You are on page 1of 15

1

REFLEKSI MAKNA PERJALANAN HIDUP MANUSIA














,



,

2





, .

.

Hadirin Jamaah Jumat rahimakumullah,
Marilah kita berupaya secara lebih sungguh-sungguh
memperbaharui iman dan ketaqwaan kita kepada Allah,
memperbaiki kembali kemantapan hati kita kepada
Allah yang sering kita nyatakan berulang kali namun
jarang diresapi, sebuah kemantapan hati yang mestinya
selalu menyertai setiap perjalanan hidup kita,
sebagaimana yang selalu kita lafalkan di dalam shalat :

,





.
Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta
alam. Tiada satu pun sekutu bagi-Nya, demikianlah aku
diperintahkan, dan aku termasuk orang-orang yang
berserah diri.

Kaum Muslimin Jamaah Jumat yang berbahagia,


Imam Ibnu Katsir, seorang ahli tafsir ternama, ahli
hadits, sejarawan serta ahli fiqih besar abad ke-8 H,
3
menerangkan dalam tafsirnya, bahwa suatu ketika
Umar bin Khathab RA bertanya kepada seorang sahabat
bernama Ubay bin Kaab RA tentang taqwa.
Walaupun istilah taqwa tersebut merupakan sesuatu
yang sudah sangat mereka ketahui, namun bertanya
satu sama lain di antara mereka dalam rangka lebih
mendalami maknanya adalah hal yang sangat lumrah
dan mereka sukai. Ubay bin Kaab lalu balik
bertanya: Wahai Umar, pernahkah engkau melewati
jalan yang penuh duri?, Umar bin Khathab
menjawab, "Ya, saya pernah melewatinya. Kemudian
Ubay bertanya lagi: Apa yang akan engkau lakukan
saat itu?. Umar menjawab: Saya akan berjalan
dengan sangat berhati-hati, agar tak terkena duri itu .
Lalu Ubay berkata: Itulah takwa.

Dari riwayat ini kita dapat mengambil sebuah pelajaran


penting, bahwa taqwa adalah kewaspadaan diri, rasa
takut kepada Allah, kesiapan diri, kehati-hatian agar
tidak mudah terjebak dalam duri-
duri syahwat dan syubhat di tengah perjalanan menuju
Allah, menghindarkan diri dari perbuatan syirik, dan
sekuat tenaga meninggalkan perbuatan maksiat dan
dosa, serta berjuang sungguh-sungguh dalam mentaati
dan melaksanakan perintah-perintah Allah dengan hati
yang tunduk dan ikhlas.

Hadirin Jamaah Jumat rahimakumullah,


4
Setiap orang yang beriman pasti menyadari bahwa
kehidupan di muka bumi ini bukanlah tanpa batasan
waktu. Setiap orang menjalani kehidupan sesuai
kontraknya masing-masing dalam batas waktu yang
telah ditetapkan oleh Allah SWT. Umur manusia
berbeda satu dengan lainnya, begitu pun amal dan
perbuatannya. Setiap mukmin akan menyadari bahwa
ia tidak akan selamanya hidup dan tinggal di dunia ini;
bahwa keberadaannya di alam ini hakikatnya sedang
menempuh proses perjalanan panjang menuju
kehidupan akhirat yang kekal dan hakiki. Sikap yang
demikian sungguh sangat berbeda dan bertolak
belakang dengan sikap orang-orang yang hakikatnya
tidak beriman. Sebagaimana hal ini disinggung dalam
firman Allah SWT:


.


"Akan tetapi kalian (orang-orang yang ingkar) justeru
lebih memilih kehidupan duniawi. Padahal sungguh
kehidupan akhirat itu jauh lebih baik dan kekal. (QS. al-
Ala: 16-17).
Hadirin Jamaah Jumat yang dimuliakan Allah,
Terkait bagaimana seharusnya kita memanfaatkan
hidup, jika kita membuka lembaran kisah-kisah ulama
salafus shalih terdahulu, kita akan menemukan
karakteristik amal yang berbeda satu dengan yang
lainnya. Dalam konteks keilmuan misalnya, di antara
5
mereka ada yang konsen pada bidang kajian tafsir,
hadits, fiqih, akhlak, tasawuf, dan berbagai macam
kajian ilmu lainnya. Namun, satu titik persamaan yang
dapat kita temukan dari berbagai macam amal kajian
yang digeluti para ulama tersebut, adalah ketulusan
dan kesungguhan hati mereka dalam beramal demi
memberikan sumbangan terbaik untuk mendidik
kehidupan manusia. Sebuah amal yang tidak hanya
bersifat pengabdian diri secara personal antara seorang
hamba dengan Tuhannya (ibadah munfaridah), namun
juga memiliki nilai manfaat yang luar biasa bagi umat
manusia dan generasi setelahnya hingga sekarang
(ibadah ijtimaiyah). Dalam hal ini, kiranya patut kita
renungkan kembali firman Allah berikut:












Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu berupa (kebahagiaan) akhirat, dan
janganlah kamu melupakan nasibmu di dunia; berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah
berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
6
kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS.
al-Qashash: 77).

Hadirin yang dirahmati Allah,


Dari ayat ini kita dapat menggali beberapa point
penting tentang prinsip-prinsip yang perlu kita
pedomani dalam menjalani kehidupan di muka bumi :

Pertama, prinsip mengutamakan kebahagiaan akherat.


Prinsip ini menganjurkan kita agar dalam melaksanakan
urusan-urusan duniawi, hendaknya selalu dibarengi
dengan mempertimbangkan nilai-nilai ukhrawi. Dalam
hal ini, penting dipahami bahwa mengutamakan
kebahagiaan akherat bukan berarti mengabaikan sama
sekali persoalan duniawi. Artinya, dalam melakukan
aktifitas apapun di dunia ini, dalam pekerjaan dan
profesi apapun, hendaknya semua itu kita landasi atas
dasar ibadah kepada Allah SWT demi meraih ridho-Nya
dan berharap kebahagiaan kelak di akhirat. Dengan
prinsip ini, maka segala prilaku dan usaha kita di dunia,
apapun bentuknya, akan senantiasa terarah dan terjaga
sekaligus bernilai ibadah, serta tidak mudah melakukan
upaya-upaya kotor dengan menghalalkan segala cara
demi meraih ambisi-ambisi atau syahwat duniawi.

Kedua, prinsip yang dalam ayat di atas disebutkan


dalam bentuk perintah (fiil amr): ahsin, yakni agar kita
senantiasa berbuat kebaikan. Artinya, dalam melakukan
7
aktifitas apapun, hendaknya selalu kita orientasikan
untuk tujuan berbuat baik terhadap sesama, tidak
sebatas memaknai kebaikan hanya untuk diri atau
kelompok kita sendiri. Dengan prinsip ini, seseorang
akan terhindar dari sikap ananiyah (egoisme), sebuah
sikap yang sering menjadi sumber pertikaian dan
permusuhan antar sesama. Selain itu, prinsip ini akan
menumbuhkan sikap selalu berprasangka baik
(husnudzan) kepada orang lain, serta memupuk
sikap tasamuh (toleransi) dan saling menghargai.

Ketiga, prinsip walaa tabghil fasada fil ardh, yaitu


prinsip tidak berbuat keonaran dan kerusakan di muka
bumi. Bila prinsip ini dipegang secara teguh dan
sungguh-sungguh, seseorang akan dapat dengan
mantap mewujudkan prinsip yang kedua, yakni
kemampuan berbuat baik terhadap sesama dibarengi
kemampuan menghindari kerusakan. Dalam situasi
tertentu, bahkan prinsip ketiga ini harus lebih
diprioritaskan ketimbang prinsip yang kedua, yaitu
apabila misalnya kita dihadapkan pada 2 pilihan dalam
situasi yang serba sulit dan dilematis: antara berbuat
baik (mengambil mashlahat namun kontraproduktif)
ataukah mencegah kerusakan?!. Sebagaimana dalam
sebuah kaidah ushul al-fiqhiyah disebutkan: darul
mafaasid muqaddamun alaa jalbil
mashaalih (mencegah kerusakan, harus lebih
didahulukan dari pada mengambil mashlahah atau
kebaikan). Untuk menerapkan prinsip ini dan
8
membiasakannya dalam prilaku kita sehari-hari, paling
tidak, harus kita mulai dari hal-hal kecil, seperti: jika
kita merasa tidak bisa berbuat baik kepada orang lain,
minimal kita jangan suka menyakiti orang lain; jika kita
sulit untuk bertutur kata yang baik kepada orang lain,
minimal kita tidak perlu mencela atau melukai hati
orang lain dengan perkataan kita, artinya kita lebih baik
diam (qul khoiran aw liyashmut). Prinsip ini juga
sangat penting dipahami dalam konteks upaya amar
maruf nahi munkar, artinya, sebuah upaya amar
maruf (kebaikan) tidak boleh dilakukan dengan cara-
cara yang munkar (cara-cara yang merusak, anarkis,
bertentangan dengan hukum dan prinsip-prinsip
syariat). Karena ketidakpahaman akan prinsip ini akan
mengakibatkan seseorang atau sekelompok orang
dengan mudah melakukan aksi-aksi brutal, anarkis,
radikal, bahkan tindakan terorisme dengan
mengatasnamakan jihad dan agama, sebagaimana
yang marak terjadi akhir-akhir ini. Prilaku semacam itu
sesungguhnya amat bertentangan dengan hakikat
ajaran Islam itu sendiri sebagai rahmatan lil
alamin (penebar kasih sayang dan kedamaian bagi
alam semesta). Sehingga tidak aneh, oleh kalangan
guru-guru kita: para kiai dan ulama-ulama pesantren
kharismatik yang lebih mewarisi spirit dakwah Wali
Songo, prilaku-prilaku kelompok tersebut sering
dikatakan dengan bahasa sindirian: amar
maruf nyambimunkar, bukan amar maruf nahi
munkar.
9

Hadirin sidang Jumat yang dimuliakan Allah,


Ayat lain yang juga sangat penting kita renungkan
dalam menapaki kehidupan ini adalah firman Allah
berikut:

...

Persiapkanlah bekal, sesungguhnya sebaik-baik bekal
adalah takwa. (QS. al-Baqoroh: 197)

Meskipun konteks ayat ini menjelaskan tentang


perbekalan dalam perjalanan ibadah haji, namun
sesungguhnya ayat itu juga menjelaskan gambaran
ketika manusia akan menghadap Allah di
padang mahsyar kelak. Di mana, ibadah haji
merupakan miniatur gambaran manusia yang akan
dikumpulkan di padang mahsyar seperti halnya mereka
berkumpul di padang Arafah. Maka, bekal utama yang
dapat menyelamatkan manusia adalah taqwa.

Firman Allah di atas juga mengandung makna tersirat


bahwa manusia memiliki 2 macam perjalanan, yakni
perjalanan di dunia dan perjalanan dari dunia menuju
akherat. Perjalanan manusia di dunia memerlukan
bekal, baik bekal berupa makanan, minuman, harta,
pangkat dan kedudukan, kendaraaan, dan sebagainya.
Demikian pula perjalanan manusia dari dunia menuju
akherat, juga memerlukan bekal. Bahkan bekal
10
perjalanan yang dibutuhkan dari dunia menuju akhirat
ini jauh lebih penting dari pada perbekalan di dunia.
Imam Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Husain
bin al-Hasan, at-Tamimi, al-Bakri, at-Thabaristani, ar-
Rozi, atau yang populer dengan nama
Imam Fakhruddiin (Kebanggaan
Islam), seorang mufassir dan ulama besar bermadzhab
Syafii di zamannya, dalam dalam tafsirnya yang
berjudul Tafsir al-Kabir atau Mafaatih al-Ghaib,
menyebutkan 5 perbandingan antara perbekalan di
dunia dan perbekalan di akherat :
Pertama, perbekalan dalam perjalanan di dunia, akan
menyelamatkan manusia dari ancaman penderitaan
yang BELUM TENTU terjadi. Sedangkan bekal
perjalanan dari dunia menuju akherat, akan
menyelamatkan manusia dari penderitaan yang PASTI
terjadi jika seseorang tidak membawa bekal.

Kedua, perbekalan dalam perjalanan di dunia, akan


menyelamatkan manusia dari kesulitan sementara.
Tetapi bekal perjalanan dari dunia menuju akherat,
akan menyelamatkan manusia dari kesulitan selama-
lamanya yang tiada tara dan tiada batasnya.

Ketiga, perbekalan dalam perjalanan di dunia, akan


menghantarkan manusia pada kenikmatan sesaat, dan
pada saat yang sama ia juga mengalami rasa sakit,
keletihan dan kepayahan. Sementara bekal perjalanan
dari dunia menuju akherat, akan membuat manusia
11
terlepas dari marabahaya apapun dan terlindung dari
kebinasaan yang sia-sia.

Keempat, perbekalan dalam perjalanan di dunia, pada


saatnya akan kita lepaskan dan kita tinggalkan di
tengah perjalanan. Adapun bekal perjalanan dari dunia
menuju akherat, senantiasa akan kita bawa, dan kita
akan lebih banyak menerima bekal-bekal tambahan
hingga kita sampai pada tujuan, yaitu akherat.

Kelima, perbekalan dalam perjalanan di dunia, akan


mengantarkan manusia pada kepuasan syahwat dan
hawa nafsu yang rendah. Sedangkan bekal perjalanan
dari dunia menuju akherat, akan semakin membawa
manusia pada kesucian dan kemuliaan karena yang ia
bawa adalah sebaik-baik bekal. (Tafsir ar-Raazi 5/168)

Hadirin sekalian hadaniyallahu wa iyyakum,


Demikian uraian khutbah yang dapat kami sampaikan,
semoga bermanfaat khususnya bagi pribadi khathib dan
umumnya bagi seluruh jamaah sekalian.

,

, ,

:













12

.
,

,




.

.
Khutbah Kedua:

,









.



,
,
.

. ,


13

,
.
,







.









,




. ,

14






,






.










.



.





! .

15



,
,


.

You might also like