You are on page 1of 9

Jurnal IUS Vol.IX No.

02 September 2021

KONFLIK HORIZONTAL ANTAR UMAT BERAGAMA AKIBAT PENDIRIAN


RUMAH IBADAH SEBAGAI PELANGGARAN HAM

Harmoko
Dosen Fakultas Hukum, Universitas Panca Marga Probolinggo
Jl. Yos Sudarso, No.107, Pabean, Dringu, Probolinggo, Jawa Timur 67271

Abstract
This study aims to determine the implementation of Joint Regulation (PBM) No. 9 of 2006 and
PMB No. 8 of 2006, for freedom of worship for religious minorities, knowing and understanding
the factors causing horizontal conflicts between religious communities due to houses of worship
and providing conflict resolution solutions. The research method used is normative legal
research. The basic problem is the occurrence of horizontal conflicts between religious
communities in the establishment of houses of worship, one of which is the implementation of
PBM No. 9 of 2006 and PMB No. 8 of 2006 in Indonesia which has many weaknesses and gaps
in discrimination against the minority population. Conflicts over the construction of houses of
worship still often occur in Indonesia. the experience of a house where not only one religion is
experienced, but all religions have found it difficult to build a house for worship. Reflecting on
these problems, it is the responsibility of all lines in social life, both government and society, to
create peace and security between religious communities, especially freedom to worship
according to their respective beliefs as the fulfillment of human rights in accordance with the
mandate of the 1945 Constitution.

Keywords : Horizontal Conflict, Religious People, Houses of Worship, Human Rights

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implikasi pemberlakuan Peraturan Bersama
Menteri ( PBM ) No. 9 Tahun 2006 dan PMB No. 8 Tahun 2006, bagi kebebasan beribadah
pemeluk agama minoritas, mengetahui dan memahami faktor-faktor penyebab terjadinya konflik
horizontal antar umat beragama akibat pendirian rumah ibadah serta memberikan solusi dalam
upaya penyelesaian konflik. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum
normatif. Permasalahan mendasar terjadinya konflik horizontal antar umat beragama perihal
pendirian rumah ibadah, salah satunya adalah pemberlakuan PBM No. 9 tahun 2006 dan PMB
No. 8 tahun 2006 di Indonesia yang memiliki banyak kelemahan dan celah diskriminasi terhadap
penduduk minoritas. Konflik perihal pendirian rumah ibadah masih kerap terjadi di Indonesia.
Kesulitan mendirikan rumah tempat ibadah tidak dialami satu agama saja, melainkan seluruh
agama pernah mengalami betapa sulitnya mendirikan rumah untuk ibadah. Berkaca pada
permasalahan tersebut, menjadi tanggung jawab bersama semua lini dalam kehidupan
bermasyarakat baik pemerintah maupun masyarakat untuk menciptakan ketentraman dan
keamanan antar umat beragama, khususnya kebebasan dalam menunaikan ibadah menurut
keyakinan masing-masing sebagai pemenuhan hak asasi manusia sesuai amanat Undang-Undang
Dasar 1945.

Kata Kunci : Konflik Horizontal, Umat Beragama, Rumah Ibadah, Hak Asasi Manusia
111
Jurnal IUS Vol.IX No.02 September 2021

banyak korban jiwa, kerusakan fisik


A. Latar Belakang
terhadap objek dan juga mengganggu
Indonesia, merupakan Negara
ketertiban umum. Sebagai contoh yang
dengan tingkat kemajemukan yang
sering terjadi yaitu konflik horizontal
tinggi.1 Diseluruh belahan bumi termasuk
antar umat beragama terhadap rumah
di Indonesia, kita sering melihat dan
ibadah yang terjadi di berbagai daerah di
mendengarkan secara langsung maupun
indonesia, seperti; di Kabupaten Aceh
tidak terjadinya pelanggaran-pelanggaran
Singkil, Tolikara dan lain-lain. Ini
terhadap Hak Asasi Manusia. Seiring
persoalan penganut agama mayoritas dan
dengan perjalanan bangsa Indonesia yang
minortitas di dalam suatu daerah. Tidak
semakin berkembang dan dinamika
adanya kerukunan antar umat beragama
kehidupan masyarakat yang tak
dan tidak saling mengmhargai hak untuk
terhindarkan, mengakibatkan benturan-
beribadah.
benturan kepentingan antar kelompok
Konflik rumah ibadah yang
masyarakat yang berbeda baik suku
semakin intens terjadi ini kemungkinan
2
maupun agama. Banyak hak-hak
disengaja oleh pihak tertentu dengan
kemanusian yang dilanggar oleh manusia
mengkambing hitamkan umat beragama.
itu sendiri dan banyak juga hak-hak yang
Ini dilihat dari rentetan kasus terhadap
dilanggar karena ketentuan atas
rumah ibadah, seperti penolakan
kepentingan birokrasi yang tidak adil.
pendirian rumah ibadah (masjid) di
Dari berbagai pelanggaran baik itu berat
manokowari dan bitung, sulawesi utara.
maupun ringan terhadap Hak Asasi
Kasus ini bisa disebut misi balas dendam
Manusia ini menimbulkan berbagai
dari kasus penghancuran gereja di
konflik yang terjadi di dalam masyarakat.
Singkil, Aceh. Di lihat Aceh merupakan
Baik itu konflik Horizontal maupun
daerah yang mayoritas beragama islam.
konflik Vertikal.
Sedangkan di Manokowari dan Bitung,
Berbagai konflik yang terjadi di
Sulawesi Utara merupakan daerah yang
dalam masyarakat, yang marak atau
mayoritas non muslim.
sering terjadi adalah konfik horizontal.
Rumah ibadah yang seharusnya
Konflik horizontal ini menimbulkan
dimuliakan karena merupakan tempat
1
Irfan Abu Bakar dan Chaider S Bamualim, 2004, yang suci. Tempat beribadah seseorang,
Resolusi Konflik Agama dan Etnis di Indonesia,
Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah, menurut keyakinan masing-masing, yang
Jakarta, hlm. 942
2 sekarang ini menjadi objek konflik antar
Bashori A. Hakim, 2011, Pengaruh Agama dan
Nilai-nilai Keagamaan Terhadap Kerja sama Antar umat beragama. Seolah-olah dalam hidup
Umat Beragama di Kota Palu, HARMONI X
2(April-Juni 2011), hlm. 321
111
Jurnal IUS Vol.IX No.02 September 2021

berbangsa dan bernegara ini tidak adalagi Bagi Kebebasan Pemeluk Agama
toleransi, tidak saling menghargai dan Minoritas
menghormati serta tidak ada kerukunan Diberlakukannnya Peraturan
yang terjalin di dalam masyarakat dan Bersama Menteri (PBM) No. 9 tahun
begitu sulitnya hidup berdampingan. 2006 dan No. 8 tahun 2006 di
Dengan demikian, dari uraian Indonesia, banyak menimbulkan
permasalahan yang ada dalam masyarakat konflik. Sejak diundangkan pada 21
yang tertulis di atas. Sehingga melatar Maret 2006, PBM No. 9/2006 dan No.
belakangi penuilisan ini. Maka dari itu, 8/ 2006 diangggap oleh sejumlah
Penulis mengangkat judul “Konflik pihak memiliki banyak kelemahan dan
Horizontal Antar Umat Beragama Terkait celah diskriminasi.3 Disadari atau
Dengan Pendirian Rumah Ibadah Sebagai tidak, peraturan tersebut berimplikasi
Pelanggaran Hak Asasi Manusia”. negatif terhadap masyarakat untuk
B. Rumusan Masalah bebas beribadah dan membangun
Berdasarkan latar belakang tersebut rumah ibadahnya sendiri di Indonesia.
di atas serta dari berbagai permasalahan- Implikasi negatif yang dimaksud
permasalahan yang timbul dalam adalah terenggutnya hak-hak umat
masyarakat kaitannya dengan hak untuk beragama untuk bebas mendirikan
beribadah. Maka dalam penulisan ini, rumah ibadah bagi pemeluk agama
Penulis merumuskan permasalahan minoritas.
sebagai berikut; Dengan adanya Peraturan
1. Bagaimana Implikasi Pemberlakuan Bersama Menteri (PBM) No. 9/2006
PBM No. 9 Tahun 2006 dan No. 8 dan No. 8/2006, yang mengatur
Tahun 2006 Bagi Kebebasan tentang persyaratan pendirian rumah
Beribadah Pemeluk Agama ibadah pada pasal 14. ini sangat
Minoritas? menyulitkan agama minoritas untuk
2. Apa Faktor-faktor Penyebab mendirikan rumah ibadah. Bukanlah
Terjadinya Konflik Horizontal Antar suatu perkara yang mudah untuk
Umat Beragama Terkait Dengan mendapatkan dukungan masyarakat
Pendirian Rumah Ibadah? setempat paling sedikit 60 (enam
C. Pembahasan puluh) orang yang disahkan oleh
1. Implikasi Pemberlakuan PBM No. 9 lurah/kepala desa. Sebagaimana telah
Tahun 2006 dan No. 8 Tahun 2006
3
Ihsan Ali-Fauzi, dkk, 2011, Kontroversi Gereja di
Jakarta (Yogyakarta: CRCS UGM, 2011), hal 37-
38
112
Jurnal IUS Vol.IX No.02 September 2021

disinggung di atas, di suatu wilayah pemerintah menyadarinya, namun


yang masyarakatnya toleran, faktanya pemerintah tetap
persyaratan tersebut tentu saja tidak memberlakukan dan tidak merivisi
menjadi masalah, namun di daerah pasal terkait pada PBM No. 9/2006
yang memiliki sikap toleransi yang dan No. 8/2006. Sulitnya mendirikan
rendah tentu saja akan menghambat rumah ibadah bagi pemeluk agama
pendirian rumah ibadah. Sementara minoritas diperparah lagi dengan
menurut survei Lingkaran Survei adanya aturan dalam PBM No. 9/2006
Indonesia (LSI) pimpinan Denny JA dan No. 8/ 2006 pasal 14 ayat 2, yang
pada 2010, sebagian besar umat mengharuskan pemeluk agama yang
beragama (42,8%) kurang bisa hendak mendirikan rumah ibadah
menerima apabila ada yang untuk meminta rekomendasi dari
mendirikan tempat ibadah di FKUB.
lingkungan mereka.4 Sebagaimana disinggung di awal,
PBM No. 9/2006 dan No. 8/2006 komposisi keanggotaan FKUB yang
ini nyatanya tidak saja akan didasarkan pada representasi jumlah
menyulitkan bagi pemeluk agama- pemeluk agama kerap merugikan
agama minoritas non-Islam untuk kelompok agama minoritas. Semakin
mendirikan rumah ibadah, namun juga sedikit jumlah penduduk agama di
menyulitkan pemeluk agama Islam di suatu daerah, maka semakin sedikit
daerah-daerah minoritas Islam seperti pula peluang mendudukkan wakilnya
di Indonesia bagian Timur. Realitas di FKUB. Bahkan bila suatu agama
tersebut sesungguhnya telah disadari hanya memiliki segelintir pemeluk
oleh pemerintah. Hal ini dapat bisa saja agama tersebut tidak
ditengok dari pernyataan Mantan memiliki wakil di FKUB. Paradigma
Menteri Agama, yang memaparkan yang digunakan oleh FKUB pun
bahwa umat Muslim di Indonesia bersifat “politis” dan lebih
bagian Timur seperti di Papua, Nusa menyuburkan penegasan identitas
Tenggara Timur (NTT), Sulawesi masing-masing “perwakilan” agama.
Utara dan lain-lain daerah yang Kesulitan umat Muslim dalam
minoritas muslim mengalami kesulitan mendirikan rumah ibadah di Bitung
dalam mendirikan masjid. Meskipun Sulawesi Utara dapat ditengok dari
4 semua persyaratan IMB terhenti
Lingkaran Survei Indonesia, 2010, Meningkatkan
Intoleransi Beragama Masyarakat Indonesia, karena kelurahan yang enggan
Kajian Bulanan LSI, Edisi No.23, Oktober 2010,
hal 14.
113
Jurnal IUS Vol.IX No.02 September 2021

menandatangani izin tersebut. Fungsi dicabutkannya IMB adalah bahwa


FKUB yang kerap merugikan Gereja HKBP Pangkalan Jati Gandul
kelompok agama minoritas yang justru dianggap meresahkan masyarakat. Di
bertentangan dengan misi FKUB itu samping itu, banyak pula umat
sendiri yaitu mencari penyelesaian beragama yang telah mengajukan ijin
damai dan adil dalam berbagai pendirian rumah ibadah, namun tak
sengketa. Pertimbangan FKUB kunjung keluar. Padahal, mereka telah
tentang isu kerukunan kepada Kepala memenuhi seluruh persyaratan yang
Daerah menurutnya juga sering di-by diminta PBM No. 9 tahun 2006 dan
pass oleh Bupati/Walikota untuk No. 8 tahun 2006.
kepentingan politiknya. Di samping Peraturan Bersama Menteri
itu, ia mengkritik rekrutmen anggota Agama dan Menteri Dalam Negeri No.
FKUB yang didasarkan pada besarnya 9 dan 8 Tahun 2006 ini paling tidak
populasi kepemelukan agama tanpa telah mengakomodir beberapa
melalui pemilihan dan juga bukan atas persoalan kegamaan dan diperkuat
pertimbangan profesionalitas dan dengan landasan hukum yang jelas.
kapabilitas. Dalam jangka tertentu hal Namun kelemahan dari PBM ini
tersebut akan membahayakan lantaran adalah posisi landasan hukumnya
akan selalu berorientasi pada belum kuat untuk mengatur kehidupan
kepentingan mayoritas. beragama dan keagamaan di
Susahnya membangun rumah Indonesia. Seharusnya untuk mengatur
ibadah bagi pemeluk agama minoritas kehidupan beragama dan keagamaan
tidak semata-mata terkait soal diperlukan landasan hukum setingkat
perijinan saja. Buktinya, meski pun Undang-undang (UU).5
mereka telah mengantongi ijin dari Kehadiran PBM No. 9 tahun 2006
pihak-pihak yang berwenang, namun dan No. 8 tahun 2006 sesungguhnya
dalam praktiknya mereka banyak yang telah menutup mata terhadap realitas
mengalami kesulitan dalam keragaman (pluralisme) beragama.
mendirikan rumah ibadah. Contoh ini Regulasi ini tidak memberikan ruang
dapat ditengok dalam kasus bagi keberagaman denominasi di
pencabutan IMB Gereja HKBP beberapa agama. Regulasi ini
Pangkalan Jati Gandul, Kecamatan
5
Ismail Zubir, 2015,
Limo, Kota Depok, Jawa Barat oleh
http://www.kompasiana.com/ismail_zubir/
Walikota Depok, yang mendasari kebijakan-reformasi-tentang-pengembangan-
kerukunan-umat-beragama-peraturan-, 29 Agustus
2014 22:35:54 Diperbarui: 18 Juni 2015 02:09:32
114
Jurnal IUS Vol.IX No.02 September 2021

mengabaikan denominasi yang eksternal. Adapun faktor internal


terdapat dalam sejumlah agama. seperti adanya kecenderungan
Seperti misalnya agama Kristen pemahaman radikal ekstrim dan
Protestan yang memiliki banyak sekte fundamentalis terhadap ajaran agama
seperti Lutheran, Calvinis, Baptis, yang dianut. Sedangkan faktor
Methodis, Pentakostal, Kharismatik, eksternal yaitu adanya pihak-pihak
Injili (Evangelical), Adventis, dan yang membuat skenario agar masing-
Saksi Yehova. Setiap sekte terdiri atas masing agama tersebut senantiasa
gereja gereja yang dalam beberapa hal terlibat konflik.7 Konflik akibat
berbeda, sehingga tidak bisa pendirian rumah ibadah masih kerap
disatukan.6 terjadi di Indonesia. Kesulitan
Karena itu, mereka tidak mungkin mendirikan rumah ibadah tidak hanya
dan tidak bisa dipaksa untuk beribadah dialami satu agama saja. Hampir
dalam satu gereja. Pemerintah seluruh agama di Indonesia pernah
seharusnya memahami keragaman dan mengalami sulitnya mendirikan rumah
perbedaan teologis yang terdapat ibadah. Konflik horizontal antar umat
dalam internal agama-agama. beragama terkait dengan pendirian
Pemerintah harus mengakomodasi dan rumah ibadah yang marak terjadi di
memfasilitasi manakala pemeluk tanah air indonesia ini. Disebabkan
agama dari agama berdenominasi oleh beberapa faktor, yaitu sebagai
banyak yang hendak mendirikan berikut :
rumah ibadah, bukan malah 1. Bangunan rumah ibadah yang tidak
membatasinya. memiliki izin.
2. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Perijinan suatu bangunan
Konflik Horizontal Antar Umat memang dibutuhkan untuk
Beragama Akibat Pendirian Rumah mengesahkan suatu bangunan.
Ibadah Inilah menjadi faktor penyebab
Menurut prof Said Agil Husain suatu konflik yang terjadi saat ini
ada dua faktor penyebab konflik umat seperti di tolikara papua, singkil
beragama yaitu faktor internal dan aceh, manokowari, dan bitung
sulawesi utara. Banyak bangunan
6
Ahmad Asroni, 2012, MENYEGEL ‘RUMAH
TUHAN’: Menakar Kadar Kemaslahatan tempat ibadah yang tidak memiliki
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri No. 9/ 2006 dan No. 8/2006 dalam
7
Mereduksi Konflik Pendirian Rumah Ibadah di Prof. Said Agil Husain Al Munawar, 2005, Fikih
Indonesia, Religi, Vol. VIII, No. 1, Januari 2012, Hubungan Antar Agama, Ciputat Press, Jakarta,
hal 74. hlm. xxi
115
Jurnal IUS Vol.IX No.02 September 2021

izin di karenakan sulitnya 2. Intoleransi pemeluk agama


memenuhi persyaratan utamanya Mayoritas terhadap pemeluk agama
pemeluk agama minoritas di suatu minoritas.
daerah. Kesulitan bagi pemeluk Biasanya, persoalan sulitnya
agama minoritas bisa kita lihat pada pendirian rumah ibadah yakni
pasal 14 (2), PBM no. 9 tahun 2006 masalah penerimaan masyarakat
dan no. 8tahun 2006 ;8 sekitar rumah tempat ibadah. Bila
a. Daftar nama dan Kartu Tanda mayoritas warga di sekitaran rumah
Penduduk pengguna rumah tempat ibadah beragama yang sama
ibadah paling sedikit 90 dengan jamaah, pendiriannya tidak
(sembilan puluh) orang yang akan sulit. Namun apabila jamaah
disahkan oleh pejabat setempat rumah ibadah itu beragama
sesuai dengan tingkat batas minoritas dengan masyarakat
wilayah. sekitar, pendirian rumah ibadah
b. Dukungan masyarakat setempat akan bisa lebih sulit.
paling sedikit 60 (enam puluh) 3. Terkait kepentingan-kepentingan
orang yang disahkan oleh individu atau golongan.
lurah/kepala desa. Konflik terkait rumah ibadah
c. Rekomendasi tertulis Kepala yang sering terjadi, juga besar
Kantor Departemen Agama kemungkinan adanya kepentingan
Kabupaten/Kota. individu atau golongan di
d. Rekomendasi tertulis FKUB dalamnya. Seperti sebagian konflik
(Forum Komunikasi Umat yang terjadi, itu di karenakan
Beragama) Kabupaten/Kota. kepentingan politik. Dalam
pandangan Steven I. Wilkinson,
Pada pasal inilah sulitnya pemeluk
kelompok-kelompok minoritas
agama minoritas untuk
agama sepertinya baru benar-benar
mendapatkan izin, bukan tidak
diperhatikan jika pemerintah
mungkin bahwa pemeluk agama
memiliki kepentingan politik
mayoritas melakukan penolakan
terhadap kelompok minoritas
dengan tidak memberikan
agama tersebut.9 Untuk
dukungannya.
mendapatkan dukungan dari
9
Steven I. Wilkinson, 2005, Pengantar dalam buku
karya Francine R. Frankel, dkk., Religious Politics
and Communal Violence, Steven I. Wilkinson (ed.),
8
Peraturan Bersama Menteri no.9 dan 8 tahun 2006. (Oxford: Oxford University Press, 2005), hlm.17
116
Jurnal IUS Vol.IX No.02 September 2021

masyarakat mayoritas di suatu masyarakat setempat paling sedikit 60


daerah, terkadang pemangku (enam puluh) orang yang disahkan oleh
kepentingan ini mengeluarkan lurah/kepala desa. Sebagaimana telah
kebijakan yang merugikan pemeluk disinggung di atas, di suatu wilayah yang
agama minoritas. Sehingga hal masyarakatnya toleran, persyaratan
tersebut timbul gesekan-gesakan tersebut tentu saja tidak menjadi masalah,
dalam masyarkat, yang namun di daerah yang memiliki sikap
mengakibatkan konflik antar umat toleransi yang rendah tentu saja akan
beragama. menghambat pendirian rumah ibadah.
D. Penutup Faktor-faktor terjadinya konflik antar
Diberlakukannnya Peraturan umat beragama yaitu faktor internal dan
Bersama Menteri (PBM) No. 9 tahun eksternal. Adapun faktor internal seperti
2006 dan No. 8 tahun 2006 di Indonesia, adanya kecenderungan pemahaman
banyak menimbulkan konflik. Sejak radikal ekstrim dan fundamentalis
diundangkan pada 21 Maret 2006, PBM terhadap ajaran agama yang dianut.
No. 9/2006 dan No. 8/ 2006 diangggap Sedangkan faktor eksternal yaitu adanya
oleh sejumlah pihak memiliki banyak pihak-pihak yang membuat skenario agar
kelemahan dan celah diskriminasi. masing-masing agama tersebut senantiasa
Disadari atau tidak, peraturan tersebut terlibat konflik.
berimplikasi negatif terhadap masyarakat Konflik horizontal antar umat
untuk bebas beribadah dan membangun beragama terkait dengan pendirian rumah
rumah ibadahnya sendiri di Indonesia. ibadah yang marak terjadi di tanah air
Implikasi negatif yang dimaksud adalah indonesia ini. Disebabkan oleh beberapa
terenggutnya hak-hak umat beragama faktor, yaitu sebagai berikut :
untuk bebas mendirikan rumh ibadah a. Bangunan rumah ibadah yang tidak
bagi pemeluk agama minoritas. memiliki izin.
Dengan adanya Peraturan Bersama b. Intoleransi pemeluk agama
Menteri (PBM) No. 9/2006 dan No. Mayoritas terhadap pemeluk agama
8/2006, yang mengatur tentang minoritas.
persyaratan pendirian rumah ibadah pada c. Terkait kepentingan-kepentingan
pasal 14. ini sangat menyulitkan agama individu atau golongan
minoritas untuk mendirikan rumah
ibadah. Bukanlah suatu perkara yang
mudah untuk mendapatkan dukungan

117
Jurnal IUS Vol.IX No.02 September 2021

Daftar Pustaka Masyarakat Indonesia, Kajian


Bulanan LSI, Edisi No.23, Oktober
Abu Bakar, Irfan dan Chaider S Bamualim, 2010.
2004, Resolusi Konflik Agama dan
Etnis di Indonesia, Pusat Bahasa dan Tribun Jogja, 2014, FKUB Sleman nilai
Budaya UIN Syarif Hidayatullah, kasus intoleransi hanya salah
Jakarta. persepsi, senin 02 juni 2014, 21.23,
Sleman. http://fkub-
Agil Husain Al Munawar, Said, 2005, Fikih sleman.blogspot.co.id/2014/06/fkub-
Hubungan Antar Agama, Ciputat sleman-nilai-kasus-intoleransi.
Press, Jakarta.
Zubir, Ismail, 2014,
A. Hakim, Bashori, 2011, Pengaruh Agama http://www.kompasiana.com/ismail_zu
dan Nilai-nilai Keagamaan Terhadap bir/ kebijakan-reformasi-tentang-
Kerja sama Antar Umat Beragama di pengembangan-kerukunan-umat-
Kota Palu, HARMONI X 2 April- beragama-peraturan-, 29 Agustus
Juni 2011. 2014, 22:35:54 Diperbarui: 18 Juni
2015 02:09:32
Ali-Fauzi, Ihsan, dkk, 2011, Kontroversi
Gereja di Jakarta, CRCS UGM,
Yogyakarta.

Asroni, Ahmad, 2012, MENYEGEL


‘RUMAH TUHAN’: Menakar Kadar
Kemaslahatan Peraturan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri No. 9/ 2006 dan No. 8/2006
dalam Mereduksi Konflik Pendirian
Rumah Ibadah di Indonesia, Religi,
Vol. VIII, No. 1, Januari 2012.

I Wilkinson, Steven , 2005, Pengantar


dalam buku karya Francine R.
Frankel, dkk., Religious Politics and
Communal Violence, Steven I.
Wilkinson (ed.),Oxford University
Press, Oxford, 2005.

Peraturan Menteri
Peraturan bersama menteri agama dan
menteri dalam negeri no. 9 dan 8
tahun 2006, tentang pedoman
pelaksanaan tugas kepala daerah/wakil
kepala daerah dalam pemeliharaan
kerukunan umat beragama,
pemberdayaan forum kerukunan umat
beragama, dan pendirian rumah ibadat.

Internet
Lingkaran Survei Indonesia, 2010,
Meningkatkan Intoleransi Beragama
118

You might also like