You are on page 1of 25

MAKALAH

”FUNGSI DAN TOLOK UKUR KRITIK SASTRA”

DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 2

1. APRILIA DWI YUSTIKA (1951041021)


2. INTAN RAHMANIAR (1951041019)
3. HASNUL (1951041015)

Dosen Pengampu :
Dr. Sakaria, S.S., S.Pd., M.Pd.

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
TAHUN AKADEMIK 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
berkenan memberi petunjuk dan kekuatan kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang ―Fungsi dan Tolok Ukur Kritik Sastra‖.
Makalah ini dibuat utuk memenuhi tugas mata kuliah Kritik Sastra dan kami
berharap makalah ini dapat menjadi bacaan para pembaca agar lebih mengerti dan
memahami fungsi dan tolok ukur kritik sastra secara mendalam dan saksama.
Kami telah berusaha semaksimal mungkin untuk menjadikan makalah ini
menjadi makalah yang lebih baik. Namun, apabila masih terdapat kekurangan
dalam penyusunan makalah ini, maka kami sangat mengharapkan adanya
masukan maupun kritikan yang sifatnya membangun dari semua pihak.
Akhir kata kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua. Aamiin

Makassar, 30 Agustus 2021


Penulis

Kelompok II

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
C. Tujuan .......................................................................................................... 2
D. Manfaat ........................................................................................................ 2
BAB II ..................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3
A. Fungsi Kritik Sastra ..................................................................................... 3
B. Tolok Ukur dalam Kritik Sastra ................................................................... 5
BAB III ................................................................................................................. 21
PENUTUP ............................................................................................................. 21
A. Kesimpulan ................................................................................................ 21
B. Saran ........................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kritik sastra mencapai kesempurnaan setelah sampai pada tahap evaluasi atau
penilaian. Apabila belum mencapai tahap evaluasi atau penilaian, misalnya hanya
sampai pada tahap analisis dan interpretasi, kritik sastra itu baru sampai tingkat
apresiasi. Kritik sastra yang baik tentu sampai pada tahap evaluasi. Sebab, ―kritik
sastra adalah salah satu jenis esai, yaitu pertimbangan baik atau buruk sesuatu
hasil kesusastraan. Pertimbangan itu tentu dengan memberikan alasan-alasan
mengenai isi dan bentuk hasil kesusastraan. Seorang kritikus, pengeritik atau
penimbang ialah orang yang berperan sebagai perantara antara si pencipta dan
orang banyak.‖ (H.B Jassin, 1983:95. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta:
Gunung Agung, cetakan keenam Jassin 1967). Jadi, kritik sastra adalah memberi
evaluasi atau penilaian baik dan buruk terhadap karya sastra.
Dalam melakukan evaluasi atau penilaian itulah seorang kritikus harus
memiliki tolok ukur, patokan, atau standar yang dipakai sebagai dasar mengukur
atau menilai karya sastra. Tolok ukur dalam kritik sastra biasanya disebut dengan
istilah norma atau kriteria. Norma di sini diartikan sebagai aturan, ukuran, atau
kaidah yang digunakan oleh seorang kritikus sebagai tolok ukur untuk menilai
suatu karya sastra ataupun membandingkan satu karya dengan karya sastra yang
lainnya atau yang telah ada. Sementara itu, kriteria oleh seorang kritikus
digunakan sebagai ukuran yang menjadi dasar penilaian penetapan suatu karya
sastra itu bermutu ataupun tidak bermutu, baik atau buruk. Baik norma maupun
kriteria ditentukan oleh kritikus, pengamat, ataupun penilai atas dasar karya telah
yang ada. Penilaian dapat secara objektif dan dapat pula secara subjektif. Ini
sangat bergantung pada paham, pengetahuan, dan tentu rasa si penilai.
Seorang kritikus harus mempunyai ukuran, norma, atau kriteria sebagai alat
kerja mengkritik karya sastra. Ukuran, norma, atau kriteria di sini merupakan
aturan, kaidah, atau ketentuan yang dipakai sebagai tolok ukur untuk menilai atau
membandingkan suatu karya sastra. Tanpa memiliki tolok ukur, seorang kritikus
tidak dapat melakukan kritik sastranya. Sebab memberi pertimbangan dan

1
keputusan itu seseorang tentu menggunakan ukuran atau kriteria. Jika tidak, orang
lain tidak mempercayai lagi apa yang telah diputuskan oleh kritikus dalam menilai
suatu karya. Kita menyadari kepentingan kritik sastra, baik dalam bidang
keilmuan, masyarakat maupun perkembangan kesusastraan sendiri. Dan dalam
makalah ini kami akan membahas materi tentang fungsi dan tolok ukur dalam
kritik sastra.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja fungsi kritik sastra?
2. Apa saja tolok ukur dalam kritik sastra?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui fungsi kritik sastra.
2. Untuk mengetahui tolok ukur dalam kritik sastra.

D. Manfaat
Mampu menambah wawasan ilmu pengetahuan mahasiswa tentang materi
fungsi dan tolok ukur kritik sastra.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Fungsi Kritik Sastra


Dalam mengkritik karya sastra, seorang kritikus tidaklah bertindak semaunya.
Ia harus melalui proses penghayatan keindahan sebagaimana dalam melahirkan
karya sastra. Kritik sastra berfungsi bagi perkembangan ilmu sastra karena hal itu
mempengaruhi sastrawan untuk menciptakan karya sastra secara lebih berkualitas.
Di sisi lain kritik sastra juga berfungsi memberikan penjelasan kepada pembaca
untuk dapat memahami karya sastra secara lebih mendalam. Mengingat kritik
sastra adalah sebagai kegiatan ilmiah yang mengikat kita pada asas-asas keilmuan
yang ditandai oleh adanya kerangka, teori, wawasan, konsep, metode analisis dan
obyek empiris, maka setidaknya ada beberapa fungsi kritik sastra yang perlu
untuk kita ketahui, yakni sebagai berikut.
1. Kritik Sastra Berfungsi Membina dan Mengembangkan Sastra
Dalam mengkritik karya sastra, seorang kritikus berusaha menunjukkan
struktur sebuah karya sastra, memberikan penilaian, menunjukan kekuatan dan
kelemahan serta memberikan alternatif untuk pengembangan karya sastra, serta
menunjukan hal-hal yang baru dalam karya sastra. Kritikus bisa jadi akan
menunjukkan hal-hal yang baru dalam karya sastra, hal-hal yang belum digarap
oleh sastrawan. Dengan demikian, sastrawan dapat belajar dari kritik sastra untuk
lebih meningkatkan kecakapannya. Jika para sastrawan mampu menghasilkan
karya-karya yang baru, kreatif dan berbobot, maka perkembangan sastra negara
tersebut juga akan meningkat pesat, baik secara kualitas maupun kuantitas.
2. Kritik Sastra Berfungsi untuk Penerangan bagi Penikmat Sastra
Dalam melakukan kritik, seorang kritikus akan memberikan ulasan, komentar,
penafsiran kerumitan-kerumitan, kegelapan-kegelapan makna dalam karya sastra
yang dikritik. Dengan demikian, pembaca awam akan lebih mudah untuk
memahami karya sastra yang telah dikritik oleh kritikus. Pada sisi lain, ketika
masyarakat sudah terbiasa dengan apresiasi sastra, maka daya apresiasi
masyarakat terhadap karya sastra akan semakin baik. Dengan demikian
masyarakat dapat memilih karya sastra yang bermutu tinggi (karya sastra yang

3
berisi nilai-nilai kehidupan, memperluas moral, mempertajam pikiran,
kemanusiaan, kebenaran dan lain-lain).
3. Kritik Sastra Berfungsi bagi Ilmu Sastra Itu Sendiri
Analisis yang dilakukan oleh kritikus dalam mengkritik haruslah didasarkan
pada referensi-referensi dan teori-teori yang akurat. Tidak jarang pula,
perkembangan teori sastra lebih lambat dibandingkan dengan kemajuan proses
kreatif pengarang, untuk itu, dalam melakukan kritik seorang kritikus seringkali
harus meramu teori-teori baru. Teori-teori sastra baru yang seperti inilah yang
justru akan mengembangkan ilmu sastra itu sendiri, dimana seorang pengarang
akan dapat belajar melalui hasil dari kritikan seorang karitikus sastra sehingga
akan berdampak pada meningkatnya kualitas karya sastra yang dihasilkannya
(Hardjana 1981).
Fungsi-fungsi kritik sastra di atas akan menjadi kenyataan karena adanya
tanggung jawab antara kritikus dan sastrawan serta tanggung jawab mereka dalam
memanfaatkan hasil kritik sastra tersebut. Dengan demikian, tidak perlu diragukan
lagi bahwa adanya kritik sastra yang kuat dan jujur di medan sastra akan
membawa pada meningkatnya kualitas karya sastra karena sastrawan akan
memiliki perhitungan sebelum akhirnya dipublikasikannya karya sastra tersebut.
Oleh sebab itu, ketiadaan kritik pada medan sastra akan membawa pada
munculnya karya-karya sastra picisan.
Tidak semua kritik sastra dapat menjalankan fungsinya seperti yang telah
disebutkan di atas. Kritik sastra berfungsi apabila:
1) Berupaya membangun dan meningkatkan sastra.
2) Melakukan kritik secara objektif.
3) Mampu memperbaiki cara berpikir, cara hidup, dan cara bekerja pada
sastrawan.
4) Dapat menyesuaikan diri dengan ruang lingkup kebudayaan dan tata nilai
yang berlaku.
5) Dapat membimbing pembaca berpikir kritis dan dapat meningkatkan apresiasi
sastra masyarakat.

4
Sebagai pertimbangan secara teoritis perlu kita mengetahui pernyataan yang
pernah diungkapkan oleh Semi (1993: 17-18) bahwa kritik sastra yang dapat
menjalankan fungsinya dengan baik adalah:
a. Kritik sastra yang disusun atas dasar keinginan untuk memperbaiki mutu karya
sastra dan mutu khalayak pembaca.
b. Kritik sastra yang disusun atas dasar pendekatan dan metode kerja yang jelas
dan dapat dipertanggungjawabkan.
c. Kritik sastra yang dilahirkan oleh pengritik yang mempunyai rasa tanggung
jawab moral dan intelektual disebabkan ia mempunyai minat membaca dan
menekuni sastra dan ilmu sastra. Dan tugas serta tanggung jawab yang harus
dijalankan oleh seorang kritikus yang mengadakan kegiatan kritik sastra harus
diarahkan kepada fungsi kritik sastra (Buku Kritik Sastra.pdf n.d.).
Fungsi kritik sastra akan dapat berfungsi dengan baik apabila kritik sastra
tidak hanya karena tanggung jawab pengeritik tetapi juga tanggung jawab para
sastrawan, dan tanggung jawab mereka yang memanfaatkan kritik sastra itu
sendiri.

B. Tolok Ukur dalam Kritik Sastra


Seorang kritikus harus mempunyai ukuran, norma, atau kriteria sebagai alat
kerja mengkritik karya sastra. Ukuran, norma, atau kriteria di sini merupakan
aturan, kaidah, atau ketentuan yang dipakai sebagai tolok ukur untuk menilai atau
membandingkan suatu karya sastra.

1. Tolok Ukur Dasar


Tolok ukur dasar adalah tolok ukur pokok yang digunakan kritikus sebagai
dasar dalam menilai karya sastra. Pada pokoknya ada dua macam tolok ukur yang
digunakan oleh seorang kritikus sastra, yaitu (1) tolok ukur formal, dan (2) tolok
ukur moral.
Tolok ukur formal adalah ukuran dasar yang memandang karya sastra
sebagai dunia otonom dengan aturan, konvensi, atau norma-norma tersendiri
(Santosa n.d.). Secara formal karya sastra itu tersusun atas bentuk-bentuk tertentu
sehingga seolah-olah sastra merupakan sebuah konvensi yang tidak pernah

5
berubah dari zaman dahulu hingga sekarang ini, misalnya bentuk soneta yang
terdiri atas empat belas baris dengan variasi bait dan rima akhirnya. Sejak
kemunculan soneta pada abad pertengahan di Eropa hingga kini tidak pernah
berubah bentuk formalnya. Variasi bait dan larik dalam soneta dapat saja terjadi,
misalnya dengan susunan 3 3 4 4, 4 4 3 3, 4 4 4 2, 6 8, atau bahkan 14 larik dalam
satu bait sekaligus seperti ―Sonet X‖ karya Sapardi Djoko Damono berikut.
SONET: X
siapa menggores di langit biru
siapa meretas di awan lalu 3
siapa mengkristal di kabut itu
siapa mengertap di bunga layu
siapa cerna di warna ungu siapa bernafas di detak waktu
siapa berkelebat setiap kubuka pintu
siapa mencair di bawah pandanganku siapa terucap di celah kata-kataku
siapa mengaduh di bayang-bayang sepiku
siapa tiba menjemput berburu
siapa tiba-tiba menyibak cadarku
siapa meledak dalam diriku
: siapa Aku
(Sapardi Djoko Damono dalam Duka-Mu Abadi, 1975: 48)
Sajak "Sonet: X" yang dikutip di atas secara sepintas tidak menunjukkan ciri
formal sebuah soneta. Bentuk soneta tersebut memang unik dan tidak lazim dalam
penulisan soneta yang umum kita kenal, seperti soneta Italia atau yang lebih
dikenal dengan nama soneta Petrarcha (terdiri atas satu oktaf dan satu sektet
dengan skema rima akhir: abbaabba cdecde), soneta Elizabeth atau yang lebih
dikenal sebagai soneta Shakespeare (terdiri atas tiga kuatren dan satu kuplet
(distikon) dengan skema rima akhir: abab cdcd efef gg), dan soneta Edmund
Spenser dengan skema rima akhir abab bcbc cdcd ee. Keterikatan dalam bentuk
soneta yang kita kenal secara formal dalam sajak Sapardi itu hanya ditunjukkan
oleh: (1) judul sajak, "Sonet: X", yang berarti sajak soneta berjudul X, dan (2)
jumlah keseluruhan sajak sebanyak 14 larik. Dengan adanya penyimpangan atas
konvensi sonata dengan mengabaikan formula pelarikan, pembaitan, persajakan
akhir, dan pembagian atas dua hal tentang sampiran dan isi menunjukkan bahwa
soneta tersebut cenderung mengandalkan kekuatan estetika sajak bebas.

6
Baiklah, pernyataan di atas perlu kita buktikan kebenarannya agar kita tidak
salah menafsirkan makna sajak itu. Tidak terdapatnya konvensi penulisan sajak
seperti huruf kapital dalam awal larik atau awal kalimat, semua ditulis dengan
huruf kecil, kecuali kata Aku pada kata terakhir, dan sejumlah tanda baca lainnya
memperkuat pernyataan di atas. Akan tetapi, penggunakan rima akhir dengan
bunyi yang sama atau rima rata menunjukkan bahwa soneta tersebut terikat pada
unsur bunyi, yaitu mantra.
Bentuk perulangan sajak dengan gaya paralelisme dan kesejajaran kalimat,
jelas menunjukkan keterikatan soneta itu pada konvensi penulisan sajak berbentuk
mantra. Dengan demikian sajak "Sonet: X" tersebut merupakan perpaduan antara
estetika formal sajak bebas dengan estetika formal mantra. Kekuatan mantra
memang hanya mendasarkan pada unsur bunyi yang berulang-ulang dengan
membebaskan kata dari jajahan makna. Jadi, bentuk formal puisi mantra sudah
ada pada sajak Sapardi Djoko Damono seputar tahun 1960-an. Bahkan
sebelumnya (era tahun 1940-an), sudah ada sajak ―Cerita Buat Dien Tamaela‖
karya Chairil Anwar dengan mitologi Beta Pattirajawane atau sajak ―Mantera‖
karya Asrul Sani dengan memaparkan mitologi ‗Raja dari batu hitam, Naga
Malam‘. Baru pada tahun 1970-an jenis puisi mantra dikembangkan oleh Sutardji
Calzoum Bachri, Husni Djamaluddin, dan para penyair yang lainnya.
Demikian juga dengan formula pantun dan syair yang setiap baitnya harus
terdiri atas empat larik atau formula kuatren, sajak empat seuntai. Misalnya pada
puisi-puisi Hartojo Andangdjaya ―Pantun Tak Bernama‖ dan sajak ―Sebuah Lok
Hitam‖ berikut.
Sebuah Lok Hitam
buat Sang Pemimpin
Sebuah lok hitam
terlepas dari gerbong
sendiri melancar dalam kelam
ia menderam ia melolong
Ada lok hitam melancar sendirian
Kami yang melihatnya bertanya keheranan:
ke manakah lok berjalan
adakah setasiun penghabisan
Jauh di depan tak ada sinyal kelihatan
Jauh di depan hanya malam terhampar di jalan

7
(Hartojo Andangdjaja. 1973. Buku Puisi. Jakarta: Pustaka Jaya)
Seorang kritikus akan menyatakan bahwa sajak ―Sebuah Lok Hitam‖ tersebut
secara formal terpengaruh kuat oleh bentuk formal pantun dan syair. Dengan
demikian, tolok ukur formal ini hanya memandang dari susunan formal sebuah
karya sastra. Itulah sebabnya A.Teeuw (1983) berpendapat bahwa memahami dan
menilai karya sastra harus bertolak dari konvensi bahasa, konvensi sastra, dan
konvensi budaya. Hal ini jelas bahwa konvensi bahasa dan konvensi sastra
merupakan aspek formal sebuah bangunan karya sastra yang menggunakan
medium bahasa. Sementara itu, konvensi budaya merupakan latar sekaligus
subtansi pokok makna karya sastra(Santosa 2006).
Apabila kita memahami beberapa teori sastra dari aspek strukturnya, yaitu
susunan bangunan sebuah karya sastra seperti alur, penokohan, latar, sudut
pandang, dan gaya, jelas itu merupakan tolok ukur formal. Demikian juga, ketika
kita memahami tata sastra (Todorov, 1985) dari aspek sintaksis dan aspek
pengujaran, jelas itu juga bertolak pada bentuk formal sebuah bangunan yang
bernama karya sastra.
Sebaliknya, tolok ukur moral memandang karya sastra sebagai bagian dari
aktivitas kemanusian dan nilai-nilai tertentu dalam kehidupan manusia, serta
menjelaskan dengan referensi yang bertolak pada keseluruhan kode moral atau
nilainilai tertentu yang mengandung unsur baik dan buruk. Jadi, secara umum
moral menyaran pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum
mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi pekerti,
susila (KBBI, 2001: 754). Jelaslah bahwa tolok ukur moral ini berbicara tentang
isi, kandungan karya sastra dan aspek pragmatiknya bagi kehidupan.
Pandangan seseorang tentang moral, nilai-nilai, dan kecenderungan-
kecenderungan, biasanya dipengaruhi oleh pandangan hidup, way of life,
bangsanya. Itulah sebabnya moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan
pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangan tentang nilai-nilai
kebenaran, atau etika yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu. Nilai moral
dalam kritik sastra ini biasanya terwujud dalam: (1) pesan religius atau
keagamaan, seperti pada karya-karya Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia, dan (2)

8
dapat juga berupa kritik sosial, seperti pada karya-karya W.S. Rendra, Ayu Utami,
dan Djenar Mahesa Ayu, ataupun karya Linur Suryadi A.G. dalam Pengakuan
Pariyem. Baik pesan religius atau keagamaan dan pesan kritik sosial biasanya
dalam karya sastra tercermin pada tokoh-tokoh atau orang-orang yang bermoral
tinggi, seperti tokoh protagonis, dan bermoral rendah atau bejat moralnya yang
terdapat pada tokoh antagonis.
H.B. Jassin, dalam beberapa kritik sastra yang termuat dalam buku
Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei (Jakarta: Gunung Agung.
1962), selalu bertolak pada ukuran moral. Kritiknya pada karya-karya M. Balfas,
misalnya kritiknya terhadap cerpen ―Anak Revolusi‖, ―Si Gomar‖ dan ―Rumah
Sebelah‖ yang termuat dalam buku kumpulan cerpen Lingkaran-Lingkaran Retak
(Jakarta: Balai Pustaka. 1952), menyoroti secara tajam karya Balfas itu sebagai
―manusia bugil‖. Kebobrokan moral bangsa yang baru merdeka dari jajahan
kolonial, perlu dibangun dan ditegakkan menjadi moral bangsa yang beradab,
jujur, berwibawa, bertanggung jawab, dan berani mengatakan yang benar itu
benar dan yang salah itu salah. Atas dasar tolok ukur moral itu pulalah saya
menulis tentang proses kreatif M. Balfas (dimuat pada Kakilangit Nomor
100/April 2005) dengan judul ―Moral sebagai Landasan Karya‖. Pada umumnya
kritik sastra yang menggunakan tolok ukur moral itu digunakan dalam kritik
jurnalisatik atau kritik umum untuk di surat kabar (koran) dan majalah umum.
Sebaliknya, tolok ukur formal lebih cenderung digunakan dalam kritik akademik.
2. Tolok Ukur Estetis, Epistemis, dan Normatif
Dari tolok ukur dasar kritik sastra tersebut kemudian berkembanglah menjadi
norma-norma, kriteria, dan tolok ukur yang lain, misalnya: (1) tolok ukur estetis,
(2) tolok ukur epistemis, dan (3) tolok ukur normatif.
Tolok ukur estetis adalah ukuran karya sastra yang mencoba memperlihatkan
nilai-nilai keindahan dalam karya sastra. Estetika artinya ilmu tentang keindahan
atau cabang filsafat yang membahas tentang keindahan yang melekat dalam karya
seni. Sementara itu, kata estetis artinya indah, tentang keindahan, atau mempunyai
nilai keindahan. Arti kata keindahan adalah sifat-sifat atau keadaan yang indah,
mempesona, bagus, anggun, cantik, dan menarik. Secara umum keindahan

9
melekat pada karya seni, termasuk karya sastra, dan juga alam semesta. Bidang
ilmu yang mengkaji kaidah-kaidah keindahan secara umum, dan khususnya objek
karya seni, disebut estetika.
Ukuran atau yang menjadi kriteria menentukan keindahan itu
bermacammacam, berdasarkan pengamatan dan subjektivitas penilai atau kritikus.
Sebab, setiap karya seni diyakini mengandung keindahan yang berwujud
penjelmaan pengalaman kejiwaan ke dalam bentuk alamiah yang tepat dan
menarik sesuai dengan sesuatu yang diungkapkan. Thomas Aquino menyatakan
bahwa ada tiga syarat untuk keindahan, yaitu: (1) keutuhan atau kesempurnaan,
karena segala kekurangan, cacat, tidak lengkap, dan ganjil itu mengakibatkan
keburukan atau kejelekan, tidak indah; (2) keselarasan atau keseimbangan bentuk,
sesuatu yang harmonis, serasi; dan (3) sinar kejelasan, yakni segala sesuatu yang
memancarkan nilai-nilai terang atau cemerlang, penuh pesona, cerah, segar, dan
brilian.
Tolok ukur estetis memang bersifat relatif, sangat bergantung pada siapa yang
memandang dan siapa penilai. Ukuran estetis dapat dikatakan sebagai ukuran
kualitatif yang mengandalkan kemampuan si pengamat. Di dunia Barat ada
konsep estetika ideal, keindahan yang sempurna atau ―keindahan sukar‖. Seperti
yang dikatakan Verdenius (dalam Teeuw, 1984:348) bahwa dalam seni sejati
berusaha mengatasi dunia kenyataan, diusahakan menyaran pada sesuatu dunia
yang lebih tinggi, tidak mengacu pada kenyataan hidup sehari-hari, melainkan
pada ―Keindahan ideal‖. Konsep estetika ―Keindahan ideal‖ menurut Verdenius
inilah yang sekiranya menjadi padanan kaidah estetika kasunyatan (Santosa,
2003). Sebab, seni yang menyaran pada keindahan ideal ini menjadi dasar ajaran
estetik bertahun-tahun lamanya. Keindahan itu dimiliki oleh manusia:
diperuntukan, dinikmati, dan diciptakan (dirangkai, digubah) oleh manusia.
Manusia diberi kemampuan Tuhan untuk mengetahui dan memahami norma-
norma kebajikan, kebenaran, keluhuran, keutamaan, dan keindahan. Jadi, manusia
menjadi pusat perhatian dan pusat keindahan, baik sebagai subjek maupun objek.
Beberapa kali saya menulis kritik sastra yang bertolak pada ukuran estetis,
misalnya ―Estetika Puisi Sebagai Pasemon‖ (Kakilangit nomor 39/April 2000)

10
terhadap sajaksajak Goenawan Mohamad, ―Keindahan: Menyelinap, Merayap,
Lalu Mengendap‖ (Kakilangit nomor 71/November 2002) terhadap proses kreatif
puisi-puisi Dodong Djiwapradja, ―Estetika Kasunyatan dalam Warisan Langgeng
karya R. Soenarto Mertowardojo‖ disampaikan dalam Simposium Internasuonal
Pernaskahan Nusantara 8 VII, di Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 28–30 Juli
2003, dan ―Estetika Bangesgresem (Banyol, nges, greget, sem)‖ disampaikan
dalam Pertemuan Ilmiah Nasional (PILNAS) XIV Himpunan Sarjana-
Kesusastraan Indonesia (HISKI), di Surabaya, 26—28 Agustus 2003, yang
dikembangkan dari disertasi Sapardi Djoko Damono (1993: 221–243) tentang
estetika bangesgresem (banyol, nges, greget, dan sem) dalam menelaah novel-
novel Jawa tahun 1950-an. Sapardi menggali dan menemukan estetika
bangesgresem itu dari khazanah pedalangan gagrag Surakarta.
Tentu konsep estetika yang lain masih banyak. I. Kuntara Wirjamartana,
misalnya, berangkat dari estetika rasa dan yoga dalam menelaah Arjunawiwaha.
Abdul Hadi W.M. yang menelaah karya-karya Hamzah Fansuri dalam
disertasinya berangkat dari estetika Islam. Para pengamat di Malaysia dan Brunei
mengembangkan teori estetika takmilah sebagai perwujudan estetika Islam dalam
menelaah karya sastra. Jadi, tolok ukur estetis tampaknya sudah menjadi
fenomenal umum dalam kritik sastra kita.
Tolok ukur epistemis adalah ukuran karya sastra yang memperlihatkan nilai-
nilai kebenaraan dan kegunaan praktis dari suatu karya sastra. Nilai kebenaran
dalam karya sastra ini bukan diukur dari kebenaran faktual dan bukan pula diukur
berdasarkan pada sistem logika konvensional, melainkan kebenaran imajinatif
yang memiliki sistem logikanya sendiri. Artinya, setiap karya sastra menunjukkan
sistem permainan, urutan logis berdasarkan peristiwa yang sambung-bersambung
yang terjadi dalam karya sastra itu, dan kebenarannya hanyalah sebuah refleksi
atau cermin kehidupan. Jadi, logika dalam karya sastra hanya dapat dipahami
bertolak dari imajinasi dan maksud penulis atau pengarang, bukan berdasarkan
pada kenyataan faktual.
Sementara itu, kegunaan praktis karya sastra dirumuskan oleh Horace atau
Horatio sebagai dulce et utile (menyenangkan dan berguna), menyenangkan

11
dalam arti dapat memberi hiburan, bukan sesutu yang menjemukan, dan berguna
dalam arti tidak memboroskan waktu, tetapi menambah wawasan, mencerdaskan,
dan banyak memberi pengetahuan bagi pembaca. Secara espistemis karya sastra
harus berguna atau bermanfaat, misalnya karya sastra itu memiliki: (1) manfaat
pendidikan, (2) manfaat kepekaan batin 9 atau sosial, (3) manfaat menambah
wawasan, dan (4) manfaat pengembangan kejiwaan atau kepribadian.
Untuk lebih jelasnya keempat manfaat yang bertolak pada ukuran epistemis
itu berikut diberikan contoh sebuah puisi pendek ―Kupinta Lagi‖ karya J.E.
Tatengkeng.
Kupinta Lagi
Hai pagi yang baru menjelang
Pulangkan imanku yang sudah hilang
Berikan daku Cinta dan Hasrat Supaya aku boleh mendarat...
Kulihat terang ...
Meski tidak benderang...
Sehingga gelap,
Lambat laun ‗kan lenyap!
(J.E. Tatengkeng. 2000. Rindu Dendam. Jakarta: Pustaka Jaya)
Ada nilai keindahan yang terpancar dalam puisi ―Kupinta Lagi‖, yaitu
keindahan seni merangkai kata atau menyusun bahasa. Susunan bunyi dan kata-
katanya mampu menimbulkan irama yang merdu, nikmat didengar, lancar
diucapkan, dan menarik untuk didendangkan. Manfaat estetis seperti itu mampu
memberi hiburan, kepuasan, kenikmatan, dan kebahagiaan batin ketika karya itu
dibaca atau didengarnya.
Mendidik artinya memelihara dan memberi latihan (ajaran) mengenai akhlak,
budi pekerti, dan kecerdasan pikir. Manfaat pendidikan adalah memberi berbagai
informasi tentang proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan latihan.
Melalui puisi ―Kupinta Lagi‖, pembaca mendapatkan ajaran tentang keimanan,
budi pekerti, pendewasaan akhlak, dan moral agar selalu beriman kepada Tuhan.
Cahaya iman itu ibarat matahari pagi yang memancarkan terangnya ke seluruh
penjuru dunia. Mula-mula dunia ini gelap ditutup oleh kabut malam. Hadirnya
cahaya matahari pagi, lambat laun kegelapan itu sirna berganti terang benderang.
Demikian halnya dengan keimanan manusia, kabut gelap yang menutupi

12
keimanan itu lambat laun juga akan lenyap dengan datangnya cahaya iman yang
teguh kepada Tuhan.
Peka artinya mudah terasa, mudah tersentuh, mudah bergerak, tidak lalai, dan
tajam menerima atau meneruskan pengaruh dari luar. Manfaat kepekaan batin atau
sosial adalah upaya untuk selalu mengasah batin agar mudah tersentuh oleh hal-
hal yang bersifat batiniah ataupun sosial. Melalui puisi ―Kupinta Lagi‖ di atas
kepekaan batin manusia akan mudah menerima sentuhan iman, manusia segera
sadar betapa bermanfaatnya iman yang terang, iman yang menerima pencerahan.
Setelah keimanannya segar, cerah, dan teguh, kemudian manusia
mengembangkan kepekaan sosialnya, yaitu dengan cinta dan hasrat. Cinta
manusia memberikan rasa kasih sayang kepada semua umat. Sementara, hasrat
hidup manusia memberikan motivasi, dorongan-dorongan, untuk selalu berbuat
baik terhadap sesama umat, menolong umat yang sengsara, dan ikut serta
mengentaskan kemiskinan.
Wawasan artinya hasil mewawas, tinjauan, atau pandangan. Manfaat
menambah wawasan adalah memberi tambahan informasi, pengetahuan,
pengalaman hidup, dan pandangan-pandangan tentang kehidupan. Melalui puisi
―Kupinta Lagi‖ seperti contoh di atas pembaca menjadi luas pengetahuannya
tentang cinta dan hasrat hidup, kembalinya iman, dan terbuka mata hatinya
terhadap masalah sekelilingnya. Setelah membaca dan memahami karya sastra
seperti itu pembaca tidak lagi sempit pandangannya, tetapi bertambah luas dan
jauh jangkauan wawasannnya. Dengan banyak membaca dan mengapresiasi karya
sastra, seorang apresiator akan memiliki kekayaan ilmu dan pengetahuan,
keluasan cara berpikir, dan banyak pengalaman-pengalaman hidup yang dapat
dipetik hikmahnya.
Manfaat pengembangan kejiwaan atau kepribadian adalah mampu
menghaluskan budi pekerti seorang apresiator. Dari banyak membaca karya sastra
tentu banyak pula halhal tentang ajaran budi pekerti yang diperolehnya. Apabila
seorang apresiator itu mau melaksankan pesan moral, ajaran budi pekerti, dan
teladan-teladan kebajikan di dalam karya sastra tersebut, tentu mampu
mengembangkan jiwanya dan membentuk budi pekerti yang saleh dan luhur.

13
Seperti dicontohkan dalam puisi ―Kupinta Lagi‖ karya J.E. Tatengkeng di atas,
apa yang diminta oleh manusia itu bukan harta, bukan benda, bukan kekayaan,
dan bukan pula kepangkatan, melainkan agar kembalinya keimanan yang pernah
hilang. Jelas, di sini bukan gambaran manusia yang materialistis, melainkan
seorang yang religiusitas. Hanya dengan kembalinya iman kepada diri manusia,
segala sesuatunya hidup ini akan terasa lebih mudah, aman, tenteram, dan
bahagia.
Tolok ukur normatif adalah ukuran karya sastra yang memperlihatkan
normanorma yang khas dalam karya sastra, misalnya sistem strata norma Roman
Ingarden, seorang filsuf Polandia, yang menyatakan bahwa ada lima lapis dalam
karya sastra, yaitu: (1) lapis suara (sound stratum) dasar timbulnya; (2) lapis arti
(units of meaning), rangkaian fonem, kata, frase, dan kalimat dalam suarasuara itu
dapat menimbulkan arti atau makna-makna tersendiri; (3) lapis objek yang
dikemukakan pengarang, seperti latar, peristiwa, pelaku, dan dunia pengarang
yang berupa cerita atau lukisan; (4) lapis “dunia” yang dipandang dari titik
pandang tertentu yang tak perlu dinyatakan, tetapi terkandung di dalamnya
(implied), misalnya suara derit pintu yang dibuka oleh seseorang, apabila pintu itu
berderit dengan perlahan dan halus, akan timbul sugesti bahwa yang membuka
pintu itu seorang wanita yang berwatak halus dan penuh kehati-hatian atau orang
yang sabar; sebaliknya apabila derit pintu itu bersuara keras, ―jedor!‖, akan
menimbulkan sugesti bahwa yang membuka pintu itu orang laki-laki yang
berwatak kasar atau sedang marah; dan (5) lapis metafisis, berupa sifat-sifat yang
mampu membimbulkan renungan yang sublim (mulia), yang tragis, mengerikan
atau menakutkan, dan yang suci.
Tolok ukur normatif ini dikembangkan oleh Profesor Rachmat Djoko Pradopo
dalam bukunya Pengkajian Puisi (1987:14--21), Prinsip-Prinsip Kritik Sastra
(1994:55), dan Kritik Sastra Indonesia Modern (2002:64—71). Kritikus sastra
yang lain tidak begitu tertarik dengan tolok ukur normatif ini. Pada umumnya
kritikus lain lebih cenderung menggunakan tolok ukur struktural atau bentuk
formal karya sastra. Tentu ini sangat bergantung pada pilihan dan selera kritikus.
3. Tolok Ukur Keaslian Ekspresi

14
Selain ketiga kriteria di atas, dalam kritik sastra juga ditemukan sistem norma
atau tolok ukur keaslian ekspresi. Kriteria ini menuntut karya sastra harus asli,
orisinal, dan sesuatu yang baru dan bahkan aneh-aneh (making it new, making it
strange), seperti komentar Sapardi Djoko Damono dalam novel Saman karya Ayu
Utami: ―Dahsyat!.... memamerkan teknik komposisi yang–sepanjang pengetahuan
saya–belum pernah dicoba pengarang lain di Indonesia, bahkan mungkin di negeri
lain.‖ Jadi, penampilan sesuatu yang baru, yang lebih segar, yang lain daripada
yang lainnya, dan menampilkan semangat yang berbeda dari yang sudah-sudah
(inovasi), dianggap sebagai keaslian ekspresi. Ciri keaslian ekspresi juga
ditunjukkan adanya kerumitan, ketegangan, dan keluasan (intricacy, tension,
width), serta kesatuan atau kekomplekan (unity or complexity) makna yang
dikandung karya sastra.
Padahal, dalam kritik intertekstualitas dinyatakan tidak ada suatu karya pun
yang benar-benar asli. Keaslian di sini hanya ditunjukkan atas perbedaan pilihan
tema, cerita, dan gaya ungkap dengan bahasa yang berbeda dari karya sastra yang
sudah ada. Puisi-puisi ―Celana‖ Joko Pinurbo, misalnya, juga dianggap sebagai
karya yang menunjukkan keaslian ekspresi. Sebelum puisi-puisi ―Celana‖ itu
hadir (1998), tidak ditemukan adanya tema, cerita, dan gaya ungkap dengan
bahasa khas seorang Joko Pinurbo. Atas kehadiran puisipuisi semacam ini
segeralah Joko meraih beberapa penghargaan, seperti Penghargaan Buku Puisi
Pusat Kesenian Jakarta (2000), Hadiah Sastra Lontar (2001), Sih Award (2001),
dan Penghargaan Sastra Pusat Bahasa (2002), serta dibacakan keliling ke sekolah-
sekolah SLTA (SMU, SMK, dan Madrasah Aliah) di seluruh Indonesia dalam
Program Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) majalah sastra Horison
(1999–2004).
4. Tolok Ukur Tunggal, Benar, Baik, dan Indah
Dick Hartoko dalam bukunya Manusia dan Seni (Yogyakarta: Kanisius, 1984)
mengusulkan satu kriteria penilaian karya sastra, yaitu dengan tolok ukur tunggal,
benar, baik, dan indah. Suatu karya sastra harus mengandung nilai-nilai yang
bersifat tunggal, benar, baik, dan indah. Tunggal adalah kriteria yang
menunjukkan segala sesuatu itu bersifat kesatuan yang utuh, bulat, dan terpadu.

15
Benar adalah sistem norma yang menunjukkan segala sesuatunya itu dapat diraih
oleh logika dan mampu membayangkan atau mencerminkan peristiwa dalam
kehidupan manusia. Baik adalah sistem norma yang menunjukkan segala sesuatu
itu dapat mendorong untuk dilaksanakan atau memberi pedoman arah
kebijaksanaan tertentu. Indah adalah sistem norma yang memberi gambaran
keharmonisan, keselarasan, dan pesona yang mampu dirasakan, dinikmati, dan
dihayati sebagai sesuatu yang bermakna dan berharga. Tolok ukur yang diajukan
almarhum peter Dick ini pernah saya coba terapkan dalam penulisan skripsi S-1 di
Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret (1986) terhadp puisi ―Rakyat adalah
Sumber Ilmu‖ karya W.S. Rendra.
5. Tolok Ukur Beradasarkan Paham Tertentu
Selanjutnya, dalam penilaian kritik sastra terdapat tiga paham atau aliran
dalam penilaian yang menjadi ukuran dalam kritik sastra, yaitu (1) relativisme, (2)
absolutisme, dan (3) perspektivisme.
Penilaian relativisme adalah paham penilaian yang menghendaki ―tidak
adanya penilaian lagi‖, atau penilaian yang dihubungkan dengan tempat dan
zaman terbitnya karya sastra. Bila suatu karya sastra dianggap bernilai oleh suatu
masyarakat pada suatu tempat dan zaman tertentu, maka karya sastra itu haruslah
dianggap bernilai pula pada tempat atau zaman yang lain. Jadi, karya sastra ini
tidak menghendaki penilaian ulang, peninjauan kembali, dan lain sebagainya.
Penilaian absolutisme adalah paham penilaian karya sastra yang
mendasarkan pada paham, aliran, politik, moral, ataupun berdasar pada ukuran-
ukuran tertentu yang sifatnya dogmatis dan berdasarkan pandangan yang sempit
sehingga penilaiannya tidak berdasarkan pada hakikat karya itu sendiri atau tidak
berdasarkan pada metode literer, misalnya penilaian sastra berdasarkan paham
Marxis yang bersifat mutlak.
Penilaian perspektivisme adalah paham penilaian karya sastra dari berbagai
sudut pandang, yaitu dengan jalan menunjukkan nilai-nilai karya sastra pada
waktu terbitnya dan nilai-nilai karya sastra pada masa-masa berikutnya. Setiap
karya sastra mengandung nilai keabadian dan kehistorisan. Nilai keabadian
terletak pada pemeliharaan ciri-ciri khas yang dimiliki pada zamannya. Nilai

16
historis merupakan proses perjalanan karya sastra yang telah melewati atau
melampaui zaman tertentu yang dapat dirunut jejaknya, misalanya masa
kesusastraan romantik, realisme, dan postmodernisme. Jadi, penilaian perspektif
mengakui adanya suatu karya sastra yang dapat dibandingkan sepanjang masa,
berkembang, berubah, dan penuh kemungkinan yang lain. Paham ini akhirnya
berkembang menjadi pendekatan estetika resepsi atau resepsi sastra (tanggapan
pembaca).
6. Tolok Ukur Psikologi Modern
Dalam menilai karya sastra harus dilihat hubungan antara sastrawan dengan
karya sastranya, sebab karya sastra itu merupakan penjelmaan pengalaman jiwa
sastrawan ke dalam suatu karya dengan mediaum bahasa. Apakah sastrawan
berhasil atau tidak menjelmakan pengalaman jiwanya ke dalam bentuk kata-kata?
Hal itu baru dapat dijawab dengan dalil J. Elema dalam bukunya Poetica. Dalil-
dalil J. Elema dalam seni sastra itu adalah sebagai berikut.
(1) Karya sastra mempunyai nilai seni apabila pengalaman jiwa yang menjadi
dasarnya dapat dijelmakan ke dalam kata-kata. Nilai seni itu akan bertambah
tinggi nilainya apabila pengalaman itu semakin lengkap.
(2) Pengalaman jiwa itu semakin tinggi nilainya jika pengalaman itu semakin
banyak, meliputi keutuhan jiwa.
(3) Pengalaman jiwa semakin tinggi nilainya jika pengalaman itu semakin kuat.
(4) Pengalaman jiwa itu semakin tinggi nilainya apabila isi pengalaman itu
semakin banyak, luas, dan jelas perinciannya.
Subagio Sastrowardojo lebih lanjut menjelaskan tentang dalil seni sastra
menurut J. Elema itu dengan analisis ilmu jiwa modern. Berdasarkan analisis ilmu
jiwa modern itu menerangkan bahwa jiwa manusia terdiri atas lima tingkatan,
begitu juga pengalaman jiwa manusia itu juga terdiri atas lima tingkatan atau
niveau.
Tingkatan pertama: niveau anorganis, adalah tingkatan jiwa yang terendah,
sifatnya seperti benda mati, mempunyai ukuran, tinggi, rendah, panjang, pendek,
dangkal, dalam, dapat diraba, didengar, dilihat, pendek kata dapat dindera.
Apabila tingkatan pengalaman jiwa anorganis ini terjelma dalam karya sastra

17
dapat berupa pola bunyi, bait, larik, kata, frase, kalimat, alinea, alur, latar, tokoh,
majas, metafora, dan sebagainya yang pada umumnya berupa bentuk formal.
Tingkatan kedua: niveau vegetatif, adalah tingkatan jiwa seperti tumbuh-
tumbuhan, seperti pohon menumbuhkan kuncup, berbunga, berbuah, dan gugur
daun-daunnya atau buah-buah mudanya. Segala pergantian itu dapat
menimbulkan suasana bermacammacam, misalnya ketika musim semi atau
berbunga dapat menimbulkan suasana romantis, menyenangkan,
menggembirakan, cerah, dan bersuka ria. Sebaliknya, apabila terjadi musim gugur
dapat menimbulkan suasana sedih, masgul, gusar, tertekan, dan putus asa. Apabila
pengalaman jiwa vegetatif ini terjelma dalam karya sastra akan menimbulkan
suasana sedih, gembira, romantis, sahdu, khitmad, dan sebagainya yang
ditimbulkan oleh rangkaian kata-kata itu.
Tingkatan ketiga: niveau animal, adalah tingkatan jiwa seperti yang dicapai
oleh binatang, yakni sudah ada nafsu-nafsu jasmaniah seperti makan, minum,
tidur, iri, dengki, dan seksualitas. Apabila tingkatan jiwa animal ini terjelma
dalam karya sastra akan berwujud seperti nafsu tokoh untuk melahap habis
makanan dan minuman yang tersedia, bermalas-malasan, ingin tiduran, bercinta
atau bermesra-mesraan, dan bahkan nafsu dendam untuk membunuh lawan atau
tokoh lainnya.
Tingkatan keempat: niveau human, adalah tingkatan jiwa yang hanya dapat
dicapai oleh manusia, seperti rasa kasih sayang kepada semua umat, rasa
solidaritas antarkawan, saling membantu atau tolong-menolong, ikhlas kehilangan
milikinya yang disayangi, jujur terhadap perkataan dan perbuatannya, menerima
nasibnya dengan rasa bersyukur atau bertawakal, dan bergotong royong. Apabila
tingkatan jiwa human ini terjelma dalam karya sastra dapat berupa perbuatan
seorang tokoh menolong tokoh lain, kasih sayang seorang tokoh kepada tokoh
lain, renungan-renungan batin, konflik kejiwaan, renungan moral, dan sebagainya.
Pendek kata segala pengalaman yang hanya dapat dirasakan oleh manusia yang
penuh suka dan duka.
Tingkatan kelima: niveau religius atau filosofis, adalah tingkatan jiwa yang
tertinggi dan pengalaman jiwa ini tidak dialami oleh manusia dalam sehari-

18
harinya. Pengalaman jiwa ini hanya dialami oleh manusia ketika sedang khusus
melakukan kebaktian kepada Tuhan, bersembayang, berdoa, berzikir, atau
renungan tentang hari akhir, pengalaman mistik, dan renungan menghayati
hakikat hidup atau kematian. Apabila pengalaman jiwa ini terjelma dalam karya
sastra akan terwujud sebagai renungan-renungan terhadap hakikat makna dan
tujuan hidup, hal-hal yang transendental dalam kehidupan manusia, masalah maut,
filsafat ketuhanan, dan lain sebagainya.
7. Tolok Ukur Menurut Luxemburg
Jan van Luxemburg et al. (1989:47–48) dalam bukunya tentang Sastra
(Jakarta: ILDEP dan Intermasa) menyatakan bahwa sutau penilaian tidak lepas
dari interpretasi. Pilihan tentang metode interpretasi dan tolok ukur bergantung
pada pendirian tentang sastra yang dianut. Adapun beberapa tolok ukur yang
secara umum digunakan oleh kritikus adalah sebagai berikut.
(1) Hampir selalu digunakan tolok ukur mengenai struktur. Suatu karya sastra
dinilai berdasarkan rancang bangunnya atau sejauh mana keseluruham dan
bagianbagiannya merupakan suatu kesatuan.
(2) Tolok ukur yang berdekatan ialah estetika. Karya sastra dinilai berdasarkan
kenikmatan estetis yang dialami melalui rancang bangun dan bentuk sastranya.
Kenikmatan ini bersifat aktif sehingga dituntut kreativitas pembaca.
(3) Kualitas karya sastra dinilai berdasarkan wawasan yang diberikannya tentang
pribadi, perasaan, atau niatan pengarang; disebut tolok ukur ekspresivitas.
(4) Karya dinilai menurut gambarannya tentang kenyataan, wawasan tentang
manusia, budaya, dan zaman; disebut tolok ukur realisme.
(5) Suatu karya adalah baik apabila karya itu memberi wawasan baru, mem-
perkaya pengetahuan, dan dapat memberi sumbangan untuk perubahan yang
diperlukan dalam masyarakat; disebut tolok ukur kognitif; dan lebih dekat dengan
realisme.
(6) Kualitas karya dinilai menurut kadar kekuatannya untuk memungkinkan
pembaca beridentifikasi dengan apa yang dikisahakan atau dikemukakan sebagai
pendirian; disebut tolok ukur nilai rasa.

19
(7) Suatu karya dapat dinilai menurut tolok ukur moral, yaitu sejauh mana karya
itu mengemukakan sikap moral (yang dianggap benar).
(8) Suatu karya dapat dinilai dengan tolok ukur yang berhubungan dengan tradisi
dan pembaruan. Suatu karya sastra dapat dihagai sebagai karya pembaharu atau
justru sebagai kelanjutan yang sesuai dengan tradisi yang pernah ada dari suatu
ragam atau kurun waktu. Apabila yang dipilih adalah pembaharuan, itu berarti
aktivitas pembaca sangat dipentingkan.
8. Tolok Ukur Ironi dan Pradoks
Para penganut New Criticism di negeri asalnya gemar menganalisis puisi
hingga berkesimpulan sebuah karya sastra yang baik bercirikan paradoks atau
ironi. Tolok ukur paradoks dan ironi ini dijadikan panduan menilai karya sastra,
terutama puisi. Perhatikan contoh puisi ―Pokok Kayu‖ karya Sapardi Djoko
Damono berikut yang memiliki ciri paradoks dan ironi.
Pokok Kayu
"suara angin di rumpun bambu
dan suara kapak di pokok kayu,
adakah bedanya, Saudaraku?"
"jangan mengganggu," hardik seekor tempua
yang sedang mengerami telur-telurnya
di kusut rambut Nuh yang sangat purba.
(Sapardi Djoko Damono, 2000: 111. Ayat-Ayat Api. Pustaka Firdaus)
Sajak ―Pokok Kayu‖ di atas mengandung paradoks atau ironi. Paradoks
artinya ‗pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat
umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya pernyataan itu mengandung
kebenaran‘ (KBBI, 2001:828). Sementara itu, ironi artinya: (1) ‗kejadian atau
situasi yang bertentangan dengan yang diharapkan atau yang seharusnya terjadi,
tetapi sudah menjadi suratan takdir‘; (2) ‗majas dalam sastra yang menyatakan
makna bertentangan dengan makna sesungguhnya, misalnya dengan
mengemukakan makna yang berlawanan dengan makna yang sebenarnya dan
ketidaksesuaian antara suasana yang diketengahkan dengan kenyataan yang
mendasarinya‘ (KBBI, 2001:443).

20
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kritik sastra (tulisan kritikus sastra) menempati kedudukan yang penting
untuk memajukan ilmu sastra, terutama teori sastra dan sejarah sastra. Kritik
sastra berperan sebagai peningkat apresiasi sastra ditengah masyarakat. Adapun
fungsi kritik sastra adalah untuk pembinaan dan pengembangan sastra, untuk
pembinaan kebudayaan dan apresiasi seni, dan untuk menunjang ilmu sastra.
Seorang kritikus harus mempunyai ukuran, norma, atau kriteria sebagai alat
kerja mengkritik karya sastra. Ukuran, norma, atau kriteria di sini merupakan
aturan, kaidah, atau ketentuan yang dipakai sebagai tolok ukur untuk menilai atau
membandingkan suatu karya sastra. Tanpa memiliki tolok ukur, seorang kritikus
tidak dapat melakukan kritik sastranya. Sebab memberi pertimbangan dan
keputusan itu seseorang tentu menggunakan ukuran atau kriteria.
Apa pun tolok ukur yang digunakan (dapat dipakai lebih dari satu tolok ukur),
suatu penilaian harus didukung oleh alasan atau argumentasi sehingga dapat
diterima. Nilai memang tidak dapat dibuktikan, tetapi apabila dengan menyatakan
titik tolak tertentu, pandangan tentang sastra, dan ukuran nilai yang bertumpu
pada pandangan tersebut, haruslah dikemukakan alasan-alasan atau argumen
mengapa suatu teks dianggap bermutu dan mengapa teks lain dianggap kurang
atau tidak bermutu. Jadi, dalam menilai suatu karya sastra perlu tolok ukur
tertentu dengan mengemukakan alasan atau argumen yang jelas dan dapat
diterima.

B. Saran
Kami selaku penyusun menyadari bahwa makalah ini mungkin masih belum
sempurna. Hal ini disebabkan karena masih terbatasnya kemampuan kami. Oleh
karena itu, kami selaku penyusun makalah ini sangat mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun. Kami juga mengharapkan makalah ini sangat
bermanfaat bagi kami khususnya dan pembaca pada umumnya.

21
DAFTAR PUSTAKA

‗Buku Kritik Sastra.Pdf‘.


http://eprints.upgris.ac.id/309/1/Buku%20Kritik%20sastra.pdf.
Hardjana, Andre. 1981. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Gramedia.
Jassin, Hans Bague. 1967. 1 Kesusastraan Indonesia Modern Dalam Kritik dan
Esei. Gunung Agung.
Luxemburg, Jan van et. al. 1984. Pengantar Ilmu Sastra: Terjemahan Dick
Hartoko. Jakarta: Gramedia
Santosa, Puji. 2006. ‗Tolok Ukur dalam Kritik Sastra‘. Dalam Sawo Manila
Nomor 1: 40–46.
———. ‗Tolok Ukur dalam Kritik Sastra‘. : 26.
Teeuw, A. 1983. ‗Membaca Dan Menilai Sastra: Gramedia‘.

iii

You might also like