Professional Documents
Culture Documents
Disusun Oleh:
MELIANI INDRIYANI
(P20631121029)
Dosen Pengampu:
Sumarno, STP, MP
2021/2022
SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA
Korupsi pada zaman kerajaan kerajaan nusantara sudah mulai sejak awal berdiri
kerajaan. Pada saat itu terbentuklah hubungan penguasa dengan pamong atau
abdi dalem. Pola hubungan ini menempatkan para pamong dan abdi dalem untuk
selalu bersikap manis demi menarik simpati raja atau sultan dan memanfaatkan
kedekatan tersebut untuk menindas dan mengeruk kekayaan dari rakyat kecil.
Para pejabat mememanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, dan ini
menjadi embrio lahirnya kalangan opurtunis, yang berpotensi mempunyai jiwa
korup yang besar dikemudian hari. Pejabat harus menyetor upeti kepada raja.
Jual beli jabatan dan kedudukan kepada siapa saja yang mampu membayar
(venalty of power) menjadi suatu hal yang legal. Motif korupsi pada zaman
kerajaan adalah kekuasaan, kekayaan dan wanita.
Budaya korupsi dibangun oleh para penjajah kolonial (terutama oleh Belanda)
selama 350 tahun. Praktik feodalisme makin berkembang. Pegawai diangkat dan
dipekerjakan oleh Belanda untuk memungut upeti atau pajak dari rakyat,
digunakan oleh penjajah Belanda untuk menghisap hak dan kehidupan rakyat
Indonesia. Pemerintah Belanda juga mendirikan Vereenigde Oostindische
Compagnie (VOC)/Kompeni Dagang Hindia Belanda yang mengajari masyarakat
untuk korupsi di segala bidang.
Menurut Didi Kwartanada salah satu teori genealogi, korupsi Indonesia modern
berasal dari masa pendudukan militer Jepang. Didi, mengutip sejarawan National
University of Singapore, Syed Hussein Alatas, mengklaim kekuasaan Jepang
yang militeristik mempekerjakan aparatur lokal yang berkemampuan rendah dan
serakah. Akibatnya, korupsi, pasar gelap, dan berbagai penyimpangan terjadi
secara marak. Terjadi penyelewengan pada pelaksanaan Sistem “Cultuur Stelsel
(CS)”. Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat
“manusiawi” ldan sangat “beradab”, namun praktiknya sangat tidak manusiawi,
sehingga diganti sebutannya menjadi Dwang Stelsel (DS) kemudian menjadi
“Tanam Paksa” sehingga menyebabkan terjadi perlawanan-perlawanan rakyat :
perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 – 1837), Kesultanan
Aceh (1873 – 1904) dan lain-lain
Kasus korupsi lain adalah korupsi yg menyeret Ketua Umum Partai Rakyat
Nasional, Djody Gondokusumo. Ia dituding menerima gratifikasi terkait
kebijakan perpanjangan visa dan izin masuk warga asing ketika menjabat
Menteri Kehakiman.
Masa Orde Baru berlangsung sejak dikeluarkannya surat perintah 11 Maret 1966
hingga 1998 dan Soeharto diangkat sebagai presiden menggantikan Soekarno.
Pada tanggal 16 Agustus 1967, Presiden Soeharto di depan anggota DPR/MPR
berpidato yang memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi
korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu kemudian dibentuk
Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung Sugiharto,
berdasarkan Kepres No. 228/1967 dan UU No. 24/1960. Dalam pelaksanaannya,
TPK tidak bisa melakukan pemberantasan korupsi secara maksimal, bahkan bisa
dikatakan hampir tidak berfungsi. Peraturan ini memicu berbagai bentuk protes
dan demonstrasi mulai tahun 1969 dan puncaknya di tahun 1970.
1. GBHN Tahun 1973 tentang Pembinaan Aparatur yang Berwibawa dan Bersih
dalam Pengelolaan Negara;
4. Keppres No. 52 Tahun 1971 tentang Pelaporan Pajak Para Pejabat dan PNS;
12.Tahun 1998, Orde Baru sendiri jatuh karena isu Kolusi, Korupsi, dan
Nepotisme (KKN).
Kabinet Kerja yang disusun oleh Presiden Joko Widodo diresmikan pada 27
Oktober 2014 hingga 2019, kemudian dilanjutkan dengan Kabinet Indonesia Maju
yang akan memerintah sampai 2024. Pada pemerintahan Jokowi citra
antikorupsi ternoda setelah sejumlah kementerian dan lembaga tersandung
kasus korupsi seperti di Direktorat Pajak, Kejaksaan, Kementerian Perhubungan
dan Kementerian Desa. Selain itu sedikitnya 18 kepala daerah tertangkap tangan
oleh KPK karena terlibat korupsi.