You are on page 1of 18

P-ISSN: 1907-848X, E-ISSN: 2548-7647

Volume 14, Nomor 1, Oktober 2019, Hal 23-40


DOI: 10.20885/komunikasi.vol14.iss1.art2

Upaya Pemerintah Mempertahankan Posisi Sebagai


Regulator Utama Penyiaran di Indonesia

Nina Mutmainnah
Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok,
Jl. Prof. Dr. Selo Soemardjan, Depok, Jawa Barat 16424, Indonesia.
Email: n.mutmainah@ui.ac.id

Abstract. This study aims to examine the attitude of the government to maintain its
position in the broadcast media system. Using the case study method, the author
examined series of regulation of broadcasting, minutes of meeting, and media reporting
on two broadcasting bill -- the Broadcasting Act of 1997, the Broadcasting Act of 2002—
and the revision of the Broadcasting Act on two parliament periods (2009 - 2014 and
2014 - 2019). The results of this study indicate the government is trying to maintain its
position as the main regulator of broadcasting. Even though the Broadcasting Act of 2002
stipulates the Indonesian Broadcasting Commission (KPI) as the main regulator, the
government still strives to be a broadcast regulator by giving birth to regulations that
restore its position as the main regulator. This can be seen from the different standpoints
in the two parliament periods in the revision of the Broadcasting Law: The 2009-2014
parliament strengthened the authority of the KPI, while the 2014-2019 parliament
downgraded the KPI's authority and made the government the main regulator. The
broadcast industry from the start wanted the government as the main regulator, while
civil society rejected the government as the main regulator of broadcasting.

Keywords: Government, Indonesian Broadcasting Commission, main broadcasting


regulator, Broadcasting Law, Revision of Broadcasting Law

Abstrak. Penelitian ini bertujuan mengkaji sikap pemerintah untuk mempertahankan


posisinya dalam sistem media penyiaran. Dengan metode studi kasus, peneliti mempelajari
berbagai peraturan penyiaran, catatan rapat penyusunan UU, dan pemberitaan tentang
regulasi penyiaran sejak masa UU Penyiaran pertama (UU No. 24/1997), UU Penyiaran
(No. 32/2002), hingga revisi UU Penyiaran pada dua periode DPR (2009 – 2014 dan 2014-
2019). Hasil penelitian ini menunjukkan pemerintah berusaha mempertahankan posisinya
sebagai regulator utama penyiaran. Walaupun UU 32/2002 menetapkan Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) sebagai regulator utama, pemerintah tetap berupaya menjadi pengendali
penyiaran dengan melahirkan regulasi yang mengembalikan posisinya sebagai regulator
utama. Ini dapat dilihat dari perbedaan sikap dalam dua periode DPR dalam revisi UU
Penyiaran: DPR 2009—2014 menguatkan kewenangan KPI, sementara DPR 2014 – 2019
mengerdilkan kewenangan KPI dan menjadikan pemerintah sebagai regulator utama.
Industri penyiaran sejak awal menginginkan pemerintah sebagai regulator utama,
sedangkan masyarakat sipil menolak pemerintah sebagai regulator utama penyiaran.

Kata Kunci: Pemerintah, Komisi Penyiaran Indonesia, regulator utama penyiaran,


UU Penyiaran, Revisi UU Penyiaran

Copyright @ 2019 Authors. This is an open-access article distributed under the terms of the 23
Creative Commons Attribution License. (http://creativecommons.org/licences/by-sa/4.0/)
Jurnal komunikasi, Volume 14, Nomor 1, Oktober 2019, Hal 23-40

Pendahuluan Sejumlah studi mengenai sistem


media penyiaran pasca Orde Baru
Tulisan ini memusatkan perhatian
umumnya berpusat pada penguatan modal
pada bagaimana pemerintah Indonesia
atau pasar dalam berperan menentukan
berusaha mempertahankan posisinya
arah penyiaran Indonesia. Sumbangan
sebagai regulator utama penyiaran.
berharga tentang hal ini misalnya terlihat
Kelahiran UU No. 32/2002 tentang
dari studi Sudibyo (2004), Triputra
Penyiaran sesungguhnya telah
(2005), Armando (2006, 2011), Masduki
meminggirkan pemerintah sebagai
(2007), Mufid (2007), Nugroho dkk
pengendali utama penyiaran. Ini karena
(2012), dan Rianto dkk (2012, 2014).
berdasarkan UU Penyiaran tersebut lahir
Berbeda dari studi sebelumnya yang
regulator penyiaran di Indonesia yang
berfokus pada basis kepentingan industri,
merupakan wakil publik, yakni Komisi
studi ini menitikberatkan pada
Penyiaran Indonesia (KPI). Setelah
konsistennya pemerintah mengukuhkan
kelahiran UU Penyiaran 2002, di berbagai
otoritasnya dalam sistem penyiaran
masa pemerintahan berbeda, pada
Indonesia yang didasari pada
dasarnya, terlihat pemerintah tetap
kepentingan politik dan ekonomi, baik
berupaya menjadi pengendali sistem
berupa kepentingan pemerintah maupun
penyiaran dengan melahirkan serangkaian
pemangku kepentingan penyiaran
regulasi yang mengembalikan dan
lainnya.
memperkuat posisinya sebagai regulator
utama penyiaran. Media penyiaran berjalan dengan
menggunakan frekuensi siaran yang
Penulis berusaha menunjukkan
merupakan milik publik. Frekuensi disebut
bagaimana otoritas pemerintah sebagai
sebagai entitas yang menjadi wilayah
pengendali utama dunia penyiaran
kekuasan publik (Masduki, 2007).
dibangun dari kebijakan dan sikap yang
Spektrum frekuensi didefinisikan sebagai
dikeluarkan pemerintah (Departemen
“rentang gelombang elektromagnetik yang
Penerangan/Deppen, Kementerian Negara
dapat digunakan untuk penyiaran”
Informasi dan Komunikasi atau
(Zelezny, 2011). Dahlan (2012, dalam
Departemen/Kementerian Komunikasi
Mutmainnah, 2015) menjelaskan bahwa
dan Informatika atau
spektrum adalah sumber alam yang
Depkominfo/Kemenkominfo) sejak masa
bersifat khusus dan esensial, bukan seperti
UU Penyiaran pertama (UU No. 24/1997),
sumber kekayaan alam fisik yang biasa
berlanjut ke proses lahirnya UU No.
diatur negara dalam konteks ekonomi. Ia
32/2002 tentang Penyiaran, dan kemudian
adalah sumber alam yang nirfisik atau
proses revisi UU Penyiaran (dua periode
nirwujud (intangible); nilainya bukan
DPR: 2009 – 2014 dan 2014 – 2019).
terletak pada proses pengolahan yang
Dalam proses panjang ini, terdapat empat
membuatnya menjadi barang yang dapat
pemangku kepentingan yang terlibat,
dipakai habis, serta mempunyai nilai
yakni (1) wakil rakyat/DPR, (2) KPI, (3)
tertentu (seperti halnya dengan batubara,
industri penyiaran, dan (4) masyarakat
minyak bumi, bahan tambang, emas, dan
sipil yang masing-masing memiliki bentuk
sebagainya). Karena itu, sumber alam
hubungan tersendiri dengan pemerintah
spektrum tidak dapat dinilai menurut
dan jalinan tersendiri antar-pemangku
ukuran industri biasa, atau diatur negara
kepentingan.
dalam konteks penghasilan ekonomi.
Nilainya terletak pada cara penggunaan

24
Nina Mutmainnah, Upaya Pemerintah Mempertahankan Posisi Sebagai Regulator Utama
Penyiaran di Indonesia

untuk kepentingan orang banyak secara hal yang lumrah dalam negara demokratis.
merata dan bermanfaat. Forst (2011) menyebutnya sebagai
statutory regulatory body, yakni lembaga
Regulasi yang mengatur media
regulator yang dibentuk berdasarkan
penyiaran adalah regulasi yang ketat
undang-undang, didanai oleh uang publik,
karena menggunakan ranah publik dan
dan memiliki kewajiban serta wewenang
frekuensi itu terbatas. Apalagi, salah satu
hukum, tetapi bukan bagian dari
media penyiaran adalah televisi, yang
pengadilan.
siarannya dapat menembus ruang keluarga
tanpa diundang. Dalam sistem penyiaran, di mana
izin penggunaan frekuensi (milik publik)
Dunia penyiaran berbeda dengan
melekat di dalamnya, kehadiran regulator
dunia media cetak (pers). Bila media cetak
adalah suatu keniscayaan. Untuk menata
(surat kabar dan majalah) tidak
dunia penyiaran, kehadiran lembaga
memerlukan izin terbit dan memiliki
otoritas yang memiliki hak untuk
kebebasan penuh, hal yang sama tidak
mengalokasikan frekuensi serta mencabut
berlaku pada media penyiaran --media
izin penyiaran hampir tak terhindarkan
siaran dibatasi melalui beberapa peraturan
(Armando, 2011). Apalagi, lembaga
penyiaran (lihat Frost, 2011; Menayang
otoritas ini dibutuhkan karena jumlah
dalam Pandjaitan dan Sinaga, eds., 2000;
alokasi frekuensi terbatas. Dibutuhkan
Menayang dalam Gazali, et .al. eds., 2003).
wasit yang adil dan demokratis untuk
Media penyiaran harus memiliki izin
menjamin tersedianya, terdistribusikan,
penyiaran. Izin itu adalah keniscayaan
dan terawasinya ranah publik tersebut
karena hanya dengan cara itu lalu lintas
(Panjaitan, 2002, dalam Masduki 2007).
penggunaan frekuensi siaran bisa
berlangsung dengan tertib (Armando, Regulator dalam sistem penyiaran
2011). Pertanyaannya, siapa yang diperlukan juga mengingat apa yang
mengeluarkan izin tersebut? Di sini dinyatakan McQuail (1994). Ia
diperlukan regulator. menegaskan ada beberapa alasan awal
mengapa penyiaran diatur jauh lebih ketat,
Dalam negara demokrasi, regulasi
yakni alasan teknis atau untuk memastikan
media pada dasarnya diatur berdasarkan
alokasi sumber daya yang langka serta
basis apakah media itu menggunakan
kontrol monopoli secara adil. Regulator
ranah publik (public domain) atau tidak.
penyiaran juga diperlukan karena kegiatan
Terdapat dua bentuk regulasi, yakni
penyiaran yang menggunakan ranah
regulasi bagi media yang tidak
publik berdampak luar biasa terhadap
menggunakan ranah publik dan
masyarakat. Dalam hal ini, menurut
menggunakan ranah publik. Media yang
Siregar (2014), urusan penyiaran bukan
tidak menggunakan ranah publik (seperti
saja berkaitan dengan distribusi frekuensi
film, surat kabar, majalah, dan buku)
yang bersifat teknis, melainkan juga
pengaturannya berupa pengaturan diri
berhubungan dengan isi (content). Dengan
sendiri (self regulatory). Sementara itu,
demikian, menurutnya, pengaturannya
media yang menggunakan ranah publik
harus sekaligus mencakup frekuensi dan isi
(seperti media penyiaran: televisi dan
berdasarkan prinsip diversity of content
radio) diatur sangat ketat atau highly
dan diversity of ownership untuk sebesar-
regulated (Rahayu dkk, 2015). Siregar
besarnya kepentingan dan kebutuhan
(2014) menyebut badan regulator yang
publik. Seiring dengan keyakinan
mengatur media di ranah publik ini sebagai
mengenai diperlukannya regulator
independent regulatory body, merupakan
penyiaran, pada saat yang sama timbul
25
Jurnal komunikasi, Volume 14, Nomor 1, Oktober 2019, Hal 23-40

kekhawatiran bila lembaga tersebut adalah Llorens dan Costache (2014 dalam Rahayu
pemerintah yang berkuasa. Pada dkk, 2015) menyatakan bahwa lembaga
masyarakat demokratis, timbul keyakinan regulasi independen berperan penting
bahwa pemerintah seharusnya tidaklah untuk mempertahankan atau
mengontrol kehidupan media karena memperjuangkan pluralisme.
adanya kekhawatiran bahwa kewenangan
tersebut akan digunakan sebagai alat
untuk membatasi pers. Padahal, pada Metode
negara demokratis, pers berperan sebagai Penulis menggunakan metode
alat kontrol pemerintah. Itulah sebabnya, studi kasus. Paparan mengenai upaya
di banyak negara demokratis, yang menegakkan otoritas pemerintah sebagai
menjadi regulator utama penyiaran adalah regulator utama penyiaran dari masa UU
lembaga negara independen (Siregar, Penyiaran pertama hingga 2014 akan
2014). Di banyak negara demokratis, lahir banyak merujuk pada disertasi penulis di
kebijakan untuk membentuk apa yang Universitas Indonesia (2015). Adapun data
disebut sebagai lembaga negara yang untuk menggambarkan periode 2014 –
dibentuk berdasarkan undang-undang 2019 diperoleh dari: (1) draf revisi UU
(statutory body) yang berdiri independen, Penyiaran yang dikeluarkan Komisi I dan
dan tidak menjadi bagian dari pemerintah Badan Legislasi (Baleg) dan (2)
(eksekutif) yang sedang berkuasa pemberitaan mengenai revisi UU
(Mutmainnah, 2015; Frost, 2011). Penyiaran.
Misalnya, Federal Communications
Commission/FCC (Amerika), Office of
Communication/Ofcom, Inggris), Hasil dan Pembahasan
Australian Broadcasting Authority
Untuk memudahkan penyajian
(Australia), Hong Kong Broadcasting
hasil penelitian dan pembahasan, paparan
Authority (Hong Kong), Broadcasting
dibagi secara kronologis. Dengan begitu,
Authority of Ireland/BAI (Irlandia), dan
kemauan pemerintah untuk terus berusaha
Council Superieur de l’Audiovisuel/CSA
menjadi regulator penyiaran akan lebih
(Perancis). Sebaliknya pada sejumlah
mudah dianalisis dan dipetakan.
negara dengan tingkat demokrasi lemah,
kehadiran lembaga regulator di luar
pemerintah belum bisa diterima; pada UU Penyiaran Pertama: Pemerintah
negara-negara ini, dunia penyiaran tetap sebagai Pembina dan Pengendali
berada pada kendali pemerintah. Penyiaran
Dalam konteks negara demokratis, UU Penyiaran pertama adalah UU
sejumlah literatur menunjukkan bahwa No. 24/1997, yang lahir akibat dirasakan
badan regulator independen (independent perlunya ada “regulasi payung” yang
regulatory body) merupakan regulator mengatur tentang penyiaran, terutama
yang tepat untuk mengatur penyiaran. akibat pesatnya perkembangan radio dan
Menurut Grossberg dkk (2006 dalam TV (khususnya TV swasta yang lahir pada
Rahayu dkk, 2015), keberadaan badan tahun 1989; lihat Mutmainnah, 2015).
regulator independen tersebut penting Sebelumnya, regulasi mengenai media
untuk mengantisipasi dua hal, yakni penyiaran radio dan TV adalah regulasi
penyalahgunaan kekuasaan oleh negara dari segi perangkat keras, yakni UU No
atau pemerintah dan eksploitasi ekonomi 5/1964 tentang Telekomunikasi yang
oleh para pemilik kapital. Sementara itu kemudian diperbarui dengan UU No
26
Nina Mutmainnah, Upaya Pemerintah Mempertahankan Posisi Sebagai Regulator Utama
Penyiaran di Indonesia

3/1989. Atas dasar UU tersebut lahir menyetujui pembahasan ulang putaran


Peraturan Pemerintah dan Surat Keputusan dua ini. Salah seorang anggota DPR yang
Menteri Penerangan mengenai radio kontra terhadap pembahasan ulang
(termasuk mengenai pengaturan penyiaran RUU ini menyatakan bahwa ia
radio siaran non-pemerintah). Untuk merasakan, terutama pada tahap
pengaturan mengenai TV, regulasinya pembahasan UU putaran kedua, lebih
berbentuk Keputusan Presiden untuk dominannya pemerintah dan pengusaha
pendirian TVRI dan Surat Keputusan (Mutmainnah, 2015).
Menteri Penerangan untuk pendirian TV
UU Penyiaran pertama ini memang
swasta.
menunjukkan kentalnya perspektif
UU Penyiaran pertama ini disahkan pemerintah, yang tidak terlepas dari sistem
pada 18 September 1997, dan politik yang ada saat itu yang
mencerminkan kuatnya pemerintah Orde mengakomodasi kepentingan pengusaha.
Baru dan terutama sentralnya kekuasaan Penyusunan UU ini menunjukkan betapa
Presiden Soeharto. UU ini lahir melalui kuatnya posisi TV swasta dalam
proses dua putaran (lihat Mutmainnah, penyusunan kebijakan. Sebenarnya,
2015; Panjaitan, 1999; Masduki, 2007; rancangan UU Penyiaran ini mengandung
Pandjaitan & Sinaga, 2000; Armando, sejumlah muatan yang dapat ditafsirkan
2011). Putaran pertama dimulai dari proses sebagai menantang kekuasaan para
awal kelahirannya, yakni dari adanya pemilik stasiun TV yang adalah keluarga
Rancangan UU (RUU) yang disampaikan dan kerabat Soeharto. UU ini dinilai
pemerintah ke DPR 4 Maret 1996, DPR otoriter. Dalam UU ini, dinyatakan bahwa
melakukan pembahasan RUU tersebut, pemerintah adalah pembina dan
hingga kemudian 9 Desember 1996 DPR pengendali penyiaran. Dengan demikian,
meminta Presiden mengesahkan RUU pemerintah berwenang penuh mengontrol
tersebut menjadi UU. Presiden menolak segala aspek penyiaran. Dalam UU,
menandatanganinya. Pemerintah memang dinyatakan bahwa dalam
mengembalikan RUU tersebut kepada melaksanakan pembinaan dan
DPR berdasarkan instruksi yang datang pengendalian, pemerintah didampingi
dari Presiden Soeharto sendiri (Pandjaitan oleh BP3N (Badan Pertimbangan dan
& Sinaga, 2000; Armando, 2011). Pengendalian Penyiaran Nasional).
Namun, UU menegaskan peran BP3N
Pengembalian RUU semacam ini
hanya sebagai pendamping dengan
belum pernah terjadi sebelumnya.
kewenangan terbatas, sementara kendali
Pengembalian RUU ini menyebabkan RUU
dunia penyiaran benar-benar berada di
ini masuk ke putaran kedua: DPR
bawah pemerintah.
membahas kembali RUU ini dengan istilah
“Penyempurnaan”. Kondisi pembahasan Hal lain dalam UU Penyiaran ini
putaran pertama dan putaran kedua RUU yang menunjukkan kuatnya kontrol
sangat berbeda. Jika pembahasan putaran pemerintah terlihat dari banyaknya
pertama ditandai perdebatan seru untuk ketentuan yang menyatakan bahwa
beberapa hal, pembahasan putaran kedua ketentuan lebih lanjut mengenai berbagai
terkesan sebagai formalitas belaka. Hal ini aspek penyiaran diatur dengan Peraturan
disebabkan materi yang dibahas hanya Pemerintah (PP). Paling tidak, terdapat 22
sedikit dan sesuai dengan apa yang aspek penyiaran yang dinyatakan harus
menjadi masukan pemerintah, selain diatur lebih lanjut dengan PP.
pendeknya waktu yang tersedia. Pada
waktu itu, tidak semua anggota DPR
27
Jurnal komunikasi, Volume 14, Nomor 1, Oktober 2019, Hal 23-40

Satu hal yang perlu dicatat dari berbeda dengan UU Penyiaran


proses penyusunan UU Penyiaran pertama sebelumnya. Saat ingin merevisi UU
ini adalah adanya upaya dari sebagian Penyiaran 1997, terdapat sentimen
anggota parlemen tentang perlunya antinegara yang besar (Haryanto, 2014).
demokratisasi media penyiaran di UU Penyiaran 1997 dinilai mengandung
Indonesia. Pada pembahasan RUU semangat Orde Baru yang tidak lagi sesuai
putaran pertama, sudah ada upaya zaman.
membuat ketentuan agar otoritas
Kelahiran UU Penyiaran kedua ini
pemerintah tidak lagi terlalu besar untuk
disambut gembira oleh masyarakat sipil.
mengontrol sistem penyiaran. Disertasi
Dalam bentuk awalnya, UU Penyiaran
penulis (2015) menyimpulkan bahwa dua
2002 merupakan hasil perjuangan
contoh terbaik untuk ini adalah ketentuan
masyarakat sipil untuk membangun sistem
mengenai badan regulator dan lembaga
penyiaran yang demokratis. Melalui UU
penyiaran publik. Pada RUU, sudah ada
ini, urusan penyiaran menjadi urusan
gagasan untuk melahirkan sebuah lembaga
publik, tidak lagi sekadar urusan negara
regulator bukan pemerintah dan gagasan
(dan bisnis) (Sudibyo, 2009). UU ini dinilai
agar TVRI dan RRI tidak lagi berada di
memberikan landasan bagi transformasi
jajaran Departemen Penerangan dan
menuju sistem media penyiaran yang
berdiri sebagai lembaga penyiaran yang
demokratis dan modern (Sudibyo, 2004).
lebih mandiri.
DPR saat itu berkeinginan kuat
UU Penyiaran pertama ini tidak
melahirkan sebuah UU Penyiaran baru
pernah berlaku. UU ini dinyatakan harus
yang akan melemahkan kontrol
berjalan 29 September 1999. Namun, saat
pemerintah. Itulah sebabnya, dalam RUU
UU tersebut harus sudah efektif berlaku,
Inisiatif DPR tersebut, tidak ada pasal
tidak ada satu pun amanat UU tersebut
“pembinaan dan pengendalian penyiaran”.
dapat dijalankan. Apalagi kemudian,
Hal ini tidak dapat diterima pemerintah.
Departemen Penerangan dibubarkan (di
Pada masukan pemerintah terhadap RUU
masa Presiden Abdurrahman Wahid pada
tersebut, pemerintah mengusulkan adanya
1999), yang menyebabkan hilangnya
penambahan bab baru tentang pembinaan,
operator terpenting UU ini. Itulah
yang di dalamnya termaktub juga
sebabnya ada yang mengibaratkan UU
“pengendalian”. Dapat dikatakan
Penyiaran ini “sesungguhnya dia ada,
pemerintah tak mau beranjak dari
tetapi sebenarnya belum pernah ada”
ketentuan tentang “pembinaan dan
(Pandjaitan & Sinaga, 2000) atau “layu
pengendalian” yang ada pada UU No.
sebelum berkembang” (Masduki, 2007).
24/1997. Ketentuan ini mengundang
perdebatan dalam proses penyusunan UU,
yang kemudian berakhir dengan
UU Penyiaran No 32/2002: Lahirnya
pemerintah mencabut sendiri usulannya
KPI, Regulator Baru
itu.
Berbeda dari UU Penyiaran
UU Penyiaran 2002 melahirkan
pertama, UU Penyiaran kedua (UU No
sebuah badan regulator baru yang
32/2002) disusun dengan semangat
independen bernama Komisi Penyiaran
mereformasi dunia penyiaran. Semangat
Indonesia (KPI). UU Penyiaran mendesain
demokratisasi mewarnai jiwa UU ini, yang
KPI sebagai sebuah super body yang
dilandasi oleh Reformasi 1998. Jika dilihat
mengatur dari hulu hingga hilir persoalan
berdasarkan konteks politik kelahirannya,
UU ini lahir dalam situasi yang sangat
28
Nina Mutmainnah, Upaya Pemerintah Mempertahankan Posisi Sebagai Regulator Utama
Penyiaran di Indonesia

penyiaran di Indonesia (Judariksawan masyarakat sipil yang besar dan


dalam Sudibyo, 2014). meminggirkan pemerintah untuk tak lagi
memegang kendali terhadap dunia media
Dalam proses penyusunan UU,
cetak. Berbekal pengalaman dari UU Pers
pemerintah berusaha menolak gagasan
yang membuat pemerintah kehilangan
DPR tersebut. Dalam tanggapannya
kewenangannya, dalam proses
terhadap RUU Penyiaran itu, pemerintah
penyusunan UU Penyiaran, pemerintah
berupaya menjadikan KPI tidak
berkeras untuk tetap memegang kendali
independen dan bukan regulator tunggal.
penyiaran.
Oleh pemerintah, KPI dinyatakan sebagai
“wujud peran serta masyarakat sebagai Persoalan mengenai siapa regulator
mitra pemerintah di bidang penyiaran”. penyiaran tercatat sebagai salah satu poin
Pada dasarnya, pemerintah menolak krusial yang diperdebatkan dalam proses
gagasan kehadiran KPI sebagai lembaga penyusunan UU Penyiaran 2002. Jalan
pengatur penyiaran independen yang yang diambil kemudian adalah kompromi.
berada di luar stuktur pemerintahan. Regulator penyiaran akhirnya ditetapkan
berada di dua pihak: KPI dan pemerintah.
Dalam proses penyusunan UU
Dalam UU No. 32/2002 ketentuan
Penyiaran 2002, pandangan pemerintah
mengenai KPI dinyatakan dalam Pasal 7 –
mengenai regulator penyiaran mendapat
12 dan Pasal 55. UU No. 32/2002 Pasal 7
dukungan dari industri penyiaran. Bahkan,
ayat (2) menyatakan bahwa “KPI sebagai
lahirnya KPI sebagai lembaga regulator
lembaga negara yang bersifat independen
baru adalah salah satu hal yang ditakutkan
mengatur hal-hal mengenai penyiaran”.
pihak industri dari UU Penyiaran 2002
Pada intinya, KPI adalah lembaga yang
(Mutmainnah, 2015). Di pihak lain,
ditunjuk menjadi regulator utama
lahirnya badan regulator independen yang
(Mutmainnah, 2015). Kata “Pemerintah”
diinisiasi oleh DPR disambut gembira oleh
tidaklah hilang dari UU Penyiaran. Dengan
kelompok masyarakat sipil yang pro-
kata lain, pemerintah tetap berada dalam
demokratisasi penyiaran.
gelanggang pengaturan sistem penyiaran.
Dalam catatan Sadono (2003 Sebagai regulator penyiaran, KPI berbagi
dalam Mutmainnah, 2015), aspek kewenangan dengan pemerintah. Dalam
perizinan merupakan bidang di mana UU Penyiaran No. 32 tahun 2002, terdapat
pemerintah merasa paling berkepentingan. beberapa pasal yang menyatakan bahwa
Ketika proses penyusunan UU Penyiaran ketentuan lebih lanjut mengenai sejumlah
2002, dengan mengatasnamakan aspek penyiaran harus ditetapkan oleh
kepentingan negara, pemerintah berusaha “KPI bersama-sama pemerintah”. Selain
keras untuk tetap mengambil peran dalam itu, Pemerintah menjadi pihak yang
sistem penyiaran. Pengendalian yang bersama-sama KPI mengeluarkan Izin
paling strategis adalah melalui perizinan, Penyelenggaraan Penyiaran. Armando
terutama dalam penggunaan frekuensi. (2011) mencatat, bagaimanapun, kalau
Kerasnya sikap pemerintah untuk dibaca isi UU, terlihat bahwa muatan
tidak mau menyingkir dari gelanggang tentang KPI sebenarnya jauh lebih
penyiaran tampaknya tak bisa dilepaskan dominan. Kesannya, KPI adalah
dari sejarah lahirnya UU lain di era pengendali utama, sementara pemerintah
Reformasi. Sebelum UU Penyiaran 2002, lebih dalam posisi menjaga jangan sampai
di era Reformasi, telah lahir UU Pers KPI menjadi pemegang kekuasaan mutlak.
(1999). UU Pers dinilai sangat demokratis Di luar ketentuan tentang KPI, ada
karena memberi ruang penguatan beberapa muatan penting dalam UU
29
Jurnal komunikasi, Volume 14, Nomor 1, Oktober 2019, Hal 23-40

Penyiaran 2002 yang menunjukkan (ATVSI), (5) Persatuan Sulih Suara


semangat demokratisasi. Disertasi penulis Indonesia (PERSUSI), dan (6)
(2015) menyimpulkan beberapa muatan Komunitas Televisi Indonesia
tersebut: (a) Diubahnya status TVRI dan (KOMTEVE), diwakili oleh Gilang
RRI dari lembaga penyiaran milik
Iskandar. Organisasi yang paling
pemerintah menjadi lembaga penyiaran
berperan sebagai motor JR adalah
publik. Gagasan ini juga semula ditolak
keras oleh pemerintah. (b) Diubahnya
ATVSI.
proses pemberian izin penyelenggaraan Pada Juli 2004, MK
penyiaran menjadi transaparan, dimulai mengeluarkan keputusan yang
dari bawah (dari proses evaluasi dengar berdampak sangat serius pada dunia
pendapat di KPI Daerah), dan pada
penyiaran. MK memang menolak
akhirnya ditentukan melalui rapat
permintaan penggugat agar UU
bersama antara KPI dan pemerintah.
Penyiaran dibatalkan, tetapi dalam
Gagasan ini juga ditolak keras oleh
pemerintah yang didukung industri ketetapannya MK menyatakan KPI
penyiaran. (c) Diakuinya keberadaan tidak lagi berwenang menjadi pihak
Lembaga Penyiaran Komunitas yang yang bersama-sama pemerintah
merupakan sarana komunikasi yang membuat peraturan pelaksanaan UU.
demokratis bagi masyarakat. Gagasan ini MK menetapkan, anak kalimat “KPI
ditolak oleh pemerintah dengan alasan bersama-sama…” harus dihilangkan
kekhawatiran akan konflik horizontal. dalam rangkaian ketentuan UU yang
Penolakan ini juga didukung oleh industri menyatakan bahwa ketentuan lebih
penyiaran.
lanjut harus ditetapkan oleh “KPI
bersama-sama pemerintah”. Implikasi
Titik Balik: Judicial Review dan ketetapan MK ini, maka yang berhak
Lahirnya Peraturan Pemerintah membuat ketentuan lebih lanjut hanya
pemerintah. Kuasa hukum pihak
Pada 28 Desember 2002, UU
pemohon JR menyatakan bahwa
Penyiaran 32/2002 dinyatakan
dengan putusan MK ini maka
berlaku. Segera setelah itu, dibentuk
kewenangan KPI dalam membuat
KPI periode pertama. Tiga bulan
regulasi tidak lagi absolut karena
sesudah KPI terbentuk, pada Maret
kewenangan regulasi diserahkan
2003, enam organisasi mengajukan
sepenuhnya kepada Pemerintah
Judicial Review (JR) kepada
(www.hukumonline.com, 28 Juli
Mahkamah Konstitusi (MK) untuk
2004). Putusan MK merupakan angin
menggugat UU Penyiaran 2002 yang
segar bagi pemerintah dan kalangan
dianggap bertentangan dengan UUD
industri penyiaran. Namun, bagi KPI,
1945. Keenam organisasi tersebut
secara signifikan, putusan itu
adalah (1) Ikatan Jurnalis Televisi
menurunkan daya tawar KPI di
Indonesia (IJTI), (2) Persatuan Radio
hadapan pemerintah ataupun industri
Siaran Swasta Nasional Indonesia
penyiaran. Khusus bagi industri
(PRSSNI), (3) Persatuan Perusahaan
penyiaran, keputusan MK untuk
Periklanan Indonesia (PPPI), (4)
memangkas kewenangan regulatif KPI
Asosiasi Televisi Siaran Indonesia

30
Nina Mutmainnah, Upaya Pemerintah Mempertahankan Posisi Sebagai Regulator Utama
Penyiaran di Indonesia

dinilai merupakan langkah maju sementara kontrol dari masyarakat, baik


tersendiri (Mufid, 2007). dari DPR, pers, dan lembaga
kemasyarakatan yang lain sangat lemah.
Akibat ketetapan MK ini,
Secara teknis, bentuk politisasi hukum bisa
terbukalah pintu lebar-lebar bagi
melalui pasal-pasal dalam batang tubuh
kembalinya otoritas pemerintah dalam
UU, tetapi juga bisa diselundupkan secara
dunia penyiaran. Pada 2005, pemerintah
halus, misalnya, melalui peraturan
mengeluarkan paket tujuh PP: (1) PP
pelaksanaan maupun aturan peralihan.
11/2005 tentang Lembaga Penyiaran
Publik, (2) PP 12/2005 tentang Lembaga KPI periode pertama (2004 –
Penyiaran Publik Radio Republik 2007) melakukan upaya keras melawan
Indonesia, (3) PP 13/2005 tentang kebijakan pemerintah untuk melahirkan
Lembaga Penyiaran Publik Televisi PP. Salah satunya adalah mengajukan JR
Republik Indonesia, (4) PP 49/2005 terhadap sejumlah PP ke Mahkamah
tentang Lembaga Penyiaran Asing, (5) PP Agung (2006), tetapi MA menolak
50/2005 tentang Penyelenggaraan permohonan KPI tersebut (2007). Upaya
Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta, (6) KPI mendapatkan dukungan dari sejumlah
PP 51/2005 tentang Penyelenggaraan anggota DPR dan kelompok masyarakat
Penyiaran Lembaga Penyiaran Komunitas, sipil. Namun, pemerintah (dengan
dan (7) PP 52/2005 tentang Menkominfo Sofyan Djalil) terus berkeras
Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga untuk memberlakukan PP-PP tersebut.
Penyiaran Berlangganan. Dalam PP-PP Maka, PP pun dijalankan tanpa dapat
tersebut, terdapat sejumlah ketentuan ditahan. Apalagi, pada 2007, lahir
yang tidak sesuai dengan UU 32/2002, dan keputusan MK atas permohonan KPI
bertentangan dengan apa yang seharusnya tentang sengketa kewenangan lembaga
menjadi kewenangan KPI yang telah diatur negara. Menurut MK, KPI dianggap tidak
dalam UU 32/2002. Berbagai PP ini dibuat memiliki kedudukan hukum (legal
tanpa menyertakan KPI. standing) untuk mengajukan
permohonan. Keputusan MK ini sangat
Disertasi penulis (2015)
memukul KPI (Armando, 2011).
menunjukkan bahwa dalam proses
penyusunan peraturan penyiaran di Sejak saat itu, lahir serangkaian
Indonesia berupa PP dan Permen terjadi kebijakan pemerintah yang makin
apa yang disebut politisasi hukum. menunjukkan kokohnya kewenangan
Merujuk pada Sadono (2007), politisasi pemerintah dan sebaliknya melemahnya
hukum adalah suatu rekayasa, KPI. Kecenderungan pemerintah untuk
penyimpangan, atau penyelundupan tidak menyertakan KPI dalam pembuatan
hukum baik dalam proses pembuatan peraturan yang telah dimulai di era
maupun penegakannya, yang Menkominfo Sofyan Djalil terus berlanjut
dimanfaatkan untuk kepentingan di luar (Judhariksawan dalam Sudibyo, 2014).
tujuan dan fungsi hukum itu sendiri Kebijakan kontroversial belakangan yang
sehingga melahirkan hukum yang tidak dilahirkan Kemenkominfo adalah
adil, tidak menjamin kepastian hukum, Peraturan Menteri (Permen) tentang
tidak sesuai dengan kebutuhan digitalisasi di masa 2011 – 2013. Walau
masyarakat. Politisasi hukum terjadi tidak dengan intensitas ketegangan yang
karena elite yang memegang kekuasaan sama seperti masa-masa KPI periode awal
selalu mempunyai kepentingan yang ingin dulu, kebijakan pemerintah mengenai
dikukuhkan dalam bentuk produk hukum, digitalisasi menjadikan hubungan KPI –
pemerintah bergejolak kembali. Pada
31
Jurnal komunikasi, Volume 14, Nomor 1, Oktober 2019, Hal 23-40

2012, KPI mengeluarkan pendapat hukum posisi dan kewenangan KPI sebagai
(legal opinion) mengenai kebijakan lembaga negara (lihat www.hukumonline.
digitalisasi Kemenkominfo. Penolakan com, 19 Februari 2010).
terhadap Permen digital tidak hanya
Apa yang diniatkan oleh anggota
dilakukan oleh KPI, tetapi juga oleh DPR
DPR sejak awal RUU disusun terwujud.
dan masyarakat sipil. Namun kembali
Pada akhirnya, DPR melahirkan sebuah
pemerintah terus melaju dengan kebijakan
RUU Inisiatif DPR (2012) yang kembali
ini.
menegaskan kewenangan KPI. Dalam RUU
Upaya KPI untuk menolak ini, DPR mendefinisikan KPI sebagai
kebijakan pemerintah juga ditunjukkan “lembaga negara independen yang
pada kasus akuisisi atau merger PT bertugas mengatur penyelenggaraan
Indosiar Karya Media Tbk (Indosiar) yang penyiaran”. RUU menegaskan KPI
dilakukan PT Elang Mahkota Teknologi berfungsi sebagai perwujudan hak publik
Tbk (EMTK), selaku induk usaha PT Surya dalam mengatur penyiaran di Indonesia.
Citra Media Tbk (SCTV) pada 2011.KPI DPR membuat ketentuan tentang KPI
menyatakan bahwa akuisisi ini melanggar dengan semangat demokrasi dengan
UU Penyiaran 2002 dan menyampaikan menjadikannya sebagai independent
legal opinion mengenai kasus ini kepada regulatory body (Siregar, 2014). Seiring
Kemenkominfo dan Badan Pengawasan dengan memuat ketentuan yang
Pasar Modal (www.kpi.go.id, 7 Juni 2011; memperbesar kewenangan KPI, RUU ini
www.beritasatu.com, 27 April 2011). mengurangi kewenangan pemerintah.
Di antara berbagai kebijakan Berlawanan dengan DPR yang
tentang penyiaran yang dibuat kembali ingin menegaskan kewenangan
pemerintah, memang ada regulasi yang KPI, pemerintah dalam tanggapannya
kelahirannya didorong oleh KPI, tetapi terhadap RUU DPR justru meniadakan
jumlahnya sedikit sekali. Salah satunya nama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI),
kebijakan tentang kelonggaran bagi dan menggantinya dengan Komisi
pendirian lembaga penyiaran komunitas di Pengawas Isi Siaran (KPIS). KPIS
wilayah perbatasan dan/atau daerah dinyatakan sebagai “lembaga independen
tertinggal, yakni Permenkominfo No. yang bertugas dan berfungsi mengawasi isi
39/2012 tentang Tata Cara Pendirian dan siaran”. Jadi, dengan mengganti nama KPI
Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga menjadi KPIS, tampak bahwa pemerintah
Penyiaran Komunitas. mengerdilkan peran dan kewenangan
lembaga negara ini dengan hanya
mengurus isi siaran. Tidak hanya itu,
Revisi UU Penyiaran: Periode 2009 – pemerintah juga menegaskan bahwa
2014 segala hal mengenai KPIS diatur melalui
DPR periode 2009 – 2014 PP dan mengusulkan seleksi anggota KPIS
mengajukan revisi UU Penyiaran, yang dilakukan berdasarkan proses rekrutmen
prosesnya dimulai pada 2010. Dari awal, oleh pemerintah dengan membentuk
tampak bahwa DPR berkeinginan merevisi panitia seleksi yang terdiri dari unsur
UU Penyiaran antara lain karena pemerintah dan masyarakat.
kelemahan yang terkandung dalam UU Usulan pemerintah tentang KPIS
32/2202 yang membuat KPI kurang ini sebenarnya sejalan dengan apa yang
bergigi. Tampaknya, ada keinginan sebelumnya diusulkan oleh sebagian
parlemen untuk kembali menguatkan anggota Tim Pakar Pendamping DPR yang

32
Nina Mutmainnah, Upaya Pemerintah Mempertahankan Posisi Sebagai Regulator Utama
Penyiaran di Indonesia

membantu Komisi I DPR menyusun draft melalui tanggapannya atas RUU.


perubahan UU Penyiaran. Tim Pakar ini Pemerintah menyatakan bahwa
beranggotakan tujuh orang, yang dalam pembinaan penyiaran dilakukan oleh
perjalanan menyusun draf DPR terbagi pemerintah, yang meliputi: penetapan
menjadi dua kelompok (beranggotakan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan
tiga dan empat orang) yang tidak pengendalian, yang bertujuan untuk
memperoleh titik temu dalam sejumlah isu meningkatkan kualitas penyelenggaraan
penting, antara lain tentang regulator penyiaran.
penyiaran. Tim Pakar tiga orang menyusun
Demikian dominannya kewena-
draf yang isinya berisi ketentuan tentang
ngan pemerintah dalam RUU versi
kewenangan KPI hanya terbatas mengurus
pemerintah ini, Siregar (2014) menyebut
isi siaran (draft tanpa nama penulis,
RUU versi pemerintah bersifat chauvinis
disebut Draf Alternatif II; lihat
dan otoritarian. Pemerintah menjadi
Mutmainnah, 2015). Dalam draf ini pun
regulator utama yang dominan: sebagai
termuat ketentuan bahwa KPI tidak
pembuat kebijakan, pengaturan, pengawa-
memiliki kewenangan tunggal dalam
san, dan pengendalian, memotong
menyusun aturan tentang isi siaran, tetapi
peranan KPI.
harus menyusunnya bersama dengan
asosiasi penyiaran, walau pada akhirnya UU Penyiaran baru pada akhirnya
aturan tersebut ditetapkan oleh KPI. Tim tidak pernah lahir pada periode ini karena
pakar ini adalah profesional penyiaran sampai masa tugas DPR berakhir di 2014,
yang aktif di asosiasi penyiaran serta proses revisi UU ini tidak selesai.
akademisi yang menjadi konsultan di
lembaga penyiaran. Berlawanan dengan
usulan tim tiga orang ini, tim pakar lainnya Revisi UU Penyiaran: Periode 2014 –
(empat orang, beranggotakan akademisi 2019
serta penggiat masyarakat sipil) menyusun DPR periode 2014 – 2019 kembali
draft yang menegaskan kewenangan KPI – mengajukan revisi UU Penyiaran. Hingga
inilah ketentuan yang akhirnya diambil Maret 2019, revisi UU Penyiaran 2002
oleh DPR masuk dalam RUU Inisiatif. sudah selesai dibahas di Komisi I DPR RI
Selain sejalan dengan usulan Draf dan berada di tangan Badan Legislasi atau
Alternatif II, keinginan pemerintah untuk Baleg. RUU versi DPR ini rencananya akan
membatasi kewenangan KPI hanya di disahkan pada Oktober 2017, tetapi
bidang pengawasan isi siaran juga serupa pengesahan tertunda akibat terjadi
dengan gagasan pihak industri yang kebuntuan (deadlock) pada rapat
diajukan ATVSI dan MASTEL. Ini terlihat gabungan antara Baleg dan pengusul
dari pernyataan kedua pihak ini saat rapat (Komisi I) DPR 3 Oktober 2017.
dengan DPR di akhir 2010. Ketidaksepakatan terjadi dalam
penentuan penyelenggaraan multiplekser
Dalam proses revisi UU Penyiaran (mux) dalam penyiaran digital
ini, juga terlihat jelas bahwa pemerintah (www.tempo.co, 12 Oktober 2017;
tetap berkeinginan untuk menjadi www.tempo.co,24 Mei 2018;
pembina penyiaran. Setelah konsep www.kompas.com, 27 November 2018).
“pembina penyiaran” lahir di UU Walaupun setelah Oktober 2017 terdapat
Penyiaran pertama (1997) dan berusaha kabar adanya beberapa kali rapat
dimunculkan kembali saat proses koordinasi antara pimpinan DPR,
penyusunan UU Penyiaran 2002, maka pimpinan Komisi I, dan pimpinan Baleg
pemerintah kembali memunculkannya
33
Jurnal komunikasi, Volume 14, Nomor 1, Oktober 2019, Hal 23-40

secara tertutup (www.tempo.co, 5 April Sikap ini juga sejalan dengan kemauan
2018), namun hingga Maret 2019 belum industri penyiaran yang sejak awal
ada pengesahan terhadap RUU Inisiatif menginginkan pemerintah sebagai
DPR. regulator utama, bukan KPI –bahkan
usulan awal mengenai KPI hanya
Berbeda dari digitalisasi,
mengurus isi siaran juga berasal dari
penetapan mengenai regulator penyiaran
asosiasi industri penyiaran.
bukanlah isu yang diperdebatkan dalam
penyusunan RUU Penyiaran pada periode Kesamaan pandangan antara DPR
ini. Berbeda dengan DPR 2014-2019 yang dan pemerintah mengenai kewenangan
dinilai mengusung demokratisasi KPI terlihat dari pernyataan Menkominfo
penyiaran, antara lain karena menetapkan Rudiantara saat menjelaskan penyebab
KPI sebagai regulator utama, DPR periode pemerintah ingin merevisi UU Penyiaran.
ini sejak awal telah menetapkan KPI Menkominfo menegaskan, selain
hanya mengurus isi siaran. Dalam draf persoalan digitalisasi, faktor lain yang
DPR 3 Oktober 2017 (draf Baleg) membuat pemerintah ingin merevisi UU
dinyatakan “KPI adalah lembaga negara Penyiaran adalah “Mereposisi peran dari
yang bersifat independen yang bertugas KPI, hingga betul-betul kembali kepada
mengatur isi siaran”. Ketentuan draf Baleg pengawasan manajemen konten"
ini sesungguhnya tidak pernah berubah (www.beritasatu.com, 2 April 2018).
dari sejak awal draf dibuat oleh Komisi I.
Pada 2017, KPI memberi masukan
Persoalan mengenai kewenangan untuk RUU Penyiaran kepada DPR
KPI adalah salah satu faktor penting dalam (www.kpi.go.id, 14 Juli 2017). Salah satu
merevisi UU. Dalam Naskah Akademis masukan adalah tentang eksistensi KPI,
RUU Penyiaran tertanggal 2 Februari yakni: “Eksistensi Komisi Penyiaran
2016, dinyatakan bahwa urgensi Indonesia sebagai representasi publik
penggantian UU Penyiaran di antaranya: perlu diperkuat dalam undang-undang
”terdapat pasal yang menimbulkan penyiaran yang akan datang. Penguatan itu
multitafsir, antara lain pasal mengenai meliputi perluasan kewenangan di bidang
kewenangan KPI...” isi siaran serta tetap melibatkan KPI di
dalam seluruh proses penataan
Draf DPR 3 Oktober 2017
infrastruktur penyiaran untuk mengontrol
memberikan kewenangan yang sangat
kaidah pokok demokratisasi penyiaran,
besar kepada pemerintah untuk mengatur
yakni keberagaman kepemilikan (diversity
dunia penyiaran. Pemerintah adalah pihak
of ownership)”. Dari masukan ini, tidak
yang memiliki otoritas antara lain dalam
terlihat sama sekali ketegasan KPI untuk
Rencana Induk Penyiaran (Pasal 5 ayat 2),
menyebut lembaganya sebagai regulator
menentukan arah kebijakan Sistem
utama penyiaran dan seharusnya
Penyiaran Nasional (Pasal 11 ayat 1 huruf
mengatur dunia penyiaran lebih dominan
a), menetapkan pemetaan penggunaan
dibandingkan pemerintah.
frekuensi penyiaran (Pasal 11 ayat 1 huruf
b), dan hal-hal terkait izin penyelenggaran Ketidaktegasan atau ketiadaan
penyiaran (Pasal 11 ayat 1 huruf c – f). sikap gigih yang ditunjukkan KPI untuk
menjadikan lembaganya memperoleh
Dengan ketentuan tersebut,
kewenangan yang lebih besar juga tampak
tampak jelas bahwa sejak awal
pada beberapa pemberitaan mengenai
penyusunan RUU sudah ada kesamaan
masukan atau harapan lembaganya
antara DPR dan pemerintah mengenai
terhadap RUU Penyiaran. Ketika terjadi
siapa yang menjadi regulator utama.
34
Nina Mutmainnah, Upaya Pemerintah Mempertahankan Posisi Sebagai Regulator Utama
Penyiaran di Indonesia

deadlock dalam proses penyusunan RUU dipegang pemerintah (www.kompas.com,


Penyiaran, seorang anggota KPI misalnya 21 April 2016; www.tirto.id, 29 Desember
berkomentar, “Perdebatan-perdebatan 2016).
yang ada di DPR diharapkan tidak
KNRP melihat terdapat banyak
merugikan kewenangan KPI sebagai
kesamaan antara draf Baleg dan apa yang
pengawas konten dalam penyiaran”
diminta ATVSI (www.kompas.com, 17
(www.sindonews.com, 21 Oktober 2017).
September 2017). Ini tidak mengherankan
Dalam contoh lain, Ketua KPI menyakini
mengingat Ketua ATVSI sendiri
bahwa revisi UU akan memperkuat
menyatakan bahwa ATVSI telah diundang
kewenangan lembaganya. Yang
Baleg pada 3 April 2017 untuk memberikan
dimaksudkannya adalah, “KPI hanya akan
tanggapan dan masukan mengenai
mengurus siaran, tidak lagi
beberapa isu penting yang menjadi roh dari
memperpanjang izin televisi dan radio. KPI
RUU Penyiaran. ATVSI juga
akan berdiri secara independen, diperkuat,
menyampaikan naskah akademik dan draft
sekjen tidak lagi berdiri di bawah
RUU kepada Baleg dan Panja RUU
Kementerian Komunikasi dan
Penyiaran DPR RI (www.kompas.com, 5
Informatika" (www.cnnindonesia.com, 30
Mei 2017). Dalam masukannya, ATVSI
Januari 2017). Dengan berkomentar
menyampaikan tujuh isu krusial terkait
seperti ini, terlihat bahwa para komisioner
RUU Penyiaran. Masalah kewenangan
KPI sendiri menilai lembaganya memang
regulator penyiaran bukanlah isu yang
hanya punya kewenangan untuk mengurus
dinilai krusial oleh ATVSI, kemungkinan
isi siaran.
karena sejak awal draf DPR telah
Istilah “memperkuat KPI” atau menetapkan ketentuan bahwa regulator
“penguatan KPI” memang jadi jargon yang utama adalah pemerintah, sesuai dengan
seringkali dikemukakan dalam berbagai yang diharapkan ATVSI sejak proses UU
kesempatan baik oleh pemerintah maupun Penyiaran 2002 disusun.
anggota DPR. Padahal, kalau dicermati,
yang dimaksudkan itu hanya penguatan
dalam hal pengawasan isi siaran. Sebagai Penutup
contoh, anggota Komisi I Elnino Mohi UU No. 32/22002 tentang
dalam seminar 15 November 2017 Penyiaran sesungguhnya telah
menyatakan bahwa draf RUU menyepakati menetapkan regulator utama penyiaran
adanya penguatan kelembagaan KPI adalah KPI dan bukan pemerintah. UU ini
sebagai instrumen negara yang membawa semangat demokratisasi karena
bertanggungjawab melakukan pengawasan meletakkan daulat penyiaran ada pada
terhadap kualitas isi siaran tangan publik (melalui KPI), sejalan
(www.kpi.go.id, 16 November 2017). dengan media penyiaran yang berjalan
Ketentuan yang mengerdilkan dengan menggunakan frekuensi siaran
posisi dan kewenangan KPI dalam RUU yang merupakan milik publik.
sejak awal dikritik oleh masyarakat sipil. UU Penyiaran 2002 mengubah UU
Kritik gencar disuarakan oleh KNRP Penyiaran sebelumnya yang dinilai
(Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran), otoriter, yang meletakkan kendali
sebuah koalisi akademisi-penggiat penyiaran berada sepenuhnya di tangan
masyarakat sipil yang didirikan April 2016. pemerintah. Adanya keputusan MK
Masyarakat sipil mengkritik ketentuan mengenai Judicial Review UU Penyiaran
tentang minimnya peran KPI dan 2002 menjadi titik balik yang
sebaliknya peran dominan penyiaran yang
35
Jurnal komunikasi, Volume 14, Nomor 1, Oktober 2019, Hal 23-40

mengembalikan kewenangan pemerintah Dengan demikian, dapat disimpulkan


sebagai regulator utama. bahwa sejak awal penyusunan RUU sudah
ada kesamaan antara DPR dan
Dari implementasi UU Penyiaran
pemerintah mengenai siapa yang menjadi
2002 dalam 17 tahun perjalanannya (2002
regulator utama penyiaran.
– 2019), terlihat berbagai kebijakan dan
upaya untuk mengembalikan daulat Tampaknya, masyarakat sipil yang
penyiaran bukan di tangan KPI, melainkan sejak awal kelahiran UU Penyiaran 2002
kembali di tangan pemerintah. Pada 2005, mengharapkan sebuah UU Penyiaran yang
pemerintah mengeluarkan paket tujuh PP demokratis masih harus terus berjuang
yang ditolak oleh KPI periode pertama. agar di Indonesia lahir sebuah UU
Upaya KPI gagal dan selanjutnya tanpa Penyiaran yang demokratis, yang
bisa ditahan pemerintah mengeluarkan meletakkan kewenangan regulator utama
serangkaian kebijakan yang makin penyiaran berada di tangan publik, bukan
menunjukkan kokohnya kewenangannya. pemerintah. Di sisi lain, justru inilah yang
ditolak oleh kalangan industri penyiaran.
Upaya untuk mengembalikan
Sebagaimana keinginan mereka sejak
kewenangan pemerintah sebagai regulator
lahirnya UU Penyiaran, industri penyiaran
utama tidak hanya terwujud dari berbagai
tetap menginginkan pemerintah berada
kebijakan yang dilahirkan oleh pemerintah
dalam gelanggang sistem penyiaran –
sendiri (dengan mengeluarkan kebijakan
mereka tidak menginginkan dominasi
yang meminggirkan KPI hanya mengurusi
kewenangan regulasi lepas dari tangan
isi siaran), tetapi juga belakangan oleh
pemerintah.
DPR yang di periode 2014 – 2019
melahirkan draft revisi UU Penyiaran yang Berpegang pada prinsip
mengerdilkan kewenangan KPI dan demokratisasi penyiaran, peneliti
sebaliknya memberikan dominasi menyimpulkan seharusnya posisi regulator
kewenangan yang sangat besar kepada utama penyiaran tidak dipegang oleh
pemerintah dalam mengatur sistem pemerintah, melainkan oleh wakil publik
penyiaran. Draf DPR terakhir di periode ini yang independen sebagaimana semangat
(draf 3 Oktober 2017) menyatakan yang dibawa oleh UU No. 32/2002 tentang
kewenangan yang sangat besar kepada Penyiaran. Oleh karena itu, dalam revisi
pemerintah untuk mengatur dunia UU Penyiaran mendatang, untuk menjaga
penyiaran, antara lain mengatur Rencana prinsip demokratisasi penyiaran, posisi
Induk Penyiaran, arah kebijakan Sistem regulator utama penyiaran harus
Penyiaran Nasional, pemetaan diletakkan pada KPI dengan hak dan
penggunaan frekuensi penyiaran, dan hal- kewenangan yang besar sebagai wakil
hal terkait izin penyelenggaran penyiaran. publik yang mengatur penyiaran.

36
Nina Mutmainnah, Upaya Pemerintah Mempertahankan Posisi Sebagai Regulator Utama
Penyiaran di Indonesia

Daftar Pustaka

Armando, Ade. (2011). Televisi Jakarta di Frost, Chris. (2011). Journalism Ethics and
Atas Indonesia: Kisah Kegagalan Regulation. Harlow: Pearson
Sistem Televisi Berjaringan di Education Limited.
Indonesia. Yogyakarta: Bentang.
Gazali, Effendi. et.al. eds. (2003).
_________. (2006). “Privatisasi Konstruksi Sosial Industri
Pertelevisian Indonesia: Antara Penyiaran. Jakarta: Departemen
Dinamika Internal dan Ilmu Komunikasi FISIP UI.
Perkembangan Global”. Disertasi
Bidang Ilmu Komunikasi Program Haryanto, Ignatius. (2014). Jurnalisme
Pascasarjana FISIP UI. Era Digital: Tantangan Industri
Media Abad 21. Jakarta: Kompas.
“ATVSI Usulkan Tujuh Isu Krusial Terkait
Revisi UU Penyiaran”, “Kemenko Polhukam Akan Kawal Revisi
www.kompas.com, 5 Mei RUU Penyiaran”, www.tempo.co,
2017; https://nasional.kompas.co 24 Mei 2018,
m/read/2017/05/05/15251371/atv https://bisnis.tempo.co/read/1092
si.usulkan.tujuh.isu.krusial.terkait. 154/kemenko-polhukam-akan-
revisi.uu.penyiaran, diakses 7 April kawal-revisi-ruu-
2019. penyiaran/full&view=ok diakses 7
April 2019.
“Bahas RUU Penyiaran, DPR Rapat
dengan Kominfo Minggu “Komisi I DPR Pastikan Penguatan KPI
Depan”,www.tempo.co, 5 April dalam RUU Penyiaran yang Baru”,
2018,https://bisnis.tempo.co/read www.kpi.go.id, 16 November 2017,
/1076735/bahas-ruu-penyiaran- http://www.kpi.go.id/index.php/i
dpr-rapat-dengan-kominfo- d/umum/38-dalam-negeri/34185-
minggu-depan, diakses 7 April komisi-i-dpr-pastikan-penguatan-
2019. kpi-dalam-ruu-penyiaran-yang-
baru, diakses 7 April 2019.
“Dewan Pers: Kami Tak Dilibatkan dalam
Revisi UU Penyiaran”, 27 “KPI Keluarkan Opini Hukum Terkait
November 2008, https://nasional. Akuisisi Indosiar”
kompas.com/read/2018/11/27/05 www.beritasatu.com, 27 April 2011,
242651/dewan-pers-kami-tak- https://id.beritasatu.com/home/k
dilibatkan-dalam-revisi-uu- pi-keluarkan-opini-hukum-terkait-
penyiaran, diakses 7 April 2019. akuisisi-indosiar/10624, diakses 6
April 2019.
"Draf RUU Penyiaran Dinilai Lebih
Menguntungkan Industri “KPI Minta DPR Segera Selesaikan
Televisi", www.kompas.com, 17 Pembahasan RUU Penyiaran”,
September 2017, https://nasional. www.sindonews.com, 21 Oktober
kompas.com/read/2017/09/17/17 2017, https://nasional.sindonews.
272941/draf-ruu-penyiaran- com/read/1250518/12/kpi-minta-
dinilai-lebih-menguntungkan- dpr-segera-selesaikan-
industri-televisi?page=all, diakses pembahasan-ruu-penyiaran-
7 April 2019. 1508595735, diakses 7 April 2019.

37
Jurnal komunikasi, Volume 14, Nomor 1, Oktober 2019, Hal 23-40

“KPI Sampaikan Delapan Isu Krusial Panjaitan, Hinca. (1999). Memasung


dalam Revisi UU Penyiaran”, Televisi: Kontroversi Regulasi
www.kpi.go.id, 12 Juli 2012, Penyiaran di Era Orde Baru.
http://www.kpi.go.id/index.php/i Jakarta: Institut Studi Arus
d/umum/30652-kpi-sampaikan- Informasi.
delapan-isu-krusial-dalam-revisi-
uu-penyiaran, diakses 7 April __________ dan Cahaya Sinaga, eds.
2019. 2000. Penyiaran 2000: Aspek
Regulasi dan Kebijakan.
“KPI Sampaikan Masukan tentang RUU Prosiding Seminar. Jakarta:
Penyiaran”, www.kpi.go.id.23 Internews Indonesia.
Maret 2017,
http://www.kpi.go.id/index.php/i “Pandangan Hukum KPI atas Rencana
d/umum/38-dalam-negeri/33852- Aksi Korporasi PT INDOSIAR
kpi-sampaikan-masukan-tentang- KARYA MEDIA TBK oleh PT
ruu-penyiaran, diakses 26 Maret ELANG MAHKOTA TEKNOLOGI
2017. TBK”, www.kpi.go.id, 7 Juni 2011,
http://www.kpi.go.id/index.php/i
Masduki. (2007). Regulasi Penyiaran: d/siaran-pers/3038-pandangan-
Dari Otoriter ke Liberal. hukum-kpi-atas-rencana-aksi-
Yogyakarta: LKiS. korporasi-pt-indosiar-karya-
media-tbk-oleh-pt-elang-mahkota-
Mufid, Muhammad. (2007). Komunikasi teknologi-tbk, diakses 7 April 2019.
dan Regulasi Penyiaran. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group. “Revisi UU Penyiaran Disebut Akan
Perkuat Kewenangan KPI”,
Mutmainnah, Nina. (2015). “Kontrol www.cnnindonesia.com, 30
Pemerintah dalam Sistem Media Januari 2017, https://www.
Penyiaran: Studi Ekonomi Politik cnnindonesia.com/nasional/2017
tentang Upaya Pemerintah 0130234131-20-190159/revisi-uu-
Mengembalikan dan Menegakkan penyiaran-disebut-akan-perkuat-
Kewenangannya dalam Peraturan kewenangan-kpi, diakses 7 April
Perundangan di Bidang Penyiaran. 2019.
Disertasi Program S3 Ilmu
Komunikasi UI. “Revisi UU Penyiaran, Lembaga
Penyiaran Raksasa Diduga
Mufid, Muhammad. (2007). Komunikasi Bermain”, 12 Oktober 2017,
dan Regulasi Penyiaran. Jakarta: https://nasional.tempo.co/read/10
Kencana Prenada Media Group. 24017/revisi-uu-penyiaran-
lembaga-penyiaran-raksasa-
Nugroho, Yanuar, Siregar, dan Shita diduga-bermain, diakses 7 April
Laksmi. (2012). Memetakan 2019.
Kebijakan Media di Indonesia
(Edisi Bahasa Indonesia). McQuail, Denis. (1994). McQuail’s Mass
Laporan. Bermedia, Communication Theory. London:
Memberdayakan Masyarakat: Sage Publications.
Memahami kebijakan dan
tatakelola media di Indonesia Rahayu, dkk. (2015). Menegakkan
melalui kacamata hak warga Kedaulatan Telekomunikasi dan
negara. Kerjasama riset antara Penyiaran di Indonesia.
Centre for Innovation Policy and Yogyakarta: Pr2Media dan
Governance dan HIVOS Kantor Yayasan TIFA.
Regional Asia Tenggara, didanai
oleh Ford Foundation. Jakarta:
CIPG dan HIVOS.
38
Nina Mutmainnah, Upaya Pemerintah Mempertahankan Posisi Sebagai Regulator Utama
Penyiaran di Indonesia

“Revisi UU Penyiaran Dianggap Alami Sudibyo, Agus, ed. (2014). SBY dan
Kemunduran, Ini Alasannya”, Kebebasan Pers: Testimoni
www.kompas.com, 21 April 2016, Komunitas Media. Jakarta:
https://nasional.kompas.com/rea Persatuan Wartawan Indonesia
d/2016/04/21/22461921/Revisi. (PWI).
UU.Penyiaran.Dianggap.Alami.Ke
munduran.Ini.Alasannya, diakses _________. (2009). Kebebasan Semu:
7 April 2019. Penjajahan Baru di Jagat Media.
Jakarta: Kompas.
Rianto, Puji, et.al. (2014). Kepemilikan
dan Intervensi Siaran: _____________. (2004). Ekonomi
Perampasan hak Publik, Politik Media Penyiaran.
Dominasi, dan Bahaya Media di Yogyakarta: LKiS dan ISAI.
Tangan Segelintir Orang.
Yogyakarta: PR2Media dan Triputra, Pinckey. (2005). “Dilema
Yayasan TIFA. Industri Penyiaran di Indonesia:
Studi tentang Neoliberisme di Era
__________. (2012a). Digitalisasi Orde Baru dan Reformasi”.
Televisi di Indonesia: Ekonomi Disertasi Bidang Ilmu Komunikasi
Politik, Peta Persoalan, dan Program Pascasarjana FISIP UI.
Rekomendasi Kebijakan. “Undang-Undang Penyiaran yang
Yogyakarta: PR2Media dan Baru Harus Mengutamakan
Yayasan TIFA. Kepentingan Publik”,
www.kpi.go.id, 14 Juli 2017,
__________. (2012b). Dominasi TV http://www.kpi.go.id/index.php/i
Swasta (Nasional): Tergerusnya d/umum/38-dalam-negeri/34029-
Keberagaman Isi dan undang-undang-penyiaran-yang-
Kepemilikan. Yogyakarta: baru-harus-mengutamakan-
PR2Media dan Yayasan TIFA. kepentingan-publik, diakses 7 April
2019.
“Rudiantara: Digitalisasi Faktor Revisi UU
Penyiaran”, www.beritasatu.com, “Urgensi Revisi UU Penyiaran
2 April 2018, Dipersoalkan”,
https://id.beritasatu.com/home/r www.hukumonline.com, 19
udiantara-digitalisasi-faktor- Pebruari 2010, https://www.
revisi-uu-penyiaran/173924, hukumonline.com/berita/baca/lt4
diakses 9 April 2019. b7e550d5701e/revisi-uu-
penyiaran, diakses 6 April 2019.
Siregar, Amir Effendi. (2014). Mengawal
Demokratisasi Media: Menolak Zelezny, John D. (2011). Communications
Konsentrasi, Membangun Law: Liberties, Restraints, and the
Keberagaman. Jakarta: Kompas. Modern Media. Boston:
Wadsworth.
"Sembilan Poin Keberatan KNRP pada
Draf Revisi UU Penyiaran", 29 -------------“MK Pangkas Kewenangan
Desember 2016, https://tirto.id/ Regulasi Komisi Penyiaran
sembilan-poin-keberatan-knrp- Indonesia”,
pada-draf-revisi-uu-penyiaran- www.hukumonline.com, 28 Juli
ccMX, diakses 6 April 2019. 2004,
https://www.hukumonline.com/be
rita/baca/hol10830/mk-pangkas-
kewenangan-regulasi-komisi-
penyiaran-indonesia/.

39
Jurnal komunikasi, Volume 14, Nomor 1, Oktober 2019, Hal 23-40

40

You might also like