You are on page 1of 27

<

ZAMAN KEGELAPAN ISLAM DAN KETIBAAN ERA KEBANGKITAN ISLAM

MUSUH-MUSUH DUNIA ISLAM

Perikatan anti-Islam berhadapan dengan umat Islam Bab-bab yang berikutnya akan mengkaji dunia Islam negara demi negara, dan akan mendedahkan penindasan dan kekejaman yang dikenakan kepada umat Islam. Walau bagaimanapun, sebelum itu, kita mesti melihat punca-punca serangan yang dilancarkan kepada dunia Islam. Kawasan yang dikenali sebagai dunia Islam terdiri daripada negara-negara yang majoritinya terdiri daripada orangorang Islam. Ia bermula dari Maghribi dan Mauritania di Barat sehinggalah ke Indonesia di Timur. Majoriti terbesar, dalam 1 bilion, yang mendiami kawasan tersebut beragama Islam. Sejak lebih 200 tahun, mereka telah berhadapan dengan pelbagai jenis serangan, penindasan, dan keganasan malah pernah dibunuh beramai-ramai hanya kerana mereka beragama Islam. Ini disebabkan ramai orang-orang Islam yang hidup di bawah rejim bukan Islam yang bencikan Islam. Apabila kita melihat dunia Islam hari ini, kita akan dapat melihat dengan jelas usaha menghancurkan, menindas dan menghapuskan umat Islam di Bosnia, Algeria, Tunisia, Eritrea, Mesir, Afghanistan, Turkistan Timur, Chechnya, Thailand, Filipina, Myanmar dan juga Sudan. Jika dilihat secara sepintas lalu, umat Islam di kawasan-kawasan yang berbeza itu sedang berhadapan dengan musuh-musuh yang berlainan. Orang-orang Serbia di Bosnia, pejuang Hindu di Kashmir, orang-orang Rusia di Caucasus, dan rejim-rejim penindas yang menentang umat Islam di negara-negara seperti Algeria, Mesir, dan Maghribi. Namun, kuasa-kuasa anti-Islam ini, yang kelihatan tiada perkaitan dengan yang lain, kesemuanya bertindak dengan logik yang sama, strategi yang serupa, dan menggunakan modus operandi yang sama. Faktor asasnya ialah mereka semua anti agama. Kuasa-kuasa yang menafikan kewujudan Allah itu dan melihat agama-agama ketuhanan - terutamanya Islam, satusatunya agama yang korup - sebagai musuh paling berbahaya kepada sistem sekular mereka dan seterusnya mengisytiharkan perang keganasan terhadap agama dan mereka yang beriman, sebenarnya mewakili ideologi-

2011 Harun Yahya International. Semua material dalam laman ini boleh disalin semula, dicetak, diedar dan diterbitkan secara percuma

http://www.harunyahya.com/malaysian/buku/kebangkitanislam/kebangkitanislam 02.php

khamdanguru
Just another WordPress.com site
Top of Form

Cari
Bottom of Form

Main menu
Skip to primary content Skip to secondary content

Beranda About

Post navigation
Previous Next

PENGARUH GERAKAN ISLAM MODERN YANG DI PELOPORI OLEH JAMALUDDIN AL-AFGHANI DAN MUHAMAD ABDUH
Ditulis pada Mei 31, 2011

PENGARUH GERAKAN ISLAM MODERN YANG DI PELOPORI OLEH JAMALUDDIN AL-AFGHANI DAN MUHAMAD ABDUH Oleh : Khamdan, S.Ag Abstrak Kata penting dan sekaligus yang akan sering kita pakai dalam pembahasan makalah ini adalah Pembaharuan, tajdid atau reformasi .Jamaluddin Al-Afhgani-Muhammad Abduh merupakan legasi terpenting abad ke-19 dan ke-20 kepada umat Islam dalam konteks kebangkitan reformasi pemikiran Islam, supaya Islam dan umatnya sentiasa memiliki relavansi dengan zaman Moden, tuntutan pembaharuan dan perubahan. Warisan klasikal ilmu-ilmu Islam yang terpahat di dalam diri Muhammad Abduh telah berjaya disintesiskannya dengan angin pembaharuan yang ditiupkan oleh pengasas Pan-Islamisme abad ke-19, Sayyid Jamaludin al-Afghani. Pada hakikatnya, mereka adalah warisan dari Ibn Sina dan Ibn Rusyd dari aspek kefalsafahan, beliau juga adalah warisan Ibn Arabi, Ibn Maskaweh dan Abu al-Hasan al-Syazali dari aspek kesufian . Beliau juga mewarisi Imam Malik dan Imam Hanafi dari aspek perundangan Islam. Kepelbagaian yang wujud dalam disiplin keilmuannya, disertai pula dengan pembabitan proaktifnya dan prolifiknya dalam bidang pendidikan, jurnalisme dan pemikiran reformasi, telah meninggalkan kepada kita mutiara yang amat berharga untuk dihayati, dihargai dan didedikasikan semua oleh kita pada abad ke-21 ini. Tegasnya, tajdid atau reformasi pemikiran Islam Jamaluddin Al-Afhgani Muhammad Abduh mengandung citra berikut: Membebaskan pemikiran umat Islam dari kebekuan, kejumudan (stagnation) serta taqlid buta (blind imitation), berusaha mencetuskan pembukaan pintu ijtihad dan perkembangan pemikiran dan penyelidikan umat Islam serta tidak dipecahbelahkan oleh ketaasuban mazhab dan kelompok aliran politik dan asabiyyah (perkauman), mengembalikan ajaran Islam ke landasan dan pengkalan yang asalnya yaitu berpegang kepada al-Quran dan al-Sunnah, dan menyatupadukan umat Islam dan membangkitkan kesedaran dan menggembeling tenaga mereka untuk membebaskan ummah daripada belenggu penjajahan Barat. I. PENDAHULUAN Sejak Revolusi Iran tahun 1979, Islam tampil sebagai idiologi yang kuat di arena politik internasional. Berbagai peristiwa sejak revolusi itu, menjadi bukti bahwa Islam, sebagai kekuatan politik, tidak dapat diabaikan begitu saja. Islam merangkul pihak-pihak yang hak-hak sosial, politik dan ekonominya tercabut. Islam merupakan perisai moral terhadap serangan gencar nilai-nilai barat. Akhirnya Islam merupakan sauh bagi individu dan kelompok sosial yang mengalami prahara ketidakpastian, relativisme dan krisis identitas. ***Di Afganistan dan sudan, pemerintahan Islam sudah memegang tampuk kekuasaan sejak 1992. Di Aljazair , kemenangan Front Penyelamat Islam dalam pemilu pada Desember 1991 mempertontonkan paradoks demokrasibarat pada dunia. Prospek pemerintahan Islam memaksa benteng dan pendukung tradisional demokrasi parlementer menggunakan hak asasi manusia sebagai prinsip universal suatu tatanan yang lebih tinggi:

sikap yang mengabaikan kehendak mayoritas ,dan berarti menjustifikasi dukungan mereka bagi adanya kup militer. Di Tajikistan, kekuatan Islam tampaknya akan memenangkan kekuasaan politik. Di Mesir, Maroko, Tunisia, Suriah, Irak, Yordania, Lebanon, Kuwait, India, Srilangka, Indonesia, Burma dan Malaysia, Islam politik tetap merupakan kekuatan penting yang perlu diperhitungkan. Kini Islam merupakan kekuatan utama di arena internasional. Para pengamat dan praktisi perlu mengetahui, memahami dan mengikuti paradigma logik dan implikasi risalah Islam. Islam sebagai kajian histories menuturkan epik perjuangan, pengorbanan dan kesyahidan untuk membela nilai-nilai, idealisme, dan aspirasi-aspirasi Ilahiah, melawan kaum kafir. Penulis berusaha menampilkan dan menganilisis riwayat hidup dan sumbangsih tokoh reformasi Islam terutama Syayid Jamaluddin Al-Afghani (1838-1897) dan Syayid Muhammad Abduh (1849) yang tulisan-tulisan religio politik dan ekonomi maupun praktik politik mereka memainkan peranan sangat penting dalam menjadikan Islam sebagai sebuah kekuatan politik. Kebangkitan Islam di negeri-negeri Islam, selama fase pertama manisfestasinya, ditandai dengan bangkitnya perhatian terhadap Islam sebagai idiologi yang memilki kekuatan pembebas . Al-Quran dan Sunnah Nabi merupakan sumber pokok untuk membuat solusi bagi berbagai problem ekonomi dan sosiopolitik kontemporer yang mendesak Islam praktik dan ritual pribadi dimasyarakatkan. Riwayat hidup, perjuangan, dan pengorbanan para sahabat dan penerus nabi dimulyakan dan dijadikan model peran bagi kaum muslim . Berdirinya Negara Islam barangkali merupakan tujuan paling penting bagi para tokoh kebangkitan Islam. Namun, ini tidaklah berarti bahwa semua tokoh kebangkitan berpandangan sama mengenai apa itu negara Islam dan bagaimana menjalankannya. Karena kebangkitan Islam berakar dan tumbuh di negeri-negeri dimana Islam merupakan mayoritas atau agama resmi Negara, timbul pertanyaan kenapa Islam perlu dikokohkan kembali di tempat-tempat dimana Islam sudah dihormati dan menjadi praktik sebagian besar anggota masyarakat? Membangkitkan Islam di Negara Islam seperti mempersiapkan jalan bagi Phoenix *)[1] untuk bangkit dari abunya sendiri. Kebangkitan Islam menjadi suara ketidakpuasan terhadap penjunjung tinggi status quo yang tidak Islami. Kebangkitan Islam pada akhirnya bertujuan menumbangkan atau mengubah secara radikal suatu system sosial yang diyakini sebagai penyebab dekadensi, keruksakan, ketidakadilan

sosial, penindasan dan kekufuran. Para tokoh kebangkitan Islam menyebutkan empat sebab utama kemunduran kaum muslim. Pertama,erosi nilai-nilai Islam dan ketidak pedulian pemerintah untuk menerapkan peraturan sosio-ekonomi dan etika Islam. Kedua, sikap diam dan kerjasama lembaga ulama dan pemerintah yang pada hakikatnya tidak Islami. Ketiga, korupsi dan kezaliman kelas penguasa atau keluarganya. Keempat, kerjasama kelas penguasa dan ketergantungannya pada kekuatan-kekuatan imperealis yang tidak Islami. Perubahan melalui pembaharuan atau revolusi sudah lama menjadi pokok perdebatan yang kontroversial . Muhammad Al-Ghazali (1058-1111) adalah salah seorang perintis awal kebangkitan Islam. Dalam bukunya Ihya Ulum Al-Din Al-Ghazali menguraikan dengan jelas perlunya kebangkitan Islam di negara-negara Islam. Al-Ghazali yang tinggal di Baghdad mengatakan bahwa keruksakan ulama akan merusak penguasa, dan keruksakan penguasa pada akhirnya akan merusak rakyat.[2] Semua perintis kebangkitan Islam merindukan semangat Islam seperti kasih sayang, solidaritas, persaudaraan dan keadilan sosial. Semangat ini dikaitkan dengan zaman keemasan pemerintahan nabi di Madinah. Kerinduan akan tatanan yang ditegakkan oleh orang-orang saleh yang menjunjung tinggi agama ini menjadi bermakna dalam konteks lingkungan sosio-ekonomi yang mengalami transformasi radikal. Tugas orang orang seperti ini adalah menyusun kembali, memperbaharui atau mensintesis Islam agar relevan dengan kebutuhan, tuntutan dan keadaan sulit yang dihadapi orang-orang yang mereka anggap sebagai korban peradaban modern. Para tokoh kebangkitan menyatakan akan melakukan penyelamatan material dan spiritual terhadap kaum muslim. Islam mamadukan wacana kritis terhadap status quo, dengan seruan agar kaum muslim rukun dan bersatu. Untuk menghadapi dunia luar dan pengaruhnya yang kian berkembang, kekuatan dan kemuliaan Islam haruslah diraih dengan cara mengakhiri pertikaian antar sekte dalam Islam yang tak ada hentinya. Secara teoritis, para tokoh kebangkitan Islam berupaya menyelaraskan apa yang mereka yakini sebagai dislokasi hiostoris antara bidang spiritual dan bidang material. Keberhasilan mereka ditentukan bukan saja oleh pemahaman, analisis dan kritik terhadap berbagai problem zaman modern, namun juga oleh ketersediaan berbagai solusi yang lebih bermanfaat dan dapat diterapkan. II. PEMBAHASAN A. Sayyid Jamaluddin Al-Afghani*)[3] Sayyid jamaludin Al-Afghani (1838-1897) merupakan salah satu tokoh yang pertama kali menyatakan kembali kepada tradisi muslim yang muncul akibat dunia barat mengusik timur tengah di abad ke sembilan belas. Dengan menolak tradisionalisme murni

yang mempertahankan warisan Islam secara tidak kritis di satu pihak dan peniruan membabi buta terhadap barat di lain pihak.Afghani menjadi perintis penafsiran ulang Islam yang menekankan kualitas yang diperlukan di dunia modern, seperti penggunaan penggunaan akal,aktivisme politik, serta kekuatan militer dan politik. Karena seringnya dia melakukan perjalanan, khususnya ketika berada di mesir dan India dua wilayah yang menjadi perintis pembaharuan Islam , pengaruh Afghani menjadi tak tertandingi oleh banyak tokoh yang hidup dan mengemukakan gagasannya hanya di satu Negara. Ini karena beberapa murid mesirnya pada mulanya menerbitkan artikel-artikelnya Afghani dalam bahasa arab, bahasa paling penting di dunia Muslim. Sebagai modernis Islam pertama, yang pengaruhnya dirasakan di beberapa Negara, Afghani memicu kecenderungan menolak tradisionalisme murni dan westernisme murni. Dalam hidupnya dia mempromosikan berbagai sudut pandang yang sering bertentangan.Reputasi Afghani di dunia muslim melampaui zamannya. Dia jauh kurang dikenal pada masa hidupnya ketimbang setelah meninggal, sebagimana lazimnya banyak tokoh sejarah yang berpengaruh. Tak ada sumber primer yang mendukung bahwa tempat lahir atau besarnya adalah di Afghan, seperti yang diakuinya. Kini banyak sumber yang memperlihatkan bahwa dia tidak mungkin orang Afghani, tetapi lahir dan mendapat pendidikan Syiah di Iran. Sumber-sumber ini antara lain surat untuk kemenakan Irannya, yang satu-satunya biografi awal yang berdasar pada masa lahir dan kanak-kanaknya yang sebenarnya. Setelah hampir pasti melanjutkan pendidikannya di kota suci Syiah seperti Najaf dan Karbala, Afghani pergi ke India pada usia akhir belasan tahunnya, sekitar masa pemberontakan India pada 1857. sejak kata-katanya yang pertama direkam pada 1860-an sampai meninggalnya, tema yang paling konsisten dalam hidup Afghani adalah memusuhi pemerintah Inggris di bumi kaum muslim. Tampaknya tidak mungkin kalau perkembangan gagasan ini bermula di Iran atau di Irak, dimana kendali Inggris kurang kuat, tetapi sangatlah mungkin kalau itu merupakan reaksi reaksi terhadap pemerintahan dan kebijakan Inggris di India. Rupanya kontak penting pertama Afghani dengan pemikiran Barat terjadi di India . dan menurut seorang murid Arab, di India inilah Afghani menjadi skeptis terhadap agama positif, yang dilihatnya terutama sebagai sarana penghibur atas kematian dan problem lain di dunia ini. Setelah tinggal di India, Afghani rupanya pergi haji ke mekkah, lalu ke kota-kota suci syiah, barangkali ke Istambul, dan kemudian ke Afghanistan lewat Iran. Afghani tidak

seperti pulang ke rumah ketika dia masuk ke Afghanistan pada 1866. namun seperti orang asing yang tak kenal orang Afghan, dan berbicara bahasa Persia seperti orang Iran. Afghani berhubungan dekat dengan emir Afghan yang bernama AZham Khan. Nasihatnya kepada emir tidak menyangkut pembarauan, seperti yang seringkali diberitakan, tetapi agar Afghan bersekutu dengan rusia untuk melawan Inggris. Dalam banyak dokumentasi periode ini, dia terlihat sebagai figur politik yang sangat anti Inggris. Jatuhnya A Zham Khan dan naik tahtanya ShirAli yang pro Inggris, menyebabkan Afghani diusir dari Afghanistan pada Desember 1868. dia ke Bombai, Kairo, lalu ke Istambul pada 1869. Di Istambul, Afghani kembali dapat menembus kalangan tinggi. Dia punya kontak dengan tokoh terkemuka pembaratan dan sekularis, seperti Munif, Presiden Dewan Pendidikan serta Tahsin, direktur universitas baru yang berpikiran ilmiah. Afghani ditunjuk untuk menyampaikan salah satu pidato pembukaan di universitas tersebut pada tahun 1870. disini dia memuji pembaharuan yang bersifat pembaratan, dan mendesak kaum muslim agar mencontoh bangsa Barat yang berperadaban. Pada 1870, Afghani diangkat menjadi dewan pendidikan Ustmaniah resmi yang reformis. Karena ikatannya dengan berbagai ahli pendidikan terkemuka, dia diundang untuk menyampaikan kuliah umum. Namun , dari kuliah inilah menyebabkan dia diusir, karena isinya dianggap menyimpang dari agama. Afghani diusir dari Istambul dan kepala universitasnya dipecat. Afghani kemudian ke Kairo. Pada waktu itu Mesir diperintah oleh Khedive Ismail. Di Kairo dia tinggal sangat lama, dari 1871 sampai diusir pada 1879. Politisi terkemuka Mesir, Riyad Pasha, rupanya mengundangnya dan menggajinya. Sebagian besar waktunya terutama untuk mengajar para pemuda secara informal, beberapa diantaranya menjadi muridnya. Muhammad Abduh muda dan yang lainnya yang kemudian disebut sebagai murid setia. Terlepas dari daya tarik pribadi dan kecerdasan Afghani, penekanan pada pengajaran filsafat Islam yang terdokumentasikan dalam buku dan surat-surat Afghani tak syak lagi penting artinya dalam menjadikannya sebagai guru yang popular. Filsafat Islam, seperti dikemukakan oleh Afghani, memberikan basis ideologis, yang bukan pinjaman dari penindas barat, untuk membangun komunitas (umat) yang mandiri, merdeka, dan diperbaharui. Pada 1870, Afghani mendorong pengikutnya untuk menerbitkan Koran. Di Koran ini mereka menekankan isu politik. Pada tahun-tahun itu, perhatian dan keterlibatan politik orang Mesir meningkat secara dramatis. Problem keuangan dan pajak dipadu dengan peristiwa dalam dan luar negri lainnya menciptakan krisis politik. Karena krisis tersebut akhirnya

Khadive Ismail dapat digulingkan oleh ahli warisnya Khadive Taufiq . Pada 1870 Taufiq berkuasa dibawah dukungan Inggris dan Prancis. Reputasi Afghani juga terwujud lewat pidatonya yang sangat anti Inggris. Pidato publik yang popular inilah yang mendorong Khedive Taufiq yang pro Inggris mengusir Afghani pada Agustus 1879. Dari Mesir, Afghani ke Hyderabad di India selatan. Disana dia tinggal selama dua tahun. Disana dia menulis, dalam bahasa Persia,beberapa artikel dan satu-satunya risalahnya, yang terjemahan judul Arabnya adalah membantah Kaum Materialis.dalam karya ini banyak tranformasi pada pesona publik atau peranan Afghani dalam masyarakat.dia mengunkapkan bahwa dirinya sebagai pembela kuat agama pada umumnya , khususnya Islam terhadap serangan kaum ortodoks. Dari India Afghani ke London dan pada 1883 ke Paris. Di Paris dia diikuti Muhammad Abduh. Mereka menerbitkan Koran berbahasa Arab, Al-Urwah Al-Wutsqa (Mata Rantai Terkuat, merujuk ke Al-Quran atau Islam) yang mendapat dari para pengagum, dan dibagikan gratis kepada tokoh terkemuka di seluruh dunia muslim. Dalam Koran ini, Afghani melanjutkan polemik anti Inggrisnya, khususnya menentang serangan Inggris di Mesir dan Sudan, Dia juga mengemukakan argument-argumen yang memperkuat pandangan bahwa persatuan antar Negara Islam dapat membendung serbuan pihak asing. Afghani juga menulis tanggapan terhadap artikel jurnal karya Ernest Renan yang menyatakan bahwa Islam memusuhi Ilmu Pengetahuan. Afghani optimis pada saatnya nanti Islam akan mencapai kemajuan. Pada 1889, Syah Iran pergi ke Eropa melalui St Petersburg. Afghani bertemu Syah di Munich, Syah mengundang Afghani ke Iran. Karena pengaruhnya kurang di Iran Afghani mengumpulkan kelompok pembaharu dan mengajarkan metode aksi oposisi. Pada januari 1891 penguasa Iran mengusir Afghani ke Irak, ketika di Irak Afghani menulis surat kepada murid-muridnya dan ulama untuk menentang konsesi Iran terhadap pihak asing. Setelah itu Afghani pindah ke London dan melanjutkan propagandanya menentang pemerintah Iran. Dia bergabung dengan Malkam Khan seorang pembaharu Iran,dalam propaganda menentang rezim Iran. Sultan Abdul Hamid kemudian mengundangnya untuk datang ke Istambul Afghani menyetujuinya. Pada 1897 Afghani meninggal akibat kanker di dagunya. Di antara banyak mitos seputar dirinya, adalah bahwa dia diracun oleh sultan. Namun bukti bahwa dia memang sakit dan dioprasi terdokumentasi dengan baik. Pada masa ini Afghani tidak boleh menerbitkan apapun, tidak diperbolehkan bepergian atau berbicara di depan umum selama lima tahun.

semakin pudarlah Afghani dari kesadaran umum, sampai berita meninggalnya. Kemasyhuran Afghani tercermin dari perjuangannya dalam berbagai hal diantaranya modernisme Islam, aktivisme militan, dan khususnya anti imperealisme, semakin tersebar luas di dunia muslim. Afghani adalah pencetus paling penting kecenderungan untuk mengubah Islam dari kepercayaan keagamaan menjadi idiologi politik-agama. Gagasan Pan-Islamisme Al-Afghani Pengalaman yang diserap Al-Afghani selama lawatannya ke Barat menumbuhkan semangatnya untuk mamajukan umat. Barat yang diperankan oleh Inggris dan Prancis mulai hendak menancapkan dominasi politiknya di dunia Islam, maka pasti akan berhadapan dengan Al-afghani. Adanya anggapan dasar yang dipegang oleh Al-Afghani menghadapi Barat seperti diungkapkan L. Stoddard yakni : 1. Dunia Kristen sekalipun mereka berbeda dalam keturunan, kebangsaan, tetapi apabila menghadapi dunia Timur (Islam) mereka bersatu untuk menghancurkannya. 2. Semangat perang Salib masih tetap berkobar, orang Kristen masih menaruh dendam. Ini terbukti umat Islam diperlakukan secara diskriminatif dengan orang Kristen. 3. Negara-negara Kristen membela agamanya. Mereka memandang Negara Islam lemah, terbelakang dan biadab. Mereka selalu berusaha menghancurkan dan menghalangi kemajuan Islam. 4. Kebencian terhadap umat Islam bukan hanya sebagain mereka, tetapi seluruhnya. Mereka terus-menerus bersembunyi dan berusaha menyembunyikannya. 5. Perasaan dan aspirasi umat Islam diejek dan difitnah oleh mereka. Istilah nasionalisme dan patriotosme di Barat, di Timur disebut fanatisme. Menurut Al-Afghani, hal-hal tersebut di atas menuntut adanya persatuan umat Islam untuk menghadapui dunia Barat dan mempertahankanya dari keruntuhan. Disamping itu AlAfghani melihat bahwa kondisi umat Islam sendiri memang berada dalam kemunduran yang mengkhawatirkan. Kemunduran tersebut menurutnya bukan karena ajaran Islam, tetapi oleh umat itu sendiri yang yang tidak berupaya mengubah nasibnya. Perpecahan terjadi di kalangan mereka maka pemerintahan menjadi absolut, pemimpin tidak dapat dipercaya, lemah dalam bidang militer dan ekonomi bersamaan dengan datangnya intervensi asing. Menghadapi paham fatalisme, Al-Afghani mengajak umat Islam merebut peradaban, kebudayaan, ilmu pengetahun Barat yang positif dan sesuai ajaran Islam. Dengan demikian, umat Islam akan dinamis dan tidak menerima apa adanya serta menyerukan bahwa pintu ijtihad tidak tertutup. Ia selanjutnya menegaskan bahwa dalam Islam ada kemerdekaan dan

kedaulatan umat. pemerintah dapat saja dikritik dan tidak berkuasa mutlak. Al-Afghani mengajak umat, pemimpin dan kelompok agar bersatu dan bekejasama dalam meraih kemajuan dan membebaskan diri dari itervensi Barat. Untuk tujuan di atas, Al-Afghani mencetuskan ide Pan Islamisme. Semangat ini dikobarkan ke seluruh negeri Islam yang tengah berada dalam kemunduran dan dominasi Barat. Pan Islamisme (Al-jamiiyyah AlIslamiyyah) ialah rasa solidaritas seluruh umat Islam. Solidaristas sepeti itu sudah ada dan diajarkan sejak Nabi SAW, baik dalam menghadapi kafir Quraisy ataupun dalam kegiatankegiatan sebagai upaya menciptakan kesejahteraan umat. Semangat pan Islamisme yang diserukan Al-Afghani memberikan pengaruah besar di kalangan umat terutama bagi para pemimpinnya. Hal ini kemudian menyadarkan mereka akan besarnya ancaman Barat. Sultan Abdul Hamid dari Kerajaan Turki Usmani misalnya menyambut dengan penuh antusias. Ia mendirikan organisai seruan Pan-Islamisme mengutus banyak orang ke berbagai negeri Islam dengan pesan agar umat Islam bersatu dan meleaskan diri dari pemerintahan Barat. Hal ini dilakukan oleh Sultan selama 30 tahun. Seruan Pan-Islamisme menghasilkan pengaruh yang sangat besar dan mendalam. Di berbagai negeri muslim telah lahir tokoh-tokoh di kalangan umat yang berjuang menuntut kemerdekaan dari penjajah Barat, seperti Abdul Hamid di Turki, Muhamamd Abduh dan Saad Zaghlul di Mesir serta torkoh lainnya. Konsep Negara menurut Al-Afghani Selain Pan-Islamisme, Al-Afghani juga mengajukan konseop negara republik yang demokratis bagi negeri-negeri Islam. Al-Afghani banyak mencela sistem pemerintahan umat Islam yang bercorak otokratis monarkhi absolut. Menurutnya, kepala negara harus mengadakan syura dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang memiliki banyak pengalaman. Pengetahuan manusia secara individu amat terbatas. Islam dalam pandangan AlAfghani menghendaki pemerintahan Republik di mana kebebasan mengeluarkan pendapat dan kewajiban kepala negara untuk tunduk kepada Undang-undang. Pendapat ini baru dalam sejarah politik Islam. Sebelumnya umat Islam hanya mengenal system kekhalifahan yang mempunyai kekuasaan absolut. Dalam pemerintah republik, yang berkuasa adalah undang-undang dan hukum, bukan kepala Negara. Ia hanya kekuasaan untuk menjalankan undang-undang dan hukum yang digariskan oleh lembaga legislative untuk memajukan kemaslahatan rakyat.

Pendapat Al-Afghani tersebut jelas dipengaruhi oleh pemikiran Barat. Pemunculan ide Al-Afghani tersebut sebagai reaksi kepada salah satu sebab kemunduran umat Islam yang bersifat politis, yaitu pemerintahan absolut. Di dalam pemerintahan absolut dan otokrasi tidak ada kebebasan berpendapat. Kebebasan hanya pada raja/kepala Negara untuk bertindak yang tidak diatur oleh undangundang. Karena itu, Al-Afghani menghendaki agar corak pemerintahan absolute dan otokrasi diganti dengan coak pemeritahan demokrasi. Bukti keinginan Al-Afghani akan pemerintahan yang demokratis, adalah penegasannya tentang keharusan kepala Negara masyarakat yang banyak pegalaman. Pemerintahan otokrasi yang cenderung meniadakan hak-hak individu tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sangat menghargai hak-hak individu. Pemerintahan otokrasi yang mawujud dalam institusi khilafah saat itu harus diganti denegan pemerintahan yang bercorak demokrasi yang menjunjung tinggi hak-hak individu. Pemerintah yang demokratis menurut Al-Afghani menghendaki adanya Majelis Permusyawaratan Rakyat. Lembaga ini bertugas memberi usul dan pendapat kepada pemerintah dalam menentukan suatu kebijaksanaan Negara. Ide dari wakil rakyat yang berpengalaman merupakan sumbangan yang berharga bagi pemerintah, karenanya para wakil rakyat haruslah berpengalaman dan berwawasan luas dan bermoral baik. Wakil-wakil tersebut akan membawa dampak positif pada pemerinnthan sehingga akan melahirkan undang-undang dan peraturan atau keputusan yang baik bagi rakyat. Demikian juga para pemegang kekuasan haruslah orang-orang yang paling taat terhadap undang-unang. Kekuasaan yang diperoleh bukanlah karena kehebatan suku, ras, kekuatan material dan kekayaannya. Model inilah yang berlaku di dalam sistem khilafah, yang bagi Al-Afghani tidak sesuai dengan ajaran Islam. Baginya, kekuasan itu harus diperoleh melaui pemilihan dan disepakati oleh rakyat. Dengan demkian orang yang dipilih mempunyai dasar hukum untuk melaksanakan kekuasaanya itu Menurut Munawir Sadjali, Pan-Islamisme Al-Afghani itu adalah suatu asosiasi antar Negara-negara Islam dan umat Islam di wilayah jajahan untuk menentang kezaliman intern para penguasa muslim yang lalim, menentang kolonialisme dan imperialisme Barat serta mewujudkan keadilan. Dalam kiprahnya di dunia politik Al-Afghani banyak meyumbangkan pemikiran, yakni: mengadakan syura dengan pemimpin-pemimpin

1. Keyakian bahwa kebangkitan dan kejayaan kembali Islam hanya mungkin terwujud kalau umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang murni, dan meneladani pola hidup para sahabat Nabi, khususnya Al-Khulafa al-Rasyidin. 2. Perlawanan terhadap kolonislisme dan dominasi Barat, baik politik, ekonomi maupun kebudayaan 3. Pengakuan terhadap keunggulan Barat dalam Ilmu dan Teknologi, dan karenanya umat Islam harus belajar dari Barat dalam dua bidang tersebut. 4. Menentang setiap sistem yang sewenang-wenang dan menggantikannya dengan pemerintahan berdasarkan musyawarah. 5. Menganjurkan pembentukan Jamiah Islamiyah/ Pan-Islamisme, menyatukan seluruh umat Islam termasuk Persia dengan menggunakan suatu bahasa yakni bahasa Arab. 6. Melakukan perubahan kekuasan dengan cara revolusi. B. Sayyid Muhammad Abduh*)[4] Muhammad Abduh berakar pada bumi pedusunan Mesir . dia lahir di sebuah dusun di delta sungai Nil pada 1849. keluarganya terkenal teguh kepada ilmu agama. Ayahnya beristri dua. Muhammad Abduh muda merasakan sejak dini sulitnya hidup dalam keluarga poligami. Hal ini menjadi pokok persoalan yang dia sampaikan dengan sangat yakin di kemudian hari ketika dia menegaskan perlunya pembaharuan keluarga dan hak-hak wanita Abduh belajar membaca dan menulis di rumah. Pada usia dua belas tahun dia rajin membaca Al-Quran, sampai hapal. Salah seorang penulis biografinya mencatat bahwa karena tidak belajar di lingkungan sekolah Al-Quran, Abduh tak pernah merasakan hal yang dialami orang yang hapal Al-quran seperti ragu-ragu ketika menyampaikan kuliah atau mengutip AlQuran.[5] Ketika berusia tiga belas tahun, Abduh dibawa ke Tanta untuk belajar di Masjid Ahmadi. Masjid ini kedudukannya dianggap nomor dua setelah Universitas Al-Azhar yaitu sebagai tempat membaca Al-Quran dan menghapalnya. Pada usia enam belas tahun ,dia menikah. Pada 1866, Abduh meninggalkan keluarga dan isterinya, menuju Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Ketika Jamaluddin datang ke Mesir, Abduh bergabung dan belajar kepadanya. Dibawah bimbingan Afghani , Abduh mulai memperluas studinya meliputi filsafat, ilmu sosial dan politik. Abduh membuang habis sisa-sisa tasawuf yang bersifat pantang dunia , lalu memasuki dunia aktivisme sosio politik. Pada 1878, Abduh mendapat tugas mengajar di perguruan tinggi Dar Al-Ulum. Dia memanfaatkan ini sebagai peluang uintuk berbicara dan menulis soal politik dan sosial, dan

khususnya soal soal pendidikan Nasional. Pada saat Afghani diusir dari Mesir, Abduh diberhentikan dari jabatan mengajarnya di Dar Al-Ulum. Setelah itu, Abduh diaktifkan kembali oleh perdana menteri untuk menjadi editor kepala Koran Al-WaqaI Al- Mishriyah, sebuah Koran resmi. Dalam posisi itu, Abduh menjadi berpengaruh dalam membentuk opini publik. Ketika, Abduh semakin kritis terhadap metode dan tindakan pemimpin politik dan militer negeri ini, posisinya menjadi sangat terancam. Akhirnya dia terpaksa memilih antar sikap nasionalis dan kebijakan pro-Inggris Khedive. Abduh memelih yang pertama. Pilihan ini menyebabkan dirinya diasingkan dari Mesir selama tiga tahun. Ini dimulai pada 1882. karena sangat kecewa melihat kegaggalan nasionalisme, Abduh lalu memasuki periode hidupnya yang gelap. Ketika mencari perlindungan di Beirut, dia mendapat undangan dari sahabat lamanya, Al-Afghani untuk bergabung bersamanya di Paris. Di sana, mereka mendirikan organisasi yang sangat berpengaruh yaitu Al-Urwat Al-Wutsq (Mata Rantai Terkuat). Tujuan organisasi ini adalah menyatukan umat Islam, dan sekaligus melepaskannya dari sebab-sebab perpecahan mereka. Organisasi ini menerbitkan Koran yang namanya sama dengan nama organisasinya (berhasil terbit delapan edisi), Koran ini didedikasikan untuk tujuan umum memberi peringatan kepada masyarakat non Barat tentang bahaya intervensi Eropa, sedangkan tujuan khusus adalah membebaskan Mesir dari pendudukan Inggris.Yang jadi focusnya adalah masyarakat muslim, karena fakta bahwa mayoritas bangsa yang dikhianati dan dihinakan dan yang sumber dayanya dijarah oleh pihak asing adalah umat Islam.[6] Karya teologisnya yang penting, Risalah At-Tauhid , berdasar pada berbagai kuliah yang disampaikannya selama berda di Beirut. Pada 1888, Khedive mengizinkannya pulang ke Kairo. Karena tidak boleh mengajar, mengingat dia dianggap terlalu berpengaruh pada kaum muda, dia diangkat menjadi hakim dipengadilan penduduk asli yang didirikan untik menerapkan atauran hukum Khedive[7]. Dia kemudian menjadi anggota dewan administrative Al-Azhar pada 1895. Tepat sebelum pergantian abad, dia diangkat menjadi Mufti Besar Mesir. Ketika berada di posisi ini dia mengusulkan berbagai perubahan system pengadilan agama, dan melanjutkan perjuangannya memperbaharui pendidikan di Mesir, terutama di Al-Azhar. Muhammad Abduh meninggal pada 11 juli 1905. Banyaknya orang yang memberi penghormatan di Kairo dan Aleksandria, membuktikan betapa besar penghormatan kepada dirinya. Pada akhir hidupnya, Abduh jarang menyebut-nyebut Al-Afghani, orang yang dulunya erat hubungannya dengan Abduh dan berpengaruh kuat padanya. Meskipun Abduh

mendapat serangan sengit karena pandangan dan tindakannya yang blak-blakan, terutama pada tahun-tahun terakhir hidupnya, terasa ada pengakuan bahwa Mesir dan Islam merasa kehilangan atas meninggalnya seorang pemimpin yang terkenal lemah lembut dan mendalam spiritualnya. Orang Yahudi, Kristen dan Islam datang berbondong-bondong untuk memberi penghormatan kepadanya sebagai sarjana,patriot dan agamawan. Sosok Muhammad Abduh sebagai pelopor fundamentalis Islam yang mencetuskan idea dan kegiatan reformasi pemikiran Islam perlu ditinjau, dibahas, dianalisis dan dirumuskan dalam kelasnya yang tersendiri. Adakah beliau merupakan lanjutan dari aliran Hanbalisme abad ke-8 hingga ke-9, Neo Hanbalisme Ibn Taymiyyah abad ke-13 hingga ke14 dan Muhammad Abdul Wahab abad ke-18 seabad sebelumnya? Ataupun, imej beliau sebagai mujaddid atau fundamentalis Islam tidak boleh dipisahkan daripada mentornya Sayyid Jamaluddin al-Afghani yang menjadi pelopor Pan-Islamisme di hampir seluruh dunia Islam dan Eropah Ataupun, beliau memiliki resep dan ramuan sendiri dalam menterjemahkan reformasi pemikiran Islam yang memilih haluan sendiri terutama di fasa terakhir hayatnya yang melakukan reformasi pemikiran dan sosial di tanah airnya sendiri, Mesir. Latar kehidupannya diwarnai oleh enam fenomena dan kondisi yang membentuk jatidiri dan ketokohannya sebagai fundamentalis dan mujadid Islam yang genius sebagaimana berikut: Pertama: Pertumbuhan awal Beliau dilahirkan di perkampungan Mahallat Nasr berhampiran Sungai Nil di daerah al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 (bersamaan 1266 H). Keluarganya dari golongan petani yang sederhana tetapi kuat berpegang dan beramal dengan agama. Muhammad Abduh telah menerima pendidikan asas daripada kedua ibubapa dan keluarganya. Dia telah berjaya menghafal al-Quran seawal usia 10 tahun. Untuk memperkukuhkan penguasaan ilmu keagamaannya, beliau telah dihantar ke Masjid alAhmadi di Tanta sekitar 80 km dari ibu negara Mesir, Kaherah. Beliau menghabiskan masa selama 2 tahun belajar di masjid tersebut. Sekembalinya ke desa dalam usia 16 tahun, dia telah dikahwinkan dengan gadis desanya pada tahun 1865. Kedua: Pengaruh Sufisme Pelarian Muhammad Abduh dari rumahnya ke perkampungan Syibral Khit merupakan satu babak penting dalam hidupnya kerana dia dipertemukan dengan salah seorang bapa saudaranya, Syeikh Darwish Khidr yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang luas tentang pengajian al-Quran dan ilmu tasawuf. Syeikh Darwish merupakan pengikut aliran sufi Abu al-Hasan al-Syazali (Syazaliyyah) yang mempunyai pengaruh yang kuat di Mesir dan Afrika Utara pada ketika itu. Mulai saat itu, Muhammad Abduh cenderung dan amat meminati pengajian tasawuf serta ilmu pengetahuan.

Ketiga: Pengajian di Universiti Al-Azhar Muhammad Abduh kembali meneruskan pengajiannya di Masjid al-Ahmadi, dan pada bulan Februari 1866 beliau mendaftarkan diri sebagai mahasiswa pengajian tinggi universiti Al-Azhar yang tersohor dan bersejarah, yang mana ia telah diisytiharkan oleh Khalifal Al-Aziz BiLlah (tempoh pemerintahannya dari 975-996) dari pemerintah Kerajaan Fatimiyyah sebagai sebuah universiti pada tahun 988 (bersamaan 378 H). Di universiti tersebut, Muhammad Abduh bukan sekadar mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu keagamaan dalam pelbagai bidang dan cabangnya, tetapi beliau juga turut terdedah dengan ilmu-ilmu rasional dan falsafah. Pensyarah falsafahnya, Syeikh Hasan al-Thawil telah membimbingnya dengan ilmu-ilmu falsafah yang dikarang oleh Ibn Sina, al-Farabi dan Ibn Rusyd dan ilmu logika Aristotle dan metafizika Plato serta pelbagai cabang ilmu-ilmu rasional yang lain. Syeikh Muhammad al-Basyuni pula amat mempengaruhi beliau dalam bidang ilmu bahasa dan kesusasteraan. Keempat: Pertemuan dengan Sayyid Jamaluddin al-Afghani dan pengaruh reformasi pemikiran Islam Pan Islamismenya Episod terpenting yang merubah corak perjalanan hidup dan perjuangan masa depannya ialah pertemuan Muhammad Abduh dengan Sayyid Jamaludin yang kemudian menjadi gurunya dan mentornya dalam mereformasikan pemikiran Islam. Kehebatan dan kegeniusan al-Afghani yang menjadi gurunya di Kaherah selama delapan tahun dari tahun 1871 hingga 1879 telah membina kepimpinan, keilmuan dan ketokohan Muhammad Abduh. Dimensi kesufiannya berubah dari aspek amaliah dan zikir telah berkembang menjadi kesufian yang bercorak falsafah dan bercorak pemikiran yang hidup serta berkembang sehingga Muhammad Abduh bukan sahaja berupaya menulis karyakarya yang mendalam, tetapi berupaya mencetuskan kesedaran dan menerima respons dari masyarakat. Sejak berusia 26 tahun, Abduh menghasilkan karya-karya berikut hasil pertemuannya dengan Jamaluddin, antaranya ialah Risalah al-Aridat (1837), Hasyiah Syarah al-Jalal ad-Diwani Lil `Aqa`id adh-Adhudhiyyah (1875). Di samping itu, beliau turut menulis tentang pelbagai persoalan reformasi pemikiran Islam di dalam surat kabar ternama di Kaherah yaitu al-Ahram. Surat kabar tersebut menjadi medium baginya untuk meniupkan semangat anti penjajah Barat.. Kelima: Pergolakan politik tanah airnya Mesir dan penjajahan Barat ke atas dunia Islam Sepanjang tahun-tahun 1870-an, Mesir menghadapi pergolakan politik yang tidak menentu dan tidak stabil akibat kelemahan serta kebejatan pemerintahnya, Khedive Ismail yang akhirnya telah mengundang campur tangan penjajah Inggeris, lebih-lebih lagi apabila berlakunya Pemberontakan Urabi pimpinan Ahmad Urabi Pasha dari Parti beraliran nasionalisme. Akibatnya, Inggeris telah campurtangan dalam hal ihwal pentadbiran Mesir. Berikutnya dari tahun 1884-1907, Mesir dijajah oleh Inggeris dan diperintah oleh ejen-ejen

British yang diwakili oleh Sir Evelyn Baring dan Lord Cromer. Muhammad Abduh menulis di dalam akhbar al-Ahram mengajak umat Islam di Mesir bangun berjuang untuk mengusir penjajah Barat dari tanahairnya. Justeru itu beliau menggunakan saluran media cetak untuk meniupkan semangat reformasi menentang penjajah. Dalam masa yang sama Muhammad Abduh meneruskan pengajiannya di Universiti al-Azhar dan peranannya dalam dunia jurnalisme mendapat sokongan dan pembelaan daripada Sheikh al-Azhar, Syeikh Muhammad al-Mahdi al-Abbasi. Lantaran kegeniusan Muhammad Abduh, beliau telah lulus mencapai tahap tertinggi atau al-Alamiyyah di AlAzhar dalam usia 28 tahun yaitu pada tahun 1877. Pada tahun yang sama dia ditawarkan menjadi pensyarah Al-Azhar dan mengajar bidang logika dan ilmu kalam (skolastik Islam).Beliau mengajar kitab Tahzib al-Akhlaq karangan Ibn Maskawayh dan sejarah peradaban Barat berasaskan terjemahan Arab karya Guizot, History of Civilization in Europe dirumahnya. Pada tahun 1878, Muhammad Abduh dilantik menjadi pensyarah di Dar alUlum. Salah satu subjek yang diajar di pusat pengajian tersebut ialah al-Muqaddimah Ibn Khaldun. Keenam: Pertemuann dan pendedahan Abduh dengan pergerakan tajdid dan reformasi Pan Islamisme Jamaluddin al-Afghani diperingkat antara bangsa Selepas diusir dari Mesir, Muhammad Abduh menuju Syria dan Libanon pada tahun 1882. Pada tahun 1883 beliau pergi ke Paris bergabung dengan Sayyid Jamaluddin menerbitkan majalah al-Urwat ul-Wuthqa yang menjadi saluran penyatuan pemikiran ummat Islam dan membangkitkan semangat mereka menentang penjajahan Barat di dunia Islam. Secara ringkasnya kepulangan Abduh ke Mesir setelah berada dalam buangan di luar negara selama enam tahun merupakan kaedah terbaik baginya untuk melakukan perubahan dan reformasi pemikiran dan ideologi Islam. Kepulangannya ke Mesir memberi kesempatan kepadanya untuk berkecimpung secara langsung dalam mainstream tanah airnya dan umat Islam keseluruhannya. Sepanjang tempoh tahun 1888, hingga kematiannya pada 11 Julai 1905 di Kaherah, Mesir, Muhammad Abduh dilantik menjadi Hakim Mahkamah Syariah pada tahun 1888, ahli jawatankuasa atau senat Universiti al-Azhar, manakala pada tahun 1899 beliau dilantik menjadi Mufti Mesir dan ahli Majlis Syura Kerajaan Mesir. Kedudukan yang diperolehnya ini telah menjadi mekanisme baginya ke arah melaksanakan reformasi pemikiran Islam dalam beberapa lapangan. Ini termasuklah dalam soal pendidikan dari peringkat asas sehingga ke peringkat universiti, khususnya Universiti al-Azhar, kemudian dalam soal perundangan Islam terutama reformasi ke atas perjalanan dan perkembangan mahkamah syariah, di samping juga dalam bidang media massa khususnya persuratkhabaran

dengan berasaskan pengalamannya yang luas di akhbar al-Ahram dan al-Waqiiyyah alMisriyyah. Reformasi Pemikiran Islam Syeikh Muhammad Abduh telah menggerakkan dan mempelopori kebangkitan intelektual pada separuh abad ke-19. Kebangkitan dan reformasi difokuskan kepada gerakan kebangkitan, kesedaran dan pemahaman Islam secara komprehensif serta pemulihan semangat dan pemikiran Islam agar dapat menyahut kemodenan yang kompleks. Tajdid atau reformasi pemikiran Islam Muhammad Abduh merangkumi aspek-aspek berikut:Pertama: Membebaskan pemikiran umat Islam dari kebekuan, kejumudan (stagnation) serta taqlid buta (blind imitation). Dalam konteks ini, gagasan Abduh ialah membebaskan ummah daripada taqlid dan meningkatkan kefahaman ummah tentang agama dengan mengajak mereka merujuk secara langsung kepada al-Quran dan al-Sunnah serta berpandu kepada kupasan dan tafsiran salaf al-sholeh sebelum muncul tempoh perselisihan atau khilafiah yang tidak banyak memberi faedah kepada ummat Islam. Kedua: Muhammad Abduh berusaha mencetuskan pembukaan pintu ijtihad dan perkembangan pemikiran dan penyelidikan umat Islam serta tidak dipecahbelahkan oleh ketaasuban kepelbagaian mazhab dan kelompok aliran politik dan asabiyyah (perkauman). Terdapat dua metodologi ijtihad yang disyarankan oleh Abduh dalam melaksanakan ijtihad tersebut. Ini termasuk, kaedah maslahah yang sering digunakan oleh aliran Maliki dan Hanafi. Muhammad Abduh mendalami fiqh Maliki dan Hanafi ketika belajar di Al-Azhar. Bermakna metodologi aliran al-hadith dan aliran al-ra`y telah digabungkan olehnya dalam berijtihad bagi menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam, terutama perkara-perkara yang bersifat kontemporari. Manakala, kedua, yang dicadangkan olehnya ialah kaedah talfiq (piecing together) yang menggunakan pendekatan sintesis, iaitu memilih yang terbaik setelah mengadakan perbandingan antara ijtihad para ulama` dari pelbagai aliran. Ijtihad bagi Abduh merupakan jalan terbaik untuk memecahkan kebekuan dan kejumudan pemikiran ummah yang tidak berupaya menghadapi perubahan masyarakat dan zaman. Ketiga: Mengembalikan ajaran Islam ke landasan dan pengkalan yang asalnya yaitu berpegang kepada al-Quran dan al-Sunnah. Menurut Y. Haddad didalam buku Pioneers of Islamic Revival yang memetik pandangan Abduh dalam rangka mengembalikan Islam ke pengkalan asalnya dipanggil kaedah salafiyyah. Tiga metode salafiyyah yaitu, (1) Golongan salaf perlu dikenal pasti memiliki autoriti untuk mentafsirkan Islam yang dimulai oleh Rasulullah SAW, madrasah para sahabatnya dan para tabiin yang terpercaya, sejajar dengan apa yang diungkapkan oleh Muhammad al-Bahi bahawa dengan kaedah menghidupkan dan

membongkar khazanah intelektual kitab-kitab terawal (kutub al-awa`il) atau al-Turath yang dihasilkan pada abad pertama hijrah, (2) Semua teks pentafsiran, kecuali al-Quran, perlu diselidiki dan dianalisis secara mendalam, dan kemudiannya perlu diukur dan dipiawai dengan neraca al-Quran, (3) Semua aliran dan mazhab Islam perlu dilindungi kebebasan mereka tanpa campurtangan golongan pemerintah, sementara itu, golongan umara` atau pemerintah sewajarnya bersifat berkecuali daripada sebarang kecenderungan kepada sebarang mazhab agar berkembangnya penyuburan intelektual Islam. Syeikh Muhammad Abduh mengemukakan pendekatan akomodatif untuk merapatkan jurang antara dua kelompok tradisionalis dan modenis yang muncul dikalangan golongan terpelajar Islam. Abduh menghadapi fenomena konflik dua aliran dengan pemikiran positif. Penyelesaian yang disarankan olehnya kepada kedua-dua kelompok itu ialah dengan membebaskan pemikiran daripada taqlid buta dan kembali kepada pendekatan salafi sebelum period khilafiah. Malah, beliau mengajak intelektual Islam menyelidiki kemajuan sains dan modeniti yang sedang melanda dunia mutakhir. Selanjutnya, beliau mengajak para cendekiawan Islam tampil membuka pintu ijtihad serta membuat kajian dan tafsiran yang bijak tentang hal ehwal umat Islam. Keempat: Menyatupadukan umat Islam dan membangkitkan kesedaran serta menggembeling tenaga mereka ke arah membebaskan ummah daripada belenggu penjajahan Barat menerusi penguasaan sains dan teknologi moden yang sedang didominasi oleh komuniti Barat. Respons segera Abduh terhadap dakwaan liar Menteri Luar Perancis, M.Gabriel Hanoteaux yang menyatakan penguasaan Barat atau Eropah dalam pelbagai lapangan sains dan teknologi adalah kerana mereka mewarisi peradaban semetik atau Aryan. Abduh menyangkal hujah tersebut dengan menyatakan peradaban Barat amat terhutang budi dengan peradaban Islam yang mengeluarkan Barat dari zaman kegelapannya. Hujah-hujah Abduh ini termuat didalam bukunya Al-Muslimun wa al-Islam (1963) dan Al-Amal alKamilah (1972). Malah, karyanya yang amat penting dalam rangka membuktikan bahawa Islam dan umat Islam telah memberi sumbangan yang besar kepada umat Modern serta perkembangan sains dan teknologi termuat di dalam bukunya Al-Islam wa al-Nasraniyyah Maa al-Ilm wa al-Madaniyyah (1902). III. PENGARUH GERAKAN ISLAM MODRN DI INDONESIA Pembaharuan yang dilakukan oleh Jamaluddin dan Muhammad Abduh serta tokoh-tokoh lainya bertambah luas.Hiruk pikuk gerakan gerakan Islam yang berkembang di timur tengah ( abad 19-20 ) seiring dengan waktu menjalar sampai di Indonesia yang pada waktu itu semangat nasionalisme baru tumbuh.Pengaruh pembaharuan itu diterima baik

secara langsung (belajar di Makkah dan Mesir ) maupun secara tidak langsung ( melalui majalah al Urwatul Wusqa dan buku-buku pembaharuan yang lain ). Gerakan Pan- Islame yang dipimpin oleh Jamaluddin al Al-Afghani dan Muhammad Abduh membuahkan berdirinya perkumpulan-perkumpulan organisasi Islam baik besar maupun kecil. Para tokoh-tokoh Islam pergerakan mulai menyadari bentuk perjuangan dalam menentang imperialisme Belanda . Diantara gerakan-gerakan yang lahir di Indonesia yang diilhami oleh kedua pemikiran tokoh tersebut diatas diantara adalah , Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdotul Ulama, Al Washliyah dll. **Pertumbuhan dan perkembangan organisasi-organisasi Islam itu di dorong oleh ajaran Islam yang didasari dengan kesadaran umat Islam itu sendiri untuk membersihkan campur aduknya kehidupan agama dengan unsur-unsur lain, membaiki kualitas pendidikan, sosial ekonomi sebagai akibat dari penjajahan juga menghadapi aktifitas zending. Menurut Dr.H.A.Mukti Ali, latar belakang lahirnya aktivitas organisasi Islam itu dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Membersihkan Islam dari pengaruh kebiasaan nonIslam, reformasi doktrin Islam dengan pandangan alam modern, reformasi pendidikan dan ajaran Islam, mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan dari luar, melepaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan, atau dapat disimpulkan untuk memperbaharui dan menyempurnakan ibadah dan aqidah serta untuk mencapai kemerdekaan.[8] HOS Cokro Aminoto dan Sarekat Islam ( SI ) Sejarah telah mencatat dengan jelas bagaimana perlakuan yang sangat tidak proporsional yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap rakyat Indonesia. Rasanya ketidakadilan itu mengakibatkan kesengsaraan bagi rakyat Indonesia , terutama umat Islam Indonesia, mereka telah memiliki kesadaran yang tinggi tentang adanya ketidakadilan, tentang posisinya yang tercampak dan tersingkir. Maka muncullah beberapa gerakan untuk menegakkan hak-hak rakyat dari penindasan colonial ( penolakan diskriminatif ) yang ada agar merdeka dalam segala aspek kehidupan . Organisasi itu diantaranya adalah Sarekat Islam ( untuk selanjutnya ditulis SI ).[9] SI adalah organisasi kemasyarakatan sebagai kelanjutan dari Sarekat Dagang Islam yang didirikan pada tanggal 16 Oktober 1905 oleh HOS. Tjokro Aminoto. Sebagai salah satu pendiri SI dia juga termasuk pahlawan Nasional dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia dari kolonialisme Belanda. Dalam sejarahnya SI sebagai organisasi sosial kemasyarakatan mampu melaksanakan peranannya yang sangat urgen pada

saat itu, yakni sebagai penggerak utama dalam bidang politik praktis maupun dalam bidang ekonomi rakyat.[10] Perkembangan SI dapat dibagi kedalam empat periode, masa pembentukan corak ( 1912), masa puncak (1916-1921), masa konsolidasi ( 1921-1927 ), dan masa mempertahankan eksistensi dalam forum politik Indonesia ( 1927-1942). Pada awal abad 20 terjadi perubahan gerak SI dari yang dominan bercirikan ratu adil kearah lebih mengembangkan kemampuan intelektual lewat pendidikan.[11] Dan gerakan Tanzim yang merupakan tuntutan tentang ekonomi, sosial dan kebudayan yang sesuai dengan ajaran Islam. KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan ( 1868 1923 ) adalah pendiri Jamiyah Muhammadiyah pada 12 Nopember 1912. Sejak kecil ia telah didik oleh orang tuanya dalam lingkungan pesantren, karena orang tuanya adalah ( K.H. Abu Bakar ) adalah Khatib Masjid Agung Yogyakarta ( Kasultanan). Disamping itu pola pikirnya tentang pembaharuan banyak dipengaruhi oleh pendidikan yang diperolehnya ketika belajar dan bermukim di makkah selama 5 tahun, disana ia banyak membaca tulisan-tulisan Jamaluddin Al-Aghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho. Pada tahun 1902, untuk yang kedua kalinya Dia pergi ke Makkah dan menetap disana selama 2 tahun, dan pada saat itu sempat bertemu dan berkenalan langsung dengan Ulama yang dikagumi yaitu Rasyid Ridha. Pertemuan ini sangat mengesankan dan membakar perjuangannya.[12] K.H. Ahmad Dahlan mendirikan perkumpulan Muhammadiyah, bertujuan menghidupkan kembali ajaran Islam yang murni dan Asli serta menuruti kemauan ajaran islam, Islam sebagai way of life, baik dalam kehidupan individu maupun masyarakat. Orgamisasi ini merupakan lembaga sosial dan kegamaan yang serupa halnya dengan gerakan pembaharuan di Mesir.[13] Usaha-usaha yang dilakukan oleh Muhammadiyah meliputi : a. Memurnikan ajaran Islam dengan membersihkan praktek serta pengaruh yang bukan dari ajaran Islam. b. c. d. Reformasi ajaran dan pendidikan Islam. Reformasi doktrin-doktrin dengan pandangan alam pikiran modern Mempertahankan islam dari pengaruh dan serangan dari luar.[14]

Nahdhatul Ulama NU didirikan pada tahun 1926, diantara pendirinya adalah KH. Abdul Wahab dan KH. Hasyim AsyAri, tujuan organisasi ini adalah berusaha mengembalikan dan mengikuti salah satu madhab yang empat ( Maliki, Hanafi, Syafi,i, dan Hambali ) dalam ajaran Islam. Menegakkan syariat Islam serta mengusahakan berlakunya hukum Islam dalam hidup dan kehidupan masyarakat. Usaha-usaha yang dilakukan oleh Nahdhatul Ulama meliputi : a. b. c. d. Menyiarkan agama dengan tabligh, kursus-kursus dan penerbitan. Mengiatkan amar makruf nahi mungkar dengan sebaik-baiknya. Mendirikan dan mempertinggi mutu pendidikan dan pengajaran. Mempererat hubungan antara ulama dan masyarakat. Dalam pada itu tumbuh pula organisasi-organisasi diluar jawa, seperti : Thawalib ( 1907) dan PERTI di Sumatera Barat, di Tapanuli ada Persatuan Muslim Tapanuli, di Kalimantan Selatan Musyawaratut Thalibin, di Medan ada Jamiyah Al Washilah ( 1930 ) di Aceh ada Persatuan Ulama Seluruh Aceh ( PUSA ). Dalam perkembangan selanjutnya Organissasi Islam ini berusaha untuk

mempersatukan diri. Usaha pembentukan untuk mempersatukan Umat Islam dibentuklah Majelis Islam Ala Indonesia ( MIAI ) sebagai gabungan organisasi-organisasi Islam sudah 10 kali melakukan konggres sejak 1921-1938. Dalam masa penjajahan Jepang MIAI dan organisasi lainya di Indonesia di bubarkan, tetapi akhirnya MIAI menjelma menjadi Masyumi.

IV.

KESIMPULAN Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh adalah dua tokoh reformis Islam

yang merintis perjuangannya pada akhir abad sembilan belas dan awal abad dua puluh. Afghani dan Abduh adalah dua reformis yang pada dasarnya memiliki visi dan misi yang sama karena mereka memiliki hubungan yang kuat yang diantaranya sebagai sahabat, guru dan murid. Pendidikan yang diperoleh Afghani dari semenjak kecil adalah pendidikan syiah di Iran terutama filsafat Islam yang dikembangkan oleh kaum syiah madzhab Syaikhi sedangkan Abduh belajar di Masjid Ahmadi dan Al-Azhar selanjutnya mendapatkan pengajaran filsafat dari Afghani. Bakat ilmu pengetahuan dan wawasan yang menjadi dasar

aktivitas mereka adalah disamping ilmu agama juga ilmu-ilmu yang didapat dari ilmu ilmu yang yang berkembang selanjutnya seperti filsafat, sosiologi dan ilmu politik. Dalam perjuangannya mereka berusaha membuka mata kejumudan kaum Islamis tradisionalis conservative untuk lebih memandang ralitas sosial yang menjadi penyebab kesenjangan idealisme ajaran-ajaran Islam. Mereka tidak meninggalkan kemuslimannya untuk menerima segala perubahan baik dalam wujud pemikiran maupun dalam bentuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Wujud perjuangan mereka berupa paradigma Islam dipandang sebagai ajaran yang menghargai aktivitas berfikir yang berpola interpretasi rasional terhadap perubahan kehidupan sosial masyarakat juga memperjuangkan hak-hak sosial ekonomi dan politik kaum muslim yang waktu itu mengalami penjajahan dari kaum imperialisme Barat. Perjuangan mereka karena membela idealisme terkesan radikal dan revolusioner sehingga sering terjadi gap-gap yang tinggi dengan kaum imperialis, pemerintah dan ilmuwan sendiri yang paradigmanya bersebrangan. Mereka hidup dalam ketidak pastian karena selalu berpindah-pindah dan harus merubah bentuk-bentuk aktivitas, dari menjadi guru atau dosen, menerbitkan koran sampai mendirikan gerakan bawah tanah. Pengaruh mereka sangat luas menebar di dunia Islam dan Barat, pemikirannya dikenang sebagai monument peradaban yang pertama diukir oleh kaum muslim. Ilmuwan barat menghargai dua sosok reformis ini juga dari kalangan muslim sendiri seperti kalangan pemerintahan, politikus dan kalangan akademisi menganggap Afghani, sebagai seorang figure yang pemberani dan setia terhadap cita-citanya juga Abduh dipandang sebagai sarjana, patriot dan agamawan. Pada masanya sendiri visi Afghani pertama adalah pembela dunia Islam dalam menghadapi serbuan dan pelanggaran Barat, kedua melakukan pembaharuan di kalangan muslim untuk dapat menghadapi pengaruh Barat dan merebut kemerdekaan, ketiga menganjurkan Islam sebagai agama harus bangkit. Abduh lebih memperhatikan realitas situasi manusia dan bagaimana memperbaikinya ketimbang memperhatikan filsafat abstrak atau bahkan argumentasi teologis, gerakan Muhammad Abduh pertama menerbitkan tafsir Al-Quran esensinyamelakukan reinterpretasi Al-Quran untuk dunia modern, dia merasa Al-Quran harus memainkan peranan sentral dalam mengangkat masyarakat, memperbaharui kondisi umat dan menyodorkan peradaban Islam modern.

DAFTAR PUSTAKA **Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia1900-1942, Yogyakarta , LP3ES,1994. Al-Ghazali,Kitab Ihya Ulum Ad-Din,4 jil,Kairo,Ottoman Printing Press,1352/1933,jil2,1993 Hasan Asy-Syaikh, Maal Imam Muhammad Abduh fi Madrasatihi Al-Adabiyah, Kairo Matbaah Al-Azhar Malcom K Kerr,Islamic Reform. The Political and LegaL Theories of Muhammad Abduh and Rashid Rida,Barkeley; University of California Press,1996 Muhammad Abduh, Al-Muslimun wa Al-Islam,Thahir At-Tanahi(ed),Kairo:Al-Hilal,1963 Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya ,Jakarta, Lentara Basritama,1999. Mukti Ali, Interprestasi tentang Amalan-amalan Muhammadiyah, MP.Pemuda

Muhammadiyah, tth. Nikki R Kiddie Sayyid Jamal Al-Din Al-Afghani olitical Biografi; an Islamic Response

to Imperialism; Roots of Revolution. Rahmena, Ali. Para Perintis zaman baru Islam,Bandung, Mizan 1996 Taufik Rachman, SI dalam Tragedi Politik Indonesia,Majalah serikat Edisi perdana Th.VII/1997. Ustman Amin,Muhammad Abduh Washington.DC. American Councilof Learned

Societies,1953 ***Yusron Asmuni, Pengantar studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam ( Dirasah Islamiyah III), Jakarta ,Raja Grafindo Persada, 1998.

[1] *) Burung mitos yang setelah hidup beratus-ratus tahun di gurun Arabia,terbakar di atas gundukan pemakaman, kemudian bangkit dari abunya sendiri dalam keadaan muda kermbali, untuk menjalani siklus hidupnya yang lain. [2] AL-Ghazali,Kitab Ihya Ulum Ad-Din, 4jil,Kairo, Ottoman Printing Press, 1352/1933, jil2, hlm 211,1993.

[3] Judul ini ditulis oleh Nikki R Kiddie, dia adalah Profesor Sejarah di UCLA. Tulisannya antara lain Sayyid Jamal Al-Din Al-Afghani olitical Biografi; an Islamic

Response to Imperialism; Roots of Revolution. [4] *) Judul ini ditulis oleh Yvone Yazbeck Haddad adalah professor Sejarah Islam di University of Massachusetts,Amherst. Dia adalah salah seorang editor Encyclopedia of Modern Islamic World dan mantan presiden Middle East Studies Association of North America. [5] Ustman Amin,Muhammad Abduh Washington.DC. American Councilof Learned Societies,1953,hlm3 [6] Muhammad Abduh, Al-Muslimun wa Al-Islam,Thahir At-Tanahi(ed),Kairo:AlHilal,1963,hlm.24 [7] Malcom K Kerr,Islamic Reform. The Political and LegaL Theories of Muhammad Abduh and Rashid Rida,Barkeley; University of California Press,1996, hlm104 [8] Dr. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Indonesia, Nida, Yogyakarta, t.th. hlm.14 [9] **Dr. Mansur M.A, Sejarah Sejarah Sarekat Islam dan Pendidikan Bangsa ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar,2004), hlm.1 [10] Taufik Rachman, SI dalam Tragedi Politik Indonesia (Majalah serikat Edisi perdana Th.VII/1997, hlm.20. [11] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia: 1900-1942( Yogyakarta :LP3ES,1994),hlm,115. [12] Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya (Jakarta : Lentara Basritama,1999), hlm.286. [13] Yusron Asmuni, H.M, Pengantar studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam ( Dirasah Islamiyah III),( Jakarta :Raja Grafindo Persada, 1998 ), hlm.100. [14] Mukti Ali, Interprestasi tentang Amalan-amalan Muhammadiyah, MP.Pemuda Muhammadiyah, tth,hlm.25.

Share this: Facebook

This entry was posted in Uncategorized by Khamdan. Bookmark the permalink. Suka Be the first to like this post.

6 thoughts on PENGARUH GERAKAN ISLAM MODERN YANG DI PELOPORI OLEH JAMALUDDIN AL-AFGHANI DAN MUHAMAD ABDUH

1.

SUMARNO pada Juni 2, 2011 pukul 9:03 am berkata:

Kalau bos sdh pandai aku boleh ikut ya mungkin bisa kasih yang lain dong ! Reply

ARJI pada Juni 2, 2011 pukul 9:05 am berkata:

Kalau bos sdh pandai aku boleh ikut ya mungkin bisa kasih yang lain dong Reply

khamdanguru pada Juni 2, 2011 pukul 2:17 pm berkata:

Oke boleh ? Gimana makalah pak priyoko sdh jadi belum

khamdanguru pada Juni 2, 2011 pukul 2:16 pm berkata:

Oke..? bisa Reply


2.

fadol pada Juni 6, 2011 pukul 1:34 pm berkata:

omakalahnya bagus besuk lagi dan trims Reply


3.

Pendidikan Multikultural pada Juli 5, 2011 pukul 12:30 pm berkata:

Nice artikel pendidikan

Keep blogging.

Reply

Tinggalkan Balasan
Top of Form

Enter your comment here...

Guest Masuk Masuk Masuk

Email (required) (Belum diterbitkan) Nama (required) Situs web

Beritahu saya balasan komentar lewat surat elektronik. Beritahu saya tulisan baru lewat surat elektronik.
Bottom of Form

Tema: Twenty Eleven | Blog pada WordPress.com.


http://khamdanguru.wordpress.com/2011/05/31/5/

You might also like