You are on page 1of 12

Penghemat BBM

Banyak Tawaran, Pilih yang Masuk Akal

Dalam kondisi ekonomi yang serba tidak menentu, naik turunnya harga
jual bensin jenis Pertamax dan Pertamax Plus dari Pertamina, atau
produk swasta dari Shell maupun Petronas, kadang menyebalkan.
Apalagi, selang waktu naik turunnya kadang begitu cepat.

Contohnya, pada 1 Juni 2006 Pertamina menaikkan harga Pertamax


untuk penjualan di Jawa dari Rp 5.800 menjadi Rp 6.400 atau naik Rp
800 per liter. Selang seminggu kemudian, 7 Juni 2006, harganya turun
lagi menjadi Rp 6.000 dan Pertamax Plus Rp 6.250. Sampai kapan harga
BBM ini bertahan, tak ada yang tahu.

Akibatnya tentu saja menyulitkan pemilik kendaraan yang harus


menggunakan bahan bakar beroktan tinggi. Padahal, produk-produk
mobil modern yang kini banyak dipasarkan di negeri ini justru makin
banyak yang menuntut bensin beroktan tinggi, agar bisa menghasilkan
kompresi yang tinggi. Dalam kondisi begini, banyak pemilik kendaraan
yang melirik berbagai tawaran menghemat pemakaian BBM.

Ini yang memicu berkembangnya bisnis alat penghemat BBM. Secara


umum ada beberapa kategori alat penghemat BBM, yang beredar di
pasar Indonesia, baik yang berkaitan dengan bahan bakarnya, udara,
pelepasan gas buang hasil pembakaran, serta modifikasi mesin.

Yang paling mudah adalah memasukkan cairan untuk dilarutkan ke BBM


untuk memperbaiki kualitas BBM lewat berbagai produk cairan
penambah oktan (octane booster) atau aditif bahan bakar. Namun,
sebagian orang merasa cara ini merepotkan karena harus bolak-balik
mengisi. Lagi pula, jika dikalkulasi, biaya cairan itu ditambah harga BBM
jadinya setali tiga uang, dengan Pertamax, alias tidak irit.

Pil dan magnet

Cara lain yang juga biasa dipakai adalah memasukkan alat berbentuk pil
ke dalam tangki bahan bakar mobil. Ada beberapa produk seperti
Broquet, Fitch Fuel Catalyst, Specta Fuel Catalyst, Prozone, Fuelstar,
Fuelcat, dan Enviromax Plus, yang diklaim bisa memperbaiki kualitas
pembakaran. Teorinya katalis akan mengubah rantai molekul bensin,
untuk menyempurnakan pembakaran di ruang bakar. Formula bahan
bakar terstimulasi sehingga rantai molekulnya menjadi lebih pendek
sehingga terbakar lebih sempurna.

Produsennya mengklaim penghematan 7 hingga 23 persen. Untuk mobil


yang menggunakan karburator, hasilnya relatif lebih tinggi ketimbang
sistem injeksi. Beberapa media otomotif telah membuktikan lewat uji
coba pada beberapa sepeda motor. Efisiensi pada sepeda motor bahkan
ada yang sampai 49 persen. Ini mungkin terjadi selain karena kualitas
bensin di negeri ini memang jelek, juga karena umumnya sepeda motor
di negeri ini memakai karburator.

Sebenarnya teknologi ini bukan temuan baru karena dipakai oleh Rusia
di era Perang Dunia II. Justru karena "tuanya" teknologi ini, banyak pihak
memperdebatkan efektivitasnya. Ada yang menyatakan alat itu tidak
banyak pengaruhnya untuk mesin-mesin mobil modern. Apalagi, katalis
ini diklaim bisa dipakai untuk bensin maupun solar, dua jenis BBM yang
karakternya jauh berbeda.

Cara lain adalah dengan meletakkan magnet pada saluran bahan bakar.
Produk ini banyak beredar di Indonesia karena harganya relatif murah—
mulai dari Rp 150.000 hingga Rp 600.000—, pemasangannya mudah
dan tak butuh perawatan.

Metode yang sudah dikenal sejak akhir 1970-an ini terus berkembang
dengan berbagai varian. Ada yang memakai dua keping magnet yang
saling tarik, ada yang justru tolak-menolak. Ada pula yang tak langsung
memakai magnet, tetapi logam yang secara elektrik berproses seperti
magnet. Beberapa merek beredar di Indonesia, seperti Fuelmax, Fuel
Xtreme, MAXPower, FuelSaverPro, Femax, Motosave, Option Ring,
Ecoflow, atau Prozone. Penghematan bahan bakar diklaim 15 hingga 27
persen.

Metodenya begini. Yang dilakukan magnet di saluran BBM adalah


menyatuarahkan molekul bahan bakar sehingga mempercepat
gerakannya. Sebagian mengklaim magnet neodimium bisa memecah dan
melakukan ionisasi rantai molekul hidrokarbon pada BBM sehingga
pembakaran lebih sempurna.

Metode ini juga diwarnai pro-kontra. Beberapa tabloid otomotif juga telah
melakukan tes dan memberi kesaksian atas efektivitas alat ini dalam
menghemat bahan bakar hingga 22 persen. Departemen Kelautan dan
Perikanan dan sebuah produsen mobil bahkan pernah memberi
rekomendasi pada magnet ini.

Sebaliknya ada yang menilai magnet tak terlalu besar pengaruhnya pada
bahan bakar hidrokarbon. Kalaupun ada, penyatuarahan molekul dan
kecepatan bakar yang dihasilkannya tak signifikan menyebabkan
penghematan.

Ada yang bilang, penyatuarahan molekul hanya terjadi saat bahan bakar
melewati magnet. Setelah lewat, apalagi dengan kecepatan tinggi dan
kendaraan yang bergetar, arah molekul bahan bakar akan kembali
"berantakan" saat masuk ke ruang bakar. Lagi pula, kalau memang
efektif, mengapa produsen mobil tak memasang magnet di produk
mereka? Soal-soal ini lah yang oleh pengamat otomotif Tony Cains juga
digugat panjang lebar lewat situsnya FuelSaving.info.

Menggarap udara

Cara lain adalah dengan meningkatkan kualitas udara yang masuk ke


ruang bakar, dengan meletakkan peranti di kotak filter udara. Di AS ada
beberapa peranti untuk memasukkan udara ke dalam inlet manifold,
seperti Ecotek, Micro-Compressor, Powerjet USA, dan Khaos. Di
Indonesia kini juga beredar Magic Jet Power Up System yang memakai
formulasi titanium dan alumunium.

Cara ini juga dikembangkan sejak 1970-an dan diklaim bisa


meningkatkan atomisasi dan turbolensi sehingga meningkatkan
pembakaran. Teorinya, campuran ideal untuk rasio udara dengan bensin
adalah 14,5 berbanding 1 dengan satuan lambada. Jika
perbandingannya di bawah satu lambada, artinya terlalu banyak bensin
dan jika lambadanya di atas satu, artinya terlalu banyak udara.

Mesin akan bergerak mulus pada kisaran 0,9 lambada. Artinya ada 10
persen dari partikel bensin yang terbuang, berupa hidrokarbon yang tak
terbakar dan karbon monoksida. Yang dilakukan peranti penghemat itu
adalah mengoptimalkan keseimbangan udara dan bensin sehingga tak
ada lagi yang terbuang. Inilah yang diklaim bisa melakukan penghematan
15 hingga 22 persen. Beberapa uji coba yang dilakukan beberapa media
otomotif memberi persentase lebih tinggi, hingga 36 persen saat dicoba
pada sepeda motor, sementara untuk mobil penghematannya 10 hingga
15 persen.

Namun, untuk mesin-mesin modern yang telah memasukkan sensor


lambada ke sistem pembakarannya, pengaruh peranti ini dipertanyakan.
Di Eropa, misalnya, hampir semua produsen mobil sudah memasang
catalitic converter pada produknya sehingga sistem manajemen
mesinnya sudah menghasilkan rasio udara dan bensin pada satu
lambada.

Ada lagi peranti yang dibuat untuk meningkatkan turbolensi ke dalam


ruang bakar. Turbolensi memang menjadi semacam keharusan untuk
mesin-mesin modern. Tujuannya mempercepat pembakaran campuran
bahan bakar dan udara pada saat yang tepat. Ini diwakili peranti dengan
merek Ecotek, Tornado, Hiclone, Powerjet USA, SpiralMax, Turbonator,
atau Vortex Valve. Produsen produk-produk ini sekaligus menawarkan
sistem atomisasi bensin untuk mempercepat pembakaran.

Prinsipnya begini. Bensin atau solar harus diuapkan dulu agar bisa
dibakar. Ini menyebabkan proses pembakaran lebih lambat, misalnya
dibanding gas. Padahal, kinerja mesin ditentukan kecepatan
pembakaran. Produk ini bekerja mempercepat pembakaran dengan
membuat pusaran udara yang masuk ke ruang bakar harus bergerak
cepat, untuk memacu proses penguapan dan menyebarkan uap bensin
ke seluruh ruang bakar. Namun, efektivitas peranti ini juga sangat
ditentukan kemampuan produsen mobil mendesain saluran masuk udara
dan sistem turbolensi.

Namun, lepas dari pro dan kontra atas efektivitasnya melakukan


penghematan BBM, semua peranti di atas, baik yang sudah diuji coba
maupun belum, sangat bergantung juga pada kesadaran untuk
mengemudi secara benar. Cara mengemudi yang salah juga bisa
membuat semua peranti tersebut mubazir.

Modifikasi mesin

Cara yang tampaknya paling efektif untuk penghematan bahan bakar


adalah modifikasi mesin. Tentu saja jika didukung dengan cara
mengemudi yang baik. Ada beberapa faktor yang bisa membenarkan.
Beberapa produsen mobil memproduksi struktur mesin yang memang
tidak mendukung penghematan bahan bakar.

Apalagi, tidak jarang produsen hanya melakukan sedikit modifikasi dari


mesin sebelumnya. Ada yang sekadar mengerdilkan struktur mesin
besar, hanya untuk menampung kebutuhan konsumen. Produsen mobil
dari AS pernah mengerdilkan mesin dari 4.200 cc menjadi 2.200 cc,
hanya untuk memenuhi selera pasar Indonesia untuk sport utility vehicle
(SUV). Strukturnya, bobot kendaraan atau bahkan sistem
pembuangannya dicomot begitu saja dari mobil 4.200 cc tadi. Sebaliknya
ada yang memperbesar mesin, hanya dengan memindahkan dari produk
lain tanpa memperhitungkan efisiensi bahan bakar. Banyaknya kasus
produk cacat juga menunjukkan tidak semua produsen memperhitungkan
aspek penghematan BBM.

Menurut teknisi otomotif Jasin Stefanus, kendaraan yang diproduksi


massal rata-rata efisiensinya cuma 75-80 persen dari seharusnya. Ini
memberi ruang bagi para teknisi atau pehobi otomotif untuk melakukan
modifikasi mesin agar kinerja mesin meningkat. Contoh kecil,
penggantian knalpot atau pemasangan header yang tepat saja bisa
memberi ruang untuk penghematan BBM.

Selain itu, teknisi biasanya berusaha meningkatkan kompresi, lalu


menghaluskan jalur exhaust dan intake pada kepala silinder serta
melakukan penyetelan ulang klep. Ini umumnya yang dilakukan untuk
melakukan penghematan, sekaligus meningkatkan kinerja mesin.

Masalahnya, untuk modifikasi mesin mobil, selain berbiaya besar, juga


memiliki risiko besar. Jika gagal, tidak semua modifikasi mesin bisa
dengan mudah dikembalikan pada kondisi semula. Karena itulah, memilih
bengkel atau teknisi yang tepat menjadi aspek yang penting. Kalau yang
dijanjikan tidak masuk akal, urungkan saja. (Nugroho F Yudho)

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0607/21/Otomotif/2787204.htm
Alamat: http://www.kpbb.org/utama_2.html

Fakta Kualitas BBM di Indonesia

Pencemaran udara masih menjadi ancaman bagi sebagian


besar wilayah di negara kita, terutama kota-kota besar yang padat
dengan lalu lintas. Hal ini telah menjadi keprihatinan kita semua
sehingga perlu diambil langkah-langkah implementatif dan
terintegrasi yang dapat meningkatkan kualitas udara. Pada upaya
penurunan emisi kendaraan bermotor, langkah-langkah langkah
tersebut dilakukan melalui peningkatan kualitas bahan bakar.
Terkait dengan upaya peningkatan kualitas bahan bakar dan
sebagai tindak lanjut dari Pencanangan 2005 Indonesia Bebas
Bensin Bertimbel, Kementerian Lingkungan Hidup RI
bekerjasama dengan KPBB melakukan pengujian kualitas bahan
bakar di 10 kota. Ditetapkannya 10 kota ini diproyeksikan untuk
merepresentasikan kondisi kualitas bahan bakar di Indonesia.
Bahan bakar yang diuji adalah bensin Premium dan solar
dengan parameter yang diukur yaitu kadar timbel dan angka
oktan untuk bensin dan angka cetane, kadar belerang dan
destilasi untuk solar.

Berdasarkan data hasil pengujian 10 kota menunjukkan


bahwa bahan bakar bensin sebagian besar wilayah di Indonesia
masih dipasok oleh bensin bertimbel terutama di kota Makasar,
Palembang dan Medan, sekalipun ada peningkatan pemasokan
bensin tanpa timbel untuk kawasan Pantura Pulau Jawa
menyusul dihapuskannya timbel dalam bensin di daerah
Jabodetabek, Cirebon, Bali dan Batam. Sample yang diambil di
Semarang dan Surabaya menunjukkan telah dipasok dengan
bensin tanpa timbel, sekalipun 1 sample dari Semarang dan 2
sample di Surabaya memiliki kadar timbel di atas 0,013 gr/l. Ini
kemungkinan terjadi karena belum selesainya proses cleaning up
oleh pemasokan bensin tanpa timbel dari Kilang Balongan sejak
diresmikannya Kilang Langit Biru Balongan oleh Presiden SBY
pada 28 Agustus 2005 yang lalu. Sedangkan untuk kota-kota
lain rata-rata kadar timbel masih sangat tinggi seperti Bandung
(0,117 gr/l), Yogyakarta (0,068 gr/l), (Makassar 0,272 gr/l),
Palembang (0,528 gr/l) dan Medan (0,213 gr/l) jauh di atas
ketentuan yang diperbolehkan yaitu 0,013 gr/l. Sementara
untuk angka oktan, sebagian besar pasokan telah memiliki
angka yang memadai (RON 90) sekalipun masih ada beberapa
kawasan yang masih dipasok bensin dengan angka oktan di
bawah RON 88 (spesifikasi Migas) yaitu di kota Medan (RON
87).

Sementara Index Cetane masih dalam kisaran 48 hingga


68. Angka ini sekalipun sesuai dengan spesifikasi yang
dikeluarkan oleh Ditjen Migas, Dept. ESDM, harus ditingkatkan
apabila ingin memperbaiki kualitas udara. Angka Cetane selain
mempengaruhi emisi kendaraan dan konsumsi bahan bakar
juga berpengaruh secara signifikan terhadap emisi NOx terutama
pada beban rendah. Peningkatan Angka Cetane dari 50 menjadi
58 akan menurunkan 26% emisi hidrocarbon (HC) dan karbon
monoksida (CO). Dalam kaitannya dengan konsumsi bahan
bakar, kenaikan angka Cetane akan mengurangi konsumsi bahan
bakar dan juga kebisingan mesin. Dengan demikian, baik bensin
maupun solar masih perlu ditingkatkan kualitasnya. Untuk
bensin, penghapusan timbel menjadi prioritas untuk diterapkan
tahun ini, apalagi dengan kenaikan harga bensin Premium
(bertimbel dengan RON 88) menjadi Rp 4.500 per liter kiranya
merupakan peluang upaya itu mengingat harga bensin tanpa
timbel RON 89 berdasarkan MOPS adalah US$ 66/barel atau
setara dengan Rp 4.100 per liter. Demikian pula untuk solar,
penurunan kadar belerang harus segera diturunkan mencapai
maksimal 500 ppm. Upaya tersebut hendaknya diikuti pula
dengan peningkatan kualitas bahan bakar untuk berbagai
karakteristik lainnya di dalam bahan bakar melalui penurunan
kandungan aromatik, olefin, benzena (pada bensin) dan
peningkatan angka cetane (pada solar). Hal tersebut menjadi
prasyarat untuk penerapan rencana aksi penurunan emisi
kendaraan bermotor secara terpadu dalam kerangka peningkatan
kualitas udara terutama khususnya di daerah perkotaan. Apabila
hal tersebut tidak segera dilakukan maka pencemaran udara
selain membebani kita juga akan terus mengganggu
perkembangan kesehatan anak-anak kita serta berdampak pada
penurunan kualitas hidup.
Rangkuman!

Fakta Kualitas BBM di Indonesia

Terkait dengan upaya peningkatan kualitas bahan bakar dan


sebagai tindak lanjut dari Pencanangan 2005 Indonesia
Bebas Bensin Bertimbel, Kementerian Lingkungan Hidup
RI bekerjasama dengan KPBB melakukan pengujian
kualitas bahan bakar di 10 kota.Bahan bakar yang diuji
adalah bensin Premium dan solar dengan parameter yang
diukur yaitu kadar timbel dan angka oktan untuk bensin dan
angka cetane, kadar belerang dan destilasi untuk
solar.Ternyata banyak daerah terutama
diMakasar,Palembang dan Medan.Walaupun ada
pemasokan bensin tanpa Timbel untuk kawasan Pantau di
Pulau Jawa kita etap mengambil 1 Sample diSemarang 2
diSurabaya dan memiliki kadar timbel di atas 0,013
gr/l. Dan Untuk Kota-kota Lainnya Bandung (0,117 gr/l),
Yogyakarta (0,068 gr/l), (Makassar 0,272 gr/l), Palembang
(0,528 gr/l) dan Medan (0,213 gr/l) dan jauh di atas
ketentuan yang diperbolehkan yaitu 0,013 gr/l.Untuk angka
oktan, sebagian besar pasokan telah memiliki angka yang
memadai (RON 90) sekalipun masih ada beberapa kawasan
yang masih dipasok bensin dengan angka oktan di bawah
RON 88 (spesifikasi Migas) yaitu di kota Medan (RON
87).

Sementara Index Cetane masih dalam kisaran 48 hingga


68,Angka Cetane selain mempengaruhi emisi kendaraan
dan konsumsi bahan bakar juga berpengaruh secara
signifikan terhadap emisi NOx terutama pada beban
rendah.Dalam kaitannya dengan konsumsi bahan bakar,
kenaikan angka Cetane akan mengurangi konsumsi bahan
bakar dan juga kebisingan mesin. Demikian pula untuk
solar, penurunan kadar belerang harus segera diturunkan
mencapai maksimal 500 ppm. Upaya tersebut hendaknya
diikuti pula dengan peningkatan kualitas bahan bakar untuk
berbagai karakteristik lainnya di dalam bahan bakar melalui
penurunan kandungan aromatik, olefin, benzena (pada
bensin) dan peningkatan angka cetane (pada solar).

Dari artikel diatas ternyata permasalahan kwalitas bahan


bakar di negara kita ini sangat memprihatinkan.Terutama
pada bahan bakar Bensin dengan timbelnya dan Solar
dengan belerangnya. Kita sebagai generasi muda harus tetap
ber Inovasi untuk mengembangkan teknologi guna untuk
mengatasi masalah tersebut.Maka dengan itu mari kita
dukung program pemerintah agar udara kita dapat dinikmati
oleh anak cucu kita kelak.

You might also like