You are on page 1of 18

KAJIAN KEISLAMAN : UPAYA UNTUK PENINGKATAN

KUALITAS KEBERAGAMAAN MAHASISWA

Abdul Manan
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Ampel Surabaya
E-Mail : abdulmanan1970@gmail.com

Abstract: Every human being has potentialities of inherently being a preacher to


call on or influence others to follow what he delivers. In Islam, human goodness
is, among others, measured by indicators that he is useful and helpful to others.
Islamic studies at universities, as one of the factors having dakwah (propagation)
substances by, for example, organizing students in a sometimes-structured
program, have the same function, namely by increasing and improving the quality
of students' diversity, which according to Jalaluddin Rahmat can and should be
viewed as a comprehensive commitment consisting of such aspects as mystical,
ritual, ideological, intellectual and social. On account of the Islamic studies at
universities have generally the dakwah substances to the academicians, there are
some important points that could be taken into account as the opportunities and
capital as well (1) the development of spiritual yearning among students (2) the
revival of spiritualism (3) the establishment of campus mosques littered fully with
various activities (4) the diversity of religious understanding (5) the amount of
accessible information.
The dakwah (propagation) movements on campus can take various forms (1)
Tilawah (recitation) with the aim of paying more attention to the natural
phenomena as the signs of Allah with such indicators as the way of thinking and
the remembrance of God (zikr); (2) Tazkiyah (purification) with the aim of
maintaining and purifying the self both physically and spiritually. (3) Ta'lim
(religious study) with the aim of reading, understanding and reflecting the
Qur'anic verses with the indicator of being able to recite the Qur'an. (4) Islah
(reconciliation) with the aim of having a sensitivity to others with the indicator of
having social sensitivity. All these could be used as the form and purpose of
Islamic studies at universities that essentially have dakwah substances.
Keywords: Islamic studies, religious quality.

Pendahuluan
Islam mangajak manusia kepada kebaikan dan kejujuran baik secara pribadi atau lewat
institusi-institusi yang dibentuk seperti kajian-kajian. Di samping itu usaha tersebut harus
semakin baik dan akhirnya menuju kesempurnaan dengan selalu berusaha memperbaiki
kinerja dan organisasinya yang dalam bahasa agama di sebut dengan “fastabiqu al-khayrāt”.
Sebagaimana dalam al-Qur’ān disebutkan “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang
mungkar”.1 Demikian juga dalam dalam al-Qur’ān surat al-Baqarah: 148 yang intinya
berlomba-lomba dalam kebaikan.
Subyek dan obyek sasaran ajakan ini adalah manusia yang nantinya ada saling mengisi
sehingga kebaikan manusia yang satu dapat dirasakan manusia yang lain. Kemanfaatan
manusia kepada manusia lain merupakan kriteria bahwa manusia itu baik. “Sebagaimana

1
al-Qur’an, 3: 104.

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015


18

Rasulullah diutus ketika dibaiat untuk tetap menegakan shalat, mengeluarkan zakat dan
nasihat kepada kebaikan pada sesama muslim” (HR. Muttafāqun alayhi).2 Karena pada
dasarnya kehidupan ini penuh dengan dinamika, selalu bergerak dan berubah, sebagaimana
kata Hiraklitos “seseorang tidak pernah menginjak air sungai yang sama untuk kedua
kalinya”.3
Senada dengan hal tersebut, Henri Bergson dalam Mulyadi Kartanegara memberikan
realitas sebagai “kesinambungan menjadi” serta masa kini merupakan kesinambungan
tersebut dilihat sebagai bagian yang dipengaruhi oleh persepsi dalam masa yang mengalir.
Namun gerak kehidupan cenderung berkembang ke arah yang lebih baik dan lebih maju.
Segala sesuatu cinta pada kesempurnaan, maka iapun meronta ke atas laksana tunas. 4
Oleh karena itu seluruh dunia fisik, bahkan psikis dan imajinasi selalu bergerak,
hingga sesuatu itu tidak bergerak dan bercahaya, selalu dalam gerak dan menjadi serta
menuju kesempurnaan. Inilah yang dinamakan dinamika kehidupan. Dinamika dan perubahan
ini merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat kita bantah dan telah menjadi sifat dasar dari
segala yang ada di muka bumi, termasuk manusia dan kegiatan-kegiatan yang mereka bangun
untuk mempengaruhi manusia itu sendiri, semuanya tidak ada yang luput dari pengaruh
dinamika kehidupan ini, bahkan kelestarian kegiatan itu sangat tergantung dan dipengaruhi
oleh sejauh mana mereka dapat menyesuaikan diri dengan irama perubahan tersebut. Sebagai
suatu kegiatan kajian keislamam, lembaga kajian juga tak luput dari hukum kedinamikaan,
kalau mampu mengikuti irama perubahan maka sudah pasti ia akan bertahan keberadaannya
(survive), tetapi sebaliknya jika lambat ia tidak dapat mengejar atau bahkan bubar yang
akhirnya suatu lembaga kajian tidak ada peminatnya. Karena itu agar suatu kajian
mendapat animo dari mahasiswa, maka harus berani mengadakan perubahan-perubahan dan
memberikan materi-meteri yang menarik bagi dunia kampus atau trend-trend yang
berkembang.
Visi yang diemban oleh suatu lembaga kajian keislaman adalah memberikan
kebebasan dan keleluasaan bagi berkembangnya kajian keislaman, sejauh tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip dasar agama Islam dan memiliki cara pandang tertentu bagi
pengembangan kajian keislaman yang konstruktif. Yang lebih penting adalah mewujudkan
kampus yang religius atau nilai-nilai religiusitas diaktulisasikan di dalam kehidupan kampus
baik secara individu atau kelompok atau lebih jelasnya dapat meningkatkan kualitas
keberagamaan seluruh sivitas akademika kususnya mahasiswa.
Menurut Nuril Huda, wujud aktualisasi kampus yang religius dapat pada tiga pilihan,
yaitu: fisik (sarana ibadah seperti masjid, perpustakaan), kegiatan (pelaksanaan salat
berjamaah, kuliah setelah salat wajib, pengajian termasuk kajian-kajian keislaman) dan sikap
serta perilaku sehari-hari (mengucapkan salam, kunjungan kepada yang membutuhkan, cara
berpakaian dan memberikan santunan-santunan).5
Kajian-kajian keislaman yang ada dalam kampus harusnya dapat mengembangkan sikap
yang taat pada ajarannya baik secara individu atau yang berkaiatan dengan kepedulian
terhadap sesama atau dengan kata lain meningkatkan kualitas keberagamaan mahasiswa,
misalnya tentang meteri keimanan, kajian tentang bidang fiqih (salat, zakat, puasa atau haji )
atau bahkan tentang kajian al-Qur’ān baik cara baca atau penafsirannya. Sebagai sarana
untuk kegiatan itu dalam dunia kampus akan lebih efektif manakala dilaksakan di dalam
Masjid kampus disamping tidak menutup kemungkinan pada organisasi kemahasiswaan, pers
kampus atau aktivitas-aktivitas lainya.6

2
Abu Zakaria Yahya,Terjemah Riyādus Sālihīn (Bandung:al-Ma’arif,1987), 99.
3
A.J. Ayer, A Dictionary of Philosophical Quotatian (Cabridge:Biacweel Reference,1992), 182.
4
Mulyadi Kertanegara, Renungan Mistik Jalaluddin Ar-Rumi (Jakarta:Pustaka Jaya,1986), 35.
5
Fuadudin dan Cik Hasan Bisri, Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi (Jakarta:Logos,1999), 219.
6
Din Samsudin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani (Jakrta: Logos,2002),132-133.

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015


19

Pada Masjid Kampus biasanya ada perangkat kegiatannya misalnya Lembaga


Dakwah Kampus (LDK), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) , Seksi Kerohanian Islam (SKI),
Bimbingan Baca al-Qur’ān (BBA) dan PHBI (Peringatan Hari Besar Islam), yang semuanya
di bawah naungan pengurus Ta’mir Masjīd. Seperti yang penulis katakan di atas bahwa
kajian keislaman harus dapat meningkatkan kualitas keberagamaan mahasiswa dan sudah kita
maklumi dan sadari bahwa bidang garapan ini adalah pembinaan dan peningkatan moral
serta ketaqwaan di samping peningkatan dan pengembangan wawasan keislaman dan
keilmuan. Kampus yang religius hanya dapat tercapai dengan adanya niat yang tulus dan
semangat keislaman yang tinggi dari segenap sivitas akademika.
Yang tidak kalah penting adalah bagaimana mengefektifkan kegiatan kajian keislaman
dalam rangka peningkatan kualitas keberagamaan seseorang termasuk mahasiswa. Karena
harus diakui bahwa kualitas keberagamaan seseorang itu salah satunya sangat dipengaruhi
oleh faktor eksternal, berupa faktor di luar individu yaitu lingkungan, termasuk di dalamnya
seringnya frekwensi seseorang mengikuti kajian-kajian keislaman. Zakiyah Darajat
mengatakan sikap keagamaan merupakan perolehan dan bukan faktor bawaan, ia terbentuk
melalui pengalaman langsung yang terjadi dalam huibungannya dengan unsur-unsur
lingkungan materi dan sosial, misalnya rumah tangga, teman atau jamā’ah
(perkumpulan/kegiatan).7
Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang
mendorong sisi orang untuk bertingkah laku yang berkaitan dengan agama. Sikap ini
terbentuk karena adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai komponen
kognitif, perasaan terhadap agama sebagai komponen afektif, dan perilaku terhadap agama
sebagai komponen psikomotorik. Tingkah laku keagamaan seseorang juga merupakan segala
aktivitas manusia dalam kehidupan yang didasarkan atas nilai-nilai agama yang diyakini
termasuk Islam. Tingkah laku ini juga merupakan perwujudan dari rasa dan jiwa keagamaan
berdasar kesadaran dan pengalaman beragama pada diri sendiri.
Tingkah laku dan perasaan keagamaan seseorang tentunya tidak dapat diukur dengan
menanyakan berapa kali anda salat, puasa, tetapi harus diukur dengan keterlibatan yang
menyeluruh (a comprehensive commitment) dalam seluruh ajaran agamanya. Paling tidak ada
lima dimensi yang ada pada agama yang dapat diukur sebagai indikator keberagamaan
seseorang, yaitu 8: (1) ritual, yaitu berkenaan dengan upacara-upacara, ritus-ritus religius,
seperti salat, puasa. (2) mistikal, yaitu pengalaman keagamaan yang meliputi perhatian,
pengetahuan, dan kepercayaan. Keinginan mencari makna hidup, taqwa adalah bagian
dimensi mistikal. (3) ideologikal, yaitu mengacu pada keberadaan manusia, di Islam manusia
sebagai khalīfah fī al-ard.(4) intelektual, yaitu pemahaman dan kedalaman orang terhadap
ajaran agamanya (5) sosial, yaitu manivestasi ajaran agama dalam kehidupan di masyarakat.
Pembentukan sikap keberagamaan seseorang dapat dipengaruhi oleh dua hal,yaitu
(1) faktor internal; minat dan motivasi serta perhatian (2) faktor eksternal; pengaruh
lingkungan.9 Menurut Nico Syukur Dister Ofm kelakuan beragama seseorang secara
psikologi disebabkan empat motif : (1) untuk mengatasi frustasi (2) untuk menjaga
kesusilaan dan tata tertib masyarakat (3) memuaskan intelek yaitu rasa ingin tahu dari
manusia (4) mengatasi ketakutan.10
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Muhaimin, Suti’ah dan Nur Ali (1998)
mengungkap tentang penciptaan suasana religius pada sekolah-sekolah Menengah Umum di
Kodya Malang yang menemukan beberapa kesimpulan bahwa penciptaan suasana religius di
mulai dengan adanya kegiatan kegiatan keagamaan di sekolah yang dimulai dari pimpinan

7
Zakiyah Darajad, Ilmu Jiwa Agama (Jakrta: Bulan Bintang,1991), 128.
8
Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif Ceramah-Ceramah di Kampus (Bandung: Mizan, 1989), 37-38.
9
Ramayulis, Pengantar Psikologi Agama (Jakrta: Kalam Mulia,2002), 82.
10
Nico Syukur Dister Ofm, Pengalaman dan Motivasi Beragama (Yogyakarta : Kanisius,2001),74.

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015


20

(top down). Penelitian ini juga menemukan bahwa pimpinan adalah menjadi panutan yang
harus ditiru dan dicontoh. Penelitian ini tidak sampai pada mencari korelasi antara kegiatan
keagamaan oleh pimpinan dengan fihak di sekolah.
Senada dengan penelitian di atas yaitu oleh Tim Dosen IAIN Fakultas Tarbiyah Malang
(1997) tentang pelaksanaan pendidikan Agama Islam di sekolah-sekolah Umum di Kodya
Malang yang intinya peran guru Agama dalam memberikan contoh dengan mengembangkan
muatan kurikulum Agama Islam di luar kegiatan intra kurikuler. Jadi guru sebagai figure atau
contoh dalam usaha penciptaan suasana sekolah yang yaman dan menyenangkan serta sebagai
tambahan wawasan.
Penelitian oleh Imam Amrusi Jaelani dengan judul Menghidupkan Wacana Keislaman
Di Perguruan Tinggi Umum (Suatu Upaya Mengantisipasi Kecenderungan Dunia Global)
lebih fokus pada diskripsi tentang format-format kajian keislaman yang ada pada dunia
kampus sebagai upaya mengoptimalkan tujuan pendidikan Agama Islam di PTU.

Kajian Keislaman
Dari sudut fungsi kampus adalah tempat diselenggarakannya fungsi perguruan tinggi
yang disebut tridarma perguruan tinggi, yaitu pendidikan-pengajaran, penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat. Karena itu kampus merupakan tempat yang ideal untuk
berkembangnya pemikiran baik agama, sosial, politik, budaya dan berbagai macam pemikiran
lainnya. Terkait dengan kajian keislaman maka kampus adalah tempat darma pendidikan-
pengajaran dalam usaha penyampaian ilmu pengetahuan dan sekaligus transfer budaya (dalam
arti luas) sehingga terwujud kampus yang religius. Untuk darma penelitian dan pengabdian
kampus adalah tempat untuk menghasilkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan serta
mengaplikasikan ilmu pengetahuan kepada masyarakat.
Pelaksanaan tridarma tersebut melibatkan tiga unsur utama dalam warga kampus yaitu
dosen, mahasiswa dan tenaga penunjang (tenaga administrasi, pustakawan, atau
laboratorium). Tridarma ini dilaksanakan dalam suatu lingkungan yang dapat dipilah atas
lingkungan fisik (kampus dalam pengertian fisik/bangunan dan nonfisik (suasana kampus
yang tercipta dari hubungan dan sinergi dari (a) peraturan (b) kegiatan (c) hubungan antar
warga kampus.1
Khusus darma pendidikan-pengajaran, pelaksanaannya dapat efektif sangat dipengaruhi
oleh beberapa faktor mahasiswa, dosen, proses belajar mengajar, sarana dan lingkungan
nonfisik. Jika dicermati, transfer ilmu pengetahuan yang merupakan implementasi dari darma
pertama sangat ditentukan oleh proses belajar mengajar yang berlangsung dalam lingkungan
fisik dan nonfisik. Dengan tidak mengesampingkan lingkungan fisik, keberhasilan darma
pendidikan-pengajaran sangat ditentukan dan dipengaruhi oleh lingkungan nonfisik dan
selanjutnya lingkungan inilah yang memberikan wadah sehingga warna religi kampus
nampak.

Kajian Keislaman di Dunia Kampus


Semaraknya kajian keislaman di dunia kampus akhir-akhir ini amat terasa dan semakin
menunjukkan perkembangannya. Kajian-kajian ini yang diselenggarakan oleh kalangan
mahasiswa didorong oleh rasa haus akan ilmu untuk memenuhi tuntutan keadaan dan
menambah nuansa pemahaman keagamaan yang terasa belum diperoleh dari perkuliahan
pendidikan agama Islam atau mereka selalu ingin memburu hal-hal yang berbau aktual dalam
konteks keislaman yang belum terakomodir dalam perkuliahan.

1
Fuaduddin dan CIK Hasan Bisri, Dinamika Pemikiran Islam Di Perguruan Tinggi Wacana Tentang
Pendidikan Agama Islam (Jakarta:Logos Waca Ilmu,1999), 218.

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015


21

Fenomena tersebut di atas semakin menambah minat dan motivasi mahasiswa untuk
membentuk dan mengembangkan kegiatan keagamaan, menambah nuansa pemahaman dan
merangsang daya nalar mereka tentang masalah-masalah keislaman. Kegiatan-kegiatan yang
muncul adakalanya bersifat institusional yang terkoordinasikan melalui lembaga-lembaga
kampus, seperti senat mahasiswa, dan adakalanya bersifat mandiri dan individual, baik di
dalam kampus atau di luar kampus. Sebagai konsekuwensinya kegiatan-kegiatan tersebut
pada gilirannya akan melahirkan bermacam-macam nuansa pemahaman keagamaan yang
berkembang sejalan dengan meningkatnya frekuwensi dan bobot kegiatan keagamaan yang
mereka laksanakan.
Kegiatan-kegiatan keagamaan yang lebih bersifat akstra kurikuler yang melalui
lembaga-lembaga kampus yang bersifat institusional antara lain kegiatan-kegiatan yang
terkoordinasikan melalui masjid kampus dengan perpustakaan masjid kampus sebagai salah
satu perangkatnya, Lembaga Dakwah Kampus (LDK), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM),
Pusat Kegiatan Agama, Kelompok Pengajian Mahasiswa, Bimbingan Baca al-Qur’ān (BBA)
atau Peringatan Hari Besar Islam (PHBI). Untuk Fakultas Sastra sendiri kegiatan atau kajian
keislaman ini ditangani oleh Seksi Kerohanian Islam (SKI) yang merupakan sub dari Unit
Kegiatan Kerohanian Islam (UKKI) yang pelaksanannya digabung dengan pelaksanaan
Pembinaan Baca al-Qur’ān (PBA) yang merupakan salah satu komponen dalam penilaian
mata kuliah agama Islam.
Kegiatan-kegiatan ini lahir sebagai konsekuwensi logis dari adanya pemahaman
sementara kalangan yang beranggapan bahwa konsep Pendidikan Agama Islam lebih sebagai
kegiatan kurikuler tersetruktur dengan bobot minimal 2 SKS. Padahal sebenarnya hal ini
merupakan konsep yang masih “mikro”. Karena masih dalam konsep mikro, maka hal
tersebut perlu dikembangkan ke arah yang “makro”, yaitu dengan upaya menumbuhkan dan
mengembangkan berbagai kegiatan yang sistematis, terencana, dan terpadu serta terkoordinasi
dengan penanggungjawab mata kuliah Agama Islam sebagai penunjang dari kegiatan
kurikuler yang masih bersifat “mikro”. Sedangkan kegiatan-kegiatan yang bersifat mandiri
dan individual adalah semua kegiatan yang diselenggarakan kelompok kajian yang
beranggotakan mahasiswa-mahasiswi yang menempuh jalur atau bergerak di luar lembaga-
lembaga kampus.2
Adakalanya kegiatan-kegiatan yang mereka selenggarakan memilih lokasi kampus yang
tentunya setelah melalui proses perijinan dari pihak kampus, akan tetapi lebih sering
dilaksanakan di luar kampus. Kelompok-kelompok kajian ini misalnya yang dimotori oleh
organisasi-organisasi kemahasiswaan, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), atau berbagai
himpunan atau ikatan mahasiswa daerah yang beranggotakan mahasiswa dari daerah masing-
masing.
Harus diakui bahwa kegiatan-kegiatan yang berlangsung di luar kampus akan nampak
lebih dinamis dan semarak dan adakalanya lebih liberal, tentunya juga tidak
mengesampingkan kegiatan di dalam kampus yang lebih atau agak birokrat karena memang
harus mengikuti aturan yang berlaku. Terhadap kegiatan di luar kampus yang dinamis dan
semarak tersebut, paling tidak ada dua faktor yang mempengruhi : (1) kemandirian, kegiatan
keagamaan ini lebih mandiri, mereka bebas mengadakan dan mengelola kegiatan tanpa harus
ada campur tangan dan mengikatkan diri dengan fihak-fihak lain utamanya birokrasi kampus.
Mereka bebas menentukan tema apa yang menjadi kajian dan tidak ada pertanggungjawaban
dengan fihak kampus. (2) keterbukaan, keanggotaan kajian ini dapat dari berbagai disiplin
ilmu dan lintas kampus, sehingga mereka dapat bertukar pikiran tentang keadaan lingkungan
masing-masing kampus.
2
Imam Amrusi Jaelani, Menghidupkan Wacana Keislaman Di PTU Suatu Upaya Mengantisipasi
Kecenderungan Dunia Global (Hasil Penelitian,2000),17.

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015


22

Ada satu lagi prototype kelompok kajian keagamaan yang kebanyakan berlangsung di
luar kampus, walaupun di sekitar lokasi kampus juga tidak dapat dinafikan keberadaannya,
meskipun dengan frekuwensi yang amat jarang, yaitu sering disebut dan dikenal dengan
sebutan halāqah atau usrah. Konon kelompok ini sangat tertutup dan sangat eksklusif
sehingga ada kalangan menyebutnya dengan kelompok sempalan. (splinter group).
Terhadap kelompok yang satu ini (sempalan) ada ciri-ciri diantaranya : (1)
ketergantungan mereka kepada pemimpinnya yang mereka anggap top leader dan dijadikan
satu-satunya referensi tunggal bagi mereka. (2) sangat mengagungkan atau mengkultuskan
pemimpinnya, (3) merasa dirinya yang terbaik dalam pemahaman terhadap Islam sehingga
terhadap yang lain mereka mudah mengklaim salah, (4) mengagung-agungkan kejayaan Islam
masa lalu dan ingin mengembalikan kejayaan itu kembali. 3.
Senada dengan hal di atas menurut Muhammad Daud Ali, pola pemahaman mereka
yang eksklusif dan pesimistik yang akhirnya menjurus menjadi kelompok sempalan, dapat
dilihat misalnya 4 : (1) pemahaman tekstual yang statis terhadap ayat al-Qur’ān dan al-Hadīth.
Pemahaman ini menyebabkan pemahaman yang kaku dan tidak konstektual, sehingga
pemahaman mereka kadang-kadang ketinggalan jaman (out to date) dengan situasi sekarang
dan terhadap orang yang berbeda pendapat dengan mereka, selalu mereka berkata tidak Islami
atau bahkan dengan bahasa yang lebih keras mereka menstempel “kafīr, munāfiq dan lain-
lain”.
Hal inilah yang kadang-kadang memancing perpecahan dan perselisihan karena mereka
tidak dapat saling menghargai perbedaan pemahaman dan interpretasi suatu teks. (2)
pemahaman yang bersifat duplikasi terhadap pola hidup umat Islam awal (masa Nabi dan para
sahabat). Pemahaman ini membuahkan sikap mengarah pada tradisionalisasi kehidupan
dengan menganggap kehidupan kini tidak Islami, kerena tidak sesuai dengan kehidupan yang
telah dicontohkan penganut Islam yang pertama. Lebih parah lagi dan ironisnya pemahaman
itu menyempit pada kehidupan-kehidupan prakris yang sesungguhnya hal itu mencerminkan
kultur Arab, missal model jilbab yang harus persis dengan kultur Arab atau Persia bentuk
jubah, budaya memelihara jenggot. (3) pemahaman keagamaan yang berdimensi sufisme dan
menilai kehidupan kini sebagai realitas yang tidak Islami. Baginya kebahagiaan hidup hakiki
adalah pengembangan dan pendalaman spiritual manusia. Pemahaman ini juga sering
menimbulkan sikap tidak aspiratif terhadap kegiatan akademik yang berintikan kajian ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Sasaran operasional kelompok ini adalah para mahasiswa yang merasa terisolasi dari
lingkungannya atau berada pada posisi marginal. Mereka selalu dibayang-bayangi oleh
kejayaan Islam masa lalu dan ingin mengembalikan kejayaan itu kembali dan Perguruan
Tinggi Umum sangat potensial untuk berkembang dan tumbuh subur bagi pengembangbiakan
kelompok ini. Satu hal yang perlu dan diadakan pemikiran kembali yaitu pemberian lebel
kepada mereka “sempalan”. Sampai saat ini belum ada patokan yang jelas apalagi disepakati
untuk menentukan bahwa suatu kelompok kajian atau gerakan itu dapat disebut dengan
kelompok sempalan.
Pemberian label tersebut sangat kontesktual dengan situasi pada waktu itu (Orde Baru)
dalam usaha mencekal dan membatasi gerak mereka atau mempersempit ruang gerak yang
sampai pada tahap membredel, menutup dan melarang gerakan itu beroperasi di Indonesia.
Jika kita cermati lebih jauh lagi, bahwa pembatasan atau sampai pada pembubaran dan
pelarangan terhadap suatu kelompok kajian seperti yang terjadi di dunia kampus, bias jadi
karena adanya kekurangsiapan kita dalam menerima berbagai berbedaan yang muncul,
padahal perbedaan pendapat yang terjadi sangat dijamin oleh UUD 1945 pasal 28. Oleh
karena itu, harus diadakan redefinisi dan reinterpretasi terhadap makna sempalan itu sendiri.
3
Ibid, 20
4
Fuaduddin dan Cik Hasan Bisri, Dinamika Pemikiran Islam…, 251-252.

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015


23

Demikian pula, fihak-fihak terkait yang memegang kebijaksanaan di kampus tidak seharusnya
memberikan label sempalan terhadap kelompok tertentu, agar mereka tidak semakin menjauh
(karena merasa terisolasi) dari kahidupan kita. Yang harus kita perbuat adalah mensikapi
mereka sebagai mitra dialog dalam rangka memperkaya khasanah intelektual kita.
Pemahaman dan pemikiran mereka tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal 5: (1)
tidak memahami kerangka dasar agama dan ajaran Islam. Kerangka dasar agama yang terdiri
Aqīdah, Syarī’ah dan Akhlāq yang merupakan satu kesatuan utuh tidah mereka pahami.
Demikian pula dengan ajaran keislaman tradisional yang terdiri dari ilmu kalam, ilmu fiqh,
ilmu tasawuf atau ilmu akhlaq. (2) pemahaman yang salah terhadap makna istilah-istilah
agama dan ajaran Islam, misal makna salat, haji atau makna Nabi dan Rasul. (3) penafsiran
ajaran agama secara parsial, missal Islam dipahami sebagai fiqih saja, tasawuf saja, atau
akidah saja. (4) motif politik, ekonomi, sosial budaya serta keinginan-keinginan tertentu. Hal
ini menyebabkan pengertian agama dan ajaran agama menjadi terpenggal-penggal. Motif ini
biasanya sangat kental dengan kepentingan pribadi atau kelompok.

Dakwah dan Kebutuhan Dunia Kampus Terhadap Kajian Keislaman


Dakwah adalah segala aktivitas untuk mengajak orang kepada Islam. Dakwah dapat
mengambil bentuk lisan, bentuk tulisan dan juga dalam bentuk pengembangan masyarakat.
Dakwah secara fungsi pada hakekatnya adalah sebagai kontrol sosial (social control) atau
dalam bahasa agama sebagai amar ma’rūf nahi munkār. Sebagai aktivitas yang integral,
dakwah dapat dilakukan lewat berbagai jalur kehidupan, seperti sosial, ekonomi, pendidikan
dan juga kesenian.
Terhadap aktivitas dakwah dan kebutuhan akan kajian keislaman di dunia kampus ada
beberapa hal yang dapat kita perhatikan dan hal ini menjadi suatu peluang dan modal 6 : (1)
berkembangnya kerinduan rohaniah yang tinggi di kalangan mahasiswa, baik yang didorong
oleh pengalaman dan pendidikan agama yang baik pada masa sebelumnya atau karena
suasana kampus yang religius. (2) adanya kebangkitan spiritualisme, yang membuka pintu
semua agama menawarkan spiritualitas masing-masing. (3) berdirinya masjid kampus lengkap
dengan kepengurusan ta’mirnya dan dukungan pimpinan perguruan tinggi terhadap kegiatan
yang diadakan. (4) semakin banyaknya pemahaman keberagamaan dari kelompok-kelompok
yang ada. (5) terbukanya akses bagi mahasiswa kepada sumber informasi dan minat yang
tinggi untuk memperolehnya.
Di samping itu ada peluang-peluang yang tersedia dari kelembagaan untuk kegiatan
dakwah di kalangan mahasiswa, antara lain 7: (1) masjid Kampus, lembaga ini merupakan
peluang terbuka bagi Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam, bahkan dapat menjadi sentral
kegiatan mahasiswa. Pemanfaatan Masjid Kampus sangat penting, tidak hanya untuk
mengukuhkan kehadiran organisasai mahasiswa ekstra di kampus, tetapi juga untuk
mewarnai kegiatan dakwah di kampus sejalan dengan misi organisasi. (2) organisasi
kemahasiswaan, pemanfaatan peluang ini dapat ditempuh dengan menjalin kerja sama dalam
kegiatan-kegiatan yang berdimensi dakwah. (3) pers kampus, hal yang tidak dapat dipungkiri
efektifitas pers kampus dalam menciptakan opini dan memasyarakatkan ide di kalangan
kampus. Oleh karena itu pemanfaatan pers kampus sangat penting bagi kegiatan dakwah. (4)
aktivitas kemahasiswaan, aktivitas kemahasiswaan dalam berbagai jenis dan bentuknya,
sesungguhnya merupakan media dakwah yang baik dan strategis.
Terkait dengan dakwah di dunia pendidikan (kampus) ada beberapa prinsip yang dapat
kita jadikan pegangan :

5
Ibid.
6
M.Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani (Jakarta:Logos,2002),128-133.
7
Ibid, 134-135.

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015


24

a. Dakwah Islam di lembaga pendidikan harus membantu proses pencapaian tingkat


kesempurnaan. Prinsip ini berlandaskan pemikiran bahwa dalam Islam yang terkait
dengan dunia pendidikan manusia sempurna adalah orang yang dapat memadukan
ketinggian iman dan ilmu.
”Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepedamu:”Berlapang-lapanglah
dalam majlis, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan
apabila dikatakan:”Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa
derajat. Dan Allāh Maha Menhetahui apa yang kamu kerjakan.” 8
Prinsip ini juga mengajarkan bahwa pendidikan Islam harus diarahkan untuk
mengembangkan imam, sehingga melahirkan amal saleh dan ilmu yang bermanfaat serta
kualitas manusia.
b. Menjadikan Muhammad SAW sebagai model (uswah al- hasanah). Atas dasar ini, maka
dakwah dalam dunia pendidikan harus sanggup memperkenalkan Muhammad SAW
sebagai tauladan, menanamkan kecintaan dan perasaan hormat (ta’dīm) terhadapnya.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah) itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmad) Allāh dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allāh.”9
c. Mengembangkan potensi manusia yang diberikan oleh Allāh SWT dalam kerangka yang
baik. Prinsip ini mengajarkan bahwa dakwah dalam dunia pendidikan harus dapat dan
ditujukan untuk membangkitkan potensi-potensi baik yang ada pada diri terdidik, dan
mengurangi potensi yang jelek.
“Dan jiwa serta penyempurnaaanya (ciptaannya). Maka Allāh mengilhamkan kepada jiwa
itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya.”10. Terhadap bentuk dakwah di dunia kampus
(pendidikan) yang dapat kita rancang dan dapat dilaksanakan dan bentuk-bentuk dakwah
Islam pada dunia pendidikan ini dapat ditarik dari al-Qur’ān yang berkenaan dengan tugas
Nabi SAW sebagai dā’i :
“Orang-orang yang mengikuti Nabi yang ummi, yang namanya mereka temukan
termaktub dalam Taurat dan Injil di sisi mereka: memerintahkan yang ma’ruf, melarang
yang mungkar, menghalalkan yang baik, mengharamkan yang jelek, dan melepaskan
beban dari mereka dan belenggu-belenggu yang (memasung) mereka. Maka barangsiapa
beriman kepadanya , memuliakannya, membantunya, serta mengikuti cahaya yang
diturunkan besertanya, mereka itulah orang-orang yang bahagia.11
“Sesungguhnya , Allāh telah memberikan karunia kepada orang-orang yang beriman,
ketika Ia mengutus di tengah mereka Rasul dari kalangan mereka sendiri, (yang)
membacakan ayat-ayat kepada-Nya kepada mereka, mensucikan mereka, mengajarkan
kepada mereka al-Kitab dan al- Hikmah, walaupun mereka sebelumnya berada dalam
kesessatan yang nyata.”12
Dari kedua ayat tersebut di atas menurut Jalaluddin Rahmat dapat kita lihat, bahwa
bentuk dakwah, diantaranya: 13 (1) amar al-ma’rūf dan nahi munkār (2) menjelaskan tentang
yang halal dan haram (syarī’ah al- Islām) (3) meringankan beban penderitaan dan melepaskan
umat dari belenggu (4) tilāwah (membacakan ayat-ayat Allāh) (5) tazkiyah (mensucikan diri)
dan (6) ta’līm (mengajarkan al- Kitāb dan al-hikmah). Selanjutnya menurut beliau ke enam

8
Q.S. (58;11)
9
Q.S. (33 ; 21)
10
Q.S. (91 ; 7-8)
11
Q.S. (7 ; 157)
12
Q.S. ( 3 ; 164)
13
Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif Ceramah Caramah Di Kampus (Bandung:Mizan,1989), 117.

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015


25

bentuk tersebut dapat disimpulkan menjadi empat bentuk, yaitu :tilāwah, tazkiyah, ta’līm dan
islāh.
Penggambaran bentuk dakwah Islam dalam dunia pendidikan pada tabel sebagai berikut
:14
Bentuk Tujuan Indikator Contoh kegiatan
Tilawah -memandang fenomena alam sebagai Tafakur dan -Membentuk kelompok
ayat Allah zikir ilmiah bimbingan ahli
-mempunyai keyakinan bahwa semua - kegiatan-kegiatan ilmiah
ciptaan Allah mempunyai keteraturan - kompetisi ilmiah
- memandang bahwa semua yang
ada tidak diciptakan sia-sia.
Tazkiyah -memelihara kebersihan diri dan -Pensucian diri -Gerakan kebersihan
lingkungan secara fisik dan-kelompok-kelompok usrah
-memelihara dan mengembangkan ruhani -riyadhoh keagamaam
akhlaq yang baik -pensucian -ceramah,tabligh
-menolak dan menjauhkan akhlaq lingkungan fisik-kepemimpinan terbuka
tercela dan sosial -teladan pendidik
-membaca,memahami dan -pengembangan kontrol
Ta’lim merenungkan al-Qur’an -Al-Kitab sosial
-membaca, memahami dan -Pelajaran membaca al-
merenungkan as-Sunah Qur’an
-memiliki bukan saja fakta,tetapi -Diskusi tentang al-Qur’an di
juga makna di balik fakta,sehingga bawah bimbingan
dapat informasi secara kreatif dan -mentoring pengkajian atas
produktif Islam
-kelompok diskusi
-memiliki kepekaan terhadap orang -kegiatan pembacaan
lain literature Islam
Islah -sanggup menganalisis kepincangan Kepedulian dan -lomba kreatifitas
sosial kepekaan sosial
-merasa terpanggil membantu -kunjungan ke kelompok
kelompok lemah du’afa
-memiliki komitmen untuk memihak -kampanye amal saleh
kaum tertindas -kebiasaan bersedekah
-berusaha menjembataniperbedaan -proyek-proyek sosial
faham, dan memeliharara ukhuwah
islamiyah

Pada akhirnya aktivitas dakwah dan kebutuhan kajian keislaman adalah hal yang sangat
penting dalam rangka membina insan akademis yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur atau meningkatkan kualitas keberagamaan
mahasiswa yang tercermin pada aspek keyakinan (pandangan teologis tertentu dan
mengakuinya), praktek agama (perilaku ritual atau pemujaan dan ketaatan), pengalaman
(pengharapan-pengharan tertentu dan pada akhirnya dia dapat kontak langsung dengan
kekuatan supranatural), pengetahuan agama (pengetahuan dan pemahaman terhadap ajaran-
ajaran agama) dan pengamalan (akibat yang dirasakan dari adanya keyakinan, praktik,
pengalaman dan pengetahuan).

14
Ibid, 118-119.

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015


26

Kualitas Keberagamaan
Sebagai makhluk dengan berbagai dimensi atau serba dimensi dan dikaitkan dengan
kebutuhannya, maka ketika kebutuhan itu dapat dipenuhi dan terpenuhi maka manusia dapat
mencapai suatu derajat yang tinggi atau dapat dikatakan manusia utuh (insān kamīl). Di
antara dimensi yang ada pada manusia,15 yaitu fisik, secara fisik manusia tidak ada bedanya
dengan hewan, yang butuh makan, minum, istirahat serta tumbuh dan berkembang, etis, yaitu
ingin memperoleh keuntungan dan menghindari kerugian, estetika, yaitu manusia
memperhatikan keindahan, religious, yaitu memiliki dorongan untuk menyembah Tuhan,
kehendak, yaitu karena manusia diberi bekal dengan akal sehingga mampu menahan
keinginan bebas dan dapat menjaga keseimbangan hidupnya, dan dimensi mengenal diri,
yaitu manusia ingin mencari keberadaan (eksistensi) dirinya yang berkisar pada dari
mana,mengapa ada, dan untuk apa.
Terkait dengan dimensi religius manusia, bahwa manusia memang butuh suatu
sandaran yang dia yakini sebagai kekuatan yang serba lebih, yang secara jelas dapat dikatakan
kebutuhan terhadapa agama, terlepas dari timbulnya atau benih beragama itu dari rasa takut,
pendambaan terhadap ketentraman atau dari memperhatikan alam semesta yang awalnya dari
keindahan yang dilihat, kebaikan yang dirasa, kebenaran yang nyata, yang akhirnya dari
ketiganya memunculkan ucapan kemahasucian.16
Islam memandang kecenderungan manusia terhadap agama merupakan fitrah, yang
merujuk pada al-Qur’ān al-A‘rāf :7 ; 172 dan Hasan Langgulung mengatakan “Salah satu
cirri fitrah ini ialah, bahwa menusia menerima Allah sebagai Tuhan, dengan kata lain,
manusia itu adalah dari asal mempunyai kecenderungan beragama, sebab agama itu sebagian
dari fitrah-Nya,”17 Pandangan ini juga diisyaratkan dalam al-Hadīth bahwa “seseorang tidak
dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah, dan kedua orang tuanya yang menjadikan Yahudi,
Nasrani atau Majusi.18

Perkembangan Beragama
Pada setiap fase perkembangan beragama, setiap usia ada perbedaan, missal pada usia
anak perkembangannya berbeda dengan fase remaja atau fase dewasa. Pada usia mahasiswa
yang dalam psikologi masuk pada fase remaja, serta sejalan dengan perkembangan jasmani
dan rohaniahnya, maka agama pada para remaja ini menyangkut perkembangan beragama
mereka, maksudnya penghayatan terhadap ajaran dan tindak keagamaam yang nampak.
Perkembangan beragama mereka terjadi pada aspek yang berkaitan, (1) aspek perkembangan
(2) terjadinya konflik dan keraguan.19
Aspek perkembangan remaja ditandai dengan beberapa factor perkembangan jasmani
dan rohaniahnya yang menurut W. Starbuck antara lain :20
a. Pertumbuhan pikiran dan mental
Sifat kritis terhadap ajaran agama mulai nampak, bahkan terhadap masalah kebudayaan,
sosial, ekonomi dan norma-norma kehidupan yang lainnya. Perkembangan pikiran dan
mental remaja sangat mempengaruhi sikap keagamaan mereka, artinya terhadap ketaatan
ajaran agamanya, misalnya dari hasil penelitian Allport, Gillesphy dan Young
menunjukkan bagaimana sikap keagamaan remaja, bahwa ajaran agama yang sangat
konservatif banyak berpengaruh bagi remaja untuk tetap taat pada ajaran agamanya (85%

15
Murtadha Mutahari, Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama (Bandung:Mizan,1984),33.
16
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
(Bandung: Mizan, 1997), 210.
17
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan : Suatu Analisa Psikologi (Jakarta:Al-Husna,1998), 77.
18
Mukhtāru al-Ahādith al-Nabawiyati, 130.
19
Ramayulis, Pengantar Psikologi Agama (Jakarta: Kalam Mulia, 2002),53.
20
Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta:PT.Raja Grafindo,2001), 74-77.

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015


27

remaja Katolik Romawi tetap taat pada ajaran agamanya), sedang pada agama yang
ajarannya sangat leberal atau kurang konservatif-dogmatis banyak berpengaruh pada
remaja untuk meninggalkan ajaran agamanya (40% remaja Protestan tetap taat pada ajaran
agamanya)
b. Perkembangan Perasaan
Perasaan yang berkembang adalah sosial, etis dan estetis yang pada usia remaja
mendorong untuk menghayati prikehidupan yang terbiasa dalam masyarakat, termasuk
kehidupan agamisnya (religius) yang akan cenderung mendorong dirinya untuk lebih dekat
ke arah hidup yang taat pada ajaran agamanya (hidup lebih agamis). Pada masa remaja ini,
juga merupakan masa kematangan seksual, maka remaja yang kurang mendapat
pendidikan dan ajaran agama akan mudah terjerumus atau terperosok ke arah tindakan
seksual yang negatif karena didorong perasaan ingin tahu dan merasa mempunyai perasaan
super. Maka pada masa ini banyak remaja yang sudah mengenal onani, masturbasi atau
homoseksual (90% pemuda Amerika mengenal hal tersebut).
c. Pertimbangan Sosial
Masa ini mulai timbul konflik antara pertimbangan moral dan material atau dengan bahasa
lain pertimbangan keagamaan dan keduniawian. Remaja pada masa ini cenderung ke hal-
hal yang sifatnya keduniawian, seperti kepentingan keuangan, kesejahteraan, kebahagiaan,
kehormatan diri atau bahkan kesenangan pribadi lainnya. Meski demikian tidak berarti
remaja sama sekali tidak ada yang mementingkan urusan keagamaan maupun sosial.
d. Perkembangan Moral
Perkembangan ini, dalam diri remaja ada perasaan dosa dan ada usaha untuk mencari
perlindungan (proteksi). Tipe moral pada remaja ini mencakup 21 : (1) self-directive; taat
pada agama atau moral dengan pertimbangan pribadi (2) adaptive; mengikuti situasi
lingkungan tanpa mengadakan kritik (3) submissive; merasa adanya keraguan terhadap
ajaran moral dan agama (4) unadjusted; belum menyakini akan kebenaran ajaran agama
dan moral (5) deviant; menolak dasar dan hokum keagamaan serta tatanan moral
masyarakat.
e. Sikap dan Minat
Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan sangat kecil, dan sangat tergantung
dengan kebiasaan sebelumnya serta lingkungan di mana remaja itu tinggal (lingkungan
yang agamis atau tidak).
f. Ibadah
Pada masa ini, remaja ada yang mendapat pengalaman keagamaan secara alami atau
mereka sama sekali tidak mempunyai pengalaman keagamaan dan juga ada yang mendapat
dari suatu proses (missal melalui pengajaran resmi). Sehingga dengan keadaan tersebut
sikap remaja terhadap tindakan ibadah dapat dikategorikan; tak pernah ibadah sama sekali,
beriibadah karena Tuhan akan mendengar dan mengabulkan permintaannya atau dapat
meringankan kesusahannya, mereka juga ada yang merasa atau menjadi tenang dengan
ibadah, ibadah juga tanggungjawab dan tuntutan sebagai masyarakat beragama bahkan
mempunyai arti penting dalam kehidupan.
Masa remaja juga terjadi adanya konflik dan keraguan. Penyebab timbulnya sikap
keraguaan dapat dikarenakan diantaranya; kebiasaan, dimana remaja yang terbiasa dengan
tradisi keagamaan yang dia anut akan ragu dengan datangnya agama baru atau agama di
luar agama yang dia anut, pendidikan, remaja dengan pendidikan yang memadai akan
bersifat kritis terhadap ajaran suatu agama terutama yang bersifat dogmatis. Adapun
konflik yang terjadi biasanya dalam hal; antara percaya dan ragu, pemilihan antara dua
macam agama atau ide keagamaan, antara ketaatan beragama atau sekularisme.

21
Ibid.

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015


28

Tingkah Laku Keagamaan dan Ketaatan Beragama


Tingkah laku keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang
mendorong sisi orang untuk bertingkah laku yang berkaitan dengan agama. Tingkah laku
keagaman terbentuk karena adanya konsistensi antara kepercayan terhadap agama sebagai
komponen kognitif, perasaan terhadap agama sebagai komponen afektif dan perilaku terhadap
agama sebagai komponen kognatif (psikomotor)22 Di dalam sikap keagamaan antara ketiga
komponen tersebut saling berintegrasi secara utuh.
Secara bahasa tingkah laku berarti perangai, kelakuan atau perbuatan 23, tetapi dalam
pengertian ini akan lebih mengarah pada aktifitas dan sifat seseorang. Adapun tingkah laku
keagamaan adalah segala aktifitas manusia dalam kehidupan yang didasarkan atas nilai-nilai
agama yang diyakininya dan merupakan wujud dari rasa dan jiwa keagamaan berdasarkan
kesadaran dan pengalaman beragama pada diri sendiri.
Agama bagi manusia, memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan batinnya, maka
kesadaran agama dan pengalaman seseorang banyak menggambarkan sisi batin dalam
kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sacral dan sesuatu yang supranatural
(dunia gaib) yang akan memunculkan tingkah laku keagamaan dan kadar ketaatan pada
agama pada setiap orang yang juga merupakan interaksi secara utuh dari komponen kognitif
(kepercayaan terhadap agama), afektif (perasaan terhadap agama) dan psikomotor/kognatif
(perilaku keagamaan).
Pembentukan dan perubahan sikap atau tingkah laku keagamaan dapat dipengaruhi oleh
faktor 24(1) internal, yaitu berupa kemampuan menyeleksi dan mengolah atau menganalisis
pengaruh yang datang dari luar, minat dan perhatian. (2) eksternal, berupa faktor di luar
individu yaitu pengaruh lingkungan yang dia terima. Faktor ini sangat berpengaruh besar
terhadap pembentukan dan perubahan sikap beragama, misal pendidikan yang berpengaruh
pada tergugahnya pikiran serta perasaan, dukungan orang tua. Begitu besarnya pengaruh
lingkungan sampai Zakiyah Darajat berpendapat sikap keagamaan merupakan perolehan dan
bukan bawaan, yang terbentuk dari interaksi unsur-unsur lingkungan materi dan sosial,
missal rumah yang tenteram, orang-orang tertentu, teman atau jama’ah.25
Secara psikologis kelakuan atau sikap manusia sangat didorong oleh suatu sebab-
musababnya yang dapat disebut dengan motif atau motivasi, yang artinya penyebab
psikologis yang menjadi sumber dan tujuan dari tindakan dan perbuatan manusia. Setiap
kelakuan manusia, termasuk kelakuan atau sikap beragama merupakan hasil dari hubungan
dinamika dari tiga faktor ; 26 (1) dorongan spontan atau alami, artinya dorongan-dorongan
yang timbul dengan sendirinya dan tidak ditimbulkan manusia dengan sengaja. Dorongan ini
sifatnya alamiah dan bekerja otomatis, seperti kebutuhan akan makan, tidur atau dorongan
seks. (2) ke-aku-an manusia sebagai pusat kepribadian; dengan factor ini manusia
mempunyai tindakan bebas dan sedikit banyak dapat melaksanakan atau menolak apa yang
terjadi pada dirinya. (3) situasi atau lingkungan hidupnya; faktor ini adalah ketika manusia
ingin melakukan tindakan keakuannya tidak saja didorong oleh tindakan spontan tetapi oleh
faktor dari lingkungan.
Sedang ketaatan beragama pada setiap orang adalah wujud dari pelaksanaan secara
utuh ajaran agama yang dia peluk baik pada aspek mistikal, yaitu keinginan untuk mencari
makna hidup, kesadaran akan kehadiran Allah SWT, tawakal dan taqwa. Makna hidup adalah
hal yang dapat didorong karena adanya perasaan kehadiran Allah. Makna hidup juga sebagai

22
Ramayulis, Pengantar Psikologi Agama….. 81.
23
Lukman Ali,dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka,1999), 1060.
24
Ramayulis, Pengantar Psikologi Agama…….82.
25
Zakiyah Darajat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), 128.
26
Nico Syukur Dister ofm, Pengalaman dan Motivasi Beragama (Yogyakarta : Kanisius,2001), 72-73.

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015


29

pedoman terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Adapaun nilai kehidupan yang dapat
menjadi sumber makna hidup antara lain 27 (1) nilai kreatif (creative values) :berkarya,
bekerja,mencipta dan melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi lingkungan (2) nilai
penghayatan (experiental values) :menghayati, mengalami dan menyakini kebenaran,
keindahan cinta kasih dan keimanan (3) nilai bersikap (attitudinal values) : mengambil sikap
tepat dan benar atas peristiwa tragis.
Dimensi ritual, yaitu upacara-upacara keagamaan, ritus-ritus religius seperti salat, dan
lain-lain. Dalam Islam kedekatan dengan Allah tidak cukup dengan ritual salat, puasa, haji,
umrah dan lain-lain, tetapi tetapi juga tanggungjawab sosial, kasih sayang sesama manusia
dan itulah ruh dari pelaksanaan ritual-ritual tersebut.28 Bahkan ritual di atas dapat sia-sia kalau
tidak dapat merubah sikap yang pada akhirnya mereka menjadi mukmin secara lahir
sementara batinnya tidak (munāfiq) 29
Dimensi idiologi-intelektual, yaitu tentang tugas dan kedudukan manusia serta
pamahaman terhadap ajaran agama. Untuk memperoleh pemahaman yang tepat dan benar
terhadap ajaran Islam, maka harus ada penggunaan kemampuan berfikir dalam arti
penerimaan oleh akal hingga mencapai keyakinan yang benar-benar teguh serta adanya
ketulusan dan kepatuhan dalam menjalankan perintah. 30
Dimensi sosial, yaitu perwujudan ajaran agama dalam kehidupan di masyarakat. Ke
empat dimensi tersebut ada pada setiap agama dan setiap pemeluk terikat dengannya.
Ketaatan beragama juga dapat membawa dampak positip terhadap kesehatan mental, karena
pengalaman membuktikan bahwa seseorang yang taat beragama ia selalu mengingat Allah
SWT, dan menjadikan jiwa semakin tenang.
Adapun tanda-tanda kesehatan mental pada seseorang adalah 31 (1) kemapanan,
ketenangan dan rileks dalam batinnya dalam menjalankan kewajiban terhadap diri,
masyarakat maupun Tuhannya. (2) memadahi dalam beraktifitas, seseorang yang tahu
kemampuan diri, potensi, ketrampilan dan kedudukannya secara baik maka ia akan dapat
bekerja dengan baik, sebaliknya jika ia memaksakan diri dengan segala potensi yang ada
pada dirinya ia akan bekerja tidak maksimal dan akan menyebabkan tekanan batin atau
menjadi beban bagi dirinya. (3) menerima keberadaan dirinya dan orang lain, yaitu
mengetahui kelebihan dan kekurangan dirinya sekaligus memahami orang lain pada sesuatu
hal yang sama. (4) kemampuan untuk memelihara dan menjaga diri, yaitu berani mengambil
resiko dari perbuatan yang ia pilih dan sekaligus dalam memilih dengan banyak
pertimbangan. (5) kemampuan untuk memikul tanggungjawab, baik keluarga, sosial atau
agama (6) kemampuan untuk berkorban dan menebus kesalahan yang diperbuat, yaitu sikap
untuk selalu memperbaiki kesalahan dan terjerumus pada kesalahan yang sama. (7)
kemampuan individu untuk membentuk hubungan sosial yang baik dengan landasan saling
percaya dan saling mengisi. (8) memiliki keinginan yang realistis sehingga dapat dicapai
dengan baik. (9) adanya rasa kepuasan, kegembiraan dan kebahagiaan dalam mensikapi atau
menerima nikmat yang diperoleh.

Motivasi Beragama

27
Jalaluddin Rahmat, Menyinari Relung-Relung Ruhani,ed. Cecep Ramli (Jakarta: Iiman dan Hikmah,
2002),180-181.
28
Ibrahim Amini, Hijrah Menuju Allah Bimbingan Islam untuk Membina Kepribadian, terj.Abdul Khalid Sitaba
(Bandung:Pustaka Hidayah,2001),305.
29
Nurcholis Madjid,dkk. Manusia Modern Mendamba Allah:Renungan Tasawuf Positip,peng. Haidar Bagir
(Jakarta: IimaN dan Hikmah,2002),245.
30
Yusuf Qardhawi, Merasakan Kehadiran Tuhan. Terj. Jazirotul Islamiyah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka,1999),
29.
31
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam (Jakarta: Raja Grafindo
Persada,2001),136-144.

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015


30

Motivasi merupakan suatu keadaan psikologis yang merangsang dan memberi arah
terhadap aktivitas manusia. Motivasi adalah kekuatan yang menggerakkan dan mendorong
aktivitas seseorang serta membimbing seseorang ke arah tujuan-tujuan seseorang termasuk
tujuan dalam melaksanakan tingkah laku (amal) keagamaan. Peran motivasi dalam kehidupan
manusia diantaranya32 : (1) pendorong manusia dalam berbuat sesuatu. (2) menentukan arah
dan tujuan (3) penyeleksi atas perbuatan manusia yang akan dilaksanakan baik atau buruk,
sehingga tindakannya selektif (4) penguji sikap manusia dalam beramal.
Motivasi juga sangat erat kaitannya dengan pengalaman keagamaan seseorang yang
memang tidak terpisahkan dengan pengalaman manusia secara umum. Tetapi untuk menjadi
suatu pengalaman keagamaan yang terstruktur memerlukan 33 (1) pengalaman keagamaan
merupakan respon terhadap Realitas Mutlak (2) pengalaman tersebut memerlukan pelibatan
semua aspek yang utuh atau menyatu (integral) pikiran, emosi atau kehendak. (3) pengalaman
memiliki intensitas yang mengatasi pengalaman-pengalaman manusia yang lain (4)
pengalaman tersebut harus dinyatakan dengan perbuatan yang merupakan sumber motivasi.
Adapun jenis dari motivasi beragama antara lain 34: (1) motivasi yang didorong oleh
keinginan untuk mendapatkan pahala, motivasi ini dapat mendorong manusia mencapai
kebahagiaan jiwanya serta dapat mengontrol tindakannya. (2) motivasi yang didorong oleh
keinginan untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, sehingga motivasi ini
memunculkan rasa penghambaan total kepadaNya (3) motivasi yang didorong oleh keinginan
untuk mendapatkan keridoan dan kecintaan Allah SWT dalam hidupnya, sehingga mendorong
rasa tulus dan ikhlas. (4) motivasi yang didorong oleh keinginan untuk mendapatkan
kesejahteraan dan kebahagiaan yang akhirnya beragama adalah kebutuhan bukan sekedar
kewajiban saja.
Di samping itu juga ada jenis motivasi yang didorong faktor luar diantaranya35 (1)
kerena ingin dipuji orang lain dalam masyarakat (2) rasa ingin patuh kepada orang tua karena
beliau adalah orang yang harus ditaati (3) demi gengsi atau prestise, yaitu sikap ingin
mendapat predikat seperti alim, taat dan lain-lain (4) keinginan untuk mendapat sesuatu dari
orang lain (5) keinginan sekedar ingin lepas dari kewajiban keagamaan, yang kesemuanya
karena dipicu oleh motivasi-motivasi yang sebelumnya (ingin dipuji, karena orang tua, gengsi
atau ingin mendapat simpati orang lain)
Pada bidang psikologi motivasi yang dapat menyebabkan kelakuan beragama antara
36
lain (1) untuk mengatasi frustasi, yaitu ketika seseorang tidak dapat mengatasi persoalan
yang dia hadapi baik yang timbul dari dalam dirinya atau dari faktor luar (2) untuk menjaga
kesusilaan serta tata tertib mesyarakat, yaitu dari nilai-nilai ajaran agama yang diterima lewat
pendidikan dan pada akhirnya dijadikan pijakan dalam menjalankan kehidupan di masyarakat
pada segala aspeknya. (3) sebagai sarana memuaskan rasa ingin tahu manusia, yaitu
keinginan manusia untuk hidup lebih bermakna sehingga ia dapat menyetir kehidupan dan
tidak terbawa arus. (4) sebagai sarana mengatasi katakutan, yaitu suatu keyakinan akan
adanya sandaran yang kuat, sehingga dia berani berbuat asal pada jalur kebenaran.

Kontribusi Kajian Keislaman Terhadap Peningkatan Kualitas Keberagamaan


Sudah dimaklumi bersama bahwa bidang garapan dari Pendidikan Agama Islam baik
pada kegiatan intra atau ekstra adalah pembinaan dan peningkatan moral dan ketaqwaan, di
samping peningkatan dan pengembangan wawasan keislaman dan keilmuan. Pembinaan dan

32
Ramayulis, Pengantar Psikologi Agama,(Jakarta: Kalam Mulia, 2002),74.
33
M. Afif Anshari, Dzikir Demi Kedamaian Jiwa Solusi Atas Problema Manusia Modern (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2003),90.
34
Ramayulis, Pengantar Psikologi…. 75-76.
35
Ibid.
36
Nico Syukur Dister Ofm, Penglaman dan Motivasi Beragama, (Yogyakarta: Kanisius, 2001),74.

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015


31

pengembangan moral ini memegang posisi serta peranan yang amat penting dalam mencetak
insan akademis, kususnya lulusan Perguruan Tinggi yang nantinya akan memegang gelar
kesarjanaan yang profesional dalam bidang keilmuannya dengan dilandasi oleh akhlak yang
mulai dan ketaqwaan kepada sang Khāliq (Allāh SWT). Garapan yang ditangani oleh
Pendidikan Agama Islam beserta para pemangkunya ini bukan merupakan sesuatu yang
mudah dan tugas yang dipandang ringan, melainkan pengejawentahannya memerlukan usaha
keras dan kesungguhan dari segenap fihak yang terkait dengan hal tersebut.
Dengan demikian segala program, baik kegiatan intra atau ekstra sangat dibutuhkan
untuk saling menunjang yang akhirnya kontribusi yang dipersenbahkan oleh Pendidikan
Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum merupakan sesuatu yang sangat berharga, yaitu
terciptanya suatu lingkungan kampus yang religius yang dikelilingi oleh insane akademis
yang berkhlaq mulia dan bertaqwa kepada Allāh SWT, serta mampu mendarmabaktikan
dirinya bagi bangsa dan agama.
Kampus religius hanya dapat tercipta dengan adanya niat atau keinginan yang tulus dan
ghirah atau semangat keislaman yang tinggi dari segenap sivitas akademika. Dalam hal ini
diperlukan adanya suatu dukungan dan kerjasama dari semua unsur sivitas akademika di
lingkungan kampus. Adanya saling pengertian di antara mahasiswa, dosen (baik pemangku
Pendidikan Agama Islam atau lainnya), karyawan dan pimpinan di tingkat fakultas maupun
universitas akan sangat membantu terciptanya suatu kampus religius dengan nuansa yang
amat tampak.
Sumbangan lainnya yang dapat dipersembahkan oleh Pendidikan Agama Islam adalah
memerankan dirinya sebagai benteng bagi insan akademis atau masyarakat kampus dari
segenap hambatan, rintangan, halangan dan cobaan yang akan menyeret mereka ke jurang
kehinaan atau segala sesuatu yang amoral. Tanpa adanya benteng yang kuat dari Pendidikan
Agama Islam, masyarakat kampus akan selalu dihantui oleh arus dekadensi moral yang selalu
siap mengkikis moralitas mereka. Apalagi di era global seperti sekarang ini, dengan ditandai
oleh kehidupan yang bebas, tanpa mempertimbangkan aspek moral dan etika, maka apa yang
dipersembahkan oleh Pendidikan Agama Islam akan semakin diperlukan oleh insan akademis.
Pergaulan yang bebas akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan
peningkatan moral dan ketaqwaan . Hal tersebut akan menjadi suatu kendala yang amat
menantang dan mengundang perhatian yang serius unruk mengatasinya. Apalagi ditambah
dengan berbagai suguhan yang cukup menggiurkan bagi kawula muda, baik dimuat dalam
media cetak maupun media elektronik yang semakin menggiring dan menjauhkan mereka dari
keimanan dan ketaqwaan serta budi pekerti yang luhur. Demikian pula dengan adanya
tantangan yang sengaja diproklamirkan oleh para mavia narkoba untuk kebejatan moralitas
bangsa, khususnya generasi muda , akan menjadi kendala yang cukup serius bagi
pengembangan dan peningkatan aspek moral dan ketaqwaan. Semua kendala tersebut dapat
diatasi dengan memposisikan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum dengan
porsi dan peranan yang cukup penting.
Di samping kegiata intra tersebut tidak kalah pentingnya yaitu kegiatan ekstra, seperti
kajian diluar kegiataan intra dari Pendidikan Agama Islam. Semaraknya kajian keislaman di
luar kegiatan intra atau bahkan diluar kampus juga memberi kontribusi penting untuk
menambah tidak saja peningkatan moral dan ketaqwaan tetapi juga wawasan dan pemahaman
keagamaan yang terasa belum diperoleh dari kegiatan intra Pendidikan Agama Islam.
Kebanyakan dari mereka selalu berburu hal-hal yang berbau aktual dalam kontek keislaman
yang belum terakomodir dalam perkuliahan.
Fenomena kajian keislaman diluar kegiatan intra semakin menambah minat dan
motivasi mahasiswa untuk membentuk dan mengembangkan kegiatan keagamaan untuk
menambah nuansa pemahaman dan merangsang daya nalar mereka tentang masalah-masalah

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015


32

keagamaan (keislaman), baik yang masih terkoordinasi melalui lembaga kampus atau bahkan
diluar kampus.
Dengan jelas dapat dikatakan, dengan kegiatan kajian keislaman baik yang bersifat intra
atau ekstra dapat menambah wawasan dan pemahaman keagamaan mahasiswa yang di Islam
paling tidak menyangkut aspek ritual (pelaksanaan ibadah-ibadah kusus secara benar),
mistikal (keberserahan diri pada sang Maha/Allāh SWT), ideologi-intelektual (pemahan
terhadap ajaran Islam dan mengetahui aspek-aspeknya termasuk pemahaman tentang
dirinya/manusia sebagai makhluk Allāh SWT) dan sosial (pengaplikasian atau perwujudan
nyata ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat).
Pemahaman pada dimensi mistikal akan membawa seseorang dengan sikap tulus
percaya bahwa iman kepada kehendak dan ketentuan Allāh menjadikan orang optimis dan
akan menjadikan orang mukmin yang sukses dan patuh, sehingga apapun yang menimpa dia
adalah hal yang ada hikmahnya, baik keberhasilan atau kegagalan. Pemahaman terhadap
dimensi mistikal juga menjadikan orang selalu ingat kepada Allāh SWT, untuk
menghilangkan sifat was-was dalam dirinya. “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa
bila dalam dirinya timbul perasaan was-was dari syetan, mereka segera ingat kepada Allāh.
Maka seketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.”37
Pemahaman pada dimensi ritual akan menjadikan seseorang dengan tulus melaksanakan
kewajiban-kewajiban seperti salat, puasa, zakat atau haji. Pemahaman ini juga menjadikan
orang Muslim tidak ragu-ragu dalam melaksanakan segala kewajiban baik dalam kategori
wajib atau sunah. Pertimbangan utama adalah ingin dekat dengan Allāh dan dengan tulus
butuh pertolongan-Nya.38
Seseorang akan memperhatikan kebutuhan pikiran yaitu dengan menambah
pengetahuan (ilmu) yang dia yakini sebagai kewajiban dan kehormatan seorang muslim.
Mereka percaya bahwa mengasah pikiran dan menuntut ilmu serta menemukan tanda-tanda
kebesaran Allāh di alam ini adalah suatu kewajiban. 39 Inilah pemahaman akan dimensi
idiologi-Intelektual pada ajaran Islam oleh seorang Muslim.
Pada dimensi sosial seseorang akan mempunyai kepekaan dan kepedulian kepada orang
lain. Di samping itu dia akan bersikap ramah, bersahabat dan menyenangkan orang lain serta
menjadikan orang tersebut nyaman di lingkungannya, baik dari tangannya atau ucapannya. 40
Oleh karena itu keutuhan pemahaman dari dimensi di atas menjadikan seorang Muslim
yang mempunyai keyakinan kuat, tulus melaksanakan kewajiban, mempunyai semangat untuk
berubah ke hal yang lebih baik dengan menambah ilmu serta akan menjadikan pribadi yang
sopan, ramah dan mempunyai kepedulian sosial. Semua tersebut diyakininya sebagai
kewajiban religius untuk diamalkan secara aktif.
Dengan pentingnya hal tersebut (kajian keislaman) maka semua harus tetap mengakui
bahwa, apa yang telah dipersembahkan oleh Pendidikan Agama Islam baik pada kegiatan
intra atau ekstra bagi kalangan sivitas akademika merupakan suatu kontribusi yang berarti
dalam rangka menciptakan suasana kampus yang religius dan mencetak generasi bangsa yang
siap pakai yang dilandasi oleh nilai-nilai iman dan taqwa serta akhlāq yang mulia.

Penutup
Prekuwensi dan efektifitas suatu kajian keislaman semakin tinggi akan memberikan
pengaruh yang tinggi pula pada kualitas keberagamaan pada mahasiswa yang meliputi aspek
mistikal, ritual, idiologi-intelektual dan sosial. Demikian juga sebaliknya apabila prekuwensi

37
Q.S. (7;201)
38
Muhammad Ali al-Hasyimi,Muslim Idial Pribadi Islami Dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.terj. Ahmad
Baidowi (Yogyakarta:Mitra Pustaka,2003), 23.
39
Ibid. 53.
40
Ibid. 423.

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015


33

dan efektifitas suatu kajian itu rendah maka tidak akan dapat memberikan pengaruh terhadap
kualitas keberagamaan mahasiswa. Hal ini juga dapat diartikan bahwa kajian keislam yang
diadakan oleh siapapun merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas
keberagamaan. Dalam hal yang lain, lingkungan juga sangat berpengaruh terhadap
pembentukan atau pengkondisian keberagamaan seseorang termasuk mahasiswa.
Sesuai dengan visi dan misi dari kajian keislaman yaitu mewujudkan suatu komunitas
kampus yang religius maka kajian tersebut sebagai salah satu faktor ekternal harus diusahakan
dengan semaksimal mungkin sehingga mencapai hasil yang maksimal juga. Karena pada
dasarnya pembentukan dan perubahan sikap seseorang termasuk sikap beragama dapat
dipengaruhi oleh dua faktor yaitu (i) internal, berupa kemampuan menyeleksi dan mengolah
atau menganalisis pengaruh yang datang dari luar misalnya minat dan perhatian (ii) ekternal,
berupa faktor di luar dirinya yaitu pengaruh lingkungan yang diterima.
Penciptaan suasana lembaga yang religius, penelitian dari Nur Ali, dkk, pada sekolah
SMAN di Kodya Malang menemukan bahwa keterlibatan sivitas akademika baik secara
langsung atau tidak terhadap kegiatan keagamaan mampu mengkontrol diri mereka dan
mampu menjadikan diri mereka contoh yang baik. Penelitian ini juga dapat menarik
kesimpulan bahwa kegiatan-kegiatan dan praktek keagamaan yang dilaksanakan secara
terprogram dan rutin (istiqamah) dapat memberikan pengaruh terhadap penciptaan
pembiasaan berbuat baik dan benar menurut ajaran agamanya. Melihat begitu besarnya
pengaruh kegiatan keagamaan terhadap kualitas keberagamaan (religiusitas) oleh suatu
lembaga maka perencanaan dan efektifitas suatu kegiatan harus menjadi perhatian.
Untuk lingkup yang lebih luas dalam usaha menciptakan masyarakat kampus yang
religius dalam kegiatan-kegiatan keagamaan haruslah bekerjasama dengan sumua fihak yang
terkait, sehingga untuk tugas yang satu ini dan merupakan hal yang sangat penting dalam
menciptakan ketertiban dan kebersamaan dalam kehidupan kampus utamanya penciptaan
kampus religius bukan tanggungjawab satu orang katakanlah dosen agama (Islam). Bagi
dosen agama Islam adalah hal yang sangat penting untuk mengoptimalkan dan
mengefektifkan setiap kegiatan keagamaan (kajian keislaman) agar kualitas keberagamaan
mahasiswa dapat terlihat baik aspek mistikal, ritual, idiologi-intelektual, atau sosial. Dengan
pendekatan-pendekatan yang ada dan beberapa ivovasi-inovasi yang dianggap perlu
efektifitas suatu kajian adalah hal yang niscaya.

Daftar Rujukan
Ayer, A.J. A Dictionary of Philosophical Quotations. Cabridge: Biacwell
Reference,1992.
Ali al-Hasyimi, Muhammad. Muslim Ideal Pribadi Islami Dalam al-Qur’an dan as-
Sunnah.terj. Ahmad Baidhowi. Yogyakarta: Mitra Puataka, 2003.
Amini, Ibrahim. Hijrah Menujku Allah Bimbingan Islam Untuk Membina Kepribadian.terj.
Abdul Khalid Sitaba. Bandung: Pustaka Hidayah, 2001.
Anshari, M. Afif. Dzikir Demi Kedamaian Jiwa Solusi Tasawuf Atas Problema Manusia
Modern. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003.
Aziz Ahyadi, Abdul. Psikologi Agama Kepribadian Muslim Pancasila. Bandung:Sinar
Baru,1991.
Agustian, Ary Ginanjar. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosional dan Spiritual.
Jakarta: Arga Wijaya Persada, 2001.
Bastaman, Hanna Djumhana. Integrasi Psikologi Dengan Islam Menuju Psikilogi Islami.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1995.
Departemen Agama RI.Al-Qur’an Dan Terjemahannya. Jakarta : Proyek Pengadaan Kitab
Suci Al-Qur’an,1983.

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015


34

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai


Pustaka, 1999.
Darajat, Zakiyah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta:Bulan Bintang,1991.
Fuaduddin dan Cik Hasan Bisri. Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi.Jakarta :
Logos, 1991.
Hasyimi, Ahmad. Muhtarul Ahadits wal Hihikmah muhammdiyah. Surabaya: Darul Ilmi.tt.
Jalaluddin, H. Psikologi Agama.Jakarta:Raja Grafika Persada, 2001.
Jailani, Imam Amrusi. Menghidupkan Wacana Keislaman di PTU Suatu Upaya
Mengantisipasi Kecenderungan Dunia Global. (hasil Penelitian) 2000.
Kertanegara,Mulyadi. Renungan Mistik Jalaluddin ar-Rummi.Jakarta:Pustaka Jaya,1986.
Mujib, Abdul dan Yusuf Mudakir. Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Jakarta :Raja Grafido
Persada,2001.
Muhainin. Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di
Sekolah. Bandung : Remaja Rosda Karya, 2002.
Nasr, Seyyed hossein. Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam.terj. Rahmani Astuti. Bandung:
Mizan,2002.
Qardhawi, Yusuf. Merasakan Kehadiran Tuhan. terj. Jaziratul Islamiyah. Yogyakarta : Mitra
Pustaka, 2000.
Rahmat, Jalaluddin. Islam Alternatif Ceramah-Ceramah di Kampus. Bandung: Mizan,1989.
Ramayulis. Pengantar Psikologi Agama. Jakrta:Kalam Mulia, 2002.
Rahmad, Jalaluddin,dkk. Menyinari Relung-Relung Ruhani Mengembangkan EQ dan ES
Cara Sufi. Jakarta : IIman dan Hikmah, 2002.
Shihab, Quraish. M. Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudu’I Atas Pelbagai Persoalan Umat.
Bandung : Mizan, 1997.
Syukur, Dister ofm Nico. Pengalaman dan Motivasi Beragama.Yogyakarta:Kanisius, 2001.
Syamsiddin, Din. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani. Jakarta:Logos, 2002.
Sholeh, Moh. Tahajud Manfaat Praktis ditinjau dari Ilmu Kedokteran. Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 2003.
Tholus, Robert H.(terj. Maknun Husain).Pengantar Psikologi Agama.Jakarta : Raja Grafika
Persada, 2000.
Zakaria Yahya, Abu.Terjemah Riyadus Solihin.terj. Salim Bahresy. Bandung : Al-
Ma’arif,1987.

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

You might also like