Professional Documents
Culture Documents
579-Article Text-1957-1-10-20191230
579-Article Text-1957-1-10-20191230
Three Types of Spatial Patterns in South Nias Traditional Villages, North Sumatera
Abstract. South Nias is one of many regions in Indonesia that still mantains the existence of
traditional settlement. Villages in this regency have unique characteristic shown from their
linear forms with two rows of houses facing each other. Although the villages all seem similar,
but in fact, there are three different spatial patterns. This research would be related with the
disparity of these traditional settlement patterns. Qualitative method was used in this research
by obtaining data through field observations, interviews, and literature study. The result reveals
that the traditional settlement patterns were in the shapes of branched linear, I-shaped linear, and
T-shaped linear. This classification was based on the variation of shapes and location of the village
material components. Another purpose in this research is to do a documentation about South Nias
traditional villages including their original components which become scarce nowadays due to
being damaged by natural factors or deliberately replaced by modern components.
Abstrak. Nias Selatan adalah salah satu wilayah di Indonesia yang masih mempertahankan
keberadaan permukiman tradisional. Desa-desa yang ditemukan di kabupaten tersebut memiliki
karakteristik yang unik, yaitu berbentuk linear dengan dua baris rumah yang saling berhadapan.
Meskipun sekilas desa-desa itu tampak memiliki bentuk yang sama, sebenarnya terdapat tiga tipe
bentuk tata ruang yang dijumpai pada desa tradisional di Nias Selatan. Permasalahan yang akan
dikaji dalam penelitian ini berkaitan dengan variasi bentuk tata ruang permukiman tradisional
di wilayah tersebut. Tujuannya untuk memperoleh klasifikasi bentuk permukiman tradisional
Nias Selatan. Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan adalah metode
kualitatif dengan pengumpulan data melalui observasi lapangan, wawancara, dan studi literatur.
Hasil penelitian menunjukkan, desa tradisional di Nias Selatan memiliki bentuk tata ruang linear
bercabang, linear I, dan linear T. Klasifikasi bentuk permukiman tersebut didasarkan atas perbedaan
bentuk dan keletakan komponen materi desa. Penelitian ini juga berupaya untuk melakukan
dokumentasi desa-desa tradisional Nias Selatan beserta komponennya yang kini menjadi langka
karena rusak oleh faktor alam maupun sengaja diganti dengan komponen yang modern.
45
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol.28 No.2, November 2019 (45-60)
46
Tiga Tipe Tata Ruang Desa Tradisional Di Nias Selatan,Sumatera Utara, Elyada Wigati Pramaresti
Nadu (1995) dan Asal-Usul Masyarakat Nias: adalah salah satu bentuk adaptasi manusia
Suatu Interpretasi (2013) yang menyebutkan terhadap lingkungannya sekaligus gambaran
Desa Sifalagӧ Gomo sebagai awal mula dari kehidupan sosial masyarakat yang
berkembangnya tradisi megalitik di Nias. mendiami suatu wilayah tertentu. Alasan
Tulisan mengenai persebaran tinggalan lain pemilihan topik ini adalah upaya untuk
megalitik di desa-desa Nias Selatan pernah melakukan dokumentasi desa-desa tradisional
diulas oleh Ketut Wiradnyana (2010) dalam Nias Selatan beserta komponennya, termasuk
Legitimasi Kekuasaan pada Budaya Nias. rumah tradisional yang semakin langka karena
Beberapa denah desa tradisional Nias rusak oleh faktor alam maupun sengaja diganti
digambarkan oleh Alain dan Viaro (2006) dengan bangunan modern.
dalam buku Traditional Architecture of Nias Dalam meneliti bentuk-bentuk tata
Island. Namun, denah-denah itu hanya disertai ruang desa tradisional di Nias Selatan,
dengan nama desa, penjelasan karakteristik penulis akan memusatkan bahasan pada lima
permukiman Nias secara umum, serta desa di Kabupaten Nias Selatan, yakni desa
keterangan lain yang cenderung terfokus pada Sifalagӧ Gomo di Kecamatan Bӧrӧnadu
pembahasan fisik rumah bangsawan desa. , Desa Bawӧmataluo, Hilinawalӧ Fau,
Sejauh ini belum ada peneliti yang mengkaji dan Onohondrӧ di Kecamatan Fanayama,
tipe tata ruang desa tradisional di Nias Selatan. serta desa Hili’amaetaniha di Kecamatan
Penulis tertarik untuk mengangkat tema ini Luahagundre Maniamӧlӧ. Kelima desa
karena tata ruang permukiman tradisional tersebut memiliki masyarakat pendukung yang
masih mempertahankan adat istidat leluhur
mereka serta elemen tata ruang permukiman
lama yang kini sulit ditemui pada desa-desa
di Nias Selatan. Permasalahan yang dibahas
dalam tulisan ini adalah bagaimana bentuk
tata ruang pada desa-desa tersebut dan apa
saja faktor yang berpengaruh pada ketiga tipe
tata ruang desa tradisional di Nias Selatan.
Tujuannya adalah untuk mendapatkan
gambaran mengenai bentuk-bentuk tata ruang
Gambar 1. Monumen megalitik dan rumah bangsawan desa tradisional Nias Selatan dan memahami
di Desa Bawӧmataluo (Dokumentasi: Elyada faktor-faktor yang melatarbelakangi perbedaan
Wigati, 2016)
tata ruang permukiman di wilayah itu.
2. Metode
Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif-analitis yang mengkaji objek
arkeologi, yakni tata ruang desa tradisional
Nias Selatan. Dalam penilitian deskriptif,
objek penelitian digambarkan berdasarkan
fakta-fakta yang tampak pada saat dilakukan
observasi (Nawawi, 2008: 63). Metode
analisis yang digunakan adalah metode
analisis kualitatif, yaitu penelitian yang tidak
Gambar 2. Desa Sifalagӧ Gomo di Kecamatan Bӧrӧnadu,
Nias Selatan. (Sumber: Sonjaya, 2010) menekankan pada perhitungan angka-angka,
47
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol.28 No.2, November 2019 (45-60)
melainkan berdasarkan atas asumsi kualitas Rumah para penduduk disusun berderet,
data (Tanudirjo, 1988: 36). Variabel yang saling berhadapan, dan rapat. Terdapat tiga
diamati meliputi bentuk jalan, keletakan tipe rumah tradisional Nias Selatan, yaitu
lapangan rapat, balai desa, dan gereja. omo hada, omo tuho, dan omo sebua (Duha,
Pengumpulan data dilakukan dengan tiga 2012: 64-67). Omo hada merupakan sebutan
cara, yakni observasi lapangan, wawancara, untuk rumah yang ditempati oleh rakyat jelata.
dan studi literatur. Dua cara pertama digunakan Jumlahnya paling banyak dan dapat ditemui
untuk memperoleh data primer, yakni data pada seluruh desa tradisional Nias Selatan.
yang dikumpulkan langsung dari desa-desa di Omo tuho adalah rumah yang ditempati oleh
Nias Selatan. Observasi lapangan dilakukan bangsawan biasa serta rakyat yang mempunyai
untuk mendapatkan data mengenai penataan status sosial cukup tinggi. Dewasa ini, rumah
rumah penduduk dan komponen lainnya pada tipe ini sudah sangat jarang ditemui di Nias
tiap desa, sedangkan istilah benda-benda serta Selatan. Omo sebua adalah rumah yang hanya
kepercayaan lokal masyarakat Nias Selatan dimiliki oleh bangsawan tertinggi. Ukurannya
didapatkan melalui wawancara dengan beberapa paling besar di antara rumah-rumah tradisional
tetua adat dan staf Museum Pusaka Nias. dalam suatu desa. Rumah tipe ini juga sudah
Studi literatur juga dilakukan untuk sangat jarang dan kini tidak selalu ada pada
memperoleh data sekunder. Penulis melakukan setiap desa.
studi pustaka terhadap laporan penelitian, buku Permukiman tradisional Nias Selatan
referensi, dan jurnal dalam negeri maupun juga memiliki sebuah jalan besar. Masyarakat
luar negeri. Kumpulan data tersebut diperoleh
melalui Perpustakaan Arkeologi Universitas
Gadjah Mada, Perpustakaan Fakultas Ilmu
Budaya UGM, dan Perpustakaan Museum
Pusaka Nias. Data-data itu akan digunakan
untuk menunjang data yang didapatkan selama
observasi lapangan.
48
Tiga Tipe Tata Ruang Desa Tradisional Di Nias Selatan,Sumatera Utara, Elyada Wigati Pramaresti
Nias Selatan menyebutnya newali (Duha, Permukiman tersebut dipercaya sebagai desa
2012: 199). Penduduk desa pada umumnya tertua di Pulau Nias. Lokasinya berada di
membangun jalan dengan menata batu-batu sebelah selatan Sungai Gomo yang melewati
alam yang dirapatkan tanpa menggunakan Kecamatan Bӧrӧnadu. Desa itu memiliki dua
semen. Namun, ada pula yang menggunakan pintu, yakni pintu sebelah barat daya dan pintu
campuran batu alam dengan kerikil. Biasanya timur laut. Masyarakat desa pada umumnya
jalan yang ditemukan pada desa-desa Nias lebih sering menggunakan pintu masuk yang
Selatan menghubungkan dua pintu masuk yang lebih besar, yakni pintu masuk barat daya.
berorientasi utara-selatan. Untuk mencapai pintu masuk barat, pengunjung
Ciri lainnya adalah adanya lapangan dari desa tetangga harus menyeberangi Sungai
rapat (ororahua). Lapangan rapat terletak Gomo terlebih dahulu. Sebaliknya, apabila
di depan rumah bangsawan pemimpin desa penduduk Sifalagӧ Gomo hendak pergi ke
dan digunakan sebagai pusat kegiatan adat, Kecamatan Gomo, mereka harus melewati
misalnya pesta penyambutan tamu. Pada tempat pintu timur laut dan juga menyeberangi sungai.
ini didirikan monumen-monumen megalitik Berdasarkan informasi dari Badan
bagi bangsawan yang telah menunaikan semua Pusat Statistik Nias Selatan, desa dihuni oleh
rangkaian pesta adat. Monumen megalitik penduduk yang jumlahnya mencapai 1.130 jiwa
merupakan elemen yang sangat penting dalam (Suharyadi, 2017:15). Mayoritas masyarakat
budaya Nias karena fungsinya sebagai peneguh Sifalagӧ Gomo tinggal di rumah modern dari
status sosial. Selain monumen megalitik, kayu dan sangat sedikit penduduk yang masih
sebuah balai desa (omo bale) juga didirikan tinggal di rumah tradisional. Rumah-rumah
di salah satu sisi lapangan rapat. Bangunan tersebut dibangun berderet, tidak rapat, dan
itu berfungsi sebagai tempat membicarakan saling berhadapan antara satu dengan yang
permasalahan adat. Dulu, balai desa dibuat lain. Deretan rumah di sebelah kanan dan
dengan gaya bangunan tradisional. Namun, sebelah kiri dipisahkan oleh sebuah jalan yang
dewasa ini pembuatan balai desa yang baru
mulai mengadopsi perpaduan gaya tradisional
dan modern, seperti balai desa Hili’amaetaniha.
Balai desa yang baru dibangun di tempat yang
sama dengan balai desa lama yang sudah roboh.
49
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol.28 No.2, November 2019 (45-60)
3.1.2 Linear I
Contoh permukiman tradisional Nias
Gambar 7. Desa Sifalagӧ Gomo dilihat dari satelit
pada tahun 2019 dengan perbandingan 1:50 Selatan yang memiliki bentuk linear I adalah
(Sumber: www.google.co.id/maps diedit oleh Desa Hilinawalӧ Fau dan Onohondrӧ. Berikut
Elyada Wigati)
ini akan dijelaskan mengenai tata ruang kedua
lebarnya 6 meter. Permukaan jalan ditutup desa tersebut.
dengan batu sungai yang datar dan kerikil. a. Desa Hilinawalӧ Fau
Jalan tersebut juga menghubungkan pintu Desa tersebut terletak di Kecamatan
masuk selatan dengan pintu masuk utara. Fanayama, tidak jauh dari desa Bawӧmataluo.
Panjang desa dari kedua ujung pintu masuk
kurang lebih 300 meter. Pada bagian tengah,
jalan bercabang ke arah barat di kelokan
Sungai Gomo (lihat Gambar 6). Samping
jalan merupakan area lapangan. Tempat itu
berhadapan langsung dengan rumah bangsawan
pemimpin desa. Beberapa monumen megalitik
dapat ditemukan di depan rumah bangsawan,
rumah rakyat, pinggir jalan, maupun di
Gambar 8. Kumpulan monumen megalitik di lapangan
tengah lapangan. Tinggalan megalitik yang rapat Desa Hilinawalӧ Fau (Sumber: Gruber
menjadi ciri khas Desa Sifalagӧ Gomo adalah and Herbig, 2005)
50
Tiga Tipe Tata Ruang Desa Tradisional Di Nias Selatan,Sumatera Utara, Elyada Wigati Pramaresti
51
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol.28 No.2, November 2019 (45-60)
52
Tiga Tipe Tata Ruang Desa Tradisional Di Nias Selatan,Sumatera Utara, Elyada Wigati Pramaresti
53
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol.28 No.2, November 2019 (45-60)
54
Tiga Tipe Tata Ruang Desa Tradisional Di Nias Selatan,Sumatera Utara, Elyada Wigati Pramaresti
55
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol.28 No.2, November 2019 (45-60)
Gambar 20. Keletakan kelima desa pada peta topografi Nias Selatan (Sumber: Peta topografi lembar Teluk
Dalam, AMS, 1954 dengan perubahan)
Musyawarah dan kegiatan adat lainnya Sifalagӧ Gomo juga berkelok ke arah timur,
selalu dilaksanakan di lapangan rapat, yang mengikuti aliran sungai.
dulunya juga berfungsi sebagai tempat Pemilihan lokasi desa di wilayah berbukit
melakukan ritual keagaman karena di dalamnya dilatarbelakangi oleh keberadaan Desa
terdapat omo nadu (lihat Gambar 5 pada sub- Sifalagӧ Gomo sebagai desa tertua di Nias.
bab sebelumnya). Ketiadaan balai desa dan Menurut catatan Thomsen, generasi keluarga
terpusatnya kegiatan pada satu tempat, yaitu bangsawan tertua di Sifalagӧ Gomo adalah
lapangan, menunjukkan bahwa desa tertua itu 40 generasi (Thomsen, 1976 dalam Sonjaya,
memiliki komponen fisik yang sederhana. 2008:57). Apabila ditambahkan dengan
Dalam memenuhi kebutuhan air, generasi tahun ini, akan didapatkan 42 generasi.
masyarakat Sifalagӧ Gomo bergantung pada Perhitungan untuk satu generasi kurang lebih
sungai Gomo yang mengalir di samping desa. 30 tahun (Faqih, 2010:98). Berdasarkan
Selain menyediakan air, sungai tersebut juga perhitungan tersebut, maka Desa Sifalagӧ
dapat berfungsi sebagai benteng alami karena Gomo diperkirakan berdiri sekitar tahun 759.
salah satu tepiannya berupa tebing. Sungai Hämmerle (2015) dalam bukunya menjelaskan
Gomo cukup besar dan bentuknya berkelok dari bahwa leluhur penduduk Sifalagӧ Gomo adalah
selatan ke timur (lihat Gambar 6 dan 7 di sub- pendatang minoritas. Sebelum kedatangan
bab sebelumnya). Oleh karena keletakannya mereka, sebenarnya sudah ada komunitas lebih
di sebelah sungai, jalan dan deretan rumah di awal yang mendiami Pulau Nias. Mengingat
56
Tiga Tipe Tata Ruang Desa Tradisional Di Nias Selatan,Sumatera Utara, Elyada Wigati Pramaresti
bahwa pulau tersebut berukuran kecil dan menunjukkan bahwa pada desa-desa tertua,
sumber daya alam terbatas, maka tidak heran preferensi keamanan lebih diutamakan
apabila muncul persaingan antara komunitas dibanding kesuburan tanah dan sumber air.
awal dengan komunitas pendatang. Penulis Ladang atau kebun yang ditemukan di sekitar
berasumsi bahwa para pendatang lebih Desa Onohondrӧ tidak begitu luas. Biasanya
memilih untuk menempati tempat yang berada ladang terletak di daerah yang lebih rendah
di antara bukit-bukit bertebing agar terlindung serta dekat dengan sumber air. Sumber air yang
dari serangan musuh. Konsekuensinya daerah jaraknya paling dekat dengan Desa Onohondrӧ
itu kurang subur dan tidak banyak tanah yang adalah Sungai Gomo Zumali (bedakan
bisa dipakai untuk berladang. Oleh karena itu, dengan Sungai Gomo yang ada di Kecamatan
jumlah penduduk desa tersebut sedikit karena Bӧrӧnadu karena di Nias seringkali ditemukan
sumber daya yang mampu menyokong mereka nama sungai atau desa yang sama).
juga terbatas. Ciri tata ruang yang nyaris serupa
Pemilihan lokasi permukiman yang juga ditemukan di desa Hilinawalӧ Fau.
mengutamakan keamanan juga terlihat Desa tersebut berdiri pada awal abad ke-
pada kasus Desa Onohondrӧ. Desa tersebut 19 (Pramaresti 2018:26). Lokasinya berada
merupakan permukiman tradisional tertua pada bukit yang lebih rendah dibanding Desa
di Kecamatan Fanayama. Sama seperti desa Onohondrӧ. Pada sebelah barat desa, mengalir
Sifalagӧ Gomo, leluhur penduduk Desa Sungai Gomo (sungai ini juga berbeda
Onohondrӧ memilih salah satu puncak dengan Sungai Gomo yang ada di kecamtan
tertinggi dari bukit-bukit di kecamatan Bӧrӧnadu). Bentuk komponen desa beserta
Fanayama sebagai tempat bermukim. Kondisi keletakannya di dalam desa tidak jauh berbeda
itu memungkinkan penduduk Desa Onohondrӧ dengan Onohondrӧ. Perbedaan hanya tampak
untuk leluasa melihat musuh dari atas bukit pada ukuran desa yang lebih besar. Kondisi
agar mampu mempertahankan diri. tersebut didukung oleh letak Desa Hilinawalӧ
Keletakan desa yang berada di pucuk bukit Fau yang berada dekat dengan sumber air dan
membuat bentuk tata ruang Desa Onohondrӧ memiliki tanah yang relatif lebih subur.
lurus memanjang berbentuk I dan agak sempit, Pada desa-desa yang letaknya tidak jauh
mengikuti lahan datar di puncak bukit. Oleh dari pesisir, bentuk tata ruangnya cenderung
karena itu, bangunan gereja ditempatkan di linear T. Contohnya adalah Desa Bawӧmataluo
luar area hunian. Ketersediaan lahan datar juga dan Hili’amaetaniha. Usia kedua desa tersebut
menjadi alasan lokasi lapangan rapat yang tidak terlalu tua. Hili’amaetaniha didirikan
menjadi satu dengan jalan besar yang ada di tahun 1863 (Hammerle, 2015: 70), sedangkan
dalam desa. Beberapa monumen megalitik dan desa Bawomataluo berdiri pada tahun 1867
sebuah balai desa ditemukan di area lapangan (Pramaresti, 2018:27). Meskipun sama-sama
serta berhadapan langsung dengan omo sebua. berada di area pesisir, keletakan kedua desa
Lokasi omo sebua yang berhadapan dengan berbeda. Hili’amaetaniha terletak di dekat
lapangan rapat dan berada di tengah deretan pantai Lagundri. Wilayah tersebut relatif
rumah bertujuan agar memudahkan bangsawan landai dan subur. Sisi barat desa adalah tanah
pemimpin desa untuk mengontrol setiap datar, sedangkan sisi timur laut berbatasan
kegiatan adat dan keadaan rakyatnya (lihat dengan sebuah bukit. Bentuk tata ruang desa
Gambar 12 pada sub-bab sebelumnya). dipengaruhi oleh permukaan wilayah yang
Konsekuensi dari pemilihan lokasi itu ditempati dan usaha penduduk desa untuk
adalah lahan yang subur relatif sedikit dan mencari mata air di lereng bukit. Sebaliknya,
desa agak jauh dari sumber air. Hal tersebut Desa Bawӧmataluo terletak di atas bukit.
57
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol.28 No.2, November 2019 (45-60)
Penduduk desa tersebut pada mulanya Karakteristik desa didasarkan atas preferensi
bermukim di Desa Orahili Fau yang berada terhadap keamanan mengingat leluhur
di kaki bukit. Tahun 1863, desa itu dibumi masyarakat Sifalagӧ Gomo adalah pendatang
hanguskan oleh pasukan Belanda (Hammerle, baru yang minoritas dan harus bersaing
2015:74) sehingga penduduknya melarikan diri dengan pendatang awal yang sudah lebih dulu
ke puncak bukit dan mendirikan desa baru yang menempati Pulau Nias. Alasan tersebut dapat
kelak menjadi Desa Bawӧmataluo. Meskipun terlihat dari karakteristik desa-desa tertua
berada di tempat tinggi, sumber air memadai seperti Sifalagӧ Gomo dan Onohondrӧ.
dan bukit tersebut dikelilingi oleh tanah yang Pada masa-masa yang lebih muda,
subur. Oleh karena itu, pertumbuhan penduduk preferensi penduduk bergeser dari yang tadinya
di Desa Bawӧmataluo sangat pesat. mengutamakan keamanan menjadi lebih
Seperti Desa Hili’amaetaniha, bentuk mempertimbangkan sumber air dan kesuburan
tata ruang Desa Bawӧmataluo linear T, tanah. Penduduk yang pada mulanya menetap
mengikuti bentuk permukaan lahan yang di wilayah perbukitan perlahan mulai turun
berada di puncak bukit. Perbedaan kedua desa ke daerah yang lebih rendah. Desa-desa besar
itu terletak pada posisi salah satu komponen, mulai bermunculan di area pantai seperti Desa
yakni balai desa. Pada Desa Hili’amaetaniha, Hili’amaetaniha. Jadi, permukiman di Nias
balai desa didirikan di area lapangan dan justru bermula di daerah pedalaman kemudian
terpisah dari deretan rumah. Kebalikan menyebar ke wilayah pesisir.
dari Desa Hili’amaetaniha, balai desa Namun, untuk desa Bawӧmataluo
Bawӧmataluo ditempatkan di ujung lapangan terdapat anomali karena penduduk yang
rapat dan berdempetan dengan deretan rumah. dulunya tinggal di daerah yang lebih rendah
Penulis sendiri berasumsi bahwa penempatan justru memilih naik ke atas bukit. Hal tersebut
balai desa seperti itu terkait dengan fungsi terjadi karena desa lama Orahili Fau yang ada
estetika. Balai desa yang ditempatkan dalam di kaki bukit dibakar oleh tentara Belanda.
satu deret dengan rumah rakyat bertujuan agar Perpindahan tersebut tidak hanya didasari oleh
pemandangan di area lapangan tidak terhalangi. alasan keamanan, melainkan juga keberadaan
Selain itu, keletakan balai desa yang berada di air dan kesuburan tanah. Kondisi lingkungan
persimpangan jalan dan berdekatan dengan yang menguntungkan itu berdampak pada
omo sebua dimaksudkan supaya pemimpin pesatnya pertumbuhan penduduk di Desa
desa dapat mengontrol kegiatan adat. Bawӧmataluo.
58
Tiga Tipe Tata Ruang Desa Tradisional Di Nias Selatan,Sumatera Utara, Elyada Wigati Pramaresti
narasumber Pankraius La’ia, Ina Asti Bu’ulӧlӧ, Haryani, Sinta Akhirian. 2016. Perkembangan
Sadarman Hondrӧ, Martinus Mo’arota Fau, Permukiman Kampung di Kerajaan
serta warga desa lainnya yang telah mendukung Amarasi, Nusa Tenggara Timur:
penulis selama pengambilan data di lapangan. Analisis Berdasarkan Peta Kuno. Tesis,
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Daftar Pustaka
Lubis, Bahar Arif. 2018. Kecamatan Fanayama
Duha, Nata’alui. 2012. Omo Niha: Perahu
dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Darat di Pulau Bergoyang. Gunung
Nias Selatan
Sitoli: Yayasan Pusaka Nias
Mashab, Mashuri. 2013. Politik Pemerintahan
Erawati, Erni. 2016. Tata Ruang Permukiman
Desa di Indonesia. Yogyakarta:
Tradisional To Kajang di Kabupaten
Universitas Gadjah Mada
Bulukumba Propinsi Sulawesi Selatan:
Kajian Sistem Sosial dan Nilai Budaya. Mentayani dan kawan-kawan. 2017. Menggali
Tesis, Yogyakarta: Universitas Gadjah Makna Arsitektur Vernakular: Ranah,
Mada Unsur, dan Aspek-Aspek Vernakularitas.
Temu Ilmiah Ikatan Peneliti Lingkungan
Faqih, Achmad, 2010. Kependudukan: Teori,
Binaan Indonesia. Lhokseumawe
Fakta, dan Masalah. Sleman: Dee
Publish Nawawi, Hadari. 2003. Metode Penelitian
Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah
Gruber, Petra and Herbig, Ulrike. 2005.
Mada University Press
Settlement and Housing on Nias Island:
Adaptation and Development. Austria: Pramaresti, Elyada Wigati. 2018. Variasi dan
Vienna University of Technology Perkembangan Ragam Hias pada Omo
Sebua di Nias Selatan, Sumatera Utara.
Hämmerle, Johannes. 1990. Omo Sebua.
Skripsi, Yogyakarta: Universitas Gadjah
Tanpa penerbit 1995. Hikaya Nadu.
Mada
Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias
2015. Asal-Usul Masyarakat Nias: Suatu Sonjaya, Jajang A. 2008. Melacak Batu
Interpretasi. Gunungsitoli: Yayasan Menguak Mitos. Yogyakarta:
Pusaka Nias Kanisius 2010. Makna Megalitik:
Kontekstualisasi dalam Sejarah
Hämmerle, Johannes dan Duha, Nata’alui.
Budaya Bӧrӧnadu. Laporan Penelitian.
2015. Hilizamӧfӧ: Persebaran Keturunan
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Mӧlӧ dari Eho Famӧda Danӧ hingga
Hili’amaetaniha. Gunungsitoli: Yayasan Suharyadi, Elly. 2017. Kecamatan Bӧrӧnadu
Pusaka Nias dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Nias Selatan
Harpioza, Okki Dwi. 2016. Identifikasi
Perubahan Arsitektur Rumah Tanudirdjo, Daud Aris.1988. Ragam Metode
Tradisional: Studi Kasus Permukiman Penelitian Arkeologi dalam Skripsi
Desa Kurau, Aliran Sungai Desa Kurau Karya Mahasiswa Arkeologi Universitas
di Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Gadjah Mada. Laporan Penelitian.
Bangka Belitung. Tesis, Yogyakarta: Yogyakarta: Fakultas Sastra, Universitas
Universitas Atma Jaya Gadjah Mada
59
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol.28 No.2, November 2019 (45-60)
Laman
60