dengan sepuluh Negara tetangga. Wilayah perbatasan
tidak dapat dipandang sebagai wilayah netral tanpa makna karena menjadi cermin suatu bangsa
akibat keberadaannya sebagai pintu gerbang masuknya orang dan barang dari Negara lain. Wilayah
perbatasan karenanya bukan saja sebagai pernyataan batas administratif negara yang berpengaruh
terhadap kedaulatan suatu Negara, tetapi juga batas kultural yang menegaskan identitas bangsa.
Tulisan ini memperlihatkan bahwa batas administrative-politis yang membelah etnis Dayak Iban
menjadi dua bagian telah pula melahirkan ketegangan hubungan Negara-rakyat di perbatasan karena
tuntutan nasionalisme berhadapan langsung dengan identitas etnis yang telah terganggu.Keberadaan
etnis yang mendua telah berpengaruh pada pemeliharaan identitas dan nasionalisme masyarakat
perbatasan yang memperlihatkan suatu gugatan terhadap peran negara.Apalagi, kehidupan Dayak
Iban di Badau bertolak belakang dengan Dayak Iban di Lubok Antu Serawak yang lebih sejahtera.
Kenyataan bahwa penduduk di perbatasan hidup dalam kekurangan, kesulitan, keterbatasan telah
menyebabkan terjadinya delegitimasi Negara yang mengancam identitas nasional. Keadaan ini telah

225
Kawistara, Vol. 4, No. 3, Desember 2014: 225-236

menyebabkan masyarakat Badau memiliki tiga Pada saat yang sama pembentukan identitas
identitas, yaitu identitas sebagai masyarakat masyarakat pun berlangsung secara kontes­
perbatasan (politik), identitas sebagai bagian dari tatif untuk mendefinisikan siapa mereka: di
masyarakat Iban (kultural), dan identitas sebagai satu sisi mereka menjadi bagian dari suatu
bagian dari masyarakat global (ekonomi). Temuan
entitas general bangsa Indonesia dan di sisi
ini mempertajam teori Foote dan Burke dengan
memperlihatkan bahwa selain ditentukan oleh
lain terabaikan secara sosial dan material.
hubungan-hubungan struktural, suatu identitas Persoalan kontestasi identitas ini akan
juga dibangun melalui proses kontestatif yang dibicarakan dengan mengacu pada kasus
memperlihatkan bahwa aktor juga memproduksi Badau, suatu wilayah perbatasan di Kapuas
makna dalam menegaskan keberadaannya. Hulu, Kalimantan Barat. Daerah Badau
berbatasan langsung dengan Lubok Anto,
Kata Kunci: Studi Perbatasan, Identitas kultural,
suatu wilayah di Serawak, Malaysia. Baik
Politik Identitas, Kalimantan Barat
penduduk Badau maupun Lubok Anto
berasal dari suku yang sama, yakni Dayak
PENGANTAR Iban, yang karenanya menciptakan kesulitan
Pembicaraan mengenai wilayah per­
tersendiri dalam definisi identitas. Batas-batas
batasan tidak dapat dipisahkan dari kesan
Negara, yang telah dilihat sebagai pemisah,
terisolir, terbatas, dan jauh dari perhatian
telah membelah satu kebudayaan menjadi
pemerintah.Kesan ini tidak dapat disalahkan
dua bagian yang kemudian melahirkan
karena demikianlah adanya di hampir se­
identitas ganda di kalangan Dayak Iban.
luruh wilayah perbatasan Indonesia. Kon­
Latar belakang sejarah dan kultural mereka
disi memperhatinkan ini disebabkan oleh
yang sama dipisahkan oleh garis politik yang
kesalahan paradigma yang dibangun secara
tegas dan dengan garis hukum yang tajam
akademis dan praktis yang menganggap bahwa
yang dengan mudah melukai emosi kultural
wilayah perbatasan berada di pedalaman
Dayak Iban.
atau pinggiran yang sekaligus diposisikan di
Studi identitas memiliki akar sejarah
belakang atau terbelakang sehingga kurang
yang panjang pada pendekatan interaksi­
penting diperjuangkan dalam perspektif yang
onalisme simbolik yang didasarkan pada
bias modernisme. Dengan cara ini wilayah
pemikir-pemikir awal (Foote, 1951; Stryker,
perbatasan gagal diposisikan sebagai wajah
1987).Pada saat itu diyakini bahwa suatu
Negara yang langsung dilihat oleh pihak
fenomena bisa dipahami melalui definisi
lain yang sekaligus menjadi gerbang depan
dan interpretasi atas makna-makna yang
masuknya bangsa asing ke wilayah Indonesia.
diberikan aktor pada lingkungannya. Pers­
Wilayah perbatasan karena, bukanlah sekadar
pektif masyarakat dalam melihat dunia dan
pembatas atau pemisah satu Negara, namun
alasan mengapa mereka melakukan sesuatu
lebih merupakan garis terdepan dari tanda-
dengan cara mereka sendiri dapat dipahami,
tanda kedaulatan dan peradaban sebuah
khususnya menyangkut cara-cara suatu
bangsa.
masyarakat membangun identitas (Meltzer
Salah paham dan keliru pandang atas
et al., 1997). Nelson Foote (1951) sebagai
wilayah perbatasan ini telah menciptakan
tokoh yang pertama menggunakan istilah
keterasingan yang kemudian terlupakan
identitas telah mencoba untuk memberikan
dalam perumusan kebijakan dan hitung-
pengayaan atas pemahaman konseptual
hitungan anggaran. Akibatnya, Negara tidak
ketika ia mengatakan bahwa tujuan-tujuan
hadir dan tangan-tangan Negara tidak cukup
telah menentukan bagaimana seseorang
panjang untuk menyelesaikan persoalan yang
melakukan sesuatu. Keberadaan individu
kompleks (Abdullah, 2010; Tirtosudarmo,
tidak bisa dilepaskan dari struktur yang
2005). Masyarakat wilayah perbatasan pun
turut mendefinisikan identitasnya yang
semakin terbiasa menyelesaikan masalah
memberi kerangka atas simbol-simbol yang
mereka sendiri, sebisa yang mereka mampu,
membedakan satu dengan yang lain.
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar.

226
Irwan Abdullah -- Politik Identitas Masyarakat Perbatasan Indonesia-Malaysia: Kasus Badau di
Kapuas Hulu, Kalimantan Barat

Pentingnya struktur ini ditegaskan oleh etnis, tetapi mereka hidup dalam struktur
Burke ketika ia mengatakan bahwa identitas Negara yang memiliki sistem politik yang
diri manusia tidak bisa dipandang sebatas mengatur keberadaan mereka bukan sebagai
siapa dia, tetapi identitas dirihanya bisa suatu suku tetapi sebagai warga dari dua
dijelaskan melalui relasi-relasi sosial yang Negara bangsa: Indonesia dan Malaysia.
berada di sekitar “aktor”, yang dengan relasi
sosial ini pada akhirnya terbentuk struktur PEMBAHASAN
sosial yang berlaku dalam masyarakat. Badau di Perbatasan Indonesia-
Sejalan dengan ini dikatakan bahwa identitas Malaysia
merupakan: “…the character and the role that Kecamatan Badau berbatasan langsung
an individual devises for himself as an occupant dengan Distrik Lubok Antu, Sriaman,
of a particular social position” (McCall and Negari Sarawak, Malaysia. Kecamatan
Simmons, 1978: 65). Hal serupa dikatakan Badau yang beribukota Nanga Badau
Stone (1962: 93), yang menurutnya: “…a memiliki luas wilayah kurang lebih 700
person’s identity is established when others km2 yang meliputi 2,35% dari seluruh
place him the same words of identity that he wilayah Kabupaten Kapuas Hulu (Gambar
appropriate to himself.” Dengan demikian, 1) Jarak antara Kecamatan Badau dengan
keberadaan seorang individu tidak dapat ibukota Kabupaten, Putussibau, sejauh
dilepaskan dari suatu struktur yang turut 177 km dengan infrastruktur yang masih
mendefinisikan identitasnya. Demikian pula buruk.Badau ini merupakan salah satu
proses identifikasi berlangsung dalam suatu titik perbatasan wilayah Negara dari lima
struktur yang memiliki serangkaian nilai dan titik perbatasan di Kalimantan Barat yang
persyaratan yang harus dipenuhi walaupun ditandai dengan adanya Pos Lintas Batas
seorang individu dapat melakukan tawar (PLB), yakni PLB Entikong, Jagoi Babang,
menawar dalam hubungannya dengan Senaning, Sajingan, dan Badau (Prasojo,
struktur di mana ia menjadi bagian, seperti 2013). Jika wilayah perbatasan dipahami
daerah perbatasan yang melibatkan berbagai sebagai titik perbatasan, maka lima titik
aktor yang turut mendefinisikan identitas tidaklah memadai untuk menjaga kedaulatan
individu atau kelompok. Negara apalagi dengan fasilitas yang masih
Tulisan ini tidak dapat melepaskan terbatas (Lihat Gambar 2) PLB Badau,
hubungan struktur dengan kultur etnis dalam misalnya, sudah rusak sebelum diresmikan
proses konstruksi identitas yang bersifat pada tahun 2012 akibat terlalu lama dibiarkan
kontestatif yang melibatkan dua Negara dan dan tidak difungsikan hampir sepuluh tahun
aktor-aktor swasta. Etnis Dayak Iban di satu menunggu kesiapan sarana prasarana dan
sisi memiliki definisi dan interpretasi tentang SDM dalam pembentukan PLB Badau.
dirinya atas dasar geneologi etnis dan kultur

227
Kawistara, Vol. 4, No. 3, Desember 2014: 225-236

Gambar 1: Peta Kecamatan Badau, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat


Sumber: www.google.com

Dari aspek garis, wilayah Kapuas dan Malaysia yang disaksikan oleh warga,
Hulu memiliki garis sepanjang 300 km dari tapal batas itu masih menjadi perdebatan.
seluruh garis perbatasan Kalimantan Barat Selain itu, masih banyak wilayah yang
yang panjangnya kurang lebih 960 km. Garis belum diberikan batas secara resmi karena
batas yang panjang ini sangat sulit untuk panjangnya garis batas dan banyaknya tapal
dijaga, apalagi letak garis batas wilayah batas yang berpindah tempat atau bahkan
Badau dengan Malaysia masih rancu. hilang.Walaupun penjagaan telah dilakukan
Walaupun sudah banyak tapal batas yang oleh TNI, jumlah personil negara untuk
ditanam bersama-sama oleh polisi Indonesia menjaga tapal batas masih sangat terbatas.

Gambar 2: Lima Titik Pos Lintas Batas di Kalimantan Barat


Sumber: www.google.com

228
Irwan Abdullah -- Politik Identitas Masyarakat Perbatasan Indonesia-Malaysia: Kasus Badau di
Kapuas Hulu, Kalimantan Barat

Sebagai bagian dari serambi depan pemerintah Malaysia yang dinikmati oleh
wilayah Indonesia, pemerintah pusat ber­ penduduk Badau, seperti fasilitas beasiswa
usaha mengelola wilayah perbatasan dengan anak sekolah, kesehatan, listrik, bahan bakar,
baik agar tidak lagi direbut oleh Malaysia, hingga subsidi barang kebutuhan pokok.
seperti kasus Sipadan dan Ligitan beberapa Fasilitas yang diberikan pemerintah
tahun lalu (Abubakar, 2006). Untuk itu, Malaysia memang lebih baik, dari jalan raya
pemerintah memberikan pengamanan yang yang berkualitas, jaminan pekerjaan dan gaji
cukup ketat dengan menghadirkan TNI yang memadai, sekolah yang dilengkapi
dan Polisi yang bertugas menjaga keutuhan asrama, panti untuk lansia hingga rumah
dan keamanan Negara Kesatuan Republik sakit yang lengkap fasilitas dan murah.
Indonesia (NKRI). Pemerintah menyediakan Fasilitas kesehatan ini menjadi pilihan orang
sekolah bagi masyarakat Badau sampai Indonesia mengingat Puskesmas yang ada
pada tingkat menengah atas (SMA) dengan di Badau tidak mampu menangani penyakit
tujuan untuk menambah jumlah peserta didik yang cukup parah, sementara itu untuk
yang setingkat SMA dan mencegah pelajar berobat ke Pontianak sangat jauh dan mahal.
bersekolah di wilayah Malaysia. Selain itu, Selain itu, peralatan yang tersedia di Badau
pemerintah juga menyediakan Puskesmas masih sangat minim dan hanya mampu
dan Rumah Sakit Keliling agar memudahkan menjalankan operasi kepada pasien pada
masyarakat memperoleh pelayanan kesehat­ taraf dasar.
an, meskipun pelayanan kesehatan ini belum Penanda utama dari perbedaan Malaysia
maksimal karena hanya memiliki tiga dokter dan Indonesia adalah fasilitas jalan raya.Jalan
umum dan belum memiliki dokter spesialis. raya di wilayah Indonesia jauh dari layak
Di bidang kelembagaan, pemerintah mem­ dibandingkan tetangga. Banyak lubang di
bangun kantor imigrasi kelas tiga yang ber­ sepanjang jalan utama, padahal jalan ini
hak mengeluarkan Pas Merah bagi masyarakat sangat strategis yang menghubungkan Badau
Badau. dengan berbagai daerah. Hanya beberapa
Usaha pemerintah melengkapi kebu­ bagian jalan yang sudah diperbaiki, seperti
tuhan infrastruktur tidak berarti banyak jalan menuju PLB (Pos Lintas Batas) yang
dibandingkan kebutuhan nyata atas ber­ panjangnya tidak lebih dari dua kilometer.
bagai fasilitas dasar. Keadaan ini menye­ Setelah melewati jalan menuju PLB, jalan
babkan penduduk Badau cenderung mem­ dari Badau menuju perusahaan sawit lebih
bandingkan kebijakan pemerintah Indonesia rusak lagi. Hanya terlihat sisa-sisa aspal
dengan pemerintah Malaysia di mana yang sudah berlubang di sana-sini.Ketika
pemerintah Indonesia dikatakan lebih sering perjalanan diteruskan, aspal rusak berlubang
lupa kepada bangsanya di perbatasan. Tidak sudah berganti dengan jalan tanah. Pada
banyak yang dapat dipuji dari kebijakan saat yang sama di wilayah Malaysia sulit
pemerintah Indonesia di daerah Badau, ditemukan jalan yang berlubang.
berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Perbedaan kualitas hidup ini menye­
pemerintah Malaysia. Kebijakan yang dibuat babkan hidup berdampingan dengan negara
pemerintah Malaysia untuk masyarakat Malaysia tidaklah mudah bagi masya­
Lubok Antu telah menarik simpati dan pujian rakat Badau. Mau tidak mau mereka selalu
masyarakat Badau pada Malaysia karena membandingkan fasilitas-fasilitas yang di­
kebijakan bersifat pro-rakyat. Pada saat yang dapat­kan “saudara” mereka di seberang
sama penduduk Badau jugamengalami akibat dengan apa yang mereka miliki sebagai
positif dari kebijakan yang dibuat pemerintah warga Indonesia. Seringkali mereka merasa
Malaysia, yang bahkan menciptakan keter­ iri dengan fasilitas-fasilitas yang diberikan
gantungan Badau pada Malaysia. Bagi oleh pemerintah Malaysia. Untuk itu, pen­
penduduk Badau, pemerintah Malaysia duduk Badau seringkali mengatakan
bagaikan dewa penolong.Banyak fasilitas bahwa menjadi orang Malaysia lebih enak,

229
Kawistara, Vol. 4, No. 3, Desember 2014: 225-236

fasilitas terpenuhi, mendapatkan berbagai penentu absolut atas keberadaan mereka


subsidi dari pemerintah, khususnya sub­ di wilayah Indonesia atau Malaysia. Akan
sidi pendidikan, kesehatan, dan barang ke­ tetapi, perbedaan identitas mereka sebagai
butuhan pokok yang lebih murah (minyak, warga negara tidak menjadikan mereka
gula, garam, tepung). Keluh kesah juga terpecah secara kultural-antropologis yang
sering terdengar dari pegawai negeri sipil, tampak dari adanya ruang kultural bersama
demikian pula anggota TNI dan Polisi, yang yang mereka bangun dan pelihara melalui
sangat sadar bahwa fasilitas yang didapatkan berbagai ritual dan simbol.
oleh pegawai dan aparat Malaysia di daerah
perbatasan mencakup gaji yang memadai
dan fasilitas tempat tinggal yang lebih baik.
Pada konteks ini Indonesia direpre­
sentasikan dengan jalan yang buruk, fasilitas
kelembagaan yang miskin, dan kehidupan
yang masih terbelakang. Sebagai daerah
perbatasan, desa Badau menghadapi per­
soalan ketimpangan, kekurangan, dan
kesulitan yang telah berlangsung dalam
waktu yang cukup panjang (Abdullah,
2013). Pada saat yang sama, Badau
merupakan bagian dari infrastruktur dan
kebijakan negara tetangga yang lambat laun
menciptakan citra tentang negeri tetangga
dan citra dirinya sebagai warga Indonesia
yang serba kekurangan. Apalagi, pemerintah
Indonesia dinilai hanya hadir dalam bentuk
alat-alat negara, seperti polisi, tentara,
aparatur desa, lambang negara, dan bendera.

Kontestasi Identitas Majemuk Dayak Gambar 3: Peta Etnis Iban di Kalimantan Barat
Iban Sumber: www.google.com
Kehidupan Badau sebagai masyarakat
Keterikatan penduduk dua Negara
wilayah perbatasan, tidak bisa dilepaskan
dipelihara melalui bahasa (bahasa Dayak
dari kehidupan masyarakat Malaysia di
Iban), perlengkapan upacara adat, rumah
Lubok Antu, khususnya karena masyarakat
panjang, dan praktik ritual. Apabila ada
asli Badau dan masyarakat asli Lubok Antu
salah satu keluarga di Badaumelangsungkan
bersaudara berasal dari satu etnis: Dayak
pernikahan maka keluarga dari Malaysia
Iban. Kehidupan mereka terpisah akibat
sudah dapat dipastikan turut diundang.
negara telah menarik batas (administratif-
Dalam kehidupan sehari-hari mereka seperti
politik) yang tegas, siapa yang menjadi
tidak menghiraukan adanya batas-batas teri­
penduduk Indonesia dan siapa yang menjadi
torial yang dibuat oleh negara. Kedekatan
penduduk Malaysia ditentukan oleh politik
emosional masyarakat Badau dengan
negara. Batas ini bersifat sepihak ketika
keluarga mereka di Malaysia terus dipelihara,
negara membagi satu satuan kultural etnis
termasuk dengan mencarikan jalan bagi
menjadi dua bagian tanpa memperhatikan
saudara mereka yang berada di wilayah
batas-batas kultural-historis suatu etnis
Badau (Indonesia) untuk mendapatkan
(Gambar 3). Mereka pun tidak memiliki
berbagai fasilitas pemerintah Malaysia,
pilihan untuk menjadi warga negara karena
termasuk dengan cara memberi jaminan
faktor geografis tempat tinggal telah menjadi
untuk keluarga mereka dari Indonesia

230
Irwan Abdullah -- Politik Identitas Masyarakat Perbatasan Indonesia-Malaysia: Kasus Badau di
Kapuas Hulu, Kalimantan Barat

dalam mengakses fasilitas kesehatan pekerjaan yang menjanjikan upah yang


dan pendidikan. Banyak warga Badau, tinggi, hingga biaya kesehatan yang sangat
misalnya, menyekolahkan anak mereka ke murah. Di tengah-tengah tekanan semacam
Malaysia atas jaminan keluarga yang ada ini mereka tetap menjadi Indonesia.
di Malaysia.Malaysia memang membuka Kedua, masyarakat Badau juga dihadap­
kesempatan bagi orang Indonesia untuk kan pada permasalahan kultural yang
bersekolah tetapi dengan syarat memiliki menggugat identitas mereka. Selain sebagai
IC (Identity Card) yang dapat diperoleh jika bagian dari warga negara Indonesia bersama
memiliki akte kelahiran Malaysia.Selain atas etnis Melayu, Jawa, Flores, dan etnis-etnis
alasan kewarganegaraan Malaysia, IC juga lain, kelompok mayoritas Dayak Iban
dapat diperoleh dengan lahir di rumah sakit menjadi bagian dari Dayak Iban Serawak
Malaysia meskipun kedua orangtua adalah yang menjadi warga Negara Malaysia.
Warga Negara Indonesia. Konteks kebijakan Atas latar belakang kultural-etnis ini warga
Malaysia yang terbuka semacam ini telah Badau tidak jarang bersikap mendua karena
mendukung reproduksi budaya Iban dan posisi sebagai bagian dari warga Malaysia
pada saat yang sama pelestarian hubungan memungkinkan mereka menikmati sejumlah
kultural penduduk Badau dengan penduduk keuntungan, seperti kesempatan pendidikan
Malaysia. bagi anak-anak mereka dan pekerjaan
Ketika hubungan kekerabatan menjadi yang lebih baik.Kesatuan emosional-
kekuatan bagi penduduk Badau untuk kultural yang berasal dari satu etnis telah
mendapatkan berbagai fasilitas di Malaysia, menjadi dasar strategis-politis bagi warga
seperti melalui mekanisme jaminan, maka ke­ Badau, khususnya etnis Dayak Iban,
kerabatan menjadi penting untuk dipelihara untuk mendapatkan berbagai kemudahan.
karena tidak hanya bermakna kultural, Masuknya negara dengan membuat garis
tetapi juga struktural. Kecenderungan ini Negara (state line) yang mengatur batas
mempersulit definisi identitas warga Badau, teritorial disertai aturan-aturan yang harus
di antara menjadi warga Indonesia dengan dipatuhi oleh masing-masing warga negara,
sikap nasionalisme yang teguh dan menjadi maka, masyarakat Dayak Iban kemudian
bagian dari Malaysia atas tuntutan ekonomi seperti terbelah dua, Dayak Iban milik
politik-pragmatis. Hubungan yang kompeks Indonesia dan milik Malaysia. Negara
semacam ini tampak bahwa warga Badau, memang tidak bisa menghapus begitu saja
setidaknya, memiliki tiga identitas yang sejarah bahwa mereka adalah satu kesatuan
secara bergantian mendefinisikan siapa yang berasal dari nenek moyang yang sama
mereka. Pertama, mereka adalah warga yang memiliki ikatan emosional yang kuat.
negara Indonesia yang hidup dan patuh Ketiga, walaupun terletak jauh dari
pada aturan Negara Republik Indonesia, pusat perkembangan, baik kabupaten
walaupun Negara tidak mampu mencukupi maupun provinsi, Badau tetaplah bagian dari
kebutuhan mereka sebagai warga negara. masyarakat global.Warga Badau memiliki
Mereka hidup dengan infrastruktur yang sifat yang terbuka pada barang-barang baru,
terbatas, jalan yang buruk, sekolah yang orang-orang baru, dan nilai-nilai baru yang
serba kekurangan, pusat kesehatan yang masuk ke dalam kehidupan mereka.Barang-
kurang baik, hingga harga-harga yang me­ barang di Badau tidak terbatas pada barang
lambung tinggi. Kebutuhan listrik mereka yang berasal dari Indonesia dan Malaysia,
masih dipasok dari daerah Lubok Antu. barang-barang dari Cina, Jepang, Korea, juga
Barang-barang kebutuhan sehari-hari, masuk ke wilayah perbatasan. Pakaian Cina,
mereka dapatkan dari pasar Lubok Antu, mobil dan sepeda motor Jepang, perangkat
bahan bakar minyak ilegal milik Malaysia, elektronik Korea, atau alat telekomunikasi
kendaraan-kendaraan murah dari Malaysia, Taiwan dengan mudah ditemukan di rumah-
sekolah gratis yang dilengkapi asrama, rumah warga Badau. Selain persinggungan

231
Kawistara, Vol. 4, No. 3, Desember 2014: 225-236

mereka yang intensif dengan kehidupan perusahaan semacam ini tentu saja akan
material dari luar, warga Badau juga memiliki membuka lapangan kerja yang signifikan
tingkat mobilitas yang tinggi terkait dengan dan meningkatkan peredaran uang serta
usaha mereka mendapatkan kehidupan yang mendorong pertumbuhan ekonomi.
lebih baik.Tidak jarang keberadaan mereka Penduduk Badau memenuhi kebutuhan
di Malaysia menciptakan suatu kesadaran pekerjaan dengan bekerja di perkebunan
baru tentang masyarakat tanpa batas yang yang ada di wilayah Indonesia dan menjadi
dapat hidup dalam dunia yang bebas lepas tenaga kerja perkebunan di wilayah Malaysia.
dari batas-batas Negara yang mengekang Sebagian juga terlibat sebagai pedagang
(Govers dan Vermeulen, 1997).Cukup yang membawa barang-barang ke Malaysia.
banyak dari penduduk yang terlibat dengan Bekerja di Malaysia lebih memiliki daya tarik
perusahaan perkebunan baik yang dimiliki karena penghasilan lebih besar dibandingkan
oleh Indonesia maupun Malaysia. bekerja di negeri sendiri.Dalam satu hari, para
Identitas Badau merupakan identitas buruh bisa mendapatkan upah hingga RM
yang dinamis dan kontestatif (Burke dan 50 sehingga mereka bisa meraih upah 2.000
Stets, 2009).Tidak saja identitas terbangun RM dalam satu bulan. Dengan nilai tukar
secara kondisional atas tuntutan-tuntutan RM 1 sama dengan Rp 3.250, maka bekerja di
nyata yang dihadapi warga Badau, yang Malaysia akan mendapatkan penghasilan Rp
mengharuskan mereka responsif dan adaptif, 6.500.000. Jika bekerja sebagai buruh harian
juga sesuatu yang diperjuangkan dan dibela di Indonesia, mereka hanya mendapatkan
sebagai warga Negara yang men­cintai tanah gaji Rp 50.000 perhari atau hanya Rp 1.500.000
airnya. Semangat bela tanah air ini, terutama perbulan. Perbedaan jumlah pendapatan
atas citra buruk Indonesia di perbatasan, yang yang cukup tinggi inilah yang menjadi daya
telah menegaskan adanya Badau sebagai tarik warga Badau bekerja di Malaysia.
pintu gerbang untuk masuk ke wilayah Pemerintah Malaysia membutuhkan
Republik Indonesia. tenaga kerja dari Indonesia untuk “pekerjaan
kasar” karena Malaysia kekurangan tenaga
Badau sebagai Ruang Perbatasan kerja untuk perkebunan karet dan sawit.
Tanpa Batas Sebagian besar mereka adalah buruh ilegal
Permasalahan Badau sebagai wilayah yang tidak dilengkapi dengan dokumen
perbatasan bukan sekadar ketidakmampuan resmi dan ijin kerja.Warga Negara Indonesia
pemerintah dalam menyediakan barang- yang bekerja dalam sektor perkebunan di
barang publik (public goods) bagi warga, tetapi wilayah ini mencapai 2000 orang. Mereka
juga menyangkut dinamika lingkungan tinggal di dalam perkebunan, yakni di
strategis global yang menempatkan Badau rumah panjang yang sudah disediakan,
dalam suatu peta ekonomi politik inter­ dalam suatu kehidupan menyerupai desa.
nasional. Badau bukan sekadar wilayah Di dalam kebun juga terdapat kampung
perbatasan yang terpencil di perbatasan dua yang terdiri kurang lebih 60 orang setiap
Negara, tetapi juga sebagai wilayah penghasil kampung. Perkampungan yang terdapat
kayu, perkebunan subur, dan sumber ikan di dalam perkebunan ini ternyata hampir
yang kaya yang telah menarik minat pelaku sama dengan kampung pada umumnya, ada
ekonomi asing. Ketika hutan kayu habis struktur organisasi masyarakat, ada warga
akibat perdagangan dan penebangan liar, yang menempati kampung tersebut, dan
lahan di wilayah perbatasan Indonesia- ada sumber daya ekonomi yang menjadi
Malaysia ini menjadi kompleks perkebunan penunjang kehidupan buruh perkebunan ini.
karet dan sawit. PT Sinar Mas salah satu Di perkampungan buruh ini juga terdapat
perusahan perkebunan yang menjalankan warung-warung tempat mereka berbelanja
operasi, bahkan akan mendirikan pabrik memenuhi kehidupan sehari-hari. Status
pengolahan sawit di wilayah ini. Kehadiran ilegal yang disandang buruh menyebabkan

232
Irwan Abdullah -- Politik Identitas Masyarakat Perbatasan Indonesia-Malaysia: Kasus Badau di
Kapuas Hulu, Kalimantan Barat

mereka jarang keluar dan pergi ke pasar tatanan global (Featherstone, 1991).Badau,
karena takut dikenali dan ditangkap oleh dalam bahasa MacLuhan, tidak kurang
polisi Malaysia. Menurut pengakuan pekerja, sebagai global village yang memperlihatkan
Polisi Malaysia maklum dengan keberadaan betapa nilai-nilai yang dipelajari dan diyakini
mereka sebagai buruh ilegal asalkan mereka kemudian bukan hanya berasal dari lokalitas
tidak berbuat yang tidak pantas dan tidak di mana seseorang berada, tetapi juga nilai-
terlibat kriminalitas. nilai dari suatu pusat dunia (Abdullah, 2010).
Sejalan dengan ilegalitas ini masih Masyarakat Badau yang terintegrasi
banyak warga Badau yang memilih bekerja dengan pasar global mengindikasikan bahwa
di negeri sendiri karena alasan ketenangan. masyarakatnya merupakan masyarakat yang
Mereka tidak ingin hidup selalu dalam terbuka.Mereka mudah menerima nilai-nilai
situasi terancam dengan kehadiran Polisi baru, seperti teknologi baru dan juga orientasi
Malaysia yang kapan saja bisa menangkap ruang yang berubah.Orientasi ruang juga
mereka.Dengan bekerja di negeri sendiri tampak dari mobilitas penduduk Badau
di Badau, menurut mereka, warga Badau yang cukup tinggi terutama ke Lubok Antu,
tetap saja dapat berinteraksi dengan warga Malaysia, baik secara legal menggunakan
Malaysia melalui aktivitas berdagang secara Pas Merah maupun ilegal melalui jalan tikus
legal ke Malaysia.Mereka membeli barang yang menjadi rahasia umum.Mobilitas lintas
dari Malaysia dan juga menjual barang yang budaya ini menyebabkan warga Badau
berasal dari Indonesia seperti pakaian adat, selalu mengetahui dan terlibat dengan
berbagai kerajinan, hingga kebutuhan sehari- perkembangan nasional dan internasional
hari.Para pedagang ini, seperti banyak warga yang sekaligus menciptakan aspirasi-aspirasi
yang menggeluti profesi lain, yakin bahwa yang luas dalam kehidupan mereka sehari-
mereka tetap bisa hidup dengan bekerja hari. Selain pertukaran barang dan informasi
di negerinya sendiri tanpa harus berada di terjadi secara intensif dan meluas, Badau
bawah bayang- bayang kecemasan ilegalitas. juga terlibat dalam wacana ekonomi dan
Istilah yang sering dikatakan adalah “walau politik yang dapat menyebabkan redefinisi
hujan emas di negeri orang lebih baik hujan identitas mereka sebagai warga Indonesia di
batu di negeri sendiri” untuk memperlihatkan perbatasan (Ardhana, 2006; Sari, 2013).
komitmen moral-politik warga Badau. Keberadaan Badau sebagai “desa global”
Selain dengan warga Badau yang juga terjadi atas posisi Badau sebagai serambi
bekerja sebagai pedagang dan buruh ilegal depan Indonesia, yang ini sepenuhnya disadari
Badau juga terhubungkan dengan negara oleh pemerintah Malaysia, yang tampak dari
lain melalui barang-barang yang masuk berbagai kebijakan afirmatif pemerintah
melalui Lubok Antu Malaysia. Mobil dan Malaysia untuk wilayah perbatasan. Dengan
sepeda motor yang digunakan warga Badau cara ini Malaysia membangun citra positif
umumnya berasal dari Malaysia, bahkan sebagai Negara yang peduli dan pro-rakyat
jamak sekali terlihat kendaraan dengan plat melalui berbagai kebijakan subsidi yang
nomer Malaysia di wilayah Indonesia. Dalam diterapkan di wilayah perbatasan. Pada saat
hal ini tampak jelas bahwa Badau merupakan yang sama tindakan Malaysia ini menaruh
ruang internasional di mana kendaraan asing simpati warga Badau dan sekitarnya yang
beroperasi dengan bebas.Barang-barang yang kemudian tidak jarang menarik minat warga
beredar di Badau menegaskan bahwa Badau untuk menjadi warga Negara Malaysia,
bukanlah wilayah terasing karena berbagai khususnya melalui perkawinan. Badau pun
produk Malaysia, Jepang, atau Cina dapat menjadi ruang bersama dalam pergaulan
ditemukan di wilayah ini.Badau menjadi antarbangsa. Selain perkawinan yang terjadi
bagian dari suatu jaringan komunikasi global dengan penduduk Malaysia, Badau menjadi
yang sebagaimana dikatakan Featherstone ruang ekonomi di mana banyak orang dari
menjadi tanda integrasi masyarakat lokal ke berbagai tempat mencari penghidupan.

233
Kawistara, Vol. 4, No. 3, Desember 2014: 225-236

Perlu suatu kesadaran untuk melihat membantu mereka untuk mendapatkan


bahwa Badau bukanlah suatu wilayah yang berbagai fasilitas negara Malaysia yang
terletak di pinggiran, melainkan di satu titik diberikan melalui saudara mereka di Lubok
pusat global yang tampak dalam wacana Antu Serawak, Malaysia.Ikatan kekerabatan
perbatasan yang menempatkan wilayah ini dipelihara dengan baik karena masyarakat
Badau sebagai pusat pembicaraan.Badau Badau sangat bergantung pada saudaranya
pun menjadi pusat perhatian ketika yang berada di Malaysia. Ketiga, sebenarnya
kedaulatan Negara dibicarakan karena tidak dipakai secara sengaja karena pasarlah
keberadaan Badau merupakan suatu tanda yang memberikan mereka posisi sebagai
dari kehadiran atau ketidakhadiran Negara bagian dari konsumen global yang tidak bisa
dalam suatu ruang geografis-politik.Badau memisahkan diri mereka dengan apa yang
pun menjadi ruang yang dipertaruhkan terjadi secara global. Dari situ terbentuk
secara global karena kedaulatan bukan perilaku masyarakat yang terbuka yang
hanya menyangkut hubungan dua bangsa, ditandai dengan mobilitas penduduk dan
tetapi meliputi bangsa-bangsa dunia yang mobilitas pekerjaan yang cukup tinggi.
memiliki kepentingan ekonomi politik atas Ketergantungan masyarakat Badau
suatu ruang yang keberadaannya diatur terhadap Malaysia, sejalan dengan kebijakan
dalam suatu konvensi internasional. afirmatif pemerintah Malaysia, telah
memperlemah posisi pemerintah Indonesia
SIMPULAN di mata masyarakat Badau.Mereka merasa
Masyarakat Badau sebagai masyarakat bahwa pemerintah Malaysia memiliki
perbatasan Indonesia-Malaysia, memposisi­ kepedulian yang lebih dibandingkan peme­
kan dirinya dalam tiga format identitas, yaitu: rintahnya sendiri. Penduduk Indonesia,
identitas sebagai masyarakat perbatasan, khususnya warga Badau, menjadi sangat ter­
identitas sebagai bagian dari masyarakat gantung pada pasar Lubok Antu, Serawak,
Iban, dan identitas sebagai bagian dari karena perekonomian di Lubok Antu telah
masyarakat global. Konstruksi identitas ini berkembang menjadi pusat perbelanjaan
sejalan dengan yang dikatakan oleh Foote di mana dengan perjalan setengah jam saja
(1951) bahwa identitas individu dibentuk warga Indonesia sudah dapat memenuhi
oleh struktur yang mendefinisikannya hampir seluruh kebutuhan hidup. Tidak ada
dan memberi kerangka atas simbol-simbol pusat perekonomian yang setara di wilayah
yang membedakan satu dengan yang lain. Indonesia yang dapat dijangkau oleh warga
Struktur ini kemudian ditegaskan oleh Burke Badau dalam waktu singkat dan dengan jarak
bahwa identitas diri manusia tidak dapat yang dekat. Pusat perekonomian terdekat
dipandang sebatas siapa dia, tetapi hanya adalah ibu kota kabupaten Kapuas Hulu,
dapat dijelaskan melalui relasi-relasi sosial Putussibau, yang harus ditempuh lima jam
yang berada di sekitarnya. jalan darat dengan keadaan jalan yang buruk.
Ketiga format identitas ini dipakai Ketergantungan pada pasar dan barang
bergantian sesuai dengan kebutuhan mereka Malaysia merupakan fakta objektif yang
dan tidak dapat dipakai secara bersamaan menjadi dasar bagi redefinisi identitas warga
karena masing-masing merupakan respons yang seringkali menggugat nasionalisme
terhadap konteks dan kepentingan yang mereka sebagai “orang Indonesia”.
berlainan. Pertama, identitas sebagai warga Perubahan kehidupan warga perbatasan
perbatasan digunakan untuk memposisikan di Badau hanya dapat dilakukan oleh
diri mereka sebagai bagian dari masyarakat komitmen dan keterlibatan Negara yang lebih
Indonesia.Identitas ini biasanya dipakai besar melalui kebijakan-kebijakan afirmatif.
dalam urusan-urusan formal saja. Kedua, Permasalahan di wilayah perbatasan harus
identitas sebagai warga Dayak Iban, dipakai dipandang sebagai persoalan darurat, bukan
dalam kehidupan sehari-hari yang sangat kewajiban rutin pemerintah yang harus

234
Irwan Abdullah -- Politik Identitas Masyarakat Perbatasan Indonesia-Malaysia: Kasus Badau di
Kapuas Hulu, Kalimantan Barat

diselesaikan dengan program dan anggaran _________, 2013. “Daerah Perbatasan:


rutin, sehingga membutuhkan kebijakan Misrepresentasi Pembangunan dari
tanggap darurat atas ancaman-ancaman Belakang”, dalam Irwan Abdullah
yang serius menyangkut identitas warga dan (ed.), Badau Pasti Berlalu: Catatan
ketergantungan warga pada Negara asing. Perjalanan dari Wilayah Perbatasan
Pada saat yang sama kedaulatan Indonesia Kalimantan Barat. Yogyakarta: TICI
dipertanyakan setiap hari melalui berbagai Publications.
tanda representasi Negara yang kurang Abubakar, Mustafa. 2006. Menata Pulau-pulau
menguntungkan. Negara hanya hadir Kecil Perbatasan: Belajar dari Kasus
melalui bendera, aparat, dan peraturan yang Sipadan, Ligitan dan Sebatik. Jakarta:
kurang pupoler; tidak hadir dalam bentuk Kompas.
jalan yang berkualitas, bantuan kebutuhan
pokok, pendidikan yang memadai, dan Ardhana, I Ketut. 2006. Dinamika Etnisitas
kesehatan yang layak. dan Hubungan Ekonomi pada Wilayah
Keseluruhan perubahan ini akan terjadi Perbatasan di Kalimantan Timur-Sabah:
hanya jika perspektif tentang wilayah Studi Kasus di Wilayah Krayan dan
perbatasan mengalami pergeseran: bukan Long Pasia. Jakarta: Pusat Penelitian
sekedar pemisah dua Negara yang tegas Sumber Daya Regional Lembaga
secara politik-administratif, tetapi harus Ilmu Pengetahuan Indonesia.
dipandang sebagai pintu gerbang yang Burke, Peter (ed.). 2001. Advances in Identity
menjadi cermin bagi wajah Indonesia yang Theory and Research. New York:
sesungguhnya. Kehidupan yang maju di Kluwer Academic.
wilayah perbatasan merupakan tuntutan Burke, Peter dan Jane E. Stets. 2009. Identity
yang niscaya dalam menegakkan kedaulatan Theory. New York: Oxford University
melalui dukungan publik yang nasionalis Press.
dan melalui citra sebagai negeri yang
makmur dan mandiri melalui kebijakan- Cramb, R.A. 2007. Land and the Longhouse:
kebijakan yang pro-rakyat dan tindakan Agrarian Transformations in the World
afirmatif. Keberadaan institusi pengelolaan of Serawak.Copenhagen : NIAS.
perbatasan pun tidak akan berarti banyak Ehler, Eckart dan Carl Gethmann. 2003.
jika paradigma pembangunan daerah Environment Across Cultures. Berlin:
perbatasan belum bergeser ke cara pandang Springlerr Verlag.
yang menempatkan perbatasan sebagai titik Foote, Nelson. 1951. “Identification as the
pusat dari wacana ekonomi politik global Basis for a Theory of Motivation”,
atas perebutan sumberdaya ekonomi wilayah American Sociological Review 26:14-21.
perbatasan sekaligus perebutan kedaulatan
Gleditsch, Nielstetter. 1996. “Conflict and the
politik negara-bangsa.
Environment”, Environment, Vol. 33,
No.1.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 2007. Konstruksi dan Govers, Cora dan Hans Vermeulen. 1997. The
Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Politics of Ethnic Consciousness. New
Pustaka Pelajar. York: McMillan Press.
_________, 2010. “Model Kultural Pem­ Harris, Marvin. 1997. Culture, People, Nature.
bangunan Daerah Perbatasan: Menge­ Boston: Addison Wesley Publishing
depankan yang di Pinggir (kan)”, Company Incorporated.
Makalah pada Roundtable Discussion Marsetio. 2009. “Pendayagunaan Wilayah
Pembangunan Daerah Perbatasan”. Perbatasan dan Pulau-pulau Terluar
Jakarta: Lembaga Ketahanan Guna Mendukung Pembangunan
Nasional RI, 29 November. Nasional Dalam Rangka Persatuan

235
Kawistara, Vol. 4, No. 3, Desember 2014: 225-236

dan Kesatuan Bangsa”, Makalah, Sari, Intan Permata. 2013. “Sulitnya Menjadi
Seminar Pasis Dikreg XXXVI Sesko Indonesia: Dilema Identitas
TNI, 9 Juli, Jakarta. Komunitas Perbatasan Badau,
McCall, George dan J. Simmons. 1978. Kalimantan Barat”, dalam Irwan
Identities and Interactions. New York: Abdullah (ed.), Badau Pasti Berlalu:
Free Press. Catatan Perjalanan dari Wilayah
Perbatasan Kalimantan Barat.
Meltzer, B.N., J. Petras, L. Reynolds. 1977. Yogyakarta: TICI Publications.
Symbolic Interactionism: Genesis,
Varieties and Criticism. Boston: Stone, G. 1962. “Appearance and the
Routledge and Kegan Paul. Self”, dalam A. Rose (ed.), Human
Behavior and Social Processes. Boston:
Prasojo, Zaenuddin Hudi. 2013. ”Badauku Houghton Mifflin.
Sayang Badauku Malang: Dinamika
Daerah Perbatasan Kalimantan Barat- Stryker, Sheldon. 1987. “Identity Theory:
Serawak”, dalam Irwan Abdullah Developments and Extensions”,
(ed.), Badau Pasti Berlalu: Catatan dalam K. Yardley dan T. Honess, Self
Perjalanan dari Wilayah Perbatasan and Identity. Chichester, UK: Wiley.
Kalimantan Barat. Yogyakarta: TICI Tirtosudarmo, Riwanto. 2005. “Wilayah
Publications. Perbatasan dan Tantangan Abad 21:
Safitri, Ririh Megah. 2013. “Fungsi dan Sebuah Pengantar”, dalam Riwanto
Disfungsi Negara di Perbatasan: Tirtosudarmo, dkk. Dari Entikong
Potret Kehidupan di Badau, sampai Nunukan: Dinamika Daerah
Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Perbatasan Kalimantan Malaysia Timur
Barat”, dalam Irwan Abdullah (ed.), (Serawak-Sabah). Jakarta: Pustaka
Badau Pasti Berlalu: Catatan Perjalanan Sinar Harapan.
dari Wilayah Perbatasan Kalimantan
Barat. Yogyakarta: TICI Publications.

236

View publication stats

You might also like