Professional Documents
Culture Documents
BAGIAN 1: PENDAHULUAN
Kadzalika nuaqushu `alaika min ambaa-i maa qod sabaqo. Waqod a'tainaka
minladunna dzikron. (Surat Thahaa, Ayat 99).
Terjemahan:
Demikianlah Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah umat yang telah
lalu, dan sesunguhnya telah Kami berikan kepadamu dari sisi Kami suatu peringatan
(Al-Quran).
Pengertian tentang Sejarah menurut G.R. Elton dan Henri Pirenne, kurang lebih
sebagai berikut:
Sejarah adalah suatu hasil studi tentang perbuatan dan hasil-hasil kehidupan manusia
dalam masyarakatnya di masa silam.
Sejarah, diungkapkan melalui studi disiplin ilmu:
1. Filologi, ilmu yang mempelajari tulisan dan bahasa pada naskah-naskah kuno pada
lontar, daluwang, kertas;
2. Epigrafi, ilmu yang mempelajari tulisan dan bahasa kuno pada batu, kayu, logam,
yang dikenal sebagai prasasti;
3. Arkeologi, ilmu yang mempelajari benda-benda peninggalan sejarah (artefak).
Ilmu pengusung lainnya, adalah geografi sejarah (ilmu yang mempelajari peta
sejarah), linguistik (ilmu yang mempelajari kebahasaan) dan antropologi (ilmu yang
mempelajari kebudayaan).
Sedangkan di pihak lain, pengertian tentang "sejarah", umumnya berupa
dongeng, cerita, tambo, legenda, mitos, dan lain sebagainya. Seperti halnya yang
dipahami oleh umumnya masyarakat Sunda, yang dianggap "sejarah" tersebut, adalah:
3. Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (Parwa III, Sarga 5), dari Banten tanggal 4
September 1983;
3|Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Tatar Sunda
4. Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa (Panyangkep), sebagian dari Palembang
(Atmo Darmodjo), sebagian dari Serang (Yusuf, dan sebagian lagi dari Jambi (Hassan).
Dikumpulkan tahun 1926-1931 dan dijilid tahun 1978;
Dari 47 naskah Pangeran Wangsakerta, dapat diketahui, bahwa tebal tiap jilid
bervariasi antara 100 sampal 250 halaman, dengan isi antara 21 sampal 23 baris tiap
halaman. Berdasarkan laporan pengujian secara kimiawi di laboratorium Arsip Nasional
(1988), kertas daluang yang digunakan dalam naskah-naskah Pangeran Wangsakerta,
sudah berusia lebih dari 100 tahun. Penelitian usia naskah-naskah tersebut, kini sedang
dilakukan di sebuah laboratorium di Jepang. Walaupun demikian, naskah-naskah
Pangeran Wangsakerta, sudah dapat dikategorikan ke dalam Naskah Kuno.
Naskah-naskah tersebut ditulis dengan tinta japaron, menggunakan aksara dan bahasa
Kawi Jawa Kuno, gaya Cirebon.
Edi S. Ekadjati dalam Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 5A, Jawa
Barat Koleksi Lima Lernbaga (1999), memperinci kondisi naskah-naskah Pustaka
Wangsakerta, di antaranya sebagal berikut:
Judul Naskah, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara.
Bahasa: Jawa Cirebon; aksara: Cacarakan; bentuk: Prosa; bahan naskah: Dluwang;
Sampul: kertas tebal terbungkus kaln blacu; tebal: 214 halaman, halaman yang ditulis:
213 halaman, 1 halaman kosong; tinta hitam, tulisan umumnya masih terbaca.
Ukuran; sampul: 35,5 x 27,5 cm; halaman: 35,5 x 27,5 cm; tulisan: 32 x 22 cm.
Penomoran halaman ada dengan angka Cacarakan 1-212 dan dua halaman
tanpa nomor, yaitu halaman awal dan akhir. Penulisan nomor halaman pada margin
atas tengah.
Keadaan fisik umumnya masih baik dan terpelihara. Kertas sangat kusam
kehitam-hitaman. Setiap lembar halaman dibingkal garis ganda, dan penjilidan ketat
sehingga apabila dibuka salah satu permukaan halamannya melenting
(Ekadjati,1999:187).
Dari naskah-naskah yang terkumpul di Museum Negeri Sri Baduga (Jawa Barat),
ternyata ada empat macam seri sejarah yang telah disusun oleh Pangeran Wangsakerta
dan kawan-kawan, yaitu:
1. Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara;
2. Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa;
4|Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Tatar Sunda
3. Pustaka Nagara Kretabhumi;
4. Pustaka Carita Parahiyangan.
Berkat ditemukannya Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa V sarga 5,
yang berupa katalog mengenal pustaka-pustaka, dapat diketahui judul-judul seluruh
naskah yang pernah disusun Pangeran Wangsakerta. Baik dalam jaman pemerintahan
Panembahan Girilaya, maupun dalarn masa dirinya ketika menjadi Panembahan
Cirebon.
Selain itu, dapat diketahui pula judul-judul naskah yang pernah ditulis oleh
Panembahan Losari (jaman Susuhunan Jati) dan Pangeran Manis (jaman Panembahan
Ratu). Katalog tersebut menampilkan 1703 judul naskah yang pernah ditulis di Keraton
Cirebon, di antaranya 1218 judul berupa karya Pangeran Wangsakerta dan
kawan-kawan.
Naskah-naskah tersebut mencakup berbagal bidang pengetahuan, seperti misalnya
sejarah, hukum, dan kesehatan. Bahasa naskah pun sekurang-kurangnya mencakup
bahasa-bahasa Jawakuna, Melayukuna, Balikuna, dan Sundakuna. Khazanah
perpustakaan itu umumnya terdiri dan naskah lontar dan prasasti (Ayatrohaedi,1985:
537).
Menurut Pangeran Wangsakerta, di antara pustaka milik keraton Kasepuhan itu,
ada juga milik para Duta atau Mahakawi (Pujangga Besar; dari daerah lain, yang
datang bermusyawarah (mapulung rahi) di Cirebon dalam tahun 1599 Saka (1677 M).
Di antara mereka itu, banyak yang menghadiahkan naskah yang dibawanya, kepada
Sultan Cirebon. Tapi ada juga yang meminjamkannya untuk sementara, dan setelah
usai disalin atau dipelajari isinya, dibawa kembali ke negaranya. Hal yang menarik
misalnya naskah-naskah karya Prapanca dibawa oleh Mahakawi utusan dari Bali bukan
oleh utusan dari Jawa Timur.
Ayatrohaedi menjelaskan dalam tulisan Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara,
pada buku Pertemuan Ilmiah Arkeologi ke III, bahwa setiap jilid Pustaka Wangsakerta,
terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1. Purwaka
2. Uraian kisah sejarah dalam jilid yang bersangkutan
3. Kolofon
Bagian purwaka, secara terperinci memberikan keterangan yang berkaitan
dengan; nama naskah, parwa dan sarga, penyusun, sumber, alasan penyusunan,
tujuan penyusunan, dan cara kerja yang lebih jauh menguraikan tentang hal-hal yang
berkaitan dengan; pembentukan panitia, pencarian sumber dan bahan, pengundangan
nara sumber, penyelenggaraan sawala dan penugasan sangga, dan penyelesaian
5|Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Tatar Sunda
masalah yang muncul dalam sawala. Bagian inilah yang bersangkut paut dengan
pertanggungjawaban ilmiah para penyusun.
Bagian kedua, merupakan uraian yang lebih banyak menyita bagian terbesar
dalam tiap jilid, karena berisi keterangan kesejarahan yang sesuai dengan jilid yang
bersangkutan. Sedangkan kolofon berisi keterangan mengenai akhir penulisan jilid
tersebut (Ayatrohaedi,1985: 530-557).