You are on page 1of 7

KHUTBAH JUMAT

MENELADANI KEPEMIMPINAN KHALIFAH


ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ



] [102 :












][1 :

[71-70 : ]




Maasyiral muslimin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan menjalankan
perintah-perintah-Nya sekuat kemampuan kita, serta dengan menjauhi segala larangan-Nya.
Dan marilah kita senantiasa mengingat bahwa dunia yang kita tempati ini bukanlah tempat
tinggal selamanya. Bahkan sebenarnya kita sedang dalam suatu perjalanan menuju tempat
tinggal yang sesungguhnya di alam akhirat nanti. Telah banyak orang yang dulunya bersama
kita atau bahkan dahulu tinggal satu rumah dengan kita, telah melewati dan meninggalkan
dunia ini. Mereka telah meninggalkan tempat beramal di dunia ini menuju tempat
perhitungan dan pembalasan amalan. Akan segera datang pula saatnya kita menyusul mereka.
Maka, marilah kita manfaatkan dunia ini sebagai tempat mencari bekal untuk kehidupan
akhirat kita. Sungguh seseorang akan menyesal ketika pada hari perhitungan amal nanti dia
datang dalam keadaan tidak membawa amal shalih. Allah Subhanahu wa Taala berfirman:



. .



Pada hari itu ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. Dia
mengatakan: Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal shalih) untuk
hidupku (di akhirat) ini. (Al-Fajr: 23-24)

Maasyiral muslimin rahimakumullah,


Sekitar 3 hari lagi, tepatnya pada tanggal 20 oktober 2014, negara kita telah akan resmi
melantik pemimpin yang baru. Pemimpin yang lahir dari sistem demokrasi ini. Yang nantinya
akan memimpin negara kita 5 tahun mendatang. Berkaitan dengan hal itulah, pada
kesempatan ini, khatib akan menyampaikan khutbah jumat yang berkaitan dengan hal itu,
yakni meneladani kepemimpian khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, khalifah pertama yang
menggantikan Rasulullah SAW pasca beliau wafat.
Maasyiral muslimin rahimakumullah,
URUSAN kepemimpinan atau imamah dalam Islam merupakan salah satu kewajiban agama
di antara kewajiban lainnya, sebab agama tidak mungkin tegak tanpa memiliki pemimpin.
Hal ini erat kaitannya dengan fitrah kejadian manusia, di mana setiap pribadi satu dengan
yang lainnya saling membutuhkan hingga melahirkan hubungan interaksi di antara mereka
dalam kehidupan bermasyarakat atau bernegara.
Soal pentingnya pemimpin menurut ajaran Islam didasarkan pada sejumlah ayat Al-Quran
dan hadis, antara lain disebutkan: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul-Nya dan orang-orang yang memegang kekuasaan di antara kamu. (QS. AnNisa: 59).
Dalam sebuah hadis disebutkan: Apabila berangkat dalam perjalanan tiga orang maka
hendaklah mengangkat salah seorang dari mereka menjadi pemimpin. (HR. Abu Dawud).
Demikianlah, Allah dan Rasul-Nya telah menegaskan betapa pentingnya keberadaan seorang
pemimpin dalam suatu urusan. Bahkan disebutkan tiga orang saja yang akan melaksanakan
suatu tugas bersama dan untuk tujuan yang sama, hendaklah mengangkat salah satu di
antaranya sebagai pemimpin. Dengan adanya seorang pemimpin, bila terjadi suatu
perselisihan pendapat yang tidak bisa dipertemukan lagi, maka keputusannya di tangan
seorang pemimpin.
Di hadis yang lain Rasulullah Saw bersabda: Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap
pemimpin itu bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. (HR. Bukhari-Muslim).
Hanya, tingkatan kepemimpinan itu saja yang berbeda. Ada yang memimpin dalam lingkup
terkecil seperti keluarga hingga yang paling besar seperti negara. Namun, di level mana pun
seseorang memimpin, pasti ingin menjadi pemimpin yang sukses dan ditaati.
Pemimpin yang sukses adalah yang mampu memberikan perubahan yang lebih baik kepada
yang dipimpinnya. Perubahan yang dimaksud tidak hanya yang bersentuhan dengan perkara
duniawi. Justru yang lebih penting adalah perubahan yang berkaitan dengan urusan ukhrawi.
Karenanya, hikmah terbesar disyariatkannya kepemimpinan pada dasarnya ialah menjaga
kemaslahatan ukhrawi setiap orang.

Islam lalu mengajarkan tentang prinsip-prinsip kepemimpinan yang islami. Paling tidak ada
dua hal penting. Pertama, bertakwa kepada Allah Swt. Ketakwaan seorang pemimpin besar
sekali manfaatnya dalam mengayomi masyarakat. Kepemimpinan yang dilandasi dengan
dasar takwa akan lahir suatu sistem masyarakat yang tidak mengenal diskriminasi di antara
mereka, sebab pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya lebih merupakan sebagai
pengabdian kepada masyarakat sekaligus dalam rangka beribadah kepada Allah Swt.
Kedua, menjadikan kepemimpinan sebagai amanah. Dalam Islam sesungguhnya
kepemimpinan itu adalah amanah dari Allah Swt, sehingga tidak saja harus
dipertanggungjawabkan di dunia tetapi juga di akhirat kelak.
Dalam surat al-Anam 165 dinyatakan: Dan Dialah yang menjadikankanmu penguasa
(pemimpin) bumi dan sebagian kamu ditinggikan Tuhan beberapa derajat dari yang lain
karena Tuhan hendak menguji kamu tentang apa yang diberikan-Nya kepada kamu.
Allah Swt juga berfirman dalam surah An-Nisa` 58: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.
Rasulullah pun sudah menjelaskan: Sesungguhnya kepemimpinan itu adalah amanat dan
pada hari akhirat kepemimpinan itu adalah rasa malu dan penyesalan, kecuali orang yang
mengambilnya dengan haq serta melaksanakan tugas kewajibannya. (HR. Muslim).
Mengingat kepemimpinan itu adalah amanat, maka untuk menduduki jabatan pimpinan
haruslah orang yang terpilih dalam suatu forum yang mempunyai kewenangan tunggal dan
yang lebih mampu dari yang lainnya, baik dari segi kepribadiannya maupun dari segi
kecakapannya.
Menurut Islam, sangatlah tidak etis dan tidak bermoral orang yang meminta-minta jabatan
atau meminta posisi pimpinan. Rasulullah Saw sangat tidak suka terhadap hal ini, karena
pemimpin yang memperoleh posisinya dengan cara semacam itu sangat sulit
dipertanggungjawabkan kemungkinan berhasilnya dalam memimpin.
Suatu ketika Rasulullah menasihati sahabat Abu Bakar r.a.: Hai Abu Bakar, urusan
kedudukan itu adalah untuk orang yang tidak menginginkannya, bukan untuk orang-orang
yang menonjol-nonjolkan diri dan memburunya. Ia adalah bagi orang yang memandang
kecil urusan itu dan bukan bagi orang yang mengulur-ulurkan kepalanya untuk itu.
Rasulullah memberikan nasihat kepada kita agar dalam memilih seorang pemimpin adalah
orang yang ahli dan tepat, sebagaimana sabdanya: Apabila amanat itu telah disia-siakan,
maka tunggulah saat (kehancurannya). Sahabat bertanya: Bagaimana menyia-nyiakannya?
Jawab Rasulullah: Apabila suatu jabatan diserahkan kepada orang-orang yang bukan
ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya. (HR. Bukhari).
Lantas, bagaimanakah sikap kita seandainya diberi kesempatan menjadi pemimpin? Ada hal
menarik yang patut kita contoh pada diri Abu Bakar r.a ketika diangkat menjadi seorang
khalifah menggantikan Rasulullah SAW. Segera setelah dibaiat Abu Bakar berpidato: Hai

umat, aku telah diangkat untuk memerintahmu. Sebenarnya aku terpaksa menerimanya. Aku
bukanlah orang yang terpandai dan termulia dari kamu. Bila aku benar dukunglah bersamasama, tetapi jika aku menyimpang dari tugasku, betulkanlah bersama-sama. Jujur dan lurus
adalah amanat, sedang bohong dan dusta adalah penghianatan.
Kaum yang lemah diantara kamu adalah kuat dalam pandanganku hingga haknya
diperolehnya. Orang yang kuat dari kalanganmu adalah lemah dihadapanku hingga aku rebut
hak itu dari padanya. Perjuangan dan jihad itu sekali-kali janganlah ditinggalkan. Kaum yang
meninggalkan jihad itu akan dipukul kehinaan. Patuhlah kepadaku selama aku mematuhi
Allah dan Rasul-Nya. Dikala aku mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, kamu tidak wajib patuh
lagi kepadaku.
Selanjutnya dalam kehidupan sehari-hari, Abu Bakar sebagai seorang khalifah atau pemimpin
negara, dengan mencontoh Rasulullah Saw, tetap dalam kesederhanaan. Antara Abu Bakar
dan rakyat tak ada tabir dan dinding pagar pembatas. Rumahnya boleh dikunjungi setiap
waktu dan terbuka bagi rakyat. Ia bisa ditemui di mana saja. Pakaian, makanan, dan
penghidupannya sangatlah bersahaja.
Alkisah, suatu hari Abu Bakar keluar ke Pasar Madinah memakai baju dari kulit kambing.
Ketika kejadian itu dilihat keluarganya, mereka buru-buru datang kepada Abu Bakar dan
berkata: Hai khalifah, engkau sungguh-sungguh membuat malu kami di mata kaum
muhajirin, Anshar, dan orang Arab. Lalu Abu Bakar menjawab: Apakah kamu bermaksud
agar aku menjadi seorang Raja yang angkuh di zaman Jahiliyah dan angkuh di zaman
Islam?
Ketika Abu Bakar hendak meninggal, ia berkata kepada putrinya Aisyah: Hai Aisyah, unta
yang kita minum susunya, juga bejana tempat kita mencelupkan pakaian, serta baju qathifah
yang saya pakai, semuanya hanya dapat kita gunakan selama saya berkuasa. Dan bila aku
meninggal, seluruhnya harus dikembalikan kepada Umar. Maka ketika Abu bakar
meninggal, Aisyah mengembalikan semua barang tersebut kepada Umar bin Khaththab.
Kisah yang lainnya, tatkala seorang wanita kampung bernama Unaisar berkata: Hai Abu
Bakar, apakah engkau masih dapat menolong kami memerah susu kambing seperti sebelum
menjadi khalifah? Jawab Abu Bakar: Insya Allah aku akan tetap bersedia menolong
kamu. Demikianlah sosok Abu Bakar sebagai kepala negara yang telah berhasil
menaklukkan dua kerajaan besar (Syiria dan Persia) masih menyediakan waktu untuk
memeraskan susu kambing untuk para wanita sekampungnya.
Sekarang, bagaimana dengan kita? Apakah kita juga harus mencontoh apa adanya sikap dan
kepribadian Abu Bakar tersebut. Tentu tidak demikian, karena situasi dan kondisi sejarah
sangatlah jauh berbeda dengan zaman khalifah Abu Bakar. Namun demikian, paling tidak kita
harus mencontoh kesederhanaannya sebagai seorang pemimpin, tak sewenang-wenang, jauh
dari gaya hidup mewah, tiada angkuh dan tidak sombong.

Akhirnya, marilah kita berusaha memanfaatkan hari-hari yang penuh dengan keutamaan
untuk menambah dan meningkatkan amal shalih kita. Begitu pula kita manfaatkan waktu
yang ada untuk memperbanyak dzikir kepada Allah Subhanahu wa Taala. Sehingga kita akan
menjadi orang yang mendapatkan kelapangan hati, senantiasa takut kepada-Nya dan terjaga
dari gangguan setan, serta faedah lainnya dari amalan berdzikir kepada Allah Subhanahu wa
Taala.












Khutbah Kedua

.


. . .

You might also like