You are on page 1of 17

ANALISIS FINANSIAL PEREMAJAAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

(Studi Kasus: Desa Polongaan, Kecamatan Tobadak, Kabupaten Mamuju Tengah, Provinsi
Sulawesi Barat)

FINANCIAL ANALYSIS OF PALM OIL PLANTATION REjuvenation


(Case Study: Polongaan Village, Tobadak District, Central Mamuju District, West Sulawesi Province)
Anggi Rantau P1), Darwis Ali2), Saadah3), Mahyuddin4), Pipi Diansari5)
1)
Fakultas Pertanian, Jurusan Agribisnis, Universitas Hasanuddin
Email: anggirantaup12@gmail.com

ABSTACT

Palm oil is a commodity that is very popular with Indonesian farmers, this can be proven from statistical data
showing the extent of oil palm plantations in Indonesia, Central Mamuju Regency is one of the areas that depends
on oil palm productivity. But unfortunately the area of oil palm plantations in Indonesia, especially in Central
Mamuju Regency is not directly proportional to productivity, this is partly caused by old plants and also many
plants that are no longer productive. Efforts made by farmers to increase their oil palm production by rejuvenating
oil palm, rejuvenating oil palm in Central Mamuju Regency are carried out with two systems, namely rejuvenation
with the Chipping system and rejuvenation with the Underplanting system. This research is intended to determine
the financial feasibility of the two rejuvenation systems, by taking a case study in Polongaan Village, Tobadak
District, Central Mamuju Regency, financial analysis was carried out using the NPV, Irr, Net B/C, Payback Period,
and Analysis methods. Sensitivity. The results of this study indicate that all methods of rejuvenation in the case study
sites are feasible, with an NPV value of IDR 53,332,447 for the chipping system and IDR 54,484,840 for the
underplanting system. The Net B/C of the chipping system is 3.58 and that of the underplanting system is 4.40, for
the Payback Period itself it shows the payback period for the chipping system is 8 years 5 months and the
Underplanting system is 8 years 4 months, while the sensitivity analysis shows changes according to the amount of
decrease or increase production and costs, with normal thresholds of change.

Keywords: Palm Oil, Productivity, Rejuvenation, Financial Analysis

ABSTRAK

Kelapa sawit merupakan komoditi yang sangat digemari petani Indonesia, hal itu dapat dibuktikan dari data statistik
yang menunjukkan luasnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia, Kabupaten Mamuju Tengah merupakan salah
satu daerah yang bergantung dari produktivitas kelapa sawit. Tetapi sayangnya luasan perkebunan kelapa sawit di
Indonesia, khususnya di Kabupaten Mamuju Tengah tidak berbanding lurus dengan produktivitas, hal tersebut salah
satunya di sebabkan oleh tanaman yang sudah tua dan juga bayak tanaman yang tidak produktif lagi. Upaya yang
dilakukan oleh petani untuk meningkatkan produksi kelapa sawit mereka dengan melakukan peremajaan kelapa
sawit, peremajaan kelapa sawit di Kabupaten Mamuju Tengah di lakukan dengan dua sistem yakni peremajaan
dengan sistem Chipping dan peremajaan dengan sistem Underplanting. Penelitian kali ini di maksudkan untuk
mengetahui kelayakan finansial dari kedua sistem peremajaan tersebut, dengan mengambil studi kasus di Desa
Polongaan, Kecamatan Tobadak, Kabupaten Mamuju Tengah, dilakukan analisis finansial dengan metode analisis
NPV, Irr, Net B/C, Payback Periode, dan Analisis Sensitivitas. Hasil penelitian ini menunjukkan semua metode
peremajaan di tempat studi kasus layak untuk dijalankan, dengan nilai NPV sistem chipping Rp 53.332.447 dan
sistem underplanting Rp 54.484.840, nilai IRR peremajaan sistem chipping sebesar 36% dan sistem underplanting
menunjukkan IRR sebesar 39%, nilai Net B/C sistem chipping 3,58 dan sistem underplanting sebesar 4,40, untuk
Payback Periode sendiri menunjukkan lama pengembalian modal sistem chipping 8 tahun 5 bulan dan sistem
Underplanting 8 tahun 4 bulan, sedangkan analisis sensitivitas menunjukkan perubahan sesuai dengan besaran
penurunan atau peningkatan produksi dan biaya, dengan ambang perubahan yang normal.

Kata Kunci: Kelapa Sawit, Produktivitas, Peremajaan, Analisis Finansial


PENDAHULAUN

Indonesia merupakan negara pertanian, yang mana pertanian memegang peran penting dari
keseluruhan perekonomian nasional, salah satu komoditi pentanian Indonesia adalah kelapa sawit, hal itu
dibuktikan oleh data statistik yang menunjukan Indonesia adalah negara dengan luas perkebunan kelapa
sawit terbesar di dunia, yaitu sebesar 34,18 persen dari luas areal kelapa sawit dunia, dan menempati
posisi kedua dalam hal produksi dengan jumlah mencapai 18 juta ton pertahun Produksi dan luas areal di
Indonesia cenderung meningkat setiap tahunnya, tahun 2018, luas areal 14,33 juta ha dan produksi 42,9
juta ton, Tahun 2019 luas areal menjadi 16,38 juta ha dengan produksi 48,42 juta ton , target produksi
CPO sebanyak 40 juta ton tahun 2020.

Pada tahun 2014 lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia tercatat seluas 10,75 juta hektar,
meningkat menjadi 11,26 juta hektar pada tahun 2015 atau terjadi peningkatan 4,70 persen. Pada tahun
2016 luas areal perkebunan kelapa sawit menurun sebesar 0,52 persen dari tahun 2015 menjadi 11,20 juta
ha. Tahun 2017 luas areal perkebunan kelapa sawit kembali mengalami peningkatan sebesar 10,55 persen
dan diperkirakan meningkat tahun 2018 menjadi 14,33 juta ha. Menurut status pengusahaannya, sebagian
besar perkebunan kelapa sawit pada tahun 2018 yaitu Perkebunan Rakyat sebesar 5,81 juta ha (45,54%),
Perkebunan Besar Negara sebesar 0,59 juta ha (4,65%), dan Perkebunan Besar Swasta sebesar 6,36 juta
ha (49,81%) (Badan Pusat Statistik, 2018).

Komoditi kelapa sawit sudah menjadi komoditi yang sangat digemari di Mamuju Tengah, hal itu
dapat dibuktikan dengan “mata telanjang”, begitu banyak tanaman kelapa sawit di Mamuju Tengah, dari
perbatasan Kabupaten Mamuju sampai perbatasan Kabupaten Pasangkayu dapat dilihat begitu luasnya
kelapa sawit yang ada. Selain itu Badan Statistik pada tahun 2018 juga mencatat bahwa ada 41.998.
hektar kelapa sawit di kabupaten Mamuju Tengah, kemudian pada tahun 2019 meningkat menjadi 41.989
ha dan bertahan sampai tahun 2020, berikut merupaka tabel luasan areal sawit di Mamuju Tengah (Badan
Pusat Statistik, 2021)

Tabel 1. Luas Areal Tanaman Perkebunan Kelapa Sawit Menurut Kecamatan (ha) di Kabupaten
Mamuju Tengah
Kecamatan 2018 2019 2020
Pangale 1 665 1 665 1 665
Budong-Budong 9 592 9 592 9 592
Tobadak 11 153 11 190 11 190
Topoyo 7 291 7 245 7 245
Karossa 12 297 12 297 12 297
Mamuju Tengah 41 998 41 989 41 989
Sumber : BPS,2021

Berdasarkan data diatas menunjukan bahwa terjadinya penurunan luasan lahan sawit dari tahun 2018
ke 2019, kemudian pada tahun selanjutnya luasan lahan sawit tetap, selain luasan lahan yang menurun
jumlah produksi kelapa sawit juga mengalami hal yang sama, yakni pada tahun 2018 angka produksi
kelapa sawit sebesar 106.003 ton, kemudian pada tahun 2019 mengalami penurunan 3.425 ton, kemudian
pada tahun selanjutnya jumlah produksinya bertahan sebesar 102.578 ton.
Tabel 2. Produksi Tanaman Perkebunan Kelapa Sawit Menurut Kecamatan (ton) di Kabupaten
Mamuju Tengah
Kecamatan 2018 2019 2020
Pangale 4 129 4 244 4 244
Budong-Budong 24 096 23 556 23 556
Tobadak 25 700 24 720 24 720
Topoyo 21 158 26 958 26 958
Karossa 30 920 23 100 23 100
Mamuju Tengah 106 003 102 578 102 578
Sumber : BPS,2021

Berdasarkan data luasan lahan dan produksi tahunan diketahui berapa besar produktifitas kelapa
sawit yang berada di Mamuju Tengah, dan diketahui bahwa produktivitas kelapa sawit Kabupaten
Mamuju Tengah pada tahun 2018 sebesar 2,5 ton/hektar, dan pada tahun 2019 dan 2020 mengalami
penurunan sehingga produktivitas tahunan kelapa sawit di Kabupaten Mamuju Tengah tinggal 2,4
ton/hektar. Menurut Sutarta(2015) produktivitas kelapa sawit mestinya berada di angka 4 ton/hektar, hal
ini menunjukan rendahnya produktivitas kelapa sawit di Mamuju Tengah. Ada beberapa faktor yang
menyebabkan hal tersebut antara lain kelas lahan, tanaman, umur dan jenis bibit yang digunakan. Lubis
(1992) membedakan kelas lahan pengembangan kelapa sawit ke dalam empat kelas dengan produktivitas
rata-rata untuk kelas I, II, III dan IV pada umur 4 – 25 tahun berturut-turut sebesar 25.10 ton TBS per
hektar per tahun; 22.95 ton TBS per hektar per tahun; 20.86 ton TBS per hektar per tahun; dan 17.71 ton
TBS per hektar per tahun, untuk semua kelas lahan produktivitasnya akan mencapai titik puncak
produktifitas pada umur 11-16 tahun, dan memulai memasuki masa penurnana produksi pada umur 17
tahun. Penurunan produksi kelapa sawit di Mamuju Tengah terjadi karena ada beberapa faktor, umur
kelapa sawit yang sudah tua juga menjadi salah satu faktor utama, umur tanaman kelapa sawit yang tua
selain memang menyebabkan proses pembuahan jarang terjadi, tanaman kelapa sawit yang tua juga
memiliki pokok yang tinggi, sehingga sulit dilakukan pemanenan. Desa Polongaan, Kecamatan Tobadak
menjadi salah satu desa yang memiliki tanaman kelapa sawit yang tertua di Kabupaten Mamuju Tengah,
tanam kelapa sawit di desa Polongan sudah ada sejak tahun 1996, dan masyarakat juga sudah mulai
melakukan peremajaan kelapa sawit untuk menjaga produktivitas perkebunan mereka, oleh sebab itu saya
merasa penting untuk melihat bagaimana besaran biaya dan kelayakan finansial peremajaan perkebunan
kelapa sawit rakyat
METODE PENELITIAN
2.1.1 Sumber Data
Dalam penelitian ini data bersumer dari:
 Wawancara
Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan cara bertanya langsung kepada responden
untuk memperoleh informasi dari sumber yang diwawancarai, yang mana dalam penelitian ini yang
di wawancari adalah petani kelapa sawit yang telah melakukan peremajan, dan orang yang paham
soal proses peremajaan kelapa sawit di Kecamatan Tobadak khususnya di Desa
Polongaan(Harianti, 2020).
 Pencatatan
Teknik ini dilakukan mengumpulkan data sekunder. Teknik ini dilakukan dengan mengambil data
kemudian mencatat data tersebut dari berbagai sumber yang berkaitan dengan penelitian (Harianti,
2020).
 Observasi
Observasi merupakan teknik pengumpulan data dimana peneliti mengadakan pengamatan secara
langsung di lokasi penelitian (Harianti,2020).
2.2 Metode Analisis
Untuk menganalisis finansial petani kelapa sawit yang melakukan peremajaan di daerah penelitian
dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Ritonga,2020):
1. Net Present Value
Dalam metode NPV terdapat tiga kriteria kelayakan investasi, yaitu :
 NPV > 0, artinya usaha dinyatakan layak untuk dilaksanakan.
 NPV = 0, artinya usaha mampu mengembalikan persis sebesar social opportunity cost faktor produksi
modal.
 NPV < 0, artinya usaha tidak layak dilaksanakan.
NPV dinyatakan dalam rumus : Keterangan :
NPV = nilai bersih sekarang (rupiah)
𝑛 𝐵𝑡−𝐶𝑡
NPV = Bt = Manfaat pada tahun ke-t (rupiah)
𝑡=1 (1−𝑖)𝑡
Ct = biaya pada tahun ke-t (rupiah)
i = tingkat diskonto (%)
n = umur proyek (tahun)
t = tahun
2. Internal Rate of Return (IRR)
Dalam metode IRR terdapat tiga kriteria kelayakan investasi yaitu :
a. Jika IRR > tingkat discount rate, maka usaha layak.
b. Jika IRR = tingkat discount rate, maka usaha tidak menguntungkan namun juga tidak merugikan.
c. Jika IRR < tingkat discount rate, maka usaha tidak layak
IRR dapat dirumuskan sebagai berikut: Keterangan :
IRR = Tingkat internal hasil
𝑁𝑃𝑉1 NPV1 = nilai bersih sekarang bernilai positif
IRR = it + 𝑁𝑃𝑉1−𝑁𝑃𝑉2 𝑥 (𝑖2 − 𝑖1)
NPV2 = nilai bersih sekarang bernilai negatif
i1 = tingkat diskonto menghasilkan NPV positif
i2 = tingkat diskonto menghasilkan PV negatif
3. Net Benefit Cost Ratio
Dalam metode Net B/C terdapat tiga kriteria kelayakan investasi yaitu :
 Jika Net B/C = 1, maka NPV=0, usaha dikatakan layak, namun, keuntungan yang diperoleh hanya
sebesar opportunity cost nya.
 Jika Net B/C > 1, maka NPV>0, usaha dikatakan layak.
 Jika Net B/C < 1, maka NPV<0, usaha dikatakan tidak layak.
Rumus yang digunakan dalam menghitung Net B/C adalah sebagai berikut :
Keterangan :
𝑛 𝐵𝑡−𝐶𝑡
𝑡=1(1−𝑖)𝑡 Bt = total penerimaan pada tahun ke-t
NetB/C =
𝑛 𝐵𝑡−𝐶𝑡 Ct = total biaya pada tahun ke-t
𝑡=1(1−𝑖)𝑡
i = tingkat diskonto yang berlaku
n = umur ekonomis proyek

4. Payback Period (PP)


Payback Period (PP) adalah suatu periode yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran
investasi dengan menggunakan aliran kas. Rumus yang digunakan untuk menghitung payback period
adalah sebagai berikut:
Keterangan :

PP n (a b) /(c b)x1 n = Tahun terakhir jumlah arus Kas belum bisa
menutupi biaya investasi
a = Biaya investasi y ang dikeluarkan
b = jumlah kumulatif arus kas pada tahun ke-n
c = jumlah kumulatif arus kas pada tahun ke-n + 1
5. Analisis Sensitivitas (Sensitivity analysis)
Pengujian mengenai kepekaan atau sensitivitas usaha peremajaan tanaman kelapa sawit di Desa
Polongaan. Pada analisis ini nantinya akan dilakukan perubahan penurunan tingkat produksi dan kenaikan
biaya produksi. Terdapat dua analisis yang akan dilakukan: (a) Analisis pertama dilakukan dengan
menurunkan dan peningkatan volume produksi sebesar 5%, 7,5% dan 10%. (b) Analisis kedua dilakukan
dengan menaikkan dan menurunkan biaya produksi sebesar 10%,20% dan 30%.
Kriteria Pengambilan Keputusan :
(a) Apabila perubahan tingkat produksi dan biaya produksi merubah nilai NPV, IRR, Net B/C dan PP
sampai kriteria “Tidak Layak” dalam analisis finansial, maka usaha peremajaan perkebunan kelapa
sawit tidak peka terhadap perubahan.
(b) Apabila perubahan tingkat produksi dan biaya produksi merubah nilai NPV, IRR, Net B/C dan PP
tetap masih dalam kriteria “Layak” dalam analisis finansial, maka usaha peremajaan perkebunan
kelapa sawit tidak peka terhadap perubahan .
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Laporan Arus Kas
1. Arus Penerimaan
Berikut merupakan tabel penerimanaan dari usaha peremajaan kelapa sawit dalam tahun :

Tabel 3. Arus Penerimaan Peremajaan Kelapa Sawit di Desa Polongaan, Kecamatan Tobadak,
Kabupaten Mamuju Tengah.
Thn FASE CHIPPING UNDERPLANTING
Produksi Harga Total Produksi Harga Total
0 TBM-0 0 Rp 1.300 Rp - 0 Rp 1.300 Rp -
1 TBM-1 0 Rp 1.300 Rp - 0 Rp 1.300 Rp -
2 TBM-2 0 Rp 1.300 Rp - 0 Rp 1.300 Rp -
3 TM-1 12.300 Rp 1.300 Rp 15.990.000 11.000 Rp 1.300 Rp 14.300.000
4 TM-2 20.100 Rp 1.300 Rp 26.130.000 18.000 Rp 1.300 Rp 23.400.000
5 TM-3 24.500 Rp 1.300 Rp 31.850.000 22.100 Rp 1.300 Rp 28.730.000
6 TM-4 26.700 Rp 1.300 Rp 34.710.000 24.000 Rp 1.300 Rp 31.200.000
7 TM-5 27.900 Rp 1.300 Rp 36.270.000 27.900 Rp 1.300 Rp 36.270.000
8 TM-6 28.500 Rp 1.300 Rp 37.050.000 28.500 Rp 1.300 Rp 37.050.000
9 TM-7 28.700 Rp 1.300 Rp 37.310.000 28.700 Rp 1.300 Rp 37.310.000
10 TM-8 28.900 Rp 1.300 Rp 37.570.000 28.900 Rp 1.300 Rp 37.570.000
11 TM-9 28.900 Rp 1.300 Rp 37.570.000 28.900 Rp 1.300 Rp 37.570.000
12 TM-10 28.900 Rp 1.300 Rp 37.570.000 28.900 Rp 1.300 Rp 37.570.000
13 TM-11 28.900 Rp 1.300 Rp 37.570.000 28.900 Rp 1.300 Rp 37.570.000
14 TM-12 28.900 Rp 1.300 Rp 37.570.000 28.900 Rp 1.300 Rp 37.570.000
15 TM-13 28.900 Rp 1.300 Rp 37.570.000 28.900 Rp 1.300 Rp 37.570.000
16 TM-14 28.900 Rp 1.300 Rp 37.570.000 28.900 Rp 1.300 Rp 37.570.000
17 TM-15 28.700 Rp 1.300 Rp 37.310.000 28.700 Rp 1.300 Rp 37.310.000
Dari tabel diatas diliat bahwa peremajaan kelapa sawit memulai produksi pada umur tiga tahun atau
pada TM-1, dengan sistem peremajaan chipping, lebih banyak produksinya ketimbang sistem
underplanting, hal ini terjadi karena sawit dengan peremajaan underplanting kurang mendapatkan cahaya
matahari sehingga pertumbuhan tanaman metode underplanting tidak bisa tumbuh secara baik
dibandingkan metode chipping yang tidak memiliki tutupan tanaman. Harga jual yang digunakan adalah
Rp 1.300,- perkilogram, harga tersebut digunakan berdasarkan harga rata-rata Tandan Buah Segar (TBS)
di Kabupaten Mamuju Tengah dan sekitranya.
2. Arus Pengeluaran
Berikut merupakan tabel rekap arus pengeluaran berdasarkan pertahun :
Tabel 4. Arus Pengeluaran Peremajaan Kelapa Sawit di Desa Polongaan, Kecamatan Tobadak,
Kabupaten Mamuju Tengah.
Thn Fase Chipping Underplanting
0 TBM 0 Rp17.103.250 Rp12.475.000
1 TBM 1 Rp1.359.500 Rp1.359.500
2 TBM 2 Rp1.307.500 Rp1.307.500
3 TBM 3 Rp2.068.750 Rp2.068.750
4 TM 1 Rp7.188.750 Rp6.668.750
5 TM 2 Rp10.308.750 Rp9.508.750
6 TM 3 Rp12.068.750 Rp11.108.750
7 TM 4 Rp12.948.750 Rp11.868.750
8 TM 5 Rp13.428.750 Rp13.428.750
9 TM 6 Rp13.668.750 Rp13.668.750
10 TM 7 Rp13.748.750 Rp13.748.750
11 TM 8 Rp13.828.750 Rp13.828.750
12 TM 9 Rp13.828.750 Rp13.828.750
13 TM 10 Rp13.828.750 Rp13.828.750
14 TM 11 Rp13.828.750 Rp13.828.750
15 TM 12 Rp13.828.750 Rp13.828.750
16 TM 13 Rp13.828.750 Rp13.828.750
17 TM 14 Rp13.748.750 Rp13.748.750
Dari tabel 4 diatas dapat diketahui bahwa arus pengeluaran sistem chippingg dan Underplanting,
hanya terjadi perbedaan pada tahun O, 4,5,6, dan 7, yang menunjukan arus pengeluaran sistem chipping
lebih mahal ketimbang sistem underplanting. Hal ini dapat dijelaskan halaman lampiran 1. Arus kas
pengeluaran sistem chipping dan underplanting, pada lampiran tersebut kita dapat melihat bahwa pada
tahun 0 sistem chipping memiliki biaya peremajaan yang lebih mahal, sebab dalam tumbang dan rumpuk-
nya menyewa alat berat (excavator), berbeda dengan sistem underplanting hanya menggunakan racun.
Pada tahun 4, 5, 6, dan 7 arus kas sistem chipping lebih mahal disebabkan biaya pemanenan lebih mahal
ketimbang sistem Underplanting, hal terjadi karena produksi sistem chipping lebih banyak ketimbang
sistem underplanting.
3.2 Analisis Finansial
3.2.1 Net Present Value (NPV)
Analisa ini menunjukkan NPV positif sebebesar Rp 53.332.447 pada peremajaan sistem chipping,
dan Rp 54.484.840 pada peremajaan sistem underplanting. Dari hasil perhitungan analisis kelayakan
didapatkan selisih NPV dengan model peremajaan sistem underplanting lebih besar Rp1.152.393
dibandingkan peremajaan sistem chipping.

3.2.2 Internal Rate Of Return (IRR)


Analisis menunjukkan IRR peremajaan sistem chipping sebesar 36%, sedangkan pada
peremajaan sistem underplanting menunjukkan IRR sebesar 39%. Dari hasil perhitungan analisis
kelayakan didapatkan selisih IRR dengan model peremajaan sistem underplanting lebih besar 3%
dibandingkan peremajaan sistem chipping. Dengan dapat kita simpulkan bahwa peremajaan sistem lebih
layak underplanting secara finansila dibandingkan dengan peremajaan sistem chipping

3.2.3 Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)


Net b/c dari usahatani peremajaaan kelapa sawit sistem chipping yaitu sebesar 3,58 sedangkan
net b/c usahatani peremajaan kelapa sawit sistem underplanting sebesar 4,40 selelisi dari net b/c usaha
peremaajan ini yakni 0,42 yang menunjukan kecilnya perbedaan antara pada usaha tani ini. Hal yang
menarik dari tabel diatas juga dapat kita ketahui bahwa net benefit kedua sistem berbeda, sistem
underplanting memimiliki net benefit positif lebih kecil dibandingkan sistem chipping, sedangakan sistem
chipping memiliki net benefit negatif yang lebih besar dibandingkan sistem underplanting.
3.2.4 Payback Periode (PP)
Petani kelapa sawit di desa palongoan akan kembali modal pada tahun ke-8, dengan sistem
underpalnting akan lebih dahulu kembali modal pada bulan ke-4 sedangkan sistem chipping akan kembali
modal pada bulan ke-5 pada tahun yang sama.
3.2.5 Analisis Sensitivitas
3.2.5.1 Penurunan dan Peningkatan Pendapatan
Analisis sensitivitas untuk mengukur kepekaan biaya peremajaan kelapa sawit di Desa Polongaan,
dilakukan dengan Penurunkan dan penaikkan pendapatan sebesar 5%, 7,5%, dan 10%.
1. Net Present Value (NPV)
Pada penurunan pendapatan menyebakan menururnya juga nilai npv kedua sistem peremajaan, pada
parameter penurunan 5% pendapatan menyebabkan nilai npv sistem chipping berubah menjadi Rp
47.373.666, sedangkan sistem underplanting Rp 48.775.657, Parameter penurunan 7,5% menunjukan
nilai npv chipping sebesar Rp 44.396.722, sedangkan sistem underplanting memiliki nilai npv Rp
45.922.573, dan pada parameter penurunan 10% menunjukan besaran nilai npv sistem chipping memiliki
nilai npv sebesar Rp 41.414.885 sedangkan nilai npv sistem underplanting Rp 43.066.474. Sedangkan
pada parameter peningkatan pendaptan menunjukan kenaikan nilai npv chipping dan underplantung,
peningkatan pada pednapatan sebesar 10% menunjukan npv chipping Rp 65.250.008 sedangkan npv
underplanting Rp 65.902.205. Paramerter peningkatan produksi 7,5% merubah nilai npv chipping
menjadi Rp 62.273.064, sedangkan nilai npv sistem underplanting berubah menjadi Rp 63.050.121. Pada
parameter peningkatan produksi 5% menjukan perubahan peningkatan nilai npv yang kecil juga, sistem
chipping Rp 59.291.227, sedangkan sistem underplanting Rp 60.194.023.
Dari semua parameter yang ada menunjukan bahwa nilai npv peremajaan chipping dan underplanting
semuaya peka terhadap perubahan, hal itu dapat dilihat dari parameter yang muncul, bila produksi
menurun makan nilai npv juga menurun sesuai dengan besaran pendapatan yang menurun, dan sebaliknya
bila besaran pendaptan meningkat maka npv juga ikut menurun sesuai dengan besara peresentasenya.
Perubahan parameter produksi peremajan sistem chipping maupun sistem underplanting semuanya layak
untuk diusaha, hal ini menunjukan dari segi kelayakan finansial kekuatan finansial peremajaan di Desa
Polongaan cukup kuat dan sangat layak untuk dijalankan.
2. Internal Rate Of Retrn (IRR)
Nilai irr Pada parameter biaya yang mengalami penurunan 5% terjadi perubahan sebesar 34% untuk
sistem chipping dan 38% untuk sistem peremajaan underplanting, sedangkan pada parameter penurunan
pendaptan 7,5% nilai irr chipping berubah menjadi 33% dan sistem underplanting berubah menjadi 37%,
dan pada parameter penurunan pendapatan sebesar 10% terjadi perubahan nilai irr sistem chipping
menjadi 32% dan sistem underplanting menjadi 36%. Hal yang unik yang dapat diliat dari penurunan
biaya ini adalah pada setiap biaya meningkatan 2.5% terjadi perubahan nilai irr 1%, perubahan itu terjadi
pada kedua sistem peremajaan yang ada, hal itu menunjukan parameter produksi sangat berpengaruh.
Parameter peningkatan pendapatan menunjukan perubahna nilai irr menjadali lebih besar baik itu sistem
chipping dan sistem chipping, peningkatan pendapatan sebesar 10% menunjukan irr chipping 39%
sedangkan irr underplanting 43%. Paramerter peningkatan 7.5% merubah nilai irr chipping menjadi 38%,
sedangkan nilai irr sistem underplanting berubah menjadi 42%. Pada parameter peningkatan 5%
menunjukan perubahan nilai irr sistem chipping 37%, sedangkan sistem underplanting 41%.
Perubahan parameter pendapatan menyebabkan terjadinya perubahahan nilai irr, hal ini sekali lagi
menunjukan bahwa usaha peremajaan di Desa Polongaan peka terhadap perubahan. Hal positif lainya
yang dapat diperhatikan adalah perubahan penurunan parameter pendaptan tidak membuat nilai irr
sanggat kecil, bahkan untuk perubahan yang cukup signifikan seperti pemdapatan yang tudur hinggan
10% tidak membuat nilai irr terlampau kecil, pada sistem peremajaan chipping nilai irr sebesar 32%,
sedangkan pada permajaan sistem underplanting sebesar 36%, jadi dapat disimpulkan bahwa usaha
peremajaan kelapa sawit di Desa Polongaan memiliki ketahanan terhadap perubahan biaya.
3. Net Benefit Cost Rasion ( Net B/C)
Perubahan parameter pendapatan membuat net b/c juga mengalami perubahan, penurunan pedapatan
5% membuat nilai net b/c menjadi 3,30 untuk sistem chipping dan 4.05 untuk sistem peremajaan
underplanting, sedangkan pada parameter penurunan pendapatan sebesar 7,5% nilai net b/c chipping
berubah menjadi 3,15 dan sistem underplanting berubah menjadi 3,87, dan pada parameter penurunan
pendatan sebesar 10% terjadi perubahan nilai net b/c sistem chipping menjadi 3.01 dan sistem
underplanting menjadi 3,69. Parameter peningkatan pendaptan 10% menyebabkan nilai net b/c sistem
chipping berubah menjadi 4,16 dan sistem underplanting 5,12. Parameter peningkatan biaya 7,5%
menunjukan penurunan nilai net b/c chipping menjadi 4,02 dan sistem underplanting mengalami
penurunan peningaktan net b/c menjadi 4,94. Parameter peningaktan biaya 5% menyebakan nilai net b/c
sistem chipping berubah menjadi 3,87 sedangkan nilai net b/c sistem underplanting 4,76.
Hal yang unik yang dapat diliat dari tabel net b/c adalah pada setiap biaya yang menurun 10% terjadi
perubahan nilai net b/c, perubahan itu terjadi pada kedua sistem peremajaan yang ada, hal itu menunjukan
nilai net b/c peremajaan kelapa sawit di Desa Polongaan dipengaruhi parameter biayaDari tabel 9 dapat
diketahui bahwa meskipun perjadi perubahan biaya, nilai net b/c peremajaan kelapa sawit di Desa
Polongaan tidak perna lebih kecil dari pada nol. Hal itu berarti peremajaan kelapa sawit di Desa
Polongaan baik sistem chipping maupun sistem underplanting masih layak untuk dijalankan.
4. Payback Periode (PP)
Penururunan biaya 5% menyebabkan Payback Periode sistem chipping dan underplanting terjadi
pada tahun ke-8 dan 9 . Parameter penurunan biaya 7,5% dan 10% menyebakan perubaha payback
periode ketahun 9, hal menunjukan bahwa payback periode sangat mudah berubah bila perubahan
pendaptan menurun. Pada parameter peningkatan pendapata juga menunjukan perubahna payback
periode, dengan peningkatan biaya 10% peremajaan kelapa sawit di Desa Polongaan diproyeksikan akan
kembali model pada tahun ke-7 baik itu sistem underplanting maupun underplanting. Sedangkan
paramerter peningkatan 7,5% dan 5% mengubah proyeksi PP chipping dan underplanting ke-8.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa secara umum perubahan pendapatan dapat
merubah payback periode chipping dan underplanting, pergesesaran payback periode-nya yang
terjadipun berdasarkan besaran presentase pendapatan yang berubah. Perubahan yang cukup besar terjadi
ketika pendapatan tersebut dinaikkan, tetapi perubahan payback yang terjadi masih dianggab normal dan
usaha peremajaan kelapa sawit di Desa Polongaan ini masih dianggab layak untuk dijalankan, karena
perubahan terbesar yakni penurunan pedapatan 10% melakukan pengembalikan biaya pada tahun ke-9,
hal itu masih dianggab normal sebab masih berselisih 7 tahun dari masa proyeksi produksi peremajaan
kelapa sawit yakni 17 tahun.
3.2.5.2 Penurunan dan Peningkatan Biaya
Analisis sensitivitas untuk mengukur kepekaan biaya peremajaan kelapa sawit di Desa
Polongaan, dilakukan dengan Penurunkan dan penaikkan biaya produksi sebesar 10%, 20%, dan 30%.
Berikut merupakan tabel hasil analisis Analisis sensitivitas dari penurunan dan pengingkatan biaya
produksi.
1. Net Present Value (NPV)
Parameter penurunan 30% biaya menyebabkan nilai npv sistem chipping berubah menjadi Rp
73.085.397, sedangkan sistem underplanting Rp72.394.485, parameteri ini menjadi unik sebab dari
semua nilai npv yang telah dibuatkan parameternya, hanya ada dua parameter yang memiliki nilai npv
sistem chipping yang lebih besar dari pada sistem peremajaan underplanting, parameter lain yang
memiliki nilai npv sistem chipping yang lebih besar dari sistem peremajaan underplanting yaitu
parameter penurunan biaya 20%. Parameter penurunan 20% menunjukan nilai npv chipping sebesar Rp
66.501.080, sedangkan sistem underplanting memiliki nilai npv Rp66.424.603. Perubahan unik ini dapat
terjadi karena penurunan biaya secara signifikan merubah nilai npv, yang mana biaya peremajaan
chipping lebih besar ketimbang underplanting, sehingga bila terjadi perubahan biaya secara signifikan
menyebabkan nilai npv juga ikut berubah. Berbeda dengan parameter penurunan yang lain, nilai npv pada
parameter penurunan 10% menunjukan besaran nilai npv yang berbeda yaitu, sistem chipping memiliki
nilai npv lebih kecil dibandingkan dengan sistem underplanting, nilai npv peremajaan sistem chipping
sebesar Rp 59.916.763 sedangkan nilai npv sistem underplanting Rp 60.454.721.
Parameter peningkatan menunjukan nilai npv underplantung selalu lebih besar ketimbang sistem
chipping, peningkatan biaya sebesar 10% menunjukan npv chipping Rp 46.748.130 sedangkan npv
underplanting Rp 48.514.958. Paramerter peningkatan 20% merubah nilai npv chipping menjadi Rp
40.163.813, sedangkan nilai npv sistem underplanting berubah menjadi Rp 42.545.076. Pada parameter
peningkatan 30% menjukan perubahan nilai npv yang kecil untuk sistem chipping Rp33.579.497,
sedangkan sistem underplanting Rp 36.575.194.
Dari semua parameter yang ada menunjukan bahwa nilai npv peremajaan chipping dan underplanting
semuaya peka terhadap perubahan, hal itu dapat dilihat dari parameter yang muncul, bila biaya menurun
makan nilai npv juga meningkat sesuai dengan besaran biaya yang menurun, dan sebaliknya bila besaran
biaya meningkat maka npv juga ikut menurun sesuai dengan besara peresentasenya. Perubahan parameter
biaya peremajan sistem chipping maupun sistem underplanting semuanya layak untuk diusaha, hal ini
menunjukan kekuatan peremajaan di Desa Polongaan sangat kuat dan sangat layak untuk dijalankan.
2. Internal Rate Of Retrn (IRR)
Nilai irr Pada parameter biaya yang mengalami penurunan 30% terjadi perubahan sebesar 47% untuk
sistem chipping dan 51% untuk sistem peremajaan underplanting, sedangkan pada parameter penurunan
biaya 20% nilai irr chipping berubah menjadi 43% dan sistem underplanting berubah menjadi 47%, dan
pada parameter penurunan biaya sebesar 10% terjadi perubahan nilai irr sistem chipping menjadi 39%
dan sistem underplanting menjadi 43%. Parameter peningkatan biya menunjukan perubahna nilai irr
underplantung selalu lebih besar ketimbang sistem chipping, peningkatan biaya sebesar 10% menunjukan
irr chipping 33% sedangkan irr underplanting 36%. Paramerter peningkatan 20% merubah nilai irr
chipping menjadi 30%, sedangkan nilai irr sistem underplanting berubah menjadi 33%. Pada parameter
peningkatan 30% menunjukan perubahan nilai irr sistem chipping 27%, sedangkan sistem underplanting
31%.
Perubahan parameter biaya menyebabkan terjadinya perubahahan nilai irr, hal ini sekali lagi
menunjukan bahwa usaha peremajaan di Desa Polongaan peka terhadap perubahan . Hal positif lainya
juga adalah perubahan penurunan parameter biaya tidak membuat nilai irr sanggat kecil, bahkan untuk
perubahan yang cukup signifikan sebesar 30% tidak membuat nilai irr terlampau kecil, pada sistem
peremajaan chipping nilai irr sebesar 27%, sedangkan pada permajaan sistem underplanting sebesar 31%,
jadi dapat disimpulkan bahwa usaha peremajaan kelapa sawit di Desa Polongaan memiliki ketahanan
terhadap perubahan biaya. Besaran perubahan juga menunjukan sisem mana yang lebih terpengaruh oleh
parameter biaya, dan dalam hal ini sistem underplanting mengalami perbedaan perubahan besaran irr
yang paling besar sehinga dapat diketahui bahwa sisten underplanting paling terpengaruh oleh parameter
biaya.. Hal yang unik yang dapat diliat dari penurunan biaya adalah pada setiap biaya meningkatan 10%
terjadi perubahan nilai irr 4%, perubahan itu terjadi pada kedua sistem peremajaan, hal itu menunjukan
parameter biaya sangat berpengaruh.
3. Net Benefit Cost Rasion ( Net B/C)
Hal yang unik yang dapat diliat dari tabel net b/c adalah pada setiap biaya yang menurun 10% terjadi
perubahan nilai net b/c, perubahan itu terjadi pada kedua sistem peremajaan yang ada, hal itu menunjukan
nilai net b/c peremajaan kelapa sawit di Desa Polongaan dipengaruhi parameter biaya. Pada parameter
biaya yang mengalami penurunan 30% terjadi perubahan nilai net b/c sebesar 6,06 untuk sistem chipping
dan 7,45 untuk sistem peremajaan underplanting, sedangkan pada parameter penurunan biaya 20% nilai
net b/c chipping berubah menjadi 5,03 dan sistem underplanting berubah menjadi 6,19, dan pada
parameter penurunan biaya sebesar 10% terjadi perubahan nilai net b/c sistem chipping menjadi 4,23 dan
sistem underplanting menjadi 5,20. Parameter penuruna 10% biaya menyebabkan nilai net b/c sistem
chipping berubah menjadi 3,06, sedangkan sistem underplanting 3,76.
Parameter peningkatan biaya 20% menunjukan penurunan nilai net b/c chipping menjadi 2,62,
sedangkan sistem underplanting mengalami penurunan nilai net b/c menjadi 3,22. Parameter penurunan
biaya 30% menyebakan nilai net b/c sistem chipping berubah menjadi 2,25 sedangkan nilai net b/c sistem
underplanting 2,76. Dari tabel 9 dapat diketahui bahwa meskipun perjadi perubahan biaya, nilai net b/c
peremajaan kelapa sawit di Desa Polongaan tidak perna lebih kecil dari pada nol. Hal itu berarti
peremajaan kelapa sawit di Desa Polongaan baik sistem chipping maupun sistem underplanting masih
layak untuk dijalankan.
4. Payback Periode (PP)
Perubahan biaya pada sistem chipping dan underplanting secara umum menyebabkan berubahnya
periode pengembalian keuntungan, penururunan biaya 30% menyebabkan Payback Periode sistem
chipping dan underplanting terjadi pada tahun ke-7 . Parameter penurunan biaya 20% dan 10% tidak
menyebakan perubaha payback periode, hal ini menjadi unik dan menunjukan bahwa payback periode
tidak mudah berubah bila perubahan biayanya menurun bila tidak signifikan. Pada Parameter peningkatan
biya menunjukan perubahna payback periode cukup berbeda, dengan peningkatan biaya 10% sistem
chipping diproyeksikan akan kembali model pada tahun ke-10 dan sistem underplanting pada tahun ke-9.
Sedangkan paramerter peningkatan 20% mengubah payback periode chipping dan underplanting ketahun
10. Pada parameter peningkatan 30% menunjukan perubahan payback periode yang lebih lama pada
tahun ke- 11. Berdasarkan perhitungan diatas dapat disimpulkan bahwa secara umum perubahan biaya
dapat merubah payback periode chipping dan underplanting, pergesesaran payback periode-nya yang
terjadipun berdasarkan besaran presentase biaya yang berubah. Perubahan yang cukup besar terjadi ketika
biaya tersebut dinaikkan, tetapi perubahan payback yang terjadi masih dianggab normal dan usaha
peremajaan kelapa sawit di Desa Polongaan ini masih dianggab layak untuk dijalankan, karena perubahan
terbesar yakni peningkatan biaya 30% melakukan pengembalikan biaya pada tahun ke-11, hal itu masih
dianggab normal sebab masih berselisih 6 tahun dari masa proyeksi produksi peremajaan kelapa sawit
yakni 17 tahun.
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1. Biaya usaha peremajaan kelapa sawit sistem chipping di Desa Polongaan sebesar Rp. 201.921.500
dan untuk usaha peremajaan sistem underplanting Rp. 193.933.250
2. Berdasarkan semua analisis finanansisl Net Present Valur, Internal Rate Of Retrun, Net B/C,
Payback Periode, dan Analisis Sensitivitas, peremajaan kelapa sawit di desa Polongaan di nilai
layak untuk dijalankan
3. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan diketahui bahwa peremajaan kelapa sawit yang dilakukan
oleh masyarakat desa polongaan sistem underplanting lebih menguntungkan dibandingkan sistem
chipping
4.2 Saran
Peremajaan kelapa sawit di desa polongaan memang sudah tepat dilakukan, karena kelapa sawit di
desa Polongaan sudah sangat tidak produktfi dan kurang menguntungkan, hal itu terjadi karena faktor
teknis maupun faktor finansial. Sayangnya peremajaan kelapa sawit di Desa Polongaan kurang di
perhatikan oleh pemerintah, khususnya Penyuluh Lapangan di Kecamatan Tobadak, hal ini menyebabkan
masyarakat melakukan peremajaan tidak sesuai dengan cara peremajaan yang baik, saran sebaiknya
peremajaan ini di kawal baik oleh pemerintah khususnya penyuluh lapangan setempat
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. (2021). Mamuju Tengah Dalam Angka. Diakses dari
https://mamujutengahkab.bps.go.id/publication/2021/02/26/b23ecec83643e67b2ab0520e/kab
upaten-mamuju-tengah-dalam-angka-2021.html pada tanggal 26 Desember 2021, Jam 13.55
WITA.
Badan Pusat Statistik. (2018). Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2017. Direktorat Statistik Tanaman
Perkebunan.
Gittinger JP. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Terjemahan dari: Economic Analysis of
Agriculture. Sutomo S dan Mangiri K. UI Press, Jakarta.
Harianti. (2020). Analisis Profitabilitas Usahatani Jamur Tiram Putih (Studi Kasus Di Joglo tani Desa
Margolowih Kecamatan Seyegan Kabupaten Sleman Provinsi D.I Yogyakarta). Universitas
Muhammadiyah Makassar.
Kadariah.(1988).Evaluasi Proyek(Analisa Ekonomi).Jakarta : Fakultas Ekonomi.Universitas Indonesia
Lubis AU. (1992). Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Indonesia. Pusat Penelitian Perkebunan
Marihat-Bandar Kuala. Sumatera Utara. 435 hal.
Indah, Nuri Oktaviati (2017). Analisis Finansial Agribisnis Kebun Kelapa Sawit Rakyat ( Elais
Guineensis Jack) Studi Kasus : Desa Sei Lepan Kecamatan Sei Lepana, Kabupaten Langkat
Provinsis Sumatera Utara. Fakultas Pertanian. Universitas Muhamandiyah Sumatera Utara
Putri, Dionica, et.all.(2020). Analisis Kelayakan Finansial Kelapa Sawit Rakyat (Studi Kasus :
Kecamatan Bagana Sinembah Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau).Fakultas
Pertanian.Universitas Sumatra Utara
Pahlevi, et.all. (2014). Analisis Kelayakan Usaha Agroindustri Kopi Luwak di Kecamatan Balik Bukit
Kabupaten Lampung Barat. Jurnal Ilmu-Ilmu Agribisnis.
Pratiaswan, Akhmad Navis. (2018). Analisis Kelayakan Finansial Peremajaan Sawit Dengan Skema
Tabungan Petani Di KUD Mukti Jaya FKMK Manunggal Kabupaten Musi Bayuasin.
Fakultas Pertanian.Universitas Sumatra Utara
Rahardjo, M. (2017). Studi Kasus Dalam Penelitian Kualitatif: Konsep dan Prosedurnya. Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

You might also like