You are on page 1of 24

BAB 2.

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka


Tinjauan pustaka berkaitan dengan masalah, kajian, dan hasil penelitian
terdahulu. Ditinjau dari hubungan penelitian yang akan dilakukan, penelitian
terdahulu menjadi sumber kepustakaan. Penelitian tersebut dapat memberikan
dasar pemikiran baru. Ide-ide yang muncul dari penemuan sebelumnya akan
menjadi sumber infomasi yang bermanfaat karena terdapat konsep-konsep penting
yang terkandung di dalam suatu penelitian terdahulu.
Penelitian sebelumnya berfungsi sebagai tolak ukur bagi peneliti agar tidak
memiliki kesamaan penelitian. Tujuan adanya penelitian terdahulu yaitu untuk
mengembangkan ilmu dari penelitian sebelumnya, khususnya pada ilmu bahasa,
karena bahasa memiliki banyak unsur-unsur yang berkaitan, begitu pula dengan
penelitian sebelumnya yang mengalami perbaruan pada penelitian selanjutnya.
Kemungkinan suatu penelitian akan menjadi sepaham atau dapat bertolak
belakang dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.
Penelitian yang pertama dilakukan oleh Rasidi (2014), “Kesantunan
Imperatif Dalam Lingkungan Keluarga Masyarakat Madura Di Kecamatan
Sumbermalang Kabupaten Situbondo”. Rasidi menerapkan kajian pragmatik
sebagai pedoman penelitian yang berfungsi sebagai bukti nyata keberadaan wujud
tuturan imperatif dan kesantunan dalam masyarakat terutama pada lingkungan
keluarga etnik Madura. Dalam mengungkap suatu makna imperatif dapat
menggunakan tiga tuturan yaitu, (1) tuturan imperatif yang meliputi tindak
imperatif suruhan, imperatif ajakan, imperatif permintaan dan imperatif larangan
(2) tuturan interogatif yang terdiri dari tuturan interogatif suruhan, interogatif
ajakan, interogatif permintaan (3) tuturan deklaratif dibagi menjadi, deklaratif
ajakan, deklaratif suruhan, deklaratif permintaan. Tuturan deklaratif merupakan
tuturan yang baik dalam mengungkapkan makna imperatif karena dianggap lebih
santun dan tidak menyinggung perasaan lawan tutur. Dalam proses penyampaian
tutur deklaratif cenderung tidak berterus terang atau basa-basi sebagai kunci
2

utama proses bertutur. Sedangkan tutur imperatif merupakan tuturan yang tidak
baik atau tidak santun, karena proses penyampaian tuturan secara langsung atau
terus terang. Jika dibandingkan dengan deklaratif dan interogatif, imperatif
merupakan tuturan yang memiliki sifat paling tidak sopan. Partikel-partikel yang
dapat digunakan untuk mengukur kesantunan imperatif yaitu penggunaan partikel
yȃh, ra dan ko. Ketiga partikel memiliki tingkat kesantunan seperti partikel yȃh
memiliki kesantunan yang lebih baik jika dibandingkan dengan partikel ra dan ko,
sebab partikel yȃh lebih halus dalam tuturan karena cenderung menggunakan nada
rendah. Berbeda dengan partikel ra dan ko yang tuturannya menggunakan nada
tinggi, sehingga kedua partikel tersebut dianggap tidak santun. Pada penelitian ini
memiliki kemiripan dan perbedaan, kemiripan penelitian terletak pada kajian yang
digunakan yaitu kesantunan imperatif. Perbedaan terletak pada objek tuturan,
Rasidi memilih lingkup keluarga sebagai objek penelitian, sedangkan penelitian
ini memiliki objek tuturan masyarakat etnik Madura dalam interaksi jual beli di
pasar ikan di Desa Kota Kulon Kecamatan Bondowoso.
Laporan penelitian Saputra dkk. (2014), “Kesantunan Imperatif Tuturan
Guru untuk Memotivasi Siswa dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas
VII SMP Negeri 1 Singaraja”, menjelaskan teknik motivasi yang diterapkan oleh
guru, wujud tutur imperatif dalam memotivasi siswa dan tingkat kesantunan
imperatif guru. Proses pembelajaran di SMP Negeri 1 Singaraja terdapat teknik
motivasi pernyataan penghargaan secara verbal, memanfaatkan kewibawaan guru
dengan mengkondisikan pada waktu yang tepat, penggunaan materi yang dikenal
siswa sebagai media pembelajaran, mengembangkan persaingan pada diri sendiri,
meyakinkan siswa melalui kesepakatan dengan memberi kesempatan guru
menunjukkan kemampuannya di depan umum. Memacu siswa untuk belajar dari
hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya dan menjadikan nilai ulangan sebagai
tolak ukur suatu keberhasilan. Kalimat imperatif yang muncul dalam penelitian
tersebut yaitu wujud imperatif permintaan, bujukan, persilaan, ajakan, larangan,
mengizinkan, suruhan, dan himbauan. Kesantunan yang terkandung dalam
memotivasi siswa sebagian besar guru menggunakan tuturan yang santun dan
penggunaan tuturan tidak santun jarang sekali dimunculkan.
3

Laporan penelitian berjudul “Penanda Kalimat Negatif Imperatif Bahasa


Madura”, Sofyan (1996) mendeskripsikan bentuk konstituen linguistik yang
digunakan dalam penanda kalimat negatif imperatif dalam Bahasa Madura yang
ditinjau melalui ciri morfologis, ciri sintaksis dan ciri semantik. Penggunaan
konstituen yang sering kali digunakan dalam Bahasa Madura untuk menentukan
bentuk penanda negatif imperatif yaitu konstitue jhaq ‘jangan’. Konstituen jhaq
yang berperan sebagai penanda kalimat imperatif tidak pernah mengalami proses
morfologis, dan pengggunaan konstituen jhaq selalu berdiri sebagai morfem
bebas. Pemunculan jhaq sering muncul pada kalimat aktif transitif, aktif intransitif
dan aktif pasif. Terdapat empat jenis kata yang mengikuti konstituen jhaq yaitu
verba, adjektiva, adverbia, dan nomina. Sebagai konstituen jhaq dalam
peranannya hanya dapat digunakan sebagai predikat dan keterangan, sehingga
tidak dapat digunakan sebagai pendahulu subjek dan objek.
Perbedaan penelitian terdapat pada pendekatan yang digunakan. Jika
penelitian sebelumnya menggunakan pendekatan pragmatik, dalam penelitian ini
peneliti menggunakan pendekatan sosiopragmatik karena ditinjau dari konteks
situasional yang kemudian dipadukan pada konteks kultural dalam tuturan
masyarakat berbahasa. Fokus penelitian ini terdapat pada tuturan yang digunakan
oleh masyarakat pasar untuk menyatakan tindak imperatif. Kesamaan penelitian
ini dengan penelitian sebelumnya yaitu terdapat pada objek penelitian berupa
kesantunan imperatif.

2.2 Landasan Teori


Landasan teori berperan sebagai acuan dan pedoman dalam mengungkap
masalah. Beberapa teori pendukung yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi
bahasa dan fungsi bahasa, masyarakat tutur, pemilihan kode tutur, peristiwa tutur,
tindak tutur, konteks, kesantunan bertutur, kalimat perintah dan penerapan
kesantunan bahasa (sosiopragmatik). Berikut paparan teori yang menjadi pedoman
dalam penelitian ini.
4

2.2.1 Sosiolinguistik
Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan
linguistik, sosiologi merupakan kajian yang objetif dan ilmiah mengenai manusia
yang ada di dalam masyarakat dan ilmiah mengenai manusia di dalam
masyarakat. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa,
atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajian.Dengan demikian,
secara mudah dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu
antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan
bahasa itu di dalam masyarakat (Chaer dan Agustina, 2010: 2).
Sosiolinguistik dapat diterapkan dalam interaksi sosial di lingkungan
masyarakat. Penerapan sosiolinguistik tidak terlepas oleh aturan-aturan tertentu
yang menunjukkan bahwa bahasa merupakan alat komunikasi verbal manusia.
Sesuai dengan pendapat Chaer dan Agustina (2010: 7) yang mengatakan bahwa
sosiolinguistik akan memberikan pedoman bagi penutur pada saat berkomunikasi
dengan menunjukkan bahasa, ragam bahasa atau gaya bahasa yang akan
digunakan penutur kepada lawan tutur.

2.2.2 Bahasa dan Fungsi Bahasa


Bahasa adalah sebuah sistem, artinya, bahasa itu dibentuk oleh sejumlah
komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan (Chaer dan Agustina,
2010: 11). Menurut Anwar (1990:8), bahasa merupakan sebuah nilai-nilai dan
bukan terdiri dari butir-butir yang ditentukan nilainya oleh subtansi atau materi.
Pada umunya, bahasa mengandung tanda-tanda bersifat arbitrer yang dapat
diungkapkan secara lisan maupun berbentuk tulisan. Arbitrer merupakan sebuah
bayangan atau gambaran yang terekam jelas dalam benak dan memiliki makna.
Ditinjau secara mendalam, bahasa memiliki makna yang terkonsep, sehingga
bahasa memiliki kaidah-kaidah linguistik yang dapat digunakan sebagai pedoman
berbahasa. Dalam lingkup masyarakat berbahasa, bahasa memiliki fungsi sebagai
alat komunikasi yang berperan sebagai transmisi pesan pada lawan tutur. Sesuai
dengan ungkapan Pateda (1987:4), bahwa salah satu fungsi bahasa adalah sebagai
alat komunikasi.
5

2.2.3 Masyarakat Tutur


Kemampuan komunikatif dalam suatu kelompok atau wilayah tertentu
akan mewujudkan suatu persamaan dalam tuturan. Kemiripan tuturan merujuk
pada norma-norma yang berlaku dalam lingkup wilayah tersebut. Chaer dan
Agustina (2010:36) mengatakan bahwa kalau suatu kelompok orang atau suatu
masyarakat mempunyai verbal repertoir yang relatif sama serta mereka
mempunyai penilaian yang sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama
terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan dalam masyarakat itu,
maka dapat dikatakan kelompok itu atau masyarakat adalah sebuah masyarakat
tutur (inggris: speech community). Jadi, masyarakat tutur tidak hanya dapat dilihat
dari lingkup wilayah dan latar belakang budaya yang sama, namun kesamaan
bahasa dan norma-norma berlaku dalam suatu wilayah tersebut yang menjadi
salah satu ciri yang dimiliki masyarakat tutur.
Dilihat dari sempit dan luas verbal repetoirnya, dapat dibedakan adanya
dua macam masyarakat tutur, yaitu (1) masyarakat tutur yang repetoir
pemakaiannya lebih luas, dan menunjukkan verbal repetoir setiap penutur lebih
luas pula (2) masyarakat tutur yang sebagian anggotanya mempunyai pengalaman
sehari-hari dan aspirasi hidup yang sama, serta menunjukkan pemilihan wilayah
linguistik yang lebih sempit, termasuk juga perbedaan variasinya. Berdasarkan
verbal repetoir yang dimiliki oleh masyarakat, masyarakat bahasa dibedakan
menjadi tiga, yaitu; (a) masyarakat monolingual (satu bahasa), merupakan
masyarakat yang hanya mampu menguasai satu bahasa, (b) masyarakat bilingual
(dua bahasa) merupakan masyarakat yang telah mampu menguasi dua bahasa
dalam komunikasi, dan (c) masyarakat multilingual (lebih dari dua bahasa),
merupakan masyarakat yang mampu menguasai bahasa lebih dari dua bahasa,
Sofyan (2010:38).

2.2.4 Peristiwa Tutur


Rohmadi (2004:27) memaparkan bahwa peristiwa tutur merupakan satu
bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur
dengan satu pokok tuturan dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. `Peristiwa
6

tutur yang terjadi di pasar ikan tidak dapat lepas dari koteks, karena konteks
mengandung struktur yang saling berkaitan. Selain itu konteks memiliki manfaat
bagi lawan tutur untuk memahami dan menganalisis peristiwa tutur. Menurut
Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 2010:48) bahwa peristiwa tutur harus
memenuhi delapan komponen, yang bila huruf-huruf pertama digabungkan
menjadi akronim SPEAKING, kedelapan komponen tersebut sebagai berikut.
S: Setting and scene, berkenaan dengan waktu dan tempat tuturan berlangsung,
sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu atau situasi psikologis
pembicara.
P: Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara
dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan).
E: Ends: purpose and goal, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan.
A: Act sequence mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran.
K: Key mengacu pada nada, cara dan semangat yang terkandung dalam suatu
pesan yang ingin disampaikan.
I: Instrumentalities, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur
lisan, terlukis, melalui telegraf atau telepon.
N: Norm of imteraction and interpretation, mengacu pada norma atau aturan
dalam berinteraksi.
G: Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah,
doa, dan sebagainya.
Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa SPEAKING merupakan
komponen-komponen penentu suatu tuturan yang dapat menjadi peristiwa tutur.
Jika suatu peristiwa tutur tidak terlengkapi oleh komponen tersebut, maka tidak
dapat digolongkan dalam peristiwa tutur.

2.2. 5 Tindak Tutur


a. Pengertian Tindak Tutur
Proses komunikasi tidak terlepas dari dua unsur yang berbeda dalam satu
proses komunikasi, disebut demikian karena tindak tutur merupakan penerapan
ilmu berbahasa secara individual dan bersifat psikologis, tindak tutur mengacu
7

pada kemampuan penutur untuk menghasilkan sebuah tuturan dan tindakan.


Peristiwa tutur adalah proses tindak tutur yang melibatkan penutur dan lawan
tutur dan fokus pada pencapaian tujuan tutur. Tindak tutur (speech act) merupakan
gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungan ditentukan oleh
kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu (Chaer dan
Agustina, 2010:48).
Austin (dalam Chaer dan Agustina, 2010:53) mengatakan bahwa terdapat
tiga jenis tindakan yang dapat ditinjau secara pragmatis sebagai bentuk
perwujudan seorang penutur, yaitu tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi
(ilokutionary act), dan tindak perlokusi (perlokutionary act).
1) Tindak Lokusi
Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu dalam
arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat
dipahami. Misalnya, “Ibu guru berkata kepada saya agar saya membantunya”.
2) Tindak Ilokusi
Tindak ilokusi adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan
kalimat performatif yang eksplisit. Tindak tutur ini biasanya berkenaan dengan
pemberian izin, mengucapkan terima kasih, menyusuh, menawarkan, dan
menjanjikan. Misalnya, “Ibu guru menyuruh saya agar segera berangkat”. Tindak
tutur ini mengandung makna yang memengaruhi lawan bicara. Tindak ilokusi sulit
untuk didefinisikan karena sebelumnya harus mempertimbangkan siapa penutur
dan lawan bicara.
3) Tindak Perlokusi
Tindak perlokusi adalah tindak tutur yang dimaksudkan untuk
mempengaruhi lawan tuturnya. Dapat dijelaskan pula bahwa tindak perlokusi
merupakan tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang lain
berdasarkan sikap dan perilaku non-linguistik dari lawan tutur. Misalnya, karena
adanya ucapan dokter (kepada pasien) “Mungkin ibu menderita penyakit jantung
koroner”, maka si pasien akan panik atau sedih. Ucapan dokter adalah tindak tutur
perlokusi. Dapat ditegaskan bahwa setiap tuturan dari seseorang penutur
8

memungkinkan mengandung lokusi, dan perlokusi saja. Namun tidak menutup


kemungkinan bahwa satu tuturan mendukung kedua atau ketiga-tiganya sekaligus.

b. Jenis Tindak Tutur


Wijana (dalam Rohmadi, 2004:33) menjelaskan bahwa tindak tutur dapat
dibedakan menjadi tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung, tindak
tutur literal dan tidak literal.
1) Tindak Tutur Langsung
Secara formal berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat
berita (deklaratif), kalimat tanya (interogative), dan kalimat perintah (imperatif).
Secara konvensional kalimat berita (deklaratif) digunakan untuk memberitahukan
sesuatu (informasi); kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu; dan kalimat
perintah untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaan, atau permohonan.
Apabila kalimat berita difungsikan secara konfensional untuk mengatakan
sesuatu, kalimat tanya untuk bertanya, dan kalimat perintah untuk menyuruh,
mengajak, memohon, dan sebagainya, maka akan terbentuk tindak tutur langsung
(direct speech). Sebagai contoh (7) “Yuli merawat ayahnya”, (8) “Siapa orang
itu?”, (9)”Ambilkan buku saya!”. Ketiga kalimat tersebut merupakan tindak tutur
langsung berupa kalimat berita, tanya, dan perintah.
2) Tindak Tutur Tidak Langsung
Tindak tutur langsung (indirect speech act) ialah tindak tutur untuk
memerintah seseorang melakukan sesuatu secara tidak langsung. Tindakan ini
dilakukan dengan memanfaatkan kalimat berita atau kalimat tanya agar orang
yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah. Misalnya, seorang ibu menyuruh
anaknya mengambilkan sapu, diungkapkan dengan “Tari, sapunya dimana?”.
Kalimat tersebut selain untuk bertanya sekaligus memerintah anaknya untuk
mengambilkan sapu.
9

2.2.1 Pragmatik
Dalam memaparkan pengertian pragmatik, Sudaryat (2011:121)
menyatakan bahwa pragmatik menelaah hubungan tindak bahasa dengan konteks
tempat, waktu, keadaan pemakainya, dan hubungan makna dengan aneka situasi
ujaran. Pendapat serupa diungkap oleh Rahardi (2005:50), pragmatik mengkaji
maksud penutur dalam menuturkan sebuah satuan lingual tertentu pada sebuah
bahasa. Leech (1993: 8) mengatakan bahwa pragmatik adalah studi tentang makna
dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations).

2.2.2.1 Konteks
Konteks adalah suatu yang terjadi sebagai pendukung makna yang
terkandung dalam tuturan, dan mengandung sebuah informasi serta arti yang
berfungsi melatarbelakangi peristiwa tuturan. Leech (1993:20) mengatakan bahwa
konteks adalah suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh
penutur dan mitra tutur dan membantu mitra tutur menafsirkan makna tuturan.
Pendapat senada dijelaskan oleh Rohmadi (2004:24) mengatakan bahwa konteks
pada hakikatnya adalah semua latar belakang pengetahuan (background
knowledge) yang dipahami bersama oleh penutur dan lawan tutur. Kedua pendapat
tersebut sama-sama mengungkapkan latar belakang penutur dan lawan tutur, hal
tersebut dimaksudkan sebagai gambaran suasana peristiwa tutur.
Rahardi (2009:4-5) mengatakan bahwa konteks yang lebih banyak
diperhitungkan dalam kajian pragmatik itu lebih bercirikan konteks situasi tutur,
yakni yang menunjuk pada lokasi dan waktu, bukan pada etinitas sosial dan
kulturnya, sekalipun dalam hal-hal ini tertentu pelibatan konteks sosial dan
konteks kultur tidak dapat dihindarkan di dalam analisis pragmatik. Sebanyak
delapan ranah sosial (social dimain) akan dilibatkan di dalam melakukan kajian
pragmatik. Kedelapan macam ranah di dalam masyarakat itu secara berturutan
dapat disebutkan sebagai berikut: (a) ranah pendidikan, (b) ranah keagamaan, (c)
ranah kemasyarakatan, (d) ranah media, (e) ranah pemerintahan, (f) ranah
perkantoran, (g) ranah keluarga, (h) ranah tradisional bisnis. Entitas kebahasaan
yang berwujud imperatif itu tidak selamanya muncul dalam wadah-wadah konteks
yang bersifat sosial dan kultural seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
10

2.2.2.2 Skala Kesantunan


Sebagai alat ukur kesantunan linguis, Leech (1993:194-200) mengajukan
teori skala-skala pragmatik, yang berfungsi untuk mengetahui peningkatan
kesantunan. Skala-skala tersebut yaitu skala untung-rugi, skala kemanasukaan,
skala ketidaklangsungan, skala kekuasaan, dan skala jarak sosial.
1) Skala untung-rugi, pada skala ini diperkirakan keuntungan atau kerugian
tindakan tuturan bagi penutur atau petutur. Sebagai contoh berikut.
(11) “apakah anda mau memakai bor listrik saya?” kerugian lawan kurang
(12) “berikan saya surat kabar itu.” tutur santun

keuntungan bagi lebih


lawan tutur santun

2) Skala kemanasukaan, pada skala ini mengurut ilokusi-ilokusi menurut jumlah


pilihan yang diberikan oleh penutur kepada petutur. Sebagai contoh berikut.

(15) “apakah kamu ingin saya membersihkan lebih kurang


jendela?” langsung santun
(16) “apakahkamu keberatan membersihkan
jendela?”
lebih
lebih tak santun
langsung

3) Skala ketidaklangsungan, dari sudut pandang penutur, yaitu dengan


panjangnya inferensial yang dibutuhkan oleh makna untuk sampai ke daya.
Dalam pengertian lain bahwa skala ketidaklangsungan mengacu pada proses
tersampainya daya. Jika suatu tuturan di sampaikan secara langsung akan
menjadikan tuturan tersebut tidak santun, sebaliknya jika tuturan disampaikan
secara tidak langsung akan menjadikan tuturan tersebut memiliki sifat santun.
(19) “Jim memohon dengan sangat agar saya lebih kurang
meminjamkan sepeda saya kepadanya.” langsung santun
(20) “Jim memohon dengan sangat agar saya
11

meminjamkan sepeda saya kepadanya.”


(21) “Jim menuntut agar saya meminjamkan sepeda
saya kepadanya.”

lebih tak lebih


langsung santun
4) Skala kekuasaan atau otoritas, dari sudut pandang hubungan status sosial
antara penutur dan lawan tutur. Penyampaian tuturan disesuaikan oleh status
sosial, apabila dalam suatu peristiwa tutur terdapat perbedaan status sosial,
maka akan muncul kesantunan. Semakin tinggi status sosial seseorang
kemungkinan besar muncul kesantunan dalam tuturan, sebaliknya, apabila
status sosial sama maka kemunculan kesantunan lebih kecil.
5) Skala jarak sosial mengacu pada derajat rasa hormat yang ada pada sebuah
situasi ujar tertentu sebagian besar tergantung pada beberapa faktor yang
relatif permanen yaitu faktor-faktor status atau kedudukan, usia, derajat
keakraban, dan sebagainya.

2.2.2.3 Wujud Pragmatik Imperatif


Kalimat perintah (imperatif) adalah kalimat yang berfungsi untuk
memerintah mitra tutur, artinya penutur mengharap tanggapan yang berupa
tindakan dari orang yang diajak bicara (Rohmadi, 2004:43). Sependapat dengan
pendapat Rohmadi, Rahardi (2005:79) mengatakan bahwa kalimat imperatif
mengandung maksud memerintah atau meminta agar mitra tutur melakukan suatu
sebagaimana diinginkan si penutur.
Dalam penerapannya kalimat imperatif memiliki dua wujud yaitu secara
formal dan nonformal. Secara singkat, kalimat imperatif bahasa Indonesia dapat
diklasifikasi secara formal menjadi lima macam, yakni (1) kalimat imperatif biasa,
(2) kalimat imperatif permintaan, (3) kalimat imperatif pemberian izin, (4) kalimat
imperatif ajakan, dan (5) kalimat imperatif suruhan. Berbeda dengan wujud
formal, wujud pragmatik imperatif dalam bahasa Indonesia tidak selalu berupa
kontruksi imperatif. Kontruksi yang digunakan dapat berupa kontruksi imperatif
dan kontruksi nonimperatif (Rahardi, 2005:73-93).
12

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rahardi (2009:87-93)


menghasilkan wujud sosiopragmatik imperatif dan wujud kesantunan
sosiopragmatik imperatif bahasa Indonesia dalam ranah sosial. delapan ranah
yang dapat digunakan untuk memudahkan penemuan data untuk kajian
sosiopragmatik. Adapun ranah-ranah yang ditetapkan dalam kajian
sosiopragmatik adalah sebagai berikut: (1) ranah pendidikan, (2) ranah
perkantoran, (3) ranah kemasyarakatan, (4) ranah pemerintahan, (5) ranah
tradisional bisnis, (6) ranah keagamaan, (7) ranah kekeluargaan, dan (8) ranah
media.
Terdapat tujuh belas macam makna pragmatik imperatif dalam bahasa
Indonesia, yaitu tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif perintah,
imperatif suruhan, imperatif permintaan, imperatif permohonan, imperatif
desakan, imperatif bujukan, imperatif imbauan, imperatif persilaan, imperatif
ajakan, imperatif izin, imperatif mengizinkan, imperatif larangan, imperatif
ajakan, imperatif umpatan, imperatif pemberian ucapan selamat, imperatif
anjuran, dan imperatif ngelulu (Rahardi, 2005:93-117). Berikut penjelasan
mengenai wujud imperatif secara jelas.
1) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Perintah
Imperatif dapat diterapkan dengan menggunakan imperatif langsung dan
imperatif tidak langsung. Imperatif langsung mengandung makna perintah yang
dapat dilihat, sedangkan imperatif tidak langsung atau nonimperatif hanya dapat
mengetahui makna pragmatiknya melalui konteks situasi tutur yang
melatarbelakangi dan mewadahinya. Contoh tuturan:
(22) “Monik, lihat!”
Informasi Indeksal:
Tuturan yang disampaikan oleh pacar Monik ketika ia melihat ada sebuah
mobil yang menyelonong ke arahnya pada saat mereka berdua berjalan di
sebuah lorong kota.
(23) “Jika Nawaksara akan diseminarkan, silahkan.”
Informasi Indeksal:
Tuturan seorang kepala negara kepada masyarakat umum di dalam acara
televisi saat isu akan diseminarkannya pidato Nawaksara semakin merebak.
13

2) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Suruhan


Makna pragmatik imperatif suruhan itu tidak selalu diungkapkan dengan
kontruksi imperatif, namu dapat diungkapkan dengan bentuk tuturan deklaratif
dan interogatif, seperti dapat dilihat pada contoh tuturan berikut.
(24) Direktur : “Ah, panas betul ruang sekretaris derektur yang di atas
itu.”
Pembantu derektur:”Baik Pak, nanti saya sampaikan kepada petugas yang
bisa memasang kipas angin”

Informasi Indeksal:
Dituturkan oleh seorang direktur kepada pembantu direktur pada saat
keduanya meninjau ruang-ruang kerja yang baru saja selesai dibangun.

3) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Permintaan


Tuturan imperatif yang mengandung makna permintaan lazimnya terdapat
ungkapan penanda kesantunan tolong atau frasa lain yang bermakna minta.
Makna imperatif permintaan yang lebih halus diwujudkan dengan penanda
kesantunan mohon. Makna imperatif pragmatik imperatif permintaan banyak
diungkapkan dengan kontruksi nonimperatif. Contoh tuturan sebagai berikut.
(25) Totok : “Tolong pamitkan, Mbak!”
Narsih : “Iya, Tok. Selamat Jalan, ya!”
Informasi Indeksal:
Tuturan ini disampaikan oleh seorang kepada sahabatnya pada saat ia akan
meninggalkan rumahnya pergi ke kota karena ada keperluan yang tidak dapat
ditinggalkan. Pada saat yang sama, sebenarnya, ia harus menghadiri sebuah
acara rapat karang taruna di desanya.
(26) Dosen A : “Buku yang kau pinjam kemarin sebenarnya saya belum
membaca tuntas, lho.”
Dosen B : “O,ya, Pak. Nanti siang kami mau sowan ke rumah Bapak.”
Informasi Indeksal:
Tuturan ini disampaikan oleh seorang dosen yang sudah cukup senior dengan
rekannya yang masih junior pada saat mereka berada di ruang perpustakaan
kampus.
14

4) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Permohonan


Secara struktural, imperatif yang mengandung makna permohonan,
biasanya, ditandai dengan ungkapan penanda kesantunan mohon. Selain ditandai
dengan hadirnya penanda kesantunan itu, partikel –lah juga lazim digunakan
untuk memperhalus kadar tuntutan imperatif permohonan. Makna imperatif
permohonan tidak selalu dituangkan dalam kontruksi imperatif. Contoh tuturan
sebagi berikut.
(27) “Mohon kurangi kecepatan, janagn menikung tajam!”
Informasi Indeksal:
Bunyi tuturan peringatan pada sebuah jalan yang berkelok-kelok di daerah
Priangan Jawa Barat
(28) “Tuhan, Engkau tahu segala kebutuhan dan permasalahan kami. Engkau
pasti tidak pernah akan menegakan kami. Amin”
Informasi Indeksal:
Tuturan ini diungkapkan oleh seseorang yangs edang berdoa do sebuah
tempat perziarahan di Yogyakarta.

5) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Desakan


Imperatif dengan makan desakan menggunakan kata ayo atau mari
sebagai pemarkah makna. Selain itu, kadang-kadang digunakan juga kata harap
atau harus untuk memberi penekanan maksud desakan tersebut. Intonasi yang
digunakan untuk menuturkan imperatif jenis ini, lazimnya, cenderung lebih keras
dibandingkan dengan intonasi pada tuturan imperatif yang lainnya. Tipe imperatif
tersebut itudapat dilihatpada tuturan-tuturan berikut.
(29) Kresna kepada Harjuna : “Ayo, Harjuna segera lepaskan pusakamu sekarang
juga! Nanti keduluan kakakmu, Karna.”
Informasi Indeksal:
Tuturan diungkapkan oleh Kresna kepada Harjuna pada saat mereka berada di
medan laga bertempur melawan Karna dan Salya dalam sebuah cerita
pewayangan.
(30) Seorang suami kepada dokter: “Dokter, kapan istriku bisa segera keluar dari
Ruang ICU dan pindah ke bangsal?”
Informasi Indeksal:
15

Tuturan ini merupakan cuplikan percakapan yang terjadi di sebuah ruang


dokter di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta antara seorang Bapak dengan
dokter.

6) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Bujukan


Imperatif yang bermakna bujukan di dalam bahasa Indonesia, biasanya,
diungkapkan dengan penanda kesantunan ayo atau mari. Selain itu, dapat juga
imperatif tersebut diungkapkan dengan penanda kasantunan tolong. Maksud dan
makna pragmatik imperatif bujukan dapat diwujudkan dengan tuturan yang
berbentuk deklaratif ataupun interogatif. Dapat dilihat pada contoh tuturan
berikut.
(31) Bapak kepada anak: “Kalau kamu mau masuk ASMI pasti nanti kami cepat
dapat pekerjaan.’
Informasi Indeksal:
Tuturan ini disampaikan oleh seorang ayah kepada anaknya pada saat ia
kebingungan memilih dan menentukan perguruan tinggi setelah ia
menyelesaikan SMU.
(32)Direktur kepada dosen yang akan diminta melaksanakan tugas belajar ke luar
negeri : “Luar negeri memang gudangnya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Besok pulang dari sana pasti Anda sudah menajdi orang.”
Informasi Indeksal:
Tuturan ini disampaikan oleh seorang pemimpin perguruan tinggi pada saat
memberi penjelasan kepada para dosen yang akan mendapatkan tugas studi di
luar negeri.

7) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Imbauan


Imperatif yang mengandung makna imbuan, lazimnya, digunakan bersama
partikel –lah. Selain itu, imperatif jenis ini sering digunakan bersama dengan
ungkapan penanda kesantunan harapan dan mohon. Maksud atau makna
pragmatik imperatif jenis inid apat pula diwujudkan dengan bentuk-bentuk tuturan
nonimperatif. Dapat dilihat pada contoh tuturan berikut.
(33) “Jagalah kebersihan lingkungan!”
Informasi Indeksal:
Bunyi tuturan peringatan di sebuah taman wisata di kota Yogyakarta.
(34) Presiden: “Pramuak harus jadi pelopor Penghayatan Pancasila.”
16

Informasi Indeksal:
Tuturan ini disampaikan oleh seorang pimpinan negara kepada masyarakat
umum pada saat peringatan hari Pramuka, 14 Agustus,

8) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Persilaan


Imperatif persilaan dalam bahasa Indonesia, lazimnya, digunakan dengan
penanda kesantunan silahkan. Seringkali digunakan pula bentuk persilaan itu.
Makna pragmatik tuturan imperatif persilaan pada komunikasi keseharian dapat
ditemukan juga di dalam bentuk tuturan nonimperatif.
(35) Seorang pakar politik: “Kita memerlukan koalisi bersih.”
Informasi Indeksal:
Tuturan ini disampaiakn oleh seorang politikus, ditujukan kepada masyarakat
umum dan dilansir dalam sebuah media masa cetak nasional dan daerah.
(36) Antarpasien tua di rumah sakit: “Silahkan, silahkan! Nah, marilah kita
sekarang bersama-sama menengok taman apas aja yang ada di pekarangan di
dekat kamar mayat dan mendesak.”
Informasi Indeksal:
Tuturan ini terjadi di dalam rumah sakit, antarpasien yang sudah berusia
lanjut, keduanya sudah berhubungan dengan sangat baik.

9) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Ajakan


Imperatif dengan makna sjakan biasanya menggunakan penanda
kesantunana mari atau ayo. Kedua macam penanda kesantunan itu masing-masing
memiliki makna ajakan. Secara pragmatik, maksud imperatif ajakan, ternyata
tidak selalu diwujudkan dengan tuturan yang berbentuk imperatif. Contoh tuturan
sebagai berikut.
(37) Monik kepada tante: “Mari makan, Tante!”
Informasi Indeksal:
Tuturan ini terjadi dalam ruang makan pada sebuah keluarga, orang yang satu
mengajak orang yang lain untuk makan bersama.
(38) Suami kepada istri: “Bu...! Perut, nich. Sudah keroncongan dari tadi.”
Informasi Indeksal:
Tuturan yang disampaikan seorang suami kepada istrinya, sang suami
mengajaknyauntuk membeli makanan untuk makan malam.

10) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Izin


17

Imperatif dengan makna permintaan izin, biasanya, ditandai dengan


penggunaan ungkapan penanda kesantunan mari dan boleh. Secara pragmatik,
imperatif dengan maksud atau makna pragmatik permintaan izin dapat
diwujudkan dalam bentuk nonimperatif. Contoh tuturan sebagai berikut.
(39) Adik kepada kakak perempuan: “Mbak, mari saya bawakan tasnya!”
Informasi Indeksal:
Tuturan ini disampaikan oleh seorang adik kepada kakak perempuannya yang
bertemperamen keras, segala sesuatu akan dilakukan sendiri tanpa campur
tangan dan ketertiban orang lain.
(40) Sekretaris kepada direktur: “Sebenarnya, Pak. Saya ambil dulu notulesnya di
almari deket meja Bapak.”
Informasi Indeksal:
Tuturan ini disampaikan oleh seorang sekretaris kepada direkturnya yang saat
itu menanyakan hal tertentu yang pernah diputuskan di dalam rapat
sebelumnya.

11) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Mengizinkan


Imperatif yang bermakna mengizinkan, lazimnya, ditandai dengan
pemakaian penanda kesantunan silahkan. Secara pragmatik, imperatif dengan
maksud atau makna pragmatik mengizinkan sekalipun bukan berbentuk tuturan
imperatif. Contoh tuturan berikut.
(41) “Silahkan meroko di tempat ini!”
Informasi Indeksal:
Tuturan ini ditemukan di tempat tertentu yang khusus disediakan untuk para
perokok. Di lokasi itu orang tidak diperkenankan merokok selain di tempat
itu.
(42) “Menerima buangan tanah bekas bangunan”
Informasi Indeksal:
Bunyi sebuah tuturan pemberitahuan pada sebuah lokasipembuangan tanah
bekas bangunan.

12) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Larangan


Imperatif dengan makna larangan dalam bahasa Indonesia, biasanya,
ditandai oleh pemakaian kata jangan. Bentuk tuturan imperatif tidak selalu
berbentuk imperatif , melainkan dapat pula berupa tuturan bermacam-macam.
(43) Ishak kepada Satilawati: “Jangan berkata begitu Satilawati, hatiku bertambah
18

rusak!”
Informasi Indeksal:
Tuturan ini terjadi dalam perbincangan yang bersifat pribadi antara seorang
dengan orang yang lainya pada saat mereka bertemu di kantin perguruan
tinggi.
(44) “Masuk kebun dianggap pencuri!”
Informasi Indeksal:
Tulisan di taman/kebun sebuah rumah yang tidak boleh dimasuki oleh
seorang pemulung.

13) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Harapan


Imperatif yang menyatakan makna harapan, biasanya, ditunjukkan dengan
penanda kesantunan harap dan semoga. Kedua macam penanda kesantunan itu di
dalamnya mengandung makna harapan. Secara pragmatik imperatif yang
mengandung maksud harapan banyak ditemukan dalam komunikasi keseharian.
Maksud harapan itu, ternyata banyak yang diwujudkan di dalam tuturan
nonimperatif.
(45) “Harap tenang!”
Informasi Indeksal:
Bunyi tuturan peringatan pada salah satu tempat di dalam kampus perguruan
tinggi.
(46) “Dalam waktu dekat, Dewata Agung pasti akan datang menghampiri dan
menyelamatkan kita.”
Informasi Indeksal:
Tuturan ini dituturkan oleh seorang kepala keluarga di Bali kepada anggota
keluarganya yang sedang menderita kesulitan berat.

14) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Umpatan


Imperatif jenis ini relatif banyak ditentukan dalam pemakaian bahasa
Indonesia pada komunikasi keseharian. Secara pragmatik, imperatif yang
mengandung makan pragmatik umpatan dapat juga ditemukan dalam komunikasi
keseharian. Lazimnya, bentuk tuturan yang demikian bukan wujud imperatif,
melainkan non-imperatif.
(47) Si Gendut kepada sopir: “Kurang ajar kau! Jangan lancang, ya. Jangan bikin
tuan besar menjadi marah. Ayo belok!”
19

Informasi Indeksal:
Tuturan terjadi pada saat seorang sopir yang sedang berusaha menipu
penumpangnya bertengkar dengan si penumpang yang kebetulan sangat
pemberani dan tidak mau dikelabui.
(48) “Dasar ular, maunya pasti hanya enaknya saja!”
Informasi Indeksal:
Tuturan antarorang dewasa yang sedang saling bermusuhan pada saat mereka
bertengkar memasalahkan hal tertentu.

15) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Pemberian Ucapan


Selamat
Imperatif jenis ini cukup banyak ditemukan di dalam pemakaian bahasa
Indonesia sehari-hari. Telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia
bahwa dalam peristiwa-peristiwa tertentu, biasanya, anggota masyarakat bahasa
Indonesia saling menyampaiakan ucapan selamat atau ucapan selamat kepada
anggota masyarakat lain.Salam itu dapat berupa ucapan selamat.Imperatif yang
bermakna pragmatik pengucapan selamat itu banyak yang diucapkan dalam
tuturan non-imperatif seperti dapat dlihat pada tuturan berikut.
(49) Dosen A: “Dik, aku sudah jadi lulus ujian komprehensif kemarin.”
Informasi Indeksal:
Tuturan ini disampaikan oleh seorang dosen kepada teman akrabnya, juga
seorang dosen, yang barus aja lulus ujian komprehensif untuk rencana
disertasinya.
(50) Anak : “Bu...aku juara I”
Ibu : “Wah,...anakku pinter tenan.”
Informasi Indeksal:
Tuturan ini muncul pada saat sang anak pulang dri sekolah yang barus aja
menerima rapor dari gurunya.

16) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Anjuran


Imperatif yang mengandung makna anjuran, biasanya, ditandai dengan
penggunaan kata hendaknya dan sebaiknya. Imperatif yang bermakna pragmatik
anjuran itu mudah ditemukan di dalam komunikasi keseharian. Maksud atau
makna pragmatik imperatif itu dapat diwujudkan dengan tuturan nonimperatif.
(51) Orang tua kepada anak: “Sebaiknya uang ini kamu simpan saja di almari.”
20

Informasi Indeksal:
Tuturan disampaikan oleh Ibu kepada anakanya yang masih kecil. Ia baru saja
mendapatkan uang saku dari saudaranya.
(52) Ketua RT kepada warganya: “Apakah masih ada warga sini yang belum
mengurus status kependudukan?”
Informasi Indeksal:
Tuturan disampaikan oleh ketua RT kepada para warganya di dalam suatu
rapat RT.

17) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif “Ngelulu ”


Dalam bahasa Indonesia terdapat tuturan yang memiliki makna pragmatik
“ngelulu”. Kata “ngelulu” berasal dari bahasa Jawa, yang bermakan seperti
menyuruh mitra tutur melakukan sesuatu namuns ebenarnya yang dimaksud
adalah melarang melakukan sesuatu. Makna imperatif melarang, lazimnya
diungkap dengan penanda kesantunan jangan. Imperatif yang bermakna
“ngelulu” di dalam bahasa Indonesia lazimnya tidak diungkapkan dengan
penanda kesantunan itu melainkan berbentuk tuturan imperatif biasa. Berikut
contoh tuturan
(53) Ibu :” Makan saja semuanya biar ayahmu senang kalau nanti pulang
kerja!”
Anak : “Ah,...Ibu. Nanti benjut kepalaku!”
Informasi Indeksal:
Pertuturan anatara seoranga ibu dan anaknya yang senang makan banyak.
Kalau makan, ia sering lupa dengan anggota keluarga yang lain, demikian
pula dengan ayahnya yang biasanya pulang dari tempat kerja pada sore hari.
(54) Dosen kepada mahasiswa: “Teruskan saja menconteknya biar nanti dapay
nilai A!”
Informasi Indeksal:
Mahasiswa itu diam-diam sambil menyembunyikan buku catatannya seolah-
oleh tidak mendengar suara sang dosen yang sebenarnya sudah sejak lama
memperhatikannya.

2.2.2 Sosiopragmatik
Sosiopragmatik merupakan kajian yang digunakan untuk memahami
penggunaan bahasa manusia yang berkaitan dengan konteks. Konteks yang
dimaksud dapat mencakup dua hal, yakni konteks yang bersifat sosial dan konteks
21

yang bersifat sosiental (Rahardi, 2009:21). Sosiopragmatik pada hakikatnya juga


sangat berdekatan dengan konteks sosial dan konteks sosietal. Konteks sosial
berdekatan dengan relasi warga masyarakat secara horizontal, sedangkan konteks
sosietal berkaitan dengan relasi masyarakat secara vertikal. Maka, dapat pula
dikatakan bahwa dalam kerangka power and solidarity, jenis konteks yang
pertama berdekatan dengan hal-ihwal power atau kekuasaan, sedangkan yang
kedua berdekatan dengan hal-ihwal solidarity atau solidaritas (Rahardi, 2009:21).
Sosiopragmatik didasarkan pada kenyataan bahwa prinsip kerjasama dan
prinsip sopan santunberoperasi secara berbeda dalam kebudayaan-kebudayaan dan
masyarakat bahasa yang berbeda, dalam kelas-kelas sosial yang berbeda dan
sebagainya (Leech, 1993:15). Kajian Sosiopragmatik itu secara konkrit
merupakan kajian terhadap entitas kebahasaan yang menggabungkan ancangan
penulisan sosiolinguistik dan ancangan pragmatik dalam wadah dan dalam
lingkup kebudayaan atau jangkauan kultur tertentu (Leech, 1993: 4).

2.2.3 Prinsip Kesantunan


Prinsip kesantunan pada buku pragmatik Leech dikenal sebagai prinsip
kerjasama yang mengacu pada konteks kerjasama antara penutur dan lawan tutur.
Leech (1993:161) mengatakan bahwa kesantunan merupakan mata rantai yang
hilang antara prinsip kerjasama dengan masalah bagaimana mengaitkan daya dan
makna dalam penerapan kesantunan dapat dilihat dari sudut pandang petutur dan
bukan memfokuskan pada pandangan penutur. Pernyataan tersebut menunjukkan
bahwa perilaku linguistik mengandung tujuan yang berfungsi sebagai alat yang
digunakan untuk melakukan kesepakatan beramah-tamah antara penutur dan
petutur. Leech (1993:206-20) mengatakan bahwa dalam prinsip kesantunan
terdapat enam maksim, yaitu maksim kearifan, kedermawanan, kerendahan hati,
kesepakatan, dan simpati.
a. Maksim kearifan (tact maxim), yaitu buatlah kerugian orang lain sekecil
mungkin dan buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin.
b. Maksis kedermawanan (generosity maxim), yaitu buatlah keuntungan diri
sendiri sekecil mungkin dan buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin.
22

c. Maksim pujian (Approbation maxim), yaitu kecamlah orang lain sedikit


mungkin dan pujilah orang lain sebanyak mungkin.
d. Maksim kerendahan hati (Modesty maxim), pujilah diri sendiri sedikit
mungkin dan kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin.
e. Maksim Kesepakatan (Agreement maxim), yaitu mengusahakan agar
kesepakatan antara diri dan orang lain terjadi sedikit mungkin dan usahakan
agar kesepakatan anatara diri dengan orang lain terjadi sebanyak mungkin.
f. Maksim simpati, yaitu kurangilah rasa antipati anatara diri dengan orang lain
hingga sekecil mungkin dan tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya
antara diri dan orang lain.

2.2.4 Pemilihan Kode Tutur


Pada saat berbicara seorang penutur dapat menentukan bahasa yang akan
digunakan. Dalam masyarakat tutur terdapat kode berupa sistem tingkat tutur.
Penggunaan kode tersebut sering digunakan oleh masyarakat bilingual dan
diglosik. Penggunaan kode berfungsi sebagai alat interaksi yang berbentuk
variasi-variasi bahasa yang muncul dalam masyarakat. Bentuk kode dalam
masyarakat multilingual dan bilingual berbentuk kompleks. Rahardi (2001:52)
mengatakan bahwa secara garis besar dapat dikatakan bahwa kode atau varian
bahasa dapat dibedakan menjadi tiga yakni dialek, tingkat tutur, dan ragam.
Dialek merupakan varian bahasa yang digunakan oleh penutur yang ditinjau dari
letak geografis, sosial, usia, jenis kelamin, aliran dan suku. Tingkat tutur merupa
kan kode bahasa yang muncul dalam interaksi masyarakat yang faktor
penentuannya terletak pada penutur dan mitra tutur. Penggunaan tingkat tutur
ditujukan untuk menghargai lawan tutur yang memiliki status sosial lebih tinggi
dari penutur. Sedangkan ragam dapat dibedakan peranannya melalaui ragam
register, ragam suasana, dan ragam komunikasi.
Kode bahasa yang menjadi bahasan dalam penelitian ini mencakup empat
wujud kode, yaitu kode bahasa, kode tingkat tutur, kode dialek, dan kode ragam.
Bentuk bahasa yang terdapat dalam penelitian ini berupa kode Bahasa Madura dan
non-Madura. Kode Bahasa Madura tidak terlepas oleh tingkat tutur. Tingkat tutur
23

dalam Bahasa Madura disebut ondhȃghȃn bhȃsȃ. Dalam menggunakan


ondhȃghȃn bhȃsȃ penutur dapat memperhatikan adanya perbedaaan status sosial
lawan tutur. Sofyan (2016:15) mengatakan bahwa pemilihan tingkat tutur dalam
bahasa BM ditentukan oleh faktor-faktor: (1) situasi pembicara, yaitu tingkat
keformalan situasi pembicara yang sedang berlangsung; (2) status sosial
pembicara; (3) hubungan personal antarpembicara, yaitu tingkat keakraban
hubungan anatara penutur dengan lawan tutur; (4) faktor usia, yaitu tingkat
perbedaan usia antara penutur dengan lawan tutur; dan (5) hubungan kekerabatan.

2.2.6 Kalimat Imperatif Bahasa Madura


Sofyan et al (2008:176) mengatakan bahwa dalam Bahasa Madura,
kalimat negatif imperatif di samping ditandai oleh konstituen suprasegmental
yaitu nada naik (/), kalimat imperatif ditandai oleh konsituen segmental berupa
morfem {-aghi} dan pungtuasi atau tanda seru (!). Dalam Bahasa Madura
penggunn kalimat imperatif dapat digunakan dalam betuk aktif dan pasif.
Contoh: (36) Kala’ aghi! “ambilkan!”
(37) Maѐnaghi! “mainkan!”
(38) Kakan! “makan!”
(36) *ѐkala’ aghi! “diambilkan”
(37) *maѐnnaghi! “dimainkan”
(38) *ekakan! “dimakan”

Penanda kalimat negatif dalam imperatif Bahasa Madura yaitu jha’ yang
berarti “jangan” yang sering kali dikombinasikan dengan kata ella yang berarti
“jangan”, yȃ, ra, dan ko. Partikel yȃ, ra, dan ko merupakan partikel yang
berfungsi sebagai penegas tuturan yang disampaikan oleh penutur kepada lawan
tutur. Sofyan (2008:199) menyatakan bahwa teori penanda imperatif bahasa
Madura mempunyai beberapa bentuk varian. Varian-varian tersebut antara lain: a)
ella, b) ajjha’, c) ampon, d) ajjha’, e) jha’...ya, f) jha’...ra, g) jha’...ko, h) ella
jha’, i) ella jha’...ya, j) ella jha’...ra, k) ella jha’...ko, l) empon jha’, m) empon
jha’...ghi, n) empon jha...na, o) empon jha’...ko, P) ampon jha’...ghi, q) ampon
jha’...na, r) ampon jha’... ko.
Contoh : (40) Jha’ amaen! “jangan bermain”
24

(41) Ella ya jha’ kakan kabbhi! “jangan dimakan semua”


(42) Ella ra jha’ atokaran! “jangan bertengkar”
(42) Ella ko jha’ nanges malolo! “jangan menangis terus”

You might also like