Professional Documents
Culture Documents
SKRIPSI
UMI SAADAH
UMI SAADAH. D14202005. 2007. Daya dan Kestabilan Buih Putih Telur
Ayam Ras pada Umur Simpan dan Level Penambahan Asam Sitrat yang
Berbeda. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor.
Telur ayam merupakan salah satu bahan pangan asal hewan yang bernilai
gizi tinggi yang sangat penting bagi manusia. Saat ini telur banyak digunakan
dalam berbagai industri makanan, umumnya kue dan roti karena daya buihnya
lebih tinggi dari telur itik, namun daya dan kestabilan buih putih telur ayam ras
menurun seiring dengan bertambahnya umur telur. Daya dan kestabilan buih
diantaranya dipengaruhi oleh umur telur dan penambahan bahan kimia atau
stabilisator. Bahan kimia yang dapat digunakan salah satunya adalah asam sitrat.
Penelitian ini dirancang untuk mengetahui apakah daya dan kestabilan buih putih
telur ayam ras pada umur yang berbeda dapat ditingkatkan melalui penambahan
asam sitrat dengan konsentrasi tertentu sebelum dilakukan pengocokan. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai daya dan
kestabilan buih putih telur ayam ras terbaik melalui penambahan asam sitrat pada
umur telur yang berbeda. Penelitian dilaksanakan di Bagian Ilmu Produksi Ternak
Unggas Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dimulai pada
Mei hingga September 2005.
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah
Rancangan Acak Kelompok pola faktorial. Sebagai perlakuan pertama, yaitu umur
telur ayam ras yang terdiri dari 4 taraf faktor, yaitu telur segar, 7, 14, 21 hari.
Perlakuan kedua, ialah penambahan asam sitrat, yang terdiri dari 4 taraf faktor,
yaitu 0; 0,8; 1,6 dan 2,4%. Sebagai kelompok adalah telur yang dikoleksi dan
dikocok pada hari yang berbeda. Jumlah kelompok makin banyak dengan makin
lamanya umur simpan telur. Data yang diperoleh tidak memenuhi syarat ANOVA.
Oleh karena itu data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif.
Hasil pengukuran daya buih menunjukkan bahwa putih telur ayam ras
segar memiliki daya buih tertinggi dibanding dengan daya buih telur ayam ras
umur 7,14 dan 21 hari. Hasil pengukuran daya buih pada putih telur ayam ras
yang ditambahkan asam sitrat menunjukkan bahwa putih telur ayam ras segar
mencapai daya buih tinggi pada level penambahan asam sitrat 0,8%, sedangkan
pada putih telur ayam umur 7,14 dan 21 hari daya buih dapat ditingkatkan dengan
level penambahan asam sitrat sebanyak 1,6%. Putih telur ayam ras segar memiliki
kestabilan buih tertinggi karena persentase tirisan buihnya paling rendah daripada
putih telur ayam umur 7, 14, dan 21 hari. Kestabilan buih putih telur ayam ras
pada umur telur 7, 14 dan 21 hari dapat ditingkatkan dengan penambahan asam
sitrat 2,4%.
Kata-Kata Kunci : asam sitrat, putih telur, telur ayam ras, daya buih, tirisan buih.
DAYA DAN KESTABILAN BUIH PUTIH TELUR AYAM RAS
PADA UMUR SIMPAN DAN LEVEL PENAMBAHAN ASAM
SITRAT YANG BERBEDA
UMI SAADAH
D14202005
Oleh
UMI SAADAH
D14202005
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Sholawat serta salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Judul skripsi ini adalah
Daya dan Kestabilan Buih Putih Telur Ayam Ras pada Umur Simpan dan Level
Penambahan Asam Sitrat yang Berbeda disusun dan diajukan untuk memperoleh
gelar sarjana di Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Telur ayam biasanya digunakan dalam industri pengolahan pangan
sebagai bahan pembuat kue, cake dan roti karena mempunyai daya buih yang
tinggi yang diperlukan dalam pengembangan adonan kue, tetapi kestabilan buih
putih telur ayam ras akan menurun seiring dengan bertambahnya umur telur.
Penambahan asam sitrat ke dalam putih telur ayam ras diharapkan mampu
memperbaiki kestabilan buih sekaligus untuk meningkatkan daya buihnya.
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam karya ilmiah ini, namun
penulis sangat berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat untuk kalangan
peneliti maupun masyarakat secara umum.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN .................................................................................................. i
ABSTRACT..................................................................................................... ii
RIWAYAT HIDUP.......................................................................................... iii
PRAKATA....................................................................................................... vi
DAFTAR ISI.................................................................................................... v
DAFTAR TABEL............................................................................................ vii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... viii
PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
Latar Belakang ........................................................................................ 1
Tujuan ..................................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 3
Ayam Ras ................................................................................................ 3
Telur Ayam ............................................................................................. 3
Struktur Fisik.............................................................................. 3
Komposisi Kimia........................................................................ 6
Protein Putih Telur .................................................................................. 6
Daya dan Kestabilan Buih Putih ............................................................. 8
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya dan Kestabilan Buih .............. 11
Umur Telur.................................................................................. 11
Metode Pengocokan .................................................................... 12
Penambahan Bahan-bahan Kimia .............................................. 12
pH................................................................................................ 12
Suhu ........................................................................................... 13
Asam Sitrat (C6H8O7).............................................................................. 13
METODE PENELITIAN................................................................................. 14
Lokasi dan waktu.................................................................................... 14
Materi ..................................................................................................... 14
Rancangan Percobaan............................................................................. 14
Prosedur .................................................................................................. 14
Tahap Persiapan Kandang........................................................... 14
Tahap Pemeliharaan .................................................................... 15
Penyimpanan Telur ..................................................................... 15
Pengukuran Daya dan Kestabilan Buih....................................... 16
HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................ 17
Suhu dan Kelembaban Ruang Penyimpanan Telur................................
17
pH Putih Telur ....................................................................................... 17
Daya Buih Putih Telur Ayam Ras ......................................................... 18
Kestabilan Buih Putih Telur Ayam Ras ................................................ 20
KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................ 23
Kesimpulan ............................................................................................. 23
Saran ....................................................................................................... 23
UCAPAN TERIMA KASIH............................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 25
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
Nomor Halaman
1. Struktur Telur....................................................................................... 4
2. Mekanisme Pembentukan Buih ........................................................... 10
3. Diagram Daya Buih Putih Telur Ayam Ras dengan Penambahan Asam
Sitrat .................................................................................................... 20
4. Diagram Kestabilan Buih Putih Telur Ayam Ras dengan Penambahan
Asam Sitrat .......................................................................................... 22
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ayam petelur merupakan salah satu ternak unggas penghasil telur yang
cukup potensial di Indonesia. Ayam petelur dibudidayakan khusus untuk
menghasilkan telur secara komersial. Saat ini terdapat dua kelompok ayam petelur
yaitu tipe medium dan tipe ringan. Tipe medium umumnya bertelur dengan
kerabang coklat sedangkan tipe ringan bertelur dengan kerabang putih.
Telur ayam merupakan bahan pangan asal hewan yang bernilai gizi tinggi
yang sangat penting bagi manusia. Telur mengandung protein dengan imbangan
asam amino, lemak, vitamin dan mineral yang menguntungkan bagi manusia.
Pemanfaatan telur ayam selain untuk dikonsumsi sebagai lauk, juga dimanfaatkan
dalam adonan pembuatan kue. Industri pengolahan pangan membutuhkan telur
yang memiliki sifat yang baik, seperti sifat daya dan kestabilan buih yang baik.
Daya buih telur berpengaruh terhadap pengembangan adonan kue serta dapat
mempengaruhi tekstur produk pangan tertentu. Volume dan kestabilan buih yang
baik diperlukan agar kue yang dihasilkan mempunyai struktur dan tekstur yang
baik. Putih telur ayam mempunyai daya buih yang lebih tinggi dibandingkan telur
itik sehingga banyak dipakai sebagai bahan campuran dalam adonan pembuatan
kue. Permasalahan yang ada pada telur ayam adalah kestabilan buih yang akan
semakin menurun seiring dengan bertambahnya umur telur sehingga akan
berpengaruh terhadap struktur dan kekokohan kue. Oleh karena itu, diperlukan
adanya penambahan bahan kimia sebagai stabilisator untuk meningkatkan
kestabilan buih telur ayam ras.
Daya buih dipengaruhi oleh beberapa protein dalam putih telur yang
memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Protein yang berperan dalam
pembentukan buih diantaranya ovalbumin, ovomucin dan globulin. Volume dan
kestabilan buih juga dapat dipengaruhi oleh umur telur, karena semakin lama
umur telur maka pH putih telur akan semakin meningkat, sehingga volume dan
kestabilan buih yang terbentuk akan semakin menurun.
Penelitian ini dilakukan untuk memperbaiki daya dan kestabilan buih putih
telur ayam ras dengan penambahan asam sitrat. Pada telur ayam, daya dan
kestabilan buih diantaranya dipengaruhi oleh umur telur dan penambahan bahan
kimia atau stabilisator. Salah satu bahan kimia yang biasa digunakan adalah asam
sitrat. Asam sitrat merupakan asam lemah yang dapat diperoleh dengan mudah
dan murah, serta sering digunakan pada produk pangan baik sebagai pengawet
maupun sebagai penambah rasa asam.
Tujuan
Penelitian ini dilakukan untuk mencari taraf penambahan asam sitrat yang
terbaik, sehingga dapat meningkatkan daya dan kestabilan buih putih telur ayam
ras pada umur telur 0, 7, 14 dan 21 hari. Taraf penambahan asam sitrat pada
penelitian ini dilakukan pada taraf 0%; 0,8%; 1,6%; dan 2,4%.
TINJAUAN PUSTAKA
Ayam Ras
Secara umum, ayam ras digolongkan menjadi dua, yaitu ayam ras
pedaging dan ayam ras petelur. Ayam ras pedaging adalah jenis ayam yang efisien
diternakkan untuk diambil dagingnya, sedangkan ayam ras petelur adalah jenis
ayam yang efisien diternakkan sebagai penghasil telur. Untuk ayam ras pedaging
yang unggul diberi istilah ayam broiler yang biasanya dipotong sebelum umur 8
minggu, dagingnya memiliki tekstur yang lembut, empuk dan gurih dengan bobot
hidup antara 1,5-2,0 kg (Winarno, 1993). Ayam petelur adalah ayam yang
dibudidayakan khusus untuk menghasilkan telur secara komersial. Saat ini
terdapat dua kelompok ayam petelur yaitu tipe medium dan ringan. Tipe medium
umumnya bertelur dengan kerabang coklat sedangkan tipe ringan bertelur dengan
kerabang putih (North dan Bell, 1990).
Strain Hisex Brown merupakan salah satu strain ayam petelur tipe
medium. Berat badan optimum pada umur 20 minggu adalah 1740 gram, produksi
50% hen day dicapai pada umur 24-25 minggu dan produksi hen day rata-rata
adalah 71,28%. Konsumsi rata-rata adalah 120-125 gram per ekor per hari dengan
konversi 2,85 (Euribrid, 1974).
Telur Ayam
Struktur Fisik
Telur ayam adalah salah satu bahan makanan asal ternak yang bernilai gizi
tinggi karena mengandung zat-zat makanan yang sangat dibutuhkan oleh tubuh
manusia seperti lemak, protein, mineral serta memiliki daya cerna yang tinggi
(Sirait, 1986). Telur ayam mengandung zat gizi yang cukup untuk
mengembangkan sel yang telah dibuahi menjadi seekor anak ayam. Struktur fisik
telur dapat terbagi menjadi tiga bagian utama berturut-turut dari yang paling luar
sampai yang paling dalam adalah kerabang telur, putih telur (albumen) dan kuning
telur (yolk) (Buckle et al., 1987). Menurut Romanoff dan Romanoff (1963), telur
ayam terdiri dari tiga bagian utama yaitu kerabang telur sebanyak 11%, putih
telur 57% dan kuning telur 32%. Struktur telur diperlihatkan pada (Gambar
1).
Kerabang telur merupakan bagian telur yang paling keras dan kaku. Fungsi
utamanya adalah sebagai pelindung isi telur dari kontaminasi oleh
mikroorganisme. Kerabang telur yang baik adalah kelihatan bersih dan bila diraba
terasa licin (Hintono, 1984).
Karakteristik lain dari kerabang telur ini adalah pori-pori yang dapat
menjadikan jalan keluar masuk air, gas dan bakteri ke dalam telur. Jumlah pori-
pori tersebut bervariasi antara 100-200 lubang/cm3 luas permukaan kerabang
telur. Pada bagian tumpul, jumlah pori-pori per satuan luas lebih besar jika
dibandingkan dengan bagian lain sehingga terjadi rongga udara di daerah ini
(Sirait, 1986). Rongga udara merupakan indikator umur atau mutu telur, karena
ukurannya akan membesar dengan meningkatnya umur telur (Winarno dan
Koswara, 2002).
Menurut Stadelman dan Cotterill (1995), kerabang telur terdiri dari empat
lapisan yaitu kutikula, spongiosa ( bunga karang), mamilaris dan membran
kerabang telur. Kerabang telur terdiri dari dua bahan yang berbeda yaitu matriks
organik dan garam-garam anorganik dengan perbandingan 1:5. Matriks organik
adalah serabut-serabut protein yang terjalin membentuk jala, sedangkan bahan-
bahan anorganik yang berbentuk kristal diikat didalam jala-jala tersebut. Garam-
garam anorganik antara lain garam-garam kalsium, garam fosfat, dan garam
karbonat. Jumlah kadar garam karbonat, khususnya magnesium karbonat
(MgCO3) akan mempengaruhi kekerasan kulit telur. Kekerasan kulit telur akan
meningkat dengan semakin tingginya kadar MgCO3 (Romanoff dan Romanoff,
1963).
Putih telur atau disebut juga albumen merupakan sumber utama protein
yang juga mengandung niasin dan riboflavin (Wikipedia, 2005). Menurut
Romanoff dan Romanoff (1963), putih telur yang mengelilingi kuning telur
merupakan bagian yang terbesar dari telur utuh (kurang lebih 60%). Warna jernih
atau kekuningan pada putih telur disebabkan oleh pigmen ovoflavin.
Putih telur mempunyai empat bagian utama yaitu lapisan putih telur yang
encer bagian luar, lapisan putih telur yang kental, lapisan putih telur encer bagian
dalam dan lapisan khalaza. Bagian putih telur diikat dengan bagian kuning telur
oleh khalaza, yaitu serabut-serabut protein berbentuk spiral yang disebut mucin.
Struktur putih telur dibentuk oleh serabut-serabut protein yang terjalin
membentuk jala yang disebut ovomucin, sedangkan bagian yang cair diikat kuat di
dalamnya menjadi bagian kental ( Romanoff dan Romanoff, 1963).
Perbedaan kekentalan putih telur disebabkan oleh perbedaan kandungan
airnya. Putih telur banyak mengandung air sehingga selama penyimpanan bagian
ini pula yang paling mudah rusak (Belitz dan Grosch, 1999). Penurunan
kekentalan putih telur terutama disebabkan oleh terjadinya perubahan struktur
gelnya. Perubahan ini disebabkan oleh adanya kerusakan fisiko-kimia dari serabut
ovomucin yang berakibat keluarnya air dari jala-jala yang telah dibentuknya
(Sirait, 1986). Kerusakan jala-jala ovomucin mengakibatkan air dari protein putih
telur akan keluar dan putih telur menjadi encer (Heath, 1977).
Kuning telur merupakan bagian telur yang mengandung zat gizi tinggi
karena berfungsi sebagai makanan untuk perkembangan embrio. Kuning telur
terletak di bagian tengah telur dan dibungkus oleh suatu lapisan tipis yaitu
membran vitelin yang terdiri dari keratin (Romanoff dan Romanoff, 1963).
Kuning telur dan lapisan kalazaferous pada putih telur dibatasi oleh membran
vitelin. Membran vitelin akan menjadi lemah apabila terjadi perbedaan tekanan
osmotik antara putih telur dengan kuning telur, sehingga kuning telur menjadi
datar dan akhirnya bercampur dengan putih telur ( Hintono, 1984).
Kuning telur dan lapisan kental luar pada putih telur dihubungkan oleh
kalaza yang berbentuk seperti tali terpilin. Kalaza terdiri dari protein yang
berbentuk serabut spiral, berfungsi untuk mempertahankan letak kuning telur agar
tetap berada ditengah-tengah (Romanoff dan Romanoff, 1963). Menurut Buckle et
al (1987), posisi kuning telur tersebut akan bergeser bila telur mengalami
penurunan kualitas. Kuning telur mempunyai kandungan bahan padat sebesar
50% tetapi persentase ini akan turun selama penyimpanan karena migrasi air dari
bagian putih telur. Umumnya kuning telur berbentuk bulat, berwarna kuning atau
oranye yang terletak pada pusat telur dan bersifat elastis (Winarno dan Koswara,
2002). Warna kuning telur sebagian besar dipengaruhi oleh kandungan karotenoid
yang berasal dari pakan (Charley, 1982). Pigmen karotenoid yang terdapat pada
kuning telur adalah karoten dan santofil.
Komposisi Kimia
Komposisi kimia telur ayam menurut Romanoff dan Romanoff (1963),
terdiri dari air (73,6%), protein (12,8%), lemak (11,8%), karbohidrat (1,0%) dan
komponen lainnya (0,8%). Untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Telur Ayam Ras (dalam 100 gram berat bahan)
Telur Ayam Segar
Komposisi Kimia
Telur Utuh Kuning Telur Putih Telur
Kalori (Kal) 148,0 361,0 50,0
Air (g) 74,0 49,4 87,8
Protein (g) 12,8 16,3 10,8
Lemak (g) 11,5 31,9 0,0
Karbohidrat (g) 0,7 0,7 0,8
Kalsium (mg) 54,0 147,0 6,0
Fosfor (mg) 180,0 586,0 17,0
Vitamin A (SI) 900,0 2000,0 0,0
Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan (1979)
Protein Putih Telur
Putih telur merupakan campuran protein yang memiliki kemampuan buih
yang tinggi dan setiap komponennya mempunyai fungsi yang spesifik. Hasil
penelitian yang dikutip Alleoni dan Antunes ( 2004 ) menunjukkan bahwa salah
satu fraksi protein putih telur yaitu globulin mempunyai kemampuan
memudahkan terbentuknya buih, sementara kompleks ovomucin, lysozyme,
ovalbumin dan conalbumin mempunyai kemampuan membuat buih stabil saat
dipanaskan. Fraksi protein putih telur lainnya, seperti conalbumin, lysozyme,
ovomucin dan ovomucoid sendiri mempunyai kemampuan membuih yang sangat
rendah, tetapi interaksi antara lysozyme dan globulin mempunyai peranan penting
dalam pembentukan buih. Sementara itu, menurut Stadelman dan Cotterill (1995)
fraksi-fraksi protein putih telur yang berperan dalam pembentukan buih,
diantaranya ovalbumin, ovomusin dan globulin, sedangkan Johnson dan Zabik
(1981) dalam Davis dan Reeves (2002) mengemukakan bahwa ovotransferrin,
lysozyme dan ovomucoid berperan dalam pembentukan buih. Jenis-jenis protein
yang terdapat pada putih telur dapat dilihat pada Tabel 2.
Ovalbumin adalah salah satu jenis protein dalam putih telur yang
terbanyak (54% dari total protein putih telur) yang mempunyai kemampuan
membentuk buih (Alleoni dan Antunes, 2004). Ovalbumin dapat membentuk buih
paling baik pada pH sekitar 3,7 sampai 4,0 sedangkan protein yang lain dapat
membentuk buih paling baik pada pH sekitar 6,5 sampai 9,5. Peningkatan pH
putih telur dari 5,5 menjadi 11,0 akan meningkatkan volume buih dari 688%
menjadi 982% (Sirait, 1986). Ovalbumin adalah fosfoglikoprotein dengan gugus
karbohidrat berupa d-manosa dan 2-amino-2-d-glukosa. Ovalbumin terdiri dari
tiga macam protein yaitu G1-globulin (lysozime), G2-globulin dan G3-globulin
yang berperan penting dalam pembentukan buih ( Winarno dan Koswara, 2002 ).
Tabel 2. Protein dalam Putih Telur Ayam
Protein Persentase (%) Karakteristik
Ovalbumin 54 Phosphoglicoprotein
Conalbumin (Ovotransverin)* 13 Mengikat logam terutama
besi
Ovomucoid 11 Menghambat Trypsin
Lysozyme 3.5 Membunuh beberapa bakteri
G2 globulin 4.0 -
G3 Globulin 4.0 -
Ovomucin 1.5 Sialoprotein
Flavoprotein 0.8 Mengikat riboflavin
Ovoglikoprotein 0.5 Sialoprotein
Ovomacroglobulin 0.5 -
Ovoinhibitor 0.1 Menghambat beberapa
bakteri
Protease
Avidin 0.05 Mengikat biotin
Sumber: Stadelman dan Cotterill, 1995
*) Belitz dan Grosch, 1999
Buih dapat didefinisikan sebagai dua fase yang terdiri atas fase gas dalam
fase cair (Zayas, 1997). Buih merupakan dispersi koloid dari fase gas yang
terdispersi di dalam fase cair atau fase padat. Daya buih merupakan ukuran
kemampuan putih telur untuk membentuk buih jika dikocok dan biasanya
dinyatakan dalam persen terhadap putih telur (Stadelman dan Cotterill, 1995).
Perubahan putih telur menjadi buih disebabkan denaturasi protein, yaitu
proses yang mengubah struktur molekul protein tanpa memutuskan ikatan
kovalen. Pemekaran atau pengembangan molekul protein yang terdenaturasi akan
membuka gugus reaktif yang ada pada rantai polipeptida (Belitz dan Grosch,
1999). Denaturasi protein dapat disebabkan bukan hanya karena panas tetapi juga
oleh pH ekstrim (terlalu asam atau terlalu basa), beberapa pelarut organik seperti
alkohol atau aseton, zat terlarut tertentu seperti urea, detergen atau hanya dengan
pengguncangan intensif (mekanik) larutan protein yang bersinggungan dengan
udara sehingga terbentuk buih (Lehninger, 1982).
Mekanisme terbentuknya buih diawali dengan terbukanya ikatan-ikatan
dalam molekul protein sehingga rantainya menjadi lebih panjang. Tahap
selanjutnya adalah proses adsorpsi yaitu pembentukan monolayer atau film dari
protein yang terdenaturasi. Udara ditangkap dan dikelilingi oleh film dan
membentuk gelembung. Pembentukan lapisan monolayer kedua dilanjutkan di
sekitar gelembung untuk mengganti bagian film yang terkoagulasi. Film protein
dari gelembung yang berdekatan akan berhubungan dan mencegah keluarnya
cairan. Terjadinya peningkatan kekuatan interaksi antara polipeptida akan
menyebabkan agregasi (pengumpulan) protein dan melemahnya permukaan film
dan diikuti dengan pecahnya gelembung buih (Cherry dan McWaters, 1981).
Perubahan tersebut menyebabkan hilangnya daya larut atau sifat koagulasi putih
telur, dan absorpsi buih penting untuk kestabilan buih (Stadelman dan Cotterill,
1995).
Semakin lama ikatan yang terbentuk tersebut akan semakin melemah
dan tirisan akan keluar dari lamela yang terdapat diantara gelembung, pada
akhirnya ini dapat menyebabkan rusaknya film buih (Wong, 1989). Volume buih
yang tinggi diperoleh dari putih telur dengan elastisitas rendah, sebaliknya
struktur buih yang stabil pada umumnya akan dihasilkan dari putih telur yang
memiliki elastisitas yang tinggi. Jika putih telur terlalu banyak dikocok atau
direnggangkan seluas mungkin akan menyebabkan hilangnya elastisitas
(Stadelman dan Cotterill, 1995). Mekanisme pembentukan buih disajikan pada
Gambar 2.
DENATURASI
PEMBENTUKAN
LAPISAN TIPIS
udara udara
MENANGKAP
udara UDARA
PERBAIKAN
udara BUIH YANG
TERBENTUK
KOAGULASI
udara
udara
DISTRUPSI
Daya dan kestabilan buih putih telur dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya yaitu umur telur, pengocokan dan penambahan bahan-bahan kimia
atau stabilisator (Stadelman dan Cotterill, 1995), konsentrasi protein, komposisi
protein, pH, pemanasan, adanya garam dan komposisi fase cair yang mungkin
mengubah konfigurasi dan stabilitas molekul protein ( Alleoni dan Antunes,
2004).
Umur Telur
Telur akan mengalami beberapa perubahan selama penyimpanan antara
lain penguapan karbondioksida dan air, perubahan pH serta perubahan struktur
serabut protein. Penyimpanan telur pada suhu ruang selama dua minggu berakibat
pada peningkatan pH dari putih telur. Semakin meningkat umur telur, maka
stabilitas buih putih telur semakin menurun (Romanoff dan Romanoff, 1963).
Penyimpanan telur selama 5 dan 10 hari, hasil dari penelitian Silversides dan
Budgell (2004) menyebabkan penurunan bobot telur dan tinggi putih telur, tetapi
meningkatkan pH putih telur dan volume buih putih telur. Menurut Rosidah
(2006), telur itik Tegal segar mempunyai rata-rata daya buih sebesar 388%
sedangkan telur itik Tegal umur 42 hari akan menghasilkan daya buih dengan
rata-rata sebesar 285% .
Pengaruh pH
Telur yang baru dihasilkan mempunyai pH antara 7,6 dan 8,5.
Penyimpanan akan meningkatkan pH telur menjadi 9,7. Peningkatan pH
disebabkan karena penguapan CO2 dari dalam telur melalui pori-pori kerabang.
Menurut Hawthorne (1955) yang dikutip Stadelman dan Cotterill (1995) pada
saat pH meningkat sekitar 9 terjadi interaksi antara ovomucin dan lisozyme yang
menyebabkan putih telur menjadi encer. Putih telur yang encer akan lebih mudah
menangkap udara dari pada putih telur kental. Peningkatan pH putih telur akan
memperbesar volume buih. Volume buih tertinggi terjadi pada pH sekitar 8,0 dan
kestabilan buih yang tinggi pada pH kurang dari 8,0 (Stadelman dan Cotterill,
1995). Penampilan kue yang baik dicerminkan dari volume kue dan waktu
pengocokan yang lebih baik yang akan dicapai pada saat pH putih telur mencapai
8,75. Hal ini tidak berlaku untuk tingkat pH diatas dan dibawah 8,75. Peningkatan
pH putih telur hingga mencapai 9,0 akan memecah protein globulin putih telur,
sehingga akan menurunkan kemampuan putih telur untuk mengikat udara dalam
pembentukan buih (Seideman et al., 1963).
Metode Pengocokan
Pengocokan merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi karakteristik
buih putih telur. Gerakan pengocokan dan sejenisnya akan mempengaruhi
pengikatan udara dalam buih. Pengocokan dengan menggunakan pengocok
elektrik ternyata memerlukan waktu yang lebih singkat untuk membentuk buih
putih telur. Penambahan waktu pengocokan akan meningkatkan volume buih dan
memperkecil diameter gelembung buih tetapi tidak memperbaiki volume cakes
(Stadelman dan Cotterill, 1995). Pengaruh metode pengocokan terhadap daya buih
putih telur disajikan pada Tabel 3.
Suhu
Kondisi lingkungan terutama suhu memiliki pengaruh pada putih telur.
Pengocokan telur pada suhu 10-25 oC tidak mempengaruhi pembentukan buih.
Pengocokan pada suhu ruang 20-28oC lebih mudah menghasilkan buih daripada
yang dilakukan pada suhu rendah (Winarno dan Koswara, 2002).
Materi
Bahan utama yang dibutuhkan adalah telur ayam ras berumur 0, 7, 14 dan
21 hari masing-masing sebanyak 21, 35, 49 dan 70 butir. Telur yang digunakan
diperoleh dari ayam ras galur Hisex Brown umur 20 minggu sebanyak 60 ekor
yang dipelihara di Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas. Bahan lain yang
digunakan adalah asam sitrat 5% dan akuades. Peralatan yang digunakan meliputi
egg tray, timbangan elektrik 120 g, termometer, meja kaca, tripod micrometer,
spatula, gelas ukur 500 cc, pH meter, tissue, stop watch, dan hand mixer electric
(Philips).
Rancangan Percobaan
Penelitian ini disusun dengan rancangan acak kelompok pola faktorial
(Mattjik dan Sumertajaya, 2000). Sebagai perlakuan pertama, yaitu umur telur
ayam ras yang terdiri dari 4 taraf, yaitu 0, 7, 14 dan 21 hari. Perlakuan kedua,
ialah penambahan asam sitrat, yang terdiri dari 4 taraf faktor, yaitu 0%; 0,8%;
1,6%; dan 2,4%. Sebagai kelompok adalah telur yang dikoleksi dan dikocok pada
hari yang berbeda. Jumlah kelompok makin banyak dengan makin lamanya umur
simpan telur.
Data yang diperoleh tidak memenuhi syarat ANOVA, sehingga data yang
diperoleh dianalisis secara deskriptif. Peubah yang diamati pada penelitian ini
adalah daya dan kestabilan buih putih telur ayam ras pada umur telur dan
penambahan asam sitrat yang berbeda.
Prosedur
Persiapan Kandang
Tahap ini merupakan tahap awal dari penelitian. Tahap ini diawali dengan
melakukan pembersihan tiga kandang dari sekam dan sarang laba-laba, kemudian
dibersihkan dengan sabun dan disikat pada bagian dalam kandang hingga bersih.
Kandang yang telah bersih dan kering dikapur kemudian difumigasi menggunakan
desinfektan dengan dosis 60 cc/10 liter air. Kandang yang telah difumigasi lalu
dibiarkan selama satu minggu.
Setiap kandang diisi 10 individual cage. Cage yang diperlukan untuk
ayam ras sebanyak 30 buah karena setiap cage dapat ditempati oleh dua ekor
ayam ras. Individual cage ini diletakkan di atas kaki cage yang terbuat dari kayu
dengan tinggi 50 cm dari lantai, kemudian dipasang lampu (10 watt) pada kawat
pemisah kandang.
Cage yang telah siap ditempati dipasang tempat makan, tempat minum
dan fiber alas feses yang telah bersih. Tempat pakan dan tempat minum yang
digunakan masing-masing sebanyak 60 buah dan fiber alas feses sebanyak 30
buah.
Setelah kandang siap digunakan, ayam dara yang berumur 20 minggu
dimasukkam kedalam individual cage secara acak. Setiap cage ditempati oleh dua
ekor ayam ras.
Pemeliharaan
Tahap pemeliharaan ayam ras meliputi pemberian pakan, air minum,
vitamin dan pembersihan feses. Pemberian pakan dilakukan tiga kali sehari ad
libitum. Pakan yang diberikan dalam bentuk mash. Wadah air disi dan dibersihkan
tiga kali sehari. Vitamin perangsang produksi telur atau egg stimulant
ditambahkan kedalam air minum dengan dosis 5 g/liter. Pembersihan feses
dilakukan tiga kali sehari. Pengukuran suhu harian kandang dilakukan pada pagi,
siang dan sore hari.
Pada hari pertama, ayam yang baru datang diberi diberi larutan gula 10%
untuk memulihkan kondisinya dan mengurangi stres setelah perjalanan dan juga
diberi obat cacing dan dipotong paruhnya.
Penyimpanan Telur
Telur ayam yang diperoleh dari hasil pemeliharaan diberi nomor sesuai
dengan nomor ayam ras dan diberi tanggal, lalu ditimbang menggunakan
timbangan elektrik 120 g. Hasil pengukuran telur dicatat pada tabel produksi telur
harian setiap individu, kemudian diletakkan dalam egg tray lalu disimpan pada
suhu ruang selama 7, 14, dan 21 hari, sedangkan untuk perlakuan penyimpanan 0
hari langsung dilakukan tahap pengukuran daya dan kestabilan buih putih telur.
Suhu dan kelembaban ruang penyimpanan telur ayam ras diukur 3 kali sehari,
yaitu pada waktu pagi, siang dan sore hari.
pH Putih Telur
Hasil pengukuran pH putih telur ayam ras pada umur dan level
penambahan asam sitrat yang berbeda tertera pada Tabel 4.
Tabel 4. pH Putih Telur Ayam Ras pada Umur Telur dan Level
Penambahan Asam Sitrat yang Berbeda
Umur Telur Taraf Penambahan Asam Sitrat (%)
(hari) 0 0,8 1,6 2,4
.(%)
0 8,30 7,94 7,44 6,81
7 9,17 9,21 8,85 7,70
14 9,46 8,98 8,48 6,86
21 9,51 9,34 8,50 8,10
Telur ayam ras segar tanpa penambahan asam sitrat menghasilkan daya
buih yang tertinggi dibandingkan dengan telur umur 7, 14 dan 21 hari. Hal ini
disebabkan semakin lama telur disimpan maka pH putih telur akan semakin
meningkat. Menurut Linden dan Lorient (1999) volume buih putih telur ayam
tertinggi dihasilkan pada pH sekitar 8-9. Dalam keadaan tersebut maka pH pada
telur ayam ras segar mempunyai pH yang mendekati pH optimal dalam
pembentukan buih putih telur, karena memiliki pH 8,30. Telur yang berumur 7, 14
dan 21 hari memiliki rataan pH diatas 9,0. Pada pH yang lebih dari 9,0
pembentukan buih akan terhambat. Hal ini sesuai dengan pendapat Seideman et
al. (1963), yang menyatakan bahwa peningkatan pH putih telur hingga mencapai
9,0 akan memecah protein globulin putih telur, sehingga akan menurunkan
kemampuan putih telur untuk mengikat udara dalam pembentukan buih.
Penambahan asam sitrat sebanyak 0,8% pada telur ayam ras segar mampu
untuk menghasilkan daya buih yang tinggi yaitu sebesar 820,63%. Hasil ini sesuai
dengan pendapat Romanoff dan Romanoff (1963) yang menyatakan bahwa jika
ditambahkan asam sitrat maka daya buih putih telur akan meningkat. Hal ini
karena putih telur memiliki bentuk fisik yang kental dan setelah ditambahkan
bahan kimia tersebut, terjadi reaksi dengan putih telur sehingga tegangan
permukaan putih telur berkurang. Pada keadaan demikian putih telur lebih mudah
menangkap udara.
Telur ayam ras umur tujuh hari mempunyai daya buih tertinggi pada
penambahan asam sitrat sebanyak 1,6%. Pada telur umur tujuh hari telah terjadi
penguapan CO2 dan H2O sehingga mengakibatkan terjadinya transformasi
ovalbumin menjadi s-ovalbumin akibat adanya peningkatan pH. Hal ini yang
menyebabkan daya buih telur umur tujuh hari lebih rendah dari pada telur segar
karena ovalbumin yang sangat berperan pada proses pembentukan buih telah
mengalami transformasi menjadi s-ovalbumin.
Peningkatan pH yang terjadi akibat penyimpanan selama tujuh hari dapat
diperbaiki dengan penambahan asam sitrat 1,6%, sehingga pH putih telur
menurun mencapai pH optimal kembali seperti pH telur segar. Hal ini sesuai
dengan pendapat Lehninger (1992) bahwa protein globular yang terdenaturasi
oleh panas atau pH ekstrim akan kembali ke struktur aslinya dan memperoleh
kembali aktivitas biologinya, jika protein ini dikembalikan ke pH normalnya
secara perlahan-lahan.
Telur umur 14 hari menghasilkan daya buih yang semakin menurun karena
penguapan CO2 dalam telur semakin tinggi. Selain itu selama proses penyimpanan
ovalbumin akan berikatan dengan lisozym yang mengakibatkan putih telur
menjadi encer dan ovalbumin juga berubah menjadi s-ovalbumin yang
mengakibatkan daya buih yang dihasilkan menurun. Daya buih pada telur umur
14 hari dapat diperbaiki dengan menambahkan asam sitrat sebanyak 1,6% pada
putih telur sehingga akan menghasilkan daya buih yang tertinggi yaitu 822,02%.
Hal ini karena semakin lama umur telur maka pH putih telur akan semakin tinggi,
sehingga penambahan asam sitrat yang semakin banyak diperlukan untuk
mendekati pH optimum. Penambahan asam sitrat sebanyak 2,4% pada telur umur
14 hari justru menyebabkan pH putih telur menjadi rendah (6,86) dibandingkan
dengan penambahan asam sitrat 1,6%. Artinya penambahan asam sitrat tersebut
terlalu berlebihan sehingga menyebabkan daya buih turun kembali.
Penambahan asam sitrat pada putih telur ayam ras yang disimpan 21 hari
belum mampu meningkatkan daya buih yang menyamai putih telur ayam ras
segar. Hal ini disebabkan terjadinya penurunan kualitas telur setelah mengalami
penyimpanan sehingga penambahan asam sitrat sampai taraf tertinggi tidak
mampu untuk menghasilkan daya buih yang tinggi.
Perbedaan daya buih pada umur telur 0, 7, 14 dan 21 dengan penambahan
asam sitrat pada taraf 0%;0,8%; 1,6% dan 2,4% disajikan pada Gambar 3.
900
800
700
Daya Buih (%)
600
500
400
300
200
100
0
0 7 14 21
Umur (hari)
Keterangan :
0% 0.80% 1.60% 2.40%
Gambar 3. Diagram Daya Buih Putih Telur Ayam Ras dengan Penambahan
Asam Sitrat
Dari gambar tersebut tampak bahwa selama penelitian, telur yang memiliki
daya buih tertinggi adalah telur yang disimpan selama 14 hari dengan
penambahan asam sitrat sebanyak 1,6%. Daya buih yang dihasilkan yaitu sebesar
822,02% dan merupakan daya buih tertinggi optimum seperti yang dikemukakan
oleh Georgian Egg Commision (2005) bahwa telur ayam dapat menghasilkan
daya buih sebesar 6 sampai 8 kali volume putih telur.
105
90
Kestabilan Buih (%)
75
60
45
30
15
0
0 7 14 21
Umur (hari)
Keterangan:
0% 0.80% 1.60% 2.40%
Kesimpulan
Daya dan kestabilan buih putih telur ayam ras tertinggi tanpa penambahan
asam sitrat diperoleh pada telur segar. Makin lama umur telur, daya dan kestabilan
buih putih telurnya semakin menurun. Penambahan asam sitrat hingga 1,6% dapat
meningkatkan daya dan kestabilan buih pada telur umur 14 hari. Penambahan
asam sitrat pada telur umur 21 hari tidak berpengaruh terhadap peningkatan daya
dan kestabilan buih karena kualitas telur sudah menurun.
Saran
Pada pembuatan kue yang membutuhkan daya dan kestabilan buih yang
tinggi disarankan menggunakan telur ayam segar, jika ingin lebih baik dapat
ditambahkan asam sitrat 0,8% sebelum pengocokan. Sedangkan pada telur yang
telah mengalami penyimpanan, penambahan asam sitrat dengan taraf yang lebih
tinggi mampu untuk meningkatkan daya dan kestabilan buih.
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT dengan karunia
dan rahmat-Nya yang telah melimpahkan nikmat tak terhingga dan hanya dengan
pertolongan-Nya, skripsi ini dapat diselesaikan.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada Ir. Niken Ulupi, MS
dan Ir. Rukmiasih, MS yang telah banyak membimbing penulis dari pembuatan
proposal penelitian hingga tahap terakhir pada penulisan skripsi. Selain itu ucapan
terima kasih disampaikan kepada Ir. B. N. Polii, SU dan Ir. Juniar Atmakusuma,
MS yang telah menguji, mengkritik, dan banyak memberikan sumbangan
pemikiran serta masukan yang dapat membantu dalam penyelesaian skripsi ini,
serta Ir. Maman Duldjaman, MS sebagai dosen pembimbing akademik.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada kedua orang tua yang
telah banyak membantu, memberi motivasi, doa serta kasih sayang yang tiada
hentinya diberikan kepada penulis. Terima kasih juga adik-adik saya Utik dan
Nurul.
Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada teman-teman THT39
terutama Tim buih: Hamidah, Ratih, Dian, Handi, Wian, Edgar, Zaki, Novi,
Ratna, Rosidah, Samsudin, Esha, Heidy, Dedi, Anwar, Nanda dan warga Wisma
Elegant yang telah memberikan banyak dukungan kepada penulis. Terima kasih
kepada Galuh, Hamidah, dan Tyas atas kebersamaan dan persaudaraannya.
Terakhir penulis ucapkan terima kasih untuk semua pihak yang telah banyak
membantu hingga selesai penulisan skripsi ini, semoga skripsi ini bermanfaat.
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Davis, C. and R. Reeves. 2002. High value opportunities from the chicken egg. A
report for Rural Industries Research and Development Corporation. RIRDC
Publication No. 02/094.
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1979. Daftar Komposisi Bahan Bahan
Makanan. Bharata Karya Aksara, Jakarta.
Doi, E dan N. Kitabatake.1997. Structure and functionality of Egg Proteins. Dalam :
S. Damodaran dan A. Paraf (Editor). Food Proteins and Their Applications.
Marcel Dekker, Inc., New York. Basel.
Euribrid. 1974. The Improvements in Hisex Brown are the Result of the Close
Interaction between Practical Poultry Keeper and Practice-minded genetic
specialist in the Euribrid Organization. Poultry Int. Vol.13. No.6.
Forsythe, R.H. dan D.H. Berquist. 1951. The effect of physical treatments on some
properties of egg white. Poultry Sci. 30: 302-311.
Georgian Egg Commission.2005.Albumen. http://www.Georgiaeggs.org/pages/foam.
[ 16 Maret 2006]
Hamidah. 2006. Daya dan kestabilan buih telur ayam ras pada umur telur dan level
penambahan Cream of Tartar yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Heath, J. L. 1977. Chemical and related osmotic changes in egg albumen during
storage. J. Poultry Sci. 56: 822-828.
Hintono, A. 1984. Prinsip Pengawetan Telur. Buletin Poultry Indonesia. No 2:15-16.
1
Kurniawan, I. 1991. Pengaruh penambahan asam atau garam asam terhadap daya dan
kestabilan buih putih telur itik Tegal umur satu dan empat belas hari. Skripsi.
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Lehninger, A. L. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Jilid 1. Terjemahan. M. Thenawijaya.
Penerbit Erlangga, Jakarta.
Linden, G. dan D. Lorient. 1999. New Ingredients in Food Processing. CRC Press,
New York.
Mattjik, A.A dan I Made, S. 2002. Perancangan Percobaan. Jilid I. Edisi kedua.
Institut Pertanian Bogor Press, Bogor
North, M. O. dan D.D. Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual. The 3rd
Edition. Chapman and Hall. New York.
Rahmawati, A. 2006. Daya dan kestabilan buih putih telur itik Tegal pada umur telur
dan taraf penambahan asam sitrat yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rhodes, M.B., N. Bennett dan R.E. Feeney. 1960. The trypsin and chymotrypsin
inhibitors from avian egg white. J. Biol. Chem. 235:1686-1693
Romanoff, A. L. dan A. F. Romanoff. 1963. The Avian Eggs. John Wiley and Sons.
Inc., New York.
Rosidah . 2006. Hubungan umur simpan dengan penyusutan bobot, nilai Haugh Unit,
daya dan kestabilan buih putih telur itik Tegal pada suhu ruang. Skripsi.
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Seideman, W.E., O. J. Cotterill dan E. M. Funk. 1963. Factors affecting heat
coagulation of egg white. Poultry Sci. 42: 406-417.
Septiyandi, E. 2006. Daya dan kestabilan buih telur itik Tegal pada umur telur dan
level penambahan Cream of Tartar yang berbeda. Skripsi. Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Silverside F. G. and K. Budgell. 2004. The relationships among measures of egg
albumen height, pH and whipping volume. J. Poultry Sci. 83: 1619-11623.
Sirait, C. H. 1986. Telur dan Pengolahannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Bogor.
Stadelman, W. F. dan O. J. Cotterill. 1995. Egg Science and Technology. 4th
Edition. Food Products Press., An Imprint of the Haworth Press, Inc., New
York.
Suryono, H. 2006. Daya dan kestabilan buih putih telur itik Tegal dengan
penambahan asam asetat pada umur simpan yang berbeda. Skripsi. Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Wikipedia. 2005. Asam Sitrat. http://id.wikipedia.org/wiki/Asam_sitrat.
[10 April 2006].
2
Winarno, F. G., dan S. Koswara. 2002. Telur: Komposisi, Penanganan dan
Pengolahannnya. M-Brio Press, Bogor.
Winarno, F.G. 1993. Pangan : Gizi, Teknologi dan Konsumen. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Wong, D.W.S. 1989. Mechanism and Theory in Food Chemistry. Van Nostrand
Reinhold, New York.
Zayas, J. F. 1997. Functionality of Protein in Food. Springer, Verlag Berlin,
Heidenberg.