You are on page 1of 18

PROPOSAL TESIS

PENGARUH NILAI-NILAI SYARIAT TERHADAP PERILAKU ADAT


BUDAYA MINANGKABAU DI SUMATERA BARAT

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Masuk


Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh:
Rais Alhaadi Iskandar
159000000030

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2015
PENGARUH NILAI-NILAI SYARI’AT TERHADAP PERILAKU ADAT
BUDAYA MINANGKABAU DI SUMATERA BARAT

Abstraction

For Minangkabau society, local identity is very important to be maintained,


especially issues that intersect with traditional philosophy. "Adat Basandi Syarak,
Syarak Basandi Kitabullah" is a fixed price for Minangkabau society. Because as
social order, tradition is a solution to solve any problems relating to social
interaction Minangnese community. While Syara' believed by Minangnese as a way
of life that in fact Islam is the ideology. Both tradition and Syara’ equally based on
Qur'aan, so the output of both refer to the provisions of the Book of Allah
subhanahu wa ta’ala.

This research is generally aims to reveal the extent of the involvement of


the values of sharia on Minangkabau tradition culture. Specifically aims to reveal
the efforts of Minangkabau Ulama and the researcher correlate sharia and
Minangkabau tradition in terms of method ijtihad, kaedah fiqhiyyah, maqasid
syari’ah and fiqh development.

Keywords: Values, Shari'ah, Tradition, Minangkabau, Fiqh


Abstraksi

Bagi masyarakat Minangkabau, identitas lokal amat penting untuk


dipertahankan, terlebih persoalan yang bersinggungan dengan falsafah adat. ‚Adat
Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah‛ merupakan harga mati bagi masyrakat
Minangkabau. Karena sebagai tatanan sosial, adat merupakan solusi dalam
memecahkan setiap persoalan-persoalan yang berkaitan dengan interaksi sosial
masyarakat Minang. Sedangkan Syara’ diyakini penuh oleh masyarakat Minang
sebagai pedoman hidup yang notabene berideologikan Islam. Baik adat maupun
syara’ sama-sama bersendikan kitabullah, sehingga output adat maupun syara’
wajib mengacu pada ketentuan kitabullah subhanahu wa ta’ala.

Penelitian ini secara umum bertujuan mengungkapkan sejauh mana


keterlibatan nilai-nilai syariat pada tatanan adat budaya Minangkabau. Secara
khusus bertujuan untuk mengungkapkan upaya ulama Minangkabau dan para
pangkaji dalam mengkorelasikan syari’at dan adat Minangkabau dari segi metode
ijtihad, kaedah fiqih, maqasid syari’ah dan pengembangan fiqih.

Kata Kunci: Nilai-Nilai, Syari’at, Adat, Minangkabau, Fiqih


PENGARUH NILAI-NILAI SYARIAT TERHADAP PERILAKU ADAT
BUDAYA MINANGKABAU DI SUMATERA BARAT

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dialog syariat dengan realita masyarakat telah terlihat sejak awal syariat
Islam diturunkan. Islam datang di tengah bangsa Arab yang telah memiliki adat dan
budaya sebagaimana lazimnya sebuah bangsa. Sebagian dari kebiasaan orang Arab
itu ada hal yang dipandang baik sehingga tidak dirubah oleh Islam dan ada juga
yang dipandang sebagai maksiat sehingga syariat mengubahnya bahkan
menghilangkannya.1 Akan tetapi, meski begitu Islam tidak tiba-tiba datang dengan
seluruh syariatnya untuk memberantas kemungkaran tersebut, syariat Islam turun
secara bertahap selama dua puluh tiga tahun dengan hikmah agar tidak
memberatkan para pemeluk Islam awal. Maka kita tahu berbagai detail syariat
justru diturunkan setelah Rasulallah berada di Madinah, 10 tahun setelah diangkat
menjadi Rasul.2 Contoh lain dari dialog syariat dengan realita adalah adanya
sejumlah syariat yang turun untuk merespon sebuah kejadian tertentu. Misalnya
mengenai ayat tentang hukum menikahi pezina3 yang turun untuk merespon

1
Muhammad al-Khudari Bik, Tarikh Tashri’ al-Islami, cet. 8 (Beirut: Dar al-Fikr.
1967), 17
2
Abd al-Wahhab Khallaf, Khulasah Tarikh Tasyri’ al-Islami (Kuwait: Dar al-
Qalam, tt.), 20; Nasr Farid Muhammad Wasil, al-Madkhal al-Wasit li Dirasah al-Shari’ah
al-Islamiyyah wa al-Fiqh wa al-Tashri’ (Kairo al-Maktabah al-Tawfiqiyyah, tt.), 47-48.
3
Yaitu ayat ketiga dari surat Nur (24) berikut:
‫الساوي ال يىكح إال زاهية أو مشركة والساهية ال يىكحها إال زان أو مشرك وحرم ذلك على املؤمىين‬
‚Seorang lelaki pezina hanya bisa menikah dengan wanita pezina atau
seorang wanita musyrik, dan seorang wanita pezina hanya bisa dinikahi oleh
lelaki pezina atau seorang lelaki musyrik, dan hal itu diharamkan bagi orang
mukmin.‛
seorang lelaki yang ingin menikahi pezina di masa Rasulullah.4 Atau beberapa ayat
yang turun karena pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah.5

Ilmu ushul al-Fiqh, ilmu yang dikenal sebagai alat serta wasilah dalam
mendapatkan sebuah hukum, membantu para Musyari’dan Qodhi di dalam
menyelesaikan masalah ummah, memiliki term-term yang disebut dengan ‚Al-
Adilah Al-Syar’iyah‛ yang sepuluh.6 Salah satu dari term-term tersebut adalah ‘Urf
(adat, budaya dan kebiasaan). Adat atau ‘urf merupakan kebiasaan dalam
masyarakat dan menjadi salah satu kebutuhan sosial yang sulit untuk ditinggalkan
dan berat untuk dilepaskan. Oleh karena itu, dalam pembinaan hukum Islam terlihat
dengan jelas bahwa syari’at Islam sangat memperhatikan ‘urf masyarakat setempat.

Peluang ‘urf untuk bisa dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum


secara implisit diisyaratkan oleh beberapa ayat hukum dalam al-Qur’an, antara lain,
dalam kewajiban sang ayah memberi makan dan pakaian kepada para istri-istri,7
dan begitu juga pemberian mut’ah kepada mereka yang telah diceraikan.8 Dalam

4
Ali b. Ahmad al-Wahidi, Asbab al-Nuzul, cet. 2 (Dammam: Dar al-Islah, 1992),
316.; Jalal al-Din al-Suyuti, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul (Beirut: Muassasah al-Kutub
al-Thaqafiyyah, 2002), 181.
5
Setidaknya terdapat sekitar 20 pertanyaan istifta (meminta penjelasan) semacam
ini di dalam al-Quran. Pertanyaan itu menyangkut tentang haid, nafkah, hilal, hari kiamat,
gunung, peperangan, halal dan haram, harta anak yatim, harta rampasan perang, adzab,
pembalasan di akhirat, dan tentang kebesaran Allah. Lihat: Muhammad b. Ya’qub, Basair
Dhawi al-Tamyiz fi Lataif al-Kitab al-Aziz, cet. 3 (Kairo: al-Majlis al-A’la li al-Shu’un al-
Islamiyyah, 1996), iii, 167-168.
6
Dari sepuluh al-Adilah al-Syar’iyah, empat yang disepakati keabsahannya oleh
para jumhur muslimin dalam pengistimbatan, yaitu: Al-Qur’an, Sunah, Ijma’, dan Qiyas.
Sedang kan enam tersisa diperselisihkan, yaitu: Istihsan, Maslahah Mursalah, ‘Urf,
Istishab, Syar’u Man Qablanaa, dan Mazhab as-Shahabi. Lihat: Abd al-Wahab Khalaf , Ilmu
Ushul al-Figh, cet. 7 (Kairo: Dar al-Hadist, 2003), 19-20.
7
Yaitu ayat ketiga dari surat al-Baqarah (233) berikut:
‫و على املىلىد له رزقهن و كسىتهن بامعروف‬
‚Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara
yang patut‛
8
Yaitu ayat ketiga dari surat al-Baqarah (241) berikut:
‫و للمطلقات متاع باملعروف‬
ayat tersebut tidak dijelaskan mengenai macam, jenis atau bentuk, dan batasan
banyak sedikitnya yang harus diberikan. Hal ini karena Islam memahami bahwa
tingkat kehidupan, kemampuan, dan ‘urf masyarakat berbeda antara satu dengan
yang lainnya. Syari’at Islam memberikan kesempatan untuk menetapkan ketentuan
hukumnya sesuai ‘urf setempat. Oleh karena itu, ketentuan hukum mengenai
kewajiban memberi nafkah bagi suami atau orangtua yang ada dalam berbagai kitab
fiqh (dari berbagai macam madzhab) berbeda-beda antara satu dan yang lain, salah
satu pemicu perbedaan tersebut dikarenakan perbedaan tradisi dimana ulama
9
tersebut berada.

Atas dasar itulah para ahli ushul fiqh membuat qaidah-qaidah yang
berhubungan dengan ‘urf, antara lain:

‫ العادة محكمة‬.١

"Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai landasan hukum."


َ
.‫ اليىكر تغير الحكم بتغير ألامكىة و ألازمان‬.٢

"Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum (berhuhungan) dengan


perubahan tempat dan masa."
َ
.‫ كل ما ورد به الشرع مطلقا و ال ظابط له فيه و ال اللغة يرجع فيه إلى العرف‬.٣

‚Setiap ketentuan yang diterangkan oleh syara’ secara mutlak dan


tidak ada pembatasnya dalam syara dan tidak ada juga dalam
ketentuan bahasa, maka ketentuan itu dikembalikan kepada ‘urf‛10

‚Dan bagi perempuan-perempuan yang diceraikan hendaklah diberikan


mut’ah menurut cara yang patut‛
9
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi. Juz 1. (Beirut: Dar al-Fikr)
10
Dr. Abd al-Aziz Mohammad ‘azam, al-Qawaid al-Fiqhiyyah, cet 3 (Kairo: Dar
al-Hadist, 2006 M – 1426 H), 172, 197, dan 197.
Kaidah-kaidah tersebut memberikan peluang pada kita untuk menetapkan
ketentuan-ketentuan hukum. Sifat al-Qur’an dan al-Sunnah hanya memberikan
prinsip-prinsip dasar dan karakter keuniversalan hukum Islam. Jadi apabila tidak
ada nash yang menjelaskan ketentuan hukumnya, para Qodhi, Musyari’ ataupun
Ushulli meneliti dan memperhatikan ‘urf untuk dijadikan dasar pertimbangan
dalam menetapkan suatu ketentuan hukum yang merupakan suatu keharusan. Akan
tetapi, tidak semua ‘urf manusia dapat dijadikan dasar hukum, hanya ‘urf yang
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dan tujuan-tujuan hukum Islam itu
sendiri. Itulah sebabnya para ulama mengklasifikasikan ‘urf menjadi dua macam,
yaitu al-‘urf al-shahih, yaitu kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat
dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam yang ada dalam, nash
(al-Qur’an dan al-Sunnah). Yang kedua, al-‘urf al-fasid yaitu kebiasaan yang telah
berlaku di tengah-tengah masyarakat, tetapi kebiasaan tersebut bertentangan
dengan nash atau ajaran-ajaran syari’ah secara umum.11

Minangkabau adalah suatu lingkungan adat yang terletak menyeluruh di


propinsi Sumatera Barat. Dikatakan menyeluruh, karena pengertian Minangkabau
tidaklah persis sama dengan pengertian Sumatera Barat. Minangkabau lebih
cenderung mengandung makna adat budaya sosial kultural, sedangkan Sumatera
Barat lebih cenderung bermakna geografis administratif.12 Dari segi sosial budaya,
Minangkabau melampaui jauh teritorial Sumatera Barat sekarang.13 Dengan
demikian dapat dipahami bahwa Minangkabau berada dalam geografis Sumatera
Barat. Penulis menggunakan term Minangkabau dalam penulis kajian ini karena
penulis menilai kedekatan masyarakat adat dengan ajaran Islam identik dengan
istilah filsafat Minangkabau ‚Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah‛,
bukanlah filsafat Sumatera Barat. Sebagai komunitas budaya yang menjunjung

11
Abd al-Wahab Khalaf , Ilmu Ushul al-Figh, cet. 7 (Kairo: Dar al-Hadist, 2003),
99-101
12
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan
Adat Minangkabau (Desertasi UIN Jakarta, 1982), 233.
13
Duski Samad, ‚Tradisionalisme Islam di Minangkabau: Dinamika, Perubahan
dan Kontinuitasnya‛, Tajdid: Jurnal Nasional Ilmu-ilmu Ushuluddin (Juli 2003), vol 6, no.
2, 120.
tinggi nilai-nilai adat dan agama, tidak berlebihan jika masyarakat Minangkabau
dikatakan masyarakat yang religius. Religiusitas masyarakat Minangkabau
tercermin dalam petatah, petitih, mamangan, petuah, yang dipakai dalam bebagai
rangkaian kegiatan ke-adatan. Falsafah Adat Basandi Syarak Basandi
Kitabullah memberi format yang jelas akan identitas masyarakat Minangkabau.

Minangkabau dengan kebudayaannya telah ada jauh sebelum datangnya


Islam, bahkan juga telah ada sebelum masuknya Hindu dan Budha.14 Sebelum
datangnya pengaruh dari luar, kebudayaan Minangkabau telah menemukan
bentuknya yang terintegrasi dan kepribadian yang kokoh.15 Oleh sebab itu,
kebudayaan yang datang dari luar tidaklah mempengaruhinya secara mudah.
Penerimaan kebudayaan dari luar akan diseleksi dan mana di antaranya yang
bertentangan dengan dasar falsafah adat tidak akan dapat bertahan di
Minangkabau.16 Secara tidak langsung, dapat kita cermati bahwa pergumulan yang
terjadi pada masyarakat Minangkabau sampai pada bentuk akhirnya merupakan
bentuk murni dari integrasi nilai-nilai adat dengan ajaran Islam.

Pada pertengahan abad ke-7 Masehi, agama Islam sudah mulai memasuki
Minangkabau. Namun pada waktu itu perkembangan Islam di Minangkabau masih
boleh dikatakan merupakan usaha yang kebetulan saja, karena adanya pedagang-
pedagang yang beragama Islam datang ke Minangkabau. Pengaruh Islam pun hanya
terbatas pada daerah-daerah yang didatangi oleh pedagang pedagang Islam, yaitu di
sekitar kota-kota dagang di pantai Timur Sumatera. Masuknya agama Islam itu ada
yang secara langsung dibawa oleh pedagang Arab dan ada yang dibawa oleh
Pedagang India atau lainnya, artinya tidak langsung datang dari negeri Arab.17
Sejak abad ke-13 Masehi, masyarakat Minangkabau telah mengalami rangkaian

14
Nasrun, Dasar Filsafat Adat Minangkabau (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), 13.
15
Sidi Gazalba, Konflik Antara Adat, Agama dan Pengaruh Adat (Padang:
Seminar Islam di Minangkabau, 1969), 3.
16
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan
Adat Minangkabau (Desertasi UIN Jakarta, 1982), 245.
17
Duski Samad, ‚Tradisionalisme Islam di Minangkabau: Dinamika, Perubahan
dan Kontinuitasnya‛, Tajdid: Jurnal Nasional Ilmu-ilmu Ushuluddin (Juli 2003), vol 6, no.
2, 120.
goncangan dan perubahan sosial, yang secara mendasar telah mempengaruhi sistem
nilai dan tatanan kelembagaan masyarakat yang berbasis nagari. Agama Hindu dan
Budha yang dianut oleh keluarga kerajaan-kerajaan Minangkabau18 lama selama
berabad-abad sejak abad ke-13 tersebut tidak banyak berpengaruh kepada
masyarakat Minangkabau, yang tetap berpegang pada adat Minangkabau, yang
berpedoman pada ajaran alam takambang jadi guru.

Berbeda dengan agama Hindu dan Budha tersebut, agama Islam yang
masuk dalam abad ke-16 Masehi secara bertahap dianut oleh masyarakat
Minangkabau, dan tumbuh sebagai faktor penting dalam perkembangan sejarah dan
kebudayaan Minangkabau dalam abad-abad berikutnya. Namun, pada mulanya ada
perbedaan ajaran antara adat Minangkabau dan agama Islam – khususnya dalam
masalah hukum kekerabatan dan hukum waris– telah menyebabkan timbulnya
serangkaian masalah dalam hukum perdata, yang memerlukan penyesuaian
mendasar dalam kaidah hukum serta kelembagaan sosial. Oleh karena masyarakat
Minangkabau tidak mempunyai tatanan kelembagaan di atas tingkat nagari, maka
rangkaian goncangan dan perubahan sosial tersebut hanya diselesaikan secara lokal,
dan belum pernah dikonsolidasikan secara menyeluruh, terarah, terpadu, dan
terencana.

Abad ke-19 Masehi adalah abad yang paling menentukan dalam sejarah dan
kebudayaan Minangkabau. Dalam abad ini bukan saja telah terjadi rangkaian upaya
pemurnian dan pembaharuan terhadap akidah dan pengamalan adat dan syarak,
tetapi juga telah terjadi campur tangan kaum kolonialis Hindia Belanda yang
mengadu domba kaum adat dan kaum agama, yang sama-sama menganut agama
Islam. Setelah mengalami konflik berkepanjangan yang disusul oleh perang saudara
yang dahsyat antara tahun 1803 sampai tahun 1821, dan dilanjutkan dengan Perang

18
Di kerajaan Pagaruyung sampai dengan berkuasanya Adityawarman, agama yang
dianut adalah agama Budha sekte Baiwara dan pengaruh agama Budha ini berkisar di
sekitar lingkungan istana raja saja. Tidak ada bukti-bukti yang menyatakan kepada kita
bahwa rakyat Minangkabau juga menganut agama tersebut secara menyeluruh. Lihat
Pembaharuan Oleh Agama Islam dalam http://www.minangkabau.info/ akses tanggal 13
July 2015, 15:37 WIB.
Minangkabau antara tahun 1821 sampai tahun 1838 untuk menghadapi kolonial
Hindia Belanda,19 pada tahun 1832 Tuanku Imam Bonjol memberikan fatwa ishlah
yang menjadi dasar untuk pengembangan Ajaran dasar Minangkabau ‚Adat
Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah,20 Syarak Mangato Adat Mamakai‛21 -
yang kemudian dilengkapi dengan ‚Panakiak pisau sirauik ambiak galah batang
lintabuang, salodang ambiak ka niru,Nan satitiek jadikan lauik, nan sakapa jadikan
gunuang, alam takambang jadi guru‛22 sebagai nilai dasar dalam menata
masyarakat Minangkabau.23

19
Hamka, Sejarah Minangkabau dengan Islam (Fort de Kock: Miratul Ikhwan,
1929), 113. Karena terjadinya perbenturan kedua kekuatan di Minangkabau –antara
kekuatan paderi yang berusaha dengan sekuat tenaga menyebarkan agama Islam secara
murni dengan kekuatan Belanda yang ingin meluaskan pengaruhnya di Minangkabau– maka
terjadilah ketegangan dan akhirnya terjadi perang antara kaum paderi dengan Belanda di
Minangkabau. Pada akhirnya rakyat Minangkabau melihat bahwa kekuatan Belanda tidak
hanya ditujukan kepada gerakan kaum Paderi saja, maka pada tahun 1833 rakyat
Minangkabau secara keseluruhannya juga mengangkat senjata melawan pihak Belanda.
Tetapi karena kecurangan dan kelicikan yang dilakukan pihak Belanda akhirnya peperangan
itu dapat dimenangkan Belanda, dalam arti kata semenjak tahun 1837 itu seluruh daerah
Minangkabau jatuh ke bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Lihat dalam
pembahasan Pembaharuan Islam di Minangkabau dalam http://www.minangkabau.info/
akses tanggal 13 July 2015, 15:37 WIB.
20
Sebuah ulasan singkat padat tentang sejarah konsep ―Adat Basandi Syarak,
Syarak Basandi Kitabullah‖ ini dapat dilihat dalam Gusti Asnan, Kamus Sejarah
Minangkabau, (Padang: PPIM, 2003), 8-10.
21
Frasa ―syarak mangato adat mamakai‖ ini selain terdapat dalam berbagai buku
tentang pepatah petitih adat Minangkabau, juga tercantum dalam dictum Kedua Ketetapan
Musyawarah Besar IX LKAAM Sumatera Barat Nomor TAP-10/MUBES/ IX
LKAAM/SB/VI/2005 Tanggal 5 Juni 2005 Tentang Aplikasi Adat Basandi Syarak Syarak
Basandi Kitabullah. Propinsi Sumatera Barat memiliki satu lembaga adat yang amat
berwibawa, yang terkenal dengan nama Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau atau
LKAAM. Lembaga ini memiliki wewenang besar dalam menentukan masalah-masalah adat
dan kebudayaan dalam masyarakat Minangkabau. Karena itu sungguh tidak mengherankan
kalau seseorang yang dipercayakan untuk memimpin lembaga ini dianggap memiliki satu
kelebihan tersendiri sebagai seorang tokoh yang diterima kaum adat.
22
redaksi lengkap dari falsafah alam takambang jadi guru, yang artinya, air yang
setitik rela (ihklas) diterima laksana sebanyak air lautan, tanah yang sekepal (segenggaman
tangan) rela diterima laksana sebesar gunung dan alam semesta raya ini dijadikan guru
(tempat belajar dan atau pemberi pelajaran).
23
Duski Samad, ‚Tradisionalisme Islam di Minangkabau: Dinamika, Perubahan
dan Kontinuitasnya‛, Tajdid: Jurnal Nasional Ilmu-ilmu Ushuluddin (Juli 2003), vol 6, no.
2, 121.
Nilai nilai adat Minangkabau tersebut bersumber dari adat dan agama yang
sering disebut dalam falsafah dasar Minangkabau. Falsafah ini bermakna landasan
dari sistem nilai yang menjadikan agama Islam sebagai sumber utama dalam pola
tatanan kehidupan masyarakat Minangkabau. Berdasarkan arti kata, ‚ Adat basandi
syarak, syarak basandi kitabullah‛ bermakna adat minangkabau bersendi dari
agama Islam (syarak) dan agama bersendikan kitab Allah SWT yaitu Al Quran.
Selanjutnya diikuti dengan falsafah yang memperkat nilai nilai adat Minangkabau
bersumber dari syariat Islam yaitu ‚syarak mangato, adat mamakai‛. Maksudnya
syariat Islam yang menyatakan atau menetapkan dan adat akan memakai atau
menerapkan dalam kehidupan sehari hari.

Sebagai bentuk contoh-contoh pengaruh nilai-nilai Islam terhadap adat


budaya Minangkabau pada era awal masuknya Islam. Raja Minangkabau yang mula
terkenal memeluk Islam digelari dengan sebutan Yang Dipertuan Alif atau Mahraja
Alif. Gelar yang didapatkan dari adat menjadikan huruf Alif sebagai nama, besar
artinya pengaruh tasawuf Islam pada masa itu ada dalam istana Minang tersendiri.
Raja Alif yang berjabatan sebagai raja alam bersemayam di istana Pagaruyuang
atau istana Balai Jangga. Diukur dengan system ketatanegaraan zaman modern,
jelas sekali kedudukan agama Islam dalam menjalankan pemerintahan bukan hanya
sekedar pengubah hati saja, sebagaimana yang dapat dilihat pada zaman sekarang,
tetapi berkuasa penuh dalam bidangnya.

Nilai yang terpatri selanjutnya, Pemerintahan pusat berkedudukan di


pagaruyung. Ketika kerajaan hendak mengadakan pertemuan besar, tabuh-tabuh
(beduk) yang berada di seantero kampung dan lorong-lorong jorong akan segera
ditabuh. Dimulai dari tabuh balairung istana hingga saling sahut menyahut dari satu
tabuh kampung satu ke kampung yang lain dan diakhiri dengan tabuh Jumaat yang
berada di jami’ (mesjid besar). Dengan artian, perintah berkumpul kaum pun telah
terpatri dan dikuatkan oleh mesjid.24

24
Prof. Dr. Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, Cet 1 (Selangor Malaysia:
Pustaka Dini Sdn Bhd, 2006), 100-104
B. PERMASALAHAN

- Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian di atas, beberapa permasalahan yang dapat


diidentifikasi adalah sebagai berikut:

1. Apa bentuk pengaruh nilai-nilai syariat terhadap perilaku adat budaya


Minangkabau?
2. Bagaimana perkembangan pengaruh nilai-nilai syariat dari awal datangnya
Islam hingga saat ini dalam adat budaya Minangkabau?
3. Sejauh mana korelasi antara syariat dan adat budaya di Minangkabau?

- Pembatasan Masalah

Penulis membatasi masalah dengan menjadikan Pusat Pengkajian Islam dan


Minangkabau (PPIM) Sumatera Barat dan lembaga Kerapatan Adat Alam
Minangkabau (LKAAM) sebagai objek penelitian.

- Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengungkapkan sejauh mana keterlibatan nilai-nilai Syariat pada tatanan


adat budaya Minangkabau.
2. Mengungkapkan kapan sebuah ‘urf yang sudah terlanjur berlaku di tengah
masyarakat bisa dijadikan sebagai dalil syariah.

- Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengaruh dan memberikan
inspirasi terhadap usaha pengembangan nilai-nilai syariat Islam khususnya pada
adat budaya Minangkabau, dengan melihat sejauh mana syariat berperan dari awal
masuknya Islam di bumi Minangkabau hingga saat ini dalam pembentukan
bangunan ‚Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato
Adat Mamakai‛

- Metodologi Penelitian
a. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research). Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, berupa studi pustaka
terhadap sumber-sumber terkait.
Adapun pendekatan metodologis (ushul fiqh) terhadap metode ijtihad atau
fatwa para ulama Minang yang digunakan, dan pendekatan sosiologis-historis
terkait konteks kejadian pada saat produk hukum hasil ijtihad atau fatwa itu dibuat.

b. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan sumber data primer dan sekunder.

1. Sumber data primer berupa:


a. Kajian-kajian yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan
Minangkabau (PPIM) Sumatera Barat dan lembaga Kerapatan Adat
Alam Minangkabau (LKAAM).
b. Hasil-hasil fatwa atau ijtihad ulama Minang terhadap ketentuan
adat budaya Minangkabau.
2. Sumber data sekunder berupa buku, jurnal, artikel, dan karya ilmiah lainnya
yang memuat kajian-kajian islam di Minangkabau, serta buku lain yang
terkait dengan objek penelitian ini.

- Sistematika Penulisan

Penulis membagi tesis ini ke dalam empat bab berikut:


Bab I, adalah pendahuluan: yang terdiri dari subbab-subbab: Latar belakang
masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian, jenis penelitian, sumber penelitian dan penelitian
yang relevan.

Bab II, membahas mengenai permasalahan yang terkait dengan dialektika


antara fikih dan realita adat budaya Minangkabau, dibagi menjadi dua subbab:
sejarah dialog syariat dengan adat budaya Minangkabau, dan pembahasan mengenai
progresivitas fiqih (syara’).

Bab III, membahas tentang upaya ulama-ulama Minang terdahulu, Pusat


Pengkajian Islam dan Minangkabau (PPIM) Sumatera Barat dan lembaga
Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) terhadap realita adat, dengan
membagi pembahasan menjadi 2 subbab, yaitu: upaya ulama-ulama Minangkabau
dalam merevolusikan adat jahili Minangkabau menjadi ‚Adat Basandi Syarak,
Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato Adat Mamakai‛dari sisi metodologis
dan upaya dari sisi praktis, dan nilai-nilai syariat yang terpatri berkat upaya
tersebut.

Bab IV, kesimpulan dan penutup.

- Penelitian Yang Relevan

Penelitian tentang Syara’ dan Adat telah dilakukan berulang kali, namun
dalam kajian yang berbeda. Beberapa penelitian yang telah dilakukan sehubungan
dengan Syara’ dan Adat, yaitu:

1. Aulia Rahmat (2011) dengan judul penelitian Reaktualisasi Nilai Islam


dalam Budaya Minangkabau Melalui Kebijakan Desentralisasi kajian
analisis terhadap Perda Kabupaten Solok Nomor 10 Tahun 2001 dengan
menggunakan pendekatan phenomenologic dari sisi politik hokum, materi
hokum dan perubahan sosial.25
2. Marni Malay (2015) dengan judul penelitian Nilai-Nilai Islami dalam
Pepatah Petitih Minangkabau meneliti nilai nilai Islami yang terkandung
dalam adat Minangkabau dari segi aspek pepatah-petitih26
3. Wita Wati (2013) dengan judul penelitian ‚Pembaharuan Islam di
Minangkabau‛ berfokus kepada peranan pendidikan dalam proses
pembaharuan Islam di Minangkabau.27

25
Aulia Rahmat, ‚Reaktualisasi Nilai Islam dalam Budaya Minangkabau Melalui
Kebijakan Desentralisasi‛ (Jakarta: 2011)
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=115442&val=5283 (accessed july 22,
2015)
26
Marni Malay (2015) ‚Nilai-Nilai Islami dalam Pepatah Petitih
Minangkabau‛(Jakarta: 2015), http://www.kompasiana.com/marnimalay/nilai-nilai-islami-
dalam-pepatah-petitih-minangkabau_54f8a02ba33311b9188b461f
27
Wita Wati,‚Pembaharuan Islam di Minangkabau‛ (Jakarta: 2013)
http://witawati34.blogspot.com/2013/03/pembaharuan-islam-di-minangkabau.html
OUTLINE TESIS

BAB I: PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Permasalahan
Identifikasi Masalah
Pembatasan Masalah
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Metodologi Penelitian
Jenis Penelitian
Teknis Analisis Data
Sumber Data
Sistematika Penulisan
Penelitian Terdahulu

BAB II: DIALEKTIKA FIQIH DAN REALITA ADAT BUDAYA


Sejarah Dialog Syariat Dengan Adat Budaya Minangkabau.
Progresivitas Fiqih (Syara’)

BAB III: UPAYA ULAMA MINANG DAN PARA PENGKAJI


MENGKORELASIKAN SYARA’ DAN ADAT
Upaya Metodologis Dan Praktis Ulama Minangkabau
Pengaruh Nilai-Nilai Syariat Terhadap Perilaku Adat
Budaya Minangkabau

BAB IV: KESIMPULAN DAN PENUTUP


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim
Abidin, Irfianda (Datuk Penghulu Basa), Kejayaan Islam akan Kembali Terwujud di
Minang, dalam http://majalah.hidayatullah.com/?p=1258
Asnan, Gusti. Kamus Sejarah Minangkabau, (Padang: PPIM, 2003), 8-10.
Al-Khudari, Muhammad Bik. Tarikh Tashri’ al-Islami, cet. 8.Beirut: Dar al-Fikr.
1967, 17
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maraghi. Juz 1. (Beirut: Dar al-Fikr)
Al-Suyuti, Jalal al-Din Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul (Beirut: Muassasah al-
Kutub al-Thaqafiyyah, 2002), 181
Al-Wahidi, Ali b. Ahmad. Asbab al-Nuzul, cet. 2. Dammam: Dar al-Islah, 1992,
316
‘Azam, Abd al-Aziz Mohammad. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah, cet 3. Kairo: Dar al-
Hadist, 2006 M – 1426 H, 172, 197, dan 197.
Gazalba, Sidi. Konflik Antara Adat, Agama dan Pengaruh Adat (Padang: Seminar
Islam di Minangkabau, 1969), 3
Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, Cet 1. Selangor Malaysia: Pustaka Dini Sdn
Bhd, 2006), 100-104
Hamka, Sejarah Minangkabau dengan Islam. Fort de Kock: Miratul Ikhwan, 1929,
113.
Khallaf, Abd al-Wahhab. Khulasah Tarikh Tasyri’ al-Islami. Kuwait: Dar al-Qalam,
tt., 20
Nasrun, Dasar Filsafat Adat Minangkabau. Jakarta: Bulan Bintang, 1971), 13.
Syarifuddin, Amir. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau (Desertasi UIN Jakarta, 1982), 233.
Samad, Duski. ‚Tradisionalisme Islam di Minangkabau: Dinamika, Perubahan dan
Kontinuitasnya‛, Tajdid: Jurnal Nasional Ilmu-ilmu Ushuluddin (Juli 2003),
vol 6, no. 2, 120.
Wasil, Nasr Farid Muhammad. Al-Madkhal al-Wasit li Dirasah al-Shari’ah al-
Islamiyyah wa al-Fiqh wa al-Tashri’. Kairo al-Maktabah al-Tawfiqiyyah,
tt., 47-48.
Ya’qub, Muhammad b. Basair Dhawi al-Tamyiz fi Lataif al-Kitab al-Aziz, cet. 3.
Kairo: al-Majlis al-A’la li al-Shu’un al-Islamiyyah, 1996, iii, 167-168.
Zaydan, ‘Abd al-Karim. Al-Madkhal li Dirasah al-Shari’ah al-Islamiyyah.
Alexandria: Dar ‘Umar bin Khattab, tt..
Zuhayli, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islami. Damaskus: Dar al-Fikr, 1986

You might also like