You are on page 1of 19

Perlindungan Hukum Terhadap Hak Pemilik Tanah untuk

Pendirian Sarana Jaringan Transmisi Tenaga Listrik

Nur Aminah1, Purwanto2


1
Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, E-mail: nuramina153@gmail.com
2
Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, E-mail: Pureconsultant@gmail.com

ABSTRACT
In accordance with Article 27 of the Law Number 30 Year 2009 about the Electric Power, the State
Electricity Company has a priority right to build the electric network facilities for public use by considering
the rights of the community members residing in the surrounding areas. However, in fact, there were some
violations of this regulation when building the electric network facilities like the one happening in Bukuan
Village. The absence of legal protection concerning this regulation has brought about an impact on the
public rights, in which they felt harmed by that particular activity.
This research aimed at finding out the forms of legal protection towards the land use as the area to build
the electricity transmission network facilities by the State Electricity Company at Bukuan Village,
Samarinda Municipality. Furthermore, this research also analysed the legal efforts of the landowners
related to the lands used as the establishment areas for the electric power transmission network facilities
of the State Electricity Company at Bukuan Village, Samarinda Municipality. This research employed the
Socio Legal Approach, which referred to the approach done through observation and research.
The State Electricity Company had the rights to build electricity network facilities by using the privately
owned lands. The legal protection was necessary to be given to the landowners concerning the
establishment of electricity network facilities so that the State Electricity Company would not violate the
civil rights of the community members and went beyond its limit in exercising its authority. The community
members could do some settlement efforts towards the violation of civil laws by the State Electricity
Company in terms of the establishment of electricity network facilities at Bukuan Village, both in and
outside of the court.
Keywords: Regulation, Legal Protection, Electricity Network.

ABSTRAK
Sesuai dengan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, Perusahaan
Listrik Negara mendapat prioritas hak untuk membangun fasilitas jaringan listrik untuk kepentingan
umum dengan memperhatikan hak-hak masyarakat yang bertempat tinggal di sekitarnya. Namun
nyatanya, ada beberapa pelanggaran ketentuan ini saat membangun fasilitas jaringan listrik seperti yang
terjadi di Desa Bukuan. Ketiadaan perlindungan hukum atas peraturan ini berdampak pada hak-hak
masyarakat, dimana mereka merasa dirugikan oleh kegiatan tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap penggunaan
lahan sebagai kawasan pembangunan fasilitas jaringan transmisi listrik oleh Perusahaan Listrik Negara
Desa Bukuan Kota Samarinda. Lebih lanjut, penelitian ini juga menganalisis upaya hukum para pemilik
tanah terkait dengan tanah yang digunakan sebagai areal pendirian fasilitas jaringan transmisi tenaga
listrik PT Perusahaan Listrik Negara Desa Bukuan Kota Samarinda. Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Socio Legal Approach, yaitu pendekatan yang dilakukan melalui observasi dan
penelitian.
Perusahaan Listrik Negara berhak membangun fasilitas jaringan listrik dengan menggunakan tanah milik
pribadi. Perlindungan hukum perlu diberikan kepada para pemilik tanah tentang pembangunan fasilitas
jaringan listrik agar Perusahaan Listrik Negara tidak melanggar hak-hak sipil masyarakat dan melampaui
batas dalam menjalankan kewenangannya. Upaya penyelesaian pelanggaran hukum perdata oleh

62
Perusahaan Listrik Negara dapat dilakukan oleh masyarakat dalam hal pembangunan fasilitas jaringan
listrik di Desa Bukuan, baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Kata Kunci: Regulasi, Perlindungan Hukum, Jaringan Listrik.

PENDAHULUAN
Negara menjamin hak warga negaranya untuk mendapatkan hukum yang adil. Selain
berkedudukan sama di depan hukum, setiap warga negara berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. PT Perusahaan Listrik Negara
(Persero) yang selanjutnya disebut PT. PLN (Persero) berhak menggunakan tanah dan
melintasi di atas atau di bawah tanah milik perorangan dalam rangka usaha penyediaan
tenaga listrik termasuk memasang sarana jaringan tenaga listrik untuk kepentingan
umum, yang mana kewenangannya telah diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan. Pendirian jaringan listrik termasuk dalam
pengadaan tanah yang artinya perngadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah
dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.
Pihak yang berhak adalah masyarakat sebagai pemilik hak atas tanah.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum berarti mengadakan tanah yang dilakukan
dengan cara memberi ganti rugi yang layak dan adil kepada pihak yang berhak yaitu
pemilik hak atas tanah. Karena itu seharusnya PT. PLN (Persero) dalam melakukan
pegadaan tanah untuk pendirian jaringan listrik demi kepentingan umum memberikan
ganti rugi hak atas tanah atau kompensasi kepada pemegang hak atas tanah, bangunan,
dan tanaman. Sebagaimana hal ini juga telah disebutkan dalam ketentuan Pasal 30
ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan. Kompensasi
tersebut diberikan oleh PT. PLN (Persero) sebagai pemegang izin usaha penyediaan
tenaga listrik.
Pada tahun 1995 dilakukan pengadaan tanah dalam rangka pendirian sarana jaringan
listrik untuk kepentingan umum dengan saluran jaringan tegangan menengah (SUTM)
oleh PT. PLN (Persero) dengan menggunakan tanah hak milik warga di Kelurahan Bukuan
Kecamatan Palaran Kota Samarinda dimana pada proses pendiriannya tidak ada
pemberian ganti rugi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan bahwa pendirian jaringan listrik
dengan menggunakan tanah hak milik perorangan akan diberikan ganti rugi atau
kompensasi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak PT. PLN (Persero) bahwa pendirian jaringan
listrik di tanah hak milik perorangan tidak adanya pemberian ganti rugi atau kompensasi,
sebab berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1965 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi
sosial dimana dalam pendirian jaringan listrik digunakan untuk mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam
masyarakat serta dalam wewenang untuk mempergunakan tanah untuk kepentingan
umum maka penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Pendirian
jaringan listrik tegangan menengah dalam prosesnya tidak menggunakan tanah milik
perorangan secara berlebihan, demi menghindari sengketa di kemudian hari maka pihak
penyedia usaha tenaga listrik dalam kasus ini adalah PT. PLN (Persero) harus melakukan

63
pemberitahuan perencanaan pendirian jaringan listrik melalui lurah dan harus
berdasarkan asas keikutsertaan dalam melakukan pendirian jaringan listrik dimana
pendirian jaringan listrik harus mengikutsertakan pemilik tanah dalam penentuan titik
pendirian jaringan listrik secara bersama.1
Masyarakat di Kelurahan Bukuan tidak menolak atas adanya pendirian jaringan listrik
dengan menggunakan tanah hak milik mereka namun beberapa masyarakat khususnya
warga yang terdampak atas pendirian jaringan listrik merasa dirugikan sebab tidak
terlaksananya asas keikutsertaan oleh PT. PLN (Persero) yaitu tidak melakukan
penentuan titik pendirian tiang listrik secara bersama dengan pemilik tanah yang
menyebabkan beberapa jaringan listrik yang tertanam masuk kedalam luasan pemilik
hak atas tanah. Masyarakat merasa perlu adanya ganti rugi atau kompensasi oleh pihak
PT. PLN (Persero) untuk pendirian jaringan listrik tanpa keikutsertaan dari pemilik tanah
dan menimbulkan kerugian baik secara materiil maupun non materiil yaitu
terganggunya aktivitas dari pada pemilik tanah seperti dalam hal penambahan
bangunan rumah yaitu pembangunan pagar rumah, garasi, slab beton (jalan
penghubung antara rumah dan jalan raya), lalu lintas keluar masuk pekarangan rumah
dalam hal parker kendaraan, berkurangnya nilai ekonomis dan nilai estetika tanah
tersebut, serta dapat membahayakan keselamatan bagi warga terdampak.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak Kelurahan Bukuan yang menjelaskan bahwa
masyarakat khususnya warga yang terdampak sebagai pemilik hak atas tanah yang
mempunyai hak keperdataan tidak mendapat ganti rugi atau kompensasi justru berbalik
harus memenuhi kewajiban tertentu yaitu membayar sejumlah uang jika ingin
melakukan pemindahan atas pendirian jaringan listrik yang didirikan tanpa melakukan
penentuan titik pendirian jaringan listrik secara bersama yang faktanya pada kasus
pendirian jaringan listrik di Kelurahan Bukuan PT. PLN (Persero) tidak memperhatikan
hak keperdataan dari pemilik tanah yaitu berupa hak keikutsertaan dalam penentuan
titik pendirian jaringan listrik.2
Pemberian kompensasi dalam pendirian jaringan listrik telah diatur dalam Pasal 3
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 27 Tahun 2018 Tentang
Kompensasi Hak Atas Tanah, Bangunan, Dan/Atau Tanaman Yang Berada Di Bawah
Ruang Bebas Jaringan Transmisi Tenaga Listrik yang selanjutnya disebut PERMEN ESDM
Nomor 27 Tahun 2018 Tentang Kompensasi Hak Atas Tanah, Bangunan, Dan/Atau
Tanaman Yang Berada Di Bawah Ruang Bebas Jaringan Transmisi Tenaga Listrik. Akan
tetapi pemberian kompensasi akan dilaksanakan berdasarkan jumlah tegangan yang
ditentukan dalam peraturan ini yaitu untuk saluran tegangan diatas 35Kv yang biasa di
sebut saluran udara tegangan tinggi (SUTT) dan saluran udara tegangan ekstra tinggi
(SUTET), sedangkan tidak ada regulasi yang mengatur terkait pemberian kompensasi
kepada masyarakat yang dirugikan hak perdatanya untuk tegangan di bawah 35Kv yaitu
saluran udara tegangan menengah (SUTM).

1
Hasil Wawancara dengan Supervisor Bidang Jaringan Distribusi PT. PLN (Persero), Tanggal 5
November 2018, Pukul: 15.20.
2
Wawancara dengan Lurah Bukuan, Tanggal 1 November 2018, Pukul: 14.00

64
Tidak terlaksananya hak keperdataan yang dimiliki warga yang terdampak dalam proses
pendirian sarana jaringan listrik dengan jaringan tegangan menengah (SUTM) di
Kelurahan Bukuan menyebabkan tidak adanya perlindungan hukum bagi pemilik tanah
yang dirugikan atas tidak terlaksananya asas keikutsertaan dalam hal ini adalah
keikutsertaan pemilik tanah dalam penentuan titik pendirian sarana jaringan listrik
secara bersama oleh PT. PLN (Persero), hal tersebut menimbulkan kerugian bagi
masyarakat di Kelurahan Bukuan khususnya warga yang terdampak atas pendirian
jaringan listrik sebagai pemilik tanah dikarenakan berkurangnya luas kepemilikan tanah.
Penelitian ini menjawab dua hal, pertama bagaimana bentuk perlindungan hukum
terhadap hak pemilik tanah untuk area pendirian sarana jaringan transmisi tenaga listrik
PT. PLN (Persero) di Kelurahan Bukuan Kota Samarinda, kedua Bagimana upaya hukum
pemilik tanah terkait penggunaan tanah untuk area pendirian sarana jaringan transmisi
tenaga listrik PT. PLN (Persero) di Kelurahan Bukuan Kota Samarinda.

METODE
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan secara social-legal research,
artinya pendekatan yang diperoleh melalui observasi atau penelitian. Pilihan
pendekatan pada social-legal research tidak berarti mengeyampingkan dukungan sisi
doctrinal degan alasan salah satu sasaran studi ini meliat seperangkat norma positif
dalam kaitannya dengan pelaksanaan ganti rugi atau pembayaran kompensasi
penggunaan tanah hak milik untuk berdirinya sarana jaringan transmisi tenaga listrik
dalam penyediaan fasilitas sarana jaringan transmisi tenaga listrik, termasuk dukungan
sisi teori hukum dengan tujuan untuk verifikasi pelaksanaan hukum dalam praktek
(pembentukan dan penerapan).

PEMBAHASAN
Pendirian sarana jaringan listrik di Kelurahan Bukuan Kecamatan Palaran Kota
Samarinda pada tahun 1986 merupakan jaringan listrik pedesaan (Lisdes), lisdes
merupakan jaringan tegangan rendah (JTR). Jaringan lisdes dalam proses penyaluran
listriknya pada saat itu hanya menggunakan kabel tanpa tiang listrik sebagai penyangga
dimana saluran kabel listrik tersebut hanya dikaitkan di rumah-rumah warga atau di
pepohonan sekitar, lisdes yang berada di Kelurahan Bukuan pada tahun 1986 hanya
beroperasi selama 12 jam yaitu mulai dari pukul 18.00 sampai dengan 06.00. 3
Meningkatnya jumlah penduduk di kelurahan bukuan kebutuhan akan listrik semakin
bertambah dan jaringan lisdes tidak dapat mencukupi lagi oleh karena itu masyarakat
meminta untuk dapat disalurkan jaringan listrik di Kelurahan Bukuan dengan melalui
surat tertulis oleh Lurah kepada PT. PLN (Persero) dan pada tahun 1995 dilakukan
pendirian sarana jaringan transmisi tenaga listrik oleh PT. PLN (Persero) dengan
menggunakan jaringan saluran udara tegangan menengah (SUTM), pendirian jaringan
listrik PT. PLN (Persero) di Kelurahan Bukuan dilakukan sebelum berdirinya rumah-
rumah warga setempat namun pernyataan dari Lurah Bukuan dan masyarakat setempat

3
Hasil wawancara dengan Supervisor Bidang Jaringan Distribusi PT. PLN (Persero) Palaran Tanggal 5
November 2018, Pukul: 15.20

65
bahwa pendirian sarana jaringan listrik dilakukan setelah berdirinya rumah warga. 4
Pendirian jaringan listrik Oleh PT. PLN (Persero) di Kelurahan Bukuan adalah bentuk
pengadaan tanah untuk kepentingan umum, Konsep tata ruang pendirian sarana
jaringan listrik dapat menggunakan tanah hak milik warga hal itu dapat dilakukan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan Pasal 27
yang berbunyi: “Untuk kepentingan umum, pemegang izin usaha penyediaan tenaga
listrik dalam melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik berhak untuk masuk ke
tempat umum atau perorangan dan menggunakannya untuk sementara waktu”.5
Selanjutnya dalam pasal 44 dijelaskan bahwa pendirian jaringan listrik harus memenuhi
ketentuan keselamatan ketenagalistrikan, adapun yang dimaksud ketentuan
keselamatan adalah memberikan rasa aman dari bahaya bagi manusia dan makhluk
hidup lain di sekitarnya. Faktanya PT. PLN (Persero) pada pendirian jaringan listrik di
Kelurahan Bukuan khususnya pendirian di tanah milik warga yang terdampak tidak
memenuhi ketentuan keselamatan akibat dari tidak terlaksananya asas keikutsertaan
dalam penentuan titik pendirian jaringan listrik sehingga tidak memberikan rasa aman
dan nyaman pemilik tanah
Perhitungan jarak pendirian jaringan listrik antara tiang listrik adalah 40-50 Meter atau
dapat menyesuaikan kondisi yang ada dilapangan dan harus mengikutsertakan pemilik
atas tanah dalam penentuan titik pendirian, faktanya pihak PT. PLN (Persero) dalam
beberapa proses pendirian sarana jaringan listrik di Kelurahan Bukuan tidak melakukan
asas keikutsertaan yaitu tidak mengikutsertakan pemilik tanah dalam menentukan titik
secara bersama sehingga menimbulkan konflik dimana pendirian jaringan listrik tidak
berada di batas tanah milik warga yang terdampak melainkan berada di dalam area
tanah hak milik warga yang terdampak dan menimbulkan kerugian dari pemilik hak atas
tanah.6
PT. PLN (Persero) tidak memperhatikan jarak aman pada pendirian jaringan listrik
dengan benda di sekitarnya sebagaimana di sebutkan dalam Keputusan Direksi PT PLN
(Persero) Nomor: 606.K/Dir/2010 tentang Standar Konstruksi Jaringan Tegangan
Menengah Tenaga Listrik. Pada Bab IV Buku 5 tersebut menjelaskan jarak aman adalah
jarak antara bagian aktif/fase dari jaringan terhadap benda-benda disekelilingnya baik
secara mekanis atau elektromagnetis yang tidak memberikan pengaruh
membahayakan. Untuk jarak aman pemasangan jaringan listrik tegangan menengah
dirinci sebagai berikut:
Tabel B.1 Penentuan Jarak Aman

No. Uraian Jarak Aman Tiang


1. Terhadap permukaan jalan raya ≥ 6 meter
2. Balkon/ teras rumah ≥ 2,5 meter
3. Atap rumah ≥ 2 meter

4
Hasil wawancara dengan Masyarakat Dan Luran Bukuan Kecamatan Palaran Kota Samarinda Tanggal
1 November 2018.
5
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan.
6
Hasil wawancara dengan Supervisor Bidang Jaringan Distribusi dan Masyarakat Bukuan Tanggal 5
November 2018, Pukul: 15.20.

66
4. Dinding bangunan ≥ 2,5 meter
5. Antenna TV/ radio, menara ≥ 2,5 meter
6. Pohon ≥ 2,5 meter
7. Lintasan kereta api ≥ 2 meter dari atap kereta
8. Underbuilt TM – TM ≥ 1 meter
9. Underbuilt TM – TR ≥ 1 meter
Sumber: Keputusan Direksi PT PLN (Persero) Nomor: 606.K/Dir/2010 tentang Standar
Konstruksi Jaringan Tegangan Menengah Tenaga Listrik.

Fakta dilapangan ditemukan adanya pertentangan atau bertolak belakang dengan


aturan tersebut, ditemukan sekitar 27 rumah di Kelurahan Bukuan yang berhadapan
langsung dengan jaringan listrik bahkan menjadi satu dengan bagunan atau rumah
warga yang rinciannnya terdapat pada tabel berikut:
Tabel B.2 Data jumlah KK (Kepala Keluarga) yang terdampak Pendirian sarana jaringan
tenaga listrik di Kelurahan Bukuan

NO Wilayah RT (Rukun Tetangga) Jumlah KK (Kepala Keluarga)


1 RT. 2 1
2 RT. 7 2
3 RT. 9 2
4 RT. 14 1
5 RT. 15 2
6 RT. 19 4
7 RT. 20 2
8 RT. 21 2
9 RT. 22 5
10 RT. 26 3
11 RT. 27 3
Jumlah 11 RT 27 KK
Sumber: Hasil Observasi di Kelurahan Bukuan Tahun 2018

Berdasarkan hasil Observasi di Kelurahan Bukuan Kecamatan Palaran terkait jarak aman
pendirian jaringan listrik terdapat salah satu rumah warga dimana pintu rumahnya
langsung berdampingan dengan jaringan listrik serta Gardu yang menjadi satu dengan
jaringan listrik, hal ini dapat membahayakan bagi penghuni rumah tersebut. Berikut
beberapa kondisi rumah warga yang terdampak terkait pendirian jaringan lsitrik tanpa
jarak aman :

67
Gambar B.1 kondisi tiang listrik di Kelurahan Bukuan

68
Sumber: Hasil Observasi di Kelurahan Bukuan Tahun 2018

Terlihat dari gambar diatas bagaimana keberadaan jaringan listrik yang tidak
berdasarkan jarak aman dimana pendiriannya tepat berada didepan dan menempel
bersama bangunan rumah dari pemilik tanah tersebut, bahkan terdapat pada gambar
diatas bahwa salah satu rumah warga yang berdampingan bukan hanya dengan tiang
listriknya tetapi juga menjadi satu dengan Gardu (Sub Sistem dari Penyaluran Transmisi
Tenaga Listrik) yang jelas membahayakan pemilik rumah dan anggota keluarganya.
Hal ini menimbulkan kerugian hak keperdataan masyarakat pemilik tanah baik materiil
maupun non materiil. Kerugian materiil dan non materiil yang dialami masyarakat dalam
pendirian jaringan listrik di Kelurahan Bukuan adalah turunnya harga ekonomis dari
tanah, berkurangnya nilai estetika dari tanah dan terganggunya aktivitas pemilik tanah
yaitu dalam hal penambahan bangunan rumah seperti pembangunan pagar rumah,
garasi, slab beton (jalan penghubung diatas parit untuk dapat masuk kedalam
pekarangan rumah), lalu lintas keluar masuk pekarangan rumah dalam hal parkir
kendaraan, dan membahayakan keselamatan bagi masyarakat khususnya warga yang
terdampak sebagai pemilik tanah.

Persepsi Masyarakat Terdampak Terhadap Pendirian Sarana Jaringan Listrik Di


Kelurahan Bukuan
Metode yang digunakan untuk mendapatkan data dari persepsi pemilik tanah
khususnya warga yang terdampak akibat pendirian sarana jaringan listrik oleh PT. PLN
(Persero) di Kelurahan Bukuan Kecamatan Palaran Kota Samarinda yaitu melalui bentuk
kuisioner. Kuisioner yang digunakan merupakan bentuk kuisioner yang bersifat tertutup,
alasan menggunakan kuisioner yang bersifat tertutup sendiri adalah untuk
mempermudah bagi pemilik tanah khususnya warga yang terdampak dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam kuisioner tersebut.

69
Kuisioner ini dibuat dengan tujuan untuk dapat mengetahui dan menganalisis seberapa
banyak pemilik tanah khususnya warga yang terdampak memahami tentang aturan
pendirian jaringan listrik dengan menggunakan tanah hak milik, ada atau tidaknya
pemilik tanah khususnya warga yang terdampak mendapatkan pemberitahuan terkait
pendirian jaringan listrik, seberapa banyak kerugian yang diterima pemilik tanah
khususnya warga yang terdampak atas pendirian jaringan listrik tanpa berdasarkan pada
asas keikutsertaan, dan untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum yang diberikan
oleh PT. PLN (persero) terhadap pemilik tanah yaitu warga yang terdampak atas
pendirian jaringan listrik tersebut. Berikut ini hasil kuisioner yang didapatkan dan di
uaraikan dalam bentuk tabulasi.

Tabel 2.1
Persepsi Masyarakat Terdampak Terhadap Pendirian Sarana Jaringan Transmisi Tenaga
Listrik

Jawaban Responden

No Pertanyaan Jumlah Iya


Ya Tidak
Responden
Jumlah % Jumlah %
1. Apakah Bapak/Ibu
mengetahui bagaimana
prosedur pendirian 27 1 3% 26 97%
sarana jaringan listrik
oleh PT. PLN (Persero)?
2. Apakah Bapak/Ibu
mengetahui regulasi
yang mengatur terkait
27 1 3% 26 97%
pendirian sarana
jaringan listrik di tanah
hak milik perseorangan?
3. Apakah pejabat terkait
memberitahu kepada
warga jika akan
dilakukan pendirian
27 5 18% 22 82&
sarana jaringan listrik
tiang listrik di tanah hak
milik Bapak/Ibu?
4. Apakah Bapak/Ibu
selaku pemilik tanah hak
milik di ikutsertakan
dalam proses penentuan 27 27 100%
titik pendirian sarana
jaringan listrik oleh PT.
PLN (Persero)?
5. Apakah tanah ini yang
digunakan untuk 27 27 100%
pendirian sarana

70
jaringan listrik milik
Bapak/Ibu?
6. Apakah pendirian sarana
jaringan listrik di tanah
hak milik Bapak/Ibu
27 8 29% 19 71%
berdiri sebelum
dibangunnya rumah
Bapak/Ibu?
7. Apakah pendirian sarana
jaringan listrik di tanah
hak milik Bapak/Ibu
27 19 71% 8 29%
berdiri sesudah
dibangunnya rumah
Bapak/Ibu?
8. Apakah Bapak/Ibu
merasa dirugikan atas
adanya pendirian sarana
27 22 82% 5 18%
jaringan listrik di rumah
Bapak/Ibu?
9. Adakah bentuk
perlindungan hukum
yang diberikan oleh
pejabat terkait dalam 27 27 100%
pendirian sarana
jaringan listrik di tanah
Bapak/Ibu?
10. Apakah Bapak/Ibu
pernah menyampaikan
keluhan kepada PT. PLN
(Persero) terkait 27 2 7% 25 93%
pendirian tiang listrik di
tanah hak milik
Bapak/Ibu?
Sumber: Hasil Penelitian Di Kelurahan Bukuan Tahun 2018.

Berdasarkan data di atas secara umum warga yang terdampak di Kelurahan Bukuan
Kecamatan Palaran Kota Samarinda yang tidak mengetahui bagaimana prosedur
maupun regulasi pendirian sarana jaringan listrik khususnya pendirian sarana jaringan
listrik ditanah hak milik perorangan, pada pendirian jaringan listrik di Kelurahan Bukuan
juga terdapat data bahwa pendirian yang dilakukan setelah adanya bangunan rumah
dan sebelum adanya bangunan rumah milik warga yang terdampak, tidak ada
pemberitahuan yang di sampaikan beberapa hari sebelum pendirian jaringan listrik
melainkan pada saat akan dilakukan pendirian jaringan listrik beberapa masyarakat
khususnya warga terdampak merasa tidak mendapat pemberitahuan terkait pendirian
sarana jaringan listrik oleh pihak PT. PLN (Persero) dan tidak adanya pengikutsertaan
pemilik tanah dalam penentuan titik pendirian sarana jaringan listrik secara bersama
sehingga menimbulkan kerugian bagi pemilik tanah baik secara materiil maupun non
materiil serta tidak adanya bentuk perlindungan hukum bagi pemilik tanah terkait

71
pendirian jaringan listrik di Kelurahan Bukuan yang tidak berdasarkan asas
keikutsertaan.
Dalam pendirian sarana jaringan listrik untuk kepentingan umum PT. PLN (Persero)
berhak menggunakan tanah hak milik perorangan dan harus berdasarkan asas
keikutsertaan, faktanya PT. PLN (Persero) dalam melakukan pendirian sarana jaringan
listrik di Kelurahan Bukuan telah mengabaikan hak keperdataan warga yang terdampak
sebagai pemilik hak atas tanah dimana warga yang terdampak berhak diikutsertakan
dalam penentuan titik pendirian sarana jaringan listrik secara bersama. PT. PLN
(Persero) tidak melakukan itikad baik dengan tidak mengikutsertakan pemilik tanah
dalam melakukan penentuan titik pendirian jaringan listrik secara bersama sehingga
menimbulkan kerugian bagi pemilik tanah baik secara materiil maupun non materiil
bahkan warga terdampak yang mempunyai hak keperdataan dalam penentuan titik
pendirian jaringan listrik justru harus memenuhi kewajiban tertentu yaitu membayar
dengan sejumlah uang jika ingin melakukan pemindahan jaringan listrik dimana warga
yang terdampak tidak mendapat bentuk perlindungan hukum apapun dari pihak PT. PLN
(Persero).7
Pada Pasal 30 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan
dijelaskan bahwa penyedia usaha tenaga listrik untuk melaksanakan haknya harus
memberikan ganti rugi hak atas tanah atau kompensasi kepada pemegang hak atas
tanah, bangunan dan tanaman sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ganti rugi tersebut dibayarkan oleh PT. PLN (Persero) sebagai pemegang izin usaha
penyediaan tenaga listrik. Ganti rugi hak atas tanah tersebut diberikan untuk tanah yang
dipergunakan secara langsung, bangunan dan tanaman yang berada di atasnya,
kompensasi juga diberikan terhadap penggunaan tanah secara tidak langsung yang
mengakibatkan berkurangnya nilai ekonomis atas tanah, bangunan dan tanaman yang
dilintasi transmisi tenaga listrik. Berdasarkan aturan yang ada diatas bahwa jelas PT. PLN
(Persero) telah menggunakan secara tidak langsung tanah hak milik warga yang
terdampak di Kelurahan Bukuan.
Pengaturan lebih lanjut terkait pemberian kompesasi sebagaimana dijelaskan dalam
Udang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan terdapat dalam
PERMEN ESDM Nomor 27 Tahun 2018 Tentang Kompensasi Hak Atas Tanah, Bangunan,
Dan/Atau Tanaman Yang Berada Di Bawah Ruang Bebas Jaringan Transmisi Tenaga
Listrik Pasal 1 yang mejelaskan bahwa pemberian kompensasi akan dilaksanakan
berdasarkan jumlah tegangan yang ditentukan yaitu sebesar 35Kv keatas yaitu untuk
saluran udara tegangan tinggi (SUTT) dan saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET).
Berdasarkan Putusan Mahkaman Agung Nomor 38/PDTG/2011/PN.BJN menyebutkan
bahwa pendirian jaringan listrik merupakan kebutuhan dasar dari masyarakat yang
mana pendiriannya mempunyai fungsi sosial untuk kepentingan umum. Tidak adanya
regulasi yang mengatur terkait pemberian kompensasi untuk saluran udara tegangan
menengah (SUTM) dan tidak ada perlindungan hukum bagi warga yang terdampak di
Kelurahan Bukuan yang dirugikan hak keperdataanya dengan tidak diikutsertakan dalam
penentuan titik pendirian sarana jaringan listrik secara bersama serta tidak adanya
7
Hasil Wawancara dengan Warga Bukuan, Tanggal 4 November 2018. Pukul. 14.00

72
pemberian sanksi terkait pendirian jaringan listrik di Kelurahan Bukuan oleh PT. PLN
(Persero) yang tidak berdasarkan asas keikutsertaan menimbulkan rasa tidak adil bagi
mereka. Maka perlunya perlindungan hukum oleh pemerintah terhadap masyarakat
khususnya warga yang terdampak di Kelurahan Bukuan untuk mendapatkan dan
menikmati haknya atas pendirian sarana jaringan transmisi tenaga listrik.

Perlindungan preventif dan refresif terhadap Pemilik Hak Atas Tanah Dalam Pendirian
Sarana Jaringan Listrik Di Kelurahan Bukuan
Menurut Soetijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman
terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu
diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh
hukum. Hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak
sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif/Preventif.
Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan yang diberikan oleh pemerintah
dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dengan tujuan untuk mencegah suatu pelanggaran
serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu
kewajiban. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindak
pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya
perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati
dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketengalistrikan adalah bentuk
perlindungan hukum preventif untuk menjamin hak atas tanah masyarakat yang
terdampak. Instrumen pengawasan yang disebutkan dalam pasal 46 seharusnya
menjadi jaminan pelaksanaan perlindungan hukum yang bersifat preventif. Dalam
pasal tersebut jelas menyatakan bahwa pendirian jaringan listrik perlu dilakukan
pengawasan untuk menjamin keselamatan masyarakat sekitar agar tidak terjadi bentuk
pelanggaran terhadap pemilik hak atas tanah dan juga mengandung makna bahwa harus
adanya bentuk pengawasan terhadap pendirian tiang listrik yang akan dilakukan oleh
inspektur kelistrikan dan/atau penyidik pegawai negeri sipil dan apabila nantinya di
temukan pelanggaran terhadap ketentuan perizinan maka perlu dilakukan evaluasi dan
juga memberikan sanksi perdata, administrasi maupun pidana.
Faktanya ditemukan kelemahan dalam pengawasan pemerintah atas pendirian jaringan
listrik di Kelurahan Bukuan oleh PT. PLN (Persero) sehingga terjadi pelanggaran yang
menimbulkan kerugian bagi pemilik tanah khususnya warga yang terdampak dimana
pendirian jaringan listrik tidak mengikutsertakan masyarakat terdampak termasuk
dalam penentuan jarak aman yang menyebabkan kerugian serta membahayakan
keselamatan bagi pemilik tanah. Tidak ditemukan adanya inspeksi terhadap perizinan
yang diberikan, menunjukkan kelemahan dalam pengawasan.
Adapun Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi denda,
penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah
dilakukan pelanggaran. 8 Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu

8
Ibid Hlm.41

73
dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan
peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah.
Terhadap kasus pendirian jaringan listrik di Kelurahan Bukuan Kecamatan Palaran Kota
Samarinda, terdapat beberapa Undang-Undang yang dapat di jadikan sebagai bentuk
perlindungan represif terhadap masyarakat setempat antara lain:
1. Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terkait perbuatan melawan hukum yang
menyebutkan bahwa tiap perbuatan melawan hukum yang merugikan kepada orang lain,
mawajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.
2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan, Dalam undang-undang ini
terdapat bebrapa pasal yang dapat digunakan sebagai perlindungan hukum secara repserif
dalam kasus pendirian sarana jaringan listrik di Kelurahan Bukuan yaitu:
a. Pada Pasal 48 ayat (1) yang menyebutkan: “setiap orang melakukan usaha penyediaan
tenaga listrik melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 di kenai sanksi
administratif berupa: teguran tertulis, Pembekuan kegiatan sementara atau pencabutan
izin usaha. Dalam pasal tersebut menjelaskan bahwa penyedia usaha tenaga listrik dalam
pendirian jaringan listrik perlu memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan,
dalam hal ini PT. PLN (Persero) harus melakukan ketentuan keselamatan dalam
penentuan jarak aman pendirian jaringan listrik dengan tujuan untuk meberikan rasa
aman dari bahaya kelistrikan kepada pemilik hak atas tanah. Pada pendirian jaringan
listrik di kelurahan bukuan PT. PLN (Persero) tidak melakukan ketentuan keaman
kelistrikan dengan tidak melakukan penentuan jarak aman pendirian jaringan listrik di
tanah hak milik warga yang terdampak sehingga membahayakan bagi keselamatan
pemilik tanah.
b. Pada pasal 52 ayat (1) yang menyebutkan: “Setiap orang yang melakukan usaha
penyediaan tenaga listrik yang tidak memenuhi kewajiban terhadap yang berhak atas
tanah, bangunan, dan tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) serta pencabutan izin usaha penyediaan tenaga
listrik atau izin operasi. Dalam pasal tersebut menjelaskan bahwa penyedia usaha tenaga
listrik dalam pendirian tiang listrik perlu memenuhi kewajiban terhadap pemilik hak atas
tanah yaitu pemberian ganti rugi atau kompensasi kepada pemilik tanah atas penggunaan
tanah secara tidak langsung dan berakibat pada kurangnya nilai ekonomis tanah tersebut,
apabila penyedia usaha tenaga listrik tidak memenuhi kewajiban terhadap pemilik hak
atas tanah maka akan di berikan sanksi pidana berupa penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Dalam pendirian
jaringan listrik di kelurahan bukuan PT. PLN (Persero) tidak memenuhi kewajiban
terhadap yang berhak yaitu tidak melakukan pemberian kompensasi kepada pemilik
tanah khususnya warga yang terdampak atas penggunaan tanah secara tidak langsung
yang mengakibatkan berkurangnya nilai ekonomis tanah tersebut.
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dalam Pasal 71
disebutkan bahwa Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi,
menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang ini,
peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia
yang diterima oleh negara Republik Indonesia.
Dalam pendirian jaringan listrik di Kelurahan Bukuan PT. PLN (Persero) tidak memenuhi
hak dari pemilik tanah khususnya warga yang terdampak yaitu tidak diikutsertakan

74
dalam penentuan titik pendirian jaringan listrik di Kelurahan Bukuan yang
mengakibatkan hilangya hak dan menimbulkan kerugian bagi dari warga yang
terdampak atas dasar tidak terpenuhinya hak dari pemilik tanah untuk diikutsertakan
dalam penentuan titik pendirian jaringan listrik di Kelurahan Bukuan maka pemerintah
wajib memberikan perlindungan hak dari pemilik tanah.
Terhadap kasus pendirian sarana jaringan listrik di Kelurahan Bukuan Kecamatan Palaran
Kota Samarinda telah terjadi perbuatan melawan hukum oleh PT. PLN (Persero) yaitu
dengan tidak memperhatikan hak keperdataan dari pemilik hak atas tanah terutama
dalam hal pendirian jaringan listrik tanpa pemberitahuan kepada pemilik tanah dan
penentuan titik dalam pendirian sarana jaringan listrik secara bersama di tanah hak milik
masyarakat khususnya warga yang terdampak. disisi lain pada kasus ini juga
menimbulkan kerugian bagi masyarakat bahkan masyarakat sebagai pihak yang
mempunyai hak secara perdata justru berbalik harus memenuhi kewajiban tertentu jika
ingin melakukan pemindahan tiang listrik, yang mana seharusnya pemilik tanahlah yang
mendapat ganti rugi atau kompensasi atas pendirian jaringan listrik tanpa
pemberitahuan dan tidak mengikutsertakan pemilik tanah dalam penentuan titik secara
bersama pada kasus pendirian sarana jaringan listrik pemilik maka perlu adanya
perlindungan hukum bagi masyarakat yang telah di rugikan.
Berdasarkan pembahasan diatas perlindungan hukum merupakan tindakan atau upaya
untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewanang-wenang oleh pengusaha yang
tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk dapat mewujudkan ketertiban dan
ketentraman sehingga memungkinkan masyarakat untuk dapat menikmati haknya.
Bentuk perlindungan hukum bagi pemilik tanah atas pendirian jaringan listrik oleh PT.
PLN (Persero) di Kelurahan Bukuan dilakukan dengan 2 upaya, pertama, pendirian
jaringan listrik harus berdasarkan asas keikutsertaan dimana pemilik tanah berhak
diikutsertakan dalam penentuan titik pendirian jaringan listrik dan perlunya
pengawasan oleh pemerintah terkait jarak aman pendirian jaringan listrik sebagai
bentuk perlindungan preventif. Kedua, apabila nantinya terjadi pelanggaran terkait
pendirian jaringan listrik maka perlu dilakukan pemberian sanksi baik perdata,
administrasi maupun pidana terkait sengketa yang telah terjadi. Pada kasus ini bentuk
perlindungan represif yang dapat digunakan adalah pemberian kompensasi atas
pendirian sarana jaringan listrik dan pemindahan jaringan listrik sehingga memberikan
rasa keadilan bagi masyarakat terdampak yang ada dalam wilayah tersebut.

Upaya Penyelesaian Oleh Masyarakat Terdampak Terhadap Pendirian Sarana Jaringan


Listrik Di Kelurahan Bukuan
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa dalam pendirian sarana jaringan listrik di
Kelurahan Bukuan terdapat beberapa warga terdampak yang tidak mendapat
pemberitahuan pendirian jaringan listrik khususnya di tanah hak milik warga. Warga
terdampak juga tidak mengetahui dengan jelas bahwa dalam pendirian sarana jaringan
listrik, terdapat ketentuan tentang jarak aman antara tiang listrik dengan benda-benda
disekitarnya baik secara mekanis atau elektromagnetis, warga terdampak bahkan tidak
mengetahui bahwa mereka mempunyai hak sebagai pemilik tanah untuk dapat
diikutsertakan dalam proses pendirian sarana jaringan listrik.

75
Dari 27 warga yang terdampak atas pendirian jaringan listrik tidak mengetahui bahwa
dalam pendirian sarana jaringan listrik di tanah hak milik perorangan yang mengabaikan
hak keperdataan dari pemilik hak atas tanah dapat menuntut haknya kepada PT. PLN
(Persero). Dalam hal ini 2 dari 27 warga yang terdampak pernah melakukan keluhan atas
pendirian jaringan listrik dengan menyampaikan secara langsung kepada pihak PT. PLN
(Persero) namun pada upaya yang dilakukan tidak direspon dengan alasan bahwa harus
adanya pembayaran jika ingin melakukan pemindahan tiang listrik dan upaya yang
dilakukan salah tidak sesuai dengan aturan yang ada. Dalam penelitian juga ditemukan
bahwa beberapa warga yang terdampak memilih untuk tidak melakukan upaya
penyelesaian terkait pendirian jaringan listrik dengan ungkapan bahwa mereka tidak
mengetahui bagaimana cara dan upaya penyelesaiannya.
Terkait dengan permasalahan yang dihadapi warga yang terdampak atas pendirian
sarana jaringan listrik di Kelurahan Bukuan warga yang terdampak dapat melakukan
penyelesaian sengketa dengan melalui dua proses yaitu proses litigasi (pengadilan) dan
non litigasi (diluar pengadilan). Penyelesaian sengketa dikenal sejak lama melalui proses
litigasi di pengadilan. Proses litigasi cendering menghasilkan masalah baru karena
sifatnya win-lose, tidak responsif, time consuming proses berperkaranya, dan terbuka
untuk umum. Seiring dengan perkembangan zaman, proses peyelesaian sengketa diluar
pengadilan berkembang.9 Penyelesiaian sengketa di luar pengadilan bersifat tertutup
untuk umum (close door session) dan kerahasiaan para pihak terjamin (confidentiality)
serta proses beracara lebih cepat dan efisien. Proses penyelesaian sengketa di luar
pengadilan ini bersifat win-win solution. Adapun alternatif penyelesaian sengketa di luar
pengadilan ini selanjutnya disebut APS.10
Penyelesaian sengketa dalam kasus perdata biasa dilakukan melalui proses non litigasi
terlebih dahulu yaitu melalui APS, Merujuk pada pasal 1 angka 10 Undang-Undang
Nomor. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, APS
terdiri dari penyelesaian di luar pengadilan dengan menggunakan metode mediasi,
negosiasi, konsiliasi, konsultasi, atau penilaian ahli. Jenis-jenis APS sebagaimana yang
diatur dalam pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut dapat dipilih baik oleh para pihak untuk
menyelesaikan persengketaan perdata yang mereka alami. 11
Dalam konteks permasalahan pendirian jaringan listrik yang terjadi di Kelurahan Bukuan
warga yang terdampak dapat melakukan penyelesaian dengan menggunakan bentuk
penyelesaian diluar pegadilan terlebih dahulu yaitu penyelesaian melalui alternatif
penyelesaian sengketa dimana dalam proses penyelesaian ini upaya penyelesaian lebih
mudah dan efisien bagi masyarakat terdampak dan PT. PLN (Persero), dimana
penyelesaian melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa ini tidak memakan waktu yang
lama dengan hasil ahir yaitu bersifat win-win solution dimana pihak-pihak yang
bersengketa sama-sama diuntungkan dengan hasil yang disepakati.

9
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta, 2013. Hlm. 9
10
Ibid, Hlm. 9
11
Ibid, Hlm. 15

76
Jenis-jenis APS sebagaimana yang diatur dalam pasal 1 angka 10 Undang-Undang
Nomor. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut
dapat dipilih baik oleh para pihak untuk menyelesaiakan persengketaan perdata yang
mereka alami.12
Penyelesaian sengketa atas pendirian sarana jaringan listrik di Kelurahan Bukuan melalui
APS dapat menggunakan metode mediasi dan negosiasi, metode mediasi penyelesaian
sengketa melalui bantuan seorang mediator untuk menjadi penengah dalam suatu
sengketa. ciri-ciri dan syarat penyelesaian sengketa melalui mediasi antara lain,
perundingan dengan bantuan pihak ketiga yang netral dan pihak ketiga netral tersebut
dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa. Tugas mediator adalah memberikan
bantuan substansial dan prosedural dan terikat pada kode etik sebagai mediator,
mediator tidak berwenang mengambil keputusan. Keputusan diambil oleh pihak yang
bersengketa itu sendiri.13
Metode Negosiasi adalah komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai
kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama
maupun yg berbeda. Para pihak yang bersengketa berhadapan langsung secara seksama
dalam mendiskusikan permasalahan yang mereka hadapi secara korporatif dan saling
terbuka untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan.
Berdasarkan wawancara dengan pihak PT. PLN (Persero) dalam upaya penyelesaian
sengketa atas pendirian sarana jaringan listrik tegangan menengah (STUM) tidak ada
pemberian ganti rugi atau kompensasi karena mempunyai fungsi sosial berdasarkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria. Dengan
begitu masyarakat terdampak dapat menyampaikan keluhan dalam bentuk tertulis
kepada PT. PLN (Persero) dan sebagai upaya hukum yang akan di berikan oleh Kelurahan
Bukuan adalah surat rekomendasi bawa warga setempat adalah merupakan warga di
Kelurahan Bukuan dan benar adanya pendirian tiang listrik yang merugikan bagi pemilik
tanah. dengan adanya keluhan dalam bentuk tertulis pihak PT. PLN (Persero) akan
melakukan upaya penyelesaian dengan melakukan pemindahan tiang listrik dan
penentuan titik secara bersama dengan pemilik tanah tanpa pungutan biaya dan tidak
ada pemberian kompensasi berupa sejumlah uang.
Berdasarkan uraian fakta diatas maka upaya penyelesaian sengketa yang dapat
dilakukakan warga terdampak pada kasus di Kelurahan Bukuan Kecamatan Palaran Kota
Samarinda yaitu menggunakan bentuk alternatif penyelesaian sengketa dengan metode
negosiasi dimana warga yang terdampak dapat bernegosiasi dengan pihak PT. PLN
(Persero) dengan menyampaikan keluhan yang mereka alami terkait pendirian jaringan
listrik dan menegosiasiakan bagaimana bentuk penyelesaian baik berupa ganti rugi atau
kompensasi dan pemindahan tiang listrik dengan melakukan penentuan titik pendirian
secara bersama agar terciptanya kesepakatan secara bersama yaitu terpenuhinya hak
dari pemilik tanah dan terlaksananya pendirian jaringan listrik untuk kepentingan
umum. Metode negosiasi sendiri merupakan upaya penyelesaian sengketa oleh para

12
Ibid, Hlm. 15
13
Jimmy Josses Sembiring, 2011, Cara Menyelesaiakan Sengketa Diluar Pengadilan; Negosiasi,
Mediasi, Konsiliasi & Arbitrase, Transmedia Pustaka, Jakarta, Hlm 16

77
pihak tanpa melalui proses peradilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama,
dimana para pihak yang bersengketa berhadapan langsung secara seksama dalam
mendiskusikan permasalahan yang mereka hadapi secara korporatif dan saling terbuka
untuk menghasilkan win-win solution.
Negosiasi adalah jalan terbaik bagi kedua belah pihak dalam menyelesaikan perkara ini
tanpa harus masuk ke persidangan. Dengan negosiasi maka masyarakat dapat
menyalurkan dan menyampaikan keluhan mereka berkaitan dengan keberadaan tiang
listrik yang merugikan mereka, mulai dari menggangu aktifitas sehari-hari sampai
dengan kesehatan dan keselamatan. Dengan negosiasi juga kedua belah pihak (PT. PLN
(Persero) dengan Masyarakat yang dirugikan) dapat membuat kesepakatan bersama
mengenai penentuan titik pendirian tiang listrik yang sebelumnya dilakukan sepihak
tanpa meminta persetujuan dari masyarakat.
Berdasarkan metode negosiasi ini juga maka hak-hak masyarakat yang sebelumnya
hilang akibat pendirian tiang listrik ini dapat dilindungi. Prinsip perlindungan hukum ini
juga bukan hanya ada pada PT. PLN sebagai penyedia melainkan juga bagian dari
kewajiban pemerintah untuk melindungi hak hak masyarakat sekitar tetapi juga hak hak
sebagai warga negara.
Jika penyelesaian melalui APS ini tidak menyelesaikan masalah, maka berdasarkan
ketentuan pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi: “Tiap perbuatan yang melanggar
hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang
menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian
tersebut”, warga terdampak dapat melakukan penyelesaian malaui jalur litigasi yaitu
melalui pengadilan dengan menggunakan sistem gugatan perwakilan (class action).
Gugatan perwakilan (class action) adalah suatu gugatan perdata yang diajukan oleh satu
orang atau lebih yang mewakili kelompok yang dirugikan untuk mengajukan gugatan ke
Pengadilan karena adanya kesamaan fakta dan dasar hukum antara satu orang atau
lebih yang mewakili kelompok dengan kelompok yang diwakili. Gugatan Perwakilan
Kelompok diajukan dalam hal Jumlah anggota kelompok semakin banyak sehingga tidak
efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri. Terdapat kesamaan
fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat
subtansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan
anggota kelompoknya. Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk
melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya.14
Salah satu alasan gugatan perwakilan (class action) dijadikan cara untuk menyelesaikan
kasus tersebut karena terdapat kesamaan fakta dan dasar hukum oleh beberapa warga
yang merasa dirugikan oleh PT. PLN (Persero) di kelurahan bukuan dalam proses
pendirian sarana jaringan listrik dengan tidak menentukan secara bersama. Selain itu
alasan gugatannya juga berkaitan dengan perbuatan melawan hukum dari PT. PLN
(Persero) sebagai penyedia jasa layanan, PT. PLN melanggar hak subjektif orang lain
yaitu menimbulkan kerugian atas pendirian sarana jaringan listrik di tanah hak milik
warga di Kelurahan Bukuan Kota Samarinda dengan begitu warga yang dirugian. Hak

14
Sundari, Pengajuan Gugatan Secara Class Action (Suatu Studi Perbandingan dan Penerapannya di
Indonesia), Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2002. Hlm. 27

78
subjektif yang dirugikan disini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009
Tentang Ketenagalistrikan dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembanguna Untuk Kepentingan Umum.
Pada Undang-Undang ini Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan terdapat
beberapa pasal yang mengatur tentang hak subjektif pada pasal 44 ayat (1)
menyebutkan: “Setiap kegiatan usaha ketenagalistrikan wajib memenuhi ketentuan
keselamatan ketenagalistrikan.” Ayat (2): “Ketentuan keselamatan ketenagalistrikan
bertujuan untuk mewujudkan kondisi: andal dan aman bagi instalasi, aman dari bahaya
bagi manusia dan makhluk hidup lainnya dan ramah lingkungan.
Dalam aturan diatas hak subjektif seseorang yang harus dipenuhi adalah dengan
memperhatikan asas keikutsertaan dan memberikan pengawasan ketenagalistrikan
agar memenuhi ketentuan keselamatan, serta hak subjektif seseorang tentang bebas
dari bahaya yang akan menimpanya. Dalam pasal 46 tersebut juga mengandung makna
bahwa harus adanya bentuk pengawasan terhadap pendirian tiang listrik yang akan
dilakukan oleh inspektur kelistrikan dan/atau penyidik pegawai negeri sipil dan apabila
nantinya di temukan pelanggaran terhadap ketentuan perizinan maka perlu dilakukan
evaluasi dan juga memberikan sanksi administratif.

SIMPULAN
Bentuk perlindungan hukum terhadap hak pemilik tanah untuk area pendirian sarana
jaringan transmisi tenaga listrik PT. PLN (Persero) di Kelurahan Bukuan Kota Samarinda
diilakukan dalam dua bentuk, pertama perlindungan hukum preventif dengan
melibatkan atau mengikutsertakan masyarakat terdampak dalam penentuan titik serta
memastikan pembangunannya sesuai jarak aman dan keselamatan. Wajib pula
dilakukan pengawasan dari pemerintah terhadap pendirian jaringan listrik yang
merupakan bagian dari perlindungan preventif terhadap hak-hak masyarakat di
kelurahan bukuan. Kedua, perlindungan hukum represif apabila terjadi pelanggaran
hukum dan sengketa hukum, maka hak masyarakat wajib dilindungi dengan menuntut
pemindahan tiang dan menjatuhkan sanksi baik administratif, perdata maupun pidana
berdasarkan hasil pengawasan. Adapun upaya hukum yang dapat dilakukan pemilik
tanah adalah dengan alternatif penyelesaian sengketa melalui negosiasi, jika tidak
tercapai dapat dilakukan jalur litigasi menggunakan sistem gugatan perwakilan (class
action) dengan gugatan perbuatan melawan hukum.

REFERENSI
Ahmadi Miru, 2010, Hukum Kontrak, Jakarta: Rajawali Press.
Frans Hendra Winarta, 2013, Hukum Penyelesaian Sengketa, Jakarta, Sinar Grafika.
G. Wijers, 2000, Het Gezag van Gewijsde in Burgerlijke Landraad zaken, dalam Supomo,
Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Jakarta: Pradnya Paramita.
Jimmy Josses Sembiring, 2011, Cara Menyelesaiakan Sengketa Diluar Pengadilan;
Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi & Arbitrase, Jakarta, Transmedia Pustaka.

79
Limbong, Bernhard, 2011, pengadaan tanah untuk pembangunan: regulasi, kompensasi,
penegakan hukum, Jakarta: margaretha pustaka.
Munir Fuady, 2002, Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemorer, bandung, pt.
citra Aditya bakti.
Munir Fuady, 2009, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis,
Bandung, Citra Aditya Bhakti.
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Rakyat di Indonesia,
Surabaya, PT. Bina Ilmu.
R. Soeroso, S.H., 1994, Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara dan Proses Persidangan,
Jakarta, Sinar Grafika.
Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.
Sembiring, Jimmy Josses, 2011, Cara Menyelesaiakan Sengketa Diluar Pengadilan;
Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi & Arbitrase, Jakarta: Transmedia Pustaka.
Sudikno Mertokusumo, 2009, Penemuan Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti.
Sundari, 2002, Pengajuan Gugatan Secara Class Action (Suatu Studi Perbandingan dan
Penerapannya di Indonesia), Yogyakarta, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Jurnal
Harumi Candraresmi, Kajian Mengenai Gugatan Melwan Hukum Terhadap Sengketa
Wanprestasi, Privat Law, Vol. V No. 1, Juni 2017, hlm. 55.

Artikel
Arsyad Shawir, 2013. Alternatif Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Undang-Undang
No. 30 Tahun 1999 http://arsyadshawir.blogspot.com/2013/03/alternatif-
penyelesaian sengketa.html
Eko Muriatiningsih, 2008. Gambaran umum PT PLN (Persero),
http://lib.ui.ac.id/file=digital/124523-SK Nia%20010%202008%20mur%20P.Pdf,
https://konsultanhukum.web.id/unsur-unsur-perbuatan-melawan-hukum/
Lestari, Gayu, 2016. Kajian Teori Tentang Hak Atas Tanah Dan Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,
http://repository.unpas.ac.id/9283/4/BAB%20II.pdf
http://eprints.polsri.ac.id/359/3/BAB%202.pdf

80

You might also like